BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. FUNGSI KOGNITIF II.1.1. Definisi - Hubungan Antara Tekanan Darah Sistolik, Tekanan Darah Diastolik, Tekanan Nadi Dan Tekanan Arteri Rata-Rata Dengan Fungsi Kognitif Pada Usia Lima Puluh Tahun Ke Atas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. FUNGSI KOGNITIF II.1.1. Definisi Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar,

  seperti berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi dan melakukan evaluasi (Strub dkk., 2000)

II.1.2. Domain Fungsi Kognitif

  Fungsi kognitif terdiri dari: (Modul Neurobehaviour PERDOSSI, 2008)

  a. Atensi Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan. Atensi merupakan hasil hubungan antara batang otak, aktivitas limbik dan aktivitas korteks sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik dan mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam periode yang lebih lama. Gangguan atensi dan konsentrasi akan

  9 mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif.

  b. Bahasa Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal dan fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak dapat dilakukan. Fungsi bahasa meliputi 4 parameter yaitu :

  1. Kelancaran

  Kelancaran mengacu pada kemampuan untuk menghasilkan kalimat dengan panjang, ritme dan melodi yang normal. Metode yang dapat membantu menilai kelancaran pasien adalah dengan meminta pasien menulis atau berbicara secara spontan.

  2. Pemahaman

  Pemahaman mengacu pada kemampuan untuk memahami suatu perkataan atau perintah, dibuktikan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan perintah tersebut.

  3. Pengulangan Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau kalimat yang diucapkan seseorang.

  4. Penamaan Merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai suatu objek beserta bagian-bagiannya.

  Gangguan bahasa sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi klinikus untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik antara sindrom afasia dengan lesi

  neuroanatomi.

  c. Memori Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyediaan informasi, proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam ketiga proses tersebut akan mempengaruhi fungsi memori. Fungsi memori dibagi dalam tiga tingkatan bergantung pada lamanya rentang waktu antara stimulus dengan recall, yaitu:

  1. Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara stimulus dengan recall hanya beberapa detik. Disini hanya dibutuhkan pemusatan perhatian untuk mengingat (attention).

  2. Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama yaitu beberapa menit, jam, bulan, bahkan tahun.

  3. Memori lama (remote memory), rentang waktunya bertahun-tahun bahkan seusia hidup.

  Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien. Amnesia secara umum merupakan efek fungsi memori. Ketidakmampuan mempelajari materi baru setelah brain

  insult disebut amnesia anterograd. Amnesia retrograd merujuk

  pada amnesia yang terjadi sebelum brain insult. Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada awal perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami kesulitan memori. Amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan tidak dijumpai defek pada recent memory.

  d. Visuospasial Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal: lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan lobus parietal terutama hemisfer kanan berperan paling dominan.

  e. Fungsi eksekutif Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Fungsi ini dimediasi oleh korteks prefrontal dorsolateral dan struktur subkortikal yang berhubungan dengan daerah tersebut. Fungsi eksekutif dapat terganggu bila sirkuit frontal-subkortikal terputus. Lezack membagi fungsi eksekutif menjadi 4 komponen yaitu volition (kemauan), planning (perencanaan), purposive actio (bertujuan),

  effective performance (pelaksanaan yang efektif). Bila terjadi

  gangguan fungsi eksekutif, maka gejala yang muncul sesuai keempat komponen di atas. (Sidiarto L.D., Kusumoputro S.,2003)

II.1.3. Anatomi Fungsi Kognitif

  Masing-masing domain kognitif tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dalam menjalankan fungsinya, tetapi sebagai satu kesatuan, yang disebut sistem limbik. Sistem limbik terdiri dari amygdala, hipokampus, nucleus talamik anterior, girus subkalosus, girus cinguli, girus parahipokampus, formasio hipokampus dan korpus mamilare. Alveus, fimbria, forniks, traktus mammilotalmikus dan striae terminalis membentuk jaras-jaras penghubung sistem ini. (Waxman S.G; 2007)

  Peran sentral sistem limbik meliputi memori, pembelajaran, motivasi, emosi, fungsi neuroendokrin dan aktivitas otonom. Struktur otak berikut ini merupakan bagian dari sistem limbik:

  1. Amygdala, terlibat dalam pengaturan emosi, dimana pada hemisfer kanan predominan untuk belajar emosi dalam keadaan tidak sadar, dan pada hemisfer kiri predominan untuk belajar emosi pada saat sadar.

  2. Hipokampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka panjang, pemeliharaan fungsi kognitif yaitu proses pembelajaran.

  3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori spasial.

  4. Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung, tekanan darah dan kognitif yaitu atensi.

  5. Forniks, membawa sinyal dari hipokampus ke mammillary bodies dan septal nuclei. Forniks berperan dalam memori dan pembelajaran.

  6. Hipothalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui produksi dan pelepasan hormon, tekanan darah, denyut jantung, lapar, haus, libido, dan siklus tidur/bangun, perubahan memori baru menjadi memori jangka panjang.

