Psikoedukasi untuk meningkatkan Kemampuan Regulasi Emosi pada Anak Retardasi Mental

(1)

PSIKOEDUKASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN

REGULASI EMOSI PADA ANAK RETARDASI MENTAL

(Psychoeducation for Improving Emotional Regulation in Children with Mental Retardation)

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi dalam Program Pendidikan Magister Profesi Psikologi Universitas Sumatera Utara

TESIS

KINANTI INDIKA

107029009

MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

TAHUN AJARAN 2013


(2)

(3)

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji Syukur peneliti panjatkan kepada Allah AWT untuk segala rahmat dan karunianya sehingga peneliti mampu menyelesaikan Tesis ini dengan baik. Tesis ini merupakan suatu karya ilmiah untuk syarat memperoleh gelar Magister Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Eka Ervika M.si, psikolog, selaku dosen pembimbing Tesis yang sudah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan kritik, saran serta kesabarannya dalam proses membantu peneliti untuk menyelesaikan Tesis ini. Terimakasih juga peneliti ucapkan atas ilmu yang diberikan saat kuliah dan bimbingannya saat menyelesaikan kasus.

3. Ibu Dra. Elvi Andriani, M.si, psikolog yang telah bersedia untuk meluangkan waktu untuk menguji peneliti. Terimakasih juga peneliti ucapkan dalam memberikan ilmu serta arahannya pada saat kuliah serta bimbingannya yang terus menerus saat proses bimbingan kasus sampai dengan selesai.

4. Seluruh staff pengajar Magister Psikologi Profesi yang telah memberikan ilmunya selama proses belajar mengajar berlangsung.

5. Mama dan adik tercinta yang sudah memberikan dukungan maupun cinta yang sangat besar, doa serta dengan sabar mendengarkan keluh kesah peneliti dalam menyelesaikan Tesis ini.

6. T.M. Riyan Syahrir yang selalu membantu, menemani, mendoakan dan mendukung peneliti sejak dari awal kuliah sampai Tesis ini selesai.

7. Teman-teman Klinis anak, kak Ita, kak Wina, kak Ning, Ayu, Aci, kak Evi yang selalu membantu peneliti dalam proses pengerjaan Tesis.


(5)

8. Sahabat-sahabat tercinta Acid, Sevi, Eca, Vicky, Mirna, mb Roro dan Mitha yang selalu mendoakan dan memberikan perhatian kepada peneliti dalam menyelesaikan Tesis ini. 9. Semua pihak yang mungkin tidak dapat disebutkan namun telah membantu peneliti dalam

menyelesaikan Tesis ini.

Medan, 11 november 2013

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH...i

DAFTAR ISI...iii

DAFTAR TABEL...vii

DAFTAR LAMPIRAN...viii

INTISARI...ix

ABSTRACT...x

PENDAHULUAN...1

A.Latar Belakang Masalah ...1

B.Perumusan Masalah ...7

C.Tujuan Penelitian ...7

D.Manfaat Penelitian ...7

1. Manfaat Teoritis Penelitian ...7

2. Manfaat Praktis Penelitian ...8

E. Sistematik Penelitian ...8

TINJUAN PUSTAKA...9


(7)

A.Retardasi Mental ...9

1. Defnisi Retardasi Mental ...9

2. Ciri-ciri Retardasi Mental ...9

3. Klasifikasi Retardasi Mental ...10

B.Emosi ...11

1. Definisi Emosi ...11

2. Komponen-komponen Emosi ...12

3. Bagian-bagian Emosi ...13

4. Jenis-jenis Emosi ...14

5. Fungsi Emosi ...15

6. Ekspresi Emosi ...16

7. Gambaran Emosi pada Anak Retardasi Mental ...18

C.Regulasi Emosi...18

1. Definisi Regulasi Emosi...18

2. Ciri-ciri Regulasi Emosi...19

D.Psikoedukasi...20

1. Definisi Psikoedukasi...20

2. Bidang Materi Dalam Psikoedukasi...22

3. Langkah-langkah dalam Melakukan Psikoedukasi...23


(8)

