HAM Dalam Konstitusi Indonesia dan jamin

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi bahasan penting setelah Perang Dunia II
dan pada waktu pembentukan Persrikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah HAM
menggantikan istilah Natural Rights. Hal ini karena

konsep hukum alam ybg

berkaitan dengan hak-hak alam menjadi suatu kontroversial. Hak Asasi Manusia yang
dipahami sebagai natural Rigts merupakan suatu kebutuhan dari realitas sosial yang
bersifat universal.
Semula HAM berada dinegara-negara maju. Akan tetapi sesuai dengan
perkembangan kemajuan transportasi dan komunikasi secara meluas, maka negara
berkembang seperti Indonesia, sebagai anggota PBB mau tidak mau harus
menerimanya untuk melakukan ratifikasi instrumen HAM Internasional sesuai dengan
falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa
Indonesia.
Dengan bergulirnya rezim Soeharto dan diganti dengan era reformasi,
pengaturan HAM mulai tampak jelas kearah mana HAM ini akan ditujukan. HAM
tidak saja merupakan hak untuk berkumpul, berserikat dan berbicara (civil and

political rights) tetapi juga meliputi hak sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
Serta proses dalam penegakan pelanggaran HAM berat yang terjadi. Tampak jelas
bahwa demikian kompleksnya permasalahan dan peluang pemberdayaan HAM di
Indonesia. Kompleksitas permasalahan ini memerlukan upaya penanganan serius dan
sesegera mungkin. Berbagai pihak juga harus terlibat untuk berpartisipasi secara aktif
demi mewujudkan konsep pemberdayaan itu secara komperehensif.
Oleh karena itu, untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia, menjamin
pelaksanaan dan penegakan hukum atas hak asasi manusia maka perlulah dibentuk
suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia. Yang mana pengadilan tersebut akan
memberikan perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan aman kepada perorangan
ataupun masyarakat. Baik pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lampau,
sekarang ataupun yang akan datang. Karena pelanggaran HAM berat tidaklah
mengenal kadaluwarsa.

Syariah dan HAM

Page 1

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, dapat dirumuskan permasalahan

yang akan diteliti, sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah lahirnya Undang-Undang Dasar 1945?
2. Bagaimana sejarah lahirnya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949?
3. Bagaimana sejarah lahirnya Undang-Undang Dasar Sementara 1950?
4. Bagaimana sejarah lahirnya kembali Undang-Undang Dasar 1945?
5. Bagaimana latar belakang lahirnya Amandemen UUD 1945?
6. Bagaimana Materi Muatan HAM dalam UUD 1945?
7. Bagaimana Materi Muatan HAM dalam Konstitusi RIS 1949?
8. Bagaimana Materi Muatan HAM dalam UUDS 1950?
9. Bagaimana Materi Muatan HAM Pasca Kembali ke UUD 1945?
10. Bagaimana Materi Muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945?
11. Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap HAM?
12. Bagaimana Pengadilan HAM?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat diketahui, adapun tujuan pembahasan
dari makalah ini adalah:
1. Mengetahui sejarah lahirnya Undang-Undang Dasar 1945
2. Mengetahui sejarah lahirnya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949
3. Mengetahui sejarah lahirnya Undang-Undang Dasar Sementara 1950
4. Mengetahui sejarah lahirnya kembali Undang-Undang Dasar 1945

5. Mengetahui latar belakang lahirnya Amandemen UUD 1945
6. Menelaah Materi Muatan HAM dalam UUD 1945
7. Memberi penjelasan Materi Muatan HAM dalam Konstitusi RIS 1949
8. Mengetahui Materi Muatan HAM dalam UUDS 1950
9. Memberi definisi Materi Muatan HAM Pasca Kembali ke UUD 1945
10. Mengetahui Materi Muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945
11. Menjelaskan Perlindungan Hukum terhadap HAM
12. Menjelaskan tentang Pengadilan HAM

BAB II
PEMBAHASAN
A. Lahirnya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
UUD 1945 disebut juga dengan UUD Proklamasi. Berbeda dengan
konseptualisasi HAM bagi masyarakat Barat yang lahir sebagai hasil dari
pertentangan dan perlawanan atas hegemoni kekuasaan, maka HAM yang termaktub

Syariah dan HAM

Page 2


dalam UUD 1945 lahir sebagai konsensus dari proses permufakatan yang berlangsung
secara damai.1
Pembahasan tentang lahirnya UUD 1945, dapat dibagi kedalam dua tahapan,
yaitu tahap perencanaan dan tahap penetapan serta pengesahan, adapun uraiannya
yaitu:
1. Tahap Perencanaan UUD 1945
Perencanaan UUD 1945 beserta pembukaan UUD

1945 dirancang oleh

panitia kerja yang berbeda yang dibentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Kemerdekaan Indonesia). Proses perencanaan dimulai pada tanggal 29 Mei s/d 17 Juli
1945 melalui dua kali persidangan. Sidang pertama tanggal 29 Mei s/d Juni 1945,
menghasilkan kesepakatan menerimam Pancasila sebagai dasar negara. Sidang kedua,
tanggal 10 s/d 16 Juli 1945, mulai membahas secara intensif perencanaan UUD.
Dalam rangka perencanaan pembahasan UUD di bentuk panitia kerja diantaranya
yaitu:
a. Panitia Perumus (Panitia Sembilan), yang menyusun Rancangan Pembukaan
UUD (Piagam Jakarta, 22 Juni 1945). Diantara para Anggotanya adalah: Ir.
Soekarno, Drs. Moh . hatta, Mr. Moh. Yamin, Mr. Achmad Soebardjo, Mr. AA.

Maramis, K.H. Abdul Kahar Muzakkir, K.H . Wahid Hasjim, Abikusno
Tjokrosujoso, dan K.H . Agus Salim.
b. Panitia Perancang Undang-Undang yang diketuai oleh Ir. Soekarno, dan telah
menyusun Rancangan UUD 1945 pada tanggal 11-13 Juli 1945 dan naskahnya
terdiri dari 42 Pasal.2 Khusus mengenai agenda pertama UUD mengawali
persidangan pertamanya masih diwarnai dengan diskusi agar Achmad Yamin
dimasukkan kedalam aggota pembahasan UUD meskipun pada akhirnya usul
tersebut ditolak.
Ketua BPUPKI, Radjiman Widyodiningrat, sebelumnya telah memutuskan
bahwa Yamin masuk kedalam salah seorang anggota pembahas agenda kedua, yakni
keuangan dan perekonomian yang diketuai oleh Hatta, namun Yamin menyatakan
dirinya tidak dapat memberikan konstribusinya secara maksimal.
Berdasarkan hal tesebut, secara praktis keikut sertaan Yamin dalam proses
perancangan UUD

terbilang pasif. Rancangan UUD terlihat lebih diwarnai oleh

pemikiran Soepomo, yang juga kemuadian atas usul Wangsonegoro, Soepomo
menjadi ketua panitia kecil perancang UUD.
1 Majda El- Muhtaj,M.Hum. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, cet. Ke-2, (Jakarta:

