BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Stroke II.1.1. Definisi - Hubungan Chronic Pain Syndrome Paska Stroke dengan skor Mini Mental Status Examination dan skor modified Rankin Scale

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Stroke II.1.1. Definisi Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologis akut yang diduga

  disebabkan oleh iskemik atau hemoragik, menetap ≥ 24 jam atau sampai kematian, tetapi tanpa bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).

  Defenisi ini mencakup stroke akibat infark otak (stroke iskemik), perdarahan intraserebral (PIS) non traumatik, perdarahan intraventrikuler dan beberapa kasus perdarahan subarakhnoid (PSA) (Gofir, 2009).

II.1.2. Epidemiologi

  Stroke merupakan satu dari tiga penyebab terbesar kematian di Amerika Serikat, termasuk di banyak negara lainnya di dunia, setelah penyakit jantung dan kanker. Hampir ¾ juta individu di Amerika Serikat mengalami stroke tiap tahunnya dan dari jumlah tersebut sebanyak 150.000 (90.000 wanita dan 60.000 pria) meninggal akibat stroke. Di China, kira-kira 1,5 juta penduduk meninggal setiap tahun oleh karena stroke (Sacco dkk, 2000; Caplan, 2000).

  Penyakit serebrovaskuler (CVD) atau stroke yang menyerang kelompok usia diatas 40 tahun adalah setiap kelainan otak akibat proses patologi pada sistem pembuluh darah otak. Proses ini dapat berupa penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas maupun kualitas darah sendiri. Perubahan dinding pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer karena kelainan kongenital maupun degeneratif, atau akibat proses lain, seperti peradangan, aterosklerosis, hipertensi dan diabetes mellitus (Misbach, 2011).

II.1.3. Klasifikasi Stroke

  Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke berdasarkan atas patologi anatomi (lesi), stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah) (Misbach, 2011).

  1) Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:

  a) Stroke iskemik i) Transient Ischemic Attack (TIA) ii) Trombosis serebri iii) Emboli serebri b) Stroke hemoragik i) Perdarahan intraserebral ii) Perdarahan subarachnoid

2) Berdasarkan stadium:

  a) Transient Ischemic Attack (TIA)

  b) Stroke in evolution

  c) Completed stroke

3) Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah):

  a) Tipe karotis

  b) Tipe vertebrobasiler

II.1.4 Faktor Risiko

  Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor-faktor yang dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap timbulnya stroke. Faktor risiko timbulnya stroke : (Sjahrir, 2003 ; Nasution, 2007 ; Howard, dkk, 2009).

  1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :

  a. Umur

  b. Jenis kelamin

  c. Ras dan suku bangsa

  d. Faktor turunan

  e. Berat badan lahir rendah

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

a. Prilaku:

  1. Merokok

  2. Diet tidak sehat: lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol, kurang buah

  3. Alkoholik

  4. Obat-obatan: narkoba (kokain), anti koagulansia, antim platelet, amfetamin, pil kontrasepsi

  5. Kurang gerak badan

b. Fisiologis

  1. Penyakit hipertensi

  2. Penyakit jantung

  3. Diabetes mellitus

  4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus

  5. Gangguan ginjal

  6. Kegemukan (obesitas)

  7. Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit perdarahan

  8. Kelainan anatomi pembuluh darah

  9. Stenosis karotis asimtomatik Pada Interstroke study melaporkan bahwa faktor resiko stroke: ( O’Donnell ,dkk.2010)

  1. Riwayat hipertensi

  2. Current smoking

  3. Waist to hip ratio

  4. Aktifitas fisik regular

  5. Diabetes Mellitus

  6. Intake alkohol

  7. Psikososial stress

  8. Depresi

  9. Gangguan jantung 10.Rasio Apolipoprotein B dan A1.

II.1.5 Patofisiologi

  Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh emboli dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga disebabkan oleh berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu kaskade iskemik, yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak dan infark otak (Becker dkk, 2010).

