BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Polimorfisme Gen Beta Fibrinogen-455 G ke A Pada Pemberian Aspirin Dan Efeknya Terhadap Skor Barthel Indeks Dan Modified Rankin Scale Penderita Stroke Iskemik Berdasarkan Kelompok Usia
2.1 Stroke
2.1.1 Pandangan Umum Stroke Genetik Berdasarkan studi The Ischemic Stroke Genetic Study (ISGS) dikatakan bahwa dasar terjadinya risiko genetik pada stroke iskemik bersifat multigenetik dan melibatkan faktor lingkungan (Meschia et. al, 2003). Kadar fibrinogen juga dapat dipakai sebagai prediktor kejadian risiko penyakit kardiovaskuler, terutama bagi populasi yang tergolong risiko tinggi (kadar fibrinogen plasma >3 g/dl). Kadar fibrinogen tampaknya sangat ditentukan oleh faktor genetik (Ernst et. al., 1993; Kamath et. al., 2003).
2.1.1.1 Definisi Stroke Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut yang disebabkan oleh iskemik atau perdarahan yang berlangsung 24 jam atau meninggal, tetapi tidak memiliki bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco et. al., 2013). Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark fokal serebral, spinal, dan infark retinal. Infark susunan saraf pusat adalah kematian sel pada otak, medulla spinalis, atau sel retina akibat iskemia berdasarkan patologi, pencitraan atau bukti objektif dari injury fokal iskemik pada serebral, medulla spinalis atau retina pada suatu distribusi vaskular tertentu, atau bukti klinis dari injury fokal
16 iskemik pada serebral, medulla spinalis atau retina berdasarkan gejala yang bertahan > 24 jam atau meninggal, dan etiologi lainnya yang telah disingkirkan (Sacco et. al., 2013).
2.1.1.2 Epidemiologi Stroke Stroke merupakan satu dari tiga penyebab terbesar kematian di
Amerika Serikat, termasuk di banyak Negara lainnya di dunia, setelah penyakit Jantung dan kanker (Caplan, 2000). Insiden stroke bervariasi di negara-negara Eropa dan diperkirakan antara 100 – 200 kasus stroke baru per 100.000 penduduk per tahun (Hacke et. al., 2003). Rerata insiden stroke di Amerika Selatan per tahun adalah 0,35 – 1,83 per 1000 penduduk (Saposnik et al., 2003). Insiden di Australia per tahun adalah 2,06 per 1000 penduduk (pria 1,95 dan wanita 2,17) (Thrift et. al., 2001; Sturm et. al.,2004). Insiden di Jerman didapatkan per tahun 1,74 per 1000 penduduk (pria 1,47 dan wanita 2,01) (Kolominsky-Rabas et. al., 1996). Di Jepang insiden stroke per tahun pada populasi usia di atas 35 tahun, pria 2,687 per 1000 penduduk dan wanita 1,675 (Kita et. al., 1999).
Insiden pertahun berdasarkan tipe stroke di Australia adalah stroke infark 72,5%, perdarahan intraserebral 14,5%, dan perdarahan subaraknoid 4,3%. Persentase kematian dalam 28 hari pada stroke infark adalah sebesar 2%, perdarahan intraserebral 45%, perdarahan subaraknoid 50% (Thrift et. al., 2001). Di Jerman insiden per tahun pada stroke infark adalah sebesar 1,37 per 1000 penduduk, perdarahan intraserebral 0,24 per 1000 penduduk, perdarahan subraknoid sebesar
0,06 per 1000 penduduk. Seluruh persentase kasus kematian dalam 28 hari adalah sebesar 19,4%, dalam 3 bulan sebesar 28,5%, dan dalam 1 tahun 37,3% (Kolominsky et. al., 1998).
Di Indonesia walaupun data epidemiologik yang lengkap dan akurat belum ada, dengan meningkatnya umur harapan hidup bangsa Indonesia, dijumpai tendensi penderita stroke akan meningkat pada masa yang akan datang. Dari hasil Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia dilaporkan bahwa stroke di rumah sakit antara tahun 1985 sampai dengan tahun 1986 meningkat, yaitu 0,72 per 100 penderita pada tahun 1984 dan kemudian naik menjadi 0,89 per 100 penderita pada tahun 1985 dan 0,96 per 100 penderita pada tahun 1986. Dilaporkan pula bahwa prevalensi stroke adalah 35,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1986, sedangkan di Yogyakarta morbiditas stroke di rumah sakit pada tahun 1991 menunjukkan kecendrungan meningkat dibandingkan dengan laporan penelitian sebelumnya pada tahun 1989. Menurut studi populasi di daerah Bogor dan sekitarnya tahun 2001, Misbach et. al. (2011) mendapatkan estimasi insidens stroke adalah 234/100.000, di Insidens daerah rural lebih rendah daripada daerah metropolitan. Dari studi rumah sakit yang dilakukan di Medan pada tahun 2001, ternyata pada 12 rumah sakit di Medan dirawat 1263 kasus stroke yang terdiri dari 821 stroke iskemik dan 442 stroke hemoragik, diantaranya meninggal 201 orang (15,91%) yaitu 98 orang (11,93%) stroke iskemik dan 103 orang (23,30%) stroke hemoragik (Nasution, 2007; Misbach, 2011).
Prasetyo et.al.(2011) mengatakan dari 110 subjek penelitian berdasarkan sebaran waktu kedatangan (likelihood of behavior change) penderita stroke di Rumah Sakit dengan onset di bawah 3 jam adalah 24,5%, subjek yang datang di atas 3 jam adalah 75,5%, dan datang setelah 1 hari 41,8%. Berdasarkan sebaran Modifying Factors, usia yang terbanyak mengalami stroke adalah usia 41 – 64 tahun sebesar 56,4%, disusul usia lanjut (> 65 tahun) yaitu sebesar 37,3%, dan usia muda (< 40 tahun) sebesar 6,4%. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki 57,3% dan wanita 42,7%. Berdasarkan kondisi saat datang ke rumah sakit, sadar sebanyak 46,4% dan kesadaran menurun sebanyak 53,6%.
