BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. STROKE PERDARAHAN INTRASEREBRAL II.1.1. Definisi - Hubungan Terapi Manitol 20 % Dengan Fungsi Ginjal Pada Penderita Stroke Perdarahan Intraserebral Dengan Peningkatan Tekanan Intrakranial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. STROKE PERDARAHAN INTRASEREBRAL II.1.1. Definisi Stroke adalah suatu episode dari disfungsi neurologis yang

  disebabkan oleh iskemia atau hemoragik, berlangsung selama > 24 jam atau meninggal, tetapi tidak memiliki bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).

  Stroke perdarahan intraserebral adalah tanda klinik disfungsi neurologis yang berkembang cepat akibat perdarahan dalam parenkim otak yang tidak disebabkan oleh trauma (Sacco dkk, 2013).

II.1.2. Epidemiologi

  Insiden stroke bervariasi di berbagai negara di Eropa, diperkirakan terdapat 100 – 200 kasus stroke baru per 10.000 penduduk per tahun (Hacke dkk, 2003). Di Amerika diperkirakan terdapat lebih dari 700.000 insiden stroke per tahun, yang menyebabkan lebih dari 160.000 kematian per tahun, dengan 4,8 juta penderita stroke yang bertahan hidup (Goldstein dkk, 2006).

  Meskipun dapat mengenai semua usia, insiden stroke meningkat dengan bertambahnya usia dan terjadi lebih banyak pada wanita usia yang lebih muda. Perbandingan insidens pria dan wanita pada umur 55 –

  11

  64 tahun adalah 1,25; pada umur 65 – 74 tahun adalah 1,50; 75 – 84 tahun adalah 1,07; dan pada umur >85 tahun adalah 0,76 (Lloyd dkk, 2009).

  Dari survei ASNA di 28 RS seluruh Indonesia, diperoleh gambaran bahwa penderita laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dan profil usia 45 tahun yaitu 11,8%, usia 45 – 64 tahun berjumlah 54,2% dan diatas usia 65 tahun sekitar 33,5%. Data-data lain dari ASNA Stroke

  Collaborative Study diperoleh angka kematian sebesar 24,5% (Misbach dkk, 2011).

  Insiden stroke perdarahan intraserebral di belahan bumi Barat selama era CT umumnya berkisar dari 10 sampai 30 kasus per 100.000 orang. Tingkat insiden perdarahan intraserebral lebih tinggi di Asia Timur, di mana perdarahan intraserebral tersebut memiliki persentase yang lebih besar dari semua stroke dibandingkan pada populasi Barat (Flaherty dkk, 2010).

  Insiden perdarahan intraserebral menurun antara 1950-an dan 1980-an. Studi sebelumnya mendapatkan bahwa ada kecenderungan penurunan kejadian perdarahan intraserebral di Oxfordshire, Inggris antara tahun 1981 dan 2006. Kejadian perdarahan intraserebral juga menurun selama tahun 1990-an di beberapa kota di Cina. Namun, penurunan yang serupa belum terlihat dalam penelitian lain. Stabilisasi kejadian perdarahan intraserebral dalam dua dekade terakhir ini setidaknya sebagian disebabkan oleh deteksi dan klasifikasi yang tepat dari perdarahan kecil dengan neuroimaging modern (Flaherty dkk, 2010).

  Risiko perdarahan intraserebral tampaknya sedikit lebih besar pada pria dibandingkan pada wanita. Di Amerika Serikat kulit hitam dan Hispanik memiliki insidensi jauh lebih tinggi dibandingkan kulit putih. Di antara orang kulit hitam dan Hispanik, risiko perdarahan intraserebral paling sering pada orang muda dan setengah baya. Lokasi dominan perdarahan intraserebral dalam otak juga bervariasi dalam populasi yang berbeda. Di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia, perdarahan yang berasal dari periventrikular, nukleus kaudatus, kapsula interna, putamen, globus pallidus, atau talamus adalah yang paling umum, diikuti oleh perdarahan lobar pada gray matter atau white matter subkortikal.

  Sedangkan dalam sebuah studi berbasis populasi yang besar di Jepang, perdarahan lobar hanya terjadi 15% dari keseluruhan perdarahan intraserebral (Flaherty dkk, 2010).

