BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang - Hubungan Stres dan Sleep Stroke dengan Outcome Stroke

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Stroke merupakan satu dari tiga penyebab terbesar kematian di Amerika Serikat, termasuk di banyak negara lainnya di dunia, setelah

  penyakit jantung dan kanker. Hampir tiga perempat juta individu di Amerika Serikat mengalami stroke tiap tahunnya dan dari jumlah tersebut sebanyak 150.000 (90.000 wanita dan 60.000 pria) meninggal akibat stroke (Sacco dkk, 2000; Caplan, 2000).

  Stroke iskemik mencapai 87% dari semua stroke, 13% sisanya stroke hemoragik. Sekitar tiga perempatnya adalah stroke baru, dan sisanya adalah stroke berulang. Kematian akibat stroke 1 dari setiap 18 kematian di tahun 2007, dengan total 135.952 kematian (Misbach 2007).

  Data di Indonesia juga menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke baik dalam hal kematian, kejadian, maupun kecacatan.

  Angka kematian berdasarkan umur adalah sebesar 15,9% (umur 45–54 tahun), 26,8% (umur 55–64 tahun) dan 23,5% (umur ≥ 65 tahun). Kejadian stroke (insiden) sebesar 51,6/100.000 penduduk, dan kecacatan didapati

  1,6% tidak berubah, serta 4,3% semakin memberat. Stroke menyerang usia produktif dan usia lanjut, yang berpotensi menimbulkan masalah baru dalam pembangunan kesehatan secara nasional di kemudian hari (Kelompok Studi Stroke PERDOSSI, 2011).

  Faktor risiko tradisional memiliki peran dalam patofisiologi stroke. Meskipun tidak bisa diprediksi kapan stroke akan terjadi, bahkan pada orang dengan faktor risiko tinggi. Ada hipotesis bahwa kejadian vaskular dapat dipicu oleh faktor akut, yang disebut trigger (Razdan dkk, 2013).

  Paparan faktor transient, yaitu infeksi atau penyalahgunaan alkohol, dilaporkan memicu stroke iskemik. Peran faktor psikologis masih belum jelas, meskipun orang awam sering menganggap stres akut sebagai penyebab stroke. Amarah, emosi negatif atau positif, kelahiran, dan psikologis distress secara signifikan terkait dengan onset stroke. Stres akut, seperti peristiwa kehidupan yang penuh stres (stressfull life event), mungkin memicu stroke iskemik. Tetapi dari beberapa penelitian hasil dilaporkan masih kontroversi, yang mungkin disebabkan oleh perbedaan metodologi (Guiraud dkk, 2012).

  Penelitian sebelumnya melaporkan hubungan antara stres dan stroke. Stres psikologis berat atau kejadian mengancam jiwa telah terkait dengan peningkatan risiko stroke iskemik dan stroke hemoragik (Peterson dkk 2001). Stressful life events meliputi berbagai peristiwa kehidupan baik positif maupun negatif yang cukup untuk mempengaruhi aktivitas rutin seseorang. Ada tiga kelompok utama peristiwa negatif yaitu: peristiwa kehilangan (misalnya, kematian keluarga atau kehilangan rumah karena bencana), penyakit fisik yang berat atau cedera, dan kehilangan dukungan sosial yang besar (misalnya, perpisahan, perceraian). Stres psikologis dari peristiwa kehidupan yang penuh stres merupakan predisposisi faktor risiko stroke (Han dkk, 2006).

  Penelitian

   kasus kontrol untuk melihat hubungan antara peristiwa

  kehidupan dan terjadinya stroke. Enam puluh pasien dengan serangan stroke baru, usia berkisar 45-70 tahun, jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan, tipe stroke: stroke iskemik dan stroke hemoragik. Sepuluh persen dari pasien tidak diketahui faktor risiko untuk stroke, 32% memiliki satu faktor risiko dan 58% memiliki lebih dari satu faktor risiko.

  Kelompok kontrol terdiri dari 50 subyek yang sehat yang disesuaikan umur dan jenis kelamin dengan pasien dan 60 subyek yang disesuaikan umur jenis kelamin dan faktor risiko stroke dengan pasien. Peristiwa kehidupan terdiri dari peristiwa yang berat dan peristiwa yang tidak menyenangkan.

  Peristiwa yang berat dan peristiwa yang tidak menyenangkan pada pasien persentasenya ditemukan lebih tinggi dari pada dua kelompok kontrol dengan perbedaan yang sangat signifikan (p<0.001). Pada kelompok pasien lebih banyak melaporkan peristiwa kehidupan yang berat pada 1 hari, 1 minggu, dan 6 bulan sebelum onset stroke daripada kelompok kontrol (Abdelsame dkk, 2009).

