Enkapsulasi Bakteri Kitinolitik pada Benih Cabai untuk Menghambat Serangan Sclerotium rolfsii

(1)

ENKAPSULASI BAKTERI KITINOLITIK PADA BENIH CABAI UNTUK MENGHAMBAT SERANGAN Sclerotium rolfsii

TESIS

Oleh

NETTI IRAWATI 117030036/ BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

ENKAPSULASI BAKTERI KITINOLITIK PADA BENIH CABAI UNTUK MENGHAMBAT SERANGAN Sclerotium rolfsii

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Progrm Studi Magister Ilmu Biologi pada Program Pascasarjana

Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara

Oleh

NETTI IRAWATI/BIO 117030036/ BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

PENGESAHAN TESIS

Judul Tesis : ENKAPSULASI BAKTERI

KITINOLITIK PADA BENIH CABAI UNTUK MENGHAMBAT SERANGAN Sclerotium rolfsii

Nama Mahasiswa : NETTI IRAWATI

Nomor Induk Mahasiswa : 117030036 Program Studi : Magister Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing I

Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. NIP. 1964 0409 199403 1 003

Pembimbing II

Prof. Dr.Erman Munir, M.Sc. NIP. 1965 1101 199103 1 002

Ketua Program Studi

Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed. NIP. 1966 0209 199203 1 003

Dekan

Dr. Sutarman, M.Sc. NIP. 1963 1026 199103 1 001


(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

ENKAPSULASI BAKTERI KITINOLITIK PADA BENIH CABAI UNTUK MENGHAMBAT SERANGAN Sclerotium rolfsii

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar.

Medan, Agustus 2013

NETTI IRAWATI 117030036


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Netti Irawati

NIM : 117030036

Program Studi : Biologi Jenis Karya Ilmiah : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul:

ENKAPSULASI BAKTERI KITINOLITIK PADA BENIH CABAI UNTUK MENGHAMBAT SERANGAN Sclerotium rolfsii

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak bebas Royalti noneksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data base, merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, 28 Agustus 2013


(6)

Telah diuji pada

Tanggal : 28 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc Anggota : 1. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc

2. Dr. It Jamilah, M. Sc 3. Dr. Suci Rahayu, M.Si


(7)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama lengkap berikut gelar : Netti Irawati, S.Si

Tempat dan Tanggal lahir : Karang Tengah, 27 Maret 1985 Alamat Rumah : Jalan Raya Menteng Gg. Arhalim Telepon/ Faks/ HP : 08566312504

e-mail : netti_sept@yahoo.com

Instansi Tempat Bekerja : IFDS Siti Hajar

Alamat Kantor : Jln. Djamin Ginting km 11 Medan Telepon/ Faks/HP : 061-77812577

DATA PENDIDIKAN

SD : SD 091564 Tanah Jawa Tamat : 1997 SMP : SMP Negeri-2 Tanah Jawa Tamat : 2000 SMA : SMAS RK Budi Mulia Pematang Siantar Tamat : 2003 Strata-1 : Departemen Biologi FMIPA USU Tamat : 2008 Strata-2 : Program Pascasarjana Biologi FMIPA USU Tamat : 2013


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia Nya, serta shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul ”Enkapsulasi Bakteri Kitinolitik pada Benih Cabai untuk Menghambat Serangan Sclerotium rolfsii”, sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains di Program pascasarjana Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc sebagai Dosen Pembimbing 1 dan Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc selaku Dosen Pembimbing 2, Ibu Dr. It Jamilah M.Sc dan Ibu Dr. Suci Rahayu, M.Si selaku Dosen Penguji yang telah memberikan banyak saran dan arahan dalam penulisan tesis ini. Bapak Ketua Departemen Pascasarjana Biologi, Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Biomed dan seluruh staff pengajar dan pegawai di Pascasarjana Biologi.

Terima kasih kepada DITLITABMAS DIKTI yang telah mendanai penelitian ini melalui Hibah Unggulan Perguruan Tinggi Universitas Sumatera Utara. Terima kasih kepada Sekretaris Jenderal Pendidikan Tinggi (SEKJEN DIKTI) yang memberikan Beasiswa Unggulan. Terima kasih disampaikan kepada Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Sentral Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam beserta Compost Center Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas selama penelitian ini berlangsung.

Ungkapan terima kasih yang tak ternilai harganya penulis ucapkan kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta Ngadimen dan Katarina Nainggolan yang selalu


(9)

mendampingi dengan doa, semangat dan kasih sayang yang tak ternilai harganya. Buat kakanda Santi dan adinda Maya Sari, Picky Suharti dan Mirnawati serta abangda Anggia Putra Hutasuhut terima kasih buat doa, semangat dan dukungannya. Terima kasih juga untuk teman-teman seperjuangan angkatan 2011 dan adik-adik asisten Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Sentral atas doa, kerja sama dan dukungannya selama ini. Semoga tesis ini bermanfaat untuk semua pihak dan Allah SWT memberikan balasan yang terbaik. Aamiin Ya Rabb.


(10)

ENKAPSULASI BAKTERI KITINOLITIK PADA BENIH CABAI UNTUK MENGHAMBAT SERANGAN Sclerotium rolfsii

ABSTRAK

Penelitian mengenai enkapsulasi bakteri kitinolitik dengan menggunakan beberapa matriks seperti alginat, tapioka, carboksimetilselulosa dan gum arabik untuk menghambat serangan Sclerotium rolfsii pada benih cabai merah telah dilakukan. Enam isolat bakteri kitinolitik diujikan secara in vitro untuk mengetahui kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan S. rolfsii jamur penyebab rebah kecambah pada cabai merah. Uji viabilitas sel bakteri pada benih yang terlapis dengan enkapsulasi bakteri kitinolitik dilakukan dengan menghitung sel hidup melalui cawan sebar. Uji kemampuan bakteri yang terenkapsulasi dilakukan dengan menanam benih terenkapsulasi pada media tanam yang sudah diinokulasi dengan konidia S. rolfsii. Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam menghambat pertumbuhan S. rolfsii sebesar 11,40 mm dan sebesar 2,18 mm. Tingkat serangan S. rofsii pada benih cabai merah mencapai 64,71% dan mengalami penurunan sebesar 47,06% - 50% ketika benih direndam terlebih dahulu dalam larutan Enterobacter sp. PB17 dan Bacillus sp. BK17 sebelum melakukan persemaian. Enkapsulasi Bacillus sp. BK17 dengan menggunakan gum arabik menunjukkan viabilitas sel yang lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya. Penanaman benih yang sudah dienkapsulasi dengan Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 pada rumah kasa menunjukkan adanya penurunan rebah pada kecambah cabai merah sebesar 100% dan 80%.

Kata kunci :Bakteri kitinolitik, cabai merah, enkapsulasi, rebah kecambah, Sclerotium rolfsii,


(11)

ENCAPSULATION OF CHITINOLYTIC BACTERIA IN CHILLI SEED TO INHIBIT ATTACK OF Sclerotium rolfsii

ABSTRACT

A study of the encapsulation of chitinolytic bacteria in alginate, tapioca, carboxymethylcellulose and gum arabic in coated chilli seeds to inhibit Sclerotium rolfsii growth has been done. Six isolates of chitinolytic bacteria were examined in vitro to know their ability to inhibit the growth of S. rolfsii, a causal agent of damping-off on red chillies. Examination of bacterial viability on coated seeds was done by using spread plate method. Examination ability of encapsulated bacteria was done by planting the seeds in the growing media inoculated with conidia of S. rolfsii. Bacillus sp. BK17 and Enterobacter PB17 showed the higher inhibition rate to inhibit the growth of S. rolfsii with inhibition zone of 11.40 mm and 2, 18 mm, respectively. Chitinolytic bacteria treatment could reduce damping-off by 47,61-50% compared to that of (+) control which causing damping-damping-off by 63,71%. Encapsulated Bacillus Sp. BK17 with gum arabic showed higher cell viability compared to that of others. Coated seeds with encapsulated Bacillus sp. BK17 and Enterobacter sp. PB17 showed to decrease damping-off in vitro by 100% and 80 %.

Key words : Chitinolytic bacteria, red chilli, encapsulation, damping off, Sclerotium rolfsii


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN i

PERNYATAAN ORISINALITAS ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS iii

RIWAYAT HIDUP v

KATA PENGANTAR vi

ABSTRAK viii

ABSTRACT ix

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xv

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 3

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Hipotesis 4

1.5. Manfaat Penelitian 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5.

Karakteristik Tanaman Cabai

Penyakit Rebah Kecambah (Damping-off) pada Tanaman Cabai

Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur Potensi Bakteri sebagai Agen Biokontrol

Enkapsulasi a. Alginat

b. Karboksimetil Selulosa (CMC) c. Tapioka

d. Gum Arabik

5 6 8 9 11 12 13 14 16

BAB 3 BAHAN DAN METODE 18

3.1. 3.2.

Waktu dan Tempat Alat dan Bahan

18 18


(13)

3.3. 3.4. 3.5. 3.6. 3.7. 3.8. 3.9. 3.10. Isolat

Uji Antagonis Bakteri Kitinolitik In Vitro Pengamatan Struktur Hifa Jamur Abnormal Asai Patogenitas S. rolfsii terhadap Benih Cabai Preparasi Suspensi Isolat Bakteri

Enkapsulasi Benih Cabai Merah

Asai Viabilitas Bakteri Kitinolitik dalam Enkapsulasi Asai Patogenitas S. rolfsii terhadap Benih Cabai Terenkapsulasi di Rumah Kasa

19 19 19 20 20 21 22 23

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 24

4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5.

Kemampuan Antagonis Bakteri Kitinolitik secara In Vitro

Abnormalitas Hifa Jamur S. rolfsii setelah Uji Antagonis dengan Bakteri Kitinolitik

Patogenitas S. rolfsii pada Benih Cabai

Viabilitas Bakteri Kitinolitik dalam Enkapsulasi Patogenitas S. rolfsii terhadap Benih Cabai Terenkapsulasi 24 26 28 30 32

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 36

5.1. 5.2. Kesimpulan Saran 36 36

DAFTAR PUSTAKA 37


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Halaman

1 Kombinasi perlakuan enkapsulasi benih dengan 4 matriks Pembawa

22

2 Penghambatan pertumbuhan jamur S. rolfsii oleh bakteri kitinolitik

24


(15)

DAFTAR GAMBAR Nomor

Gambar

Judul Halaman

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Gejala serangan Sclerotium rolfsii adanya miselium pada batang tua

Struktur natrium alginat Struktur CMC

Struktur penyusun pati

Struktur penyusun gum arabik

Penghambatan pertumbuhan miselium jamur S. rolfsii pada media MGMK + yeast

Perubahan morfologi hifa jamur S. rolfsii setelah uji antagonis dengan bakteri antagonis pada media MGMK yeast (a). hifa normal, (b). hifa menggulung pada bagian ujung hifa, (c). hifa lisis pada bagian dinding hifa, (d).hifa bengkok, (e). isi hifa lisis, (f). hifa putus

Persentase rebah kecambah pada benih cabai (BK17 = benih cabai + Bacillus sp. BK17, PB17 = Benih cabai + Enterobacter sp. PB17)

Benih cabai yang normal (a) dan yang terserang S. rolfsii (b) setelah 30 hari 1. Hifa S. rolfsii pada pangkal batang, 2. Batang yang menguning dengan daun yang sudah habis berguguran.

