BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. STROKE ISKEMIK II.1.1. Definisi - Peranan Procalcitonin Dan Marker Inflamasi Rutin Sebagai Prediktor Infeksi Pada Pasien Stroke Iskemik Akut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. STROKE ISKEMIK II.1.1. Definisi Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut yang

  disebabkan oleh iskemik atau perdarahan yang berlangsung 24 jam atau meninggal, tetapi tidak memiliki bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).

  Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark fokal serebral, spinal dan infark retinal. Dimana infark susunan saraf pusat adalah kematian sel pada otak, medula spinalis, atau sel retina akibat iskemia, berdasarkan :

  • Patologi, pencitraan atau bukti objektif dari injury fokal iskemik pada serebral, medula spinalis atau retina pada suatu distribusi vaskular tertentu.
  • Atau bukti klinis dari injury fokal iskemk pada serebral, medula spinalis atau retina berdasarkan gejala yang bertahan ≥ 24 jam atau meninggal dan etiologi lainnya telah disingkirkan (Sacco dkk, 2013).

II.1.2. Epidemiologi

  Insidens terjadinya stroke di Amerika Serikat lebih dari 700.000 orang per tahun, dimana 20% darinya akan mati pada tahun pertama.

  Jumlah ini akan meningkat menjadi 1 juta per tahun pada tahun 2050. Secara internasional insidens global dari stroke tidak diketahui (Becker dkk, 2010).

  Di Indonesia, data nasional epidemiologi stroke belum ada. Tetapi dari data sporadik di rumah sakit terlihat adanya tren kenaikan angka morbiditas stroke, yang seiring dengan semakin panjangnya life

  expentancy dan gaya hidup yang berubah (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009).

  Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia dilaporkan bahwa proporsi stroke di rumah sakit antara tahun 1984 sampai dengan tahun 1986 meningkat, yaitu 0,72 per 100 penderita pada tahun 1984 dan naik menjadi 0,89 per 100 penderita pada tahun 1985 dan 0,96 per 100 penderita pada tahun 1986. Sedangkan di Jogyakarta pada penelitian Lamsudin dkk (1998) dilaporkan bahwa proporsi morbiditas stroke di rumah sakit di Jogyakarta tahun 1991 menunjukkan kecendrungan meningkat hampir 2 kali lipat (1,79 per 100 penderita) dibandingkan dengan laporan penelitian sebelumnya pada tahun 1989 (0,96 per 100 penderita) (Sjahrir, 2003).

II.1.3. Klasifikasi Stroke

  Dasar klasifikasi yang berbeda

  • – beda diperlukan, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa yang berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Misbach,2011)

  I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :

  1. Stroke iskemik

  a. Transient Ischemic Attack (TIA)

  b. Thrombosis serebri

  c. Emboli serebri

  2. Stroke Hemoragik

  a. Perdarahan intraserebral

  b. Perdarahan subarachnoid

  II. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu

  1. Transient Ischemic Attack (TIA)

  2. Stroke in evolution

3. Completed stroke

  III. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah

  1. Sistem karotis

  2. Sistem vertebrobasiler

  IV. Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu (Soertidewi, 2007) :

  1. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)

  3. Lacunar Infarct (LACI)

  4. Posterior Circulation Infarct (POCI)

  V. Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti TOAST (Sjahrir, 2003)

  1. Aterosklerosis Arteri Besar Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan (>50%) stenosis atau oklusi arteri besar di otak atau cabang arteri di korteks disebabkan oleh proses aterosklerosis. Gambaran computed tomography (CT) scan kepala MRI menunjukkan adanya infark di kortikal, serebellum, batang otak, atau subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm dan potensinya berasal dari aterosklerosis arteri besar.

  2. Kardioembolisme Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber embolus dari jantung terdiri dari : a. Resiko tinggi

  • Prostetik katub mekanik
  • Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi
  • Fibrilasi atrial (other than lone atrial fibrillation)
  • Atrial kiri / atrial appendage thrombus
  • Sick sinus syndrome
  • Miokard infark baru (<4 minggu)
  • Thrombus ventrikel kiri
  • Kardiomiopati dilatasi
  • Segmen ventricular kiri akinetik

  • Atrial myxoma
  • Infeksi endokarditis

  b. Resiko sedang

  • Prolapsus katub mitral
  • Kalsifikasi annulus mitral
  • Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial
  • Turbulensi atrial kiri
  • Aneurisma septal atrial
  • Paten foramen ovale
  • Atrial flutter
  • Lone atrial fibrillation
  • Katub kardiak bioprostetik
  • Trombotik endokarditis nonbacterial
  • Gagal jantung kongestif
  • Segmen ventrikuler kiri hipokinetik
  • Miokard infark (> 4minggu, < 6 bulan)

  3. Oklusi Arteri Kecil Sering disebut juga infark lakunar, dimana pasien harus mempunya satu gejala klinis sindrom lakunar dan tidak mempunyai gejala gangguan disfungsi kortikal serebral. Pasien biasanya mempunyai gambaran CT

