Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Program Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (Studi Kasus Koperasi Rakyat Pantai, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat).
TINJAUAN PUSTAKA Hutan
Menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999 hutan memiliki pengertian sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan adalah sumber daya alam yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Hutan juga merupakan sumber daya alam yang memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia baik manfaat langsung maupun tidak langsung.
Menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, berdasarkan fungsinya digolongkan ke dalam beberapa bagian yaitu : a.
Hutan lindung, yang merupakan kawasan hutan yang karena sifat-sifat alamnya diperuntukkan guna pengaturan tata air dan pencegahan bencana banjir dan erosi, serta untukpemeliharaan kesuburan tanah b. Hutan produksi, yang merupakan kawasan hutan yang diperuntukkan guna memproduksi hasil hutanuntuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk pembangunan, industri, dan ekspor c. Hutan suaka alam, yang merupakan kawasan hutan yang karena sifatnya yang khas diperuntukkan secara khusus untuk perlindungan alam hayati lainnya d.
Hutan wisata, yang merupakan kawasan hutan yang diperuntukkan secara khusus untuk dibina dan dipelihara guna kepentingan pariwisata atau perburuan hutan
Masyarakat Sekitar Hutan
Berdasarkan pasal 69 dan 70 Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa masyarakat berkewajiban ikut serta dalam menjaga hutan dari gangguan perusakan, berperan aktif dalam rehabilitasi, turut berperan serta dalam pembangunan kehutanan dan pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat yang terkait langsung dengan berbagai upaya dalam rangka penyelamatan maupun pemanfaatan hutan dan lahan, sehingga lestari dan berkesinambungan.
Masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang tinggal di sekitar hutan baik yang memanfaatkan hasil hutan tersebut secara langsung maupun tidak langsung. Banyak sekali masyarakat Indonesia meskipun jumlahnya tidak diketahui secara pasti tinggal di dalam atau atau dipinggir hutan yang hidupnya bergantung kepada hutan. Pada pertengahan tahun 2000, Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa 30 juta penduduk secara langsung mengandalkan hidupnya pada sektor kehutanan meskipun tingkat ketergantungannya tidak didefinisikan. Sebagian besar masyarakat hutan hidup dengan berbagai strategi ekonomi tradisional, yakni menggabungkan perladangan dengan berburu, dan mengumpulkan hasil hutan seperti kayu, rotan, madu dan hasil hutan lainnya (Hardjasoemantri, 1985).
Pengelolaan ataupun pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat memang selayaknya diakui ada nilai positif dan negatifnya. Nilai positif yang didapat dari sumber daya alam untuk masyarakat lokal tentu saja adalah terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari baik dari hasil pertanian, perkebunan atau pun dari hasil hutan. Sedangkan dampak negatifnya bila pengelolaan atau pemanfaatan sumber daya alam atau ekosistem seperti punahnya fauna, tanah gundul, tanah longsor, dan juga padang alang-alang (Awang, 2001).
Keberadaan masyarakat di sekitar hutan secara langsung menimbulkan keinginan dan motivasi untuk pemanfatan hutan tersebut. Timbulnya keinginan motivasi tersebut dipicu oleh kesadaran masyarakat disamping faktor sosial, ekonomi, budaya, adat istiadat, pendidikan, dan perilaku masyarakat (Kartasapoetra, 1987).
Pemberdaayaan masyarakat dalam bentuk pelibatan masyarakat lokal dalam rangka pelestarian hutan merupakan hal yang mendasar dan positif, dimana kesadaran positif masyarakat dibangun dan dikembangkan sehingga masyarakat dapat melakukan kontrol sepenuhnya terhadap pengelolaan sumber daya hutan.
Pada hakekatnya pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses perubahan perilaku masyarakat sebagai pusat perhatian sekaligus dipandang dan diposisikan sebagai subyek bagi dirinya sendiri dalam proses pembangunan.
Persepsi Masyarakat
Menurut Sormin (2006) mendefinisikan bahwa persepsi merupakan sebagai proses dimana seseorang menjadi sadar segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera yang dimiliki, pengetahuan lingkungan diperoleh melalui interpretasi data indera. Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses perencanaan informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba, dan sebagainya).
Sebaliknya alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi.