Viabilitas sel bakteri pada benih terenkapsulasi selama penyimpanan

Persentase benih cabai yang tumbuh dan yang rebah Jumlah rata-rata daun dan tinggi tanaman setelah 6 minggu 7 12 13 15 17 25 27 28 30 31 33 34


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran

Judul Halaman

1 2 3 4

Alur kerja asai antagonisme in vitro Alur kerja preparasi suspesi isolat bakteri Komposisi medium

Foto penelitian

46 47 48 48


(17)

ENKAPSULASI BAKTERI KITINOLITIK PADA BENIH CABAI UNTUK MENGHAMBAT SERANGAN Sclerotium rolfsii

ABSTRAK

Penelitian mengenai enkapsulasi bakteri kitinolitik dengan menggunakan beberapa matriks seperti alginat, tapioka, carboksimetilselulosa dan gum arabik untuk menghambat serangan Sclerotium rolfsii pada benih cabai merah telah dilakukan. Enam isolat bakteri kitinolitik diujikan secara in vitro untuk mengetahui kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan S. rolfsii jamur penyebab rebah kecambah pada cabai merah. Uji viabilitas sel bakteri pada benih yang terlapis dengan enkapsulasi bakteri kitinolitik dilakukan dengan menghitung sel hidup melalui cawan sebar. Uji kemampuan bakteri yang terenkapsulasi dilakukan dengan menanam benih terenkapsulasi pada media tanam yang sudah diinokulasi dengan konidia S. rolfsii. Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam menghambat pertumbuhan S. rolfsii sebesar 11,40 mm dan sebesar 2,18 mm. Tingkat serangan S. rofsii pada benih cabai merah mencapai 64,71% dan mengalami penurunan sebesar 47,06% - 50% ketika benih direndam terlebih dahulu dalam larutan Enterobacter sp. PB17 dan Bacillus sp. BK17 sebelum melakukan persemaian. Enkapsulasi Bacillus sp. BK17 dengan menggunakan gum arabik menunjukkan viabilitas sel yang lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya. Penanaman benih yang sudah dienkapsulasi dengan Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 pada rumah kasa menunjukkan adanya penurunan rebah pada kecambah cabai merah sebesar 100% dan 80%.

Kata kunci :Bakteri kitinolitik, cabai merah, enkapsulasi, rebah kecambah, Sclerotium rolfsii,


(18)

ENCAPSULATION OF CHITINOLYTIC BACTERIA IN CHILLI SEED TO INHIBIT ATTACK OF Sclerotium rolfsii

ABSTRACT

A study of the encapsulation of chitinolytic bacteria in alginate, tapioca, carboxymethylcellulose and gum arabic in coated chilli seeds to inhibit Sclerotium rolfsii growth has been done. Six isolates of chitinolytic bacteria were examined in vitro to know their ability to inhibit the growth of S. rolfsii, a causal agent of damping-off on red chillies. Examination of bacterial viability on coated seeds was done by using spread plate method. Examination ability of encapsulated bacteria was done by planting the seeds in the growing media inoculated with conidia of S. rolfsii. Bacillus sp. BK17 and Enterobacter PB17 showed the higher inhibition rate to inhibit the growth of S. rolfsii with inhibition zone of 11.40 mm and 2, 18 mm, respectively. Chitinolytic bacteria treatment could reduce damping-off by 47,61-50% compared to that of (+) control which causing damping-damping-off by 63,71%. Encapsulated Bacillus Sp. BK17 with gum arabic showed higher cell viability compared to that of others. Coated seeds with encapsulated Bacillus sp. BK17 and Enterobacter sp. PB17 showed to decrease damping-off in vitro by 100% and 80 %.

Key words : Chitinolytic bacteria, red chilli, encapsulation, damping off, Sclerotium rolfsii


(19)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman sayuran yang sangat penting di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan areal pertanaman cabai merah yang terluas diantara tanaman sayuran. Pada tahun 2004, luas panen cabai mencapai 194.588 ha dan produksinya mencapai 1.100.514 ton. Produktivitas cabai merah di Indonesia sekitar 5.66 ton/ha. Produktivitas ini jauh lebih rendah dibandingkan potensinya yaitu 12-15 ton/ha (Departemen Pertanian, 2004). Penggunaan benih bermutu rendah dan infeksi penyakit merupakan penyebab utama rendahnya produktivitas cabai tersebut. Penurunan hasil panen di lapangan akibat penyakit rebah kecambah pada musim hujan cukup tinggi yaitu mencapai 80%, sedangkan pada musim kemarau sekitar 20-30% (Widodo, 2007). Di Kabupaten Garut misalnya penurunan hasil panen akibat rebah kecambah mencapai 60-70% (Oktaviane, 2013).

Salah satu penyebab penyakit yang menyerang tanaman cabai ialah jamur Sclerotium rolfsii (Lamidi, 1986; Dange, 2006; Semangun, 2007; Yusniawaty, 2009). Jamur ini dapat menyebabkan biji cabai membusuk di dalam tanah, atau semai-semai dapat mati sebelum muncul ke permukaan tanah, batang semai muda yang masih lunak terserang pada pangkalnya menjadi basah dan mengerut sehingga semai rebah dan mati (Semangun, 2007). Jamur S. rolfsii mempunyai penyebaran yang sangat luas, meliputi daerah tropik dan sub tropik di seluruh dunia, seperti di Korea (Kim dan Weon, 2003), Amerika (Cumming, 2009), Malaysia (Jinantana dan Sariah, 1998) dan Indonesia (Lamidi, 1986; Dange, 2006; Yusniawaty, 2009). Selain menyerang cabai jamur ini juga menyerang inang


(20)

lainnya seperti sambiloto (Hartati et al., 2008), famili Solanaceae (Kim dan Weon, 2003), tanaman bayam (Cumming, 2009), tomat (Yusniawaty, 2009) dan kedelai (Malinda et al., 2012).

Tanaman cabai adalah tanaman yang tidak ditanam langsung di lahan tetapi harus lebih dahulu disemai, setelah kecambah berumur 7-12 hari bibit dipindah ke lapangan. Menurut Setiadi (2004) persemaian benih memiliki peranan yang penting dalam penentuan hasil panen. Sehingga kualitas persemaian cabai perlu diperhatikan agar hasil panen sesuai dengan yang diharapkan. Hingga saat ini, varietas cabai komersial berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit rebah kecambah masih belum ada. Umumnya spesies cabai yang terserang rebah kecambah akan mati sebelum muncul ke permukaan tanah.

Pada umumnya pengendalian penyakit rebah kecambah masih bergantung kepada fungisida, namun karena fungisida memberikan dampak yang negatif bagi lingkungan, para peneliti berupaya mencari alternatif lain yang bisa digunakan untuk pengendalikan rebah kecambah tanpa mengganggu keseimbangan lingkungan diantaranya: penggunaan ekstrak tanaman seperti rimpang jahe, umbi bawang putih, daun alamanda, daun neem, dan biji kalijira (Islam dan Faruq, 2012) dan menggunakan agen biokontrol seperti Trichoderma harzianum dan Trichoderma virens (Jinantana dan Sariah, 1998; Istikorini, 2006; Mukarlina et al., 2010), dan Pseudomonas putida (Boer et al., 2003). Penggunaan mikroorganisme sebagai agen pengendali penyakit rebah kecambah bisa secara langsung (Seikh et al., 2006; Suprapta, 2012) maupun dengan cara enkapsulasi (Bashan, 1986).

Enkapsulasi adalah proses pembentukan kapsul yang menyelubungi suatu bahan. Bahan yang diselubungi umumnya disebut bahan inti atau bahan aktif. Bahan inti tersebut dapat berbentuk padat, cair atau gas. Enkapsulasi dapat dilakukan pada sel bakteri sebagai bahan inti (Frazier dan Westhoff, 1998). Beberapa penelitian yang menggunakan bakteri sebagai bahan inti yaitu Lactobacillus casei dan Bifidobacterium bifidum terenkapsulasi kalsium alginat


(21)

(Kim et al., 1996), Lactobacillus plantarum terenkapsulasi susu skim dan gum arab (Rizqiati et al., 2009) dan Methylobacterium spp. terenkapsulasi beberapa komposisi bahan pelapis (alginat, gum arabik) (Eka, 2009). Enkapsulasi dengan menambahkan subtansi prebiotik dalam produk merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk meningkatkan viabilitas organisme pada produk (Kneifel et al., 1993). Dalam penelitian ini perlu dilakukan penelitian mengenai potensi enkapsulasi bahan pelapis alginat, CMC, tapioka dan gum arab terhadap benih cabai merah dengan memanfaatkan isolat bakteri kitinolitik yang potensial sebagai pengendali hayati jamur patogen.

1.2. Perumusan Masalah

Penggunaan fungisida yang tidak bijaksana dapat menimbulkan masalah pencemaran lingkungan, gangguan keseimbangan ekologis dan residu yang ditinggalkannya dapat bersifat racun dan karsinogenik. Sehingga perlu segera diupayakan pengurangan penggunaan fungisida kimiawi dan mengalihkannya pada jenis fungisida yang aman bagi lingkungan, yakni dengan cara pengendalian hayati dengan menggunakan mikroorganisme. Namun kualitas penggunaan mikroorganisme perlu diperhatikan seperti membuat formulasi baru dalam peningkatan efektifitas mikroorganisme sebagai pengendali hayati. Salah satu alternatif formulasi yang digunakan adalah dengan enkapsulasi benih. Benih yang terenkapsulasi diharapkan memiliki kemampuan yang tinggi dalam pengendalian hayati untuk itu perlu dilakukan pengujian bahan enkapsulasi yang baik untuk melapisi benih cabai merah dan bakteri kitinolitik.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Kemampuan bakteri kitinolitik dalam menghambat pertumbuhan jamur S. rolfsii pada benih cabai.

2. Jenis matrik pembawa yang paling sesuai digunakan untuk enkapsulasi benih cabai.


(22)

3. Viabilitas bakteri kitinolitik dan benih terenkapsulasi bakteri kitinolitik dengan beberapa pembawa.

4. Kemampuan bakteri kitinolitik terenkapsulasi dalam menghambat pertumbuhan jamur S. rolfsii.

1.4. Hipotesis

1. Bakteri kitinolitik mampu menghambat pertumbuhan jamur S. rolfsii pada benih cabai.

2. Viabilitas bakteri kitinolitik dan benih terenkapsulasi bakteri kitinolitik pada bahan alginat, CMC, tapioka dan gum arabik berbeda.

3. Bakteri kitinolitik dalam bentuk enkapsulasi pada benih cabai merah mampu menghambat pertumbuhan jamur S. rolfsii.

1.5. Manfaat Penelitian

Dapat meningkatkan kualitas benih cabai merah terhadap serangan jamur patogen khususnya S. rolfsii.


