Enkapsulasi Beberapa Jenis Trichoderma sp. Pada Benih Kedelai Untuk Mengendalikan Penyakit Sclerotium Rolfsii Sacc

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman

  Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Rosales Famili : Papilionaceae Genus : Glycine Species : Glycine max (L.) Merill

  Sistem perakaran kedelai terdiri dari dua macam, yaitu akar tunggang dan akar sekunder (serabut) yang tumbuh dari akar tunggang. Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe determinate dan indeterminate. Tanaman kedelai mempunyai dua bentuk daun yang dominan dengan daun tunggal dan daun bertangkai tiga (trifoliate leaves) yang tumbuh selepas masa pertumbuhan. Bunga sampai pemasakan biji. Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga pertama (Irwan, 2006).

  Syarat Tumbuh Iklim

  Kedelai dapat tumbuh baik ditempat yang berhawa panas, ditempat-tempat terbuka dan bercurah hujan 100 – 400 mm3 per bulan. Kedelai kebanyakan ditanam didaerah yang terletak kurang dari 400 m diatas permukaan laut dan jarang sekali ditanam didaerah yang terletak kurang dari 600 m diatas permukaan laut (Sumarno dan Harnoto,1983). Pertumbuhan optimum tercapai pada suhu 20 -20

  C. Suhu 12 – 20 C. Pada suhu yang lebih tinggi dari 30 0C, fotorespirasi cenderung mengurangi hasil fotosintesis (Sutedjo dan Kartasapoetra,1987). Rata-rata curah hujan tiap tahun yang cocok bagi kedelai adalah kurang dari 200 mm dengan jumlah bulan kering 3-6 bulan dan hari hujan berkisar antara 95-122 hari selama setahun (Irwan, 2006).

  Tanah

  Tanaman kedelai sebenarnya dapat tumbuh di semua jenis tanah, namun demikian, untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan produktivitas yang optimal, kedelai harus ditanam pada jenis tanah berstruktur lempung berpasir atau liat berpasir. Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan pertanaman kedelai yaitu kedalaman olah tanah yang merupakan media pendukung pertumbuhan akar (Irwan, 2006).

  Patogen penyebab penyakit Biologi patogen

  Menurut Alexopoulos dan Mims (1979), S. rolfsii dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Mycetaceae Divisi : Mycopyta Kelas : Deuteromycetes Ordo : Mycelia Steril Famili : Agonomycetaceae Genus : Sclerotium Spesies : Sclerotium rolfsii Sacc.

  Bentuk teleomorf dari cendawan S. rolfsii adalah Athelia rolfsii, termasuk ke dalam kelompok cendawan Agonomycetes. Miselium cendawan S. rolfsii berwarna putih seperti bulu. Sel hifa primer di bagian tepi koloni mempunyai lebar 4– 9 μm, dan panjang mencapai 350 μm (Semangun 1993). Hifa mempunyai satu atau lebih hubungan jaringan yang sama. Sel hifa sekunder, tersier, dan seterusnya berukuran lebih kecil dari sel primer dan mempunyai lebar 1,6– 2 μm. Percabangannya membentuk sudut yang lebih besar dan tidak mempunyai hubungan jaringan yang sama (Sumartini, 2012).

  Untuk pemencaran dan untuk mempertahankan diri jamur membentuk sejumlah sclerotia. Butir-butiran sclerotia mudah sekali lepas dan tersangkut air (Semangun, 2004). Menurut Rahayu (2008), sklerotia merupakan pemampatan dari himpunan miselia jamur, warnanya kecoklatan, berbentuk butiran kecil dengan diameter 1 mm, berkulit keras, dan mampu bertahan lama (dorman) di tanah dan residu tanaman.

