BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. STROKE II.1.1. Definisi - Hubungan Stres dan Sleep Stroke dengan Outcome Stroke

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. STROKE II.1.1. Definisi Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologis akut yang diduga

  disebabkan oleh iskemik atau hemoragik, menetap ≥ 24 jam atau sampai kematian, tetapi tanpa bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk,

  2013).

  II.1.2. Epidemiologi

  Di Amerika Serikat, diperkirakan 795.000 orang mengalami stroke setiap tahun. Stroke iskemik mencapai 87% dari semua stroke, 13% sisanya stroke hemoragik. Sekitar tiga perempatnya adalah stroke baru, dan sisanya adalah stroke berulang. Kematian akibat stroke 1 dari setiap 18 kematian di tahun 2007, dengan total 135.952 kematian (Larry 2012).

  II.1.3. Klasifikasi Stroke

  Dasar klasifikasi yang berbeda – beda diperlukan, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa yang berbeda, walaupun patogenesisnya sama ( Misbach 2011)

  I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya : a. Transient Ischemic Attack (TIA)

  b. Thrombosis serebri

  c. Emboli serebri

  2. Stroke Hemoragik

  a. Perdarahan intraserebral

  b. Perdarahan subarachnoid

  II. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu

  1. Transient Ischemic Attack (TIA)

  2. Stroke in evolution

3. Completed stroke

  III. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah

  1. Sistem karotis

  2. Sistem vertebrobasiler

  IV. Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu :

  1. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)

  2. Total Anterior Circulation Infarct (TACI)

  3. Lacunar Infarct (LACI)

  4. Posterior Circulation Infarct (POCI)

  V. Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti TOAST

  1. Aterosklerosis Arteri Besar

  Gambaran CT sken otak MRI menunjukkan adanya infark di kortikal, serebellum, batang otak, atau subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm dan potensinya berasal dari aterosklerosis arteri besar.

  (>50%) stenosis atau oklusi arteri besar di otak atau cabang arteri di korteks disebabkan oleh proses aterosklerosis.

  2. Kardioembolisme Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber embolus dari jantung terdiri dari : a. Risiko tinggi

  • Prostetik katub mekanik
  • Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi
  • Fibrilasi atrial (other than lone atrial fibrillation)
  • Atrial kiri / atrial appendage thrombus
  • Sick sinus syndrome
  • Infark miokard baru (<4 minggu)
  • Thrombus ventrikel kiri
  • Kardiomiopati dilatasi
  • Segmen ventricular kiri akinetik
  • Atrial myxoma
  • Infeksi endokarditis

  b. Risiko sedang

  • Kalsifikasi annulus mitral
  • Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial
  • Turbulensi atrial kiri
  • Aneurisma septal atrial
  • Paten foramen ovale
  • Atrial flutter
  • Lone atrial fibrillation
  • Katup kardiak bioprostetik
  • Trombotik endokarditis nonbacterial
  • Gagal jantung kongestif
  • Segmen ventrikuler kiri hipokinetik
  • Infark Miokard (> 4 minggu, < 6 bulan)

  3. Oklusi Arteri Kecil Sering disebut juga infark lakunar, dimana pasien harus mempunyai satu gejala klinis sindrom lakunar dan tidak mempunyai gejala gangguan disfungsi kortikal serebral. Pasien biasanya mempunyai gambaran CT Sken/MRI otak normal atau infark lakunar dengan diameter < 1,5 mm di daerah batang otak atau subkortikal.

  4. Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang Menentukan

  a. Non-aterosklerosis Vaskulopati

  • Noninflamiasi
  • Infeksi

  b. Kelainan Hematologi atau Koagulasi

  5. Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang Tidak Dapat Ditentukan

II.1.4. Faktor Risiko

  Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor- faktor yang dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap timbulnya stroke. Faktor risiko timbulnya stroke : (Sjahrir, 2003 ; Nasution, 2007).

  1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :

  a. Umur

  b. Jenis kelamin

  c. Ras dan suku bangsa

  d. Faktor turunan

  e. Berat badan lahir rendah

  2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

a. Prilaku:

  1. Merokok

  2. Diet tidak sehat: lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol, kurang buah

  3. Alkoholik amfetamin, pil kontrasepsi

  5. Kurang gerak badan

b. Fisiologis

  1. Penyakit hipertensi

  2. Penyakit jantung

  3. Diabetes mellitus

4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus

  5. Gangguan ginjal

  6. Kegemukan (obesitas)

  7. Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit perdarahan

  8. Kelainan anatomi pembuluh darah

  9. Stenosis karotis asimtomatik

II.1.5. Patofisiologi

1. Stroke Iskemik

  Pada stroke iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi – reaksi berantai yang berakhir dengan kematian sel – sel otak dan unsur – unsur pendukungnya (Sjahrir, 2003).

  Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi – fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur- angsur mengalami kematian. Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap (Sjahrir, 2003).

  Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap, yaitu: Tahap 1 :

  a. Penurunan aliran darah

  b. Pengurangan O

  2

  c. Kegagalan energi

  d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion Tahap 2 :

  a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion

b. Spreading depression

  Tahap 3 : Inflamasi Tahap 4 : Apoptosis (Sjahrir, 2003)

2. Stroke Hemoragik

  Pada perdarahan otak pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Perdarahan intrasebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna.

  Jika perdarahan yang timbul kecil ukurannya, maka massa darah hanya dapat merusak dan menyela diantara selaput akson massa putih “

  

dissecan spilitting” tanpa merusaknya. Sedangkan pada perdarahan yang

  luas terjadi destruksi massa otak, peninggian tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum. Perdarahan Subarakhnoid terjadi karena pecahnya aneurisma sakuler pada 80% kasus non traumatik. Aneurisma sakuler ini merupakan proses degenerasi vaskuler yang didapat akibat proses hemodinamik pada bifurkasio pembuluh arteri otak (Misbach 2011).

