Beberapa Pendapat Mahfud MD tentang Kons

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/312328799

Beberapa Pendapat Mahfud MD tentang
Konstitusi dan Hukum
Article · January 2017

CITATIONS

READS

0

4,484

1 author:
Manik Sukoco

Universitas Negeri Yogyakarta
23 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE


Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
The Problems of Implementing Scientific Approach Faced by Civics and Citizenship Education
Teacher at SMP Negeri 1 Grujugan View project

International Perspective of Civics and Citizenship Education View project

All content following this page was uploaded by Manik Sukoco on 15 January 2017.
The user has requested enhancement of the downloaded file.

BEBERAPA PENDAPAT MAHFUD MD
TENTANG KONSTITUSI DAN HUKUM

SUDAH HABIS TEORI DI GUDANG
(Kompas, 11 Oktober 2005)
Amandemen konstitusi dalam sistem ketatanegaraan sudah membawa kemajuan bagi
demokrasi dan nomokrasi, tetapi praktik politik dan penegakan hukum di lapangan
masih menghadapi banyak masalah karena ditorpedo oleh politik
Seluruh teori dan konsep sudah coba dipakai, tidak ada lagi yang tersisa untuk
ditawarkan. Bahkan teori penyebab ketidakmanjuran teori yang dipakai pun sudah
habis. Agenda utama reformasi untuk menegakkan hukum dan memberantas KKN

hingga kini masih amat jauh dari harapan. Kasus-kasus korupsi lama hampir tidak ada
yang terselesaikan sedangkan kasus-kasus baru bermunculan secara beruntun.
Penegakan hukum tetap amburadul, ekonomi terus memburuk karena KKN menggila.
Hal ini disebabkan oleh dua hal: 1) Orang-orang, prosedur, dan mekanisme birokrasi
pemerintahan kita masih yang dulu. 2) Politisi kita masih banyak pemain lama.
Ada dua prasyarat yang bisa dilakukan untuk melakukan perubahan pada negara ini: 1)
Meletakkan para pejabat puncak pada tiap unit pemerintahan dari kalangan yang
bersih dan berani. 2) Pejabat puncak yang terpilih harus memiliki keterampilan
memimpin terkait tugas yang sedang diembannya.

OPERASI CAESAR PENEGAKAN HUKUM
(Kompas, 30 Desember 2005)
Korps hakin kita terserang paranoid solidarity, jika ada yang terlibat penyuapan atau
mafia peradilan, maka para hakim yang lain ramai-ramai melakukan pembelaan
dengan mengatasnamakan independensi lembaga peradilan. Secara normatif, mereka
mendukung pemberantasan KKN dan pembersihan dunia peradilan dari berbagai
kolusi, tapi mereka menyesalkan tindakan KPK yang tidak menghormati sesama
lembaga negara, melanggar prosedur, dan mencederai independensi lembaga
peradilan.
Dalam situasi yang tidak normal bisa saja dilakukan tindakan yang secara procedural

tidak normal pula, asalkan dibuat alasan-alasan yang tepat namun di Indonesia para
penegak hukum terlanjur terserang paranoid solidarity (solidaritas kalap).
Kebebasan menjadi kenekatan. Keadaan ini membawa perkembangan sangat buruk
pada dunia peradilan kita. Demi memperoleh kebebasan, rakyat nekad menyuap aparat
penegak hukum. Situasi ini sungguh mengerikan.
Karena upaya penegakan hukum sulit dilakukan melalui prosedur normal, maka
tindakan Caesar (tindakan yang secara procedural tidak normal, tetapi terpaksa
dilakukan karena jalan yang normal tidak bisa dilakukan) bisa dimaklumi.

HUKUM DALAM POLITIK OLIGARKIS
(Jawa Pos, 5 Mei 2006)
Meskipun hasil amandemen atas UUD 1945 sudah membawa kemajuan dalam sistem
kenegaraan, namun tampilnya praktik politik yang oligarkis telah menyebabkan hukum
menjadi tidak responsif.
Karakter produk dan penegakan hukum selalu berubah sesuai dengan perubahanperubahan politik sehingga upaya mengubah hukum menjadi responsif harus didahului
dengan perubahan konfigurasi politik agar menjadi demokratis sebab tidak mungkin
tercipta hukum yang responsif dari politik yang tidak demokratis.
Konfigurasi politik kita saat ini bukanlah demokratis, melainkan oligarkis, yakni suatu
konfigurasi politik yang didominasi oleh kelompok elite yang mengerjakan politik
melalui transaksi-transaksi yang saling memberi keuntungan politik diantara mereka.