  Scan/MRI kepala normal atau infark lakunar dengan diameter <1,5 mm di

  4. Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang Menentukan

  a. Non-aterosklerosis Vaskulopati

  • Noninflamiasi • Inflamasi non infeksi
  • Infeksi

  b. Kelainan Hematologi atau Koagulasi

  5. Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang Tidak Dapat Ditentukan

II.1.4. Faktor Resiko

  Faktor resiko untuk terjadinya stroke yang pertama dapat diklasifikasikan berdasarkan pada kemungkinannya untuk dimodifikasi (nonmodifiable, modifiable, or potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented or less well documented) (Goldstein, 2006)

  1. Non-modifiable risk factors :

  1. Age

  2. Sex

  3. Low birth weight

  4. Race / ethnicity

  5. Genetic

2. Modifiable risk factors

  a. Well-documented and modifiable risk factor

  2. Terpapar asap rokok

  3. Diabetes

  4. Atrial fibrillation and certain other cardiac condition

  5. Dislipidemia

  6. Stenosis arteri carotis

  7. Sickle cell disease

  8. Terapi hormon postmenopause

  9. Poor diet

  10. Physical inactivity

  11. Obesitas dan distribusi lemak tubuh

  b. Less well-documented and modifiable risk factor

  1. Sindroma metabolik

  2. Alcohol abuse

  3. Penggunaan kontrasepsi oral

  4. Slepp-disordered breathing

  5. Nyeri kepala migren

  6. Hiperhomosisteinemia

  7. Peningkatan lipoprotein (a)

  8. Elevated lipoprotein-associated phospholipase

9. Hypercoagulability

  10. Inflamasi

  11. Infeksi

II.1.5. Patofisiologi

  Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel - sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi - fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur- angsur mengalami kematian (Misbach, 2011).

  Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap (Sjahrir, 2003) : Tahap 1 : a. Penurunan aliran darah

  b. Pengurangan O

  2

  c. Kegagalan energi

  d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostatsis ion Tahap 2. : a. Eksitoksitas dan kegagalan homeostasis ion Tahap 3 : Inflamasi Tahap 4 : Apoptosis

  II.2. MARKER INFLAMASI

  II.2.1. LEUKOSIT

  Leukosit adalah sistem pertahanan tubuh yang merupakan kumpulan unit yang bergerak. Sistem daya tahan tubuh ini adalah kemampuan tubuh untuk bertahan dan menyingkirkan material yang berbahaya dan sel-sel abnormal dalam tubuh (Sherwood dkk,2012).

  Leukosit dan turunannya serta protein plasma membentuk sistem immun yang merupakan sistem yang dapat mengenal, menghancurkan dan menetralisir material yang seharusnya tidak terdapat dalam tubuh. Secara spesifik sistem pertahanan tubuh berperan dalam :

  1. Melawan patogen yang menginvasi tubuh seperti mikroorganisme yang menimbulkan penyakit.

  2. Menyingkirkan sel yang tidak dibutuhkan oleh tubuh seperti eritrosit yang sudah tua ataupun jaringan debris

  3. Mengidentifikasi dan menghancurkan sel yang abnormal yang muncul dalam tubuh. Dalam hal ini leukosit berperan sebagai mekanisme pertahanan pertama dalam melawan kanker (Sherwood dkk,2012).

  Jumlah normal sel darah putih adalah 4500-11.000/µl darah polimorfonuklear/PMS) adalah yang paling banyak. Sel granulosit muda ini memiliki bentuk seperti tapal kuda dan akan berubah menjadi sel multilobus. Sebagian besar dari sel polimorfonuklear ini terdiri dari granul (neutrofil), dan sebagian kecil lagi adalah eusinofil, basophil, limposit yang memiliki inti sel yang lebar dengan sedikit sitoplasma serta monosit dengan sitoplasma dalam jumlah besar dan nukleus berbentuk ginjal. Seluruh sel ini akan melindungi tubuh dengan bekerja sama melawan tumor, virus, bakteri dan infeksi parasit (Ganong, 2003).

  Tabel 1. Nilai Normal Leukosit pada Sirkulasi Darah(sel/µl) Tipe Sel Nilai

  Leukosit 4500-11000 Neutrofil 4000-7000

  Limfosit 2000-5000 Monosit 100-1000

  Eosinofil 0-500 Basofil 0-100 Dikutip dari : English, D. 2003. Components, Immunity, and Hemostasis.

  sd

  In Rhoades RA, Tanner GA, editors. Medical Physiology. 2 edition.Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. Available at: http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/e-book/fisiologi%20%20faal%20- %20phisiology%20%20pathofisiology/medical%20physiology%202nd%20 edition%20-%20rhoades.pdf

  Peran leukosit secara spesifik

  1. Neutrofil Neutrofil berperan dalam sistem fagosit dengan cara memakan dan merusak bakteri secara intraselular. Neutrofil juga berperan sebagai

  

“suicide bombers” dan mengatur kematian sel bakteri dengan

  menggunakan material dalam sel untuk membentuk serat yang disebut dengan neutrophil extracellular traps (NETs) yang akan dibuang ke cairan ektraselular. Lebih jauh lagi neutrofil akan membersihkan jaringan debris. Melalui seluruh fungsi ini neutrofil akan berperan dalam infeksi bakteri akut.