  Pada stroke iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoksia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi berantai yang berakhir dengan kematian sel sel otak dan unsur-unsur pendukungnya. (Misbach, 2011).

  Iskemia dapat dibagi lagi menjadi tiga mekanisme yang berbeda: trombosis, emboli, dan penurunan perfusi sistemik (Caplan, 2009).

  1. Trombosis Trombosis mengacu pada obstruksi aliran darah karena proses oklusi lokal dalam satu atau lebih pembuluh darah. Lumen pembuluh darah yang menyempit atau tersumbat oleh perubahan dalam dinding pembuluh darah disertai pembentukan bekuan. Jenis yang paling umum dari patologi vaskular adalah aterosklerosis, di mana jaringan fibrous dan otot tumbuh terlalu cepat pada subintima, dan materi lemak membentuk plak yang dapat mengganggu pada lumen. Selanjutnya, platelet atau trombosit menempel ke celah-celah plak dan membentuk yang berfungsi sebagai nidus untuk pengendapan fibrin, trombin, dan clot. (Caplan, 2009).

  2. Emboli Pada emboli, materi terbentuk di tempat lain dalam sistem vaskular pada arteri dan memblok aliran darah. Penyumbatan bisa bersifat sementara atau dapat bertahan selama berjam-jam atau berhari-hari sebelum berpindah ke area yang lebih distal. Berbeda dengan trombosis, blok emboli lumen tidak disebabkan oleh proses lokal yang berasal pada arteri yang tersumbat. Materi yang muncul proksimal, paling sering dari jantung, dari arteri utama seperti aorta, karotis, dan arteri vertebralis, dan dari vena sistemik. (Caplan,2000).

  3. Penurunan Perfusi sistemik Dalam penurunan perfusi sistemik, berkurangnya aliran ke jaringan otak disebabkan oleh tekanan perfusi sistemik yang rendah. Penyebab yang paling umum adalah kegagalan pompa jantung (paling sering karena infark miokard atau aritmia) dan hipotensi sistemik (karena kehilangan darah atau hipovolemia). Dalam kasus tersebut, berkurangnya perfusi adalah lebih umum daripada trombosis lokal atau emboli dan mempengaruhi otak secara difus dan bilateral (Caplan, 2009).

  Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi – fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur mengalami kematian (Misbach, 2011) .

  Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003): Tahap 1 :

  a. Penurunan aliran darah

  b. Pengurangan O

  2

  c. Kegagalan energi

  d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion

  Tahap 2 :

  a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion

b. Spreading depression

  Tahap 3 : Inflamasi Tahap 4 : Apoptosis

  Perdarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbanyak setelah infark otak, yaitu 20 – 30% dari semua stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan di Asia Tenggara (ASEAN), pada penelitian stroke oleh Misbach (1997) menunjukkan stroke perdarahan 26%, terdiri dari lobus 10%, ganglionik 9%, serebellar 1%, batang otak 2% dan subrakhnoid 4%. (Misbach, 2011)

  Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas perdarahan intraserebral dan subarakhnoid.Sedangkan berdasarkan penyebabnya, perdarahan intraserebral dibagi menjadi perdarahan intraserebral primer dan sekunder. (Misbach 2011)

  Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan rupturnya arteri yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar. (Caplan, 2000)

  Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis. (Caplan, 2000)

  Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah terdapat di dalam otak atau massa pada otak, sedangkan pada perdarahan subrakhnoid, pembuluh yang pecah terdapat di ruang subarakhnoid, di sekitar sirkulus arteriosus Willisi. Pecahnya pembuluh darah disebabkan oleh kerusakan dinding arteri (arteriosklerosis) atau karena kelainan kongenital atau trauma. (Misbach, 2011)

  II.2. CHRONIC PAIN SYNDROME PASKA STROKE

  II.2.1. Definisi

  Sampai saat ini belum terdapat definisi yang baku untuk chronic pain

  

syndrome paska stroke. Terdapat beberapa tipe nyeri kronis yang dapat terjadi

  setelah stroke, yaitu: nyeri sentral paska stroke (CPSP), nyeri nosiseptif dan nyeri kepala ( Widar dkk, 2002). Nyeri sentral paska stroke (Central post stroke pain/ CPSP) merupakan kondisi nyeri neuropatik spesifik dimana nyeri ini disebabkan oleh lesi pada jalur somatosensori pada sistem saraf pusat yaitu jalur yang menghantarkan informasi dari stimulus noxious dan non-noxious dari perifer ke otak (Klit dkk, 2011).