Pada awal reformasi memang terlihat bahwa konfigurasi politik berubah arah dari
otoriter menuju demokratis sehingga berhasil memproduksi berbagai UU yang
responsif, namun situasi tersebut hanya berlangsung tidak lebih dari 2 tahun karena
berbelok ke arah oligarkis. Ide reformasi kita tentang demokratisasi telah dicuri dan
dibuang oleh petualang-petualang politik yang korup yang berkoalisi dengan
penguasaha-pengusaha hitam. Agenda penting untuk membangun hukum yang
responsif adalah mendorong perubahan agar tampil konfigurasi politik yang
demokratis. Namun itu tidaklah mudah karena perubahan itu akan sangat bergantung
juga pada elite-elite politik yang oligarkis.

JANGAN PUTAR BALIK JARUM AMANDEMEN UUD
(Jurnal Nasional, 16 Februari 2007)
Jika dilihat dari periode sistem politik, UUD 1945 pernah berlaku dalam 3 periode yang
berbeda: 1945-1959, 1959-1966, dan 1966-1998/1999. Lucunya, sistem politik yang
demokratis tercipta justru ketika UUD 1945 tidak diberlakukan di dalam praktek
kenegaraan melalui Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945. Banyak
usulan akan perubahan UUD kembali ke yang asli dengan alasan untuk menciptakan
iklim yang demokratis. Gagasan mengubah lagi UUD 1945 boleh saja dikemukakan,
tetapi perubahannya bukan mundur ke yang asli, melainkan menyempurnakan hasilhasil amandemen yang sudah baik.


KONSTITUSI BUATAN RAKYAT
(Koran Tempo, 26 Februari 2007)
Perlu diakui bahwa reformasi 1998 dalam hal-hal tertentu membuat demokrasi kita
berkembang lebih bagus. Merujuk pada pendapat K.C. Wheare, konstitusi adalah
resultante alias kesepakatan produk situasi atau keadaan politik, ekonomi, sosial, dan
budaya masyarakat pada waktu tertentu, yang jika situasi dan kebutuhan berubah,

maka juga harus berubah. Tidak ada konstitusi yang dapat dipaksakan untuk berlaku
selamanya. Reformasi 1998 telah merobohkan tembok sakralisasi UUD 1945.
Perubahan adalah keniscayaan. Perubahan Undang-Undang merupakan hal yang tidak
lagi bisa dihambat, namun aspirasi perubahan harus ditampung dan disalurkan
melalui proses yang konstitusional agar dapat lahir konstitusi buatan rakyat tanpa
manipulasi oleh pandangan sepihak para elite politik. Kepincangan politik kita yang
dianggap dianggap terlalu Amerika bisa diatasi dengan perubahan konstitusi melalui
prosedur yang benar.

UUD TAK HARUS MASUK LEMBARAN NEGARA
(Seputar Indonesia, 8 Maret 2007)
Tak ada argumen yang bisa diterima untuk mengatakan bahwa Perubahan UUD 1945
yang dilakukan tahun 1999-2002 tidak sah karena tidak masuk lembaran Negara.

Sejatinya penempatan UUD 1945 di dalam Lembaran Negara hanya administratif dan
tidak menjadi prasyarat berlakunya UUD. Tidak ada keharusan hukum untuk
menempatkan UUD dalam Lembaran Negara karena penempatan peraturan
perundang-undangan di dalam Lembaran Negara diatur oleh UU sedangkan UU tidak
boleh memuat ketentuan yang mengikat UUD karena UUD adalah induk UU. Jadi
sebagaimana yang ditulis dalam Pasal 3 ayat (2) dan (3) UU No. 10/2004, penempatan
UUD di dalam Lembaran Negara hanya bersifat informatif (publication) dan tidak
menjadi syarat berlaku mengikatnya (promulgation).