4. Gambaran Psikoedukasi untuk Mengenal Emosi pada Anak Mental Retardas23

METODE PENELITIAN...26

A.Pendekatan Kualitatif ...26

B.Metode Pengumpulan Data ...27

1. Wawancara ...27

2. Observasi ...28

3. Tes Psikologi...29

C.Subjek dan Lokasi Penelitian ...29

1. Teknik Pemilihan Subjek Penelitian ...29

2. Subjek Penelitian ...30

3. Lokasi Penelitian ...30

D.Prosedur Penelitian ...30

1. Tahap Persiapan Penelitian ...30

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ...31

E. Metode Analisa ...41

1. Organisasi Data ...41

2. Analisis Data ...41

3. Tahapan Intervensi ...42


(9)

PELAKSANAAN dan HASIL INTERVENSI...43

A.Subjek Penelitian Pertama ...43

1. Identitas Subjek Penelitian ...43

2. Pelaksanaan Psikoedukasi...46

B.Subjek Penelitian Kedua ...78

1. Identitas Subjek Penelitian ...78

2. Pelaksanaan Psikoedukasi...80

C.Pembahasan Hasil Pelaksanaan Psikoedukasi...128

KESIMPULAN dan SARAN...135

A.Kesimpulan ...135

B.Saran ...137

1. Saran Metodologis ...137

2. Saran Praktis ...137

DAFTAR PUSTAKA...138

LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Tahapan Pelaksanaan Psikoedukasi

Tabel 2: Hasil Penelitian Subjek Pertama

Tabel 3: Hasil Penelitian Subjek Kedua

Tabel 4: Hasil Psikoedukasi pada Subjek Penelitian Pertama

Tabel 5: Hasil Psikoedukasi pada Subjek Penelitian Kedua

Tabel 6: Rekapitulasi Hasil Psikoedukasi Pada Subjek Pertama dan Kedua


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. Informed Consent

LAMPIRAN 2. Modul Psikoedukasi

LAMPIRAN 3. Pedoman Wawancara

LAMPIRAN 4. Pedoman Observasi

LAMPIRAN 5. Lembar Kerja Subjek Penelitian Pertama

LAMPIRAN 6. Lembar Kerja Subjek Penelitian Kedua


(12)

INTISARI Kinanti Indika

107029009

Psikoedukasi untuk Meningkatkan Kemampuan Regulasi Emosi pada Anak Mental Retardasi

101 Halaman: 5 tabel Bibliografi 35 (1993-2011)

Anak Mental Retardasi adalah anak dengan kemampuan inteligensi dibawah 70 dan disertai hambatan dalam perilaku adaptif. Salah satu bentuk dari hambatan perilaku adaptif tersebut adalah kadangkala mereka mengalami kesulitan dalam mengekspresikan apa yang dirasakannya secara tepat. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan psikoedukasi untuk mengenalkan regulasi emosi pada anak Mental Retardasi. Psikoedukasi yang diberikan berupa informasi tentang jenis-jenis emosi, penyebab munculnya emosi, perubahan fisik yang terjadi serta cara yang tepat dalam mengekspresikan perasaannya. Melalui psikoedukasi anak

Mild Mental Retardasi diajarkan memahami emosinya sendiri, menilai dan memahami emosi oranglain, serta bagaimana cara menghadapi saat oranglain menunjukkan emosi tersebut.

Responden dalam penelitian ini adalah anak Mental Retardasi dengan kategori ringan. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan tipe studi kasus. Pemberian psikoedukasi ini dilakukan sebanyak 10 sesi dan durasi setiap sesinya adalah 30-40 menit. Hasil dari pemberian psikoedukasi pada anak Mental Retardasi

menunjukkan perubahan yang cukup baik pada aspekbodily arousal, cognition dan expressed behavior. Psikoedukasi diberikan melalui video, gambar, games, role-play maupun diskusi. Secara umum pemahaman regulasi emosi kedua subjek masih tergolong rendah, namun berbeda ketika diberikan psikoedukasi. Kedua subjek saat ini tampak cukup memahami emosi-emosi yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga mengembangkan kemampuannya sedikit demi sedikit dalam mengontrol dan berekspresi terhadap situasi yang tepat. Adapun perbedaan diantara kedua subjek ini adalah dukungan dari orangtuanya. Orangtua pada subjek kedua mampu memberikan dukungan yang besar untuk memperkenalkan regulasi emosi kepada anaknya dibandingkan dengan orangtua subjek pertama. Sehingga subjek kedua lebih baik dalam regulasi emosi.