II.1.3. Faktor Risiko

  Faktor-faktor risiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan sebagai berikut : (Sjahrir, 2003)

  1. Non modifiable risk factors

  a. Usia

  b. Jenis kelamin

  c. Keturunan / genetik

  2. Modifiable risk factors

  a. Behavioral risk factors

  1. Merokok

  2. Unhealthy diet : lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol, low fruit diet

  3. Alkoholik

  4. Obat-obatan : narkoba (kokain), antikoagulansia, anti platelet, obat kontrasepsi b. Physiological risk factors

  1. Penyakit hipertensi

  2. Penyakit jantung

  3. Diabetes mellitus

  4. Infeksi / lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus

  5. Gangguan ginjal

  6. Kegemukan (obesitas)

  7. Polisitemia, viskositas darah meninggi dan penyakit perdarahan

  8. Kelainan anatomi pembuluh darah

  9. Dan lain-lain

II.1.4. Klasifikasi

  Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke berdasarkan atas patologi anatomi (lesi), stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah) (Misbach, 2011). I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :

  1. Stroke iskemik

  a. Transient Ischemic Attack (TIA)

  b. Trombosis serebri

  c. Emboli serebri

  2. Stroke hemoragik

  a. Perdarahan intraserebral

  b. Perdarahan subaraknoid

  II. Berdasarkan stadium :

  1. TIA

  2. Stroke in evolution

  3. Completed stroke

  III. Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah) :

  1. Tipe karotis

  2. Tipe vertebrobasiler

II.1.5. Patofisiologi

  Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan subaraknoid. Insiden perdarahan intrakranial kurang lebih 20% adalah stroke hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah perdarahan subaraknoid dan perdarahan intraserebral (Caplan, 2000).

  Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriol berdiameter 100 – 400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan penderita, peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan rupturnya penetrating arteri yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriol dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Caplan, 2000).

  Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis (Caplan, 2000).

  Perdarahan intraserebral sekunder (sekitar 12 sampai 22% dari seluruh kejadian perdarahan intraserebral) disebabkan oleh penyebab lain selain pecahnya pembuluh darah kecil, misalnya, aneurisma, malformasi arteri-vena, transformasi hemoragik stroke iskemik, dan neoplasma (Brouwers dkk, 2012).

II.1.6. Penanganan

  Stroke perdarahan dikaitkan dengan tingkat kematian yang tinggi dan morbiditas yang berat. Pengobatan pilihan masih kontroversial, mengingat bahwa data dari beberapa uji klinis belum memberikan bukti yang meyakinkan untuk mendukung efektivitas surgical clot removal. Oleh karena itu, penanganan dilakukan terutama terhadap edema serebri sebagai target potensial untuk terapi intervensi pada penderita stroke hemoragik (Thiex dkk, 2007).

  Beberapa hal yang berperan besar untuk menjaga agar TIK tidak meninggi pada stroke, antara lain (Misbach, 2011) :

  1. Mengatur posisi kepala lebih tinggi 15 – 30 dengan tujuan memperbaiki venous return.

  2. Mengusahakan tekanan darah yang optimal.

  Tekanan darah yang sangat tinggi dapat menyebabkan edema serebral, sebaliknya tekanan darah terlalu rendah akan mengakibatkan iskemia otak dan akhirnya juga akan menyebabkan edema dan peninggian TIK.

  3. Mengatasi kejang, menghilangkan rasa cemas, mengatasi rasa nyeri dan menjaga suhu tubuh normal < 37,5 C. Kejang, gelisah, nyeri dan demam akan menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan akan substrat metabolisme. Di satu sisi terjadi peningkatan metabolisme serebral, di pihak lain suplai oksigen dan glukosa berkurang, sehingga akan terjadi kerusakan jaringan otak dan edema. Hal ini pada akhirnya akan mengakibatkan peninggian TIK.

  4. Koreksi kelainan metabolik dan elektrolit.

  Hiponatremia akan menyebabkan penurunan osmolalitas plasma sehingga akan terjadi edema sitotoksik sedangkan hipernatremia akan menyebabkan lisisnya sel-sel neuron.

  5. Mengatasi hipoksia.

  Kekurangan oksigen akan menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob, sehingga akan terjadi metabolisme tidak lengkap yang menghasilkan asam laktat sebagai sisa metabolisme. Peninggian asam laktat di otak akan menyebabkan terjadinya asidosis laktat dan selanjutnya menyebabkan edema otak dan peninggian TIK.