  Pada lapisan dalam sklerotia terdapat gelembung-gelembung yang merupakan cadangan makanan. Bagian dalam sklerotia yang tua mengandung gula, asam amino, asam lemak, dan lemak, sedangkan bagian dindingnya mengandung gula, kitin, laminarin, asam lemak, dan β 1−3 glukosida. Permukaan sklerotium dapat mengeluarkan eksudat berupa ikatan ion, protein, karbohidrat, enzim endopoligalakturonase, dan asam oksalat. Asam oksalat yang dihasilkan S. rolfsii bersifat racun terhadap tanaman (fitotoksik). S. rolfsii juga mengeluarkan L-prolin yang merupakan antibiotik terhadap bakteri tertentu. Selama masa awal pertumbuhannya, pembentukan asam oksalat meningkat (Sumartini, 2012).

  Gejala Serangan

  Rebah semai yang disebabkan oleh jamur S. rolfsii merupakan penyakit penting tanaman kedelai, terutama pada musim hujan atau pada lahan yang drainasenya buruk.

  Infeksi S. rolfsii pada kedelai biasanya mulai terjadi di awal pertumbuhan tanaman dengan gejala busuk kecambah atau rebah kecambah. Pada tanaman kedelai berumur yang lebih tua 2-3 minggu, gejalanya berupa busuk pangkal batang dan layu, pada bagian terinfeksi terlihat bercak berwarna coklat pucat dan di bagian tersebut tumbuh miselia (Gambar 1b) (Rahayu, 2008). a

  c

  b Gambar 1.Gejala serangan S. rolfsii di lapangan (a) pangkal batang terinfeksi di selimuti miselia (b) pangkal batang terinfeksi berwarna kecoklatan (c) pertumbuhan sclerotia muda pada tanah di sekitar perakaran terinfeksi. Sumber : Foto langsung.

  S. rolfsii pertama kali menyerang batang, meskipun mungkin menginfeksi

  beberapa bagian tanaman dibawah kondisi lingkungan yang sesuai termasuk akar, buah, petiole, daun dan bunga. Tanda pertama infeksi, meskipun tidak terdeteksi adalah coklat gelap pada batang atau di bawah tanah. Gejala pertama yang mungkin adalah proses penguningan dan kelayuan pada daun, gejala berikutnya terlihat lapisan putih atau benang miselium pada jaringan yang terinfeksi dalam tanah (Gambar 1a) (Fichtner, 2006).

  Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit Sclerotium rolfsii merupakan salah satu jamur patogen yang dapat menyebabkan

  beberapa penyakit mematikan pada tanaman seperti busuk batang, layu dan rebah kecambah. Jamur ini merupakan jamur tular tanah yang dapat bertahan lama dalam bentuk sklerotia di dalam tanah, pupuk kandang, dan sisa-sisa tanaman sakit. Di samping itu, jamur tersebut dapat menyebar melalui air irigasi dan benih pada lahan yang ditanami secara terus menerus dengan tanaman inang dari S. rolfsii tersebut, sehingga mengakibatkan turunnya produksi tanaman yang akan dipanen (Magenda et al. 2011).

  Perkembangan jamur terjadi lebih cepat pada tanaman yang diperlakukan dengan sungkup daripada tanpa sungkup, hal ini dikarenakan perbedaan kelembaban.

  Pada tanaman yang disungkup, kelembaban mencapai 90%. S. rolfsii dari kacang tanah semakin infektif pada kelembaban tinggi yang menyebabkan tingginya intensitas dan luas serangan . Sebaliknya, pada kelembaban yang rendah akan memacu S. rolfsii untuk membentuk sklerotia (Gambar 1c) (Sukamto dan Dono, 2013).

  Sclerotium rolfsii merupakan salah satu jamur patogen yang dapat menyebabkan

  beberapa penyakit mematikan pada tanaman seperti busuk batang, layu dan rebah kecambah. Jamur ini merupakan jamur tular tanah yang dapat bertahan lama dalam bentuk sklerotia di dalam tanah, pupuk kandang, dan sisa-sisa tanaman sakit. Di samping itu, jamur tersebut dapat menyebar melalui air irigasi dan benih pada lahan yang ditanami secara terus menerus dengan tanaman inang dari S. rolfsii tersebut (Magenda et al. 2011).