  2. Eusinofil Jumlah eusinofil yang meningkat dalam sirkulasi berhubungan dengan kondisi alergi dan adanya infeksi parasit seperti cacing. Eusinofil tidak dapat memakan parasit yang berukuran besar melainkan dengan cara menempel pada parasit dan mensekresikan substan untuk menghancurkan parasit tersebut.

  3. Basofil Basofil adalah bagian dari leukosit yang paling sedikit yang memiliki fungsi dan struktur yang hampir sama seperti sel mast. Basofil tidak ikut bersirkulasi dalam darah namun tersebar di jaringan ikat. Basofil dan sel mast mensintesa dan menyimpan histamin dan heparin yang merupakan substans kimia yang akan dikeluarkan pada stimulus tertentu. Produksi histamin berperan penting pada reaksi alergi sedangkan heparin berperan untuk mempercepat perpindahan partikel lemak dalam darah serta mencegah proses pembekuan darah sehingga digunakan sebagai obat antikoagulasi namun hal ini masih bersifat kontroversi. Basofil ini diproduksi di sum-sum tulang, setelah itu akan beredar di sirkulasi selama kurang dari satu hari, memasuki

  4. Monosit Bekerja seperti neutrofil dengan cara memfagosit. Monosit akan berpindah dari sum-sum tulang saat masih immature dan bersirkulasi dalam darah selama 1-2 hari sebelum memasuki jaringan. Dalam jaringan inilah monosit akan berkembang menjadi matur dan disebut sebagai makrofag. Makrofag ini akan bertahan beberapa bulan sampai beberapa tahun jika mereka tidak melakukan aktivitas fagosit.

  5. Limfosit Limfosit melakukan aktivitas sistem imun dengan melawan target yang secara spesifik mengaktifkan mereka. Terdapat dua limfosit yaitu limfosit B dan limfosit T (Sel B dan sel T) yang terlihat sama. Limfosit B akan memproduksi antibodi yang bersirkulasi dalam darah sehingga disebut antibody-mediated atau hummoral immunity. Antibodi ini akan berikatan dan menandai sel asing yang menginduksi mereka dan kemudian akan merusak sel asing itu. Limfosit T tidak memproduksi antibodi, namun secara langsung merusak sel target yang spesifik degan mengeluarkan substansi kimia. Proses ini disebut dengan cell

mediated immunity. Limfosit ini akan bertahan hidup 100-300 hari.

  Hanya limfosit dalam jumlah kecillah yang bersirkulasi dalam darah di waktu tertentu selebihnya tinggal di jaringan getah bening. (Ganong, 2003)

  

Tabel 2. Perbedaan Limfosit B dan Limfosit T

th

  Dikutip dari : Ganong, W., F. 2003. Review of Medical Physiology . 21 edition . Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing Division. USA.

  Gambar 1 . Element dan Tipe Leukosit Normal pada Manusia th

  Dikutip dari : Ganong, W., F. 2003. Review of Medical Physiology . 21 edition . Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing Division. USA.

II.2.2 C-REACTIVE PROTEIN

  C-reactive protein (CRP) pertama kali ditemukan pada tahun 1930

  oleh William Tillet dan Thomas Francis. Pada penelitian, di dalam darah pasien-pasien yang menderita infeksi akut Streptococcus pneumonia ditemukan serum yang membentuk presipitan dengan ekstrak dari bakteri streptokokus. Ekstrak ini mula-mula dinamakan fraksi C yang kemudian diketahui sebagai polisakarida. Oleh karena itu substansi dalam serum hasil dari reaktivitas C-polisakarida dari dinding sel streptokokus disebut CRP. Ikatan kalsium dari CRP yang berikatan dengan afinitas tinggi terhadap phoshocholine (unsur dasar membran sel phospholipid,

  phosphatidylcholine). Jika terjadi kerusakan sel maka phosphatidylcholine

  akan terekspos dan mudah terjangkau oleh CRP (Semple, 2006; Husain dkk, 2002).

  C-Reactive Protein merupakan protein fase akut dengan struktur homopentametric dan ikatan kalsium yang spesifik untuk phospocholine

  (PCh). C-Reactive protein merupakan bagian dari famili pentraxin nonglikosilasi yang termasuk dalam

  “lectin fold superfamily”. Molekul human CRP terdiri dari 5 subunit polipeptida nonglikosilasi (promoter)

  yang berkeliling non kovalen, tersusun secara cyclic pentametric simetris dan dirakit keliling dengan sebuah poros sentral dengan konfigurasi seperti sebuah piringan. Setiap subunit mempunya massa 23,027 Da human CRP adalah 115,135 Da (Pepys dkk, 2003; Hirschfield dkk, 2003).