Kencana, 2007), hal. 67
2 Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, SH., MS, Hukum Konstitusi, cet. ke-2, (Malang: Setara Press, 2012),
hal. 110-112

Syariah dan HAM

Page 3

Dalam Rapat Pleno pembahasan rancangan UUD tangggal 15 Juli 1945, secara
berturut Soekarno dan Soepomo menyampaikan hasil laporan. Khusus tentang
keberadaan HAM dalam rancangan UUD terjadi semacam interaksi dialogis yang
intens antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak, dengan Yamin dan Hatta di pihak
yang lain. pihak pertama menolak memasukkan HAM, terutama yang individual, ke
dalam UUD karena menurut mereka Indonesia harus dibangun sebagai negara
kekeluargaan, sedangkan pihak kedua menghendaki agar UUD itu memuat masalahmasalah HAM secara eksplisit.
Adapun menurut Soekarno bahwasannya, mengenai HAM tidak perlu untuk
dimasukkan dalam rancangan UUD tersebut karena baginya hal demikian sudah
menjadi kesadaran otomatis, beliau menegaskan bahwa jika bangsa Indonesia betulbetul hendak mendasarkan negara ini pada paham kekeluargaan, paham tolongmenolong, paham gotong royong, dan keadilan sosial, maka kita sebagai bangsa
Indonesia harus membuang semua fikiran tentang adanya paham individualisme dan
leberalisme.

Demikian halnya pula, Soepomo menegaskan, bahwa UUD dirancang atas
paham kekeluargaan, bukan berdasar atas paham perseorangan, sedangkan peryataan
berkumpul dan berserikat dalam didalam UUD merupakan sistematik dari paham
perseorangan dan menentang paham kekeluargaan.
Disisi lain, berbeda dengan kedua pandangan tersebut, Hatta dan Yamin justru
menghendaki agar masalah HAM dimasukkan dalam UUD. Beliau mengatakan lebih
lanjut:
Memang kita harus menentang individualisme, kita mendirikan negara baru atas dasar
gotong royong dan hasil usaha bersama, tetapi suatu hal yang saya khawatirkan , jika
tidak ada suatu keyakinan atau satu pertanggungan kepada rakyat dalam UUD yang
mengenai hak untuk mengeluarkan suara, hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat
supaya negara yang kita bikin , jangan menjadi negara kekuasaan.

Sejalan dengan Hatta, Yamin menolak segala alasan yang dimajukan untuk
tidak memasukkan tentang HAM dalam rancangan UUD. Menurutnya, jika hal
tersebut tidak dijelaskan dalam hukum dasar maka hal ini merupakan kekhilafan
yang sangat besar bagi Republik kepada rakyat yang menantikan hak; misalnya
mengenai yang tertuju kepada warga negara yang akan mendapat hak, juga
penduduk yang akan dilindungi oleh Republik ini.
Akhirnya pada tanggal 16 Juli 1945, perdebatan didalam BPUPKI ini

menghasilkan sebuah kompromi sehingga diterimanya beberapa ketentuan dalam

Syariah dan HAM

Page 4

UUD.3 Adapun dalam tahap perencanaan itu dapat dikatakan hasil karya BPUPKI
antara lain:
a. Rancangan Dasar Negara Indonesia Merdeka: Pancasila
b. Rancangan Pembukaan UUD 1945 (Piagam Jakarta, 22 Juni 1945)
c. Rancangan UUD 1945 yang dibahas sejak tanggal 13 s/d 16 Juli 1945 yang
naskahnya terdiri dari 42 Pasal.
d. Memutuskan agar Indonesia lekas merdeka, bentuk Pemerintahan Republik,
wilayah negara seluas Indonesia Raya.
2.

Tahap Penetapan dan Pengesahan UUD 1945
Pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, PPKI (Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia) segera menggelar sidang pertamanya, pada 18

Agustus 1945 dan dalam keputusannya UUD yang telah dirancang oleh BPUPKI
dengan beberapa perubahan dan tambahan. Adapun hasil karya PPKI yang
berhubungan dengan tahap penetapan adalah:
a. Kata ‘Mukaddimah’ diganti menjadi ‘Pembukaan’ UUD 1945 yang berasal dari
Piagam Jakarta, dengan sedikit perubahan.
b. Perubahan yang yang prinsipil pada alenia ke-4 yaitu: kata ‘Hukum Dasar’ diganti
menjadi ‘Undang-Undang Dasar’; dan perubahan yang sangat penting, kalimat
yang berbunyi: ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluknya’, diganti dengan ‘Ketuhanan yang Maha Esa’.
c. RUUD yang semula terdiri atas 42 Pasal menjadi 37 Pasal.
d. Dua Pasal materi muatan yang mengalami perubahan yakni:
o Pasal 6 yang semula (dalam Batang Tubuh UUD) berbunyi: “Presiden ialah
orang Indonesia asli yang beragama Islam”, diubah menjadi: “Presiden ialah
orang Indonesia asli”.
o Pasal 28 yang semulaberbunyi: “Negara berdasar atas Ke-Tuhanan dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”, diubah menjadi:
“Negara berdasarkan Ke-Tuhanan yang Maha Esa (Pasal ini kemudian
menjadi Pasal 29 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945).4
B. Lahirnya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949
Arthur Shiller dalam bukunya berjudul The formation of Federal Indonesia

1945-1949” Melukiskan situasi politik Indonesia awal kemerdekaan dengan
menyatakan; “Meskipun Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945, namun tidaklah berarti kondisi sosial politik Indonesia semakin
kondusif.” Menurutnya, era 1945-1949 Negara Indonesia berada pada kondisi
3 Op.cit, Majda El- Muhtaj,M.Hum, hal. 70-71
4 Op.cit, Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, SH., MS, hal. 113-114

Syariah dan HAM

Page 5

“esatablishment of a federal form government” (Era pemantapan bentuk negara
federal). Hal ini disebabkan bahwa pasca kekalahan Jepang atas sekutu membawa
implikasi politik bagi Indonesia. Belanda dengan segala caranya berupaya
menancapkan kembali politik kolonialismenya atas Indonesia.
Realitas yang demikian mengakibatkan pemerintah dan rakyat Indonesia
disibukkan dengan upaya mempertahankan kembali derajat dan martabat kebangsaan
yang telah diraih sebelumnya. Peperangan senjata muncul dimana-mana akibat
Bekanda secara sepihak menduduki beberapa tempat, terutama kota-kota di Indonesia
untuk mendirika kembali pemerintahan Belanda.