  Pengendalian Penyakit

  Pengendalian S. rolfsii selama ini hanya secara mekanis dengan mencabut dan membuang tanaman yang sakit. Cara pengendalian tersebut kurang efektif karena patogen masih mampu bertahan lama di dalam tanah, dengan membentuk organ pembiakan, yaitu sklerotia. Sklerotia merupakan pemampatan dari himpunan miselia jamur, warnanya kecoklatan, berbentuk butiran kecil dengan diameter 1 mm, berkulit keras, dan mampu bertahan lama (dorman) di tanah dan residu tanaman. S. rolfsii dapat dikendalikan melalui beberapa cara seperti aplikasi fungisida, solarisasi tanah, rotasi tanaman, dan penggunaan mikroorganisme antagonis dalam upaya pengendalian penyakit secara hayati (Rahayu, 2008).

  Keberhasilan pengendalian hayati sangat dipengaruhi oleh daya antagonis atau daya hambat yang dimiliki suatu isolat, atau jumlah inokulum yang digunakan, dan cara aplikasinya (Cook & Baker 1996). Aplikasi P. fluorescens melalui penyelaputan benih (enkapsulasi), sangat sesuai dan praktis untuk pengendalian patogen tular tanah.

  Masalah yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan P. fluorescens selain daya hambat yang harus tinggi adalah konsentrasi aplikasi yang efektif (Rahayu, 2008).

  Enkapsulasi

  Enkapsulasi adalah suatu proses pembungkusan suatu bahan atau campuran beberapa bahan dengan bahan lain. Bahan yang dibungkus atau bahan yang ditangkap biasanya berupa cairan, walaupun ada juga yang berbentuk partikel padat atau gas yang disebut sebagai bahan inti atau bahan aktif atau bahan internal, sedangkan bahan yang berfungsi sebagai pembungkus disebut sebagai dinding atau bahan pembawa atau membran. Proses enkapsulasi banyak digunakan untuk mempertahankan flavor, asam, lipida, enzim, mikroorganisme, pemanis buatan, vitamin, mineral, air, bahan pengembang, warna dan garam (Risch, 1995).

  Penggunaan enkapsulasi dalam industri benih sangat efektif karena dapat memperbaiki penampilan benih, meningkatkan daya simpan, mengurangi risiko tertular penyakit dari benih di sekitarnya, dan dapat digunakan sebagai pembawa zat aditif, misalnya antioksidan, anti mikroba, repellent, mikroba antagonis, zat pengatur tumbuh dan lain-lain (Ilyas, 2003).

  Alginat

  Alginat adalah zat koloidal hidrofilik yang diekstrasi dari ganggang laut

  Macrocystis pyrifera dan Ascophyllum nodosum yang bersifat biokompatibel dan

  biodegradabel terdiri dari β-D manuronat dan α–L guluronat yang dihubungkan dengan ikatan (1-4) dengan berbagai perbandingan. Alginat yang tersedia secara komersial adalah dalam bentuk garamnya yaitu natrium alginat. Keunikan natrium alginat yaitu perubahannya menjadi hidrogel dengan 95% molekul air di dalamnya, yang merupakan syarat penting untuk penggunaan dalam menjebak senyawa. Ketika natrium alginat bertemu dengan kation divalent seperti Ca+2 menghasilkan pembentukan gel dimana residu G dari alginat yang mengikat ion Ca+2 (Wang et al. 2006).

  Teknik enkapsulasi ini dikembangkan oleh Redenbaugh et al. (1985) dengan cara membungkus embrio somatik dengan natrium alginat, yaitu sejenis gel yang diperkaya dengan hara, ZPT, mikroorganisme yang bersifat simbiosis misalnya Rhizobium dan jamur VAM (Vesicular Arbuscular Mycorhyza) atau komponen lain yang berfungsi dalam perkecambahan. Semakin tinggi konsenterasi alginat yang digunakan akan mengakibatkan semakin padat kapsul yang terbentuk dan semakin sempurna membungkus bibit mikro (Warnita dan Suliansyah, 2008).

  Tapioka

  Tepung tapioka mutlak diperlukan sebagai perekat antar komponen bahan enkapsulasi dengan benih. Enkapsulasi dapat melindungi benih selama penyimpanan selama 1 tahun dan masih mempunyai viabilitas yang tinggi (Priadi, 2011).