PRESIDENSIAL BERGAYA PARLEMENTER
(Gatra, 21 Maret 2007)
Sistem presidensial kita tidak sekuat yang dibayangkan, penyebabnya adalah tidak
sinkronnya sistem pemerintahan dengan sistem kepartaian.
Banyak orang yang menyayangkan Presiden SBY yang memimpin dengan gaya
parlementer. Sikap SBY sebenarnya wajar, sebab sistem kitalah yang kurang sinkron
dengan sistem politik partai. Konstitusi dan sistem politik kita tidak menjamin
presiden yang terpilih secara langsung dapat aman dari ancaman impeachment
(penjatuhan).
Presiden Indonesia, siapapun dia, tidak dapat meremehkan parpol, walau kecil
sekalipun. Kalkulasinya sederhana, menurut Pasal 7A UUD 1945, Presiden/Wapres

dapat diberhentikan dari masa jabatannya kalau terlibat salah satu dari lima macam
pelanggaran hukum yaitu: 1) pengkhianatan terhadap negara, 2) korupsi, 3)
penyuapan, 4) tindak pidana berat lainnya, 5) perbuatan tercela. Presiden/Wapres juga
bisa dijatuhkan jika tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wapres seperti ketika
akan dipilih dulu. Tata cara impeachment (penjatuhan) menurut Pasal 7B haruslah
didahului dengan dakwaan atau pendapat DPR bahwa Presiden sudah melanggar salah
satu dari 5 perbuatan tersebut atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai

Presiden/Wapres yang kemudian dimintakan putusan MK. Dakwaan DPR tersebut
harus diputusan dalam siding DPR yang dihadiri 2/3 dari seluruh anggotanya dan
disetujui oleh minimal 2/3 dari anggota yang hadir. Setelah MK memutus benar bahwa
telah ada pelanggaran, maka atas permintaan DPR, MPR bersidang untuk
memutuskan kelanjutan jabatan Presiden/Wapres. Untuk memberhentikan
Presiden/Wapres, siding MPR harus dihadiri 3/4 anggotanya dan disetujui oleh 2/3
anggota yang hadir.
Dengan mekanisme seperti itu, terjadilah saling sandera antara Presiden dan ParpolParpol. Kursi menteri atau berbagai kebijakan kini menjadi transaksi politik. Mencaricari bukti bahwa Presiden/Wapres melanggar salah satu dari 5 perbuatan tersebut
tidaklah terlalu sulit. Banyak yang dapat ditemukan dan masalahnya tinggal kuorum
dan kesepakatan Parpol di DPR. Itulah sebabnya Presiden dihadapkan pada paksaan
untuk selalu memperhatikan Parpol-Parpol.
Alhasil, pemikiran untuk menata sistem dengan sedikit partai menjadi alternative yang

tampaknya rasional agar pengelompokannya menjadi lebih sederhana dan
pemerintahan menjadi lebih stabil.

BERGESERNYA FUNGSI HUKUM
(Seputar Indonesia, 12 April 2007)
Ada gejala bahwa hukum tidak lagi berfungsi sebagai alat pembaruan masyarakat
melainkan menjadi alat pemutihan korupsi.
Teori yang terkenal dikemukakan oleh Roscoe Pound bahwa hukum berfungsi sebagai
alat rekayasa pembaruan masyarakat (law as a tool of social engineering) di Indonesia
telah bergeser menjadi alat rekayasa pembenaran korupsi (law as a tool of corruption
engineering). Itulah simpulan yang dihasilkan oleh forum Export Meeting saat
membedah PP No. 37/2006 di Pusat Studi Antikorupsi UGM.
Saat ini hukum di Indonesia banyak yang dibuat tanpa dasar moral yang dapat
dipertanggungjawabkan. Paham natural law yang menekankan bahwa hukum harus
berdasar moral, memuat budi baik dan rasa keadilan telah digantikan oleh aliran
positivism yang mengatakan bahwa hukum adalah apapun yang ditetapkan oleh
lembaga yang berwenang membuatnya (whatever is enacted by the law making
agency is the law in society). Oleh karena itu, pembangunan hukum di Indonesia
haruslah berpijak dari paham natural law yang formalisasinya dapat dilakukan dengan
positivism. Dalam paham ini, hukum memang dapat dibuat dan diberlakukan oleh

lembaga yang berwenang, tetapi harus didasarkan pada moral, keadilan, budi baik, dan
kemanfaatan; bukan berdasar pada upaya membenarkan korupsi dengan proses
pembuatan hukum yang kolutif.
Dilihat dari sudut karakter produk hukum, bergesernya fungsi hukum menandai
munculnya kembali hukum yang berkarakter konservatif . Hal ini ditandai oleh 3 hal:
1) pembentukannya bersifat sentralistik dan steril dari aspirasi yang datang dari luar; ia
diselesaikan secara kolutif diantara para elite politik. 2) isinya adalah pembenaran

sepihak atas apa yang diinginkan oleh para elite yang melakukan transaksi politik. 3)
cakupannya terbuka untuk diinterpretasikan melalui delegasi kewenangan untuk
membuat peraturan lanjutan; ia dijadikan pintu masuk untuk membuat peraturan
lebih lanjut secara sepihak dan tanpa control. Untuk mengatasi hal ini kita
memerlukan revolusi jilid II.