Akibat peperangan yang terus bergejolak, pemerintah Belanda kemudian
mengambil langkah strategis baru dengan memecah belah Negara Kesatuan Indonesia
sebagai Republik Indonesia Serikat yang terdiri atas beberapa negara bagian. Khusus
untuk Negara Bagian Indonesia Timur yang dibentuk Belanda pada 24 Desember
1946 adalah yang terbesar dan kerap dijadikan model untuk satuan-satuan federal
lainnya. Rekayasa ini ditujukan untuk menciptakan ketergantungan Indonesia
sekaligus menjamin kepentingan-kepentingan Belanda di Indonesia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan dan mendesak agar
diselesaikan melalui sebuah jalan damai, yakni konferensi antara Indonesia dan
Belanda dengan melibatkan pihak ketiga, yakni BFO (Byeenkomst voor Federal
Overleg/Federal Consultative Assembly), sebuah ikatan negara-negara bagian hasil
bentukan Belanda. Konferensi tersebut akhirnya berlangsung di Den Haag, Belanda
dengan nama Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus s/d 2 November
1949. KMB menghasilkan tiga hal mendasar, yaitu:
a. Pembetukan Negara Republik Indonesia Serikat,
b. Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat,
c. Pembentukan Uni-RIS Belanda.
Penyerahan kedaulatan direncanakan 27 Desember 1949 dan sebagai dasar
berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat direncanakan sebuah Undang-Undang
Dasar yang dirancang oleh delegasi Republik Indonesia dengen BFO. Rancangan
UUD itu diberi nama Konstitusi Republik Indonesis Serikat (KRIS).
Pada tanggal 27 Desember pukul 10.17 pagi Ratu Juliana dihadapan ketiga
delegasi menandatangani Akta Penyerahan Kedaulatan yang kemudian berakibat
pada berlakunya dua hal yakni; semua persetujuan-persetujuan hasil KMB, dan
Konstitusi RIS 1949.
Dengan berlakunya RIS dan berlakunya KRIS, maka Negara Republik
Indonesia hanya berstatus sebagai salah satu dari pada “Negara Bagian” saja
didalam Negara Republik Indonesia Serikat, sebagaimana halnya negara-negara
Syariah dan HAM

Page 6

bagian yang lainnya. Adapun kekuasaan wilayahnya adalah adalah daerah yang
disebut didalam persetujuan Renville. Begitu juga dengan kedudukan UUD 1945,
dengan sendirinya juga berstatus UUD Negara Bagian Republik Indonesia.
Secara anatomik, KRIS terdiri atas dua bagian, yakni Pembukaan dan Batang
Tubuh. Berbeda dengan jumlah-jumlah Pasal dalam UUD 1945, KRIS muatannya
jauh lebih banyak, yakni 6 bab dan 197 Pasal. Meskipun demikian, KRIS hanyalah
dimaksudkan

untuk

bersifat

sementara,

meskipun

dari

namanya

tidak

mempergunakan kata ‘sementara’. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 186 yang
berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan
pemerintah selekas-lekasnya menetapkan konstitusi Republik Indonesia Serikat”.5

C. Lahirnya UUD Sementara (UUDS) 1950
Semenjak Indonesia berubah bentuk negara menjadi Republik Indonesia
Serikat dengan Konstitusi RIS. Wilayah-wilayah Indonesia dalam negara bagian
menciptakan disharmonisasi dikalangan masyarakat. Bahkan, pemerintah yang
bersifat federal ini telah melakukan revolusi dibeberapa wilayah Indonesia. Oleh
karena itu, dengan semangat dan keinginan besar rakyat Indonesia meminta bentuk
negara dikembalikan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Maka pada tanggal 19 Mei 1950 berlangsung kesepakatan antara Pemerintah
Republik Indonesia Serikat yang diwakili oleh Moh. Hatta dan Pemerintah Republik
Indonesia yang diwakili oleh A. Halim. Kesepakatan tersebut intinya persetujuan
terbentuknya pemerintahan baru dan pembubaran Republik Indonesia Serikat dan
pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah baru yang dimaksud adalah kembalinya
Indonesia kepada negara kesatuan. Ini menjadi bukti sejarah lahirnya Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950).
Peringatan HUT RI yang kelima tanggal 17 Agustus 1950 menjadi momentum
yang sangat berarti, ini menandakan terjadinya perubahan ketatanegaraan Indonesia.
Dengan segala konsekuensi, Konstitusi RIS berubah menjadi UUDS. Wujud dari
konsekuensi ini Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UUDS 1950 ini merupakan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang secara formil sebuah perubahan Konstitusi Sementara RIS.
5 Op.cit, Majda El- Muhtaj,M.Hum, hal. 72-75

Syariah dan HAM

Page 7

UUDS 1950 ini menjadi landasan dasar untuk pembentukan sebuah negara
kesatuan Indonesia. Dilihat dari sudut bentuk, UUDS 1950 merupakan bagian dari
UU Federal No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik
Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia
(LNRIS Tahun 1950 No. 56), sebab pemberlakuannya ditetapkan dalam UU tersebut.
Dengan demikian fungsi UU No. 7 Tahun 1950 hanya memberlakukan UUDS , atau
lebih tegas lagi hanya mengubah Konstitusi RIS menjadi UUDS. Dengan sendirinya
setelah UUDS 1950 ini berlaku, maka tugas UU No. 7 Tahun 1950 yang hanya
berlaku sekali menjadi selesai.
UUDS 1950 terdiri dari 6 Bab dan 146 pasal. Sebagaimana telah ditegaskan
pada paragraf diatas bahwa materi muatan UUDS 1950 adalah perubahan dari
Konstitusi RIS, maka perihal mengenai HAM juga memiliki kesamaan secara umum,
terdapat juga perbedaan yang prinsipil. Perbedaan tersebut diantaranya. Pertama, hak
dasar mengenai kebebasan agama, keinsyafan batin dan pikiran meliputi kebebasan
bertukar agama atau keyakinan, dan sebagainya sebagaimana tertuang dalam Pasal 18
Konstitusi RIS oleh Pasal 18 UUDS 1950, pernyataan meliputi kebebasan bertukar
agama atau keyakinan tidak ditegaskan lagi. Kedua, Pasal 21 UUDS 1950 mengatur
hak demonstrasi dan mogok yang sebelumnya tidak terdapat pada Konstitusi RIS.
Berdasarkan Pasal 26 ayat (3) UUDS 1950, hak milik itu adalah fungsi sosial.
Dengan ketentuan ini maka semakin jelas bahwa UUDS 1950 tidak saja
mengandalkan hak-hak asasi secara individu saja, melainkan juga penekanan kepada
fungsi dan manfaat sosial. Pencantuman HAM sebagai pribadi, keluarga, warga
negara, dan kewajiban asasi baik oleh pribadi maupun negara dalam UUDS 1950 ini
sangat sistematis. Bahkan, dengan masuknya beberapa pasal perubahan atas
Konstitusi RIS 1949, dapat dikatakan bahwa UUDS 1950 membuat terobosan baru
dalam jaminan HAM yang sebelumnya belum pernah diatur dalam HAM PBB 1948
dan Konstitusi RIS 1949.
UUDS 1950 ini berlaku tahun 1950-1959, berbeda dengan dua konstitusi
sebelumnya. Dalam UUDS 1950 ini sifat kesementaraannya lebih eksplisit
ditegaskan. Kesementaraan ini disebabkan bahwa legalitas formal proses perumusan
sebuah UUD masih diserahkan pada lembaga yang representatif dan memiliki
otoritas. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 134 Konstitusi RIS menyatakan bahwa,
Syariah dan HAM