(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Tanaman Cabai

Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae) yang diduga memiliki 90 genus dan sekitar 2.000 spesies yang terdiri dari tumbuhan herba, semak, dan tumbuhan kerdil lainnya. Tanaman cabai sendiri diperkirakan ada sekitar 20 spesies yang sebagian besar tumbuh di tempat asalnya Amerika. Di antaranya yang sudah dimanfaatkan baru beberapa spesies saja, yaitu cabai besar (Capsicum annuum), cabai kecil (Capsicum frustescens), Capsicum baccatum, Capsicum pubescens, dan Capsicum chinense (Setiadi, 2004). Beberapa sifat tanaman cabai yang dapat digunakan untuk membedakan antar varietas di antaranya adalah percabangan tanaman, pembungaan tanaman, ukuran ruas, dan tipe buahnya (Prajnanta, 1999). Bunga pada tanaman cabai terdapat pada ruas batang dan jumlahnya bervariasi antara 1-8 bunga tiap ruas tergantung pada spesiesnya. Cabai besar (C. Annuum) mempunyai satu bunga tiap ruas, sedangkan cabai rawit (C. frutescens) mempunyai 1-3 bunga tiap ruas. Ukuran ruas tanaman cabai bervariasi dari pendek sampai panjang. Makin banyak ruas makin banyak jumlah bunganya, dan diharapkan semakin banyak pula produksi buahnya. Buah cabai bervariasi antara lain dalam bentuk, ukuran, warna, tebal kulit, jumlah rongga, permukaan kulit dan tingkat kepedasannya.

Berdasarkan sifat buahnya, terutama bentuk buah, cabai besar dapat digolongkan dalam tiga tipe, yaitu cabai merah, cabai keriting dan cabai paprika (Prajnanta, 1999). Karakteristik agronomi cabai merah (besar) buahnya rata atau halus, agak gemuk, kulit buah tebal, berumur genjah, kurang tahan simpan dan tidak begitu pedas. Tipe ini banyak diusahakan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali


(24)

dan Sulawesi, sedangkan cabai merah keriting buahnya bergelombang atau keriting, ramping, kulit buah tipis, berumur lebih lama, lebih tahan simpan, dan rasanya pedas. Tipe ini banyak diusahakan di Jawa Barat dan Sumatera. Cabai paprika buahnya berbentuk segi empat panjang dan biasa dipanen saat matang hijau (Semangun, 2007). Umur cabai sangat bervariasi tergantung jenis cabai. Tanaman cabai besar dan keriting yang ditanam di dataran rendah sudah dapat dipanen pertama kali umur 70 –75 hari setelah tanam, sedangkan waktu panen di dataran tinggi lebih lambat yaitu sekitar 4 – 5 bulan setelah tanam. Panen dapat terus-menerus dilakukan sampai tanaman berumur 6 – 7 bulan. Pemanenan dapat dilakukan dalam 3 – 4 hari sekali atau paling lama satu minggu sekali (Setiadi, 2004).

Tanaman cabai akan tumbuh baik pada lahan dataran rendah yang tanahnya gembur dan kaya bahan organik, tekstur ringan sampai sedang, pH tanah berkisar antara 5.5 – 6.8, drainase baik dan cukup tersedia unsur hara bagi pertumbuhannya. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhannya adalah 18 – 30 oC Secara geografis tanaman cabai dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 1200 m di atas permukaan laut. Pada dataran tinggi yang berkabut dan kelembabannya tinggi, tanaman cabai mudah terserang penyakit. Cabai akan tumbuh baik pada daerah yang rata-rata curah hujan tahunannya antara 600–1250 mm dengan bulan kering 3–8,5 bulan dan pada tingkat penyinaran matahari lebih dari 45 % .

2.2. Penyakit Rebah Kecambah (Damping-off) pada Tanaman Cabai

Rebah kecambah (damping–off) sering terjadi di persemaian cabai maupun terung. Biji dapat membusuk di dalam tanah, atau semai-semai dapat mati sebelum muncul ke permukaan tanah. Batang semai muda yang masih lunak jika terserang rebah kecambah pangkalnya menjadi basah dan mengkerut sehingga menyebabkan semai rebah dan mati (Semangun, 2007).

Penyakit ini sudah lama dikenal tetapi pada umumnya orang menduga bahwa penyakit ini disebabkan oleh bakteri namun kemudian sudah banyak


(25)

dilaporkan bahwa penyakit rebah kecambah juga bisa disebabkan oleh jamur patogen tanaman diantaranya dari genus Phytium, Rhizoctonia dan Sclerotium (Singh, 1998; Agrios, 1997). S. rolfsii merupakan salah satu jamur patogen yang dapat menyebabkan rebah kecambah pada tanaman cabai (Semangun, 2007; Lamidi, 1986; Dange, 2006; Yusniawaty, 2009). Jamur ini merupakan jamur tular tanah yang dapat bertahan lama dalam bentuk sklerotia di dalam tanah, pupuk kandang, dan sisa-sisa tanaman sakit. Di samping itu, jamur tersebut dapat menyebar melalui air irigasi dan benih pada lahan yang ditanami secara terus menerus dengan tanaman inang yang sama, sehingga mengakibatkan turunnya produksi tanaman yang akan dipanen (Timper et al., 2001).

Jamur S. rolfsii menyebabkan gejala rebah kecambah pada persemaian dan busuk batang pada tanaman inang yang lebih tua. Apabila tanaman muda yang terserang maka akan cepat mati, tetapi bila tanaman yang lebih tua terserang, pucuk tanaman menjadi kuning, layu dan kemudian mati. Akibatnya bagian dari batang dan akar pada batas tanah menjadi busuk dan sebagian ditutupi oleh bercak putih yaitu miselium yang berwarna putih (Gambar 1) sampai terbentuk sklerotia coklat (Agrios, 1997).

Gambar 1. Gejala serangan S. rolfsii adanya miselium pada batang tua (Thu et al., 2013)

Menurut Maryudani dan Sudarmadi (1976), gejala serangan S. rolfsii mula-mula diawali dengan menguning dan melayunya daun-daun, kemudian diikuti dengan membusuknya batang. Kulit dan kayu pada pangkal batang serta akar tanaman yang terserang rusak. Pada tingkat penyerangan belum lanjut, bila


(26)

tanaman tersebut dicabut akan terlihat benang-benang halus pada bagian yang sakit. Benang-benang ini berwarna putih dan padanya terdapat butiran yang mula-mula berwarna putih kemudian coklat dan akhirnya coklat tua. Butir ini disebut sklerotium yang sangat mudah terlepas dari benang-benangnya. Miselium putih yang terjalin mengelilingi jaringan tanaman yang terserang sering terlihat seperti jalinan benang halus pada bagian tanaman yang sakit berwarna coklat tua dan dikelilingi oleh benda-benda kecil yang bentuknya menyerupai biji lada, yang dihasilkan pada bagian permukan tanaman yang terinfeksi dan dekat permukaan tanah. Tanaman muda dapat dikelilingi sklerotia dan mati.

Sclerotium rolfsii termasuk dalam subdivisi Deuteromycotina, Kelas Deuteromycetes, subkelas Hyphomycetidae dan ordo Agonomycetales (Alexopoules dan Mims, 1979). S. rolfsii adalah sejenis jamur yang mempunyai miselium yang terdiri dari benang-benang, berwarna putih, tersusun seperti bulu atau kipas. S. rolfsii tidak membentuk spora. Untuk pemencaran dan untuk mempertahankan diri jamur membentuk sejumlah sklerotium yang semula berwarna putih, kelak menjadi coklat. Butir-butir ini mudah sekali lepas dan terangkut oleh air. Sklerotium mempunyai kulit yang kuat sehingga tahan terhadap suhu tinggi dan kekeringan. Di dalam tanah sklerotium dapat bertahan sampai 6 - 7 tahun. Ukuran diameter sklerotia 0,05-2 mm dan bentuk perkecambahan sklerotia dispersif seperti kapas berwarna putih. Ukuran terkecil dari diameter koloni sclerotium adalah 0,61 cm dan ukuran terbesarnya 1,71 cm sedangkan untuk pengukuran kecepatan pertumbuhan miselium yang terlambat adalah 3,1 mm/hari dan yang tercepat adalah 8,54 mm/hari yang dapat dilihat pada hari kedua dan hari ketujuh penelitian (Magenda, 2011).

2.3. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur

Sclerotium rolfsii dilaporkan sebagai jamur tular tanah yang menyebabkan penyakit pada banyak tanaman khususnya di daerah tropis dan subtropis (Mukherjee dan Raghu, 1997). Perkembangan penyakit tergantung pada lingkungan, kondisi yang sesuai untuk perkembangan penyakit rebah kecambah


(27)

adalah pada kelembaban relatif (Rh) 12% - 15%. Pertumbuhan optimum S. rolfsii pada suhu 27-30o C dan sklerotia tidak dapat bertahan pada suhu dibawah 0oC sehingga suhu dingin bisa membatasi penyebaran jamur ini (Singleton et al., 1992; Singh, 1998). Sklerotia yang dihasilkan memiliki kemampuan yang baik dalam beradaptasi dengan lingkungan sehingga penyebaran sklerotia di sekitar inang dapat menjangkau wilayah yang cukup luas. Tingkat pertumbuhan sklerotia pada tanah dipengaruhi oleh bentuk perkecambahan hifa, kerusakan jaringan tanaman, dan kelarutan nutrisi (Punja dan Gregon, 1981; Punja et al., 1985).

Pada media biakan, jamur dapat tumbuh pada pH 1.4 – 8.8 (Agrios, 1997), dengan suhu optimum pertumbuhan 30 - 35oC sedangkan suhu minimumnya adalah 8oC dan suhu maksiumnya 40oC. Hifa vegetatif tidak dapat bertahan pada suhu dibawah 0oC. Pada kondisi tersebut hifa akan mati dalam jangka waktu 24 jam. Sedangkan sklerotianya dapat tahan selama 48 jam pada suhu -10oC (Watkins, 1961). Miseliumnya mampu tumbuh dan menyerang biji-biji dalam tanah dengan kandungan air yang jauh lebih rendah dari pada kandungan air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan biji (Epps et al., 1951). Keadaan suhu, kelembaban dan aerasi yang baik di atas permukaan tanah atau beberapa sentimeter dalam tanah dapat menguntungkan perkembangan miselia jamur dan akan meningkatkan patogenitas jamur. Jamur S. rolfsii memiliki dua fase pertumbuhan yang secara ekologi berbeda. Pertama adalah fase perkembangan miseliun yang berupa miselium putih dan tebal dan sering disebut sebagai jamur putih. Fase tersebut juga dikenal sebagai fase pertumbuhan atau fase patogenik dari jamur. Fase yang kedua adalah fase produksi sklerotia jamur yang memungkinkan jamur dapat bertahan pada keadaan yang tidak cocok (Boyle, 1961).

2.4. Potensi Bakteri sebagai Biokontrol

Pengendalian secara biologi dengan menggunakan mikroorganisme sudah banyak diteliti. Kepedulian dalam kesehatan dan lingkungan akibat menggunakan fungisida mendorong peneliti dalam mencari alternatif lain untuk mengontrol


(28)

penyakit dengan menggunakan mikroorganisme sebagai agen biokontrol (Martin dan Hancock, 1987; Wijayanti, 2003; Harni, 2007). Mikroorganisme yang digunakan sebagai agen biokontrol adalah mikroorganisme yang mampu menggunakan dinding sel jamur patogen sebagai sumber nutrisinya. Dinding sel jamur terdiri dari glukan, selulosa, kitin, manosa, glukosa, asam amino dan lemak (Landecker, 1996). Salah satu pengembangan teknologi yang cocok untuk mengendalikan jamur patogen tanaman adalah pemanfaatan mikroba kitinolitik yang memiliki aktivitas kitinase. Mikroba kitinolitik mampu menghidrolisis senyawa kitin yang merupakan salah satu penyusun dinding sel kapang patogen. Terdegradasinya senyawa tersebut menyebabkan jamur patogen menjadi lemah atau mati. Dengan demikian mikroba kitinolitik berpotensi digunakan sebagai biofungisida untuk mengendalikan kapang patogen yang memiliki kitin sebagai struktur dinding selnya (Nildayanti, 2011). Bakteri kitinolitik merupakan mikroba yang memiliki kemampuan mendegradasi kitin karena menghasilkan enzim kitinase. Berbagai kelompok bakteri dilaporkan memiliki aktivitas kitinolitik diantaranya yaitu Pseudomonas fluorescens, Bacillus dan Streptomyces (Djatmiko et al., 2007; Papuangan, 2009). Bacillus apiarius (Muharni dan Hary, 2011) Serratia marcescens (Wijayanti, 2003).