TIDAK ADA SISTEM KETATANEGARAAN ASLI
(Jawa Pos, 7 Mei 2007)
Hukum Tata Negara adalah semua apa yang dimuat di dalam konstitusi suatu negara.
Ia tidak harus mengikuti atau tidak mengikuti teori dan sistem yang berlaku di Negara
lain.
Banyak sekali perdebatan di antara para ahli yang mengatakan bahwa sistem parlemen

kita tidak jelas, apakah menganut sistem unicameral, bicameral, atau trikameral.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa sistem kenegaraan kita kacau balau karena tidak
mengikuti teori trias politika yang asli sebagaimana dikemukakan Montesquieu.
Padahal dalam kenyataannya tidak ada sistem yang benar-benar asli. Tidak ada teori
trias politika asli dan tidak ada sistem pemerintahan murni karena hampir semua
Negara membuat sistem dengan sentuhan dan modifikasi sendiri-sendiri sesuai dengan
kebutuhan domestiknya. Teori Montesquieu sendiri merupakan adaptasi dari teori
John Locke tentang pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Sedangkan nama dan uraian teorisasi trias politika diberikan oleh Immanuel Kent. Jadi
dapat disimpulkan bahwa sistem ketatanegaraan yang asli atau murni itu tidak ada
karena semuanya merupakan penafsiran dan modifikasi dari teori-teori ketatanegaraan
yang sudah ada sebelumnya.
Sistem ketatanegaraan suatu negara adalah pilihan politik yang ditetapkan bangsa yang
bersangkutan tanpa harus mengikuti teori atau sistem di negara lain yang dianggap
“seolah-olah” asli atau murni. Harus diingat bahwa teori asli yang berlaku di negara
lain itu pun lahir karena dibuat dan setiap negara berhak untuk membuat sistem sesuai
dengan kebutuhannya.

KONSTITUSI VOX POPULI
(Gatra, 23 Mei 2007)

Gumpalan aspirasi untuk melakukan perbaikan konstitusi harus ditampung dan
disalurkan. Sebab jika suara rakyat dibendung maka bisa mencari jalan sendiri.
K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitutions, menegaskan bahwa konstitusi
adalah resultante atau produk kesepakatan politik yang dibuat sesuai dengan
kebutuhan dan situasi tertentu. Ini berarti isi konstitusi harus selalu sesuai dengan
situasi dan kebutuhan masyarakat, karena itu dapat diubah melalui resultante baru
jika situasi dan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya berubah. Karena konstitusi
merupakan resultante yang dikerjakan melalui proses politik, maka setiap gagasan

perubahan atasnya pasti menimbulkan pergulatan politik. Dimanapun kita berpijak
dalam tarik-ulur pendapat mengenai hukum atau konstitusi, kita tidak boleh bersikap
seakan-akan paling benar.
Arus demokrasi yang menggumpal dari suara rakyat tidak dapat dibendung oleh
siapapun. Jika dibendung dan tidak diagregasi dengan baik maka demokrasi akan
membuat jalannya sendiri, sebab suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei).
Adagium ini tidak dapat diartikan bahwa suara rakyat identic dengan suara Tuhan,
melainkan vox populi yang bersumber dari sanubari rakyat itu akan selalu
dimenangkan oleh Tuhan. Orang yang tidak memedulikan vox populi akan digilas dan
ditertawakan sejarah. Masalahnya hanyalah bagaimana kita mengagregasi dan menguji
berbagai aspirasi rakyat agar pilihan kita itu benar-benar vox populi.

POLITIK-HUKUM KANCIL PILEK
(Jawa Pos, 13 Juni 2007)
Cerita mengenai politik hukum kancil pilek disampaikan oleh Prof. Amien Rais (1986)
yang pada intinya merupakan politik diam meski melihat kemungkaran karena ingin
selamat dari kekejaman penguasa. Politik kancil pilek bisa diterima kalau seorang
politisi memang berada dalam posisi yang lemah dan terancam bahaya jika tidak diam
atau berpura-pura pilek. Celakanya politik kancil pilek ini bukan hanya dilakukan
karena mereka takut pada penguasa yang busuk (harimau bau) melainkan karena
mereka ikut dalam kebusukan itu (ikut bau). Oleh sebab itu, mereka menjadi takut
berbicara yang sebenarnya dan menjadi kancil pilek jika ditanya tentang korupsi atau
tindak kejahatan lainnya. Mereka kemudian berbicara dengan sangat normatif (tapi
palsu) agar semua masalah dikembalikan kepada hukum. Padahal, menurut teori dan
fakta, hukum itu baru bisa ditegakkan kalau ada dukungan politik, sekurangkurangnya kalau ada imbangan politik atas kekuatan politik lain yang selalu
menelikung hukum.