Page 8

konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama pemerintah
menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan
Undang-Undang dasar sementara ini. Untuk pelaksanaan tersebut maka dilakukan
pemilihan umum (general election) pada tahun 1955, ini merupakan pemilihan umum
pertama sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia.6
D. Kembali Kepada UUD 1945
Berdasarkan

hasil

pemilu

1955,

sebenarnya

konstituante

diberikan

kewenangan konstitusional untuk menyusun sebuah UUD yang tepat sebagaimana
diamanatkan dalam Bab V Pasal 134 UUDS 1950, Konstituante (Sidang Pembuat
Undang-Undang Dasar) bersama-sama pemerintah menetapkan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang dasar
sementara ini.
Maka, pada tanggal 10 November 1956 sampai 2 Juni 1959 Majelis
Konstituante yang berjumlah 544 orang mengadakan sidang. Dalam sidang ini
membahas tiga agenda penting, yakni: pertama, pembahasan dasar negara pada tahun
1957; kedua, pembahasan mengenai HAM pada tahun 1958; ketiga, pembahasan
mengenai pemberlakuan kembali UUD 1945 pada tahun 1959. Dengan waktu yang
cukup lama, sangat dimustahilkan bila tidak terjadi perdebatan hangat dalam tubuh
Konstituante.
Kondisi yang kian memprihatinkan menimbulkan reaksi tersendiri di
masyarakat dan pemerintah. Desakan dari luar konstituante meminta agar Majelis
Konstituante menghentikan segala pembahasan dalam sidang dan menyatakan
kembali kepada UUD 1945. Ide ini muncul mengingat secara formal, UUDS 1950
menganut sistem pemerintahan liberal, maka agar diperoleh kembali sistem
pemerintahan dalam bentuk NKRI haruslah UUD 1945 menjadi pilihan satu-satunya.
Dengan munculnya ide ini menimbulkan reaksi di kalangan Majelis Konstituante.
Selaku presiden, Soekarno, melalui rapat Dewan Menteri tanggal 19 Februari
1959 di Bogor telah mengambil keputusan dengan suara bulat mengenai pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno menegaskan kembali kepada UUD 1945.
Demokrasi Terpimpin didasarkan pada aliansi antara partai-partai (termasuk PKI),
tentara dan presiden sebagai pihak ketiga. Keputusan Dewan Menteri ini merupakan
6 Ibid, Majda El- Muhtaj,M.Hum, hal. 76-78

Syariah dan HAM

Page 9

langkah awal kearah pemberlakuan UUD 1945. Dalam putusannya mengatakan
bahwa UUD 1945 lebih menjamin terlaksananya demokrasi terpimpin. Namun,
semuanya mengandung kelemahan-kelemahan. Sebab segala sesuatu akan tergantung
dari presiden yang mempraktikan politik perimbangan. Meskipun demikian, dalam
keputusan Dewan Menteri harus dipertahankan secara keseluruhan dan mengenai
perubahan UUD 1945 dikembaliokan pada pernyataan Pasal 37 UUD 1945.
Dengan belum kondusifnya perpolitikan Indonesia serta terjadinya petarungan
faham dan ego membuat Presiden Soekarno menyatakan negara dalam kondisi darurat
(Staat van Oorlog en Beleg). Maka dengan alasan itu presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan: pertama, pembubaran
Konstituante; kedua, memberlakukan kembali UUD 1945, dan ketiga, penarikan
kembali UUD 1950 dan, dalam waktu sesingkat-singkatnya, mendirikan lembagalembaga kenegaraan sesuai dengan UUD 1945.7 Keluarnya dekrit ini membuat
kembali berlakunya UUD 1945 dan menyatakan UUD 1950 tidak berlaku lagi.
Berlaku kembalinya UUD 1945 tidak membuat materi muatan HAM berubah.
Meskipun diakui bahwa materi muatan HAM sangat rumit. Kehendak Dekrit presiden
5 Juli 1959 mengakibatkan secara serta merta apa yang tertuang dalam UUD 1945
pada saat pertama kali berlaku semenjak Proklamasi Kemerdekaan RI menjadi
sepenuhnya berlaku kembali sejak dikeluarkan Dekrit presiden tersebut. Ini berarti
jaminan konstitusi atas HAM tidak sempurna dan tidak tegas. Pengaturan HAM
dalam UUD 1945 sangat tergantung sekali pada konfigurasi politik tertentu. Jika
konfigurasi politik demokrasi, maka HAM memperoleh tempat dan implementasi
yang relatif proporsional, tetapi jika konfigurasi politik bekerja dibawah payung
otoriter maka HAM pun akan mendapatkan perlakuan yang buruk. Tidak saja
mengenai HAM, tetapi dalam segenap peraturan dibawahnya. Kesemuanya itu sangat
dipengaruhi oleh konfigurasi politik tertentu. Kebijakan penguasa adalah manifestasi
dari format dan paradigma pemerintahan yang dijalankan, demokratis atau mengarah
kepada otoritarianisme.8
E. Lahirnya Amandemen UUD 1945

7 Ibid, hal. 79-82
8 M. Dimyati Hartono, Problematika dan Solusi Amandemen UUD 1945 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2009), hlm. 24.

Syariah dan HAM

Page 10

Isu mengenai perubahan UUD 1945 bukanlah isu yang baru berkembang. Hal
ini terlihat dari histori perubahan UUD merupakan wacana penting bahkan menjadi
perdebatan yang hangat para pendiri bangsa. Karena UUD 1945 harus benar-benar
dapat sesuai dengan tingkat perubahan zaman Indonesia. Isu perubahan UUD 1945
pertama kali muncul pada sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 yang dikemukakan
oleh S. Kolopaking. Kemudian ide perubahan tersebut dilanjutkan oleh Iwa Kusuma
yang mengatakan sebagai berikut:
. . . maka benarlah bahwa ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Akan tetapi meskipun
demikian, ada syarat-syarat dari suatu Undang-Undang Dasar, yang tidak boleh
dilupakan. . . salah satu perubahan yang akan saya tambahakan, yang saya usulkan
tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Disini belum ada artikel tentang perubahan
Undang-Undang Dasar dan ini menurut pendapat saya masih perlu diadakan.