  6. Menghindari beberapa hal yang menyebabkan peninggian tekanan abdominal seperti batuk, mengedan dan penyedotan lendir pernafasan yang berlebihan.

  7. Pemberian larutan manitol 20 – 25% dengan dosis 0,75 – 1 mg / kgBB bolus, diikuti 0,25 – 0,5 mg / kgBB setiap 3 – 5 jam tergantung pada respon klinis. Komplikasi penggunaan manitol adalah hipotensi, hipokalemia, gangguan fungsi ginjal karena hiperosmolaritas, gangguan jantung kongestif dan hemolisis.

  Terdapat beberapa pedoman untuk mengendalikan pembengkakan otak dan peningkatan tekanan intrakranial. Jika penanganan yang relatif sederhana, seperti obat penenang, ventilasi, dan posisi kepala yang ditinggikan, gagal untuk mengontrol pembengkakan otak, perawatan medis lebih lanjut dapat diterapkan, termasuk inotropik, salin hipertonik, manitol, dan hipotermia. Perfusi otak dan tekanan intrakranial merupakan target terapi dalam mencegah hipoperfusi otak yang berpotensi mengancam nyawa. Pedoman baru-baru ini merekomendasikan target tekanan intrakranial adalah kurang dari 25 mmHg dan CPP lebih besar dari atau sama dengan 60 sampai 70 mmHg (Thiex dkk, 2007).

  Gambar 1. Algoritma penanganan perdarahan intraserebral

  Dikutip dari : Qureshi, A.I., Tuhrim, S., Broderick, J.P., Batjer, H.H., Hondo, H.,

Hanley, D.F. 2001. Spontaneous intracerebral hemorrhage. N Engl J Med.

  344:1450 –60.

II.1.7. Terapi Osmotik

  Efek terapi osmotik terhadap TIK diduga dengan menyebabkan penyusutan otak setelah pergeseran air keluar dari substansi otak.

  Berbagai zat yang digunakan sebagai terapi osmotik, antara lain urea, gliserol, sorbitol, manitol, dan salin hipertonik (White dkk, 2006).

  Sodium Content and Osmolality of Solutions Administered to Patients after Neurotrauma Sodium a concentration Osmolality (mmol/L) (mOsm/kg)

  0.9% saline 154 308 Lactated Ringer’s 130 275 solution

  • 20% mannitol 1098

  1,7% saline 291 582 3% saline 513 1026 7.5% saline 1283 2566 10% saline 1712 3424 23.4% saline 4004 8008 29.2% saline 5000 10.000

  • The osmolality of a solution is the number osmoles of solute per kilogram

  

solvent. Osmolality can be measured by determining a change in the

solution’s colligative properties or calculated as the sum of the

concentration of the solutes present in the solution.

  Tabel 1. Kandungan natrium dan osmolalitas cairan infus White, H., Cook, D., Venkatesh, B. 2006. The use of hypertonic

  Dikutip dari :

  saline for treating intracranial hypertension after traumatic brain injury. Anesth Analg. 102:1836 –46.

  Meskipun efektif, urea tidak lagi digunakan karena memiliki berbagai efek samping termasuk mual, muntah, diare, hemoglobinuria, koagulopati, dan rebound hipertensi intrakranial. Gliserol dan sorbitol dapat menurunkan TIK akan tetapi dapat menyebabkan hiperglikemia yang signifikan. Manitol cukup efektif dan aman serta direkomendasikan oleh Brain Trauma Foundation dan European Brain Injury Consortium sebagai terapi osmotik pilihan (White dkk, 2006).

  II.2. MANITOL

  II.2.1. Farmakologi

  Manitol adalah polialkohol nonmetabolik C-6 dengan berat molekul 182, dan merupakan agen diuretik tertua serta paling banyak digunakan sebagai osmotik. Selain menjadi agen hiperosmotik, manitol juga telah terbukti sebagai scavenger efektif radikal hidroksil bebas dalam berbagai sistem biologis termasuk ekstraselular (Better dkk, 1997).

  Gambar 2. Struktur manitol

  Dikutip dari : Shawkat, H., Westwood, M., Mortimer, A. 2012. Mannitol : a review of its clinical uses. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 12:82-85.