  Nyeri nosiseptif sering mempengaruhi bahu dan berhubungan dengan perubahan dinamis akibat paresis atau kelemahan pada sisi yang terkena. Hal ini dapat terjadi akibat subluksasi sendi, robeknya rotator cuff dan cedera jaringan lunak (Widar dkk, 2002).

  Dikatakan nyeri kronik bila terdapat nyeri yang ditemukan konstan atau timbul berlangsung lebih dari 3 bulan ( Klit dkk, 2011).

  Bentuk chronic pain syndrome setelah stroke yang paling umum adalah nyeri bahu, CPSP, nyeri spastisitas dan nyeri kepala (Klit dkk, 2009).

II.2.2 Epidemiologi

  Studi epidemiologi mengenai chronic pain syndrome paska stroke saat ini masih sedikit. Prevalensi dari nyeri setelah stroke bervariasi antara 19-74% (Jonsson dkk, 2006). Pada satu studi di Denmark dilaporkan bahwa nyeri setelah stroke dijumpai dalam 2 tahun dengan tipe: nyeri kepala, nyeri sendi bahu dan sendi lainnya, nyeri karena spasme dan kaku otot, nyeri lainnya, dan nyeri bersama lebih dari satu jenis (Klit dkk, 2011).

  Pada studi PROFESS Trial ditemukan dari 15.754 pasien setelah stroke dijumpai 1.665 orang (10,6%) menderita chronic pain syndrome setelah stroke, dimana dari 10,6 % tersebut, terdapat 2,7 % dengan CPSP, dengan neuropati perifer (1,5%), dengan nyeri akibat spastisitas ( 1,3 %), dengan nyeri akibat subluxasi bahu (0,9%), dan dengan syndrome nyeri lainnya (4,7%). Terdapat 0,6 % dengan lebih dari 1 jenis nyeri (O’Donnell dkk, 2013).

  Gambar 1. Tipe chronic pain syndrome Dikutip dari Klit H, Finnerup NB, Jensen TS. 2009. Central Post- Stroke pain: Clinical Characteristics, Pathophysiology, and Management. Lancet Neurol.

  Pada suatu studi epidemiologi dilaporkan prevalensi nyeri sentral setelah stroke antara 1-12% (Klit dkk, 2009). Perkembangan CPSP dihubungkan dengan gangguan sensorik, dan pada satu studi ditemukan prevalensi CPSP tinggi sampai mencapai 18% pada pasien dengan defisit sensorik. Anderson menemukan bahwa CPSP ditemukan pada 8% dari seluruh pasien setelah stroke (Anderson dkk,1995).

  Usia, jenis kelamin, dan lokasi lesi bukan merupakan prediktor dari nyeri sentral paska stroke (Klit dkk, 2009).

II.2.3. Patofisiologi

  Mekanisme terjadinya nyeri kronis pada penderita setelah stroke masih belum sepenuhnya dipahami. Beberapa mekanisme yang diajukan antara lain ialah sensitisasi sentral, perubahan fungsi traktus spinotalamikus, teori disinhibisi dan perubahan thalamus (Klit dkk,2009).

  Pada teori sensitisasi sentral dikemukakan bahwa lesi pada susunan saraf pusat menghasilkan perubahan pada anatomis, neurokimiawi, eksitasi dan inflamasi, dimana semua keadaan tersebut dapat mencetuskan peningkatan eksitabilitas neuron. Kombinasi keadaan-keadaan tersebut dengan hilangnya inhibisi dan peningkatan fasilitasi, akan meningkatkan eksitabilitas yang dapat menyebabkan sensitisasi sentral, yang kemudian akan mengarah kepada terjadinya nyeri kronis (Klit dkk , 2009).