II.1.6. OUTCOME STROKE

  Tahun 1980 World Health Organization (WHO) membuat defenisi

  impairment, disabilitas dan handicaps sebagai berikut (Misbach 2011) :

  1. Impairment adalah suatu kehilangan atau abnormalitas fungsi atau struktur psikologis, fisiologis anatomis.

  2. Disabilitas adalah hambatan atau ketidakmampuan akibat impairment untuk melakukan suatu aktivitas dalam rentang waktu tertentu dengan cara atau yang dianggap normal untuk orang sehat.

  3. Handicap adalah gangguan yang dialami oleh individu akibat impairment atau disabilitas tersebut, sehingga seseorang terbatas dalam melakukan suatu perannya sebagai manusia normal.

  Untuk kemudahan dan keseragaman pengukuran kemajuan dari fungsi otak terdapat beberapa penilaian berdasarkan skoring yang telah digunakan secara luas didunia. Skoring atau skala yang telah dipakai diunit stroke dan sudut stroke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo adalah NIHSS, Barthel Index dan Modified Rankin Scale. Penelitian klinis tentang stroke secara rutin menggunakan mortalitas sebagai outcome, namun terdapat outcome lainnya yang penting untuk investigasi klinis dan relevan dengan pasien, mencakup perubahan fungsi tubuh dan disabilitas.

  (Misbach 2011).

  Modified Rankin Scale mengukur tingkat keterbatasan fungsional

  pasca stroke. Hasil penelitiannya adalah secara umum, terdiri dari 0-6, dimana 0-1 outcome baik, 2-5 outcome buruk, 6 berarti meninggal (Jood dkk 2008).

  National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) adalah suatu

  skala penilaian yang dilakukan pada pasien stroke untuk melihat kemajuan hasil perawatan fase akut untuk menilai impairment penilaian ini dilakukan dua kali, yaitu pada saat masuk dan saat keluar dari perawatan.

  (Misbach 2011).

  

Barthel Index diperkenalkan oleh Mahoney dan Barthel pada tahun

  1965, yang kemudian dimodifikasi oleh Granger dkk 1982 memuat 15 penilaian dengan nilai 0-100. Yang banyak dipakai adalah versi Wade dan Collin memuat 10 penilaian dengan nilai 0-100 (Misbach 2011).

  II.1.6 ONSET STROKE

  Sejak 1970, banyak penelitian yang menghubungkan ritme sirkadian dan kejadian stroke. Stroke iskemik dan stroke hemoragik dapat menunjukkan frekuensi peristiwa kejadian bimodal. Semua jenis stroke dianggap sama, lebih sering terjadi pada pagi dan sore hari (Schallner dkk 2014; Ahmadi dkk 2014). Periodisitas sirkadian tidak hanya dilihat dalam terjadinya peristiwa, tetapi juga kematian karena stroke. Satu studi menunjukkan kematian lebih tinggi ketika terjadi di pagi hari, bahkan ketika disesuaikan untuk usia, jenis kelamin, dan tingkat keparahan (Schallner dkk 2014).

  II.1.6.1. Ritme Sirkadian Stroke Iskemik

  Ritme sirkadian pada stroke iskemik adalah unik karena merupakan satu-satunya jenis stroke yang memiliki kejadian maksimal tahunan selama periode waktu yang sama untuk semua subtipe. Stroke puncak kedua di malam hari, pola sirkadian ini secara independen terkait dengan terjadinya stroke iskemik bahkan ketika dikontrol faktor hipertensi, diabetes, hiperlipidemia, kebiasaan merokok, kejadian vaskular sebelumnya, dan pengobatan dengan anti-platelet atau obat antikoagulan.

  Bahkan ketika stroke iskemik dibagi menjadi subkelompok aterosklerosis arteri kecil atau stroke lakunar, kardioembolik, aterosklerosis arteri besar, dan kriptogenik, probabilitas ritmik tertinggi masih di pagi hari untuk setiap subtipe stroke iskemik (Schallner dkk 2014).

  II.1.6.2. Ritme Sirkadian Perdarahan Intraserebral

  Ritme sirkadian PIS pada pasien dengan demografis yang berbeda cenderung menunjukkan pola sirkadian berbeda. Tidak seperti stroke iskemik, PIS memiliki tingkat kejadian yang lebih tinggi di sore hari dan jarang pada malam hari. Apakah seseorang tidur atau tidak selama PIS, tampaknya mempengaruhi outcome. Ketika kematian pada PIS dibandingkan pada pasien yang tertidur dan terjaga, pasien tidur memiliki angka kematian signifikan lebih tinggi. Volume pendarahan pada kelompok tidur secara signifikan lebih besar (Schallner dkk 2014).

  II.1.6.3. Ritme Sirkadian Perdarahan Subarachnoid

  Ritme sirkadian perdarahan subarachnoid (PSA) tidak seperti stroke iskemik dan PIS. Kejadian perdarahan subarachnoid pada jam selama musim dingin yang bulan dan tertinggi di sore hari selama musim panas dengan peningkatan yang signifikan dalam frekuensi. Perubahan pada akhir pekan terkait dalam diet, konsumsi alkohol dan aktivitas fisik telah diusulkan untuk menjelaskan fenomena ini. Perbedaan yang ditemukan ketika PSA dibagi menjadi dua subkelompok: aneurisma PSA dan non-aneurisma PSA. Aneurisma PSA dilaporkan terjadi paling sering pada pagi hari sedangkan tidak ada kejadian puncak dilaporkan dalam non-aneurisma PSA (Schallner dkk 2014).