  Manitol memiliki struktur kimia 1,2,3,4,5,6-hexanehexol (C6H8 (OH)6) dan merupakan poliol (alkohol gula) yang banyak digunakan dalam industri makanan dan farmasi. Manitol adalah zat alami yang ditemukan dalam ganggang laut, jamur segar, dan dalam eksudat dari pohon. Serta merupakan isomer dari sorbitol, yang biasanya disintesis oleh hidrogenasi glukosa. Manitol juga tersedia secara komersial dalam berbagai bubuk kristal putih dan bentuk granular, yang semuanya larut dalam air. Infus manitol bersifat asam (pH 6.3) dan dapat mengkristal jika disimpan pada suhu kamar, tetapi dapat dibuat larut lagi dengan pemanasan (Shawkat dkk, 2012).

  Manitol hipertonik intravena (iv) merupakan agen farmakologis pertama yang digunakan untuk profilaksis terhadap GGA, diperkenalkan oleh Homer Smith pada tahun 1940 untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (GFR) pada manusia dan anjing. Smith mencatat efek diuretik osmotik manitol tersebut. Hal ini diikuti oleh Selkurt tahun 1945 yang menunjukkan bahwa manitol memperbaiki GGA iskemik pada anjing.

  Sejak saat itu, profilaksis manitol terhadap GGA pada manusia digunakan secara luas tetapi tidak secara universal (Better dkk, 1997).

II.2.2. Farmakokinetik

  Manitol harus diberikan secara parenteral karena pemberian secara oral tidak diserap. Manitol didistribusikan hampir seluruhnya dalam cairan ekstraseluler, dan hanya sedikit yang masuk ke dalam sel. Sebagai hasilnya, hanya 7% hingga 10% yang dimetabolisme, mungkin di hati, sedangkan sisanya secara bebas disaring oleh glomerulus dan diekskresikan utuh dalam urin. Sekitar 7 persen diserap kembali oleh tubulus ginjal. Dengan fungsi ginjal normal, setelah dosis tunggal manitol intravena, half life manitol dalam sirkulasi plasma adalah sekitar 15 menit. Dari dosis yang diberikan, 90% ditemukan dalam urin setelah 24 jam. Namun, pada insufisiensi ginjal yang berat maka tingkat ekskresi manitol sangat berkurang sehingga manitol dalam tubuh dapat meningkatkan tonisitas ekstraselular menyebabkan pergeseran air keluar dari sel, memperbanyak cairan ekstraselular dan menyebabkan terjadinya hiponatremia serta osmolalitas serum yang meningkat. Oleh karena itu, manitol harus digunakan dengan hati-hati pada kondisi insufisiensi ginjal (Nissenson dkk, 1979).

  Karena berat molekulnya yang rendah (182), manitol secara bebas disaring melalui tubulus ginjal. Namun, karena tidak diserap, terus menjadi osmotik aktif dalam tubulus, hal inilah yang menyebabkan aksinya sebagai diuretik osmotik. Manitol juga menyebabkan pelepasan prostaglandin ginjal yang menyebabkan vasodilatasi ginjal dan peningkatan aliran urin tubular yang dipercaya untuk melindungi terhadap cedera ginjal dengan mengurangi obstruksi tubular. Hal ini juga bertindak sebagai scavenger radikal bebas dan mengurangi efek berbahaya dari radikal bebas selama

  ischaemia–reperfusion injury (Shawkat dkk, 2012).

II.2.3. Farmakodinamik

  Diuretik osmotik terutama bekerja pada tubulus proksimal dan pars desendens lengkung Henle. Melalui efek osmotik, diuretik juga menghambat efek ADH pada collecting tubule. Manitol mencegah penyerapan normal air dengan kekuatan osmotik, sehingga volume urin meningkat. Peningkatan laju aliran urin mengurangi waktu kontak antara

  • cairan dan epitel tubular, sehingga mengurangi Na serta reabsorpsi air (Tavakkoli, 2011).

  Gambar 3. Efek manitol pada tubulus proksimal renal

  Dikutip dari : Lullmann, H., Ziegler, A., Mohr, K., Bieger, D. 2000. Color atlas of nd pharmacology. 2 ed. Thieme – Stutgart. New York.