  Gangguan nyeri dan sensasi termal sering dijumpai pada pasien-pasien nyeri setelah stroke. Lesi traktus spinothalamikus diduga berperan terhadap berkembangnya gangguan tersebut. Hipersensitivitas terhadap tusukan dan stimulus termal khususnya sensasi dingin lebih banyak dijumpai pada pasien- pasien dengan nyeri setelah stroke daripada pasien stroke tanpa nyeri. (Klit dkk, 2009, Kumar dkk, 2009)

  Pada teori disinhibisi dikatakan bahwa ketidakseimbangan sistem fasilitasi dan inhibisi terhadap input yang masuk ke sistem saraf pusat, termasuk interaksi antara nukleus di batang otak dan korda spinalis dan sirkuit supraspinal thalamocortical berperan menyebabkan terjadinya nyeri kronis setelah stroke.

  Perubahan pada wilayah aliran darah serebral dapat divisualisasikan dengan menggunakan tehnik MRI atau SPECT (Single photon emission computed

  

tomography). Peningkatan aliran darah pada regio serebral di talamus, area

  somatosensori, parietal inferior, insula anterior, dan kortikal prefrontal medial ditemukan selama stimulasi area allodynia. Studi ini mengindikasikan bahwa perubahan somatosensori dan jalur nyeri terjadi setelah stroke diduga terjadi pada sistem nyeri di bagian lateral (lateral discriminative pain system). Thalamus diduga berperan penting dalam mekanisme terjadinya nyeri sentral, dan kejadian CPSP sering terjadi setelah lesi thalamus. (Klit dkk, 2009, Kim dkk, 2007)

  Thalamus diduga juga dapat berimplikasi pada nyeri sentral pada pasien- pasien dimana lesi tidak langsung melibatkan thalamus. Studi sebelumnya telah menunjukkan penurunan regio aliran darah serebral di thalamus dari pasien-pasien CPSP yang mengalami nyeri spontan saat istirahat. Hiperaktivitas thalamus juga telah ditunjukkan selama kejadian allodynia. Peningkatan aktivitas ditemukan pada nukleus kaudal ventral dari talamus pada pasien-pasien dengan nyeri sentral. Hilangnya inhibisi neuron-neuron yang terdiri dari GABA di thalamus dan aktivasi kontrol mikroglial juga diduga mendasari perubahan thalamus setelah lesi susunan saraf pusat (Klit dkk, 2009).

  Pada chronic pain syndrome paska stroke juga sering diakibatkan oleh nyeri bahu misalnya subluksasi dari sendi glenohumeral dan cedera jaringan lunak yang dapat diakibatkan kurang hati-hati saat latihan fisik dan spastisitas dari otot bahu (Widar dkk, 2002). Penyebab lain nyeri bahu juga dapat diakibatkan menurunnya kontrol postur dan keseimbangan yang memungkinkan tingginya resiko terjatuh (Lindgren dkk, 2007).

  Nyeri kepala kronis merupakan kejadian yang sering dialami pasien-pasien stroke. Nyeri kepala terdapat pada sekitar seperenam pasien pada permulaan

  

transient ischemic attack, sekitar 25% pasien stroke iskemik akut, sekitar 50%

  pasien perdarahan intraserebral, dan pada hampir semua pasien perdarahan subarakhnoid. Beratnya nyeri kepala tidak berkaitan dengan ukuran besarnya lesi stroke iskemik. Patofisiologi nyeri kepala mungkin diakibatkan oleh lepasnya zat vasoaktif, seperti serotonin dan prostaglandin dari trombosit yang diaktivasi oleh iskemia serebral kortikal (Lumbantobing, 2004). Beberapa studi melaporkan prevalensi kejadian nyeri kepala paska stroke sebesar 10%. Nyeri kepala pada pasien stroke berhubungan dengan kejadian patofisiologi dari stroke (Klit dkk, 2011).