  Gambar 2. Struktur Molekuler dan Morfologi dari CRP

  Dikutip dari : Mark B. Pepys and Gideon M. Hirschfield. 2003. C-reactive protein: a critical update. J. Clin. Invest; 111:1805

  • –1812

  C-Reactive Protein disintesa dalam bentuk pecahan dari hepatosit

  lalu disekresikan kedalam sirkulasi darah. Produksi dari CRP di induksi oleh sitokin pro inflamasi IL-1 dan IL-17 di hati. Sitokin menekan efek bilologisnya terhadap CRP dengan memberikan sinyal melalui reseptor pada sel hepatik dan mengaktivasi kinase dan fosfatase yang berbeda, mengarah paa translokasi dari berbagai faktor transkripsi pada gen promoter dan produksi dari CRP (Di Napoli dkk, 2011).

  Konsentrasi CRP sistemik dikatakan normal bila kurang dari 5 mg/L namun konsentrasi rata-rata pada populasi umum dan sedentary adalah 2 mg/L. Tidak ditemukan perbedaan konsentrasi ada pria maupun wanita. Tidak ditemukan pula perbedaan konsentrasi diurnal ataupun berdasarkan musim (Semple, 2006).

  Konsentrasi CRP serum akan meningkat dalam 4

  • – 6 jam setelah

  injury jaringan dimulai dan akan meningkat sampai ratusan kali lipat dalam

  24-48 jam. Konsentrasi CRP akan tetap tinggi selama respon fase akut, dan akan kembali normal dengan pulihnya struktur dan fungsi jaringan.

  • – Kenaikan CRP bersifat eksponensial, dan menjadi dua kali lipat setiap 8 9 jam. Waktu paruh (half-life) dari CRP kurang dari 24 jam. Pengukuran CRP dapat dilakukan secara langsung dan kuantitatif. Pengukuran CRP serial dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk infeksi, kemajuan pengobatan, atau deteksi awal peradangan ulang (Husain dkk,2002).

  Fungsi utama CRP adalah berikatan dan detoksifikasi terhadap toksik endogen yang diproduksi sebagai hasil dari kerusakan jaringan. C-

  Reactive Protein juga membantu pemindahan sel yang mati, sel-sel asing

  (seperti mikroba) melalui ikatan fosfokolin pada permukaan sel, aktivasi sistem komplemen dan inisiasi, opsoniasi dan fagositosis (Volanakis,2001; Coric dkk, 2012).

II. 3 PROCALCITONIN

  Procalcitonin adalah polipeptida yang terdiri dari 116 asam amino

  dan merupakan prohormon calcitonin. Calcitonin terdiri dari 32 asam amino, sedangkan PCT dibentuk oleh prePCT yang terdiri dari 141 asam amino dengan bobot molekul 16 kDa. Pemecahan terjadi di sel C kelenjar tiroid. Pemeriksaan semikuantitatif PCT sangat praktis dan dapat digunakan secara bed-side. Peningkatan PCT yang cukup besar terjadi endotoksin bakteri, eksotoksin, dan beberapa jenis sitokin. Beberapa penyakit di luar infeksi yang dapat meningkatkan PCT antara lain malaria penyakit jamur,penyakit autoimun, bedah jantung, pankreatitis, luka bakar, penyakit Kawasaki dan syok kardiogenik. Terjadi peningkatan sedikit kadar PCT pada keadaan infeksi virus, neoplastik, dan penyakit autoimun, sedangkan pada infeksi bakteri kronik tanpa inflamasi, reaksi alergi, dan infeksi bacterial yang terlokalisasi tidak didapatkan peningkatan PCT.

  Konsentrasi normal PCT dalam serum/plasma di bawah 0,5 ng/ml. Pada keadaan inflamasi kronik dan penyakit autoimun, infeksi virus, dan infeksi lokal kadar PCT <0,5 ng/ml, sedangkan pada keadaan SIRS, multipel trauma, dan luka bakar kadar PCT 0,5

  • –2 ng/ml dan kadar PCT >2 (paling sering 10 –100) ng/ml merupakan prediktor infeksi berat, sepsis, dan kegagalan beberapa organ (multiple organ failure) (Iskandar dkk, 2010).

  Pemeriksaan PCT merupakan surrogate marker untuk infeksi, dalam kaadaan normal PCT dimetabolisme menjadi kalsitonin, pada keadaan infeksi atau stres lain perubahan PCT menjadi kalsitonin terganggu sehingga kadar PCT meningkat (Iskandar dkk,2010).

  Mekanisme tentang sintesa dan peran PCT setelah peradangan sampai sekarang sama sekali tidak diketahui. Selama infeksi mikroba, akan terjadi peningkatan ekspresi gen CALC-I yang menyebabkan pelepasan PCT dari seluruh jaringan parenkim dan seluruh sel terdiferensiasi di seluruh tubuh. Pelepasan PCT pada saat peradangan atau lipopolisakarida yang dilepaskan oleh mikroba, dan induksi tidak langsung melalui respon immun pejamu yang bersifat cell-mediated yang dimediasi oleh sitokin inflamasi (seperti interleukin-1b [IL-1b], interleukin-6 [IL-6], tumor necrosis factor- α [TNF-α]) (Hatzizsilianou, 2011).