  II.2.4. Dosis

  Manitol biasanya diberikan dalam larutan 20% dalam dosis bolus, dibandingkan sebagai infus kontinyu. Tekanan intrakranial akan menurun dalam 5 – 10 menit. Efek maksimum terjadi dalam waktu sekitar 60 menit dan total efek dapat berlangsung 3 – 4 jam. Pemberian bolus meminimalkan hemokonsentrasi dan memperpanjang efek. Bolus 0,25 – 0,5 g / kg (diberikan selama 10 – 20 menit) dapat digunakan dan diulang tergantung pada respon. Dosis 0,25 g / kg tampaknya seefektif dosis 1 g / kg dalam mengurangi TIK tetapi tidak memiliki lama efek yang sama (Reilly, 1997).

  II.2.5. Efek Fisiologis

  Selain penggunaannya dalam industri makanan dan farmasi, manitol juga banyak digunakan dalam praktek medis untuk berbagai indikasi (Tabel 2), terutama karena sifat osmotiknya. Untuk penggunaan klinis, manitol diberikan sebagai cairan steril 10% dan 20% dalam 500 mL air yang mengandung 50 dan 100 g manitol (Shawkat dkk, 2012).

  Indikasi manitol

  Menurunkan peningkatan tekanan intrakranial Menjaga fungsi ginjal perioperasi pada pasien rencana operasi jantung dan pasien jaundice Diuresis dan mengurangi resiko gagal ginjal akut setelah transplantasi ginjal Menjaga fungsi ginjal pada rhabdomyolysis akibat trauma dan compartment syndrome Persiapan kolon sebelum operasi kolorektal, kolonoskopi,dan enema barium Meningkatkan ekskresi zat toksik pada urin

  Tabel 2. Kegunaan medis manitol Shawkat, H., Westwood, M., Mortimer, A.2012. Mannitol : a review

  Dikutip dari : of its clinical uses. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 12:82-85.

II.2.5.1. Efek Penurunan TIK

  Edema serebral terlibat dalam berbagai macam penyakit saraf seperti iskemia otak, perdarahan otak, trauma otak dan tumor otak atau abses otak. Edema serebral yang parah harus dikelola segera untuk mencegah herniasi otak (Zeng dkk, 2010).

  Osmoterapi telah digunakan sejak awal abad 20 untuk mengobati TIK yang meningkat. Dasar fisiologis dan konsep osmoterapi pertama kali diterbitkan pada 1919. Infus intravena manitol dianggap sebagai 'standar emas' untuk penanganan TIK yang meningkat (Harutjunyan dkk, 2005).

  Pemantauan terus menerus TIK menunjukkan bahwa edema otak yang berkembang selama 4 sampai 14 hari dari pendarahan intraserebral dapat menyebabkan peningkatan TIK, yang membutuhkan perawatan. Kortikosteroid, meskipun sering digunakan untuk mengobati edema otak, tidak meningkatkan kelangsungan hidup setelah stroke. Diuretik osmotik, terutama manitol, adalah salah satu agen yang banyak digunakan dalam penanganan edema serebral. Manitol diperkirakan menurunkan TIK dengan cara mengurangi kadar air keseluruhan dan volume cairan serebrospinal serta dengan mengurangi volume darah melalui vasokonstriksi. Manitol juga dapat meningkatkan perfusi otak dengan mengurangi viskositas (Bereczki dkk, 2000).

  Situasi di mana penurunan tekanan intrakranial yang sangat cepat diperlukan merupakan indikasi untuk terapi dengan agen osmotik seperti manitol. Infus larutan hipertonik manitol dapat dengan cepat mengurangi cairan otak dengan menciptakan gradien osmotik antara otak dan plasma.

  Ketika manitol (1 g / kg) diberikan selama 10 sampai 15 menit (misalnya, 250 mL larutan 20% pada orang dewasa), penurunan tekanan intrakranial dari 30 sampai 60% dapat diharapkan dalam 2 sampai 4 jam. Manitol tampaknya meningkatkan sirkulasi dengan mengurangi tekanan intrakranial serta dengan menciptakan efek langsung pada perfusi serebral dalam mikrosirkulasi. Selain itu, manitol bertindak sebagai

  

scavenger radikal bebas. Karena manitol secara bertahap berdifusi dari

  kompartemen vaskular ke dalam sistem saraf pusat, tindakan ini dapat menyebabkan peningkatan rebound pada TIK (Thiex dkk, 2007).