Kata kunci: Mental Retardasi, Emosi, Psikoedukasi


(13)

ABSTRACT

Indika Kinanti 107029009

Psychoeducation for Improving Emotional Regulation in Children with Mental Retardation

Page 101 : 5 Table

Bibliography 35 (1993-2011)

Mental retardation is a child with intelligence capabilities under 70 and accompanied by constraints in adaptive behavior. One form of such adaptive behavior is that sometimes they have trouble expressing what he feels is right. The purpose of this study is to provide psychoeducation to introduce emotion regulation in children Mental Retardation. Psychoeducation is obtained information about types of emotions that are not known to the child, the cause of the emotions arousal, as well as the physical changes that occur in a persons way of expressing his feelings. By psychoeducation, mild Mental retardation children are taught not only to understand others and how to deal with them when they are showing their emotion.

Respondents in the study were children with mild Mental Retardation mild. The research method used was a qualitative approach to the type of case study . Provision of psychoeducation is performed 10 sessions and the duration of each session is 30-40 minutes. Result of the provision of Mental Retardation psychoeducation in children can indicate a change of bodily aspect of arousal, cognition and behavior Expressed. Psychoeducation can be provided through video, pictures, games, role-play and discussion. Before the intervention given the two subjects seem not to understand the changes that occur in the body when emotions arise, the causes of emotions arise and assess a situation occurs , but it is different after being given psychoeducation. Both subjects seem quite understand the emotions that arise in everyday life. They also develop the skills bit by bit in the control and expression appropriate to the situation. The difference between these two subjects is the support of his parents. Two parents on the subject to be able to provide great support to introduce regulation of emotions to their children compared with parents of the first subject.

Keywords : Mental Retardation , Emotional , psychoeducation


(14)

ABSTRACT

Indika Kinanti 107029009

Psychoeducation for Improving Emotional Regulation in Children with Mental Retardation

Page 101 : 5 Table

Bibliography 35 (1993-2011)

Mental retardation is a child with intelligence capabilities under 70 and accompanied by constraints in adaptive behavior. One form of such adaptive behavior is that sometimes they have trouble expressing what he feels is right. The purpose of this study is to provide psychoeducation to introduce emotion regulation in children Mental Retardation. Psychoeducation is obtained information about types of emotions that are not known to the child, the cause of the emotions arousal, as well as the physical changes that occur in a persons way of expressing his feelings. By psychoeducation, mild Mental retardation children are taught not only to understand others and how to deal with them when they are showing their emotion.

Respondents in the study were children with mild Mental Retardation mild. The research method used was a qualitative approach to the type of case study . Provision of psychoeducation is performed 10 sessions and the duration of each session is 30-40 minutes. Result of the provision of Mental Retardation psychoeducation in children can indicate a change of bodily aspect of arousal, cognition and behavior Expressed. Psychoeducation can be provided through video, pictures, games, role-play and discussion. Before the intervention given the two subjects seem not to understand the changes that occur in the body when emotions arise, the causes of emotions arise and assess a situation occurs , but it is different after being given psychoeducation. Both subjects seem quite understand the emotions that arise in everyday life. They also develop the skills bit by bit in the control and expression appropriate to the situation. The difference between these two subjects is the support of his parents. Two parents on the subject to be able to provide great support to introduce regulation of emotions to their children compared with parents of the first subject.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Setiap orangtua memiliki harapan yang besar agar perkembangan fisik dan mental anaknya dapat berkembang dengan baik. Betapa bangganya setiap orangtua melihat kondisi anaknya yang sehat dan mampu menghabiskan waktu bersama dengan keluarga bahkan teman-temannya. Para orangtua pun merasa bangga jika anak-anak mereka menghasilkan prestasi disekolahnya. Sayangnya kenyataan ini tidak dapat dialami oleh semua orangtua. Banyak anak yang dilahirkan dengan ketidak sempurnaan baik secara fisik maupun masalah dalam hal perkembangan anak. Biasanya cacat fisik ditandai dengan ketidak lengkapan bagian-bagian tubuh, hal ini dapat terjadi sejak kelahiran ataupun karena kecelakaan sedangkan masalah perkembangan ditandai dengan terhambatnya perkembangan anak yaitu dalam hal intelektual, sosial maupun komunikasinya.

Anak-anak yang memiliki masalah dalam keterhambatan perkembangan biasanya disebut dengan anak berkebutuhan khusus. Menurut DSM IV-TR (2004) anak yang dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang mengalami keterbelakangan mental (Mental Retardation), ketidakmampuan belajar atau gangguan atensi, gangguan emosional atau perilaku, hambatan fisik, komunikasi, autisme, traumatic brain injury, hambatan pendengaran, hambatan penglihatan serta anak-anak yang memiliki bakat khusus.