Agustini et. al. (2010) melaporkan gambaran stroke pada wanita di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkosumo yang diilakukan pada tahun 2003 – 2009, hasilnya didapatkan 1744 data pasien stroke, yaitu pasien wanita sebanyak 793 kasus (45,4%), sedangkan laki-laki sebanyak 951 kasus (54,5%). Jenis atau tipe stroke yang terbanyak pada wanita adalah stroke iskemik (64,7%). Berdasarkan kelompok umur di bawah 45 tahun adalah sebanyak 131 kasus (16,5%), 45 – 54 tahun sebanyak 239 kasus (30,1%), dan di atas 55 tahun sebanyak 423 (53,3%) kasus. Pada penelitian ini juga didapatkan rerata umur penderita wanita adalah 56 tahun dengan umur stroke termuda adalah 14 tahun dan umur tertua adalah 91 tahun.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar di Indonesia pada tahun 2008, Stroke masih merupakan penyebab kematian, yaitu umur di atas 5 tahun
15,4%, umur 45 – 54 tahun 15,9%, dan umur 55 – 64 tahun 26,0% (Riskesdas, 2008).
2.1.2 Klassifikasi Stroke Dasar klasifikasi yang berbeda-beda diperlukan sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan, dan prognosis yang berbeda walaupun patogenesisnya sama (Misbach, 2011).
2.1.2.1 Berdasarkan Patologi Anatomi dan Penyebabnya:
1. Stroke iskemik Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark fokal serebral, spinal dan infark retinal. Dimana infark susunan saraf pusat adalah kematian sel pada otak, medulla spinalis, atau sel retina akibat iskemia, berdasarkan: patologi, pencitraan atau bukti objektif dari injury fokal iskemik pada serebral, medulla spinalis atau retina pada suatu distribusi vaskular tertentu, atau bukti klinis dari injury fokal iskemik pada serebral, medulla spinalis atau retina berdasarkan gejala yang bertahan > 24 jam atau meninggal dan etiologi lainnya telah disingkirkan (Sacco et al, 2013). Pada stroke iskemik dapat disebabkan oleh tiga macam mekanisme, yakni
yang bersifat temporer akibat gangguan peredaran darah otak, timbul mendadak, dan menghilang dengan cepat (< 24 jam) tanpa gejala sisa (Hacke, 2003) b. Thrombosis serebri adalah obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi pada satu pembuluh darah lokal atau lebih (Hacke, 2003, Bogousslavsky et. al., 2012).
c. Embolia serebri adalah pembentukan material dari tempat lain dalam sistem vaskuler dan tersangkut dalam pembuluh darah tertentu sehingga memblokade aliran darah (Hacke, 2003, Bogousslavsky et al., 2012).
2. Stroke hemoragik Stroke hemoragik adalah gangguan fungsi otak fokal yang berlangsung lebih dari 24 jam atau lebih yang disebakan perdarahan spontan dalam jaringan otak akibat pecah pembuluh darah (Hacke, 2003, Bogousslavsky et. al., 2012). Stroke hemoragik terdiri atas:
a. Perdarahan intraserebral yaitu perdarahan spontan ke dalam substansi otak yang penyebabnya bisa hipertensif dan nonhipertensif (Caplan, 2000, Bogousslavsky et. al., 2012).
b. Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan yang terjadi pada ruang subaraknoid, yang penyebabnya bisa trauma dan spontan (Caplan, 2000, Bogousslavsky et. al., 2012).
2.1.2.2 Berdasarkan Stadium/ Pertimbangan Waktu:
Pada TIA/ serangan otak sepintas gejala neurologi yang timbul akan cepat menghilang dalam beberapa menit sampai kurang dari 24 jam. Dari gejala yang ditimbulkan TIA dapat dibedakan dari sumber alirannya, yakni TIA sistem karotis dan TIA sistem vertebrobasiler (Caplan, 2000; Misbach, 2011).
2. Stroke in Evolution (Progressing Stroke)
Pada bentuk ini kelainan yang ada masih terus berkembang (sedang berlangsung) ke arah yang lebih berat (Caplan, 2000; Misbach, 2011).
3. Completed Stroke
Pada bentuk ini diartikan bahwa kelainan neurologis yang ada sifatnya sudah menetap (Caplan, 2000; Misbach, 2011).
2.1.2.3 Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah: Gejala klinis stroke pada sistem karotis atau stroke hemisfer yakni: daerah otak yang mendapat darah dari arteri karotis interna terutama lobus frontalis, parietalis, basal ganglia dan lobus temporalis. Gejala timbul sangat mendadak berupa hemiparesis, hemihipastesi, bicara pelo (Caplan, 2000; Adams et. al., 2001 ; Misbach, 2011; Saco et. al., 2013).
Gejala klinis stroke pada sistem vertebrobasiler atau stroke fosa posterior tergantung kepada cabang-cabang sistem vertebrobasiler yang terkena, yakni:
a. Cabang-cabang panjang, misalnya arteri serebri inferior posterior yang jika tersumbat akan memberikan gejala-gejala sindroma
wallenberg yaitu infark di bagian dorso lateral tegmentum medulla
oblongata.b. Cabang-cabang paramedian: sumbatan cabang-cabang yang lebih pendek memberikan gejala klinik berupa sindroma weber, hemiparesis alternans dari berbagai saraf kranial dari mesensefalon atau pons.
c. Cabang-cabang perforating branches memberikan gejala-gejala sangat fokal seperti internuclear ophtalmoplegia (Adams et. al., 2001; Misbach, 2011; Saco et. al., 2013).