PARADOKS PELESETAN HUKUM
(Kompas, 28 Agustus 2007)
UUD 1945 hasil amandemen sudah membawa kemajuan dalam sistem ketatanegaraan,
terutama dalam konsep check and balances, tetapi penegakan hukum banyak
dihambat oleh judicial corruption, politisi, dan tidak profesionalnya aparat penegak
hukum.
Ada yang mendobrak nurani saat Kompas, Senin (20/8/2007), memberitakan paradox
nasib koruptor serta penanganan korupsi di Indonesia dan China. Pada artikel tersebut
dijelaskan bahwa mantan koruptor, Mulyana W. Kusumah menyatakan akan kembali
aktif di KPU sementara pada rubrik internasional diberitakan bahwa sampai Agustus
2007, China telah menangkap 4866 pejabat karena kasus korupsi.

Di Indonesia, upaya pemberantasan korupsi tidak efektif karena tidak pernah tegas.
Fenomena Mulyana sebenarnya merupakan bagian kebiasaan kita bermain pelesetan
hukum. Jikalau pelesetan kata dalam Ketoprak Humor bisa menghibur, pelesetan
hukum bisa memuakkan karena sifatnya yang membelokkan kasus hukum. Ada kasus
yang terindikasi sebagai kasus pidana tetapi prosesnya mandeg karena diselesaikan
secara adat.
Begitu banyaknya pemeleset hukum di Negara kita sehingga banyak diantara kita yang
kemudian menjadi permisif terhadap korupsi sambil berpura-pura arif, mengajak
menjadi pemaaf terhadap para koruptor.

DOMINASI POLITIK KAUM DEMAGOG
(Gatra, 5 September 2007)
Mungkin banyak yang tidak percaya bahwa dua filosof barat yang sering dianggap
sebagai konseptor demokrasi, Plato dan Aristoteles justru menolak sistem politik
demokrasi. 2500 tahun yang lalu mereka mengatakan bahwa demokrasi merupakan
sistem politik yang berbahaya dan tidak praktis. Plato mengunggulkan sistem politik
aristokrasi yang dipimpin oleh seorang raja yang visioner. Sedangkan Aristoteles
menganggap demokrasi adalah sistem yang berbahaya karena di Athena pada saat itu
dipenuhi oleh demagog yang kerapkali membawa esensi demokrasi ke dalam sistem
diktatori, bahkan tirani, meskipun secara formal-prosedural tampak sebagai wujud
demokrasi. Demagog diartikan sebagai agitator-penipu yang seakan-akan
memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukannya untuk mendapatkan
kekuasaan belaka. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji manis agar dipilih tetapi
apabila sudah terpilih tidak peduli lagi pada rakyat, bahkan dengan kedudukan
politiknya sering mengatasnamakan rakyat untuk mengeruk keuntungan.
Di Indonesia, agenda reformasi terseok-seok karena politik kita banyak dikuasai oleh
para demagog. Lembaga politik kita didominasi oleh para demagog yang biasanya
tampil sebagai elite politik bukan karena kapabilitasnya melainkan karena kolusi
politik yang dibangunnya. Politik demagog ini menyebabkan Parpol dan lembaga
politik lainnya menjadi sesat. Sebab dari sanalah jabatan politik dan kebijakan publik
ditentukan melalui transaksi politik oligarkis yang tidak lagi memikirkan nasib rakyat.
Apakah dominasi demagog merupakan keniscayaan di dalam demokrasi? Tentu saja
tidak. Negara ini telah mencatat dengan tinta emas nama-nama besar seperti Soekarno,
Hatta, Natsir, Wahid Hasyim, I.J. Kasimo, Muhammad Roem, dan Wilopo yang tampil
ke dalam tampuk kekuasaan bukan karena premanisme, suap, atau kolusi melainkan
karena integritas, kapabilitas, dan keikhlasannya.
Yang diperlukan kini adalah bagaimana membuat ranjau agar dunia politik kita tidak
didominasi oleh para demagog. Berdasarkan fakta sejarah, sampai tahun 1950-an kita
bisa menampilkan elite-elite politik yang berintegritas serta ikhlas dalam
memperjuangkan rakyat. Kalau para demagog masih mendominasi, jangan harap
Negara akan beres dan jangan bermimpi bahwa reformasi akan ada gunanya.