Berdasarkan hal tersebut, Soepomo memberikan jawaban secara langsung. Ia
mengatakan seabagai berikut:
Berhubungan dengan usulan tuan Iwa itu, memang harus ada Bab XVI, tentang
perubahan Undang-Undang Dasar. Yaitu, yang memuat pasal baru ayat (1) yang
menentukan, bahwa untuk mengubah Undang-Undang Dasar, sekurang-kurangnya 2/3
anggota harus hadir. Jadi, untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya
2/3 dari banyaknya anggota harus hadir dalam sidang. Dan, ayat (2) bahwa putusan
diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada yang hadir. 9

Pada masa Orde Lama maupun Orde Baru niat baik untuk melahirkan
formulasi Undang-Undang Dasar yang baru dan komperehensif tidak pernah tercapai.
Hal ini ditandai dengan rezim yang berkuasa pada masing-masing periode. Mereka
berupaya mempertahankan tampuk kekuasaan dengan cara mensakralkan UndangUndang Dasar. Sudah jelas barang tentu bila Undang-Undang Dasar disakralkan akan
banyak terjadinya KKN, memasung semangat demokrasi dan penegakan hukum, dan
memberi peluang tumbuhnya pemerintahan yang otoriter, anti kritik dan anti
perbedaan pendapat. Dan jika ada pihak yang ingin merubah Undang-Undang Dasar
dianggap sebagai “makar” terhadap negara.
Tergelincirnya rezim Soeharto dari tampuk kekuasaan pada Mei 1998
membawa angin segara terhadap reformasi Indonesia. Bagaimana tidak, selaku
Presiden yang pernah menjabat selama 32 tahun, ia telah membuat kesalahan baik
kepada negara dan warga negara. Mengingat kekejamannya yang bersifat otoriter
9 Ibid, hal. 83

Syariah dan HAM

Page 11

telah banyak mencekam hak individu orang-orang. Dengan runtuhnya rezim ini maka
amanat reformasi adalah Perubahan dasar UUD 1945 yang dipandang telah
menciptakan multitafsir. Penafsiran sepihak telah dirasakan sebagai energi negatif
terhadap perkembangan pembangunan Indonesia kedepannya.
K. C. Wheare seorang ahli hukum tata negara Inggris mengatakan bahwa
sebuah proses perubahan dihampir semua konstitusi modern harus dilakukan dengan:
(1) pertimbangan yang masak, tidak secara serampangan dan dengan sadar; (2)
melibatkan peran serta masyarakat secara aktif atas perubahan yang ada; (3)
terjaminnya hak-hak pribadi dan masyarakat.10 Ketiga poin tersebut mengisyaratkan
bahwa pentingnya prasyarat dalam melakukan proses amandemen. Keniscayaan
tersebut mengisyaratkan pula terbinannya kesadaran kolektif berbangsa akan penting
sebuah mekanisme perubahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab bersama
demi keutuhan, kelangsungan dan masa depan rakyat Indonesia.
Pada tanggal 19 Oktober 1999, melalui Tap MPR No. IX/MPR/1999, Majelis
menugaskan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja (PAH I BP MPR) menyiapkan rancangan
perubahan UUD 1945. Untuk disahkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal 18
Agustus 2000. Oleh karena PAH I BP MPR tak mampu menyelesaikan perubahan
UUD 1945 secara tuntas, maka masa kerja PAH I BP MPR diperpanjang sampai
Sidang Tahunan MPR 2002. Terlambatnya penyelesaian ini dikarenakan terbatasnya
waktu bagi anggota PAH I BP MPR akibat disibukan oleh agenda persidangan MPR,
DAP dan PAH I BP MPR sendiri dan kaburnya muatan subtansial serta batasanbatasan perubahan yang dilakukan sebagai akibat tarik menarik kepentingan politik.
Adapun perubahan-perubahan itu diantaranya:
1. Perubahan I UUD 1945 pada tanggal 14-21 Oktober 1999 dalam Sidang Umum
MPR. Perubahan ini terdiri dari 9 pasal, yaitu Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21. Secara umum perubahan ini
menyoroti kekuasaan presiden.
2. Perubahan II pada tanggal 7-18 Agustus 2000. Pada Sidang Tahunan MPR.
Perubahan ini terdiri dari 5 bab dan 25 pasal, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, Pasal
18B, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E,
Bab X, Pasal 26, Pasal 27, Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D,
Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal
30 Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B dan Pasal 36 C. Secara umum perubahan ini
10 Ibid, hal. 84-86

Syariah dan HAM

Page 12

menyoroti aspek desentralisasi, pemberdayaan DPR, penyempurnaan HAM,
pertahanan negara dan atribut negara.
3. Perubahan III pada tanggal 1-9 November 2001 pada Sidang Tahunan MPR.
Perubahan ini terdiri dari 3 bab dan 22 pasal, yaitu Pasal 1, Pasal 3, Pasal 6, Pasal
6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17, Bab VIIA, Pasal
22C, Pasal 22D, Bab VIIB, Pasal 22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA,
Pasal 23E, Pasal 23F Pasal, 23G, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 24C.
Secara umum perubahan ini menyoroti penyempunaan atas pelaksanaan
kedaulatan rakyat, pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung dan
pembentukan beberapa lembaga negara, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
Makamah Konstitusi(MK), dan Komisi Yudisial (KY).
4. Perubahan IV pada tanggal 1-11 Agustus 2002 pada Sidang Tahunan MPR.
Perubahan ini terdiri dari 2 bab dan 13 pasal, yaitu Pasal 2, Pasal 6A, Pasal 8,
Pasal 11, Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 31, Pasal 32, Bab XIV,
Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 37. Perubahan ini bersifat penyempurnaan dari
Perubahan III UUD 1945. Diantara yang mendasar adalah Pasal 6A ayat (4)
tentang pemilu presiden dan wakil presiden putaran kedua.11
Meskipun Undang–Undang Dasar ini telah diamandemen sebanyak 4 kali,
namun masih saja terjadi prokontra. Dalam konteks amandemen dan hasil amandemen
ini, dasar hukum dan format hukumnya tidak jelas, bukan dalam bentuk TAP MPR,
bukan pula UU atau peraturan hukum yang lain tetapi hanyalah risalah rapat Paripurna
MPR. Risalah sebuah rapat dapat mengubah dasar negara yang berisi sember hukum
tertinggi, falsafah bangsa, idiologi negara, konsepsi nasional, dll. Yang tertuang dalam
UUD melalui amandeman, itulah kesalahan konstitusional yang fatal dalam sejarah
dan tidak boleh terulang lagi.12
Perlu diketahui, dalam makalah yang diselenggarakan oleh Forum Rektor dan
disponsori oleh NDI (National Democratic Institute) di Jakarta, pada tanggal 8 Juni
2001 dan Medan 21 Juni 2001, Drs. Jacob Tobing, MPA menyebutkan 5 (lima )
kesepakatan MPR. Sedangkan, laporan yang mengatasnamakan Fraksi PDI-P
menyebutkan 6 butir kesepakatan dan yang tidak dituangkan adalah butir keempat
tentang prinsip check and balance. Jadi, dasar hukum dilakukan amandemen terhadap