  7. Thalamus ialah kumpulan badan sel saraf di dalam diensefalon membentuk dinding lateral ventrikel tiga. Fungsi thalamus sebagai pusat hantaran rangsang indra dari perifer ke koteks serebri. Dengan kata lain, thalamus merupakan pusat pengaturan fungsi kognitif di otak/ sebagi stasiun relay ke korteks serebri.

  8. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan pembelajaran.

  9. Girus dentatus, berperan dalam meori baru dan mengatur kebahagiaan.

  10. Korteks enthorinal, penting dalam memori dan merupakan komponen asosiasi. (Markam S., 2003, Devisnsky O., D‘Esposito M., 2004) Sedangkan lobus otak yang berperan dalam fungsi kognitif antara lain:

  1. Lobus frontalis.

  Pada lobus frontalis mengatur motorik, prilaku, kepribadian, bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisa dan sintesis.

  Sebagian korteks medial lobus frontalis dikaitkan sebagai bagian sistem limbik, karena banyaknya koneksi anatomik dengan struktur sistem limbik dan adanya perubahan emosi bila terjadi kerusakan.

  2. Lobus parietalis Lobus ini berfungsi dalam membaca, persepsi, memori dan visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensorik (input visual,

  

auditori, taktil) dari area sosiasi sekunder. Karena menerima input dari

  berbagai modalitas sensori sering disebut korteks heteromodal dan mampu membentuk asosiasi sensorik (cross modal association).

  Sehingga manusia dapat menghubungkan input visual dan menggambarkan apa yang mereka lihat atau pegang.

  3. Lobus temporalis Lobus temporalis berfungsi mengatur pendengaran, penglihatan, emosi, memori, kategorisasi benda-benda dan seleksi rangsangan auditorik dan visual.

  4. Lobus oksipitalis Lobus oksipitalis berfungsi mengatur penglihatan primer, visuospasial, memori dan bahasa. (Markam S., 2003)

II.1.4. Tes Untuk Menilai Fungsi Kognitif

  Pemeriksaan fungsi kognitif meliputi pemeriksaan domain-domain kognitif diantaranya atensi, bahasa, memori, visuospasial dan fungsi eksekutif. Untuk pemeriksaan kelima domain tersebut dapat digunakan pemeriksaan MMSE (atensi, bahasa, memori, visuospasial) dan CDT (fungsi eksekutif). Untuk memeriksa fungsi kognitif, pemeriksaan CDT tidak dapat dipisahkan dari MMSE karena CDT melengkapi domain kognitif yang tidak terdapat pada MMSE.

II.1.4.1 Mini Mental State Examination (MMSE)

  Sebagai suatu pemeriksaan awal, MMSE adalah test yang paling banyak dipakai. Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering dipakai saat ini. Penilaian dengan nilai maksimal 30, cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognitif dalam kurun waktu tertentu. Pemeriksaan MMSE memiliki keunggulan karena waktunya cepat (5-10 menit) dan mudah dikerjakan serta dapat digunakan untuk memonitor perubahan dan perkembangan fungsi kognitif. Dalam pemeriksaan MMSE terdapat komponen orientasi, registrasi, atensi, kalkulasi, recall/ mengingat kembali, bahasa, dan visuokonstriksi. Sedangkan penilaiannya terdiri dari beberapa hal : penilaian orientasi (misal tahun berapa ?), memori segera dan tertunda dari 3 kata (misal apel, meja, koin), penamaan (misal pensil, televisi), pengulangan ungkapan (misal jika tidak, dan atau tetapi), kemampuan mengikuti perintah sederhana (misal ambil sebuah kertas dengan tangan kanan mu, lipat menjadi dua bagian dan letakkan di lantai), menulis (misal tulis sebuah kalimat), fungsi visuospasial (menggambarkan kembali gambar segilima berpotongan) dan atensi (mengeja kata GAMBAR dari belakang). Skor MMSE normal 24-30, bila skor kurang dari 24 mengindikasikan gangguan fungsi kognitif. Namun pada individu berpendidikan bila skor MMSE ≤ 27 dicurigai suatu gangguan fungsi kognitif. (Folstein MF. et al., 1975, Assosiasi Alzheimer

  Indonesia, 2003).

  Sebuah studi yang dilakukan pada 473 orang sehat yang berumur lebih dari 15 tahun dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang beragam di Medan didapatkan skor median MMSE berdasarkan usia dan lama pendidikan sebagai berikut:(Sjahrir dkk, 2001)

  Tabel 1. Skor median MMSE

  Median Lama pendidikan: 0 - 6 tahun

  24 7 - 9 tahun 26 10 - 12 tahun

  26 > 12 tahun

  28 Usia: < 20 tahun

  27 21 - 30 tahun 28 31 - 40 tahun 28 41 - 50 tahun 26 51 - 60 tahun

  27 > 60 tahun

  21 Dikutip dari: Sjahrir, H., Ritarwan, K., Tarigan, S., Rambe, A.S., Lubis, I.D., Bhakti, I. 2001. ―The Mini Mental State Examination in healthy individuals in Medan, Indonesia by age and education level‖. Neurol J Southeast

  Asia;6:19-22

  Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) ini awalnya dikembangkan untuk skrining demensia, namun sekarang digunakan secara luas untuk pengukuran fungsi kognitif secara umum. Pemeriksaan

  Mini Mental State Examination (MMSE) kini adalah instrumen skrining

  yang paling luas digunakan untuk menilai status kognitif dan status mental pada usia lanjut. (Kochhann dkk, 2009) Instrumen ini disebut ― mini ― karena hanya fokus pada aspek kognitif dari fungsi mental dan tidak mencakup pertanyaan tentang mood, fenomena mental abnormal dan pola pikiran. Mini Mental State

  Examination (MMSE) ini direkomendasikan sebagai screnning untuk penilaian kognitif global oleh American Academy of Neurology (AAN).

