BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring - Gambaran Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Tipe Tak Berdiferensiasi di RSUP HAM Medan Tahun 2008-2012

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus, terletak
dibelakang rongga hidung. Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan atas
pallatum molle. Dinding depan dibentuk oleh koana dan septum nasi dibagian
belakang. Bagian belakang berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia
prevertebralis dan otot dinding faring. Pada dinding lateral terdapat orifisium yang
berbentuk segitiga. Orifisium dari tuba eustachius berada pada dinding samping
dan bagian depan dan belakang terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut
torus tubarius. Bagian dan depan dari torus tubarius merupakan reses dari
nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller. Diatas tepi bebas pallatum
molle yang berhubungan dengan rongga hidung dan ruang telinga melalui koana
dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar
dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah.
Nasofaring diperdarahi oleh cabang arteri karotis eksterna, yaitu faringeal
asenden dan desenden serta cabang faringeal arteri sfenopalatina. Daerah
nasofaring dipersarafi oleh saraf sensoris yang terdiri dari nervus glossofaringeus
(N.IX) dan cabang maksila dari saraf trigeminus (N.V) yang menuju ke anterior
nasofaring.

Sistem limfatik daerah nasofaring terdiri dari pembuluh getah bening yang
saling menyilang dan menuju ke kelenjar Rouviere yang terletak pada bagian
lateral ruang retrofaring, kemudian menuju ke kelenjar limfa disepanjang vena
jugularis dan kelenjar limfa dipermukaan superfisial.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring
(Dikutip dari: Asroel, 2002)

2.2.

Histologi Nasofaring
Nasofaring dilapisi oleh epitel pseudostratified columnar tipe pernafasan

dan epitel nonkeratinizing squamous. Mukosa dari nasofaring tersebut akan
membentuk kripta. Dapat dijumpai banyak jaringan limfoit yang terkadang reaktif
pada stroma nasofaring. Kripta dan epitel permukaan sering diinfiltrasi dengan sel
radang limfosit dan dapat merusak reticulated pattern. Pada nasofaring dapat juga
dijumpai kelenjar seromucinous.


Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2 Sel epitel transisional, pelapis nasofaring (Dikutip dari :
Respiratory system pre lab [cited 2010 Jan 5]. Available from
mhttp://anatomy.iupui.edu/courses/histo_D502
2.3.

Karsinoma Nasofaring

2.3.1. Etiologi
Insiden terjadinya KNF sampai saat ini belum diketahui secara pasti,
namun terdapat berbagai multifaktor penyebab KNF antara lain, faktor
lingkungan, genetik, dan infeksi Virus Epstein-Barr.
• Infeksi Virus EBV
Virus EBV merupakan virus DNA yang diklasifikasikan sebagai
anggota virus herpes (Herpesviridiae). Berdasarkan studi epidemiologis,
menunjukkan bahwa EBV merupakan penyebab utama dalam
patogenesis karsinoma nasofaring. EBV ditransmisikan melalui saliva
yang terinfeksi ke tempat pertama infeksinya, yaitu sel-sel orofaring

akan memasuki sel, bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten),
dan sepanjang masa (long life). Melalui tempat replikasinya di
orofaring, EBV dapat menginfeksi limfosit B yang immortal, sebagai
virus latent pada sel ini. Virus EBV merupakan virus DNA yang
onkogenik, sering berhubungan dengan karsinoma nasofaring, limfoma
burkitt, penyakit hodgkin, dll. Berdasarkan klasifikasi histopatologi

Universitas Sumatera Utara

(1978), terdapat 3 subtipe yaitu, squamous cell carcinoma (WHO-1),
nonkeratinizing carcinoma (WHO-2), dan undiffrentiated carcinoma
(WHO-3). Undiffrentiated carcinoma (WHO-3)

merupakan subtipe

histologi yang utama didaerah endemik dan berkaitan erat dengan
infeksi Epstein-Barr Virus dan sebagian juga pada tipe WHO-2, namun
tidak dengan subtipe WHO-1 (Munir,2009).
• Faktor Genetik
Terdapat perbedaan frekuensi yang nyata diantara beberapa kelompok