11 Ibid, hal. 87-90
12 Op.cit, M. Dimyati Hartono, hal. 33.

Syariah dan HAM

Page 13

UUD 1945 adalah hanya karena adanya satu kesepakatan MPR tanpa format hukum
yang jelas, yang menyangkut 5 hal, sebagai berikut:
1. MPR tetap mempertahankan Pembukaan UUD 1945;
2. MPR tetap mempertahankan bentuk Negara NKRI;
3. Tetap menggunakan sistem pemerintahan presidensial;
4. Mengahpus penjelasan UUD 1945 dengan catatan hal-hal yang normatif dalam
Penjelasan akan dipindahkan kedalam pasal-pasal UUD;
5. Perubahan dilakukan dengan cara adendum.
Itulah dasar hukum 5 (lima) butir isi kesepakatan MPR yang dipakai sebagai
dasar hukum melakukan amandemen yang ternyata juga dilanggar oleh MPR sendiri
dan hasilnya pun menimbulkan kontoversi, problematik dan konflik dilapangan.13
Oleh karena itu UUD 1945 harus memiliki kekuatan fundamental dan menjadi
referensi bagi kerangka pembangunan nasional. Atas dasar itu, UUD 1945 yang
diamandemen harus melalui proses kerja yang bijaksana. Dorongan kearah terciptanya
konstitusi baru yang lebih mengutamakan kepentingan dan masa depan rakyat adalah
cita-cita seluruh rakyat Indonesia. Kehadiran konstitusi adalah sebuah keniscayaan.
Maka proses penyempurnaan dan kematangan mutlak dilakukan. Persoalan konstitusi
adalah persoalan eksistensi bangsa dalam menjawab perkembangan dan perubahan
zaman.
Dengan telah dilakukannya amandemen UUD 1945 yang keempat, maka ini
merupakan hasil akhir dari sebuah UUD 1945 untuk saat ini. Meskipun masih ada
juga prokontra terhadap hasil amandemen tapi setidaknya UUD 1945 pasca
amandemen telah memberikan angin segar khususnya terhadap HAM. Sebelum
amandemen HAM dalam UUD 1945 tidak tersusun secara sistematis. Semenjak
amandemen kedua UUD 1945 maka HAM terdapat dalam bab tersendiri, yakni Bab
XA mengenai Hak Asasi Manusia dengan 10 pasal. HAM bukan lagi kehendak isu
global melainkan syarat negara hukum. Serta seringkali dijadikan salah satu indikator
untuk mengukur tingkat peradaban, demokrasi dan kemajuan suatu bangsa.
Kehadiran perubahan kedua UUD 1945 mengenai HAM merupakan suatu
kemajuan yang signifikan, sebagai buah dari perjuangan panjang para pendiri bangsa.
Selain karena terdapatnya dalam satu bab tersendiri, hal lain adalah berisikan pasalpasal yang berkaitan langsung dengan HAM, baik secara pribadi maupun sebagai
warga negara Indonesia. Secara subtansional materi muatan HAM memuat berbagai
13 Ibid, hal.34

Syariah dan HAM

Page 14

hal kepentingan manusia yang harus dijaga, dipelihara, dijamin dan dilindungi sebagai
bentuk komitmen jaminan konstitusi atas penegakan hukum dan HAM di Indonesia.
Namun secara redaksional dan jangkauan lingkup HAM masih terbilang
sederhana bahkan tidak menggambarkan sebuah komitmen atas penegakan hukum
dan HAM. Ini terlihat masih adanya pasal yang tumpang tindih dan tidak
ditemukannya daya desak penegakan hukum dan HAM oleh negara dalam bentuk
kewajiban-kewajiban kongkrit secara eksplisit. Sehingga kelihatan bahwa perubahan
UUD 1945 yang kedua tidak memiliki kejelasan. Hal ini dikuat dengan pandangan
Saldi Isra, sebagaimana dikutip Majda El-Muhtaj, materi muatan HAM dalam
perubahan kedua UUD 1945 tidak konsisten dalam merumuskan kategorisasi hak-hak
asasi, apakah pembagiannya menurut kategori hak sipil dan hak ekonomi, sosial dan
budaya ataukah mendefinisikannya dengan menggunakan pembagian atas derogable
right dan nonderagable right, ataukah merumuskannya dengan cara memuat hak-hak
individu, komunal, dan vulnerable right.
Ketidakjelasan makna ini terlihat dari Bab Pasal 27 ayat (3) dengan Bab XII
Pasal 30 ayat (1) tentang hak atas pembelaan negara. Bab XA Pasal 28D dengan Bab
X Pasal 27 ayat (1) tentang hak atas equality before the law (persamaan dihadapan
hukum). Bab XA Pasal 28F dengan Pasal 28 tentang berserikat dan berkumpul.
Ketidakjelasan ini memberikan pengaruh terhadap penegakan HAM dalam muatanmuatan HAM yang diatur tersebut. Ketidakjelasan lain akibat penggabungan muatan
HAM dengan muatan HAM lain yang tidak sinkron. Seperti Bab XA Pasal 28C yang
menggabungkan hak atas kebutuhan dasariah dengan hak mendapatkan pendidikan
dan seni budaya. Serta Bab XA Pasal 28E menggabungkan hak beragama dengan hak
mendapatkan pekerjaan dan hak atas kewarganegaraan.
Pada perubahan kedua UUD 1945 khususnya mengenai HAM, terlihat jelas
bahwa HAM jauh dari sempurna. Secara redaksional menurut Satya Arianto,
sebagaimana dikutip Majda El-Muhtaj, bahwa materi muatan HAM dalam perubahan
kedua UUD 1945 sebagian besar merupakan pasal-pasal yang berasal atau setidaktidaknya memiliki kesamaan dengan pasal-pasal HAM sebagaimana diatur dalam Tap
MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Sudah jelas barang tentu materi muatan HAM dalam
perubahan kedua tidak berdiri sendiri dan aturan ini memberikan pengaruh besar
terhadap rumusan materi HAM pada perubahan kedua UUD 1945.14
14 Muladi, Hak Asasi Manusia (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), hal. 46.

Syariah dan HAM

Page 15

F. Jaminan Konstitusi atas HAM dalam UUD Tahun 1945, Konstitusi RIS 1949,
UUDS 1950, Kembali Kepada UUD 1945 dan Latar Belakang Lahirnya
Amandemen UUD 1945.15
1) Materi Muatan HAM dalam UUD 1945
Menyikapi jaminan UUD 1945 atas HAM, terdapat pandangan yang beragam,
yaitu ada tiga kelompok pandangan, yakni:
a. Mereka yang berpandangan bahwa UUD 1945 tidak memberikan jaminan
atas HAM secara komprehensif. Pandangan ini didukung oleh Mahfud MD
dan Bambang Sutiyoso, hal ini didasarkan bahwa istilah HAM tidak
ditemukan secara eksplisit dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun
Penjelasannya. Bahkan menurut Sutiyoso didalam UUD 1945 hanya
ditemukan pencantuman dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warga
Negara dan hak-hak DPR. Menurut Mahfud tidak sedikit orang yang
berpendapat bahwa UUD 1945 itu sebenarnya tidak banyak member perhatian
pada HAM , bahkan UUD 1945 tidak berbicara apapun tentang HAM
universal kecuali dalam dua hal, yaitu Sila keempat Pancasila dan Pasal 29
yang menderivasikan jaminan “kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk
agama dan beribadah”, Selebihnya hanya berbicara mengenai HAW (Hak
Asasi Warganegara). Dimana HAM dan HAW mempunyai makna yang
berbeda yaitu HAM mendasarkan diri pada paham bahwa secara kodrati
manusia itu dan di manapun mempunyai hak-hak bawaan yang tidak bisa
dipindah, diambil atau dialihkan. Sedangkan HAW hanya mungkin diperoleh
karena seseorang memiliki status sebagai warga Negara. Hal inilah yang
membuat adanya kesan bahwa Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945
tidak memiliki semangat yang kuat dalam memberikan perlindungan HAM
atau lebih menganut keinginan untuk membatasi HAM .
b. Mereka yang berpandangan UUD 1945 memberikan jaminan atas HAM
secara komprehensif. Pandangan ini didukung oleh Soedjono Sumobroto,
Marwoto, Azhary, dan Dahlan Thaib. Sumobroto dan Marwoto mengatakan
UUD 1945 mengangkat fenomena HAM yang ada dalam masyarakat. Atas
dasar itu HAM yang tersirat dalam UUD 1945 bersumber pasa falsafah dasar
15 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 94-118.