II.1.7. Hubungan

  

Sleep Stroke dengan Outcome Stroke

  Pada penelitian kejadian sleep stroke, ditemukan kejadian stroke lebih rendah pada malam. Namun demikian, menunjukkan tingkat keparahan yang lebih tinggi dan prognosis yang lebih buruk. Beberapa penelitian, dengan metodologi yang bervariasi, telah menganalisis variasi sirkadian dalam onset stroke iskemik, sebagian besar menemukan puncak frekuensi selama pagi hari (6:01am - 12 : 00 noon). Ada juga studi yang menganalisis apakah stroke terjadi saat tidur. Beberapa tidak hanya menggambarkan puncak pada pagi, tetapi juga penurunan frekuensi stroke pada jam-jam tidur malam. Studi yang menemukan bahwa selama hari kerja periode frekuensi stroke yang terbesar adalah 06:00-08:00, namun di akhir pekan, waktu bergeser ke 08:00-10:00 am. Tampaknya dengan waktu tidur dan terjaga (Conde dkk, 2007).

  Mekanisme yang mendasari hubungan yang signifikan antara

  

outcome fungsional yang lebih buruk setelah stroke meliputi deteksi gejala

  stroke yang tertunda dan seiring keterlambatan manajemen awal, peningkatan variabilitas vasomotor selama tidur rapid eye movement, lonjakan tekanan darah di pagi hari, berkurang aktivitas fibrinolitik dengan peningkatan aggregasi trombosit pada periode hiperakut, aktivitas simpatis dan parasimpatis dan indeks massa tubuh (Kim dkk, 2011).

  Pola sirkadian tekanan darah, pada saat nokturnal turun, tingkat yang lebih tinggi dari agregasi platelet pada pagi hari, kecenderungan untuk turunnya viskositas darah di malam hari dan mencapai puncaknya di pagi hari. Selain itu, aktivitas endogen tissue plasminogen activator (TPA) terendah di pagi hari dan ada juga penurunan fungsi endotel di pagi hari. Oleh karena itu, tidur dapat memberi efek signifikan terhadap sistem saraf otonom, hemodinamik sistemik, fungsi jantung, fungsi endotel, agregasi platelet dan koagulasi (Conde dkk, 2007).

  Obesitas tampaknya berhubungan dengan SS. Ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa obesitas memiliki hubungan yang lebih besar dengan kelainan tidur primer dan sekunder, terutama dengan obstructive sleep

  apnoea (OSA). Pasien dengan kelainan tidur ini mengalami frekuensi yang

  lebih besar dari gangguan tekanan intratoraks, aritmia jantung, disfungsi endotel, dan perubahan nokturnal dalam pola tekanan darah,

  2007).

  Di sisi lain, pasien dengan SS lebih sering perempuan dan usia tua. Prevalensi Atrial Fibrilasi (AF) dikaitkan dengan usia tua. Setelah disesuaikan berdasarkan usia dan jenis kelamin, AF muncul sebagai faktor terkait dengan WS. Pasien dengan SS lebih sedikit menderita AF untuk usia dan jenis kelamin yang sama. Dengan kata lain, AF dapat memicu stroke terutama dalam saat terjaga. Telah dijelaskan bahwa denyut jantung juga memiliki variasi sirkadian dimana denyut jantung lebih rendah pada malam hari dan bertambah tinggi pada saat bangun dan aktifitas fisik, yang dapat menjelaskan prevalensi AF relatif lebih tinggi di WS. Sehubungan dengan tingkat keparahan dan evolusi keparahan awal (NIHSS) lebih tinggi pada SS bahkan bila dianalisis termasuk TIA, meskipun di 3 bulan dan kematian tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan pada statistik setelah penyesuaian pada manfaat pengobatan trombolitik, hanya dapat memperkuat adanya perbedaan dalam prognosis (Conde dkk, 2007).

  II.2. Stres

  II.2.1. Defenisi

  Pengertian stres, menurut Haber dan Runyon, adalah konflik yang berupa tekanan eksternal dan internal serta permasalahan lainnya dalam kehidupan. Lazarus dan Folkman memberikan pengertian stres adalah menekan dan membahayakan individu serta telah melampui sumber daya yang dimiliki individu untuk mengatasinya. Selye yang dianggap sebagai pelopor penggunaan istilah stres, mendefinisikan stres sebagai respon umum dan tidak spesifik terhadap setiap tuntutan fisik maupun emosional, baik dari lingkungan (eksternal) maupun dari dalam diri (internal) (Maryam 2009).

  Stres adalah suatu kondisi dinamik, dalam hal ini seorang individu dihadapkan dengan sebuah peluang yang dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya. Stres tidak hanya mempunyai nilai negatif, tetapi juga positif. Stres merupakan suatu peluang bila stres itu menawarkan perolehan yang potensial. Stres juga sebagai kendala jika dapat menghambat seseorang mengerjakan apa yang diinginkannya (Maryam 2009).

  Para ahli psikologi seperti Baum, Coyne dan Holroy, mengelompokkan stres dalam tiga perspektif yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai suatu respon dan stres sebagai suatu proses. Menurut perspektif stres sebagai stimulus, stres terjadi disebabkan oleh lingkungan atau kejadian yang dapat mengancam atau berbahaya, sehingga menimbulkan ketegangan dan perasaan tidak nyaman. Menurut pandangan stres sebagai respon, stres merupakan reaksi/respon individu terhadap kejadian yang tidak menyenangkan. Stres sebagai suatu proses

  2009).