  (Kochhann dkk, 2010) Pada penelitian Crum dkk, 1993 secara luas melakukan penelitian terhadap subjek usia 18 sampai 85 tahun terhadap ± 18.000 masyarakat dari lima wilayah metropolitan: New Haven, Baltimore, Durham, St Louis, dan Los Angeles dan didapatkan nilai yang berbeda untuk masing-masing usia dan pendidikan yang berbeda.

  Tabel 2. Nilai MMSE Berdasarkan Usia dan Pendidikan

  1.7

  29

  29

  29

  29

  29

  29 SD

  1.3

  0.9

  1.0

  1.0

  1.6

  29

  1.9

  1.5 Lower quartile

  29

  29

  29

  29

  29

  29

  28

  28 Median

  30

  29

  Mean

  30

  29

  28

  28

  28

  28

  28

  27

  27

  27 Median

  29

  29

  29

  30 College experience or higher degree N 783 1012 989 641 354 259 220 231

  29

  29

  29

  29 Upper quartile

  30

  30

  30

  30

  30

  30

  30

  30

  30

  2.2

  29

  28

  28

  28

  28

  27

  27

  27

  26 Median

  29

  29

  29

  2.4

  29

  29

  29

  29 Upper quartile

  30

  30

  30

  30

  30

  30

  30

  2.5 Lower quartile

  2.5

  30

  30 Total N 2220 2076 1926 1443 979 831 870 1013 Mean

  30

  30

  29 Upper quartile

  30

  30

  30

  30

  30

  30

  30

  29

  2.0

  29

  29

  29

  28

  28

  28

  28 SD

  2.0

  1.3

  1.3

  1.8

  12 Lower quartile

  2.4

  Educational Level Age (Years) 18-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59

  23

  23

  20

  20

  20

  20

  20 Median

  23

  25

  26

  24

  23

  21

  22

  22 Upper quartile

  25

  27

  28

  27

  27

  26

  25

  26 5-8 years N

  94

  23

  2.7 Lower quartile

  27

  25

  0-4 years N

  17

  23

  41

  33

  36

  28

  34

  49 Mean

  22

  25

  2.6

  23

  23

  23

  23

  22 SD

  2.9

  2.0

  2.4

  2.5

  2.6

  3.7

  83 74 101 100 121 154 208 Mean

  27

  1.9

  Mean

  27

  27 Upper quartile

  29

  29

  28

  29

  29

  29

  29

  29 9-12 years or high school diploma N 1326 958 822 668 489 423 462 525

  29

  27

  29

  29

  28

  28

  28

  28

  28 SD

  2.2

  1.3

  1.3

  1.8

  27

  27

  26

  2.5

  26

  27

  26

  27

  26 SD

  2.7

  2.5

  1.8

  2.8

  1.8

  2.4

  26

  2.9 Lower quartile

  24

  25

  24

  23

  25

  24

  25

  25 Median

  28

  27

  30

  Educational Level Age (Years) 60-64 65-69 70-74 73-79 80-84 >85 Total

  25

  1.3

  1.0

  1.6 1.6 0.9 1.3

  1.3 Lower quartile

  28

  28

  27

  27

  26

  29 Median

  27

  29

  29

  29

  28

  28

  28

  29 Upper quartile

  30

  30

  29 SD

  27

  29

  25

  26

  29 Upper quartile

  30

  29

  29

  29

  28

  28

  30 Abnormal cutoff

  25

  28

  24

  24

  21

  22 College experience or

  higher degree N 270 358 255 181

  %

  52 5701 Mean

  29

  29

  28

  29

  29

  27

  29

  28

  28

  27

  26

  25

  25

  29 Upper quartile

  29

  29

  28

  21

  28

  28

  30 Abnormal cutoff

  24

  24

  24

  22

  21

  19 Dikutip dari: Crum, R. M., Anthony, J. C., Bassett, S. S., &

  Folstein, M. F. (1993). Population-based norms for the Mini- Mental State Examination by age and educational level.