Pengendali hayati patogen tanaman yaitu bakteri yang disebarkan melalui tanah sudah dipelajari sebagai suatu alternatif untuk mengendalikan jamur patogen tanaman. Beberapa bakteri yang dimanfaatkan sebagai biokontrol yaitu P. putida terhadap Fusarium oxysporum (Boer et al., 2003), P. fluorescens, Bacillus spp, Streptomyces terhadap Ralstonia solanacearum (Djatmiko et al., 2007) Lactobacillus plantarum terhadap jamur Fusarium (Laitila et al., 2002). Bacillus subtilis. Bacillus polymixa, dan P. fluorescens), terhadap Xanthomonas oryzae dan Rhizoctonia solani (Machmud et al., 2002). Streptomyces RKt5 terhadap F. oxysporum (Yurnaliza et al., 2011), Bacillus sp terhadap Vibrio harveyi (Umar, 2009). Bacillus sp. dan Bacillus apiarius terhadap Rigidoporus lignosus (Muharni dan Hary, 2011). Streptomyces terhadap Colletotrichum sublineolum (Quecine et al., 2008).


(29)

Pemanfaatan bakteri kitinolitik sebagai pengendali jamur patogen tanaman diterapkan dengan cara enkapsulasi pada benih tanaman yang akan dijadikan target penelitian (Bashan, 1986; Schisler et al., 2004; Dawar et al., 2008; Hameeda et al.,2010; Suarez et al., 2011). Metode enkapsulasi ini diharapkan dapat meningkatkan ketahanan benih tanaman terhadap jamur patogen yang menyerang tanaman, sehingga pemanfaatan mikroorganisme sebagai pengendali hayati dapat lebih efektif dan berkesinambungan.

2.5. Enkapsulasi

Enkapsulasi adalah suatu proses pembungkusan suatu bahan atau campuran beberapa bahan dengan bahan lain. Bahan yang dibungkus atau bahan yang ditangkap biasanya berupa cairan, walaupun ada juga yang berbentuk partikel padat atau gas yang disebut sebagai bahan inti atau bahan aktif atau bahan internal, sedangkan bahan yang berfungsi sebagai pembungkus disebut sebagai dinding atau bahan pembawa atau membran. Proses enkapsulasi banyak digunakan untuk mempertahankan flavor, asam, lipida, enzim, mikroorganisme, pemanis buatan, vitamin, mineral, air, bahan pengembang, warna dan garam (Risch, 1995).

Ukuran partikel yang dibentuk selama proses enkapsulasi terdiri dari beberapa kisaran ukuran. Apabila ukuran partikelnya > 5000 mm disebut makrokapsul, ukuran partikelnya antara 15 – 20 mikron atau kurang dari setengah diameter rambut manusia disebut mikrokapsul (Yoshizawa, 2004) dan apabila ukuran partikelnya antara <0,2 mm – 2000 Ao disebut nanokapsul (King, 1995). Bentuk enkapsulasi dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu berbentuk bubuk dengan teknik pengeringan dan yang berbentuk cair. Teknik pengeringan yang biasa digunakan untuk enkapsulasi dalam bentuk bubuk adalah pengeringan semprot, sedangkan teknik untuk enkapsulasi dalam bentuk cairan biasanya menggunakan teknik koaservasi (pemisahan fase), emulsi dan ekstruksi dalam bentuk basah. Selain yang telah disebutkan di atas teknik enkapsulasi lain dapat berupa proses suspensi udara (fluidized bed atau spray coating), spray cooling,


(30)

spray chilling, ekstruksi sentrifugal, pemisahan suspensi rotasional, dan kompleksasi inklusi.

Beberapa bahan yang bisa digunakan untuk enkapsulasi yaitu: a. Alginat

Alginat adalah zat koloidal hidrofilik yang diekstrasi dari ganggang laut Macrocystis pyrifera dan Ascophyllum nodosum yang bersifat biokompatibel dan biodegradabel terdiri dari β-D manuronat dan α–L guluronat yang dihubungkan dengan ikatan (1-4) dengan berbagai perbandingan (Colwell et al., 1985). Alginat yang tersedia secara komersial adalah dalam bentuk garamnya yaitu natrium alginat (Gambar 2). Keunikan natrium alginat yaitu perubahannya menjadi hidrogel dengan 95% molekul air di dalamnya, yang merupakan syarat penting untuk penggunaan dalam menjebak senyawa. Ketika natrium alginat bertemu dengan kation divalent seperti Ca+2 menghasilkan pembentukan gel dimana residu G dari alginat yang mengikat ion Ca+2 (Wang et al., 2006).

Gambar. 2. Struktur natrium alginat

Beberapa contoh penelitian yang menggunakan alginat sebagai bahan enkapsulasi, seperti yang dilakukan oleh Purwandhani et al. (2007) melakukan enkapsulasi sel menggunakan metoda pelapisan (coating), dengan dua metode, yaitu metoda ekstrusi dan emulsi. Pada masing-masing metoda dilakukan enkapsulasi satu lapis (single coating) dan dua lapis (double coating). Metoda satu lapis menggunakan alginat dan metoda dua lapis yaitu menggunakan protein (susu skim) sebagai lapis yang pertama dan alginat sebagai lapisan kedua. Beberapa laporan penelitian lainnya yang telah memanfaatkan alginat sebagai bahan enkapsulasi benih pada beberapa tanaman diantaranya kacang panjang dengan isolat Methylobacterium spp. (Eka, 2009), tomat dengan B. substilis (Suarez et al., 2011), bunga matahari dengan isolat Bacillus thuringiensis (Dawar


(31)

et al., 2008), cabai dengan isolat Bacillus sp. (Suryanto et al., 2012), padi dengan isolat Bacillus megaterium (Chumthong et al., 2008).

b. Karboksimetil Selulosa (CMC)

Karboksimetil selulosa atau Carboxymethyl Cellulose (CMC) banyak digunakan pada berbagai industri seperti: detergen, cat, keramik, tekstil, kertas dan makanan. Fungsi CMC disini adalah sebagai pengental, penstabil emulsi atau suspensi dan bahan pengikat (Wijayani et al., 2005). CMC adalah polisakarida anionik linear yang larut dalam air dan merupakan gom alami yang dimodifikasi secara kimia. Bubuk CMC yang telah dimurnikan berwarna putih sampai krem, mengalir bebas, tidak berasa, dan tidak berbau (Yundhana, 2008). Fungsi dasar CMC adalah untuk mengikat air, menstabilkan komponen lain, dan mencegah pengerutan. Struktur CMC mempunyai kerangka D-glukopiranosa yang berikatan β- (1,4) dari polimer selulosa (Gambar 3).

Gambar. 3 Struktur CMC

Perbedaan cara membuat CMC mempengaruhi derajat substitusi, tetapi secara umum derajat substitusi berkisar dari 0.4 sampai 1.4 per unit monomer CMC diproduksi dengan cara mencampurkan selulosa dari pulp kayu atau kapas dengan larutan NaOH. Selulosa-alkali ini kemudian direaksikan dengan Namonokloroasetat atau asam monokloroasetat menghasilkan Na- CMC dan NaCl (Awalludin, 2004). Berbeda dengan turunan selulosa lainnya. CMC mengandung garam karboksil yang membuatnya lebih mudah larut dalam air.

Secara umum larutan CMC dalam air bersifat pseudoplastik, tetapi larutan CMC dengan derajat polimerisasi tinggi dan derajat substitusi rendah menunjukkan sifat tiksotropik. Pada pH rendah, CMC kehilangan viskositasnya


(32)

dan cenderung mengendap. Stabilitas maksimum CMC terjadi pada pH 7 sampai 9. CMC dengan tingkat kemurnian tinggi yang dikenal sebagai gom selulosa, telah digunakan secara luas dalam bidang industri makanan dan farmasi. Dalam industri makanan, CMC digunakan sebagai pengental, pencegah pengerutan, dan pencegah pembentukan kristal es. Sifat CMC yang tidak larut dalam asam lambung, tetapi larut dalam cairan basa di usus, menyebabkan CMC digunakan untuk pembuatan tablet atau serbuk obat dengan cara salut enteric (Awalludin 2004).

Natrium CMC adalah garam dari asam karboksilat. Pada pH 3.0 atau lebih rendah, CMC akan kembali menjadi bentuk asam bebas tidak larut. Sifat yang paling berguna dari CMC adalah daya pengentalannya. Viskositas larutan hampir tidak terpengaruh pada pH 5−7; pada pH<3, viskositas mungkin meningkat dan pengendapan bentuk asam bebas dari CMC dapat terjadi; pada pH>10 terjadi sedikit penurunan viskositas. Viskositas larutan CMC menurun dengan meningkatnya suhu (Yundhana, 2008). Beberapa penelitian yang telah memanfaatkan CMC sebagai bahan enkapsulasi diantaranya pada benih padi dengan isolat P. fluorescens (Nandakumar et al., 2001), benih jagung dengan isolat B. substilis (Muis dan Arcadio, 2006).

c. Tapioka

Tapioka adalah pati yang banyak dihasilkan di Brazil, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Nigeria. Tapioka berasal dari umbi singkong (Manihot esculenta) yang diambil patinya melalui proses penggilingan umbi singkong, dekantasi, pemisahan ampas dengan konsentrat, pengendapan, dan pengeringan (Dziedzic dan Kearsley, 1995). Komponen utama dari tapioka adalah pati, yaitu 73,3– 84,9%, yang terdiri dari amilosa sebanyak 17% dan amilopektin 83%. Selain itu, tapioka juga mengandung lemak sebesar 0,08-1,54%, protein (0,03-0,60%), abu (0,02- 0,33%), dan sedikit fosfor (0,8 -4,0% x 102) (Rickard et al., 1991). Amilosa merupakan bagian polimer linier dengan ikatan α-(1:4) unit glukosa. Derajat polimerisasi (DP) amilosa berkisar antara 500−6.000 unit glukosa (Gambar 4), bergantung pada sumbernya. Adapun amilopektin merupakan polimer α-(1:4) unit glukosa dengan rantai samping α-(1:6) unit glukosa Ikatan α-


(33)

(1:6) unit glukosa ini jumlahnya sangat sedikit dalam suatu molekul pati, berkisar antara 4−5%. Namun, jumlah molekul dengan rantai cabang, yaitu amilopektin, sangat banyak dengan DP berkisar antara 105 dan 3x106 unit glukosa (Jacobs dan Delcour, 1998).

Granula pati tapioka berbentuk semi bulat sampai bulat dengan salah satu dari bagian ujungnya mengerucut dengan ukuran 5-35 mm. Suhu gelatinisasi berkisar antara 52-64 0C, kristalinitas 38%, kekuatan pembengkakan sebesar 42 dan kelarutan 31%. Kekuatan pembengkakan dan kelarutan tapioka lebih kecil dari pati kentang, tetapi lebih besar dari pati jagung (Rickard et al., 1991). Suhu gelatinisasi pati tapioka berada di antara pati jagung waxy dan pati jagung reguler. Viskositasnya lebih rendah dibandingkan dengan pati jagung waxy. Apabila dilakukan pendinginan, larutan pati mengalami retrogradasi untuk menghasilkan suatu gel yang halus. Larutan pati tapioka lebih jernih dibandingkan pati-pati native yang lainnya (National Starch, 2005).