Menurut Sumardi et al (1997) kondisi dari persepsi seseorang terhadap hutan, besar pengaruhnya pada wujud hubungan manusia dengan hutan, yang dapat dibedakan menjadi seseorang menolak lingkungan, bekerjasama, atau menguras lingkungan, disebabkan seseorang yang tidak sesuai dengan keadaan yang diinginkan, sehingga orang yang bersangkutan dapt memberikan bentuk tindakan terhadap hutan sesuai dengan apa yang di kehendaki. Sebaliknaya para petani mempunyai sikap menerima lingkungan, seseorang dapat memanfaatkan hutan dan sekaligus menjaga dan menyelamatkan hutan dari kerusakan, sehingga hutan memberi manfaat yang terus menerus. Dengan demikian lingkungan hutan yang terjaga kelestariannya dari kerusakan, akan memberikan manfaat kepada masyarakat di sekitar hutan dan negara berupa devisa.
Menurut Ngakan dkk (2006) yang menyatakan untuk mengetahui persepsi masyarakat, kepada mereka diberikan lima topik untuk dibahas dan jawaban mereka dibedakan dalam tiga kategori:
a) Persepsi baik, apabila mereka memahami dengan baik bahwa dirinya bergantung hidup dari sumberdaya hayati hutan dan menginginkan agar sumberdaya tersebut dikelola secara lestari;
b) Persepsi sedang, apabila mereka menyadari dirinya bergantung hidup dari sumberdaya hayati hutan tetapi tidak memahami kalau sumberdaya tersebut perlu dikelola secara lestari agar manfaatnya bisa diperoleh secara berkelanjutan; c)
Persepsi tidak baik, apabila jawaban responden masuk dalam kategori tidak sadar kalau dirinya bergantung hidup dari sumberdaya hayati hutan, atau ada kepentingan lain yang membuat mereka cenderung beranggapan bahwa tidak perlu menjaga kelestarian sumberdaya hayati hutan.
Partisipasi Masyarakat
Partisipasi berasal dari kata participation, yang berarti pengambilan bagian, pengikutsertaan. Partisipasi masyarakat berarti pengambilan bagian oleh masyarakat atau pengikutsertaan masyarakat dalam suatu kegiatan. Dalam praktek sehari-hari, partisiasi masyarakat dipahami atau ditafsirkan sebagai berikut:
1. Masyarakat bertanggung jawab hanya dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan 2.
Anggota masyarakat ikut menghadiri pertemuan-pertemuan perencanaan, pelaksanaan dan pengkajian suatu kegiatan, namun sebatas sebagai pendengar.
3. Anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan tentang cara melaksanakan sebuah kegiatan dan ikut menyediakan bantuan serta bahan-bahan yang dibutuhkan dalam kegiatan tersebut.
4. Anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam semua tahapan proses pengambilan keputusan, pengawasan serta monitoringnya.
Dengan pendekatan partisipasi, masyarakat lebih bersemangat, lebih ikhlas dan lebih bertanggung jawab dalam melaksanakan suatu kegiatan (Mu’arif, 2002).
Partisipasi menurut Awang (2001) adalah keterlibatan aktif dan bermakna dari massa penduduk dari tingkatan-tingkatan yang berbeda seperti:
1. Di dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan dan pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan- tujuan tersebut.
2. Dalam pelaksanaan program-program dan proyek-proyek secara suka rela dan pembagian yang merata.
3. Dalam pemanfaatan hasil-hasil dari satu program atau suatu proyek. Hal ini menjadi penting karena banyak program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat ternyata justru ditolak oleh masyarakat sendiri.
Partisipasi masyarakat di bagi dalam tiga bentuk. Pertama, partisipasi semu yaitu keikutsertaan masyarakat dalam sebuah kegiatan di mana keikutsertaan itu diukur dari upaya-upaya memobilisasi tenaga kerja masyarakat dalam kegiatan. Kedua, partisipasi perwakilan yaitu keterlibatan masyarakat dalam sebuah kegiatan pembangunan diwakili oleh beberapa orang tertentu saja. Ketiga, partisipasi sejati adalah keikutsertaan yang dilakukan oleh setiap individu atau kelompok masyarakat atas dasar kehendak sendiri terhadap sesuatu yang dirasakan memberi manfaat, dan keterlibatan tersebut meliputi semua aktifitas dari awal sampai akhir proses (Awang, 2002).
Menurut Yuwono (2006) bahwa secara umum faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan adalah (1) keadaan sosial masyarakat, (2) kegiatan program pembangunan, (3) keadaan alam sekitar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa keadaan sosial masyarakat berupa pendidikan, pendapatan, kebiasaan, kepemimpinan, keadaan keluarga, kemiskinan, kedudukan social dan sebagainya. Bentuk program pembangunan merupakan kegiatan yang dirumuskan serta dikendalikan oleh pemerintah yang dapat berupa organisasi kemasyarakatan dan tindakan-tindakan kebijaksanaan.