  Pada infeksi bakteri, serum PCT nilainya akan meningkat 4 jam setelah onset infeksi bakteri, dan puncaknya antara 8 dan 24 jam (Kibe dkk,2011). Procalcitonin bukan hanya merupakan marker spesifik untuk infeksi, tetapi juga dapat digunakan sebagai monitoring respon penjamu terhadap infeksi dan pengobatan. Jika nilai PCT turun lebih dari 30% dari nilai awal setelah onset 24 jam pengobatan antibakteri, ini mengindikasikan bahwa pengobatan sesuai dan infeksi dapat dikontrol. Tetapi jika nilai PCT meningkat, ini menunjukkan pengobatan anti mikroba harus diganti. Jika nilai PCT secara terus menerus meningkat, ini menunjukkan respon penjamu untuk terserang infeksi sangat buruk dan sistem imun penjamu harus diperkuat (Hatzizsilianou, 2011).

  Pada gambaran endokrin yang lalu, kalsitonin matur kebanyakan dihasilkan pada neuroendokrin sel C dari tiroid. Jika tidak ada infeksi, transkripsi ekstratiroid dari gen CALC-1 akan tertekan dan terbatas ekspresi selektif pada sel neuroendokrin yang dijumpai pada tiroid dan paru. Pada sel neuroendokrin, hormon yang matur akan diproses dan disimpan pada granul sekretoris. Jika ada infeksi mikroba akan menginduksi peningkatan dari ekspresi gen CALC-1 dan melepaskan PCT Crain M dan Müller B, 2005).

  II.3.1 Kelompok Protein CAPA Procalcitonin, calcitonin gene-related peptides (CGRP) I dan II, amylin, adrenomedullin, calcitonin dan prekursornya adalah satu kelompok

  protein. Calcitonin gene-related peptides (CGRP) I dan mRNA yang merupakan prekursor kalsitonin I dan II akan dikode di gen CALC-1 pada kromosom 11. Gen ini akan mengkode calcitonin, PCT-I, PCT-II dan produk lainnya. calcitonin gene-related peptides (CGRP) II diproduksi dari gen CALC-II pada kromosom 11, sedangkan amilin diproduksi pada kromosom 12. Semua protein ini akan disekresikan. Untuk mendapatkan akses ke sistem golgi, protein ini akan diproduksi dengan menggunakan sekitar 100 asam amino yang terdiri dari residu sistein. Produk yang dihasilkan ini akan aktif dan berikatan pada reseptor G-Coupled 7TM dan disebut sebagai

  ―calcitonin gene-related peptideamylin (pro)calcitonin-

  adrenomedullin family

  ,’’ atau „„CAPA protein family” yang merupakan cikal bakal kalsitonin (Kibe dkk, 2011).

  II.3.2 Sintesis mRNA pada beberapa tipe sel Procalcitonin mRNA disintesis di gen CALC-I pada kromosom 11

  pada saat sepsis atau inflamasi. Gen CALC-I ini merupakan sumber

  calcitonin matur pada individu normal. Gen ini terdapat pada beberapa

  mamalia dan spesies lainnya. Kalsitonin, PCT-I, PCT-II, dan calcitonin- tipe PCT mRNA disintesis pada sel yang memproduksi PCT dan menghasilkan dua protein yang berbeda yaitu PCT I dan PCT II yang dibedakan pada asam amino C-terminal. (Sherwood dkk,2012) Mekanisme tentang sintesis dan peran PCT setelah peradangan sampai sekarang sama sekali tidak diketahui. Selama infeksi mikroba, akan terjadi peningkatan ekspresi gen CALC-I yang menyebabkan pelepasan PCT dari seluruh jaringan parenkim dan seluruh sel terdiferensiasi di seluruh tubuh. Pelepasan PCT pada saat peradangan diinduksi dalam dua jalur utama yaitu: cara langsung diinduksi oleh toksin atau lipopolisakarida yang dilepaskan oleh mikroba, dan induksi tidak langsung melalui respon immun pejamu yang bersifat cell-mediated yang dimediasi oleh sitokin inflamasi (seperti interleukin-1b [IL-1b], interleukin-6 [IL-6], tumor necrosis factor- α [TNF-α]) (Kibe dkk, 2011).

  II. 4. STROKE-ASSOCIATED INFECTIONS (SAI)

  II. 4.1. Definisi Stroke-associated infections (SAI) Stroke-associated infections ialah infeksi yang terjadi selama tujuh

  hari pertama daripada onset stroke (Vargas dkk, 2006) Infeksi dapat terjadi setelah hari pertama stroke iskemik pada sekitar 25-65% pasien. Pneumonia dan infeksi saluran kemih (ISK) merupakan komplikasi infeksi yang sering terjadi setelah stroke iskemik. Insiden untuk pneumonia yang berhubungan dengan stroke sekitar 5-22% dengan infeksi saluran kemih biasanya 3-10% pasien perhari setelah pemasangan kateter (Harms dkk, 2010; Fluri dkk, 2012).