Gambar. 4. Struktur penyusun pati

Pati tapioka dapat digunakan pada industri pangan dan industri nonpangan. Pada industri non-pangan, tapioka digunakan pada industri kertas, tekstil, kayu lapis, farmasi dan komestik, sedangkan pada industri pangan dapat digunakan pada industri bakery, konfeksionari, es krim, saus dan mi instan. Pati tapioka digunakan sebagian besar dalam bentuk pati modifikasinya atau turunannya. Pati tapioka native terbatas penggunaannya pada produk bakery saja. Adapun apabila pati tapioka sudah dimodifikasi, maka dapat digunakan dengan berbagai fungsi, seperti bahan pengisi, pengikat, pembentuk tekstur, stabiliser, pemanis, dan pengganti lemak (Hustiany, 2006).


(34)

Penggunaan tapioka sebagai bahan enkapsulasi telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya Azospirillum brasilense sebagai pupuk organik (Wijayanti, 2010). Benih cabai terhadap F. oxysporum (Suryanto et al., 2012). Enkapsulasi terhadap P. fluorescens dan B. putida (Charpentier et al., 1998).

d. Gum Arabik

Gum arabik telah digunakan selama setidaknya 4.000 tahun (FAO, 1999). Substansi gum Arabik merupakan suatu metabolit sekunder yang dihasilkan olah tanaman yang berasal dari spesies Acacia senegal dan tanaman lainnya yang masih dekat kekerabatannya. Pohon Acacia senegal banyak ditemukan di Sudan, Senegal, Nigeria dan daerah semiarid. Eksudat kering tidak berbau, tidak berwarna dan hambar, dan sering teerjadi sebagai respons terhadap infeksi pada bagian pohon yang luka. Larut dalam air walaupun dalam air dingin dan air panas dengan konsentrasi mencapai 50 %. Viskositas larutan bervariasi tergantung tipe gum arabik, pH dan ikatan ionik. pH memiliki peranan penting dalam memodifiksi viskositas gum arabik. pH < 5 dan pH > 9,5 menyebabkan pengurangan viskositas ion arabates. Namun pH yang mendekati pH netral dapat meningkatkan viskositas gum arabik (Mahmoud, 2000). Viskositas maksimum dicapai antara pH 6 dan 7. Gum arabik digunakan sebagai koloid protektif dan emulsifier.

Untuk merangsang produksi eksudat ini dapat dilakukan perlukaan pada bagian batangnya. Karakteristik yang membedakannya dengan getah alam adalah bahwa Gum arabik larut dengan cepat dalam air. Gum arabik disebut juga sebagai getah acasia yang merupakan tanaman yang tertua dan paling dikenal dibandingkan tanaman lainnya. Eksudat kering ini diperoleh dari batang dan cabang seyal Acacia senegal atau Acacia (FAO, 1999). Namun, nama ini juga digunakan untuk getah lainnya yang dihasilkan oleh spesies Acacia lainnya (Verbeken et al., 2003). Meskipun ada lebih dari 500 jenis pohon akasia, Gum arabik yang paling banyak dikomersialkan dari Acacia seyal dan Acacia seneal, yang dibudidayakan secara komersial di seluruh Sahel dari Senegal dan Sudan.


(35)

Gum arabik adalah campuran kompleks dari oligosakarida arabinogalactan, polisakarida, glikoprotein. Strukur kimianya bersifat netral atau sedikit asam pada rantai cabang. Komposisi kimia yang terikat pada rantai utama gum arabik berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu musim, iklim, umur pohon, curah hujan, waktu eksudasi, dan faktor lainnya. Rantai utama gum arabik terdiri dari β-(1→3) berikatan dengan unit D-galactopyranosyl. Rantai sampingnya terdiri dua sampai lima β-(1→3) berikatan dengan unit D-galactopyranosyl, berikatan dengan rantai utama pada ikatan 1,6. Baik rantai utama dan rantai samping dari gum arabik mengandung unit dari α-L-arabinofuranosyl-, α-L-rhamnopyranosyl, β-D-glucuronopyranosyl, dan 4-O-methyl β-D-glucuronopyranosyl (Gambar 5) (Verbeken et al., 2003; Ali et al., 2009). Tergantung pada sumber tanamannya, glycan pada gum arabik pada seyal acacia mengandung proporsi L-arabinosa yang lebih besar terhadap D-galaktosa (Motlagh et al., 2006; Chaplin, 2007). Penggunaan gum arabik sebagai bahan enkapsulasi mikroba telah banyak dilakukan diantaranya pada benih jagung dengan isolat B. substillis (Muis dan Arcadio, 2006), benih kacang hijau terhadap B. thuringiensis (Sheikh et al., 2006).


(36)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Januari sampai dengan Juli 2013 bertempat di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Sentral, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Laboratorium Analisis Bahan Pangan Fakultas Pertanian, dan Compost Center Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang dipergunakan adalah tabung reaksi, cawa Petri, jarum ose, bunsen, gelas beaker, Erlenmeyer, pipet mikro, gelas ukur, spatula, pipet volum, propipet, kertas saring, corong, hot plate, vorteks, pinset, stirer, jangka sorong, autoclave, shaker water bath, oven, inkubator, timbangan analitik, sentrifugasi, spektrofotometer, polibaq, gunting, aluminium foil. Bahan-bahan utama yang diperlukan pada penelitian aquades, potato dextrosa agar (PDA), dextrosa, yeast ekstrak (0,3%), alginat, karboksimetil selulosa (CMC), tapioka, gum arabik, NaCl 0,85 %, NaNO3, larutan Mc Farland, HCL 10 N, nutrien agar (NA), kloroks 1 %,

alkohol 95%, tanah, kompos, pasir, glucose yeast broth (GYB), polyvinilpyrrolidone (PVP), laktosa monohidrat, benih cabai komersil, media garam minimum dengan 0,2% koloidal kitin (MGMK) (lampiran 3) (Suryanto, 2001).


(37)

3.3. Isolat

Isolat bakteri kitinolitik yang digunakan diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi FMIPA USU Bacillus sp. BK13, Enterobacter sp. BK15, Bacillus sp. BK17, PB08, PB15 dan Enterobacter sp. PB17. Isolat jamur yang digunakan adalah S. rolfsii yang merupakan koleksi Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU.

3.4. Uji Antagonis Bakteri Kitinolitik In Vitro

Kemampuan bakteri kitinolitik dalam menghambat pertumbuhan S. rolfsii diuji dengan asai antagonisme in vitro. Biakan S. rolfsii diinokulasikan pada bagian tengah media PDA yeast. Kultur diinkubasi selama 24 jam. Setelah 24 jam sebanyak 30 µl (≈ 108 sel/ml) sel bakteri diinokulasikan ke dalam media tersebut dengan menggunakan cakram kosong (Oxoid) pada kedua sisi isolat jamur dengan jarak 3 cm. Biakan diinkubasi pada suhu ruang. Zona hambat terhadap miselia S. rolfsii diamati mulai hari kedua sampai ketujuh. Besarnya zona hambat dihitung dengan mengukur selisih jari-jari pertumbuhan jamur normal dengan jari-jari pertumbuhan jamur yang terhambat oleh bakteri.

3.5. Pengamatan Struktur Hifa Jamur Abnormal

Pengamatan struktur hifa jamur S. rolfsii dilakukan dengan 2 cara yaitu secara visual dan mikroskopis. Pengamatan secara visual dilakukan dengan cara melihat zona luas pertumbuhan miselium S. rolfsii. Pengamatan secara mikroskopis dilakukan dengan cara mengamati ujung miselium pada daerah/ zona hambat S. rolfsii. Ujung miselium S. rolfsii yang tumbuh pada permukaan media PDA dipotong berbentuk kubus, kemudian diletakkan pada gelas objek dan selanjutnya diamati adanya abnormalitas pertumbuhan miselium S. rolfsii di bawah mikroskop elektron.


(38)

3.6. Asai Patogenitas S. rolfsii Terhadap Benih Cabai

Biakan S. rolfsii yang telah diremajakan di cawan petri selama 7 hari diinokulasikan pada 100 ml media GYB di dalam labu erlenmeyer 250 ml dan diinkubasi pada suhu ruang selama 10 hari. Sebanyak 100 ml suspensi biakan S. rolfsii dicampur dengan 500 g campuran pasir, tanah dan kompos steril (nisbah 2:1:1) (Mulyati, 2009) di dalam nampan plastik berukuran 30 cm x 22 cm x 10 cm. Pada tiap nampan ditanam 30 benih cabai terenkapsulasi lalu ditutup dengan plastik lalu diamati selama 30 hari. Benih yang ditanam pada media yang tidak diinokulasi S. rolfsii digunakan sebagai kontrol negatif (K (+)) sedangkan benih yang ditanam pada media yang diinokulasi S. rolfsii digunakan sebagai kontrol positif (K (-)). Peubah yang diamati adalah tanaman yang terserang rebah kecambah selama masa persemaian 30 hari. Persentase rebah kecambah dihitung dari jumlah kecambah yang rebah dibagi jumlah seluruh kecambah yang tumbuh. Peubah yang diamati adalah tanaman yang terserang rebah kecambah, tinggi tanaman, dan jumlah daun selama persemaian 30 hari. Pengurangan persentasi rebah kecambah dihitung dari rumus :

Pengurangan rebah kecambah =

Reisolasi ulang dilakukan terhadap S. rolfsii dengan memotong jaringan pada pangkal batang kecambah yang menunjukkan gejala rebah kecambah. Jaringan tersebut didesinfeksi dengan larutan 2% NaClO, dicuci dengan air steril sebanyak tiga kali dan ditanam pada media PDA. Isolat yang diperoleh diuji kembali patogenitasnya.

3.7. Preparasi Suspensi Isolat Bakteri

Isolat yang akan diujikan diinokulasikan pada campuran media dekstrosa sodium nitrat (NaNO3) 0,03 %, yeast ekstrak 0,2 g dan koloidal kitin sebanyak 2%

selanjutnya diguncang dengan kecepatan 200 rpm selama 4 hari pada suhu ruang. Kultur Enterobacter sp. PB17 kemudian disentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 ∑(Kontrol(-)-∑(Kontrol(+) - ∑kecambah rebah


(39)

menit, pelet yang diperoleh dipindahkan pada penyangga fosfat (100 mM, pH 7) selanjutnya disuspensikan kembali dengan akuades (1:2 v/v) diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Kultur Bacillus sp. BK17 disentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 menit, pelet yang diperoleh dipindahkan pada penyangga fosfat (100 mM, pH 7) selanjutnya disuspensikan kembali dengan akuades (1:2 v/v) diinkubasi pada suhu 65oC untuk membunuh sel vegetatifnya selama 15 menit. Kerapatan spora diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm (Pungnoo et al., 2005).