2.1.2.4 Berdasarkan tipe stroke :
a. Total Anterior Circulation Infarction, gambaran klinis yaitu hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi lesi), hemianopia (kontralateral sisi lesi), gangguan fungsi luhur.
b. Partial Anterior Circulation Infarction, gambaran klinis yaitu defisit motorik/ sensorik dan hemianopia, defisit motorik/ sensorik disertai gejala fungsi luhur, gejala fungsi luhur dan hemianopia, defisit motorik/ sensorik murni yang kurang ekstensif dibandingkan dengan infark lakunar, serta gangguan fungsi luhur saja.
c. Posterior Circulation Infarction, gambaran klinis yaitu disfungsi saraf otak, satu atau lebih sisi ipsilateral dan gangguan motorik/ sensorik kontralateral, gangguan motorik/ sensorik bilateral, gangguan gerakan konjugat mata (horizontal atau vertical), disfungsi serebellar dan buta kortikal.
d. Lacunar Infarction. gambaran klinis yaitu tidak ada defisit visual, tidak ada gangguan fungsi luhur dan tidak ada gangguan fungsi batang otak, defisit maksimum pada satu cabang arteri kecil, dengan gejala motorik murni, sensorik murni serta ataksia hemiparesis (Caplan, 2000; Sjahrir, 2003; Misbach, 2011; Sacco
et. al., 2013):
2.1.2.5 Klasifikasi Stroke Iskemik Berdasarkan Kriteria Kelompok Peneliti TOAST
Aterosklerosis arteri besar (Embolus/ Trombosis), kardio embolism (Risiko Tinggi/ Risiko Sedang), oklusi pembuluh darah kecil (Lakunar), Stroke akibat dari penyebab lain yang menentukan, dan Stroke akibat dari penyebab lain yang tak dapat ditentukan: dua atau lebih penyebab teridentifikasi dan tidak ada evaluasi serta evaluasi tidak lengkap (Caplan, 2000; Adams et. al., 2001; Sjahrir, 2003; Sacco et. al., 2013).
2.1.3 Faktor Risiko Stroke Faktor risiko terhadap terjadinya stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan kemungkinan untuk dimodifikasi atau tidak (nonmodifiable,
modifiable, atau potentially modifiable) dan bukti yang kuat (Well documented atau less well documented).
1. Usia Usia merupakan faktor risiko yang penting. Insidens stroke meningkat secara eksponensial seiring dengan meningkatnya umur (Caplan, 2000).
Usia rerata stroke dari data 28 Rumah Sakit di Indonesia adalah 58,8 + 13,3 tahun dengan kisaran umur 18 – 95 tahun. Usia rerata wanita lebih tua dari pada pria (60,4 + 13, 8 tahun versus 57,5 + 12,7 tahun. Usia kurang dari 45 tahun sebanyak 12,9% dan lebih dari 65 tahun sebanyak 35,8%. Dari data ini terlihat peningkatan kejadian stroke yang berkorelasi dengan bertambahnya usia (Misbach, 2011). Chuang et. al. (2009) yang meneliti kadar fibrinogen plasma di Taiwan menjelaskan bahwa prediktor independen pada stroke iskemik pada community based follow up The
CardioVascular Disease Risk Factors Two-township Study (CVDFACTS)
selama 10,4 tahun, adalah pada kadar fibrinogen rendah (kurang dari 7.03 umol/L) pada usia 41,7 + 14,0, kadar fibrinogen sedang (7,03 – 8,79 umol/L) pada usia 46,3 + 14,6, dan kadar fibrinogen tinggi (> 8,79) pada usia 51,2 + 14,8. Di dalam analisis chi-square test pada perbandingan kadar fibrinogen tertile ini dijumpai hubungan yang bermakna antara usia dan kadar fibrinogen plasma sebagai faktor independen stroke iskemik (p < 0,0001).
2. Jenis Kelamin Berdasarkan studi Framingham, kejadian stroke pada pria rata-rata
2,5 kali lipat lebih sering dari pada wanita (Misbach, 2011). Peneliti Chuang et. al. (2009) mengatakan insiden rate pada pria (4,83 per 1000 penduduk pertahun) lebih tinggi dari pada wanita (2,97 per 1000 penduduk per tahun). Sebaliknya Goldstein (2006) mengatakan wanita sedikit lebih tinggi dibandingkan pria berdasarkan age specific incidence
rate pada umur 35 – 44 tahun dan umur di atas 85 tahun.
3. Berat Badan Lahir Rendah.
Angka mortalitas stroke, di Inggeris dan Wales lebih tinggi pada penderita dengan berat badan lahir rendah (Goldstein, 2006).
4. Ras/ Etnis Berdasarkan studi ARIC (Atherosclerosis Risk in Communities) dijelaskan bahwa kaum ras kulit hitam lebih tinggi insidens stroke yaitu
38% dibandingkan dengan kaum ras kulit putih. Sebaliknya, insidensi stroke juga lebih tinggi pada etnis grup di Asia (Caplan, 2000; Goldstein, 2006; Sacco et. al., 2013).
5. Genetik Berdasarkan studi ISGS (The Ischemic Stroke Genetic Study) mengatakan dasar terjadinya resiko genetik pada stroke iskemik bersifat multigenik dan melibatkan beberapa faktor lingkungan. Adanya mutasi gen pada coding region mempunyai hubungan dengan stroke iskemik.
Misalnya polimorfisme gen beta fibrinogen G455A, C148T, G448A, C807T dan glycoprotein (GP) reseptor Ia/IIa, Ib/IX/V, dan IIb/IIIa (Meschia et. al., 2003).
1. Well-documented and Modifiable Risk Factors: a.Hipertensi
Hipertensi menyerang 65 juta orang di Amerika Serikat dan merupakan faktor risiko mayor terjadinya stroke iskemik dan stroke perdarahan. Peningkatan risiko stroke terjadi seiring dengan peningkatan tekanan darah (Goldstein, 2006). Penderita hipertensi hanya kurang 30% yang diobati dan terkendali dengan tekanan darah 140/90 mmHg. Risiko terjadinya stroke trombotik berkisar antara 4,5 kali dibandingkan dengan normotensi. Akan tetapi, pada usia lebih dari 65 tahun hanya 1,5 kali dibanding normotensi (Misbach, 2011). Pada The British Regional Heart
Study dijelaskan bahwa laki-laki dengan tekanan darah sistolik antara 160
- – 180 mmHg mengalami resiko stroke 4 kali daripada pria dengan tekanan darah dibawah 160 mmHg. Pada tekanan diastolik di atas 180 mmHg mempunyai 6 kali lipat risiko terjadinya stroke. Risiko relatif stroke untuk kenaikan 10 mmHg tekanan darah diastolik adalah 1,9 untuk laki-laki dan 1,7 untuk wanita setelah disesuaikan dengan faktor risiko lainnya (Sacco, 2000).