  II.3 FUNGSI KOGNITIF

  II.3.1 Definisi

  Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar seperti berpikir, mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi, dan melakukan evaluasi (Strub dkk, 2000).

  Fungsi kognitif terdiri dari : (Kolegium Neurologi Indonesia,2008)

  1. Atensi Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus tertentu (spesifik) dengan mampu mengabaikan stimulus lain baik internal maupun eksternal yang tidak perlu atau tidak dibutuhkan.

  Setelah menentukan kesadaran, pemeriksaan atensi harus dilakukan saat awal pemeriksaan neurobehaviour karena pemeriksaan modalitas kognitif lainnya sangat dipengaruhi oleh atensi yang cukup terjaga.

  Atensi dan konsentrasi sangat penting dalam mempertahankan fungsi kognitif, terutama dalam proses belajar. Gangguan atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif. Gangguan atensi dapat berupa dua kondisi klinik berbeda. Pertama ketidakmampuan mempertahankan atensi maupun atensi yang terpecah atau tidak atensi sama sekali, kedua inatensi spesifik unilateral terhadap stimulus pada sisi tubuh kontralateral lesi otak.

  2. Bahasa Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Oleh karena itu pemeriksaan bahasa harus dilakukan pada awal pemeriksaan neurobehaviour. Jika terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak mungkin dilakukan.

  Gangguan bahasa (afasia) sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi klinikus untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik antara sindroma afasia dengan lesi neuroanatomi. Kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa penting, sehingga setiap gangguan berbahasa akan menyebabkan hendaya fungsional. Setiap kerusakan otak yang disebabkan oleh stroke, tumor, trauma, demensia dan infeksi dapat menyebabkan gangguan berbahasa.

  3. Memori Memori adalah proses bertingkat dimana informasi pertama kali harus dicatat dalam area korteks sensorik kemudian diproses melalui sistem limbik untuk terjadinya pembelajaran baru.

  Secara klinik memori dibagi menjadi tiga tipe dasar : immediate, recent dan remote memory berdasarkan rentang waktu antara stimulus dan recall. a. Immediate memory merupakan kemampuan untuk merecall stimulus dalam interval waktu beberapa detik b. Recent memory merupakan kemampuan untuk mengingat kejadian sehari- hari (misalnya tanggal, nama dokter, apa yang dimakan saat sarapan, atau kejadian-kejadian baru) dan mempelajari materi baru serta mencari materi tersebut dalam rentang waktu menit, jam, hari, bulan, tahun.

  c. Remote memory merupakan koleksi kejadian yang terjadi bertahun tahun yang lalu (misalnya tanggal lahir, sejarah, nama teman).

  Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien. Amnesia secara umum merupakan efek fungsi memori. Ketidakmampuan untuk mempelajari materi baru setelah brain insult disebut amnesia anterograd. Amnesia anterograd merujuk pada amnesia kejadian yang baru terjadi sebelum brain insult. Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada saat awal perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami kesulitan memori. Amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan tidak dijumpai defek recent memory.

  4. Visuospasial Kemampuan visuospasial dapat dievaluasi melalui kemampuan kontruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan kontruksi ini tetapi lobus parietal terutama hemisfer kanan mempunyai peran yang paling dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk skrining kemampuan visuospasial dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.

  5. Fungsi eksekutif Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan eksekutif diperankan oleh lobus frontal, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa semua sirkuit yang terkait engan lobus frontal juga menyebabkan sindroma lobus frontal. Istilah penurunan fungsi kognitif sebenarnya menggambarkan perubahan kognitif yang berkelanjutan, beberapa dianggap masih dalam kategori gangguan ringan.

  Beberapa pemeriksaan seperti trial making test A dan B dapat digunakan sebagai skrining untuk menilai fungsi eksekutif.