etnik, adanya peningkatan risiko pada keluarga penderita KNF dan
masih tingginya risiko KNF emigran cina di daerah dengan insiden
KNF nya sangat rendah. Terdapat penelitian pada etnik Cina tentang
Human Leucocyte Antigen (HLA) yang dihubungkan dengan insiden
terjadinya KNF yaitu, ditemukannya HLA tipe 1 dan BW46 (Munir,
2009).
• Faktor Lingkungan
Penelitian akhir-akhir ini menemukan penyebab tingginya insiden di
wilayah Cantonese dengan terdapatnya paparan dari ikan asin dan
makanan yang mengandung nitrosamin sejak mulai masa kanak-kanak,
mempunyai potensi pemicu perkembangan KNF (Jia et al ,2010).
Faktor lingkungan yang juga dapat meningkatkan resiko karsinoma
nasofaring yang pernah dilaporkan di daerah yang sama (Cantonese)
adalah pemakaian obat-obatan tradisional cina, dijumpainya nikel pada
daerah endemik, infeksi jamur pada kavum nasi dan mengkonsumsi
alkohol (Chen et al,2009). Merokok dan alkohol juga merupakan faktor
resiko karsinoma nasofaring. Penelitian menunjukkan adanya paparan
jangka panjang dari zat-zat yang terkandung pada rokok dan alkohol
memegang peranan dalam patogenesis karsinoma nasofaring (National
Cancer, 2009).


Universitas Sumatera Utara

2.3.2.

Klasifikasi
Klasifikasi WHO (1978) untuk karsinoma nasofaring (1) Keratinizing

squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau intercelluler bridge
atau keduanya. (2) Non Keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai
dengan batas sel yang jelas. (3) Undiffrentiated carcinoma ditandai oleh pola
pertumbuhan syncitial, sel-sel poligonal berukuran besar atau sel dengan bentuk
spindel, anak inti yang menonjol dan stroma dengan infiltrasi sel-sel radang
limfosit. Sedangkan klasifikasi WHO tahun 1991 membagi karsinoma nasofaring
menjadi keratinizing squamous cell carcinoma, non keratinizing squamous cell
carcinoma terdiri atas diffrentiated dan undiffrentiated dan basalloid carcinoma
(Tabuchi et al, 2011).
2.3.2.1. Histopatologi
2.3.2.1.1. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Dijumpai adanya diferensiasi dari sel squamous dengan intercellular

bridge atau keratinisasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal dan stratified. Tumor
tumbuh dalam bentuk pulau-pulau yang dihubungkan dengan stroma yang
desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, sel plasma, neutrofil dan
eosinofil yang bervariasi. Dijumpai adanya keratin pearls (Piasiska,Herza,2010).

Gambar 2.3. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (Dikutip dari: Rosai J.
Rosai and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition,
Philadelphia: Mosby, 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.3.2.1.2. Non-Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Terdapat gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau. Ukuran sel
pada non-keratinizing squamous cell carcinoma lebih kecil, rasio inti sitoplasma
lebih kecil, inti lebih hiperkromatik dan anak inti tidak menonjol.

Sel-sel

menunjukkan batas antar sel yang jelas dan dijumpai adanya intercellular bridge
(Piasiska,Herza,2010).


Gambar 2.4 Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (Dikutip dari: Rosai J.
Rosai and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth
2.3.2.1.3. Undifferentiated Carcinoma
Memperlihatkan gambaran sinsitial dengan batas sel yang tidak jelas,
inti bulat sampai oval dan vesikuler, dijumpai anak inti. Beberapa sel tumor dapat
berbentuk spindel. Dijumpai infiltrasi sel radang dalam jumlah banyak, khususnya
limfosit (lymphoepithelioma). Selain itu, dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel
plasma, epitel, eosinofil, dan multinucleated giannt cell. Terdapat dua bentuk pola
pertumbuhan tipe undifferentiated (1) tipe regauds, yang terdiri dari kumpulan
sel-sel epitel dengan batas yang jelas dan dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan
sel-sel limfosit. (2) tipe schmincke, sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus dan
bercampur dengan sel-sel radang.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5. Undifferentiated Carcinoma. (Dikutip dari: Rosai J. Rosai
and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition,
Philadelphia: Mosby, 2004).


Gambar 2.6 Undifferentiated Carcinoma terdiri dari sel-selyang membentuk
sarang-sarang padat( “Regaud type”). (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and
Ackermans Surgical Pathology,Volume one,
Ninth Edition, Philadelphia: Mosby, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.7 Undifferentiated Carcinoma terdiri sel-sel yang tumbuh membentuk
gambaran syncytial yang difus (Schmincke type). (Dikutip dari: Rosai J. Rosai
and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia:
Mosby, 2004).
2.3.2.1.4. Basalloid Squamous Cell Carcinoma
Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkromatin dan tidak
dijumpai anak inti dan sitoplasma sedikit. Komponen sel-sel squamous dapat in
situ atau invasif. Batas antara komponen basaloid dan squamous jelas
(Piasiska,Herza,2010).