b. Paparan asap rokok Rokok adalah faktor risiko stroke iskemik. Berdasarkan studi meta - analisis dari 32 studi dikatakan bahwa risiko relatif pada stroke iskemik adalah 1,9 (95% CI 1,7 - 2,2) bagi perokok dan bagi bukan perokok serta 2,9 (95% CI 2,5 – 3,5) pada stroke subaraknoid (Goldstein, 2006). Rokok adalah determinan independen yang menyebabkan penebalan pembuluh darah arteri karotis, yang disebabkan oleh meningkatnya koagulabilitas, viskositas darah, kadar fibrinogen, platelet aggregasi, dan tekanan darah (Ernst et al., 1988; Misbach, 2011; Saco et. al., 2013).
c. Diabetes Diabetes melitus merupakan problem endokrinologis yang menonjol dalam pelayanan kesehatan dan juga sudah terbukti sebagai faktor risiko stroke. Berdasarkan studi epidemiologi risiko relatif penderita diabetes pada stroke iskemik adalah 1,8 sampai dengan 6 kali lipat (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011; Saco et. al., 2013).
d. Atrial Fibrilasi dan Beberapa Kondisi Jantung Tertentu Angka thrombo-embolism pada penderita kelainan katup jantung adalah 4,4 per 100 pasien tanpa terapi antithrombotik dan 2,2 per 100 pasien dengan obat antiplatelet, serta 1 per 100 pasien dengan warfarin. Atrial Fibrilasi dapat meningkatkan insidens stroke 3 - 4 kali lipat pada stroke emboli. Prevalens atrial fibrilasi dapat meningkat sesuai umur, yaitu 5% pada usia > 70 tahun. Rerata usia penderita Atrial Fibrilasi adalah 75 tahun (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001;Goldstein, 2006; Saco et. al., 2013).
e. Dislipidemia Tiga studi prospektif pada laki-laki menunjukkan peningkatan stroke iskemik pada kadar kolesterol di atas 240 – 270 mg/ dl. HMG CoA-
reductase inhibitor (statin) yang dapat digunakan sebagai pencegahan
stroke iskemik dengan Coronary Artery Disease (CAD). HDL kolesterol berhubungan dengan stroke iskemik. Angka HDL <30 – 35 mg/dl dan LDL <130 mg/dl dapat menurunkan risiko stroke (Caplan, 2000; Goldstein, 2006; Saco et. al., 2013).
f. Stenosis arteri karotis
Carotid End Arterectomy (CEA) profilaksis dapat dilakukan pada
penderita stenosis arteri karotis asimptomatik dengan seleksi ketat, yaitu minimal 60% dengan angiografi, dan 70% dengan Doppler ultrasound (Goldstein, 2006; Misbach,2011; Guideline Stroke, 2011).
g. Sickle Cell Disease
Sickle Cell Disease (SCD) merupakan penyakit turunan akibat autosomal recessive yang disebabkan oleh abnormalnya gen pada hemoglobine beta chain (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001;Goldstein, 2006).
h. Terapi Hormonal Pascamenopause Berdasarkan The Heart and Estrogen/ Progesterone replacement
study (HERS) dijelaskan bahwa terapi hormonal tidak ada efeknya
sebagai pencegahan stroke primer pada penderita pascamenopause (Caplan, 2000; Goldstein,2006; Saco et. al., 2013). i. Diet yang Buruk
Penurunan masukan natrium dan peningkatan masukan kalium direkomendasikan untuk menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi. Metode Dietary Approach to stop Hypertension (DASH) yang menekankan pada konsumsi buah, sayur, dan produk susu rendah lemak dapat menurunkan tekanan darah serta merupakan diit yang direkomendasikan (Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011). j. Inaktivitas fisik
Peningkatan aktivitas fisik direkomendasikan karena berhubungan dengan penurunan risiko stroke. Pada orang dewasa direkomendasikan untuk melakukan aktivitas fisik aerobik minimal selama 150 menit (2 jam 30 menit) setiap minggu dengan intensitas sedang atau 75 menit (1jam 15 menit) setiap minggu dengan intensitas lebih berat (Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011; Sacco et. al., 2013). k. Obesitas
Pada individu overweight dan obesitas, penurunan berat badan dipandang cukup beralasan dapat menurunkan risiko stroke. Penurunan berat badan sebaiknya dilakukan dengan target Body Mass Index (BMI) <
2
25 kg/ m , garis lingkar pinggang < 80 cm untuk wanita dan < 90 cm untuk laki-laki (Goldstein,2006; Guideline Stroke, 2011).
a. Sindroma Metabolik Sindroma metabolik merupakan suatu pertanda prediktor pada
coronary heart disease dan cardiovascular disease (coronary heart disease dan stroke). Rekomendasi pada sindroma metabolik adalah
perubahan gaya hidup (seperti latihan, penurunan berat badan dan diet yang teratur) serta farmakoterapi (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Goldstein, 2006).
b. Penyalahgunaan Alkohol Laki-laki sebaiknya mengkonsumsi alkohol tidak lebih dari 2 gelas/ hari dan wanita tidak hamil mengkonsumsi tidak lebih dari 1 gelas/ hari
(Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Goldstein, 2006).
c. Penggunaan Kontrasepsi Oral Penyalahgunaan obat seperti kokain, heroin, fenilpropanilamin, dan konsumsi alkohol akan menyebabkan tekanan darah meningkat sehingga dapat menyebabkan stroke hemoragik (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Goldstein, 2006).
d. Sleep-Disordered Breathing (SDB) Sleep-Disordered Breathing berhubungan dengan faktor risiko vaskuler dan morbiditas kardiovaskuler lain. Evaluasi adanya SDB dengan anamnesis yang teliti dan bila perlu dengan tes khusus direkomendasikan untuk dilakukan terutama pada individu dengan obesitas abdomen, hipertensi, penyakit jantung, atau hipertensi yang resisten terhadap obat (Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011).
e. Nyeri Kepala Migren Mengingat adanya hubungan antara frekuensi migren yang sering dengan risiko stroke (migraineus infarction), pengobatan untuk menurunkan migren cukup beralasan (Caplan, 2000; Goldstein, 2006).