Sedangkan keadaan alam sekitar adalah faktor fisik daerah yang ada pada lingkungan tempat hidup masyarakat.
Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Program hutan tanaman rakyat pertama dicanangkan pada awal tahun 2007 berdasarkan PP No. 6 tahun 2007 Jo PP No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan dan Permenhut No.P.23/Menhut-II/2007 Jo. Permenhut No. P.5/Menhut-II/2008 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK-HTR dalam Hutan Tanaman. Program ini memberikan akses kepada masyarakat untuk (1) Memperoleh pengakuan secara hukum dalam usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi; (2) Memperoleh pinjaman dana pembangunan HTR; (3) Memperoleh jaminan pasar melalui penetapan harga dasar. Kebijakan HTR ini sekaligus merupakan implementasi dari Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan 2004-2009 terutama Revitalisasi Sektor Kehutanan dan Pemberdayaan Ekonomi, sehingga sektor kehutanan dapat memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan, mensejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja.
Tujuan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat adalah sebagi berikut : 1. Rehabilitasi kawasan hutan produksi yang terlantar dan atau kosong akibat kerusakan pada beberapa tahun yang lalu.
2. Meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi tidak produktif secara optimal.
3. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan produksi dalam pengelolaan hutan secara lestari.
4. Meningkatkan produksi kayu dalam hutan produksi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan, dimana kebutuhan industri akan kayu pada saat ini tidak seimbang dengan kemampuan produksi kayu.
6. Keamanan, yang terbangun dari kesadaran masyarakat di sekitarnya akan rasa memiliki, mengelola serta memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi dan meningkatkan kebutuhan hidupnya.
7. Membangun kebersamaan, keadilan dan keterbukaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara optimal untuk menuju kelestarian dalam mendukung aspek ekonomi, sosial dan ekologi.
Berdasarkan pembelajaran terhadap beberapa program pemberdayaan masyarakat sebelumnya, Emila dan Suwito (2007) menyimpulkan bahwa HTR harus dijalankan dengan prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat yaitu : a.
Masyarakat mengorganisasikan dirinya berdasarkan kebutuhannya (people
organized themselves based on their necessity ) yang berarti pemberdayaan
hutan beserta masyarakatnya ini bukan digerakkan oleh proyek ataupun bantuan luar negeri karena kedua hal tersebut tidak akan membuat masyarakat mandiri dan hanya membuat “kebergantungan” masyarakat.
b.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus bersifat padat karya (laborintensive) sehingga kegiatan ini tidak mudah ditunggangi pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab.
c.
Pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi dengan memberikan aspek legal sehingga kegiatan masyarakat yang tadinya informal di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor formal ekonomi kehutanan/ekonomi lokal, nasional dan global sehingga bebas dari pemerasan oknum birokrasi dan premanisme pasar.
Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan, kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan (PP 6/2007 bab 1 pasal 1:19). Sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan atau sistem teknik bercocok tanaman hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai menanam, memelihara tanaman dan memanen
Lebih lanjut dikatakan bahwa kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat ini terkait dengan kebijakan Pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan (pro-poor), menciptakan lapangan kerja baru (pro-job) dan memperbaiki kualitas pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar pelaku ekonomi (pro- growth) sebagaimana menjadi agenda revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Kebijakan HTR ini sekaligus juga merupakan implementasi dari Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan 2004-2009 terutama revitalisasi sektor kehutanan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat, sehingga sektor kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan hidup, mensejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) diberikan untuk jangka waktu paling lama 60 tahun. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam hutan tanaman tidak dapat diperjualbelikan, dipindahtangankan, dan diwariskan. Pemegang IUPHHK-HTR mempunyai hak melakukan kegiatan sesuai izin, kemudahan mendapatkan dana untuk pembiayaan pembangunan HTR, bimbingan dan penyuluhan teknis dan peluang ke pemasaran hasil hutan. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman meliputi penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Tanaman yang dihasilkan dari UPHHK pada HTR merupakan asset pemegang izin usaha, dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku.
Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat akan melibatkan tugas dan fungsi seluruh Instansi Kehutanan baik Pusat maupun Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Swasta, Koperasi, LSM dan Masyarakat, sehingga untuk kelancaran dan efektivitas pelaksanaan di lapangan diperlukan Pedoman Penyelenggaraan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Masyarakat yang menjadi sasaran program hutan tanaman rakyat adalah masyarakat yang berada di dalam atau di sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial yang didasarkan pada persamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan.