  Penelitian tentang hubungan antara paparan peristiwa kehidupan dan onset stroke Iskemik. Paparan peristiwa kehidupan dalam waktu satu bulan sebelum onset stroke (hazard period) pada pasien dibandingkan dengan paparan pada kontrol selama lima bulan. Demikian pula, paparan peristiwa kehidupan dalam waktu satu minggu sebelum onset stroke pada pasien dibandingkan dengan paparan peristiwa kehidupan tiga minggu sebelum onset stroke pada kontrol. Pasien yang terkena ≥ 1 life event lebih sering menderita stroke pada bulan pertama dibandingkan kontrol menderita stroke pada bulan kelima (odds ratio (OR) = 2.96, 95%

  confidence interval (CI), 2.19-4.00). Pasien yang terkena

  ≥ 1 life event lebih sering menderita stroke pada minggu pertama dibandingkan pada kontrol pada minggu ketiga (OR= 2.10; 95% CI 1.40-3.17) (Guiraud dkk, 2012).

  Penelitian sebelumnya telah membahas hubungan antara stres dan perubahan level tekanan darah. Kemungkinan hubungan antara stres dan risiko stroke terkait dengan perbedaan perilaku seperti merokok, aktivitas fisik, dan konsumsi alkohol atau status sosial ekonomi. Penelitian yang menganalisa hubungan antara frekuensi dan intensitas stres yang dilaporkan dengan risiko stroke. Sebanyak 5604 pria dan 6970 wanita, dan 929 stroke serangan pertama, dimana 207 (22%) yang berakibat fatal dalam waktu 28 hari setelah timbulnya gejala. Kategori frekuensi stres tidak pernah / hampir tidak pernah, bulanan, mingguan, atau harian. Kategori intensitas stres pernah / hampir tidak pernah, ringan, sedang, atau berat. Subyek dengan intensitas berat risiko fatal stroke hampir dua kali lipat dibandingkan dengan subyek yang tidak stres (Relative Risk [RR], 1,89, 95% CI, 1,11-3,21). Tidak ada pengaruh stres yang signifikan pada nonfatal stroke. Subyek yang dilaporkan sering stres lebih cenderung memiliki profil faktor risiko yang merugikan. Intensitas berat dan stres mingguan dikaitkan dengan risiko lebih tinggi fatal stroke dibandingkan dengan tanpa stres (Truelsen dkk, 2003).

  Penelitian Shiue dkk bertujuan untuk menentukan hubungan antara peristiwa kehidupan dan perdarahan subarachnoid (PSA). Di antara 12 peristiwa kehidupan, hanya 2 peristiwa kehidupan (keuangan / masalah hukum) pada sebulan sebelum stroke terkait dengan PSA (p=0.04 dan

  )

  p=0.03 . Tidak ada hubungan yang jelas antara beberapa peristiwa kehidupan dan PSA untuk dua bulan sebelum dan 2 sampai 12 bulan (keduanya p > 0.4). Life event tidak memiliki efek yang cukup besar pada risiko PSA (Shiue dkk, 2010).

  Dari sudut pandang patofisiologi, stres psikososial akut dapat menyebabkan aktivasi hipotalamus hipofisis adrenal axis dan sistem saraf otonom. Stres psikologis dapat meningkatkan tekanan darah, denyut nadi, tingkat lipid serum, faktor hemostatik, darah, platelet-secreation protein, epinefrin, dan norepinefrin, dan menyebabkan disfungsi endotel transient (Guirad dkk, 2012).

  Penelitian mencari hubungan antara stroke iskemik dan stres psikologis, stres psikologis yang dirasakan sendiri sebelum stroke dinilai secara retrospektif dengan menggunakan kuesioner. Stres psikologis permanen selama setahun terakhir atau lebih adalah independen terkait dengan keseluruhan stroke iskemik (rasio multivariat yang disesuaikan OR 3,49, CI 95% 2,06-5,93). Outcome stroke dievaluasi setelah 3 bulan menggunakan modified rankin scale (mRS, skor 0 sampai 6). Tidak ada hubungan antara stres dan outcome. Analisis univariat dengan subtipe stroke iskemik menunjukkan bahwa stres psikologis permanen yang dirasakan sendiri selama satu tahun lebih dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk semua subtipe stroke iskemik (Jood dkk 2008).