Pemberian vitamin B komplek, piridoksin (B6), kobalamin (B12), dan asam folat berguna menurunkan kadar homosistein darah dan mencegah terbentuknya aterosklerosis (Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011).
g. Peningkatan lipoprotein (a) Pemberian niacin cukup beralasan untuk pencegahan stroke iskemik pada penderita dengan Lp(a) yang tinggi (Goldstein, 2006; Guideline,
2011).
h. Peningkatan Lipoprotein-Associated Phosphilipase Peningkatan plasma level dari Lp-PLA berhubungan dengan peningkatan risiko cardiovascular event dan bisa juga meningkatkan 2 kali lipat risiko stroke iskemik. Lp-PLA dapat dikurangi dengan pemberian statin, fenofibrat, dan beta blockers (Goldstein, 2006). i. Hypercoagulability Manfaat skrining genetik untuk mendeteksi hiperkoagulabilitas herediter pada pencegahan stroke masih belum jelas (Caplan, 2000;
Ahmed et. al., 2001; Goldstein, 2006). j. Inflamasi dan Infeksi
Penanda inflamasi seperti hsCRP pada penderita tanpa stroke mungkin dapat mengidentifikasikan penderita dengan peningkatan risiko stroke meskipun manfaatnya dalam praktik klinis rutin belum jelas (Goldstein, 2006; Guideline Stroke, 2011; Di Napoli et. al., 2011).
2.1.4 Patofisiologi Stroke Iskemik
2.1.4.1 Aterosklerosis Mekanisme terjadinya stroke iskemik secara garis besar dapat dibagi tiga, yaitu thrombus, emboli dan penurunan perfusi sistemik. Dimana penyebab trombus yang tersering adalah aterosklerosis (Caplan, 2000).
Aterosklerosis merupakan suatu proses inflamasi pada dinding vaskuler pembuluh darah dan diamplikasi karena adanya vascular
oxidative stress. Sumber potensial yang paling penting pada oxidative stress pada dinding vaskuler adalah oxidized low density lipoprotein
(oxLDL) serta nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH)
oxidase (Griendling et al., 2000). Proses inflamasi pada intima
merupakan karakteristik utama dari proses aterosklerosis. Akumulasi, agregasi, dan modifikasi berupa oksidasi LDL yang berperanan penting dalam aktivasi dari proses inflamasi (Glass et. al., 2001). Oxidized low
density lipoprotein (oxLDL) merupakan suatu penanda yang umum untuk
menjelaskan variasi dan modifikasi dari lipid dan protein yang terdapat dalam LDL. OxLDL terjadi ketika radikal bebas menginduksi peroksidasi dari lipid. OxLDL bersifat sitotoksik bagi sel endotel, bertindak sebagai
chemoatractant bagi monosit, menghalangi pergerakan makrofag, dan
memicu trombosis dengan menginduksi adhesi platelet. OxLDL juga dapat mengatur ekspresi faktor pertumbuhan dan sitokin-sitokin yang berperan dalam perkembangan aterosklerosis, memengaruhi vascular reactivity, dan juga menstimulasi ekspresi molekul yang terlibat dalam trombogenesis (Tsimikas et. al., 2003; Furie et. al., 2008).
Secara anatomi arteri normal teridiri atas tunika intima, media, dan adventitia. Tunika intima terdiri atas satu lapisan sel endotel dengan jaringan ikat subendotel minimal dibawahnya dan dipisahkan dari tunika media oleh suatu membrane elastik padat yang disebut lamina elastik interna. Lapisan sel otot polos tunika intima dekat lumen menerima oksigen dan nutrien melalui difusi langsung dari lumen pembuluh, dan kemudian yang dipermudah oleh adanya lubang (fenestrasi) di membran elastik interna. Namun, pada pembuluh berukuran sedang sampai besar difusi dari lumen kurang memadai pada bagian luar tunika media sehingga bagian ini mendapat makanan dari arteriol kecil yang berasal dari bagian luar pembuluh. Batas luar media di sebagian besar arteri ditentukan oleh lamina elaktik interna. Di sebelah luar media terdapat tunika adventitia, yang terdiri atas jaringan ikat dengan serat saraf dan vasa vasorum (Robbins, 2007).
Karakteristik aterosklerosis adalah adanya akumulasi fibro fatty plaque yang mengandung sel imun, vascular smooth muscle cells, vascular
endothelial cells, dan extracellular matriks yang mengelilingi suatu lipid rich core. Kompleksitas aterosklerosis ditandai dengan adanya efek
apoptosis dan proliferasi dari spesifik tipe sel yang terdapat pada pembuluh darah (Kavurma et. al., 2008).
Proses aterosklerosis diawali dengan penumpukan lipid di tunika intima disertai dengan masuknya/ adhesi monosit dan sel T. Adhesi ini didahului dengan ekspresi molekul adhesi, yaitu Vascular cellular
adhesion molecule (VCAM) dan lipid yang bertanggung jawab dalam aktivasi gen VCAM. Ekspresi VCAM juga dipengaruhi oleh shear stress.
Monosit tersebut akan dikonversi menjadi makrofag, akan memakan/ memfagosit sel-sel lipid (modified LDL), dan kemudian berubah menjadi sel busa / foam cell (Ito et al, 2006).
Sejumlah sel otot polos akan memproduksi matriks protein yang terkumpul di dalam plak aterosklerosis dan membentuk berbagai tipe lesi aterosklerosis yang diawali dengan fatty streak (akumulasi lipid intraselular), intermediate lesion (akumulasi lipid ekstraselular), atheroma (terbentuknya inti lipid di bagian tengah), pembentukan fibrous plaque (pembentukan jaringan ikat yang dominan), dan diakhiri dengan
complicated lesion (rusaknya permukaan tunika intima, terjadinya pendarahan, dan trombosis) (Koenig et. al., 1992; Osterud et. al., 2003).