3.8. Enkapsulasi Benih Cabai Merah

Metode enkapsulasi yang digunakan merupakan modifikasi dari Chumthong (2008). Proses enkapsulasi diawali dengan preparasi suspensi isolat bakteri yang diuji, selanjutnya 5 g benih cabai merah dicampur dengan Enterobacter sp. PB17 dengan kerapatan sel OD 600 = 0,5 dan endospora Bacillus sp. BK17 dengan kerapatan spora OD 660 = 0,5 masing-masing sebanyak 10 ml. Selanjutnya dicampur dengan 85 g laktosa monohidrat, 5 g PVP, 50 g tepung talk dan 10 g natrium alginat dan dikeringanginkan. Enkapsulasi tapioka, 5 g benih cabai merah direndam ke dalam 10 ml suspensi Enterobacter sp. PB17 dan endospora Bacillus sp. BK17, kemudian dicampur dengan 3 ml gliserol, 25 g tapioka dan 50 g tepung talk. Semua bahan dicampur kemudian ditambahkan akuades steril sampai volumenya menjadi 100 ml lalu dikeringanginkan.

Enkapsulasi menggunakan CMC digunakan metode modifikasi dari Vidhyasekaran dan Muthamilan (1999), 5 g benih cabai merah dicampur dengan suspensi Enterobacter sp. PB17 dan endospora Bacillus sp. BK17 masing-masing sebanyak 10 ml. Selanjutnya dicampur dengan 100 g tepung talk, 1,5 g CaCO3

dan 5 g CMC lalu dikeringanginkan, sedangkan untuk enkapsulasi dengan menggunakan gum arabik, 5 g benih cabai merah dicampur dengan suspensi Enterobacter sp. PB17 dan endospora Bacillus sp. BK17 masing-masing sebanyak 10 ml selanjutnya dicampur dengan 10 g gum arabik dan 50 g tepung talk lalu dikeringanginkan (Kloepper dan Schroth, 1981).


(40)

3.9. Asai Viabilitas Bakteri Kitinolitik Dalam Enkapsulasi

Jumlah koloni kultur bakteri kitinolitik ditentukan dengan menggunakan standard plate count. Satu gram cabai merah terenkapsulasi diambil, kemudian digerus lalu dicampurkan dengan 10 ml akuades steril, dipipet sebanyak 0,1 ml lalu ditumbuhkan pada media MGMK (Suryanto, 2001). Jumlah koloni bakteri kitinolitik yang tumbuh dihitung pada media MGMK yang ditandai dengan zona bening di sekitar koloni. Perhitungan jumlah koloni dilakukan pada minggu ke- 1,2,3 dan 4.

Kombinasi perlakuan enkapsulasi sel bakteri Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 terhadap benih cabai merah dengan menggunakan matriks pembawa alginat, tapioka, gum arabik dan CMC dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Kombinasi perlakuan enkapsulasi benih dengan 4 matriks pembawa No Kombinasi

enkapsulasi Keterangan

1. A (+) Benih cabai + Alginat + konidia S. rolfsii 2. T (+) Benih cabai + Tapioka + konidia S. rolfsii 3. G (+) Benih cabai + Gum arabik + konidia S. rolfsii 4. 5. 6. 7. 8. C (+) A (-) T (-) G (-) C (-)

Benih cabai + CMC + konidia S. rolfsii Benih cabai + Alginat

Benih cabai + Tapioka Benih cabai + gum arabik Benih cabai + CMC

9. ABK17 Benih cabai + Alginat + Bacillus sp. BK17 + konidia S. rolfsii

10. APB17 Benih cabai + Alginat + Enterobacter sp. PB17 + konidia S. rolfsii

11. TBK17 Benih cabai + Tapioka + Bacillus sp. BK17 + konidia S. rolfsii

12. TPB17 Benih cabai + Tapioka + Enterobacter sp. PB17 + konidia S. rolfsii

13. GBK17 Benih cabai + Gom arabik + Bacillus sp. BK17 + konidia S. rolfsii

14. GPB17 Benih cabai + Gom arabik + Enterobacter sp. PB17 + konidia S. rolfsii

15. 16.

CBK17 CPB17

Benih cabai + CMC + Bacillus sp. BK17 + konidia S. rolfsii Benih cabai + CMC + Enterobacter sp. PB17 + konidia S. rolfsii


(41)

3.10. Asai Patogenitas S. rolfsii terhadap Benih Cabai Terenkapsulasi di Rumah Kasa

Benih cabai yang telah dienkapsulasi ditanam pada polibeg yang telah diisi dengan campuran kompos, tanah dan pasir (nisbah 2:1:1) (Mulyati, 2009) dengan 3 perlakuan. Perlakuan pertama benih yang sudah terenkapulasi oleh bakteri Enterobacter sp. PB17 dan Bacillus sp. BK17 ditanam pada media tanam diberi suspensi jamur S. rolfsii. Perlakuan kedua benih yang sudah terenkapulasi oleh bakteri Enterobacter sp. PB17 dan Bacillus sp. BK17 ditanam pada media tanam tidak diberi suspensi jamur S. rolfsii. Perlakuan ketiga. Benih yang tidak dienkapsulasi oleh bakteri Enterobacter sp. PB17 dan Bacillus sp. BK17 ditanam pada media yang diberi suspensi S. rolfsii dan tidak diberi suspensi S. rolfsii Masing-masing perlakuan dibuat sebanyak 5 ulangan. Kemudian pengamatan dilakukan selama 30 hari. Peubah yang diamati adalah tanaman yang terserang rebah kecambah, tinggi tanaman, jumlah daun selama persemaian 30 hari.


(42)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kemampuan Antagonis Bakteri Kitinolitik secara In Vitro

Hasil uji antagonisme 6 isolat bakteri kitinolitik terhadap jamur S. rolfsii menunjukkan bahwa keenam isolat kitinolitik mampu menghambat pertumbuhan S. rolfsii dengan kemampuan yang berbeda-beda. Zona hambat umumnya mulai teramati pada hari kedua dan jarak zona hambat terus bertambah, dan setelah hari ketujuh umumnya tidak terjadi lagi pertambahan jarak zona hambatan seperti terlihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel.2. Penghambatan pertumbuhan jamur S. rolfsii oleh bakteri kitinolitik No. Isolat Rata-rata zona hambatan (mm) hari ke

2 3 4 5 6 7

1. Bacillus sp. BK13 2,10 4,69 7,76 2,01 0,00 0,00 2. Enterobacter sp. BK15 2,23 5,65 5,15 1,69 0,00 0,00 3. Bacillus sp. BK17 1,79 3,81 8,33 13,50 13,90 11,40 4. PB08 0,55 1,74 0,00 0,00 0,00 0,00 5. PB15 1,53 0,75 0,05 0,00 0,00 0,00 6. Enterobacter sp. PB 17 1,19 3,88 6,13 6,68 2,18 0,00 Pada pengamatan hari ketujuh dari keenam isolat tersebut, isolat yang menunjukkan efektivitas paling tinggi dalam menghambat pertumbuhan jamur S. rolfsii adalah Bacillus sp. BK17 dengan jari-jari zona hambat sebesar 11,40 mm dan diikuti oleh Enterobacter sp. PB17 dengan jari-jari zona hambat sebesar 2,18 cm pada hari keenam. Isolat yang paling lemah dalam menghambat jamur S. rolfsii adalah BK08 yang hanya mampu menghambat sampai hari ketiga sebesar 1,74 mm. Kemampuan daya hambat masing-masing isolat berbeda-beda, hal ini dapat dilihat dari besarnya zona hambat yang bervariasi mulai dari peningkatan


(43)

daya hambat sampai penurunan daya hambat. Perbedaan daya hambat masing-masing isolat ini bisa terjadi karena dipengaruhi oleh adanya perbedaan kemampuan bakteri kitinolitik dalam menghasilkan metabolit / protein antifungi seperti enzim kitinase. Media antagonistik yang mengandung kitin menginduksi bakteri dalam menghasilkan enzim kitinase untuk menguraikan kitin sebagai sumber karbonnya. Produksi enzim dipengaruhi jenis karbon yang diformulasikan ke dalam media uji dengan pengaturan pH dan jumlahnya (El-katatny et al., 2000).

Menurut Ferniah et al., (2003) kitin merupakan induser bagi enzim kitinase, dengan memecah kitin menjadi ketooligosakarida sampai dengan N-asetil D-glukosamin yang akan mengalami deN-asetiliasi dan deaminasi dan menghasilkankan molekul-molekul glukosa. Ketika koloni bakteri yang ada pada media sudah semakin tumbuh dan mendekati koloni jamur yang ada kitin pada dinding sel jamur digunakan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan bakteri, sehingga dinding sel jamur mengalami kerusakan yang mengakibatkan pertumbuhan jamur menjadi terhambat. Kandungan kitin yang terdapat pada dinding sel jamur juga mempengaruhi besarnya zona hambat isolat pada masing-masing jamur. Semakin besar kandungan kitin pada dinding sel maka semakin besar zona hambat yang terbentuk. Bentuk zona hambatan tersebut berupa cerukan penipisan elevasi seperti terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Penghambatan pertumbuhan miselium jamur S. rolfsii pada media MGMK + yeast


(44)

Mekanisme penghambatan yang terjadi pada uji antagonisme dapat diamati dengan terbentuknya zona bening sebagai zona penghambatan pertumbuhan jamur S. rolfsii oleh bakteri kitinolitik. Zona bening ini terbentuk karena terjadi pemutusan ikatan β-1,4 homopolimer N-asetilglukosamin pada kitin oleh kitinase menjadi monomer N-asetilglukosamin. Perbedaan zona bening yang dihasilkan disebabkan adanya perbedaan aktivitas kitinase pada isolat Enterobacter sp. PB17 dan Bacillus sp. BK17.

4.2. Abnormalitas Hifa Jamur S. rolfsii setelah Uji Antagonis dengan Bakteri Kitinolitik

Pengamatan hifa abnormal dilakukan setelah dilakukan uji antagonis antara bakteri kitinolitik Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 dengan jamur S. rolfsii dengan pengamatan selama 7 hari. Setelah 7 hari pengamatan dan dilanjutkan dengan pengamatan secara mikroskopis ditemukan adanya perbedaan struktur hifa antara hifa jamur yang normal dengan hifa yang mengalami abnormalitas (Gambar. 7). Struktur hifa yang abnormal terlihat menggulung pada bagian ujungnya, lisis pada dinding selnya, lisis pada isi selnya, bengkok dan putus.

Abnormalitas hifa yang terjadi disebabkan oleh adanya aktivitas enzim hidrolitik dan senyawa antimikroba lainnya yang dikeluarkan oleh bakteri antagonis pada saat terjadi interaksi antara hifa jamur S. rolfsii dengan isolat bakteri antagonis. Perubahan struktur hifa ini diduga sebagai bentuk pertahanan dirinya terhadap aktifitas enzim hidrolitik dan senyawa antimikroba lainnya yang dikeluarkan oleh bakteri antagonis ke lingkungan.