  Klasifikasi stres ada dua jenis yaitu stres akut (acute stress) dan stres kronis (chronic stress). Stres akut, yang berjangka waktu tidak lama (short-item), adalah reaksi segera terhadap ancaman, yang secara umum diketahui sebagai respons melawan (fight) atau menghindar (flight).

  Ancaman tersebut dapat berupa setiap situasi yang dialami, bahkan di bawah sadar, sebagai sesuatu yang berbahaya (Maryam 2009).

II.2.2. Sumber Stres

  Menurut Lazarus dan Cohen, sumber stres dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:

  1. Perubahan menyeluruh (cataclymic stressor). Kejadian yang dapat menimbulkan stres dan terjadi secara tiba(0)tiba serta dirasakan oleh banyak orang secara bersamaan seperti bencana alam (banjir, badai).

  2. Sumber stres dari pribadi (personal stressor). Perubahan yang terjadi dalam kehidupan seseorang turut berpotensi menimbulkan stres, misalnya: pernikahan, perceraian, kematian pasangan, mencari atau kehilangan pekerjaan.

  3. Sumber stres dari lingkungan fisik. Kejadian atau keadaan yang berupa ketidaknyamanan dalam keseharian seseorang. Kejadian ini merupakan gangguan kecil tetapi berlangsung terus(0)menerus, emosional, contohnya: lingkungan rumah/kerja yang bising (Maryam dkk 2009).

  Sumber stres berdasarkan sifatnya, yaitu:

  1. Sumber stres yang bersifat fisik. Atwater (1983) menyebut stres yang disebabkan oleh sumber stres fisik ini sebagai stres biologis.

  Stres biologis dapat mempengaruhi daya tahan tubuh dan emosi.

  2. Sumber stres bersifat psikososial . Menurut Atwater (1983) stres psikologis dapat mempengaruhi kesehatan fisik (Maryam dkk 2009). Terdapat empat sumber stres yang bersifat psikososial yaitu: a. Tekanan.

  Tekanan merupakan pengalaman yang menekan, berasal dari dalam diri, luar, atau gabungan keduanya. Dalam porsi yang tidak berlebihan tekanan dalam individu memang diperlukan untuk dapat berbuat yang terbaik. Sebaliknya, bila berlebihan tekanan dapat merugikan individu atau membuatnya tidak berdaya.

  b. Frustasi.

  Frustasi yaitu emosi negatif yang timbul akibat terhambatnya atau tidak terpuaskannya tujuan/keinginan individu. Dapat pula diakibatkan oleh tidak adanya subyek atau objek yang diinginkan.

  c. Konflik. lebih pilihan yang bertentangan, sehingga pemenuhan suatu pilihan akan dapat menghalangi tercapainya pilihan yang lain.

  d. Kecemasan.

  Kecemasan sangat berhubungan dengan perasaan aman. Dalam keadaan normal, kecemasan dapat membantu seseorang untuk lebih menyadari akan situasi bahaya tertentu. Sebaliknya, bila berlebihan dapat memperburuk perilaku individu (Maryam 2009).

II.2.3. Gejala Stres

  Gejala stres mencakup gejala psikis, fisik dan perilaku, misalnya gejala psikis kelelahan mental, diikuti gejala fisik seperti gangguan kulit, dan perubahan perilaku yaitu penurunan kualitas hubungan interpersonal. Menurut Cox dan Ferguson (1991), stres berkembang secara bertahap, tetapi gejala-gejalanya dapat dikenali sejak dini. Tanda tanda stres dapat dilihat dari beberapa aspek: Kognitif: 1. Ketidakmampuan untuk menghentikan berpikir tentang bencana.

  2. Kehilangan objektivitas

  3. Ketidakmampuan untuk membuat keputusan atau mengekspresikan dirinya baik secara verbal maupun tulisan Fisik:

  1. Overwhelming/kelelahan kronik/gangguan tidur

  3. Adanya masalah makan, misalnya nafsu makan bertambah atau hilangnya selera makan Afektif:

  1. Timbul keinginan bunuh diri, depresi berat

  2. Mudah marah

  3. Sinisme dan atau pesimisme yang berlebihan

  4. Kekhawatiran yang berlebihan mengenai korban dan keluarganya

  5. Merasa cemburu melihat pihak lain yang sedang menangani korban

  6. Merasa ada tekanan/paksaan

  7. Adanya keresahan yang signifikan setelah mendapatkan penanganan Tingkah laku:

  1. Mengkonsumsi alkohol dan penyalahgunaan obat 2. Menarik diri dari hubungan dengan teman, rekan kerja, dan keluarga.

  3. Bertingkah laku sesuka hatinya.

  4. Merasa tidak perlu untuk melakukan hubungan dengan korban lain

  5. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan atau bertanggung jawab atas pekerjaan secara normal

  6. Berusaha untuk tidak tergantung kepada tim penanganan korban Gejala gejala (symptoms) orang mengalami stres, baik secara fisik, mental, maupun psikologis. Simtom-simtom tersebut adalah sebagai berikut:

  • Pikiran-pikiran menakutkan (scary-thought)

  • Pikiran bersaing (racing mind)
  • Tidak yakin atau ragu-ragu (uncertainty)
  • Tidak logis (illogic)
  • Lupa (forgetfulness)
  • Kecurigaan (suspicion)
  • Lekas marah (irritability)
  • Kecemasan (anxiety)
  • Depresi (depression)
  • Gusar atau marah-marah (anger)
  • Kesepian (lonliness)
  • Rendah diri (low-self esteem)
  • Gangguan perut (upset stomach)
  • Keletihan (fatigue)
  • Sakit punggung (backache)
  • Sakit kepala (headache)
  • Sembelit (constipation)
  • Diare (diarrhea)
  • Dada sumpek (chest tightness)
  • Kebiasaan tidur yang buruk (poor sleeping habits)
  • Kebiasaan bangun yang buruk (poor calling habits)
  • Berbicara cepat (rapid speech)
  • Menggunakan obat-obatan (drug use)

  • Merokok berlebihan (excessive smoking)
  • Minum (Alkohol) berlebihan (excessive drinking)

  Dari beberapa gejala stres yang telah disampaikan oleh para ahli ada yang telah mengarah kepada coping yang tidak efektif (maladaptif) seperti Kebiasaan tidur yang buruk, kebiasaan bangun yang buruk, berbicara cepat, menggunakan obat-obatan, mengendarai dengan sembrono, merokok berlebihan dan minum alkohol dan obat terlarang.