Gambar 2.8 Basalloid Squamous Cell Carcinoma pada nasofaring.Sel-sel
basaloid menunjukkan festoonin growth pattern, sel-sel basaloid berselang-seling
dengan squamous differentiaton. (Dikutip dari: Barnes L. Eveson JW. Reichart P.

Sidrasky D. Pathology and Genetic Head and Neck Tumours. Lyon: IARC Press,
2003).

Universitas Sumatera Utara

2.3.3. Stadium
Klasifikasi untuk KNF, yang paling sering digunakan adalah menurut
AJCC 2010 :


Tumor Primer (T)
o TX :

Tumor primer tidak dapat ditentukan

o T0 :

Tidak ditemukan adanya tumor primer

o Tis :


Karsinoma in situ

o T1 :

Tumor terbatas pada daerah nasofaring (lateral/poster
osuperior/atap)

o T2 :

Tumor meluas sampai pada jaringan lunak


T2a : Tumor meluas sampai daerah orofaring dan /atau

rongga nasal tanpa penyebaran ke daerah parafaringeal


T2b : Tumor dengan perluasan ke daerah parafaringeal


o T3 : Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan /atau
sinus paranasal
o T4 :

Tumor dengan perluasan intrakranial dan /atau terlibatnya
saraf kranial ,hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke
fossa infratemporal/ ruang mastikator.



Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional: N
o Nx : KGB regional tidak dapat ditentukan
o No : Tidak ada pembesaran KGB regional
o

N1 : Metastasis unilateral KGB dengan ukuran terbesar < 6
cm, terletak di atas fossa supraklavikular

o

N2 : Metastasis bilateral KGB dengan ukuran terbesar < 6 cm
di atas fossa supraklavikular

o

N3 : Metastasis pada KGB
 N3a : Ukuran KGB > 6 cm
 N3b : Meluas ke fossa supraklavikular



Metastasis jauh (M)
o

M0 : Tanpa metastasis jauh

o

M1 : Metastasis jauh

Universitas Sumatera Utara

Stadium

T

N

M

I

T1

N0

M0

II

T1

N1

M0

T2

N0-1

M0

T1-2

N2

M0

T3

N0-2

M0

IV A

T4

N0-2

M0

IV B

Semua T

N3

M0

IV C

Semua T

Semua N

M1

III

Tabel 2.1 Stadium Karsinoma Nasofaring

2.3.4.

Gejala Klinis
Penderita KNF sering mengalami satu atau lebih dari 4 kelompok gejala

yaitu gejala hidung, telinga, pembesaran kelenjar limfe, dan keterlibatan saraf
kranial . Tanda dan gejala KNF tidak spesifik dan tidak khas, dan nasofaring
merupakan area yang sulit diperiksa, sehingga KNF sering didiagnosis saat
stadium lanjut (Ferrari et al, 2012).
2.3.4.1. Gejala Hidung
1.

Epistaksis
Keadaan dinding tumor yang rapuh sehingga dengan rangsangan dan
sentuhan dapat terjadi perdarahan. Keluarnya darah biasanya
bercampur dengan ingus, jumlahnya sedikit, dan berulang-ulang
(H,Benny, 2009).

2.

Sumbatan Hidung
Menurut

(H,Benny,

2009)

sumbatan

hidung

terjadi

akibat

pertumbuhan tumor kedalam rongga hidung dan menutupi koana.
Gejala menyerupai pilek kronis, dapat disertai dengan gangguan
penciuman dan adanya ingus kental.

Universitas Sumatera Utara

2.3.4.2. Gejala Telinga
1. Sumbatan tuba eutachius, gejala ini disebabkan perluasan tumor
posterolateral sampai ruang paranasofaringeal. Pasien mengeluh rasa
berdengung, rasa penuh ditelinga kadang-kadang disertai dengan
gangguan pendengaran.
2. Radang telinga tengah sampai perforasi membran timfani
Merupakan kelainan lanjutan yang terjadi akibat penyumbatan muara
tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan
diproduksi makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran
gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran (H,Benny,
2009).