  Untuk menentukan gangguan fungsi kognitif, biasanya dilakukan penilaian terhadap satu domain kognitif atau lebih seperti memori, orientasi, bahasa, fungsi eksekutif dan praksis. Temuan dari berbagai penelitian klinis dan epidemiologis menunjukkan bahwa berbagai faktor biologis, prilaku, sosial dan lingkungan dapat berkontribusi terhadap risiko penurunan fungsi kognitif (Plasman dkk, 2010).

  Sebagai suatu pemeriksaan awal, pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE: Mini Mental State Examination) adalah penilaian yang paling banyak dipakai. Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah uji yang paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimum 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan tinggi. Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).

  Uji MMSE awalnya dikembangkan untuk skrining demensia, namun digunakan secara luas untuk pengukuran fungsi kognitif general. Uji MMSE kini adalah instrumen skrining yang paling luas untuk menilai status kognitif dan status mental pada usia lanjut (Kochhann dkk, 2009). Uji MMSE harus digunakan pada individu-individu dengan kecurigaan gangguan fungsi kognitif, namun tidak dapat digunakan untuk diagnosis demensia. Uji MMSE ini disebut “mini” karena hanya fokus pada aspek kognitif dari fungsi mental dan tidak mencakup pertanyaan tentang mood, fenomena mental abnormal dan pola pikiran. Mini Mental State

  

Examination menilai sejumlah domain kognitif, orientasi ruang dan waktu, working

  dan immediate memory, atensi dan kalkulasi, penamaan benda, pengulangan kalimat, pelaksanaan perintah menulis, pemahaman dan pelaksanaan perintah verbal, perencanaan dan praksis. Tes tersebut direkomendasikan sebagai alat skrining untuk penilaian kognitif global oleh American academy of Neurology (Kochhan dkk, 2010).

  Sebuah studi yang dilakukan pada 473 orang sehat yang berumur lebih dari 15 tahun dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang beragam di Medan didapatkan skor median MMSE berdasarkan usia dan lama pendidikan sebagai berikut: (Sjahrir dkk, 2001).

  >60

  

II.4 Nyeri Kronis Paska Stroke, Gangguan Kognitif dan Outcome

Fungsional

  21 Dikutip dari :Sjahrir H, Ritarwan K, Tarigan S, Rambe AS, Lubis ID, Bhakti I. 2001. The Mini Mental Stage Examination in Healthy Individual in Medan, Indonesia by Age and Education Level. Neurol J Southeast Asia; 6:19-22

  27

  26

  28

  28

  27

  Median

  21-30 31-40 41-50 51-60

  Tabel 1. Skor Median MMSE

  28 Usia (tahun) <20

  26

  26

  24

  Median

  10-12 >12

  0-6 7-9

  Lama Pendidikan ( tahun)

  Penyakit serebrovaskuler merupakan faktor resiko untuk terjadinya kegagalan fungsi kognitif. Stroke telah banyak dihubungkan dengan gangguan fungsi kognitif. Konsep klasik mengimplikasikan bahwa demensia yang berasal dari vaskuler merupakan hasil dari suatu volume kritis dari jaringan otak yang infark. Lokasi lesi juga dikatakan berpengaruh pada gangguan tersebut. Demensia setelah stroke telah dilaporkan berhubungan dengan pasien-pasien dengan lesi

  

subcortical white matter yang luas. Disrupsi dari subkortikofrontal dan

  talamocortikal sekalipun kecil dan terisolasi dapat menyebabkan demensia. Lesi

  

white matter yang luas mencerminkan kerusakan axon yang tersebar dengan

  konsekuensi terputusnya fungsi dari korteks secara luas. Pada pasien dengan cerebral microangiopathy, gangguan neurofisiologi berkorelasi dengan hipoperfusi kortikal dan hipometabolisme tetapi tidak dengan luasnya lesi white matter. Atrophy corpus calosum merupakan prediktor gangguan kognitif global pada pasien dengan lesi white matter (Haring, 2002).