  II.2.3. Stressfull Life Events Life event adalah peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang dapat menjadi stresor dan dapat mempengaruhi individu pada suatu waktu.

  Stressfull life events adalah kejadian yang mengganggu dan mengacaukan kegiatan rutin individu dan mungkin tidak diinginkan.

  Mencakup stressor mayor dan minor, kehilangan, prestasi, dan perubahan status yang terjadi dalam hidup masyarakat. Peristiwa kehidupan sering mengharuskan seseorang untuk menjalani penyesuaian psikososial baginya agar kehidupan berfungsi dengan baik (Muhwezi 2007).

  II.2.4. Pengukuran Tingkat Stres Dengan Metode Holmes Dan Rahe

  Pada tahun 1967, Dr. Thomas H. Holmes dan Dr. RPISard H. Rahe telah mengembangkan alat ukur stres diri yang disebut “Social

  Readjusment Rating Scale”.

  No Tabel 1. Skala Holmes Dan Rahe

  24 Kesulitan dengan atasan

  27 Pinjaman dengan rumah sebagai jaminan

  19

  26 Perubahan dalam hiburan

  20

  25 Tukar tempat tinggal

  23

  29

  28 Perubahan dalam jumlah pertemuan keluarga

  23 Istri mulai atau berhenti bekerja

  28

  22 Prestasi pribadi yang luar biasa

  29

  21 Anak laki-laki atau perempuan meninggalkan rumah

  30

  17

  15

  36

  18

  13 Dikutip dari MARYAM S. 2009. Strategi Coping bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami Aceh. Unimal Press. Lhokseumawe O

  36 Berlibur

  15

  35 Perubahan dalam kebiasaan makan

  16

  34 Tukar kebiasaan tidur

  33 Tukar kegiatan sekolah

  29 Pelanggaran ringan

  20

  32 Tukar sekolah

  20

  31 Perubahan jam kerja

  24

  30 Menukar kebiasaan pribadi

  11

  20 Mencegah terjadinya penggadaian/pinjaman

  19 Peralihan jenis pekerjaan

  PENGALAMAN-PENGALAMAN KEHIDUPAN Nilai

  45

  39

  8 Tambah anggota keluarga baru

  39

  7 Kesulitan seks

  40

  6 Kehamilan istri

  5 Pensiunan

  37

  47

  4 Kehilangan jabatan

  50

  3 Perkawinan

  63

  2 Kematian keluarga dekat

  1 Kematian suami/istri 100

  9 Kematian kawan dekat

  10 Konflik suami atau istri

  65

  15 Rujuk dalam perkawinan

  18 Perceraian

  38

  17 Perubahan dalam status keuangan keluarga

  44

  16 Perubahan kesehatan seseorang anggota keluarga

  45

  53

  35

  14 Perasaan tersinggung atau penyakit

  29

  13 Konflik dengan ipar, mertua, menantu

  29

  12 Perubahan dalam tanggung jawab pekerjaan

  31

  11 Menggadaikan rumah

  Holmes dan Rahe mengkategorikan tingkat stres kedalam empat katagori. Skor kurang dari 150 sebagai stres minor, skor 150-199 tergolong stres ringan, skor 200-299 tergolong stres sedang dan skor di bahwa 35 persen individu dengan skor di bawah 150 akan mengalami sakit atau kecelakaan dalam dua tahun, 51 persen individu dengan skor antara 150-300 dan mereka dengan skor di atas 300 berpeluang 80% mengalami sakit atau kecelakaan( Maryam 2009).

  Skala Holmes dan Rahe adalah skala yang mengukur penyebab dan tingkat stres. Didalam skala ini terdapat 36 butir berbagai pengalaman dalam kehidupan seseorang, yang masing-masing diberi nilai (score) Nawawi 2011; Maryam 2009). Suatu instrumen (keseluruhan indikator) dianggap sudah cukup reliabel (reliabilitas konsistensi internal ), bilamana α ≥0.6 Tingkat stres Holmes dan Rahe nilai reabilitas relatif cukup baik 0.6124 dan validitas 0.006-0.686 (Maryam 2009) .

II.2.5. Coping

  Coping adalah perilaku yang terlihat dan tersembunyi yang

  dilakukan seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan psikologi dalam kondisi yang penuh stres. Individu tidak akan membiarkan efek negatif ini terus terjadi, ia akan melakukan suatu tindakan untuk mengatasinya (Nawawi 2011) .

  Tindakan yang diambil individu dinamakan strategi coping. Strategi

  coping sering dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pengalaman dalam

  menghadapi masalah, faktor lingkungan, kepribadian, konsep diri, faktor sosial dan lain-lain sangat berpengaruh pada kemampuan individu dalam menyelesaikan masalahnya. Dari beberapa pengertian coping dapat disimpulkan bahwa coping merupakan :

  1. Respon perilaku dan fikiran terhadap stres

  2. Penggunaan sumber yang ada pada diri individu atau lingkungan sekitarnya.

  3. Pelaksanaannya dilakukan secara sadar oleh individu dan

  4. Bertujuan untuk mengurangi atau mengatur konflik-konflik yang timbul dari diri pribadi dan di luar dirinya (internal or external conflict), sehingga dapat meningkatkan kehidupan yang lebih baik(Maryam 2009) .