  A. Pneumonia setelah stroke Diagnosis pneumonia ditentukan oleh :

  1. Pemeriksaan paru yang abnormal, infiltrasi paru pada foto thorak 2. batuk yang produktif dengan sputum purulen, pada kultur ditemukan moikrobiologi positif ataupun kultur darah (Harms dkk,2010 )

  Tabel 3. Kriteria untuk Definisi Klinis Pneumonia berdasarkan Centers for Disease Control

  Dikutip dari : Harms H, Halle E, Andreas Meisel A. 2010. Post- Stroke Infections

  • – Diagnosis, Prediction, Prevention And Treatment To Improve Patient Outcomes. European Neurological Review;5(1):39
  • –43 Diagnosis lain dapat dibuat dengan kriteria The Center for Disease

  

Control (CDC-Atlanta) yang telah diadaptasi oleh PDPI (Perhimpunan

  Dokter Paru Indonesia), yaitu: (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003) Pneumonia ditegakkan atas dasar: 1. Gambaran foto toraks terdapat infiltrat baru atau progresif.

  2. Ditambah dua di antara kriteria berikut:

  a. Batuk

  • – batuk bertambah

  b. Perubahan karakteristik dahak/ sekret purulen c.

  Suhu tubuh ≥ 38 C (diukur di aksila)

  d. Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda

  • – tanda konsolidasi, suara nafas bronkial dan ronki

  e. Leukositosis (≥10.000) atau leukopenia (<4500)

  B. Infeksi Saluran Kemih Diagnosis infeksi saluran kemih ditentukan oleh : 1.

  Demam ≥ 38 C

  2. Pemeriksaan urin dijumpai positif untuk nitrat 3.

  Leukosituria > 40/µL ataupun ada bakteriuria ≥ 10

  4

  /mL

  Tabel 4. Kriteria untuk Infeksi Saluran Kemih berdasarkan Centers for

Disease Control

  Dikutip dari : Harms H, Halle E, Andreas Meisel A. 2010. Post-Stroke Infections

  • – Diagnosis, Prediction, Prevention And Treatment To Improve Patient Outcomes. European Neurological Review;5(1):39
  • –43

  C. Infeksi lainnya Diagnosis ini ditentukan oleh :

  1. Suhu ≥ 38 C

  2. Leukosit ≥ 11000/mL

  3. CRP ≥ 10 mg/L (Fluri, dkk, 2012)

II.4.2. Patogenesa Stroke-Associated Infections (SAI)

  Keadaan infeksi dapat ditemukan pada pasien stroke dan dihubungkan dengan outcome stroke yang lebih buruk. Bagaimana infeksi menyebabkan perburukan outcome stroke masih belum jelas sampai sekarang. Satu penelitian menunjukkan bahwa respon inflamasi yang berhubungan dengan infeksi sistemik menjadi predisposi perkembangan respon autoimun dari sel T helper 1 terhadap antigen SSP yang terpapar oleh limfosit dari sirkulasi akibat kerusakan sawar darah otak yang diinduksi oleh stroke atau keadaan iskemik otak. Sebagai tambahan, strategi untuk menghambat perkembangan respon T helper 1 ini berhubungan dengan outcome yang lebih baik. Hubungan antara infeksi yang terjadi paska stroke dan outcome klinis yang lebih buruk adalah perkembangan respon autoimun di SSP yang dicetuskan oleh infeksi (Becker, 2012).

  Suatu penelitian menemukan perubahan otonom dihubungkan dengan frekuensi infeksi yang tinggi dan keparahan stroke, ataupun volume darah intraserebral. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan hubungan antara katekolamin dan infeksi paska stroke yang tidak bergantung pada keparahan stroke. Pada beberapa penelitian sederhana ditemukan localization-dependent pattern pada disfungsi imunitas setelah stroke. Hal lain yang lebih penting adalah semua perdarahan intraserebral faktor lain seperti perdarahan disekitar intraventrikel pada autonomic and immunoregulatory centers (talamus, hipotalamus, peri-aqueductal gray, formasio retikularis) mungkin berperan penting dalam aktivasi saraf simpatik dan dalam proses immunodepresi setelahnya. Penelitian ini menyimpulkan hubungan kuat antara luasnya perdarahan intraventrikular dan aktivasi saraf simpatis yang tidak bergantung pada volume perdarahan dan keparahan stroke awal (Sykora dkk, 2011).

  Sebagai biomarker diagnostik pada sepsis bakterial, substansi yang diukur harus naik melebihi nilai normal pada awal proses infeksi. Pada infeksi bakteri, konsentrasi PCT serum akan mulai naik sejak 4 jam setelah onset infeksi, dan mencapai puncaknya 8 atau 24 jam setelahnya.

  Kebalikannya, CRP dengan leukosit sebagai pengecualiannya merupakan biomarker infeksi yang paling sering digunakan di Inggris ditentukan meningkat secara perlahan dan mencapai puncaknya hingga 36 jam setelah terjadi perubahan endotoksin (Kibe dkk, 2011).