Salah satu dari kategori di atas yang saat ini marak adalah Mental retardation. DSM IV-TR (2004) menjelaskan bahwa Mental Retardation merupakan suatu gangguan yang ditandai dengan fungsi intelektual yang berada di bawah 70 selain itu terganggu pula dalam perilaku adaptifnya seperti komunikasi, mengurus diri sendiri, kehidupan keluarga, keterampilan interpersonal, penggunaan sumber daya komunitas serta kemampuan untuk


(16)

mengambil keputusan dan ciri-ciri ini sudah muncul sebelum usia 18 tahun. Wenar (2006) juga menyebutkan bahwa terjadinya ketidaksempurnaan atau masalah pada perkembangannya sehingga berpengaruh kepada intelegensinya baik dalam ranah kognitif, sosial, motorik, bahasa dan kemampuan lainnya.

Keterbatasan fungsi kognitif pada anak Mental Retardation berdampak pada ketidakmampuannya dalam memproses persepsi, ingatan, dalam mengembangkan ide, penilaian serta penalaran. Oleh sebab itu prestasi yang ditunjukkan oleh anak Mental Retardation tergolong rendah (Effendi, 2006). Untuk itu DSM IV-TR (2004) mengklasifikasikan Mental Retardation berdasarkan 4 tingkatan, diantaranya adalah: Mild Mental Retardation (ringan) dengan rentang IQ 50-70 (anak dengan klasifikasi ini sulit dibedakan dengan anak normal ketika mereka belum masuk sekolah), Moderate Mental Retardation (sedang) dengan rentang IQ 35-55 (anak dengan klasifikasi ini memiliki kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat keterampilan motorik kasar dan halusnya. Mereka akan mampu jika banyak melakukan bimbingan dan latihan), Severe Mental Retardation (berat) dengan rentang IQ 20-40 (individu yang tergolong klasifikasi ini pada umumnya memiliki abnormalitas fisik sejak lahir dan keterbatasan dalam pengendalian sensori motor) dan Profound Mental Retardation (parah) dengan rentang IQ dibawah 25 (biasanya hanya 1-2% individu yang masuk dalam kategori ini dan mereka pada umumnya harus diasuh sepanjang hidupnya).

Somantri (2006) mengatakan bahwa karakteristik anak Mental Retardation kategori

Mild adalah mereka pada umumnya masih dapat belajar membaca, menulis serta berhitung sederhana, mereka juga masih dapat bersekolah namun dengan pendidik khusus ataupun kelas khusus serta anak dengan kategori ini masih dapat diajarkan suatu keterampilan untuk bekalnya dikemudian hari. Dalam kaitannya dengan komunikasi anak Mild Mental Retardation memiliki perbendaharaan kata yang sedikit sehingga dalam melakukan


(17)

komunikasi dua arah mereka melakukannya dengan kurang baik. Selain itu mereka juga cenderung sulit untuk berfikir secara abstrak, dalam menganalisa sebab dan akibat dari suatu masalah pun belum dapat dilakukannya. Berdasarkan penjelasan diatas, walaupun anak Mild Mental Retardation memiliki banyak kekurangan baik dalam segi intelektual, sosial dan berkomunikasi namun potensi yang mereka miliki dapat dikembangan dengan pendidikan ataupun pelatihan khusus.

Perkembangan kognitif yang terhambat membuat munculnya masalah emosi. Emosi adalah suatu perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang berada dalam suatu keadaan atau interaksi yang dianggap penting baginya (Santrock, 2002). Perkembangan emosi merupakan suatu hal yang harus diperkenalkan atau diajarkan kepada anak sejak dini. Setiap orang harus dapat mengenali emosi sebab penting untuk keberhasilan hidup. Saat orangtua mengajarkan emosi kepada anaknya sejak kecil artinya mereka telah mengurangi rentan terjadinya konflik dengan orang lain. Cara orangtua mengenalkan tentang emosi dapat melalui ekspresi wajah, misalnya saat menunjukkan rasa marah, senang, sedih, terkejut dan takut dapat diperlihatkan melalui dahi yang berkerut, mata serta mulut. Pendapat lain dikemukakan oleh Thompson dalam Santrock (2002) bahwa orangtua merupakan pihak yang dapat membantu anak-anak dalam menyalurkan emosi mereka yang sangat beragam. Orangtua dapat mengajarkannya dengan membuat label pada emosi tersebut serta melatih anak untuk berhadapan dengan emosi itu secara efektif.