  Lima belas sampai 25 % dari stroke iskemik terjadi pada saat tidur (Huisa dkk,2010). Stroke paling sering terjadi segera setelah bangun di pagi hari. Namun, hampir setiap satu dari lima stroke terjadi pada malam hari, dan pasien terbangun dari tidur dengan handicap, sebelum tidur tanpa defisit neurologis. Oleh karena itu perlu melakukan penelitian untuk menyelidiki kejadian stroke selama tidur pada pasien dengan stroke baru (Spengos dkk 2005).

  Penelitian Spengos dkk dari 1448 pasien stroke pada stroke saat tidur (Sleep Stroke) didapati dalam 264 kasus (18,2%). Pada subyek dengan stroke saat tidur, lakunar infark adalah subtipe stroke yang prevalensinya paling sering, sedangkan pada pasien dengan stroke saat terbangun, mekanisme yang mendasarinya adalah small-vessel disease (p< 0.01). Sebaliknya, pasien stroke saat terbangun lebih sering pada perdarahan intraserebral dan stroke kardioemboli bila dibandingkan dengan subyek dengan sleep stroke (masing-masing 6,4 % dan 18,9 %) (p< 0.01). Analisa statistik dengan multiple variabel logistic regression mengidentifikasi faktor-faktor sebagai prediktor independen sleep stroke yaitu: atrial fibrilasi dan perdarahan intraserebral dibandingkan stroke iskemik. Lakunar infark adalah satu-satunya subkelompok stroke iskemik yang positif berhubungan dengan sleep stroke.

  Penelitian Conde dkk pasien dengan stroke iskemik dicatat waktu onset klinis, patologis, severitas (NIHSS), klasifikasi klinis, klasifikasi etiologi berdasarkan Trial of Organization in Acute Stroke Treatment (TOAST), dan fungsional outcome pada 3 bulan (modified rankin scale).

  Ketika gangguan klinis muncul selama waktu tidur malam itu dianggap

  

sleep stroke (SS). Sisanya dianggap Wake up Stroke (WS). Dari 813

  pasien, 127 adalah SS (15,6 %). Kejadian stroke pada saat tidur rendah, dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi. Obesitas muncul sebagai faktor yang berhubungan dengan SS sementara atrial fibrilasi terkait dengan WS. Sleep Stroke memiliki keparahan klinis yang lebih besar di awal dan fungsional outcome yang lebih buruk pada 3 bulan. Fungsional

  outcome ini tergantung pada tingkat keparahan klinis awal. Beberapa

  mekanisme telah didalilkan sebagai penjelasan untuk pola ini, terutama variasi sirkadian tekanan arteri.

I.2. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang penelitian-penelitian terdahulu seperti yang telah diuraikan di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut: Apakah ada hubungan stres dan sleep stroke dengan outcome stroke?

  I.3. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan:

  1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui perbedaan antara stres dan sleep stroke dengan outcome stroke.

  1.3.2. Tujuan Khusus.

  1. Untuk mengetahui perbedaan antara stres dengan outcome stroke.

  2. Untuk mengetahui perbedaan antara sleep stroke dengan outcome stroke.

  3. Untuk mengetahui perbedaan antara tipe stroke dengan sleep stroke.

  4. Untuk mengetahui perbedaan antara tingkat stres dengan stroke.

  5. Untuk mengetahui perbedaan antara onset stres dengan stroke.

  6. Untuk mengetahui perbedaan antara stres dengan faktor risiko stroke.

  7. Untuk melihat gambaran karakteristik demografi populasi sampel.

  I.4. Hipotesis Ada perbedaan outcome stroke antara stres dan sleep stroke.

I.5. Manfaat Penelitian

  Dengan mengetahui perbedaan outcome stroke antara stres dan

  sleep stroke:

  1.5.1. Manfaat penelitian untuk ilmu pengetahuan

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara keilmuan tentang perbedaan outcome stroke antara stres dan sleep

  stroke

  1.5.2. Manfaat penelitian untuk penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya tentang peran stressfull life event sebagai pemicu stroke sehingga stress dapat menjadi salah satu faktor risiko yang modified dan sleep stroke dengan outcome stroke.

  1.5.3. Manfaat penelitian untuk masyarakat

  Dengan mengetahui hubungan antara stressful life event dan sleep

  stroke dengan outcome stroke dapat dijadikan sebagai salah satu upaya

  untuk dapat menghadapi stres sehingga mengurangi risiko terjadinya stroke.