Syariah dan HAM

Page 16

dan pandangan hidup bangsa yaitu pancasila. Penegakan HAM diindonesia
sejalan dengan implementasi dari nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
bernegara dan berbangsa, dengan kata lain bahwa Pancasila merupakan nilainilai HAM yang hidup dalam kepribadian bangsa. Sedangkan menurut Dahlan
Thaib dalam Pembukaan dan Batang Tubuh maupun penjelasannya ditemukan
15 prinsip HAM. Jadi hal ini sudah cukup membuktikan bahwa UUD 1945
sangat menjamin HAM.
c. Mereka yang berpandangan bahwa UUD 1945 hanya memberikan pokokpokok jaminan atas HAM. Pandangan ini didukung oleh Kuntjoro
Purbopranoto, G.J. Wolhoff dan Solly Lubis. Menurut Kuntjoro, jaminan
UUD 1945 terhadap HAM bukan tidak ada, melainkan dalam ketentuanketentuan UUD 1945 mencantumkannya secara tidak sistematis. Solly Lubis,
menegaskan bahwa ketika demokrasi diakui sebagai pilihan terbaik bagi
system dan arah kehidupan sebuah bangsa, pada umumnya orang tiba pada
suatu prinsip umum bahwa pada hakikatnya hak-hak asasi itu harusnya
mendapat jaminan sesuai dengan asas demokrasi yang berlaku dan mendasari
sistem politik dan kekuasaan yang sedang berjalan, selain itu menurut Solly
Lubis UUD 1945 tetap mengandung pengakuan dan jaminan yang luas
mengenai hak-hak asasi walaupun harus diakui secara redaksional formulasi
mengenai hak-hak itu sangat sederhana dan singkat.
2) Materi Muatan HAM dalam Konstitusi RIS 1949
Konstitusi RIS memberikan penekanan yang signifikan tentang HAM. Hal
tersebut diatur dalam Bab 1 Bagian 5 Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar
Manusia yang terbentang dalam 27 pasal. Selain itu, Konstitusi RIS juga mengatur
kewajiban asasi Negara dalam hubungannya dengan upaya penegakan HAM yang
terdapat dalam Bab 1, Bagian 6 Asas-Asas Dasar yang terbentang dalam 8 pasal.
Penekanan dan Jaminan Konstitusi RIS atas HAM secara historis sangat
dipengaruhi oleh keberadaan DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)
yang dirumsukan oleh PBB pada 10 Desember 1948. Dalam konteks Negara-Bangsa
maka diseminasi HAM versi PBB pada waktu itu sangat dirasakan mempengaruhi
Konstitusi-Konstitusi Negara-negara di dunia, termasuk Konstitusi RIS 1949
Meskipun tidak ditemukan kata Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi RIS
namun ada tiga kalimat yang digunakan yakni, setiap/segala/sekalian orang/siapa
Syariah dan HAM

Page 17

pun/tiada seorang pun, setiap warga Negara dan berbagai kata yang menunjukkan
adanya kewajiban Hak Asasi Manusia dan Negara. Keseluruhan kata ini dapat
ditafsirkan kepada makna dan pengertian HAM yang sesungguhnya. Dengan kata lain,
manusia secara pribadi, kelompok, keluarga, dan sebagai warga Negara benar-benar
ditegaskan sebagai mereka yang mendapatkan jaminan dalam Konstitusi RIS.
Dapat dikatakan bahwa HAM didalam Konstitusi RIS menempati posisi
penting yang menunjukkan terdapatnya sebuah jaminan perlindungan yang ideal.
Meskipun, Konstitusi RIS terbilang sementara namun kenyataannya muatan-muatan
hak-hak asasi tersebut semakain dikuatkan dengan terdapatnya kewajiban asasi yang
harus dilaksanakan oleh penguasa/pemerintah.
3) Materi Muatan HAM dalam UUDS 1950
Secara Anatomik UUDS 1950 terdiri atas 6 Bab dan 146 Pasal yang
membahas tentang HAM, karena materi muatan UUDS 1950 adalah perubahan atas
Konstitusi RIS 1949 maka perihal HAM juga disamping memiliki kesamaan secara
umum terdapata juga perbedaan-perbedaan yang prinsipil.
Menurut catatan Soepomo setidaknya terdapat tiga perbedaan mendasar
Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 dalam hal penegasannya tentang HAM,
yaitu:


Hak dasar mengenai kebebasan agama, keinsyafan batin dan pikiran
meliputi kebebasan bertukar agama atau keyakinan sebagaimana yang



tertuang dalam Pasal 18 UUDS 1950
Dalam pasal 21 UUDS 1950 diatur perihal hak berdemonstrasi dan hak



mogok yang sebelumnya tidak terdapat pada Konstitusi RIS
Dasar perekonomian sebagaimana dimuat pada pasal 33 UUD 1945
diadopsi kedalam pasal 38 UUDS 1950, selain itu, Pasal 37 ayat (3)
melarang organisai-organisasi yang bersifat monopoli partikelir yang
merugikan ekonomi nasional.

Hal lain yang menarik dalam UUDS 1950 adalah penegasan secara eksplisit
bahwa hak milik berfungsi sosial, sebagaimana diatur dalam pasal 26 ayat (3).
Dengan ketentuan ini semakin jelas bahwa UUDS 1950 tidaklah mengandalkan hak-