  27 Median

  21

  29

  27

  30 Abnormal cutoff

  26

  27

  25

  25

  25

  24 Total N 1294 1931 1477 1045 605 346 18.056 Mean

  28

  27

  26

  23

  25

  24

  28 SD

  2.0

  1.6

  1.8 2.1 i i 2.9

  2.0 Lower quartile

  26

  26

  24

  26

  28

  0-4 years N 88 126 139 112 105 61 892 Mean

  19

  26

  25

  24

  24

  23

  23

  25 Abnormal cutoff

  19

  18

  17

  20

  16

  14 5-8 years N 310 633 533 437 241 134 3223

  Mean

  26

  26

  26

  25

  25

  23

  26 SD

  22 Upper quartile

  19

  1.7

  1.7 2.0 2.2 2.9

  23

  22

  22

  21

  20

  19

  22 SD

  1.9

  1.9

  2.3 Lower quartile

  21

  19

  19

  19

  18

  16

  15

  19 Median

  22

  22

  21

  2.3

  1.8 2.1 1.9 3.3 2 2 Lower quartile

  28

  1.7

  17 9-12 years or high school diploma N 626 814 550 315 163 99 8240

  Mean

  28

  28

  27

  27

  25

  26

  28 SD

  1.4

  21

  1.6 1.5 2.3 2.0

  1.9 Lower quartile

  27

  27

  26

  25

  23

  23

  27 Median

  28

  21

  23

  24

  26

  24

  24

  22

  22

  21

  23 Median

  27

  27

  26

  25

  23

  24

  26 Upper quartile

  29

  29

  28

  28

  27

  27

  28 Abnormal cutoff

  22

  Journal of the American Medical Association, 269, 2386 – 2391.

II.1.4.2. Clock Drawing Test (CDT)

  Pemeriksaan CDT dapat digunakan untuk penilaian beberapa fungsi kognitif diantaranya visuokonstriksi, orientasi, konsep waktu, visuospasial, memori, komprehensi auditorik, dan yang paling penting untuk menilai fungsi eksekutif. Pemeriksaan CDT ini juga mempunyai unsur kemampuan motorik dimana subjek diminta menggambar jam dinding lengkap dengan angka-angkanya dan menggambarkan jarum jam yang menunjukkan pukul ― sebelas lewat sepuluh menit ―. Ada empat komponen yang dinilai yaitu menggambar lingkaran tertutup (skor 1), meletakkan angka-angka dalam posisi yang benar (skor 1), ke-12 angka lengkap (skor 1), dan meletakkan jarum-jarum pada posisi yang tepat (skor 1). Seseorang dengan fungsi eksekutif yang normal mempunyai skor total 4 dan bila tidak normal skornya kurang dari 4. Skor yang kurang dari 4 perlu evaluasi fungsi kognitif lebih lanjut. (Britt- Marie S., Eva E., Sojka P., 2007)

  Korelasi antara CDT dengan instrumen dengan instrumen skrining lainnya, termasuk ‗ gold standartMMSE, dilaporkan baik dalam beberapa penelitian. (Pinto E. dkk, 2009)

  Berbagai penelitian yang menilai akurasi CDT pada scrining demensia menunjukkan bahwa CDT dapat membedakan secara akurat antara orang normal dengan pasien yang menunjukkan gangguan kognitif ringan. (Aprahamian I. dkk, 2009)

  II. 2 TEKANAN DARAH

  II.2.1. Pengertian tekanan darah

  Tekanan darah adalah tekanan yang dihasilkan oleh darah terhadap pembuluh darah. Tekanan darah dipengaruhi volume darah dan elastisitas pembuluh darah. Peningkatan tekanan darah disebabkan peningkatan volume darah atau elastisitas pembuluh darah. Sebaliknya, penurunan volume darah akan menurunkan tekanan darah. ( Ronny dkk, 2010 ).

  II.2.2. Faktor-faktor yang Menentukan Tekanan Darah

  Ada lima faktor yang menentukan tingginya tekanan darah, yaitu: curah jantung, tahanan pembuluh darah tepi, volume darah total, viskositas darah, dan kelenturan dinding arteri. Curah jantung dan tahanan pembuluh darah mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap tekanan darah. ( Adams, 2005 )

  Agar kita mendapatkan tekanan darah maka harus ada curah jantung dan tahanan terhadap aliran darah sirkulasi sistemik. Tahanan ini disebut tahanan tepi.

  Tekanan darah = Curah Jantung x Tahanan tepi

  Faktor-faktor yang mempengaruhi curah jantung seperti frekuensi jantung dan isi sekuncup. Tahanan terhadap aliran darah terutama terletak di arteri kecil tubuh, yang disebut arteriole. Pembuluh darah berdiameter kecil inilah yang memberikan tahanan terbesar pada aliran darah. Kapiler merupakan pembuluh darah yang jauh lebih kecil dari arteriol, tetapi meskipun setiap kapiler akan memberikan tahanan yang lebih besar dibanding sebuah arteriol, terdapat sejumlah besar kapiler yang tersusun paralel dan berasal dari satu arteriole. Akibatnya terdapat sejumlah lintasan alternatif bagi darah dalam perjalanannya dari arteriole ke vena, dan karena inilah maka jaringan kapiler ini tidak memberikan tahanan terhadap aliran darah seperti yang diberikan oleh arteriole ( Green, 2008 ).