  II.2.5.2. Efek Proteksi Ginjal

  Manitol telah digunakan sebagai agen pelindung ginjal pada penderita berisiko tinggi terkena gagal ginjal, seperti yang menjalani operasi jantung dan pembuluh darah, transplantasi ginjal, dan pada penderita jaundice dan rhabdomyolysis. Namun, studi-studi menunjukkan bahwa meskipun manitol meningkatkan output urin, hal tersebut tidak mengurangi risiko terjadinya GGA (Shawkat dkk, 2012).

  II.2.5.3. Efek Pada Sirkulasi Darah

  Manitol dapat menginduksi peningkatan cardiac output dan tekanan pengisian, serta peningkatan sementara tekanan arterial dan tekanan perfusi serebral. Cardiac output dapat meningkat hingga 30% sehingga menyebabkan aliran darah otak juga meningkat. Beberapa studi menunjukkan bahwa manitol sangat mempengaruhi resistensi vaskular sistemik karena efek reologinya. Hal ini juga meningkatkan transportasi oksigen sistemik maupun serebral (Castillo dkk, 2009).

  II.2.5.4. Efek Mikrosirkulasi

  Manitol merupakan scavenger radikal bebas dan memiliki efek mikrosirkulasi yang kuat dengan cara meningkatkan aliran darah kapiler.

  Efek ini bersifat sementara dan berdasarkan kenaikan volaemia kapiler, hal inilah yang membedakannya dari molekul osmotik aktif lainnya, seperti urea dan gliserol, yang tidak lagi digunakan secara klinis (Castillo dkk, 2009).

II.2.6. Efek Samping

  Manitol memiliki banyak efek samping, antara lain ekspansi volume awal (meningkatkan risiko gagal jantung), hipovolemia dan hipotensi, asidosis metabolik, dan ketidakseimbangan elektrolit, termasuk hipernatremia dan hipokalemia (Shawkat dkk, 2012).

  Efek samping manitol

  Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Asidosis metabolik Gagal jantung Kongesti paru Hipovolemia Hipotensi Tromboplebitis Nekrosis kulit pada lokasi ekstravasasi Reaksi alergi, termasuk anafilaksis Peningkatan rebound TIK

  Tabel 3. Efek samping manitol

  Dikutip dari : Shawkat, H., Westwood, M., Mortimer, A. 2012. Mannitol : a review of its clinical uses. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 12:82-85.

  Dalam dosis besar, juga dapat menyebabkan gagal ginjal karena vasokonstriksi dan penurunan volume intravaskular. Pemberian berulang dapat mengakibatkan osmolalitas serum sangat tinggi (>320 mOsm / liter) dan komplikasi neurologis berikutnya. Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian manitol dapat dilihat dalam Tabel 3 (Shawkat dkk, 2012).

II.3. PENGARUH MANITOL TERHADAP FUNGSI GINJAL

  Komplikasi yang paling umum dari terapi manitol adalah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, edema kardiopulmoner, dan

  

rebound edema serebral. Manitol juga dapat menyebabkan gagal ginjal

dalam dosis terapi, dan reaksi hipersensitivitas juga dapat terjadi.

  Mekanisme patogenesa manitol terkait cedera ginjal akut melibatkan dehidrasi, tubuloglomerular feedback, cedera osmotik dan vasokonstriksi (Bereczki dkk, 2000).

  Penggunaan manitol di bawah dosis 200 g / hari jarang menyebabkan terjadinya GGA. Pada dosis rendah manitol memberikan efek vasodilator ginjal, sedangkan pada dosis tinggi menyebabkan vasokonstriktor ginjal yang dapat mempengaruhi terjadinya GGA (Better dkk, 1997). Gagal ginjal akut tersebut biasanya berupa oliguria dengan ekskresi sodium fraksi rendah. Mekanisme terjadinya gagal ginjal diduga karena efek tubuloglomerular feedback akibat keluarnya air dan garam setelah penggunaan dosis tinggi manitol (Schwartz, 1997). Selain itu, diuresis manitol juga dapat meningkatkan penggunaan energi di ginjal

  • untuk reabsorpsi Na sehingga mengurangi ATP, yang dapat
menyebabkan lebih mudahnya terjadi GGA. Akan tetapi, komplikasi tersebut jarang terjadi dan umumnya terjadi akibat penggunaan dosis tinggi manitol 400 hingga 900 g / hari (Better dkk, 1997).