  Perilaku coping dapat juga dikatakan sebagai transaksi yang dilakukan individu untuk mengatasi atau mengurangi berbagai tuntutan (internal dan eksternal) sebagai sesuatu yang membebani dan mengganggu kelangsungan hidupnya (Maryam 2009) .

II.2.6. Strategi

  Coping

  Strategi coping bertujuan untuk mengatasi situasi dan tuntutan yang dirasa menekan, menantang, membebani dan melebihi sumber daya

  

(resources) yang dimiliki. Sumber daya coping yang dimiliki

  mempengaruhi strategi coping. Ada dua jenis mekanisme coping yang dilakukan individu yaitu coping yang berpusat pada masalah (problem

  focused form of coping mechanism/direct action) dan coping yang berpusat pada emosi (emotion focused of coping/palliatif form) (Maryam 2009) .

  1. Strategi coping berfokus pada masalah. Strategi coping berfokus pada masalah adalah suatu tindakan yang diarahkan kepada pemecahan masalah. Individu akan cenderung menggunakan perilaku ini bila dirinya menilai masalah yang dihadapinya masih dapat dikontrol dan dapat diselesaikan. Yang termasuk strategi coping berfokus pada masalah adalah:

  a. Planful problem solving yaitu bereaksi dengan melakukan usaha- usaha tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti pendekatan analitis dalam menyelesaikan masalah. Contohnya seseorang yang melakukan coping planful problem

  

solving akan bekerja dengan penuh konsentrasi dan perencanaan

  yang cukup baik serta mau merubah gaya hidupnya agar masalah yang dihadapi secara berlahan-lahan dapat terselesaikan.

  b. Confrontative coping yaitu bereaksi untuk mengubah keadaan yang dapat menggambarkan tingkat risiko yang harus diambil. Contohnya seseorang yang melakukan coping confrontative akan menyelesaikan masalah dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan yang berlaku walaupun kadang kala mengalami resiko yang cukup besar.

  c. Seeking social support yaitu bereaksi dengan mencari dukungan dari dukungan emosional. Contohnya seseorang yang melakukan

  coping seeking social support akan selalu berusaha menyelesaikan

  masalah dengan cara mencari bantuan dari orang lain di luar keluarga seperti teman, tetangga, pengambil kebijakan dan profesional, bantuan tersebut bisa berbentuk fisik dan non fisik (Maryam 2009) .

  Perilaku coping yang berpusat pada masalah cenderung dilakukan jika individu merasa bahwa sesuatu yang kontruktif dapat dilakukan terhadap situasi tersebut atau ia yakin bahwa sumberdaya yang dimiliki dapat mengubah situasi, contoh penelitian yang dilakukan oleh Ninno et al. (1998), yakni strategi coping yang digunakan rumah tangga dalam mengatasi masalah kekurangan pangan akibat banjir besar di Bangladesh adalah strategi coping berpusat pada masalah yaitu: melakukan pinjaman dari bank, membeli makanan dengan kredit, mengubah perilaku makan dan menjual aset yang masih dimiliki (Maryam 2009) .

  2. Strategi coping berfokus pada emosi Strategi coping berfokus pada emosi adalah melakukan usaha- usaha yang bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan usaha mengubah stressor secara langsung. Yang termasuk strategi coping berfokus pada emosi adalah: a. Positive reappraisal (memberi penilaian positif), adalah bereaksi dengan menciptakan makna positif yang bertujuan untuk mengembangkan diri seseorang yang melakukan coping positive reappraisal akan selalu berfikir positif dan mengambil hikmahnya atas segala sesuatu yang terjadi dan tidak pernah menyalahkan orang lain serta bersyukur dengan apa yang masih dimilikinya b. Accepting responsibility (penekanan pada tanggung jawab) yaitu bereaksi dengan menumbuhkan kesadaran akan peran diri dalam permasalahan yang dihadapi, dan berusaha mendudukkan segala sesuatu sebagaimana mestinya. Contohnya adalah seseorang yang melakukan

  coping accepting responsibility akan menerima segala sesuatu yang

  terjadi saat ini sebagai mana mestinya dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang sedang dialaminya c. Self controlling (pengendalian diri) yaitu bereaksi dengan melakukan regulasi baik dalam perasaan maupun tindakan. Contohnya adalah seseorang yang melakukan coping ini untuk penyelesaian masalah akan selalu berfikir sebelum berbuat sesuatu dan menghindari untuk melakukan sesuatu tindakan secara tergesa-gesa d. Distancing (menjaga jarak) agar tidak terbelenggu oleh permasalahan.

  Contohnya adalah seseorang yang melakukan coping ini dalam penyelesaian masalah, terlihat dari sikapnya yang kurang peduli terhadap persoalan yang sedang dihadapi bahkan mencoba melupakannya seolaholah tidak pernah terjadi apa-apa. e. Escape avoidance (menghindarkan diri) yaitu menghindar dari masalah yang dihadapi. Contohnya adalah seseorang yang melakukan coping ini untuk penyelesaian masalah, terlihat dari sikapnya yang selalu menghindar dan bahkan sering kali melibatkan diri kedalam perbuatan yang negatif seperti tidur terlalu lama, minum obat-obatan terlarang dan tidak mau bersosialisasi dengan orang lain (Maryam 2009) .