Syariah dan HAM

Page 18

hak asasi secara individual, melainkan juga penekanan kepada fungsi dan manfaat
sosial.
Pencantuman HAM sebagai pribadi, keluarga, warga Negara dan kewajiban
asasi baik oleh pribadi, warga Negara maupun Negara dalam UUDS 1950 dinilai
sangat sistematis. Bahkan dengan masuknya beberapa pasal perubahan atas
Konstitusi RIS 1949, dapat dikatakan bahwa UUDS 1950 membuat terobosan baru
dalam jaminan HAM yang sebelumnya belum pernah diatur dalam HAM PBB
Tahun 1948 dan Konstitusi RIS 1949.
4) Materi Muatan HAM Pasca Kembali ke UUD 1945
Materi muatan HAM dalam UUD 1945 tidak mengalami perubahan apapun.
Meskipun diakui materi muatan HAM dalam UUD 1945 sangat sumir namun
kehendak Dekrit mengakibatkan bahwa secara serta merta apa yang tertuang dalam
UUD 1945 pada saat pertama kali berlaku sejak Proklamasi Kemerdekaan RI menjadi
sepenuhnya berlaku kembali sejak 5 Juli 1959. Todung Mulya Lubis mengatakan
bahwa kembali berlakunya UUD 1945 berarti bahwa jaminan Konstitusi atas HAM
menjadi tidak sempurna dan tidak tegas.
Sisi fleksibilitas UUD 1945 mengakibatkan fleksibel pula arah dan penegakan
HAM diindonesia. Akibatnya muatan HAM didalam UUD 1945 menurut Mahfud MD
sangat tergantung dari konfigurasi politik tertentu. Jika konfigurasi politik demokratis,
maka HAM memperoleh tempat dan implementasi yang relatif proporsional tetapi jika
konfigurasi politik sedang bekerja dibawah paying otoritarian maka HAM pun akan
mendapat perlakuan yang buruk.
5) Materi Muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945
Salah satu poin penting dari perubahan kedua UUD 1945 adalah mengenai
Hak Asasi Manusi (HAM). Berbeda dengan UUD 1945, perubahan kedua UUD 1945
memasukkan perihal HAM menjadi satu Bab tersendiri yakni Bab XA mengenai
HAM dengan 10 Pasal.
Banyak kalangan memandang bahwa pencantuman Bab khusus mengenai
HAM dalam UUD merupakan “lompatan besar” dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia. Pasal-pasal HAM sebagaimana terdapat pada UUD 1945 dinilai sangat
Syariah dan HAM

Page 19

singkat dan sederhana. Maka kehadiran perubahan kedua UUD 1945 merupakan suatu
kemajuan yang signifikan, sebagai buah dari perjuangan panjang dari para pendiri
bangsa.
Muatan HAM dalam perubahan kedua UUD 1945 jauh melebihi ketentuan
yang pernah diatur dalam UUD 1945, selain karena terdapatnya satu bab tersendiri hal
lain adalah berisikan pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan HAM baik secara
pribadi maupun sebagai warga Negara Indonesia . Muatan HAM dalam perubahan
kedua UUD 1945 dapat dikatakan sebagai bentuk komitmen jaminan konstitusi atas
penegakan hukum dan HAM di Indonesia.
Mengenai perkembangan generasi HAM kelihatan dengan terang bahwa
muatan HAM yang diatur dalam Perubahan Kedua UUD 1945 tidak memiliki
kejelasan. Ketidakjelasan ini kemudian semakin kelihatan ketika pasal-pasal HAM
tersebut tidak memberikan penegasan tentang penegakan HAM itu sendiri. Dengan
kata lain, menurut Saldi Isra’ tidak ditemukan pasal-pasal enforcement dalam
penegakan HAM secara konkret, yang ditemukan hanyalah bahwa pengaturan lebih
lanjut tentang HAM diatur dalam peraturan perundang-undangan.
HAM yang diatur dalam Perubahan UUD 1945 masih terbilang konvensional
karena apa yang ditegaskan adalah hal klasik yang setiap manusiapun mengerti dan
memahaminya sebagai hak universal seperti hak hidup, hak tumbuh dan berkembang
dan hak atas perlakuan adil dan lain-lainnya. Bisa dikatakan materi muatan HAM dala
Peubahan UUD 1945 ini sudah jauh dari sempurna, secara Redaksional Satya
Arinanto mengatakan bahwa materi muatan HAM dalam Perubahan UUD 1945
sebagian besar merupakan pasal-pasal yang berasal atau setidak-tidaknya memiliki
kesamaan dengan pasal-pasal HAM sebagaimana diatur dalam Tap MPR No
XVII/MPR/1998/Tentang HAM dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Jadi, harus diakui bahwa pengaturan materi muatan HAM dalam UUD 1945,
khususnya setelah berlakunya Perubahan UUD 1945 adalah sebuah keberhasilan
sekaligus sebagai The Starting Point dalam upaya penegakan hukum dan HAM di
Indonesia. Perubahan kedua UUD 1945 khususnya pada Bab XA tentang HAM
memberikan landasan gerak yang signifikan bagi jaminan Konstitusi atas HAM
Indonesia.

Syariah dan HAM

Page 20

G. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Manusia
Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hakhak dan kewajiban-kewajiban subyek hukum agar dapat menjalankan kewajibannya
dengan baik. Hukum berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subyek hukum.
Menurut Philipus yang dikutip oleh Bahder, perlindungan hukum bagi rakyat
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan represif.
Perlindungan hukum preventif, rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan
keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat
bentuk yang defenitif, artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk
mencegah terjadinya sengketa, sedangkan perlindungan hukum yang represif
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.16
Menurut Irawan dalam kajian Hukum Administrasi Negara, tujuan
pembentukan peradilan administrasi negara (Peradilan Tata Usaha Negara) adalah
memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari ha-hak
individu dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan
pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.17
Berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dengan
UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, perlindungan hukum
akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu
melalui banding administrasi atau upaya administrasi dan melalui peradilan.
Menurut Sjahran Basah, perlindungan hukum yang diberikan merupakan
qonditio sine qua non dalam menegakkan hukum. Penegak hukum merupakan
qonditio sine qua non serta untuk merealisasikan fungsi hukum tersebut. Adapun
fungsinya yaitu:
1.

Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang
hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara.

2.

Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa.

16Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung: Mandar Maju, 2011, hal.
258
17Ibid, Bahder, hal. 259

Syariah dan HAM

Page 21

3.

Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

4.

Perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi negara
maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat.

5.

Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun
warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan
keadilan.
Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan kedalam dan melalui organ-

organ negara, sering terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan, karena itu
sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap
hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan HAM ini bahkan
diadopsi kedalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal
dengan aliran konstitusionalisme. Aliran inilah yang memberi warna modern terhadap
ide-ide demokrasi, sehingga perlindungan konstitusional terhadap HAM dianggap
sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis.
Dengan kata lain, isu HAM itu berhubungan dengan persoalan penegak hukum dan
keadilan itu sendiri.
H. Pengadilan HAM
Istilah pengadilan HAM sering dipertentangkan dengan istilah pidana, karena
pada hakikatnya kejahatan yang merupakan kewenangan pengadilan HAM juga
merupakan perbuatan pidana. UU No. 26 Tahun 2000 yang menjadi landasan
berdirinya pengadilan HAM, mengatur tentang beberapa kekhususan atau pengaturan
yang berbeda dengan pengaturan dalam hukum acara pidana.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 ini dikeluarkan dengan dasar
pertimbangan moral dan yuridis. Dasar pertimbangan moralnya adalah bahwa HAM
merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
universal, dan langgeng. Oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan
dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada dalam runag
lingkup atau lingkunga peradilan umum yang diberi wewenang memeriksa dan
memutus pelanggaran HAM berat. Sifat khusu pelanggaran HAM ini tercermin dari
kewenangannya yang terbatas hanya mengadili pelanggaran HAM berat dan
berdasarkan atas retroaktif yang dimilikinya serta tidak mengenal kadaluarsa untuk
Syariah dan HAM

Page 22

mengadili pelanggaran HAM berat. Secara rinci kekhususan yang dimaksud dalam
penanganan pelanggaran HAM berat dapat dirumuska

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Siapakah "Fulanan" Dalam Surah Al-Furqan Ayat 28?

5 75 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24