II.2.3. Jenis- jenis Tekanan Darah

  Terdapat tiga jenis tekanan darah, yaitu:

  a. Tekanan Darah Normal

  Tekanan darah dikatakan normal apabila tekanan sistoliknya 120-140 mmHg manakala tekanan diastoliknya 80-90 mmHg menurut World Health Organization (WHO). Menurut National Heart

  Lung and Blood Institute (NHLBI) dari National Institute of Health (NIH), mendefinisikan tekanan darah normal adalah tekanan sistolik

  kurang dari 120 mmHg dan tekanan diastolik kurang dari 80 mmHg.

  b. Tekanan Darah Rendah ( Hipotensi )

  Hipotensi adalah tekanan darah di bawah 90/ 60 mmHg (National Heart , Lung and Blood Institute, 2010)

c. Tekanan Darah Tinggi ( Hipertensi )

  Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI, 2010) , hipertensi adalah suatu keadaan apabila tekanan darahnya melebihi normal, yaitu tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih tinggi manakala tekanan tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih tinggi.

  Menurut The Seventh Report Of The Joint National

  Committee On Prevention, Detection, Evaluation and Treatment Of High Blood Pressure (JNC 7), klasifikasi tekanan darah pada

  dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1, dan hiperetensi derajat 2.

  Tabel 3. Klasifikasi Tekanan Darah Kategori Sistolik Diastolik

  Normal < 120 < 80 Prehipertensi 120-139 80-89 Hipertensi stage 1 140-159 90-99 Hiperetensi stage 2

  ≥ 160 ≥ 100 Sumber: The Seventh Report Of The Joint National Commitee On Prevention, Detection, Evaluation and Treatment Of High Blood Pressure ( JNC ) ( 2003 )

II.2.4. Tekanan Darah Sistolik

  Tekanan darah sistolik adalah tekanan tertinggi yang terjadi selama ejeksi jantung dan merupakan denyut nadi Korotkov I yaitu suara denyut nadi mulai terdengar, tapi masih lemah dan akan mengeras setelah tekanan diturunkan 10- 5 mmHg. (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009; Adams, 2005) Aliran keluar darah dari ventrikel terjadi sewaktu sistolik.

  Proses-proses berikut terjadi selama sistolik: (Guyton & Hall, 2010) Pada awal sistolik terjadi kontraksi ventrikel, katup mitralis dan trikuspidalis A-V menutup. Otot ventrikel pada mulanya hanya sedikit memendek dan tekanan di ventrikel mulai meningkat secara tajam sewaktu miokardium menekan darah di dalam ventrikel. Tidak ada aliran darah keluar yang terjadi selama 0,2 sampai 0,3 detik pertama kontraksi ventrikel ( periode kontraksi isovolemik). Ketika tekanan ventrikel kiri melebihi tekanan aorta sebesar sekitar 80 mmHg dan tekanan ventrikel kanan melebihi tekanan arteri pulmonalis sebesar sekitar 8 ``mmHg, katup aorta dan pulmonalis membuka. Terjadi aliran darah keluar dari ventrikel, dan ini dinamai periode ejeksi Sebagian besar ejeksi darah terjadi selama bagian awal periode ini (periode ejeksi cepat)

  Periode ini diikuti oleh ejeksi lambat. Selama periode ini, tekanan aorta mungkin sedikit lebih besar daripada tekanan ventrikel karena momentum darah yang meninggalkan ventrikel diubah menjadi tekanan di aorta, yang sedikit meningkatkan tekanannya. Selama periode terakhir tekanan sistolik ventrikel turun di bawah tekanan aorta dan arteri pulmonalis. Dengan demikian, katup aorta dan pulmonalis menutup pada saat ini.

II.2.5. Tekanan Darah Diastolik

  Tekanan darah diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi selama ejeksi jantung dan merupakan denyut nadi Korotkof

  V yaitu titik dimana suara denyut menghilang. (Perhimpunan Dokter

  Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009; Adams, 2005) Ventrikel terisi oleh darah sewaktu diastolik. Proses-proses berikut terjadi tepat sebelum dan selama diastolik: (Guyton & Hall,

  2010 ) Sewaktu sistolik, katup A-V menutup, dan atrium terisi oleh darah.

  Pada waktu diastolik terjadi relaksasi isovolemik akibat relaksasi ventrikel. Ketika tekanan ventrikel menurun sehingga lebih kecil daripada tekanan atrium, katup mitralis dan trikuspidalis membuka Tekanan atrium yang lebih tinggi mendorong darah ke dalam ventrikel sewaktu diastolik Periode pengisian cepat ventrikel terjadi selama sepertiga pertama diastolik dan menghasilkan pengisian terbanyak.

  Kontraksi atrium terjadi selama sepertiga terakhir diastolik dan berkontribusi sekitar 25 persen dari pengisian ventrikel.

II.2.6. Tekanan Nadi

  Tekanan nadi adalah perbedaan atau selisih angka antara tekanan darah sistolik dan diastolik. (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009 )

  Secara fisiologis, kedua tekanan tersebut meningkat sepanjang hidup karena peningkatan stroke volume dan / atau

  peripheral vascular resistance (PVR). Pada usia lanjut, tekanan

  nadi meningkat dengan terjadinya peningkatan tekanan darah sistolik dan penurunan tekanan darah diastolik karena adanya peningkatan kekakuan arteri. Peningkatan tekanan nadi juga menyebabkan pulse wave velocity (PWV) yang lebih tinggi.