PENEGAKAN HUKUM ALA FILM DETEKTIF
(Koran Tempo, 31 Desember 2007)
Hampir keseluruhan problem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia
adalah busuknya birokrasi penegak hukum dan tengara intervensi politik hukum
korupsi tak efektif, bahkan banyak yang dinilai gagal karena birokrasi penegak hukum
busuk yang ditandai dengan banyaknya antek-antek koruptor ke dalamnya. Penegakan
hukum korupsi juga tak efektif karena dalam banyak hal dirasakan adanya tebang pilih
karena intervensi politik.
Bersamaan dengan intervensi politik, upaya penegakan hukum menghadapi
pembusukan dari dalam aparat penegak hukum sendiri. Para koruptor membangun
kolusinya melalui orang-orang bayaran di aparat penegak hukum untuk menjamin
keselamatannya atau mendapat informasi agar dapat menyelamatkan diri.
KPK adalah lembaga penegak hukum yang dengan segala kekurangannya relatif
berhasil melakukan pemberantasan korupsi, terutama jika dibandingkan dengan
aparat yang lain. Penegakan hukum ala detektif dengan cara luar biasa seperti
penyadapan dan penjebakan tampaknya menjadi pilihan yang masih diperlukan. Cara
inilah yang terbukti berhasil menggelandang Mulyana Kusumah, Irawady Joenoes,
Hudori, dan Widjanarko ke pengadilan. Namun, kerja-kerja ala detektif itu tidak akan
efektif juga jika politik masih dibiarkan mempengaruhi penegakan hukum sehingga
menimbulkan kesan tebang pilih. Disinilah letak pentingnya pemimpin negarawan
yang berani tegas tanpa pandang bulu dan tanpa perhitungan untung rugi politik
sebagai politikus.

PEMBERHENTIAN PEJABAT KORUP
(Kompas, 11 Agustus 2008)
Sejauh ini apabila ada aparat Negara atau anggota partai yang terlibat kasus hukum,
presiden atau pimpinan partai menunggu dulu sampai mereka mengaku, memberi
klarifikasi, atau sampai ada putusan pengadilan. Sebenarnya tidak salah jika mereka
bersikap menunggu, baik menunggu pengakuan atau putusan peradilan. Menunggu
dapat dilihat sebagai sikap kehati-hatian sebelum mengambil tindakan yang mungkin
dapat membunuh karir dan masa depan seseorang. Namun, dari segi lain, menunggu
bisa menghambat upaya pemberantasan korupsi.
Namun perlu diingat bahwa dalam hamper semua kasus korupsi, tidak ada yang mau
mengaku. Pengakuan biasanya baru diberikan jika sudah dipepet alat bukti. Maka,
dalam peradilan pidana, pengakuan tidak selalu diperlukan sebab yang dipentingkan
adalah kebenaran materiil yang didukung alat-alat bukti lain.
Untuk mengambil tindakan atas jabatan, tidak harus menunggu putusan pengadilan.
Proses peradilan bisa berlangsung lama, padahal secara moral mereka yang masih
menjabat tidak kredibel untuk terus menjabat. Jika menunggu putusan pengadilan,
proses hukum mungkin belum selesai hingga masa jabatan orang itu berakhir. Karena
itu, untuk menindak pejabat yang “menurut logika umum” sudah cacat dan korup,

sejatinya tidak perlu menunggu pengakuan atau putusan pengadilan. Tindakan dapat
segera diambil dengan menggunakan logika umum (common sense) berdasarkan etika
dan moral. Terhadap pejabat yang sudah diindikasi korup secara terbuka –sementara
yang bersangkutan tidak dapat memberikan alibi yang masuk akal untuk membalik
logika yang dipercaya umum– dapat dijatuhi tindakan administratif tanpa harus
menunggu vonis pengadilan.
Sejak tahun 2001, MPR memberi dua ketetapan, TAP No. VI/MPR/2001 tentang Etika
Kehidupan Berbangsa dan TAP No. VIII/MPR/2001 tentang Arah dan Rekomendasi
Pemberantasan KKN.
TAP No. VI/MPR/2001 mengatur pejabat publik yang terlibat kasus hukum, membuat
kebijakan yang meresahkan atau mendapat sorotan publik, harus mau mengundurkan
diri (dan dapat dimundurkan) tanpa harus dibuktikan lebih dulu di pengadilan. TAP
No. VIII/MPR/2001 menegaskan bahwa pejabat yang terlibat kasus hukum dapat
dibebaskan dari jabatannya meski belum diputus pengadilan. Hal ini terkait dengan
etika dan politik kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya formalitas
kepastian hukum.
Ketentuan ini sama sekali tidak melanggar hukum, HAM, atau asas praduga tak
bersalah yang berlaku umum. Ia merupakan “tindakan administratif” yang berlaku
khusus bagi pejabat publik yang bermasalah dengan etika dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Jadi apabila ada pejabat yang terlibat korupsi, yang bersangkutan dapat
segera mundur atau dimundurkan, sementara proses hukumnya terus berjalan. Hal ini
juga perlu dilakukan demi kredibilitas lembaga atau institusi tempat mereka bertugas.