2.3.4.3. Gejala Neurologis
1.

Sindroma Petrosfenoidal
Akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui foramen laserum dan
ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai saraf kranial
anterior yaitu saraf VI,III,IV, sedangkan saraf II akhir mengalami
gangguan. Dapat juga menyebabkan parese saraf V. Parese saraf II
menimbulkan gangguan visus, parese saraf III menyebabkan
gangguan ptosis, dan parese saraf III,IV,dan VI menyebabkan
keluhan diplopia, dan saraf V dengan keluhan rasa kebas di pipi dan
wajah yang biasanya unilateral. Apabila semua grup anterior terkena,
maka akan timbul gejala : neuralgia trigeminal unilateral,
oftalmoplegi serta gejala nyeri kepala hebat (H,Benny, 2009).

2.

Sindroma Parafaring
Terjadi akibat gangguan saraf kranial grup posterior (N.IX,X,XI dan
XII) karena penjalaran retroparotidean dimana tumor tumbuh
kebelakang masuk ke dalam foramen jugularis dan kanalis nervus
hipoglosus. Kelumpuhan pada nervus IX menyebabkan sulit menelan
karena hemiparese m.konstriktor faringeus superior. Nervus X
adanya gangguan motorik berupa afoni ,disfoni, disfagia dan spasme

Universitas Sumatera Utara

esofagus. Gangguan sensorik berupa nyeri daerah laring dan
faring,dan sesak. Nervus XI terdapat kelumpuhan m.trapezius,
sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle, nervus XII
terjadi hemiparese dan atrofi sebelah lidah, nervus VII dan nervus
VIII letaknya agak tinggi jadi jarang terkena KNF (H,Benny, 2009).

2.3.4.4. Limfadenopati Servikal
Sebagian besar penderita datang dengan pembesaran kelenjar baik
unilateral atau bilateral. Pembesaran kelenjar leher merupakan penyebaran
terdekat secara limfogen dari KNF. Pembesaran yang agak khas akibat metastasis
adalah lokasi pada ujung prosesus mastoideus di belakang angulus mandibula
yaitu kelenjar jugulodigastrik dan kelenjar servikal posterior serta kelenjar
servikal tengah (H,Benny,2009).
2.3.4.5. Gejala metastasis jauh
Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir
bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari
nasofaring, yang sering adalah pada tulang,hati dan paru. Jika ini terjadi,
menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk (Zhou et al, 2007)
2.3.5. Diagnosis
2.3.5.1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan pasien. Gejala dan keluhan
yang ditimbulkan antara satu pasien dengan pasien yang lain sangat bervariasi
(Hidayat, 2009).
2.3.5.2. Pemeriksaan
1. Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan ini sering dijumpai kesulitan terutama pada pasien
dengan variasi anatomi atau yang tidak kooperatif (Hidayat, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2. Endoskopi
a. Nasofaringoskopi kaku (Rigid nasopharyngoscopy)
Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut 0, 30, dan
70 derajat. Dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, transnasal dan
transoral (Hidayat, 2009).
b. Nasofaringoskopi lentur (Flexible nasopharyngoscopy)
Endoskopi fleksibel memungkinkan pemeriksaan yang lebih
menyeluruh terhadap nasofaring, meskipun masuknya melalui satu
sisi kavum nasi. Alat endoskopi ini memiliki saluran khusus untuk
suction,sehingga

tetap

dapat

dilakukan

dengan

pandangan

langsung (Hidayat, 2009).

2.3.5.3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan lokasi tumor yang dapat
membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas
penyebaran tumor ke jaringan sekitar (Hidayat, 2009).
b. Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak
c. CT scan nasofaring
Pemeriksaan ini dapat juga mengetahui penyebaran tumor ke jaringan
sekitar yang belum terlalu luas, dan juga dapat mendeteksi erosi basis
krani dan penjalaran ke intrakranial. Selain itu, dapat menilai
kekambuhan tumor setelah pengobatan, adanya metastasis, dan juga
akibat komplikasi paska radioterapi seperti atrofi kelenjar hipofise
dan nekrosis lobus temporal (Hidayat, 2009).
d. Positron Emission Tomography (PET)
Pemeriksaan yang paling sensitif untuk menilai adanya tumor rekuren
pada KNF (Hidayat, 2009).
e. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan MRI dapat memperlihatkan jaringan lunak nasofaring
superfisial atau dalam dan untuk membedakan tumor dengan jaringan