  Tekanan nadi dan PWV keduanya adalah tanda prognostik penting dari morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Pada orang yang lebih tua, semakin mereka berada pada risiko kejadian kardiovaskular, dan tingginya prevalensi dari isolated systolic

  hypertension disertai dengan tekanan nadi yang lebar tampaknya

  menjadi salah satu faktor yang paling penting. ( Tekanan nadi merupakan selisih antara tekanan darah sistolik dengan tekanan darah diastolik dimana peningkatan nilai tekanan darah diastolik sampai tekanan darah sistolik ditentukan oleh compliance aorta serta stroke volume ventrikel. Pendekatan secara sederhana dapat digambarkan mengenai compliance aorta yaitu : Compliance aorta = Stroke Volume (SV) / Tekanan nadi (PP). Suatu gambaran penting dari sistem arteri adalah bahwa

  compliance tergantung pada kondisi beban awal, sehingga menjadi

  berkurang pada tekanan yang lebih tinggi. Tekanan nadi bergantung pada ejeksi ventrikel kiri dan sifat dari dinding arteri, yang akan menentukan compliance dan karakteristik transmisi dari sistem arteri. (Anthony M., dkk, 2001)

  Pada sistem arteri, aorta memiliki compliance tertinggi sebagian karena proporsi yang relatif lebih besar dari serabut elastin dibandingkan dengan otot polos dan kolagen. Fungsi ini penting untuk mengurangi pulsasi ventrikel kiri, sehingga mengurangi tekanan nadi. Jika saluran pembuluh darah aorta kaku maka terjadi peningkatan tekanan nadi. Pada compliance aorta, saat darah dikeluarkan ke aorta maka dinding aorta berkembang untuk mengakomodasi peningkatan volume darah. Pada saat aorta mengembang, peningkatan tekanan ditentukan oleh compliance aorta pada kisaran volume tertentu. Semakin banyak compliance aorta, semakin kecil perubahan tekanan selama ejeksi ventrikel ( tekanan nadi lebih kecil) (lihat gambar 1). (Richard E.K., 2011)

  Gambar 1 . Hubungan antara perubahan volume aorta dan tekanan

  nadi aorta memiliki compliance normal dan compliance yang rendah. Pada pemberian stroke volume ke aorta, tekanan nadi aorta ditingkatkan ketika compliance berkurang.

  nd

  Sumber: Richard E.K. Cardiovascular Physiology Concepts.2 edition ; 2011 Oleh karena itu, compliance aorta merupakan penentu utama bersama dengan stroke volume pada tekanan nadi.

  Sehingga dapat disimpulkan: Tingginya compliance aorta (antara lain pada kekakuan aorta yang kurang dan aorta normal) memiliki tekanan nadi yang lebih kecil untuk memberikan stroke volume ke dalam aorta daripada aorta yang kaku.

  Suatu stroke volume yang lebih besar menghasilkan tekanan nadi yang lebih besar pada setiap compliance yang diberikan. Compliance aorta menurun sesuai dengan usia karena perubahan struktural, sehingga usia berhubungan dengan peningkatan pada tekanan nadi. Untuk stroke volume tertentu, compliance menentukan tekanan nadi.

  Karena pembuluh darah menampilkan compliance yang dinamis, adanya peningkatan ejeksi ventrikel akan meningkatkan tekanan nadi dibandingkan dengan volume yang sama dikeluarkan dengan kecepatan yang lebih rendah. Adanya bukti substansial yang menghubungkan tekanan nadi yang tinggi pada outcome kardiovaskular yang buruk, terdapat penelitian tentang mekanisme yang menghubungkan patologi tekanan nadi dengan kardiovaskular. Peningkatan tekanan nadi menginduksi disfungsi endotel yang dinilai pada reaktivitas asetilkolin di pembuluh darah kecil, dan disfungsi endotel tersebut menyebabkan atherosklerosis. Seperti yang telah dibahas, tekanan nadi juga berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri. Penjelasan mengenai hubungan antara tekanan nadi dan kardiovaskular terjadi oleh konsep secara dua arah yaitu suatu tekanan nadi yang tinggi adalah penyebab dan akibat dari atherosklerosis (Gambar 2). Jadi, jika terdapat penyumbatan pada pembuluh darah yang terdistribusi secara luas di seluruh sistem arteri, pada tahap presimptomatik, sumbatan pada pembuluh darah tersebut menyebabkan peningkatan arterial stiffness yang luas, ini bisa menyebabkan hubungan yang mendasar antara tekanan nadi dan peristiwa klinis di masa depan. (Anthony M., dkk, 2001)

  Gambar 2.

  Skema diagram yang menggambarkan konsep

bidirectionality hubungan antara tekanan nadi dan atherosklerosis.

Tekanan nadi yang tinggi meningkatkan kerusakan pembuluh darah, yang menyebabkan atherosklerosis, dan menghasilkan arterial

  

stiffness pembuluh darah dan meningkatkan wave reflection, sehingga

lebih lanjut meningkatkan tekanan nadi.

  Sumber: Anthony M., Bronwyn A. Kingwell. Pulse Pressure —A Review of Mechanisms and Clinical Relevance. J Am Coll Cardiol. 2001;37:975 – 84.