PENEGAKAN KEADILAN DI PENGADILAN
(Kompas, 22 Desember 2008)
Demi keadilan substantive, lembaga peradilan dapat membuat putusan di luar
ketentuan UU, jika UU itu dianggap tidak adil atau tidak lengkap. Masyarakat awam
hukum perlu memahami permasalahan sederhana ini. Hakim di pengadilan boleh
melepaskan diri dari belenggu UU untuk membuat putusan berdasarkan keyakinannya
guna menegakkan keadilan substantive. Hal ini bukan hanya ada dalam teori atau
tradisi hukum Negara tertentu, tetapi juga dalam sistem hukum Indonesia.
Kini, sudah tidak ada lagi garis antara tradisi civil law yang menjadikan hakim hanya
sebagai corong UU dan tradisi common law yang menjadikan hakim sebagai pembuat
keadilan hukum meski harus melanggar UU. Keduanya dianggap sebagai kebutuhan
yang saling melengkapi.
Berdasar UUD 1945 hasil amandemen, kedua hal tersebut diletakkan di posisi sama
kuat. Pasal 24 ayat (1) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Pasal 28D ayat (1) juga menegaskan bahwa setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Jadi
tekanannya bukan pada kepastian hukum saja, tetapi kepastian hukum yang adil.

Dengan pasal tersebut, para hakim didorong untuk menggali rasa keadilan substantive
(substantive justice) di masyarakat daripada terbelenggu dengan ketentuan UU
(procedural justice).
Bagi MK, keharusan mencari keadilan substansial ini dimuat dalam UU No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 45 ayat (1) berbunyi, “Mahkamah Konstitusi
memutus perkara berdasar UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.”
Pasal ini menyebutkan bahwa bukti dan keyakinan hakim harus menjadi dasar putusan
untuk menegakkan keadilan substantive, apalagi jika pihak yang berperkara jelas-jelas
meminta ex aequo et bono (putusan adil).
Jadi berdasarkan sistem hukum dan konstitusi di Indonesia, hakim diperbolehkan
membuat keputusan yang keluar dari UU jika UU itu membelenggunya dari keyakinan
untuk menegakkan keadilan. Bukankah pengadilan itu merupakan tempat mencari dan
menegakkan keadilan?

PERSOALAN KONSTITUSI MAKIN MENJAMUR
(Jawa Pos, 29 Desember 2008)
Tahun 2008 ditandai dengan maraknya wacana dan kasus konstitusi. Amandemen
lanjutan atas konstitusi memang tidak lagi menjadi kontroversi terbuka, tetapi
dorongan dan upaya ke arah itu terus berlangsung.
Banyak juga muncul kasus konkret terkait konstitusi seperti persoalan hak dasar atau
konstitusional Ahmadiyah. Ada juga vonis-vonis yang sudah berkekuatan hukum tetap
melalui upaya peninjauan kembali (PK) di MA tetapi ternyata vonis itu salah, baik
substansi maupun prosedurnya. Banyak yang membawa kasus ini ke MK. Juga vonisvonis yang sudah berkekuatan hukum tetap tetapi tidak bisa dieksekusi dengan
berbagai problemnya. Ada yang karena alasan administratif, politik, dan ada yang
karena objeknya sudah berpindah tangan berkali-kali sehingga mengalami tumpang
tindih hukum. Para pelapor meminta agar masalah tersebut diselesaikan oleh MK
padahal masalah tersebut bukanlah kewenangan MK.
Banyaknya kasus konstitusi tersebut mendorong munculnya gagasan agar kewenangan
MK ditambah dengan kewenangan menangani pengaduan konstitusional atau
constitutional complaint (CC). Gagasan ini diinspirasi MK Jerman yang memang
mempunyai kewenangan untuk itu. Melalui CC tiap warga Negara yang hak
konstitusionalnya dilanggar, tetapi tidak dapat menyelesaikannya melalui jalur
pengadilan karena upaya hukum sudah ditempuh dan sudah final, dapat mengajukan
perkara ke MK melalui CC.