Faktor yang memengaruhi patogenesis dari aterosklerosis, di antaranya adalah gangguan metabolisme lipid, disfungsi endotel, inflamasi, sistem imunologi tubuh, ketidakstabilan plak, dan gaya hidup (Szmitko et. al., 2003).
At he roscl e rosis M a y C ul mi na t e i n Pl a q ue I nst a bi l it y, Rupt ure , a nd Thrombus Monocyte molecule LDL-C Adhesion CRP Macrophage Foam cell Oxidized LDL-C Plaque rupture Libby P. Circulation. 2001;104:365-372; Ross R. N Engl J Med. 1999;340:115-126. dysfunction and thrombus Endothelial Plaque instability Inflammation Oxidation Smooth muscle cells Gambar 2.1 Proses terjadinya aterosklerosis.(Libby, 2001).
2.1.4.2 Patofisiologi Stroke Iskemik Pada stroke iskemik berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi- reaksi berantai yang berakhir dengan kematian sel-sel otak dan unsur- unsur pendukungnya (Misbach, 2011).
Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri atas bagian inti (core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada perfusi. Di luar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel-sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati tetapi sangat berkurang fungsi- fungsinya dan juga menyebabkan defisit neurologis. Tingkat iskemiknya jika semakin ke perifer akan semakin ringan. Derah luar penumbra iskemik, dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas bergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi refepfusi, daerah penumbra dapat berangsur- angsur mengalami kematian (Misbach, 2011).
Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap, yaitu: Tahap 1:
1. Penurunan aliran darah Otak adalah organ yang sangat aktif bermetabolisme. Berat otak hanya sekitar 2% dari seluruh berat tubuh, tetapi dalam keadaan istirahat otak membutuhkan sekitar 20% dari output kardiak. Penggunaan energi otak dan aliran otak bergantung pada derajat aktivitas neuron. Di sini berperan proses autoregulasi, yaitu kapasitas sirkulasi serebral dalam mempertahankan level Cerebral Blood Flow (CBF) secara konstan terhadap perubahan-perubahan tekanan darah (yakni pada Mean arterial
blood pressure antara 50 – 150 mmHg). Cerebral Blood Flow (CBF)
normal adalah 50 ml/ 100 jaringan otak/ menit. Jika terjadi tekanan darah tinggi secara kronis, level atas atau bawah autoregulasi akan bertambah.
Hal ini mengindikasikan adanya toleransi tinggi terhadap hipertensi dan juga sensitif terhadap hipotensi.
Kecepatan aliran darah di otak bervariasi antara 40 – 70 cm/ detik. Apabila Cerebral Blood Flow (CBF) meninggi atau arteri menyempit, kecepatan segmen arteri tersebut juga akan meninggi.
Jika aliran darah 20 ml/ 100 gram/ menit, gambaran elektroensefalogram akan terganggu. Rate of cerebral oxygen metabolism (CMRO ) mulai menurun jika CBF turun di bawah 20 ml/ 100 gram otak/
2
menit. Jika aliran darah otak dibawah 17 cc/ 100 gram otak/ menit, dapat menyebabkan aktivitas listrik otak berhenti meskipun kegiatan ion pump masih berlangsung. Jika aliran darah otak 10 ml/ 100 gram otak/ menit, akan terjadi kegagalan ionik. Pengaruh iskemia terhadap integritas dan struktur otak pada daerah penumbra terletak antara batas kegalan elektrik otak dan batas bawah kegagalan ionik. Kematian neuron terjadi apabila CBF di bawah 10 ml/ 100 gram otak/ menit (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Sjahrir, 2003).
2. Pengurangan O
vasodilatasi untuk mempertahankan ekstraksi oksigen ke otak yang maksimum sehingga CMRO
2 turun. Berkurangnya aliran darah ke otak
menyebabkan berkurangnya persediaan oksigen dan glukosa serta zat- zat lain yang penting untuk kehidupan sel otak. Dalam keadaan fisiologis otak manusia membutuhkan energi yang besar untuk metabolisme yang berasal dari metabolisme oksidatif. Dalam keadaan normal konsumsi oksigen yang diukur sebagai CMRO 2 adalah 3,5 cc/ 100 gram otak/ menit. Keadaan hipoksia juga menyebabkan produksi molekul oksigen tanpa pasangan elektron (oxygen free radical), menyebabkan oksidasi fatty acid dalam organel sel dan plasma sel yang mengakibatkan disfungsi sel (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Sjahrir, 2003).
3. Kegagalan Energi Berbeda dengan organ tubuh lainnya, otak hanya menggunakan glukosa sebagai substrat dasar agar metabolisme energi dapat mengubah ADP (adenin difosfat) menjadi ATP (adenosin trifosfat). Supply produksi ATP secara konstan penting untuk mempertahankan integritas neuron,
- mayoritas kation Ca . Na ekstraseluler dan K intraseluler.
Produksi ATP sangatlah efisien dengan adanya 0
2 . Otak normal
membutuhkan 500 cc 0
2 dan 75 – 100 mg glukosa tiap menitnya (total
sekitar 125 mg glukosa per harinya). Jika supply 0
2 berkurang (hipoksia), proses anerob glikolisis akan terjadi dalam pembentukan ATP dan laktat.
Akhirnya produksi energi menjadi kecil dan terjadi penumpukan asam laktat, baik di dalam sel saraf maupun di luar sel saraf (lactic acidosis).
Akibatnya metabolisme sel saraf terganggu (Ahmad et. al. 2001; Sjahrir, 2003; Ito et. al., 2006).
4. Terminal Depolarisasi dan Kegagalan Hemostasis Ion Jika neuron iskemik terjadi, beberapa perubahan kimiawi berpotensi memacu peningkatan kematian sel, kalium akan bergerak pindah menembus sel membran ke ekstraseluler, dan kalsium akan bergerak ke dalam sel. Pada keadaan normal sel membran mampu mengontrol keseimbangan ion intra dan ekstra sel (Adams et. al., 2001;Sjahrir, 2003; Ito et. al., 2006).