  Rentang normal pada tekanan nadi tidak diketahui. Dalam sebuah studi subjek hipertensi, orang-orang dengan tekanan nadi > 60 mmHg memilik massa ventrikel kiri yang lebih besar dibandingkan dengan tekanan nadi < 60 mmHg. Peningkatan tekanan nadi sekitar 10 mmHg meningkatkan risiko gagal jantung sekitar 14%, penyakit arteri koroner sekitar 12%, dan semua penyebab kematian sekitar 6% pada populasi berusia lebih dari 65 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan tekanan nadi setiap 10 mmHg meningkatkan risiko kematian akibat penyakit jantung sekitar 26% pada usia 25-45 tahun, dan sekitar 10% di usia 46-77 tahun. Nilai tekanan nadi yang lebih dari 55-60 mmHg harus diwaspadai untuk kemungkinan peningkatan kekakuan arteri dan risiko atherosklerosis. ( Lokaj P. dkk, 2011).

II.2.7. Tekanan Arteri Rata-Rata

  Tekanan arteri rata-rata adalah jumlah tekanan rata-rata selama siklus jantung dari seluruh tekanan yang dihitung milidetik demi milidetik selama periode waktu tertentu. Tekanan ini lebih mendekati ke tekanan diastolik daripada ke tekanan sistolik selama sebagian besar siklus jantung, terutama pada usia lanjut. Oleh karena itu, tekanan arteri rata-rata ditentukan sekitar 60 persen dari tekanan diastolik dan 40 persen dari tekanan sistolik. (Guyton & Hall, 2010)

  Tekanan arteri rata-rata merupakan gaya utama yang mendorong ke arah jaringan. Tekanan ini harus diukur secara ketat dengan dua alasan. Pertama, tekanan tersebut harus cukup tinggi untuk menghasilkan gaya dorong yang cukup; tanpa tekanan ini, otak dan jaringan lain tidak akan menerima aliran yang adekuat seberapapun penyesuaian lokal mengenai resistensi arteriol ke organ-organ tersebut terlalu tinggi sehingga menimbulkan beban kerja tambahan bagi jantung dan meningkatkan resiko kerusakan pembuluh serta kemungkinan rupturnya pembuluh-pembuluh halus. ( Sherwood, 2001 ).

  Mekanisme-mekanisme yang melibatkan integrasi berbagai komponen sistem sirkulasi dan sistem tubuh lain penting untuk mengatur tekanan darah arteri rata-rata. Dua penentu utama tekanan darah arteri rata-rata adalah curah jantung dan resistensi perifer total. Perubahan setiap faktor tersebut akan mengubah tekanan darah kecuali apabila terjadi perubahan kompensatorik pada variabel lain sehingga tekanan darah konstan. Aliran darah ke suatu jaringan bergantung pada gaya dorong berupa tekanan darah arteri rata-rata dan derajat vasokonstriksi arteriol-arteriol jaringan tersebut. Karena, tekanan arteri rata-rata bergantung pada curah jantung dan derajat vasokonstriksi arteriol, jika arteriol di salah satu jaringan berdilatasi, arteriol di jaringan lain akan mengalami konstriksi untuk mempertahankan tekanan darah arteri yang adekuat, sehingga darah mengalir tidak saja ke jaringan yang mengalami vasodilatasi tetapi juga ke otak, yang harus mendapatkan pasokan darah yang konstan. Dengan demikian variabel kardiovaskuler harus terus-menerus diubah untuk mempertahankan tekanan darah yang konstan walaupun kebutuhan jaringan akan darah berubah-ubah. ( Sherwood, 2001 )

II.3. Hubungan Tekanan Darah Sistolik Dengan Fungsi Kognitif

  Peningkatan tekanan darah sistolik dihubungkan dengan adanya penurunan fungsi kognitif. Dalam analisis ulang dari data yang dilaporkan awalnya tidak mendukung hubungan tekanan darah sistolik dengan kognitif, tekanan darah sistolik yang lebih tinggi dan peningkatan hipertensi yang kronis ditemukan berhubungan dengan fungsi kognitif yang lebih rendah diukur 12 sampai 14 tahun kemudian, sehingga disarankan perlunya pengobatan yang lebih agresif dimulai pada usia pertengahan terhadap tekanan darah sistolik. Secara keseluruhan penelitian longitudinal dari penelusuran tekanan darah sistolik pada usia pertengahan sampai tua menunjukkan tekanan darah sistolik yang tinggi mengalami peningkatan resiko stroke dan diabetes dan penyakit jantung iskemik. Tekanan darah diastolik cenderung menurun dengan bertambahnya usia , sedangkan tekanan darah sistolik terus meningkat tanpa memperhatikan usia. ( Swan GE dkk, 1998).

  Hasil penelitian Insel dkk (2005) menunjukkan hubungan yang dinamis antara peningkatan tekanan darah sistolik dan penurunan kognitif pada individu dalam kelompok tekanan darah yang normal. Peningkatan tekanan darah sistolik tetap menjadi kontributor yang penting bahkan setelah variabel demografi usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pendapatan ditambahkan. Konsisten dengan temuan ini, penelitian sebelumnya menggunakan rata-rata tekanan darah dari waktu ke waktu menemukan hubungan antara tekanan darah sistolik dan penurunan kognitif.