  Biologi Trichoderma sp

  Menurut Alexopoulos dan Mims (1979), Trichoderma sp. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Mycetaceae Divisi : Amastigomycota Kelas : Denteromycetes Ordo : Moniliales Famili : Moniliaceae Genus : Trichoderma Spesies : Trichoderma harzianum

   Trichoderma koningii Trichoderma viridae

  Pertumbuhan koloni Trichoderma mula-mula berbentuk anyaman miselium dengan permukaan yang putih mulus berair dan kemudian berambut banyak karena terjadinya pembentukan hifa-hifa baru. Selanjutnya koloni Trichoderma akan berubah warna dan kelihatan hijau pekat sedangkan bagian bawahnya tetap tidak berwarna. Miselium Trichoderma terdiri dari hifa-hifa yang transparan, berdinding mulus, bersepta dan bercabang banyak. Hifa ini sering membentuk klamidiospor yang timbul dalam posisi interseluler. Konidiofor akan muncul pada daerah percabangan pada miselia. Konidia dapat dihasilkan dari ujung phialides (Gambar 2) (Hasibuan, 2005).

  Trichoderma sp. indigenus mampu memanfaatkan nutrisi, ruang dan tempat

  tumbuh, serta mampu menghasilkan senyawa antibiosis yang menyebabkan terhambatnya perkembangan patogen S. rolfsii. Trichoderma bertindak sebagai mikoparasit bagi jamur lain dengan tumbuh mengelilingi miselium patogen dan menghasilkan enzim dari dinding miselia atau disebut dengan senyawa antibiosis yang dapat menghambat bahkan membunuh patogen. Trichoderma sp. menghasilkan zat antibiotik lain seperti trichotoxin yang dapat menyebabkan hifa patogen mengalami lisis (Supriati et al. 2008).

  Trichoderma mempunyai kemampuan menghasilkan kitinase. Enzim kitinase

  yang dihasikan oleh Trichoderma sp lebih efektif dibandingkan kitinase yang dihasilkan oleh organisme lain untuk menghambat berbagai fungi patogen tanaman. Kitinase berperanan penting dalam pengendalian fungi patogen tanaman secara mikoparasitisme (Umrah et al. 2009).

  A A B B C Gambar 2. Mikroskopis fungi (A) T. viridae (B) T. koningii (C) T. harzianum, Sumber : Foto langsung pada perbesaran 40 x 10.

  Trichoderma spp. mempunyai konidia yang berdinding halus koloni mula-mula

  berwarna hialin, lalu menjadi putih kehijauan, dan selanjutnya hijau tua terutama pada bagian yang menunjukkan banyak terdapat konidia. Konidiofor dapat bercabang menyerupai piramida yaitu pada bagian bawah cabang lateral yang berulang-ulang, sedangkan semakin ke ujung percabangan menjadi bertambah pendek. Phialid tampak dari cabang. konidia berbentuk semi bulat hingga

  langsing dan panjang terutama pada apeks oval pendek (Purwantisari dan Hastuti, 2009).

  Koloni jamur T.viridae tumbuh cepat, tiga hari setelah inokulasi menutupi cawan petri (90,00 mm), berwarna putih, setelah terbentuk konidia berubah menjadi hijau tua. Phialospore bentuk bulat, warna hijau dan diameter 3 – 5 µ. Phialide terbentuk 2 – 3 pada ujung percabangan konidiofor, dan pada tiap ujung phialide terbentuk phialospore (Gambar 2a) (Sudantha, 2009).

  Koloni T. harzianum tumbuh cepat , tiga hari setelah inokulasi menutupi cawan petri (90,00 mm). Setelah terbentuk konidia koloni berubah menjadi putih kehijauan.

  Phialide tumbuh pada setiap ujung percabangan dan pada ujungnya

  terdapt phialospore bentuk bulat sampai bulat lonjong, warna hijau pucat, berukuran 2,5 – 3,3 x 2,5 – 2,8µ (Gambar 2c) (Sudantha, 2009).