  

Nefrotoksisitas manitol

  1. Terjadi setelah dosis tinggi manitol (>200 g/hari)

2. Resembles vasomotor ARF

  3. Pulih setelah dilakukan hemodialisis

  4. Umumnya berhubungan dengan dekompresi peningkatan tekanan intrakranial atau intraokular

  

Data are from Gadallah et al, Am J Med Sci 309:219-222, 1995 (case

report and review; N=10). Used with permission.

  Tabel 4. Nefrotoksisitas manitol

  Dikutip dari : Visweswaran, P., Massin, E.K., Dubose, T.D. 1997. Mannitol- Induced Acute Renal Failure. J Am Soc Nephrol. 8:1028-1033.

  Pada gambar 4 dapat dilihat skema klasifikasi untuk GGA. Sistem klasifikasi termasuk kriteria terpisah untuk kreatinin dan output urin.

  Seorang penderita dapat memenuhi kriteria perubahan kreatinin serum atau perubahan output urin atau keduanya (Bellomo dkk, 2004).

  Gambar 4. Kriteria gagal ginjal akut

  Dikutip dari : Bellomo, R., Ronco, C., Kellum, J.A., Mehta, R.L., Palevsky, P.,

  

ADQI workgroup. 2004. Acute renal failure – definition, outcome measures,

animal models, fluid therapy and information technology needs: the Second

International Consensus Conference of the Acute Dialysis Quality Initiative

(ADQI) Group. Critical Care. 8:R204-R212.

  Penderita dengan gangguan ginjal, usia tua dan menggunakan agen nefrotoksik merupakan faktor risiko untuk terjadinya GGA akibat manitol. Jadi penderita harus diskrining untuk fungsi ginjal sebelum dipertimbangkan menggunakan manitol (Tsai dkk, 2010).

  Ketika merawat penderita dengan dosis tinggi manitol, penting untuk memantau secara rutin konsentrasi serum natrium, kalium, kalsium, dan fosfat, osmolalitas dan osmolal gap, serta output urin per jam. Jika osmolal gap serum melebihi 55 mOsmol / kg H

  2 O atau jika konsentrasi serum manitol melebihi 1000 mg / L, maka manitol harus dihentikan.

  Konsentrasi serum manitol dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus: [Mannitol] = Osmolal gap X 182 / 10 (182 merupakan berat molekul manitol)

  Dosis tinggi terapi manitol harus digunakan dengan teliti, khususnya dalam menghadapi insufisiensi ginjal. Pencegahan GGA akibat manitol dapat dilakukan dengan menghindari dosis yang besar dan terapi terus–menerus pada penderita berisiko. Namun, ketika toksisitas manitol terjadi dapat ditangani dengan menghentikan manitol dan dengan mengembalikan volume cairan ekstraselular. Pemulihan dapat terjadi secara spontan. Jika diuresis tidak terjadi, hemodialisis mungkin diperlukan (Visweswaran dkk, 1997).

II.4. KERANGKA TEORI

  

Stroke Perdarahan Intraserebral

: PIS menyebabkan terbentuknya

  Brouwers dkk, 2012 edema di sekeliling hematoma (perihematomal edema) : Peningkatan TIK dianggap

  Broderick dkk, 1999 setelah beberapa jam onset PIS dan semakin lama penyebab utama kematian pada PIS. semakin berkembang.

  

Peningkatan Tekanan Intrakranial

Thiex dkk, 2007 : Terdapat beberapa pedoman untuk Brouwers dkk, 2012 : Peningkatan TIK berhubungan mengendalikan pembengkakan otak dan peningkatan TIK. dengan outcome yang buruk. Penderita PIS dengan gejala Perfusi otak dan TIK merupakan target terapi dalam klinik dan gambaran radiologis peningkatan TIK harus mencegah hipoperfusi otak yang mengancam nyawa. dilakukan tindakan preventif untuk menurunkan TIK. Rekomendasi target TIK < 25 mmHg dan CPP > 60–70 mmHg.