(45)

Gambar 7. Perubahan morfologi hifa jamur S. rolfsii setelah uji antagonis dengan bakteri antagonis pada media MGMK + yeast (a). hifa normal, (b). hifa menggulung pada bagian ujung hifa, (c). hifa lisis pada bagian dinding hifa, (d).hifa bengkok, (e). isi hifa lisis, (f). hifa putus

Kemampuan bakteri antagonis ini dalam mengubah struktur hifa jamur menjadi abnormal mengindikasikan bahwa bakteri ini bisa digunakan sebagai agen hayati dalam menghambat pertumbuhan jamur S. rolfsii. Ketika hifa jamur sudah terganggu strukturnya pertumbuhan jamur tersebut juga terganggu sehingga pertumbuhannya bisa dihambat. Namun tingkat abnormalitas dari hifa jamur ini tergantung pada besarnya kadar kitin yang ada pada struktur dinding sel jamur tersebut. Kitin yang ada pada dinding sel digunakan oleh bakteri antagonis sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya. Penelitian Watanabe et al.,(1999), menunjukkan bahwa kitinase Bacillus circulans disekresi ketika terjadi kontak fisik antara permukaan sel dan kitin. Kitinase B. circulans diinduksi oleh gugus N-asetil pada kitin. Dengan demikian, formulasi media bakteri kitinolitik tanpa penambahan kitin diasumsikan menghasilkan kitinase jika terjadi kontak fisik antara permukaan sel dari bakteri kitinolitik tersebut dengan kitin pada dinding sel jamur S. rofsii. Bakteri kitinolitik sudah diketahui secara luas dapat digunakan sebagai penghambat pertumbuhan jamur penyebab penyakit pada tanaman seperti pada Fusarium penyebab rebah kecambah (Boer et al., 2003), Pythium, Fusarium,


(46)

Rhizoctonia dan Phytopthora (Gohel et al., 2003), G. boninense, P. citrinum dan F. oxysporum (Suryanto et al., 2011).

4.3. Patogenitas S. rolfsii pada Benih Cabai

Dari hasil uji patogenitas S. rolfsii terhadap benih cabai merah diperoleh bahwa S. rolfsii penyebab penyakit rebah kecambah, dengan persentase rebah kecambahnya mencapai 64,71% dari benih yang tumbuh pada kontrol positif (K (+)) (Gambar 8). Menurut Agrios (1997), jamur S. rolfsii menyebabkan rebah kecambah pada persemaian dan busuk batang pada tanaman inang yang lebih tua. Apabila tanaman muda yang terserang tanaman cepat mati, tetapi bila tanaman yang lebih tua terserang, pucuk tanaman menjadi kuning layu dan kemudian mati. Akibatnya bagian dari batang dan akar pada batas tanah menjadi busuk dan sebagian ditutupi oleh bercak putih yaitu miselium yang berwarna putih sampai terbentuk sklerotia coklat.

Gambar 8. Persentase rebah kecambah pada benih cabai (BK17 = benih cabai + Bacillus sp. BK17, PB17 = Benih cabai + Enterobacter sp. PB17). Pengurangan rebah kecambah pada benih cabai yang direndam dengan Bacillus sp. BK17 lebih tinggi sebesar 50 % dibandingkan dengan benih cabai yang direndam dengan Enterobacter sp. PB17 sebesar 47,06 %. Hal ini menandakan serangan jamur S. rolfsii masih dapat dihambat oleh bakteri Bacillus


(47)

sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17. Serangan jamur S. rolfsii bisa dihambat karena dinding sel tersusun oleh kitin, sehingga enzim kitinase yang dihasilkan oleh Enterobacter sp. PB17 dan Bacillus sp. BK17 dapat menghidrolisis kitin yang ada pada dinding sel jamur S. rolfsii. Menurut El-Katatny et al., (2000), pengendalian hayati jamur dengan menggunakan mikroorganisme kitinolitik didasarkan pada kemampuan mikroorganisme tersebut dalam menghasilkan kitinase dan β-1,3 glukanase yang dapat melisiskan dinding sel jamur. Pelisisan dinding sel jamur ini bisa terjadi karena salah satu penyusun diinding sel jamur adalah kitin, sehingga enzim kitinase dapat menghidrolisis kitin yang ada pada dinding sel jamur (Sing et al., 1999; Quecine et al., 2008). Kandungan kitin pada jamur bervariasi dari 4 – 9 % berat kering sel, tergantung spesies atau strain jamurnya (Rajarathanam et al., 1998).

Gejala awal serangan S. rolfsii dapat dilihat pada benih cabai yang terserang penyakit adalah terjadinya rebah pada kecambah dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Apabila tanaman muda yang berumur lebih dari 30 hari daun tanaman akan menguning dan layu. Pada bagian pangkal batang dan leher akar akan mulai membusuk dan sebagian ditutupi bercak putih yaitu miselium jamur yang berwarna putih (Gambar 9 (b)). Jika terjadi serangan lebih lanjut maka tanaman akan mati dan ditemukan adanya sklerotia pada tanah di sekitar tanaman cabai yang terserang jamur S. rolfsii.


(48)

Gambar 9. Benih cabai yang normal (a) dan yang terserang S. rolfsii (b) setelah 30 hari, 1. Hifa S. rolfsii pada pangkal batang, 2. Batang yang menguning dengan daun yang sudah gugur.

Menurut Maryudani dan Sudarmadi (1976), gejala serangan S. rolfsii mula-mula diawali dengan menguning dan melayunya daun-daun, kemudian diikuti dengan membusuknya batang. Kulit dan kayu pada pangkal batang serta akar tanaman yang terserang rusak. Pada tingkat penyerangan belum lanjut, bila tanaman tersebut dicabut akan terlihat benang-benang halus pada bagian yang sakit.

4.4. Viabilitas Bakteri Kitinolitik Dalam Enkapsulasi

Untuk melihat viabilitas sel bakteri kitinolitik dalam enkapsulasi benih ditentukan dengan menggunakan metode standard plate count menggunakan media MGMK. Perhitungan jumlah koloni dilakukan pada hari ke- 1, 2, 3 dan 4 (Gambar 10). Ketahanan hidup atau viabilitas bakteri dan spora dalam berbagai formulasi dipengaruhi oleh jenis formulasi, lama penyimpanan (waktu penyimpanan) dan interaksi antara keduanya.


(49)

Gambar 10. Viabilitas sel bakteri pada benih terenkapsulasi selama penyimpanan

Dari gambar di atas setelah dilakukan perhitungan selama 4 minggu viabilitas sel tertinggi ditemukan pada benih yang dienkapsulasi dengan gum arab dan Bacillus sp. BK17 (GBK17) sebesar 198 x 1010 cfu/gr, kemudian diikuti oleh benih yang dienkapsulasi dengan CMC Bacillus sp. BK17 (CBK17) sebesar 182 x 1010 cfu/gr, sedangkan viabilitas sel terendah ditemukan pada benih yang dienkapsulasi dengan alginat dan Enterobacter sp. PB17 (APB17) sebesar 8 x 1010 cfu/gr. Hal ini menunjukkan bahwa formulasi terbaik yang bisa digunakan sebagai bahan enkapsulasi bakteri pada benih adalah gum arabik. Gum arabik adalah campuran kompleks dari oligosakarida arabinogalactan, polisakarida, glikoprotein. Rantai utama gum arabik terdiri dari β-(1→3) berikatan dengan unit D-galactopyranosyl. Rantai sampingnya terdiri dua sampai lima β-(1→3)-berikatan dengan unit D-galactopyranosyl, β-(1→3)-berikatan dengan rantai utama pada ikatan 1,6. Baik rantai utama dan rantai samping dari gum arabik mengandung unit dari α-L-arabinofuranosyl-, α-L -rhamnopyranosyl, β-D-glucuronopyranosyl, dan 4-O-methyl β-D-glucuronopyranosyl (Verbeken et al., 2003; Ali et al., 2009).

Dari gambar di atas dapat dilihat adanya penurunan jumlah bakteri Enterobacter sp. PB17 dan Bacillus sp. BK17 pada masing-masing matriks pembawa. Penurunan ini terjadi karena ketidakmampuan bakteri Enterobacter


(50)

PB17 dan Bacillus sp. BK17 bertahan dalam kondisi lingkungan yang baru yang kering. Jika dibandingkan jumlah sel antara bakteri Enterobacter sp. PB17 dan Bacillus sp. BK17 pada 1 gram benih terenkapsulasi, bakteri Bacillus sp. BK17 lebih banyak dibandingkan dengan Enterobacter sp. PB17. Hal ini menunjukkan bahwa Bacillus sp. BK17 memiliki viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan Enterobacter sp. PB17. Hal ini dikarenakan Bacillus sp. BK17 mampu menghasilkan spora untuk bertahan hidup di kondisi yang ekstrim.

Bacillus merupakan salah satu bakteri yang dapat membentuk endospora pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Spora yang terbentuk merupakan struktur bertahan dari Bacillus. Spora ini dapat bertahan dalam waktu yang lama hingga mencapai puluhan tahun. Namun kemampuan bertahan spora bacillus dipengaruhi oleh jenis media atau bahan yang digunakan untuk penyimpanan (Sulistiani, 2009).

4.5. Patogenitas S. rolfsii pada Benih Cabai Terenkasulasi

Pengamatan jumlah benih yang tumbuh dilakukan selama 6 minggu. Dari pengamatan diketahui bahwa jumlah benih yang tumbuh (Gambar 11) lebih banyak pada benih yang dienkapsulasi oleh tapioka daripada yang dienkapsulasi oleh bahan enkapsulasi lainnya yaitu sebesar 80% pada TBK17, diikuti oleh gum arabik dan CMC sebesar 60%, selanjutnya diikuti oleh alginat sebesar 0-20%. Hal ini menunjukkan bahwa kapsul yang terbuat dari tapioka lebih mudah ditembus oleh benih ketika berkecambah. Disamping itu jumlah benih yang paling banyak tumbuh adalah benih yang sudah dicampur dengan isolat Bacillus sp. BK17. Hal ini menandakan bahwa Bacillus memiliki peranan dalam pertumbuhan benih cabai.

Bacillus dikenal sebagai bakteri yang tidak hanya berperan sebagai agen pengendali hayati tetapi juga dapat berperan sebagai bakteri yang dapat memacu pertumbuhan tanaman. Bacillus mampu menghasilkan metabolit sekunder seperti hormon pertumbuhan. Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR)


(51)

mempunyai kemampuan untuk memproduksi hormon asam indolasetat, asam giberelat, sitokonin, dan etilen di dalam tanaman (Sulistiani, 2009; Susanto, 2008).

Gambar 11. Persentase benih cabai yang tumbuh dan yang rebah

Benih cabai yang telah terenkapsulasi bakteri kitinolitik ditumbuhkan pada medium tanah yang telah diberikan suspensi S. rolfsii. Pengamatan dilakukan terhadap persentase rebah kecambah, tinggi kecambah dan jumlah daun dari minggu ke-0 sampai minggu ke-4. Kecambah yang ditumbuhkan pada tanah yang mengandung S. rolfsii sangat rentan terserang jamur ini. Hal ini terlihat pada perlakuan C(+) dan G(+) masing-masing 40% dan 20% dan benih yang dienkapsulasi dengan bakteri Enterobacter sp. PB17 pada TPB17 dan GPB17 masing - masing sebesar 20% sedangkan K (-) tidak ada benih yang rebah (Gambar 11).

Penyebab tingginya persentase rebah kecambah pada K (+) adalah karena pertumbuhan jamur S. rolfsii yang tidak terhambat sehingga jamur tersebut dengan mudah menginfeksi benih cabai yang berada pada perlakuan K (+). Rebah kecambah (damping–off) sering terjadi dipersemaian cabai maupun terung. Biji dapat membusuk di dalam tanah, atau semai-semai dapat mati sebelum muncul ke permukaan tanah. Batang semai muda yang masih lunak terserang pada


(52)

pangkalnya menjadi basah dan mengerut sehingga semai roboh dan mati (Semangun, 2007). S. rolfsii merupakan salah satu jamur patogen yang dapat menyebabkan rebah kecambah pada tanaman cabai (Semangun, 2007; Lamidi, 1986; Dange, 2006; Yusniawaty, 2009).