  Secara makroskopis koloni jamur T. koningii pada usia 1-2 hari di awal pertumbuhan berupa miselium putih lembut yang kemudian pada usia 3 hari berubah menjadi hijau gelap membentuk lingkaran yang beraturan. Pada usia 5 hari koloni mencapai diameter 8 cm pada media PDA. Pengamatan secara mikroskopis menunjukkan tipe konidiofor bercabang tidak beraturan. Cabang dengan arah tak beraturan dan berdinding halus berbintil. Phialide tersusun berpasangan/tunggal dan tak beraturan. Konidia bulat atau lonjong sempit dengan diameter 1 μm dengan warna hijau (Gambar 2b) (Wirawan et al., 2014).

  T. harzianum menghasilkan beberapa antibiotik, di antaranya antibiotik

  peptaibol yang bekerja secara sinergis dengan enzim ß (1,3) glukanase, senyawa 3- (2 hidroksipropil)-4-(2-heksadienil)-2(5H) furanon karbohidrat, air, oksigen, energi dan molekul organik yang membantu proses penghambatan terhadap patogen dan senyawa alkil piron (6-n-pentil-2H- piran-2-on atau 6PP) yang mampu mengubah penyebaran biomassa cendawan dengan kisaran luas. Asam amino bebas seperti asam pembentukan dinding sel hifa. T. harzianum secara in vitro juga dapat menurunkan patogenitas cendawan patogen (Mukarlina et al. 2010).

  Dalam interaksi mikroparasitik Trichoderma sp. menghasilkan enzim-enzim litik pendegradasi dinding sel jamur inang. Endokitinase merupakan enzim yang mempunyai aktivitas antifugal yang paling tinggi disbanding enzim-enzim yang lain (Wibowo et al. 2003). Mekanisme pengendalian Trichoderma sp. yang bersifat spesifik target, membentuk koloni dengan cepat dan melindungi akar dari serangan jamur patogen, mempercepat pertumbuhan tanaman dan meningkatkan hasil produksi tanaman, menjadi keunggulan lain sebagai agen pengendali hayati. Beberapa keunggulan Trichoderma sp. yang lain adalah mudah dimonitor dan dapat berkembang biak, sehingga keberadaannya di lingkungan dapat bertahan lama serta aman bagi lingkungan (Siregar, 2011).

  Trichoderma viridae adalah kapang berfilamen yang sangat dikenal sebagai

  organisme selulolitik dan menghasilkan enzim-enzim selullolitik, termasuk enzim selobiohidrolase, endoglukanase dan ß-glukosidase. Kelebihan dari Trichoderma

  

viridae selain menghasilkan enzim selulolitik yang lengkap, juga menghasilkan enzim

  xyloglukanolitik Keberadaan enzim ini akan semakin mempermudah enzim selulolitik dalam memecah selulosa (Gunam et al. 2011).

  Trichoderma koningii merupakan kompetitor yang kuat di daerah rhizosfer pada

  perakaran dan merupakan jamur antagonis yang sering digunakan dalam pengendalian patogen tular tanah. Trichoderma juga bersifat mikoparasit dan kompetitor yang aktif pada patogen dengan cara cendawan antagonis membelit hifa cendawan patogen (Soenartiningsih et al. 2011).

  Semua spesies Trichoderma sp. akan tumbuh baik disekitar perakaran tanaman yang sehat, sehingga terjadi simbiosis mutualisme antara jamur antagonis tersebut dengan tanaman yang dilindunginya.. Mekanisme perlindungan tanaman oleh

  

Trichoderma sp. tidak hanya melibatkan serangan terhadap patogen pengganggu, tetapi

  juga melibatkan produksi beberapa metabolit sekunder yang berfungsi meningkatkan pertumbuhan tanaman dan akar, dan memacu mekanisme pertahanan tanaman itu sendiri (Agustina et al. 2013).

  Trichoderma sp. akan mempertahankan bagian tanah sehingga akan membentuk

  struktur yang remah. Akar tanaman akan lebih mudah berkembang sehingga penyerapan terhadap air dan kandungan unsur hara baik makro dan mikro lebih terpenuhi untuk pertumbuhan (Hartal et al. 2010).