  

Manajemen Tekanan Intrakranial

Harutjunyan dkk, 2005

  : Manitol dianggap sebagai Mortazavi dkk, 2012

  : Penanganan peningkatan TIK 'standar emas' untuk pengobatan peningkatan TIK. merupakan hal yang penting dan selalu menjadi permasalahan utama di fasilitas rawat neuro intensif.

  Bereckzi dkk, 2000 : Manitol menurunkan TIK dengan Manitol telah menjadi salah satu pilihan utama dalam cara mengurangi kadar air keseluruhan, volume CSS, penanganan peningkatan TIK yang cepat. volume darah dan meningkatkan perfusi otak dengan mengurangi viskositas.

  

Manitol 20%

Dorman dkk, 1990 Perez dkk, 2002

  : Melaporkan 8 kasus GGA : Melaporkan 4 kasus yang mengalami

diinduksi manitol. Oliguria terjadi dalam waktu 3,5+1,1 gagal ginjal akut (3 anuria, 1 nonoliguria) setelah

(rata-rata+SD) hari setelah menerima dosis manitol menerima manitol 1,172±439 g (rata-rata±SD) selama

harian 189+64g dan total 626+270g, selama >3,5+1,5 jangka waktu 58±28 jam dengan tingkat infus adalah

hari. Puncak serum kreatinin 5,7+2,7 mg/dL. Puncak 0,25±0,02 g/kg/jam. Terjadinya gagal ginjal akut

osmolal gap 74+39 mOsm/kgH 2 O. Dijumpai sel epitel terdeteksi 48±22 jam setelah infus. tubular mengandung vakuola dalam sedimen urin.

  Dziedzic dkk, 2003 Du dkk, 1996 : Terjadi peningkatan sementara : Melaporkan 14 kasus GGA yang

  • + -

    diinduksi manitol dengan serum Na , HCO3 menurun, kadar ureum dan kreatinin serum pada 51 penderita

    stroke hemoragik yang diterapi dengan manitol + K

  dan BUN serta osmolal gap meningkat secara menurut pedoman American Heart Association. signifikan.

  

Gangguan Fungsi Ginjal

II.5. KERANGKA KONSEP Stroke Perdarahan Intraserebral Dengan Peningkatan TIK Manitol 20% Fungsi Ginjal

  Hari 0 dan Hari 3 Kreatinin Serum Ureum Serum Osmolalitas Serum

  Output Urin Elektrolit Serum GFR

Dokumen yang terkait

Hubungan Perdarahan Intraventrikel Terhadap Mortalitas 30 Hari Penderita Perdarahan Intraserebral Spontan

3 48 69

Hubungan Terapi Manitol 20 % Dengan Fungsi Ginjal Pada Penderita Stroke Perdarahan Intraserebral Dengan Peningkatan Tekanan Intrakranial

2 58 123

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mekanisme Hemostasis - Perbandingan Status Koagulasi Penderita Stroke Iskemik Dengan Non Stroke

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perdarahan Intraserebral (SICH) - Hubungan Perdarahan Intraventrikel Terhadap Mortalitas 30 Hari Penderita Perdarahan Intraserebral Spontan

1 1 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. STROKE II.1.1. Definisi - Hubungan Stres dan Sleep Stroke dengan Outcome Stroke

0 0 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Stroke II.1.1 Definisi - Hubungan Antara Subtipes Stroke, Teritori Vaskular dengan Kejadian Pneumonia dan Mortalitas pada Pasien Stroke Akut dengan Disfagia

0 0 41

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hemostasis - Hubungan Gangguan Hemostasis Dengan Penyakit Ginjal Kronik

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. FUNGSI KOGNITIF II.1.1. Definisi - Hubungan Antara Tekanan Darah Sistolik, Tekanan Darah Diastolik, Tekanan Nadi Dan Tekanan Arteri Rata-Rata Dengan Fungsi Kognitif Pada Usia Lima Puluh Tahun Ke Atas

0 0 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. STROKE ISKEMIK II.1.1. Definisi - Peranan Procalcitonin Dan Marker Inflamasi Rutin Sebagai Prediktor Infeksi Pada Pasien Stroke Iskemik Akut

0 0 33

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Stroke II.1.1. Definisi - Hubungan Chronic Pain Syndrome Paska Stroke dengan skor Mini Mental Status Examination dan skor modified Rankin Scale

0 0 24