Ketentuan umum di dalam PP 6/2007 memberikan batasan yang tegas tentang HTR, sehingga khalayak bisa memahami perbedaan antara HTR dengan Hutan Kemasyarakatan (HKM) dan Hutan Rakyat. HTR hanya akan dikembangkan pada areal kawasan hutan produksi yang tidak dibebani hak. HKM (dalam PP 6/2007) memungkinkan dikembangkan di hutan konservasi (kecuali Cagar Alam dan zona inti Taman Nasional), kawasan hutan produksi, dan hutan lindung. Sedangkan Hutan Rakyat jelas-jelas dibangun di luar kawasan hutan negara atau berada pada hutan hak (hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah) (Emilia dan Suwito, 2007).
Alokasi dan penetapan areal HTR dilakukan oleh Menteri Kehutanan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani ijin/hak lain dan letaknya diutamakan dekat dengan industri hasil hutan. Alokasi dan penetapan areal HTR sesuai PP No. 6 Tahun 2007 dilakukan oleh menteri berdasarkan usulan KPH atau pejabat yang ditunjuk. Alokasi dan penetapan areal HTR oleh menteri akan disampaikan kepada Bupati/Walikota. Bupati/Walikota melakukan sosialisasi ke desa terkait mengenai alokasi dan penetapan areal HTR. Sosialisasi dapat dilakukan Bupati/Walikota dengan menggunakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di Pusat, Propinsi, atau di Kabupaten/Kota (Muhshi, 2007).
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) diberikan untuk jangka waktu paling lama 60 tahun. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam hutan tanaman tidak dapat diperjualbelikan, dipindahtangankan, dan diwariskan.
Pemegang IUPHHK-HTR mempunyai hak melakukan kegiatan sesuai izin, kemudahan mendapatkan dana untuk pembiayaan pembangunan HTR, bimbingan dan penyuluhan teknis dan peluang ke pemasaran hasil hutan. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman meliputi penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Tanaman yang dihasilkan dari UPHHK pada HTR merupakan asset pemegang izin usaha, dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku.
Ketentuan umum di dalam PP 55/2011 yang dimaksud Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTR adalah izin usaha untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan ikutannya pada hutan produksi yang diberikan kepada perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur yang sesuai untuk menjamin kelestarian sumber daya hutan.
Alokasi dan penetapan areal hutan tanaman rakyat dilakukan oleh Menteri pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin atau hak lain. Selanjutnya pencadangan areal hutan tanaman rakyat yang didasarkan /Walikota atau Kepala KPHP, dan luas areal pencadangan disesuaikan dengan keberadaan masyarakat sekitar hutan (Pasal 2 Permenhut No. P.55/Menhut-
II/2011).
Dalam pasal 9 Permenhut No. P.55/Menhut-II/2011 yang dapat memperoleh IUPHHK-HTR, adalah perorangan; atau koperasi yang merupakan warga negara Indonesia orang yang cakap bertindak menurut hukum yang tinggal di sekitar hutan. Koperasi yang dimaksud adalah koperasi dalam skala usaha mikro, kecil, menengah dan dibangun oleh masyarakat setempat yang tinggal di desa terdekat dari hutan, dan diutamakan penggarap lahan pada areal pencadangan hutan tanaman rakyat.
Selanjutnya dalam kegiatan dan pola hutan tanaman rakyat dalam pasal 4 Permenhut diatas menyebutkan kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (UPHHK) pada HTR melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Pencadangan HTR, areal hutan alam tersebut ditetapkan sebagai areal perlindungan setempat dan pengembangan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Dalam hal terdapat tegakan mangrove pada areal yang dicadangkan sebagai areal pencadangan HTR, areal mangrove tersebut dapat dikembangkan sebagai kegiatan usaha HTR.
Selanjutnya dalam pasal 6 dimana, Pola pengembangan HTR direncanakan mengikuti 3 pola, yaitu (a) Pola Mandiri, (b) Pola Kemitraan dan (c) Pola Developer. Pengertian dari masing-masing pola \ adalah sebagai berikut: a.
Pola Mandiri adalah hutan tanaman rakyat yang dibangun oleh pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR).
b.
Pola Kemitraan adalah hutan tanaman rakyat yang dibangun oleh pemegang
IUPHHK-HTR bersama dengan mitra berdasarkan kesepakatan bersama dengan difasilitasi oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah agar terselenggara kemitraan yang menguntungkan kedua belah pihak.
c.
Pola Developer adalah hutan tanaman rakyat yang dibangun oleh BUMN atau
BUMS atas permintaan pemegang
IUPHHK-HTR dan biaya pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang IUPHHK-HTR.