Tahap 2 :
1. Eksitoksisitas dan Kegagalan Hemostasis Ion Dalam keadaan normal, neurotransmitter glutamat terkonsentrasi dalam terminal nerve dan dalam proses transisi neuronal yang bersifat eksitatorik. Pada keadaan iskemik aktivitas neurotransmitter eksitatori (glutamat, aspartat, asam kainat) meninggi di daerah iskemik (Adams et
al., 2001). Pada stroke iskemik akibat berkurangnya pembentukan ATP
serta Na-K-ATP-ase, mengakibatkan konsentrasi Na dalam sel meningkat sehingga timbul pembengkakan sel serta pelepasan glutamat karena depolarisasi membran sel (Ito et. al., 2006). Peninggian pelepasan glutamat mengakibatkan neuron lebih mudah rusak karena sifat toksik glutamat mengakibatkan kematian sel. Depolarisasi menyebabkan rangsangan pada reseptor-reseptor glutamat dan masuknya ion-ion bermuatan positif yang secara tidak langsung merangsang pembukaan saluran kalsium peka voltase (Caplan, 2000). Masuknya ion natrium dalam jumlah besar ke dalam sel diikuti oleh ion klorida dan air sehingga menyebabkan edema sel (Caplan, 2000; Sjahrir, 2003). Glutamat adalah suatu agonist NMDA (N-methyl-D-aspartat) dan non NMDA (kainate dan
quisqualate) reseptor. NMDA reseptor berikatan dengan membrane channel dengan permeabilitas ion kalsium yang tinggi (Adams et. al.,
2001; Sjahrir, 2003; Ito et. al., 2006).
2. Spreading Depression
Cortical spreading depression merupakan gangguan sementara dari
keseimbangan ionik lokal yang menyebar secara perlahan di korteks serebral. Cortical spreading depression dapat memengaruhi perburukan lesi pada stroke eksperimental serta dapat berperan pada inisiasi serangan migrain (Obrenovitch et al., 2003).
Derajat keparahan iskemik yang disebabkan blokade arteri bervariasi dalam zona yang berbeda di daerah disupply. Pada pusat zona tersebut aliran darah sangat rendah (0 - 10 ml/ 100 gram/ menit) dan kerusakan iskemik sangat parah sehingga dapat menyebabkan nekrosis. Proses ini disebut core of infarct. Di daerah pinggir zona tersebut aliran darah agak lebih besar yaitu sekitar 10 – 20 ml/ 100 mg/ menit karena adanya aliran kolateral sekitarnya. Hal ini menyebabkan kegagalan elektrik tanpa disertai kematian sel permanen. Daerah ini disebut daerah iskemik
penumbra, keadaan antara hidup dan mati, sel neuron keadaan paralisis/
disfungsi yang menunggu aliran darah, dan oksigen yang adekuat untuk suatu restorasi. Di sebelah luar dari daerah penumbra ada daerah yang disebut daerah oligemia (Caplan, 2000; Ahmed et. al., 2001; Fisher, 2001; Sjahrir, 2003).
Gambar 2.2 Perubahan daerah iskemik otak akibat stroke (Fisher,2001).Tahap 3: Inflamasi Respon inflamatorik pada stroke iskemik akut berpengaruh buruk terhadap perkembangan infark serebri. Berbagai penelitian menunjukkan adanya perubahan kadar sitokin pada stroke iskemik akut. Mikroglia merupakan makrofag serebral yang merupakan sumber sitokin yang utama di serebral. Sitokin adalah mediator peptida molekuler yang merupakan protein atau glikoprotein yang dikeluarkan oleh suatu sel dan memengaruhi sel lain dalam suatu proses inflamasi, contohnya limfokin dan interleukin (IL) yang terdiri atas beberapa jenis yakni IL-1 beta, IL-6,
IL-8.dan TNF (Tumor Necrotizing Factor) alfa yang merupakan sitokin proinflamatorik (Caplan, 2000; Sjahrir, 2003).
Tahap 4: Apoptosis Apoptosis setelah iskemia otak yang terjadi akibat serangkaian proses patofisiologi yakni eksitoksitas, pembentukan radikal bebas, reaksi inflamasi, dan kerusakan mitokondria (Adams et. al., 2001; Ahmed et. al., 2001) Mekanisme kematian sel dapat berupa nekrosis ataupun apoptosis, bergantung pada beratnya iskemik dan cepatnya kerusakan yang terjadi.
Pada nekrosis, struktur sel menjadi hancur secara akut disertai dengan reaksi inflamasi dan makrofag akan menyerbu serta memfagositasi sisa- sisa sel. Sebaliknya pada apoptosis tidak terjadi reaksi inflamasi, tetapi struktur sel akan menciut (Shrinkage). Selain proses kematian neuron pada stroke akut, integritas antara neuron-neuron dan matriks sekitarnya terutama sel-sel glia dan endotel kapiler juga berperan penting (Caplan, 2000; Fisher, 2001; Misbach, 2011).
2.1.4.3 Sistem Hemostasis a Kelainan Hemostasis dan Hubungannya dengan Stroke Hemostasis dilaporkan berhubungan dengan berbagai penyakit klinis, mulai dari penyakit jantung iskhemik dan insufisiensi pembuluh darah perifer sampai dengan terjadi stroke iskemik akut dan iskemik otak reversibel. Sekarang ini banyak penelitian melaporkan bahwa adanya kelainan hemostasis di pembuluh darah otak cenderung menyebabkan stroke iskemik. Ini mungkin ditandai oleh peningkatan marker sekunder sebagai akibat dari pengrusakan sawar darah otak dan pelepasan zat prokoagulan dari jaringan otak yang mengalami nekrosis (Lai et. al., 1994; Yatsu et. al., 1998; Hoffbrand et .al.,2002; Davis et. al., 2012)
Keadaan hiperkoagulasi darah dan kadar fibrinogen plasma menjadi fokus perhatian dalam proses koagulasi darah. Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa dalam gelatin manusia dan plak fibrosa kaya dengan fibrinogen dan produk degradasinya seperti trombin, fibrinogen, dan fibronektin yang terlibat dalam proliferasi sel. Generasi trombin dan fibrin dijumpai secara berlebihan pada pasien dengan stroke iskemik progresif.