Universitas Sumatera Utara

lunak. Selain itu, MRI juga lebih sensitif untuk menilai metastase
kelenjar retrofaring dan kelenjar leher dalam (Hidayat, 2009).
f. Biopsi Nasofaring
Biopsi nasofaring adalah prosedur tetap terhadap pasien yang
dicurigai menderita KNF, apalagi bila dijumpai masa tumor. Agar
biopsi tepat sasaran, sebaiknya biopsi dilakukan di bawah kontrol
endoskopi dan anastesi lokal dengan posisi duduk atau telentang
(Hidayat, 2009).
g. Pemeriksaan Patologi Anatomi
 Sitologi
Bahan untuk pemeriksaan sitologi dapat diambil dari permukaan
nasofaring dengan menggunakan brush, swab atau spesial aplikator
yang mempunyai pengisap (Hidayat, 2009).
 Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk
infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi
karsinoma nasofaring. Tetapi hanya digunakan untuk menentukan
prognosis pengobatan (Hidayat, 2009).
 Imunohistokimia
Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan
deteksi substansi spesifik dalam jaringan dengan menggunakan
derivat antibodi terhadap substans (Hidayat, 2009).
 Histopatologi
Histopatologi tujuannya untuk konfirmasi dalam menentukan sub
tipe KNF (Hidayat, 2009).

2.3.6.

Penatalaksanaan
Pengobatan utama pada penderita KNF tanpa metastasis dapat dilakukan

radioterapi. Jenis radioterapi yang dapat diberikan terdapat dua tipe yaitu
radioterapi eksternal dan brakhiterapi. Dosis radioterapi untuk KNF adalah 1,8-2
Gy setiap pemberian, sebanyak lima kali pemberian setiap minggu selama 7

Universitas Sumatera Utara

minggu dengan total dosis 60-70 Gy. Setiap tipe histopatologi KNF mempunyai
perbedaan respon terhadap radioterapi. Pada undifferentiated carcinoma lebih
radiosensistif sedangkan pada non-keratinizing squamous cell carcinoma
merupakan yang paling tidak radiosensitif. Pemberian kemoterapi juga dapat
diberikan pada penderita KNF yang diindikasikan pada kasus penyebaran ke
kelenjar getah bening, metastasis jauh dan kasus-kasus residif. Cara pemberian
kemoterapi pada KNF dapat diberikan sebelum (neoadjuvant), selama
(concurrent), atau setelah (adjuvant) pemberian radioterapi. Pemberian kemoterapi
terutama diberikan pada KNF dengan penyakit lokoregional tingkat lanjut
dikombinasikan dengan radioterapi. Jenis kemoterapi yang dapat diberikan antara
lain: cisplatin, 5-fluorouracil (5-FU), dexorubicin, bleomycin, mitoxantron,
methotrexate dan alkaloid vinca. Regimen dengan dasar platinum merupakan
standar kemoterapi pada pasien KNF dengan metastase dan terapi lini pertama
yang paling banyak digunakan adalah kombinasi cisplatin dan 5-FU yang
menunjukkan response rate 66% Kemoterapi lebih sensitif pada karsinoma
nasofaring WHO tipe 1 dan sebagian WHO tipe 2. Pengobatan lain yang juga
dilakukan adalah pembedahan, namun pembedahan tidak banyak berperan pada
penanggulangan KNF. Tindakan bedah terbatas pada reseksi sisa masa tumor
yang kambuh atau tidak terkontrol dinasofaring dan leher setelah radioterapi
(Munir, D, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.9 Penatalaksanaan KNF Menurut NCCN 2010
(Dikutip dari: Piasiska,Herza,2010)
2.3.7. Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme,
fibrosis dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus,
kelainan gigi, dan hipoplasi struktur otot dan tulang. Retardasi pertumbuhan dapat
terjadi sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism
dapat terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural
mungkin terjadi dengan penggunaan cisplatin. Mereka yang menerima bleomycin
beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan
komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan gigi yang
tepat. (Hidayat, 2009)
2.3.8

Prognosis
Prognosis KNF secara umum tergantung pada beberapa faktor seperti:

Usia penderita lebih dari 40 tahun, laki-laki daripada perempuan dan ras cina
daripada ras kulit putih. Selain itu juga adanya pembesaran kelenjar leher, adanya
metastasis jauh dan juga terdapat pada stadium yang lebih lanjut. Tipe karsinoma
tak berdiferensiasi memiliki prognosis yang lebih baik karena tingkat
radiosensitifitasnya, sedangkan tipe I KNF memiliki prognosis yang lebih buruk
disebabkan rendahnya radiosensitifitasnya (Ruan, 2013).

Universitas Sumatera Utara

2.3.9. Pencegahan
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan
keadaan sosial-ekonomi dan berbagi hal yang berkaitan dengan kemungkinankemungkinan faktor penyebab. Pemberian vaksinasi pada penduduk yang
bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi. Mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya (Ruan, 2013).

Universitas Sumatera Utara