Selanjutnya dalam pasal 7 budidaya tanaman hutan tanaman rakyat dilaksanakan berdasarkan kondisi tapak, sosial ekonomi dan sosial budaya setempat. Jenis tanaman pokok yang dapat dikembangkan untuk pembangunan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman rakyat terdiri dari: tanaman sejenis; atau tanaman berbagai jenis. Jenis tanaman pokok sejenis adalah tanaman hutan berkayu yang hanya terdiri satu jenis (species) dan varietasnya. Jenis tanaman pokok berbagai jenis adalah tanaman hutan berkayu yang dikombinasikan dengan tanaman budidaya tahunan yang berkayu antara lain karet, tanaman berbuah, bergetah dan pohon penghasil pangan dan energi.
Tanaman budidaya tahunan paling luas 40% (empat puluh persen) dari areal kerja dan tidak didominasi oleh satu jenis tanaman.
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
- Desa Pangkalan Siata Desa Pangkalan Siata terletak pada Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat . Desa Pangkalan Siata merupakan desa dengan jumlah masyarakat sebesar 6.000 jiwa atau 1.100 KK yang terdiri dari laki-laki sebanyak 2.978 jiwa dan perempuan sebesar 3.022 jiwa yang tersebar pada 11 dusun yaitu dusun 1 (Sungkam Jaya), dusun 2 (Sungkam Sakti), dusun 3 (Sungkam Abadi), dusun 4 (Tanjung Kramat), dusun 5 (Sei Serai), dusun 6 (Ujung Batu), dusun 7 (Sei Dua), dusun 8 (Palu Udang), dusun 9 (Kampung Baru), dusun 10 (Kebun Ubi), dusun 11 (Bukit Kayu). Terletak di dalam hutan dengan ketinggian 10 meter diatas permukaan laut dengan luas desa 11.000 Ha (Kantor Balai Desa Pangkalan Siata, 2014).
Berdasarkan data komposisi penduduk mayoritas adalah 50% suku Aceh, sebanyak 30% suku Jawa, sebanyak 15% suku Batak, sebanyak 5% suku Karo dengan bahasa mayoritas yang digunakan adalah bahasa indonesia. Menurut mata pencaharian penduduknya, yang berprofesi sebagai nelayan dan petani/buruh petani yang paling banyak dan selebihnya adalah pedagang, beternak, wiraswasta dan lain-lain (Kantor Balai Desa Pangkalan Siata, 2014).
Adapun batas-batas administrasi Desa Pangkalan Siata adalah sebagai berikut:
− Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Salahaji Kecamatan Pamatang Jaya − Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Halaban Kecamatan Besitang − Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sukajaya Kecamatan Besitang − Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Bukit Jengkol Kecamatan
Pangkalan Susu
- Letak Areal IUPHHK – HTR
Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Langkat Nomor : 522.11-37/k/2012, tanggal 12 Nopember 2012, tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat ( IUPHHK-HTR) seluas ± 360 Ha kepada Koperasi Rakyat Pantai. Adapun jumlah anggota Koperasi Rakyat Pantai sebanyak 150 orang dan susunan pengurus koperasi dipegang oleh seorang ketua, sekretaris dan bendahara. Areal terbagi 2 (dua) lokasi, yaitu lokasi I di Desa Pangkalan Siata Kecamatan Pangkalan Susu yang dijadikan sebagai lokasi penelitian dan lokasi II di Desa Halaban Kecamatan Besitang. Lokasi I di Desa Pangkalan Siata Kecamatan Pangkalan Susu seluas ± 100 Ha yang terletak pada koordinat ± 4° 09’ 23” - 4° 10’ 08” LU dan ± 98° 09’ 21” - 98° 10’ 31” BT dengan kelompok hutan di Sei Bemban Desa Pangkalan Siata Kecamatan Pangkalan Susu. Adapun topografi dan ketinggiannya yaitu 0 – 8% dan 0 – 25 meter diatas permukaan laut dengan jenis tanamannya Rhizopora apiculata dan geologi (jenis batuan) yaitu aluvium dan pantai. Tipe iklim yaitu merajuk klasifikasi tipe iklim Schmidt-Ferguson termasuk iklim B Basah sedangkan curah hujan di bulan tertinggi sebesar 140,1 mm/bulan dan di bulan terendah sebesar 72,4 mm/bulan.
Areal Hutan Tanaman Rakyat Koperasi Rakyat Pantai berada dalam pemangkuan kawasan hutan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat. Adapun batas-batas areal sebagai berikut: − Sebelah barat berbatasan dengan Sungai Salahaji − Sebelah Timur berbatasan dengan Sempadan pantai − Sebelah Utara bertbatasan dengan Sei Bemban − Sebelah Selatan berbatasan dengan Sempadan pantai