II.4.2.1. Perubahan Imunologis Setelah Iskemik Otak Akut

  Pada pasien-pasien dengan stroke akut, konsentrasi ACTH dan kortisol yang tinggi atau terlalu rendah dihubungkan dengan daerah infark yang lebih besar, outcome fungsional yang lebih buruk, dan peningkatan kematian. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua respon aksis HPA yang sangat ekstrim bersifat mengganggu. Pasien dengan peningkatan kortisol suhu tubuh, fibrinogen, jumlah sel darah putih, tromboglobuin, dan konsentrasi IL-6. Konsentrasi kortisol yang tinggi pada beberapa penelitian, tapi tidak di penelitian lainnya, juga telah dihubungkan dengan ekspresi katekolamin yag lebih tinggi, dan infark lobus frontal atau infark insular. Tetapi, rerata infeksi dan keadaan imun pasien tidak digambarkan di dalamnya. Pada mencit yang mengalami iskemik otak, stroke menginduksi depresi imunitas selular yang berlangsung lama, seperti deaktivasi monosit, limfopenia, dan perubahan (shift) sel Th1/ Th2 yang dihubungkan dengan bakterimia spontan, dan pneumonia. Pada tikus, iskemia serebri fokal akan menurunkan selularitas limfa dan respon terhadap mitogen sehingga menghasilkan produksi faktor inflamasi yang cepat dan luas oleh splenosit dalam hubungannya dengan sinyal adrenergik. Preconditioning lipopolisakarida terbukti menginduksi neuroproteksi yang signifikan terhadap oklusi arteri serebri media, penekanan infiltrasi kedua jenis netrofil, dan aktivasi mikroglia/ makrofag pada keadaan iskemik hemisfer, dan aktivasi monosit pada darah tepi (Chamorro dkk, 2007).

II.4.2.2. Sistem Pertahanan Tubuh yang Diinduksi oleh Stroke

  Penyebab kematian yang paling tinggi pada pasien stroke adalah infeksi. Hampir 85% pasien stroke mengalami komplikasi, dan paling banyak diantaranya adalah infeksi. Pada masa rehabilitasi, infeksi adalah komplikasi yang paling sering dan merupakan penyebab kematian nomor pusat secara spesifik dan signifikan dapat menimbulkan risiko infeksi. Hal ini juga terjadi pada injury susunan saraf pusat yang mengakibatkan immunodepresi sekunder (CNS injury-induced immunodepression/CIDS).

  Penelitian pada mencit menunjukkan, dalam tiga hari setelah iskemia fokal otak akan muncul pneumonia dan sepsis. Keadaan ini terjadi karena terjadinya apoptosis luas, hilangnya limfosit dan perubahan T Helper I menjadi T Helper II, atrofi pada organ limpatik seperti limpa dan tymus, penurunan jumlah dan fungsi monosit. Keadaan immunodepression setelah terjadinya stroke dapat dideteksi mulai saat terjadinya iskemik dan berlangsung sampai beberapa minggu. Berdasarkan penelitian ini menunjukkan kerusakan katekolamin yang terjadi pada saat aktivasi limfosit memegang peranan penting dalam terganggunya respon imun terhadap infeksi bakteri setelah terjadinya stroke (Dirnagl dkk, 2007).

  II.4.2.3. Penyebab Immunodepresi Pada Pasien Stroke

  Walaupun fenomena terjadinya imunodepresi setelah stroke sudah banyak dinilai namun mekanisme penyampaian signal yang mempengaruhi sistem saraf simpatis dan aksis hypothalamic-pituitari yang meregulasi penurunan respon imun setelah iskemia sel otak masih belum jelas. Beberapa percobaan klinik menunjukkan adanya produksi cytokine

  proinflamatory oleh jaringan otak yang rusak secara langsung

  • menimbulkan aktivasi central nervous system dan aksis hypothalamic

  

pituitary. Peningkatan nilai cytokine seperti interleukin 1, TNF α dan

  serebrospinal. Karena sistem otonom pada sistem saraf pusat merupakan organ limfoid sekunder, kerusakan yang terjadinya pada daerah ini dapat menimbulkan imunodefisiensi. Pada keadaan stroke akan terjadi kerusakan struktur susunan saraf pusat simpatis yang meliputi vegetative

  neuroimmunomodulation. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan adanya

  stres pada sistem saraf pusat dan peradangan pada sistem saraf pusat merupakan penyebab terjadinya immunodepresion sistemik (Dirnagl dkk, 2007).

  

Gambar 3. Hipotesa Terjadinya Immunodepresi Akibat Terjadinya

Stroke

  Dikutip dari : Dirnagl U, Klehmet J, Braun J.S, Harms H, Meisel C, Ziemssen T, Prass K, Meisel A. 2007. Stroke-Induced Immunodepression Experimental Evidence And Clinical Relevance. Stroke;38(Part 2):770-3 .