  Nyeri kronis paska stroke telah banyak dilaporkan. Nyeri neurogenik seperti CPSP dilaporkan terjadi sekitar 8% penderita stroke. Nyeri nosiseptif yang mempengaruhi bahu dan lengan terjadi pada 22% penderita stroke, nyeri kepala tipe tension terjadi pada 8% penderita stroke. Kondisi nyeri yang kronis, rekuren ataupun persisten telah dilaporkan dapat mempengaruhi fungsi fisik dan berhubungan dengan gangguan mood. Nyeri yang berlangsung lama dapat memicu stres pada penderita dan keluarga yang berakibat berpengaruhnya aktivitas kehidupan sehari-hari. Respon terhadap nyeri kronis ini bervariasi diantara penderita. Hal tersebut dapat dilihat dari 4 sudut pandang, yaitu : fisik, fungsional, psikologi dan sosial. Dimana aspek fisik berkaitan dengan gejala dari penyakit; aspek fungsional berkaitan dengan perawatan diri dan tingkat aktifitas fisik; aspek psikologi berkaitan dengan fungsi kognitif, status emosional, kepuasan hidup, dan kegembiraan; dan aspek sosial berkaitan dengan kontak sosial dan interaksi. (Widar dkk, 2002).

  Dalam suatu studi PRoFESS Trial dilaporkan terjadinya penurunan dalam skor MMSE >3 terjadi pada 10,7% pasien dengan nyeri kronis setelah stroke dibandingkan dengan 8,8% pada pasien-pasien tanpa nyeri kronis setelah stroke. Pada studi tersebut juga dilaporkan terdapatnya penurunan dalam m-Rankin scale ≥1poin pada 13,7% pasien dengan nyeri kronis setelah stroke dibandingkan dengan 8,7% pada pasien tanpa nyeri kronis setelah stroke (O’Donnell dkk , 2013).

  Pengaruh nyeri pada fungsi kognitif tidak langsung berhubungan dengan gambaran diskriminasi sensoris. Secara spesifik dikatakan bahwa kegagalan kognitif pada pasien-pasien dengan nyeri kronis berhubungan dengan perubahan

  

mood dan stres emosional, juga dengan gangguan lain seperti gangguan tidur,

  kelelahan, dan kegagalan melakukan aktifitas sehari-hari. Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa stres psikologis dan emosi negatif lebih berhubungan dengan defisit kognitif pada pasien-pasien dengan nyeri kronis daripada keparahan nyeri (Hart dkk, 2003).

II.8 Kerangka Teori Paska Stroke

  O’Donnell MJ,dkk,2013: Chronic pain Widar M,dkk:,2002 Nyeri bahu syndrome merupakan komplikasi berhubungan dengan stroke iskemik. perubahan dinamis akibat paresis pada sisi terkena mengakibatkan subluksasi

  Klit H, 2011: bentuk chronic pain sendi, robeknya rotator cuff syndrome paling umum nyeri bahu, dan cedera jaringan lunak.

  CPSP, nyeri spastisitas dan nyeri kepala.

  

Chronic pain Syndrome

O’Donnell

  O’Donnell MJ.2013:spastisitas/ MJ.2013:Penurunan outcome( mRS >1 shoulder subluxation point) dijumpai 13,7 % signifikan berhubungan . pada Chronic pain dengan penurunan kognitif syndrome setelah stroke

  Widar dkk,2002: kondisi nyeri Klit H,2009: Nyeri kronis, rekuren atau persisten kronis setelah dapat mempengaruhi fungsi stroke menurunkan fisik dan berhubungan kualitas hidup, mempengaruhi dengan gangguan mood. mood, tidur dan fungsi sosial

  Gangguan Fungsi Outcome Fungsional kognitif

II.9 Kerangka Konsep STROKE

  CHRONIC PAIN SYNDROME GANGGUAN KOGNITIF OUTCOME FUNGSIONAL