POSITIF DAN NEGATIF SUARA TERBANYAK
(Jawa Pos, 6 April 2009)
Putusan MK tentang penentuan anggota DPR berdasarkan suara terbanyak dalam
pemilu legislative masih menuai pro dan kontra. MK harus menerima kritik atas vonis
tersebut sebagai keniscayaan karena 3 hal: 1) dalam tiap putusan peradilan, pro dan
kontra selalu ada. 2) kasus suara terbanyak ini menyangkut interest yang menurut ahli
perundang-undangan Aan Seidman memang pasti menimbulkan pro dan kontra. 3)
pro dan kontra atas putusan MK ternyata dapat dikemukakan secara bebas sehingga
menunjukkan bahwa demokrasi kita sudah semakin maju dengan segala keindahan
dan ketidakindahannya.
Jadi, harus dipahami bahwa gejala buruk sistem suara terbanyak saat ini merupakan
masalah yang harus dilalui dan tak terhindarkan untuk meretas pembaruan politik dan
hukum. Pilihan apapun, ada resikonya tapi untuk jangka panjang, pilihan sistem suara
terbanyak akan lebih bermanfaat karena lebih demokratis dan adil.

DEMOKRASI PILIHAN TERPAKSA
(Seputar Indonesia, 13 April 2009)
Demokrasi merupakan “pilihan jelek terbaik” di antara pilihan-pilihan lain yang juga
tidak baik seperti monarki absolut, autokrasi, aristokrasi, oligarki, ohlokrasi, dan
terutama tirani. Demokrasi dianggap yang terbaik dari sistem-sistem lain yang juga
jelek karena ia menghargai hak-hak dan pilihan-pilihan rakyat meskipun dengan segala
kekurangan/kebodohannya.
Konstitusi kita memang menganut prinsip demokrasi (kedaulatan rakyat) sekaligus
nomokrasi (kedaulatan hukum) seperti diatur dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD
1945. Demokrasi merupakan penyerahan kepada hukum untuk menyelesaikan
berbagai terhadap demokrasi dan hak-hak rakyat. Demokrasi dan nomokrasi haruslah
diterima sebagai dua sisi dari sekeping mata uang.

REKAM JEJAK CAPRES-CAWAPRES
(Gatra, 24 Juni 2009)
Visi dan misi yang diajukan secara verbal tidak dapat dipergunakan untuk memilih
Capres/Cawapres terbaik. Minimal ada 3 alasan untuk tidak mempercayai visi dan misi
sebagai dasar untuk memilih Capres/Cawapres yaitu: 1) Visi dan misi mereka
umumnya sama, yakni membawa Indonesia menjadi maju, adil, makmur, demokratis,
dll. Sudah pasti tidak ada yang mau mencelakakan Indonesia. Semuanya menjanjikan
Indonesia akan dijadikan hebat sehingga perbedaannya sulit dinilai karena sama-sama
terlalu umum. 2) Program yang akan ditangani hampir semuanya sama juga tapi sejak
dulu (tampaknya juga yang akan dating) tidak ada yang pernah merealisasikan
semuanya. 3) Visi dan misi yang disampaikan secara verbal tertulis boleh jadi isinya
tidak diketahui atau dipahami secara lengkap oleh pihak Capres/Cawapres yang

mengajukannya. Alhasil, tidak bisa kita memilih Capres/Cawapres berangkat dari
penilaian atas visi dan misi verbal masing-masing pasangan calon.
Cara penilaian untuk menentukan pilihan yang terbaik yakni track record atau rekam
jejak; baik catatan integritas, prestasi, dan celanya. Tentu tidak ada Capres/Cawapres
yang sempurna dan memenuhi semua syarat ideal dalam rekam jejaknya, maka kita
dapat memilih berdasar penilaian (otak dan hati) kita tentang Capres/Cawapres mana
yang paling sedikit rekaman negative atau paling banyak rekaman positif dalam rekam
jejak masing-masing. Dalam Pilpres kita memang memilih manusia yang serba
kekurangan, bukan memilih malaikat yang bersih dari cela.

View publication stats