  Perilaku coping yang berpusat pada emosi cenderung dilakukan bila individu merasa tidak dapat mengubah situasi yang menekan dan hanya dapat menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak mampu mengatasi situasi tersebut, contohnya masih dalam penelitian yang dilakukan oleh Ninno et al. (1998), yakni strategi coping yang digunakan rumah tangga dalam mengatasi masalah pangan akibat banjir besar di Bangladesh berpusat pada emosi adalah pasrah menerima apa adanya, berdo’a dan mengharapkan bantuan, simpati dan belas kasihan dari masyarakat dan pemerintah (Maryam 2009) .

  Jenis coping mana yang akan digunakan dan bagaimana dampaknya, sangat tergantung pada jenis stres atau masalah yang dihadapi. Pada situasi yang masih dapat berubah secara konstruktif (seperti mengalami kelaparan akibat bencana) strategi yang digunakan adalah problem focused. Pada situasi yang sulit seperti kematian pasangan, strategi coping yang dipakai adalah emotion focused, karena diharapkan individu lebih banyak berdo’a, bersabar dan tawakkal.

  Keberhasilan atau kegagalan dari coping tersebut akan menentukan tuntutan yang diharapkan (Maryam 2009) .

II.2.7. Sumberdaya Coping

  Sumberdaya mengandung dua arti yakni sumber dan daya, yang bermakna sebagai sumber dari kekuatan, potensi dan kemampuan untuk mencapai suatu manfaat dan tujuan. Dengan demikian sumberdaya merupakan alat dan potensi yang digunakan untuk mencapai kebutuhan.

  Dalam keluarga sumberdaya terdiri atas:

  1. Unsur manusia: jumlah anggota keluarga, umur, jenis kelamin, hubungan antar anggota dalam keluarga dan hubungan antara keluarga dengan keluarga lain, dan faktor faktor yang ada pada manusia seperti pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills) dan minat (intrest).

  2. Unsur materi: pendapatan berupa uang atau barang, kekayaan milik keluarga dapat berupa lahan (pekarangan, kebun, sawah serta rumah yang dihuni

  3. Unsur waktu adalah salah satu sumberdaya, sehingga pemanfaatan waktu perlu dikelola agar seluruh kegiatan dapat dilaksanakan dengan tepat sesuai dengan tujuan yang diinginkan (Maryam 2009) .

  Sumberdaya coping dapat diartikan segala sesuatu yang dimiliki keluarga baik bersifat fisik dan non fisik untuk membangun perilaku coping. Sumberdaya coping tersebut bersifat subyektif sehingga perilaku coping bisa bervariasi pada setiap orang (Maryam 2009).

  Cara seseorang melakukan strategi coping tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Adapun sumberdaya tersebut antara lain: (1) Kondisi kesehatan. WHO (1984) mendefinisikan sehat sebagai status kenyamanan menyeluruh dari jasmani, mental dan sosial, dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kecacatan. Kesehatan mental diartikan sebagai kemampuan berfikir jernih dan baik, dan kesehatan sosial memiliki kemampuan untuk berbuat dan mempertahankan hubungan dengan orang lain. Kesehatan jasmani adalah dimensi sehat yang nyata dan memiliki fungsi mekanistik tubuh. Kondisi kesehatan sangat diperlukan agar seseorang dapat melakukan coping dengan baik agar berbagai permasalahan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik. (2) Kepribadian adalah perilaku yang dapat diamati dan mempunyai ciri- ciri biologi, sosiologi dan moral yang khas baginya yang dapat membedakannya dari kepribadian yang lain. Pendapat lain menyatakan bahwa kepribadian adalah ciri, karakteristik, gaya atau sifat-sifat yang memang khas dikaitkan dengan diri seseorang. Dapat dikatakan bahwa kepribadian itu bersumber dari bentukan bentukan yang terima dari lingkungan, misalnya bentukan dari keluarga pada masa kecil dan juga bawaan sejak lahir misalnya orang tua membiasakan anak untuk menyelesaikan pekerjaannya sendiri, menyelesaikan setiap permasalahan bersama-sama, tidak mudah tersinggung/marah dan harus selalu bersikap optimis (Maryam 2009) .

  Kepribadian dapat digolongkan menjadi dua yaitu: banyak fantasi, lekas merasakan kritik, menahan ekspresi emosi, lekas tersinggung dalam diskusi, suka membesarkan kesalahannya, analisis dan kritik terhadap diri sendiri dan pesimis; dan (b) Ekstrovert, adalah orang yang melihat kenyataan dan keharusan, tidak lekas merasakan kritikan, ekspresi emosinya spontan, tidak begitu merasakan kegagalan, tidak banyak mengadakan analisis dan kritik terhadap diri sendiri, terbuka, suka berbicara dan optimis (Maryam 2009) .

  (3) Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian seseorang yang diketahui dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep diri dipelajari melalui kontak sosial dan pengalaman berhubungan dengan orang lain misalnya orang tua yang menginginkan anak-anaknya tetap sekolah walaupun dalam keadaan darurat, sehingga berupaya keras mencarikan sekolah untuk anaknya.

  (4) Dukungan sosial adalah adanya keterlibatan orang lain dalam menyelesaikan masalah. Individu melakukan tindakan kooperatif dan mencari dukungan dari orang lain, karena sumberdaya sosial menyediakan dukungan emosional, bantuan nyata dan bantuan informasi.

  Menurut Cronkite dan Moos (Holahan & Moos, 1987), orang yang mempunyai cukup sumberdaya sosial cenderung menggunakan strategi problemfocused coping dan menghindari strategi avoidance coping dalam menyelesaikan berbagai masalah. dalam mela- kukan coping untuk penyelesaian masalah yang sedang dihadapi. Namun demikian, tidak berimplikasi terhadap bagaimana keluarga tersebut dapat menggunakannya (Lazarus & Folkman, 1984). Menurut Bryant (1990) aset adalah sumberdaya atau kekayaan yang dimiliki keluarga. Aset akan berperan sebagai alat pemuas kebutuhan.