Benih yang dienkapsulasi dengan Bacillus sp. BK17 memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Enterobacter sp. PB17 dalam menghambat serangan S. rolfii. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan enzim kitinase pada Bacillus sp. BK17 lebih baik dalam mendegradasi kitin yang ada pada hifa S. rolfsii dibandingkan dengan enzim kitinase pada Enterobacter sp. PB17. Kitinase merupakan enzim yang mampu menghambat perkembangan jamur patogen dengan menghidrolisis polimer kitin sebagai salah satu komponen dinding sel hifa cendawan (Gohel et al., 2003), dan secara langsung menghidrolisis dinding miselia jamur dengan pelepasan elisitor endogen oleh aktivitas kitinase yang kemudian memicu reaksi ketahanan sistemik pada inang. Oleh sebab itu, kitinase dikenal sebagai salah satu protein anti cendawan (Gohel et al., 2003, Wang et al., 2006).

Gambar 12. Jumlah rata-rata daun dan tinggi tanaman setelah 6 minggu

Perlakuan bakteri kelihatannya mempengaruhi pertumbuhan kecambah seperti jumlah daun dan tinggi tanaman. Jumlah daun yang terbanyak ditemukan pada benih yang dienkapsulasi dengan tapioka TBK17 dan T(-) sebanyak 12 helai


(53)

dan ABK17 dan diikuti oleh C(+) sebanyak 10 helai (Gambar 12), sedangkan jumlah daun yang paling sedikit ditemukan pada APB17 sebanyak 2 helai. Kecambah yang tertinggi juga ditemukan pada benih yang dienkapsulasi oleh tapioka TBK17 dan T (-) setinggi 13 cm dan diikuti oleh ABK17 dan C (+) sebesar 10, 50 cm, sedangkan tanaman yang terendah ditemukan pada benih APB17 sebesar 2 cm. Adanya variasi jumlah daun dan tinggi kecambah pada masing-masing perlakuan disebabkan adanya perbedaan usia perkecambahan pada masing-masing perlakuan. Benih yang memiliki jumlah daun terbanyak adalah benih yang tumbuh lebih awal dibandingkan dengan benih yang lain. Perbedaan jenis matrik pembawa pada masing-masing perlakuan mempengaruhi kemampuan benih dalam berkecambah. Semakin sederhana komponennya maka semakin mudah bagi benih untuk tumbuh dan berkecambah.

Pada Gambar 12, jumlah daun dan tinggi tanaman pada benih yang dienkapsulasi bakteri Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 cenderung tinggi dibandingkan jumlah daun dan tinggi tanaman pada K (+). Hal ini menunjukkan bahwa kedua bakteri tersebut tidak mengganggu pertumbuhan dan tidak bersifat patogen terhadap benih kedelai yang ditanam selama hari pengamatan dan karena adanya mekanisme pertahanan yang diberikan oleh Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 dalam melindungi benih dari serangan jamur patogen. Kelompok bakteri ini selain menghasilkan metabolit sekunder yang dapat menekan pertumbuhan patogen, juga menghasilkan hormon pengatur tumbuh (Backman et al., 1994). Kelompok Bacillus juga dikenal sebagai bakteri kelompok PGPR yang mampu menginduksi pertumbuhan dan ketahanan tanaman terhadap penyakit melalui berbagai mekanisme, seperti antibiosis, lisis, kompetisi, parasitisme, dan induksi ketahanan (Kloepper dan Schroth, 1981).


(54)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1. Bacillus sp. BK17 merupakan bakteri kitinolitik yang terbaik dalam menghambat pertumbuhan jamur S. rolfsii pada benih cabai merah terekapsulasi maupun yang tidak terenkapsulasi.

2. Gum arabik merupakan bahan yang baik digunakan untuk enkapsulasi benih dengan kemampuan viabilitas bakteri yang tertinggi dibandingkan dengan bahan enkapsulasi lainnya.

3. Semua bakteri kitinolitik yang terenkapsulasi alginat, CMC, tapioka dan gum arabik yang diuji mengalami penurunan viabilitas sel pada minggu kedua namun tingkat penurunannya semakin kecil dan cenderung stabil pada minggu keempat.

4. Benih yang sudah dienkapsulasi dengan Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 memiliki viabilitas yang baik dibandingkan benih yang lainnya.

5.2 Saran

Perlu adanya penelitian dan perhatian lebih lanjut terhadap bahan pelapis benih sehingga bisa digunakan untuk pengendalian jamur rebah kecambah sebagai salah satu cara untuk mendapatkan bibit cabai merah yang terlindung dari penyakit rebah kecambah.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G. N. 1997. Plant Pathology. 2nd Edition. Academic Press, New York. hlm 416.

Alexopoulos, C. J. dan Charles W. M. 1979. Introductory Mycology. 4th ed. John Wille & Sons Inc., New York. hlm. 632.

Ali, B. H., Amal Z. dan Gerald B. 2009. Biological Effects of Gum Arabic: A review of some recent research. Food and Chem Toxicol. 47: 1–8.

Awalludin A. 2004. Karboksimetilasi Selulosa Bakteri. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Backman, P. A, Brannnen P. M dan Mahaffe W. F. 1994. Plant Respon and

Disease Control Followin Seed Inoculation with Bacillus sp. Di dalam: Ryder MH, Stephen PM, Bowen GD, editor. Improving Plant Production with Rhizosphere Bacteria. Australia: Pruc Third Int Work PGPR South Australia.

Bashan, Y. 1986. Alginate Beads as Synthetic Inoculant Carriers for Slow Release of Bacteria That Affect Plant Growth. Appl Environ Microbiol. 51(5): 1089-1098.

Boer, M. D., Peter B., Frondo K., Joost J. B., Keurentjes, Lentse V. D. S., vanLoon L. D dan Bakker A. H. M. 2003. Control of Fusarium Wilt of Radish by Combining Pseudomonas putida Strains that have Different Disease Suppressive Mechanisms. Section of Phytopathology. Netherlands Utrecth University. hlm. 626-632.

Boyle, L.W. 1961. The Ecology of Sclerotium rolfsii with Emphasis on The Role of Saprophytic Media. Phytopathol. 51:118-119.

Charpentier, A. C, Gadille P., Digat B dan Benoit J. P. 1998.Microencapsulation of Rhizobacteria by Spray-Drying: Formulation And Survival Studies. J. Microencapsul. 15:639-59.

Chaplin, M. F. 2007. Water Structure and Science. http://www.lsbu.ac.uk/water/. Diakses 21 Januari 2013.

Chumthong, A., Mana K., Aahara P dan Rueedecorn W. 2008. Water-Soluble Granules Containing Bacillus megaterium for Biological Control of Rice


(1)

Verbeken, D., Dierckx S dan Dewettinck. 2003. Exudate Gums: Occurrence, Production, and Applications. App microbiol and biotechnol. 63: 0175-7598.

Vidhyasekaran, P dan Muthamilan M. 1999. Evaluation of Powder Formulations of Pseudomonas Fluorescens Pf1 For Control of Rice Sheath Blight. Biocon Sci Technol. 9: 67–74.

Wang, W., Liu X., Xie Y., Zhang H., Yu W., Xiong Y., Xie W dan Ma X. 2006. Microencapsulation Using Natural Polysaccharides For Drug Delivery and Cell Implantation. 16: 3252 – 3267.

Watanabe, T., Wataru O., Kazushi, S dan Hirosato T. 1999. Chitinase System of Bacillus circulans WL-12 and Importance of Chitinase Al in Chitin Degradation. J bacteriol. 172: 4017-4022

Watkins, G. M, 1961. Physiology of Scleroium rolfsii, with Emhesis on Parasitism. Phytopathol. 51: 110-1115.

Widodo. 2007. Status of Chilli Anthracnose in Indonesia. First International Symposium on Chili Anthracnose. Seoul National University. Seoul. Korea.17-19.

Wijayani, A. Khoirul U dan Siti T. 2005. Characterization of Carboxy Methyl Cellulose (CMC) From Eichornia crassipes (mart) solms. Indo J Chem. 5: 228 – 231.

Wijayanti, B. 2003. Penggunaan Serratia marcescens Ds8 untuk Pengendalian Penyakit Busuk Batang Panili. Skripsi. Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bandung.

Wijayanti, G. 2010, Viabilitas Azospirillum brasilense pada Enkapsulasi Menggunakan Campuran Natrium Alginat dan Tepung Tapioka. Skripsi. Jurusan Biologi.Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.Universitas Diponegoro. Semarang.

Yoshizawa, H. 2004. Trends in Microencapsulation Reseach. KONA 20. http.//www.kona.or.jp/search/22_023. Diakses tanggal 13 Nopember 2012.


(2)

Yusniawaty, R. D. 2009. The Potency of Streptomyces spp. as Biocontrol Agent of Soil Borne Jamur Sclerotium rolfsii through In Vitro and In Planta Assay in Tomato Plant (Solanum lycopersicum). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(3)

LAMPIRAN

Lampiran 1.

Alur Kerja Asai Antagonisme in Vitro

diinokulasikan pada media MGMK

(Suryanto, 2001) pada bagian tengah media di Petri disc.

diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang.

Setelah 24 jam kemudian, diletakkan blank disc yag sudah berisi sel bakteri sebanyak 30 µl (OD 0,5 ) pada bagian kedua sisi biakan jamur dengan jarak 3,5 cm dari biakan jamur.

diinkubasi pada suhu 30ºC dan dilakukan pengamatan selama lima hari.

Biakan fungi

Hasil pengamatan Biakan Sclerotium rolfsii


(4)

Lampiran 2.

Alur Kerja Preparasi Suspesi Isolat Bakteri

Dimasukkan ke dalam erlemeyer yang berisi campuran media dextrosa Sodium Nitrat (NaNO3) 0,03 % dan koloidal kitin sebanyak 2% (Nasrah, 2012)

Diguncang dengan kecepatan 200 rpm selama 4 hari pada suhu ruang

Disentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 menit diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang.

Dipindahkan pada buffer pospat pH 7 Disuspensikan kembali dengan akuades (1:2 v/v) untuk Enterobacter sp. PB17 dan untuk Bacillus sp. BK17 dilanjutkan diinkubasi pada suhu 65 oC 10 menit Diukur absorbansinya dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm dan OD 0,5) (Pungnoo et al., 2005). .

Pellet

Hasil Bakteri Kitinolitik


(5)

Lampiran 3. Komposisi Medium

Medium MGMC padat

K2HPO4 0,7 g

KH2PO4 0,3 g

MgSO4.7H2O 0,5 g

FeSO4.7H2O 0,01 g

ZnSO4 0,001 g

MnCl2 0,001 g

Koloidal kitin 12,5% (b/v) 72,7 ml

Agar 20 g

pH 6,8

Cara Pembuatan

Semua bahan dicampur dan ditambahkan akuades sampai volumenya menjadi satu liter. Diatur pH sampai 6,8 dengan menambahkan NaOH 0,1N atau HCl 0,1N. Setelah dicapai pH yang diinginkan, medium disterilisasi dengan autoklave pada suhu 121 ºC dan tekanan 2 bar selama 15 menit.


(6)

Gambar 2. Benih cabai yang sudah dienkapsulasi dengan a. Enterobacter sp. PB17 dan b. Bacillus sp. BK17

Gambar 3. Gejala tanaman cabai yang terserang penyakit S. rolfsii, (a). adanya miselium S. rolfsii pada batang tanaman, (b). daun menguning.