Fibrinogen juga terlibat dalam mekanisme agregasi trombosit, cedera sel endotel, dan viskositas plasma sehingga berperan penting dalam pembentukan trombus. Trombosis cenderung menyebabkan stroke iskhemik. Data epidemiologis menunjukkan bahwa peningkatan kadar fibrinogen berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler (Cardiovascular
Disease) dan iskhemik pembuluh darah otak (Kamath et. al., 2003; Borrissoff et. al., 2011).
b Hiperkoagulasi Konsep status hiperkoagulasi (trombofilia) pertama sekali diperkenalkan pada tahun 1854 oleh seorang ahli patologi Jerman yang bernama Rudolph Virchow. Ia menyebutkan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi, yaitu :Penurunan aliran darah (stasis vena), peradangan di dekat pembuluh darah (cedera endotel) dan faktor intrinsik yang mempengaruhi keadaan darah (Welch et. al., 1998; Hoffbrand et. al. , 2002).
Status hiperkoagulopati dapat didefinisikan sebagai sekelompok kelainan yang bersifat herediter atau yang cenderung menyebabkan trombosis vena (trombosis vena dalam ekstremitas atas dan bawah dengan atau tanpa emboli paru, trombosis vena serebral, dan trombosis intra-abdominal), trombosis arteri (iskemik miokard, stroke, iskemik tungkai, dan splanknik akut) atau kedua-duanya. Penyakit tromboemboli vena merupakan kelainan yang sering timbul pada status hiperkoagulasi. Sebagian besar kelainan ini diturunkan secara genetik sehingga menyebabkan peningkatan risiko tromboemboli vena Venous
Thromboembolic Event (VTE). Walaupun demikian beberapa kelainan
yang didapat di samping berhubungan dengan VTE, juga berhubungan dengan trombosis arteri. Hiperkoagulasi didapat dan kongenital terjadi bila terdapat ketidakseimbangan antara aktivitas antikoagulan dan protrombotik plasma aktivitasnya protrombotik lebih dominan. Mekanisme yang mendasari trombosis ini adalah trias Virchow. Berdasarkan hal ini, apabila terjadi kekurangan antikoagulan dalam sirkulasi, akan menyebabkan pergeseran proses keseimbangan homeostasis sehingga trombosis terjadi dimana-mana. Misalnya, defisiensi antitrombin III kongenital, protein C dan protein S yang menyebabkan risiko terjadi trombosis vena dalam tungkai bawah, tetapi tidak di tungkai atas. Defisiensi ini tidak menyebabkan kecendrungan trombosis arteri. Satu hal yang menjadi pengecualiannya adalah mutasi lokasi perlekatan heparin dengan antitrombin III. Pada kejadian ini, antitrombin III abnormal tidak melekat ke heparin sehingga kurang efektif untuk menghambat trombin dan faktor-faktor lain dalam kaskade koagulasi. Faktor V Leiden biasanya berhubungan dengan peningkatan risiko trombosis vena dalam di kaki dan otak. Namun, bisa juga menyebabkan risiko iskemik miokard akut pada wanita muda perokok. Mutasi protrombin G20210A mempunyai predisposisi trombosis vena dalam, yaitu di kaki dan otak dan mungkin merupakan faktor risiko genetik terhadap stroke dan penyakit jantung iskhemik (Caplan, 2000). Faktor V Leiden atau faktor V G1691A merupakan gen mutasi yang mengode faktor koagulasi V. Dan Guanine (G) disubstitusi menjadi A (Adenine) di nukleotida 1691 (G1691A) dan di exon 10, dimana diprediksi terjadi pergantian arginin pada residu asam amino 506 oleh glutamine (Arg506Gin). Mutasi ini diturunkan secara autosomal dominan sehingga faktor V menjadi resisten terhadap inaktivasi oleh APC (suatu protein antikoagulan alami). Faktor V Leiden diperkirakan
92% disebabkan oleh kejadian APC resisten (APC-R) dan 8% sisanya disebabkan oleh faktor kehamilan, penggunaaan kontrasepsi oral, kanker, APA selektif, dan mutasi faktor V lain. Oleh karena itu, istilah ”faktor Leiden-V” dan ”APC-R” tidak sinonim. Buktinya, APC-R merupakan faktor risiko independen terhadap VTE bahkan tanpa faktor Leiden V (Lai et. al., 1994).
Mutasi pada nenek moyang orang Kaukasia tunggal diperkirakan telah terjadi sejak 21.000 – 34.000 tahun yang lalu setelah evolusi pemisahan orang non-Afrika dari orang Afrika dan orang Kaukasia (orang non-afrika putih) dari subpopulasi Mongolia/ Asia (Roos, 1999).
Protrombin G20210A merupakan mutasi (subsitusi G ke A di nukleotida 20210) di daerah gen 3’ untranslated protrombin/ faktor koagulasi II (Lai et al, 1994). Mutasi autosomal yang dominan ini menyebabkan peningkatan konsentrasi protrombin plasma. Seperti halnya faktor V Leiden, mutasi protrombin G20210A terdapat pada orang Kaukasia tunggal, yang mungkin juga terjadi setelah evolusi pemisahan subpopulasi (Salaeth, 2006).
Lebih dari 100 mutasi yang berbeda telah diketahui terjadi pada gen yang mengodekan antikoagulan alami (protein C, protein S, dan antitrombin) Dan menyebabkan defisiensi kuantitatif (tipe I) atau kualitatif (tipe II). Defisiensi antitrombin dan protein S diyakini diturunkan secara autosomal dominan. Di samping itu, defisiensi protein C diduga juga dapat diturunkan secara autosomal resesif (Moake, 2002).