  Stroke fase akut dapat menginduksi terjadinya stroke-induced

  immunodepression (SIID) syndrome. Jumlah kasus SIID yang timbul pada

  infeksi poststroke diperkirakan sampai 30%. Manifestasi sistem immunodepresi ini tidak hanya terjadi pada keadaan stroke atau rusaknya sel saraf pusat namun juga dapat terjadi pada traumatic injury, luka bakar ataupun operasi besar di daerah otak. Kondisi ini tampaknya terjadi akibat terjadinya peningkatan reaksi sistem saraf otonom yang akhirnya memicu respon imun yang adaptive dan innate akibat adanya infeksi bakteri tertentu. Kerusakan sistem saraf pusat secara langsung juga menginduksi terjadinya immunodepresi. Keadaan ini terjadi akibat adanya respon imun yang berbeda jika dibandingkan pada trauma jaringan lain pada tubuh, hal ini masih dalam proses penelitian sampai saat ini. Pada suatu penelitian terhadap mencit diketahui bahwa pada saat terjadinya SIID, sel invariant

  natural killer T (iNKT) hepatic dan memory T cells limpa memegang

  peranan penting. Sindrom SIID ini juga merupakan respon immun adaptif untuk mengurangi peradangan pada otak yang diinduksi oleh adanya iskemia walaupun pada akhirnya keadaan ini memfasilitasi terjadinya infeksi akibat berkurangnya reaksi inflamasi (Chamorro dkk, 2012).

  Adanya lymphocytopenia merupakan penanda adanya SIID. Secara spesifik pada penelitian terdahulu ditemukan bahwa sel T proinflamasi pada pasien SIID menimbulkan efek yang lebih lemah pada stimulus in vitro dibandingkan pada kontrol yang sehat, namun pada penelitian terbaru pada mencit dan manusia ditemukan bahwa sel T proinflamasi akan mempertahankan kemampuan proliferasi setelah terjadinya stroke. Komponen yang berperan pada SIID pada pasien yang mengalami stroke akan mengalami overactivation akibat sistem adrenergik yang bekerja pada sel pertahan tubuh primer yang menyebabkan Aktivasi simpatis juga dapat terjadi pada keadaan dismotilitas gastrointestinal yang akhirnya dapat menimbulkan resiko aspirasi pneumonia (Chamorro dkk, 2012).

  Respon antiinflamasi pada keadaan infeksi paska stroke terjadi akibat modulasi sistem saraf pusat yang mengaktifkan sistem pertahanan tubuh lewat komplek humoral dan aksis hypothalamic

  • –pituitary–adrenal,

  persarafan vagus dan sistem saraf simpatis. Hipotalamus secara fungsional berhubungan erat dengan pusat otonom sehingga memungkinkan terjadinya sinkronisasi respon neuroendocrine

  

(glucocorticoid) dengan aktivitas kolinergik yang secara bersama-sama

  akan menekan produksi sitokin inflamasi oleh sel T, monosit dan makrofag serta menghasilkan sitokin antiinflamasi seperti IL-10. Diproduksinya neuroadrenalin oleh jaringan saraf otak dan organ perifer seperti kelenjar adrenal, hati dan limpa juga menginduksi respon antiinflamasi pada limfosit, monosit dan makrofag. Secara bersamaan seluruh mekanisme ini akan membatasi respon inflamasi namun menimbulkan resiko terjadinya infeksi seperti pneumonia ataupun infeksi saluran kemih. Selain itu dihasilkannya katekolamin oleh saraf terminal dapat menginduksi perubahan pada sel iNKT hati serta dihasilkannya asetilkolin oleh sel T memori di spleen yang pada akhirnya mengurangi reaksi peradangan namun meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi (Chamorro dkk, 2012).

  Gambar 4. Reflek antiinflamasi dan infeksi pada Stroke Associated

Infections

  Dikutip dari : Chamorro A, Meisel A, Planas A.M, Urra X, Van De Beek D, Roland Veltkamp R. 2012. The Immunology Of Acute Stroke. Nat. Rev. Neurol:1-10

II. 5. KERANGKA TEORI Aksis HPA Sistem Saraf Simpatis Nervus Vagus

  Chamorro dkk, 2007; Fluri dkk, 2012: CNS memodulasi sistem imun melalui jalur aksis HPA, sistem saraf simpatis dan nervus vagus

  STROKE Glukokortikoi d Katekolami n

  Darah: Sel T (↓IFN γ, ↑ apoptosis), Monosit (

  ↓TNF, ↑IL-10) Liver :sel iNKT (

  ↓IFN γ, ↑ IL-10) Spleen Asetikolin Monosit ( ↓TNF, ↑IL-10)

  Infeksi

Disfungsi sistem immune

(immunodepresi)

  Wartenberg dkk,2011: leukosit,CRP,monosit, PCT berhub SAI

  Dirnagl dkk,2007: injury SSP  immunodepresi Chamorro dkk,2012, Dirnagl dkk, 2007 : katekolamin ↑ infeksi

  PCT, Leukosit, Monosit, HsCRP Johnsen dkk 2012; Wani dkk 2012 :↓lymphocyte count, gangguan limfosit T dan aktivitas sel NK (natural killer), ↓IFN γ Chamorro dkk, 2012: Asetikolin menyebabkan inflamasi

  Chamorro dkk,2012: Glukokortikoid  ↓sitokin inflamasi

  Di Napoli dkk, 2011: CRP disintesa dr hepatosit Iskandar dkk, 2010 : PCT  dipecah pd sel C tiroid

  Universitas Sumatera Utara

II.6. KERANGKA KONSEP Stroke Iskemik Akut

  INFEKSI Marker Inflamasi (Leukosit, Monosit, HsCRP) dan Procalcitonin