  Pada kasus tekanan darah sistolik yang tinggi, efek buruk difokuskan secara khusus pada fungsi memori, tekanan darah sistolik berada pada peningkatan resiko untuk berkurangnya pengetahuan verbal dan fungsi memori. Mekanisme potensial yang mendasari hubungan antara tekanan darah sistolik yang tinggi dan fungsi neurobehavior banyak kemungkinan yang ada termasuk gangguan perfusi cerebral, dengan akibat dampak negatif pada metabolisme sel otak ; infark serebral, atau adanya lesi pada white matter. Bahkan pada subjek hipertensi ringan, aliran darah regional otak berkurang pada korteks frontal dan basal ganglia, dibandingkan dengan subjek dengan tekanan darah yang normal.

  Pada hipertensi sedang sampai berat, metabolisme oksigen otak berkurang, dan prevalensi yang lebih tinggi pada pembesaran ventrikel dan lesi white matter. Penelitian terbaru yang melibatkan penggunaan MRI telah menemukan hubungan antara hipertensi dan atrofi otak, hiperintens periventricular, hiperintens white matter dan penurunan kognitif. Terdapatnya hiperintens white matter pada orang dewasa tua yang bebas dari penyakit telah terbukti berhubungan dengan fungsi kognitif yang lebih buruk pada kerja yang melibatkan kecepatan dan proses mental yang kompleks. Penelitian terbaru pada sampel besar pada subjek yang lebih tua juga menemukan hubungan antara temuan MRI dan kognitif. Temuan ini menunjukkan bahwa perubahan morfologi otak dapat mendasari hubungan yang diamati sebelumnya antara tekanan darah sistolik dan fungsi kognitif. (Swan GE dkk, 1998 )

  Tekanan darah sistolik pada usia pertengahan adalah prediktor yang signifikan dari penurunan fungsi kognitif dan pengukuran volume

  MRI untuk atrofi otak di akhir kehidupan. Karena penurunan fungsi neurobehavior berhubungan dengan penurunan volume otak dan

  peningkatan volume WMHIs, dan menyimpulkan bahwa dampak jangka panjang dari peningkatan tekanan darah sistolik pada penurunan fungsi

  neurobehavior pada kehidupan akhir kemungkinan diperantarai melalui

  peningkatan tekanan darah sistolik yang kronis yang mempunyai efek negatif pada karakteristik struktural otak. Meskipun secara klinis signifikan

  WMHIs merupakan masalah yang masih diperdebatkan, bukti baru-baru

  ini menunjukkan bahwa volume yang lebih besar pada WMHIs berhubungan dengan rendahnya tingkat fungsi kognitif, fungsi ekstremitas bawah, berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari dan membuat pasien menjadi depressi. (Swan GE dkk,1998)

  Pada penelitian Guo Z. dkk (1997) terdapat hubungan antara tekanan darah dan fungsi kognitif yang lebih kompleks pada usia lebih tua daripada kelompok usia lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik yang tidak diobati berhubungan dengan fungsi kognitif di atas usia 75 tahun. Data mereka mendukung pandangan bahwa tingkat tekanan darah tertentu terutama tekanan darah sistolik setidaknya kurang dari 130 mmHg, diperlukan untuk mempertahankan perfusi otak dan untuk menjaga fungsi kognitif terutama bagi mereka yang berusia 75 tahun atau lebih. Mereka juga menyarankan bahwa hipertensi berat yang tidak terkontrol dengan baik ( tekanan sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan diastolik ≥ 95 mmHg ) masih ancaman bagi fungsi kognitif pada kelompok usia ini.

II.4. Hubungan Tekanan Darah Diastolik Dengan Fungsi Kognitif

  Menurut penelitian Kilander L. dkk (1998) bahwa tekanan darah diastolik yang tinggi pada pemeriksaan awal di usia 50 tahun adalah berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif pada 20 tahun kemudian. Pengukuran cross sectional pada usia 70 tahun menunjukkan bahwa tekanan darah diastolik yang tinggi, resistensi insulin dan diabetes semuanya berhubungan dengan fungsi kognitif yang rendah. Hubungan antara hipertensi dan gangguan kognitif paling banyak terdapat pada pria dengan tanpa pengobatan antihipertensi. Tekanan darah yang tinggi merupakan prediktor independen terhadap penyakit serebrovaskular. Mereka menyimpulkan bahwa hipertensi berkontribusi terhadap gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut, ini dihubungkan melalui perubahan fungsional, atau dengan lesi otak pada pembuluh darah besar dan kecil.

  Berbeda dengan penelitian kohort dari Kilander L. dkk (2000) mengatakan bahwa tekanan darah diastolik yang rendah pada usia 50 tahun berhubungan dengan lebih banyaknya gangguan kognitif pada 20 tahun kemudian terhadap penilaian perhatian, kelancaran berbahasa dan kecepatan psikomotor. Tekanan darah yang rendah atau faktor-faktor lain yang berhubungan dengan tekanan darah yang rendah dapat bermanfaat dalam menjaga fungsi keutuhan subkortikal. Adanya hipotesis bahwa pengobatan anti hipertensi yang optimal dapat menjaga terhadap penurunan fungsi kognitif memerlukan investigasi yang lebih lanjut.