  Oleh karena itu, keluarga yang memiliki banyak aset cenderung lebih sejahtera jika dibandingkan dengan keluarga yang memilki aset terbatas (Maryam 2009) .

II.2.8. Hubungan Stres Dengan Outcome Stroke

  Pengetahuan masyarakat terhadap konsep-konsep ilmiah menemukan bahwa hubungan antara stres psikologis dan risiko stroke ada sejak awal lima puluhan, ketika Ecker (1954) menyatakan bahwa sebelum serangan stroke, pasien sering memiliki masalah emosional.

  Segera sebelum stroke ia mungkin menghadapi masalah pribadi yang berat. Banyak penelitian mencoba untuk mencari hubungan, beberapa studi menunjukkan bahwa ada hubungan dan lain yang menunjukkan tidak ada hubungan (Abdelsamee dkk, 2009).

  Ada kemungkinan mekanisme yang berbeda dengan stres psikologis dapat meningkatkan risiko stroke. Mekanisme ini dapat menjadi kronis (dijelaskan oleh stres terjadi berbulan-bulan sebelum stroke) atau mungkin akut (dijelaskan oleh stres terjadi segera sebelum onset stroke). katekolamin yang menyebabkan perubahan dalam faktor hemodinamik sistemik. Menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah.

  Pengulangan respon ini dapat mengakibatkan elevasi berkelanjutan dari tekanan darah (Abdelsamee dkk 2009).

  Stres psikologis memainkan peran penting dalam perkembangan ateroklerosis dan juga telah dikaitkan dengan perkembangan perubahan aterosklerotik dari arteri karotis, katekolamin disekresikan pada saat stres mengaktifkan trombosit secara langsung karena membran platelet mengandung reseptor

  α2 adrenergik. Aktivasi platelet berulang dengan sekresi platelet–derived growth factor dapat meningkatkan proliferasi otot polos arteri dalam perkembangkan atheroma. Stres juga meningkatkan konsentrasi plasma bersama-sama dengan beberapa faktor protrombolitik dan meningkatnya fungsi platelet yang mungkin merupakan mekanisme stres psikologis dalam perkembangan formasi plak (Abdelsamee dkk

  2009).

  Episode singkat stres dapat menimbulkan disfungsi endotel sementara. Stres berat dan sering dapat menyebabkan disfungsi endotel yang berkelanjutan merupakan hubungan lebih lanjut antara stres dan ateroskelosis. Selama aktivasi trombosit dalam respon terhadap stres, mensekresikan protein trombosit sebagai platelet factor 4 ( PF4 ) dan B-

  thromboglobulin (BTG). Aktivasi platelet menyebabkan sekresi protein

  yang mengubah permukaan membran plasma yang memfasilitasi platelet trombosit dapat meningkatkan akumulasi trombosit dalam turbulen aliran darah pada sisi kerusakan arteri dan obstruksi parsial dan ini bisa memicu iskemik akut (Abdelsamee dkk 2009).

  Beberapa penelitian menemukan hubungan stres dengan fatal stroke. Penjelasan yang mungkin kenapa stres berhubungan dengan fatal stroke adalah subyek stres menderita stroke yang lebih berat dan lebih mungkin terjadi komplikasi. Dasar mekanisme biologi masih belum jelas.

  Pada keadaan stres dijumpai peningkatan hormon kortisol pada manusia atau kortikosteron pada tikus. Penelitian pada tikus jantan pada kondisi

  2 iskemik ekspresi Bcl selektif meningkat pada daerah peri-infark.

2 Protoonkogen Bcl berperan agar sel tetap hidup dan melindungi sel dari

  proses apopptosis dan nekrosis seluler. Pada tikus jantan yang stres

  2

  sebelum oklusi arteri serebri ekspresi Bcl 70% lebih rendah daripada tikus yang bukan stres setelah iskemik. Berdasarkan penelitian ini apakah mekanisme ini sama pada manusia belum diketahui. Tetapi peneliti menyarankan hasil penelitian ini sebagai mekanisme biologi hubungan stres dan stroke (Devries dkk 2001).

II.3. Kerangka Teori

  SLEEP STROKE Episode singkat stres dapat menimbulkan disfungsi endotel sementara, stres berat dan sering menyebabkan disfungsi endotel dan ateroskelosis ( Abdelsame dkk, 2009)

  

Tissue Plasminogen Activator

( TPA )

  OUTCOME STROKE STRES Penurunan fungsi endotel di pagi hari (Conde,2007) Subyek dengan intensitas stres berat resiko fatal stroke hampir dua kali lipat dibandingkan dengan subyek yang tidak stres (Truelsen dkk, 2003)

  Sleep Stroke memiliki keparahan klinis yang lebih besar dan fungsional outcome yang lebih buruk (Conde,2007)

  

Disfungsi

endotel Aktivasi trombosit dan akumulasi trombosit kerusakan dan obstruksi parsial arteri (Abdelsame dkk, 2009)

  

Tekanan Darah

Aktivasi

trombosit

  

( TPA ) terendah di pagi hari

(Conde,2007) Agregasi ↑ pagi hari, viskositas darah malam hari (Conde,2007) Stres mengaktivasi simpatik meningkatkan pelepasan katekolamin perubahan dalam faktor hemodinamik sistemik. Menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. (Abdelsame dkk, 2009)

II.4. Kerangka Konsepsional STROKE

STRESS (-)

SLEEP STROKE

SLEEP STROKE

  

OUTCOME

SLEEP STROKE (-)

  ( +) STRESS (+)

  (+)

  (-)