Kemampuan seseorang dalam mengenali emosi merupakan suatu dasar keberhasilan dalam interaksi sosial. Pada dasarnya isyarat secara nonverbal itu lebih penting dibandingkan secara verbal dalam menginformasikan perasaan kita kepada orang lain (Ellis, 1997). Nurhayati mengatakan bahwa pentingnya kita mampu mengenal emosi agar mampu berempati, dapat mengungkapkan dan memahami perasaan yang dirasakan, untuk mengendalikan amarah, kemandirian, mampu untuk menyesuaikan diri serta mampu


(18)

memecahkan masalah pribadi. Pada anak normal mungkin untuk melatihnya tidak terlalu memiliki hambatan yang berarti, orangtua dapat mempraktekkannya dengan sebuah situasi sehari-hari.

Ada dua hal yang dilakukan untuk membuat anak memiliki kecerdasan emosi yaitu dengan mengajarkan untuk mengenali emosi dan cara mengelolanya. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengenalkan jenis emosi pada anak. Hurlock (1980) mengatakan jenis-jenis emosi adalah marah, takut, cemburu, senang atau gembira serta sedih. Apabila anak sejak usia dini sudah dilatih untuk mengenali jenis emosi ini maka semakin dewasa akan semakin mudah dalam mengenalinya dan pada akhirnya mampu menyesuaikan sikap dengan situasi yang ada. Langkah kedua adalah mampu mengelola emosi agar tidak meledak dan akhirnya dapat mempengaruhi perilakunya untuk dapat mengendalikan diri agar tidak mengulangi kesalahannya lagi (Nurhayati, 2009).

Hal ini berbeda dengan anak Mental Retardation, keterbatasan fungsi intelektual yang dimiliki membuat mereka kesulitan untuk mengenali, memahami serta menerima emosi tersebut (Gratz & Roeme dalam McClurer, 2004). Berdasarkan hasil penelitian diketahui juga bahwa anak Mental Retardation memiliki pemahaman dan kesadaran yang sangat rendah dalam memahami emosi serta mereka masih sulit menyampaikan apa yang dirasakannya kepada orang lain (Sovener & Hurley, dalam McClurer, 2004). Anak dengan kategori Mild Mental Retardation membutuhkan keterampilan dan pelatihan yang terus menerus dalam mengenali serta mengidentifikasi untuk dapat melabel emosi serta memahami emosi dan ekspresi yang dirasakan oleh oranglain (McClurrer, 2004).

Kehidupan emosi anak Mild Mental Retardation tidak jauh berbeda dengan anak normal melainkan variasi gejala emosinya tidak sekaya anak normal (Mumpuniarti, 2006). Anak mental Retardation pada umumnya mampu memperlihatkan rasa sedihnya sayangnya


(19)

mereka tidak dapat mengutarakan atau menceritakan perasaan tersebut kepada oranglain. Selain itu, anak dengan diagnosa ini juga dapat merasakan kegembiraan namun mereka tidak dapat mengungkapkan kegagumannya. Hal ini dapat terjadi pada mereka karena pemahaman pada anak Mental Retardation sangat rendah dan tidak mendalam (Somantri, 2006). Sebuah penelitian menhatakan bahwa anak Mental Retardation sering salah dalam melabel jenis-jenis emosi akibatnya adalah mereka cenderung tidak tepat dalam mengekspresikan apa yang dirasakannya selain itu mereka juga sulit untuk menganalisa emosi-emosi yang dirasakannya. Kemampuan anak dalam mengenali serta memahami emosi berkembang sesuai dengan usia anak dan memiliki kemampuan intelektual yang baik (Ellis, 1997).

Salah satu cara untuk mengajarkan anak Mental retardation agar dapat mengenali serta memahami emosi bisa dilakukan dengan memberikan psikoedukasi. Psikoeduakasi adalah

treatment yang diberikan secara profesional dimana mengintegrasikan intervensi psikoterapeutik dan edukasi (Lukens & McFarlane, 2004). Fungsi psikoterapeutik dan edukasi menekankan pada masa kognitif dan afektif anak dengan membawa anak serta memperoleh wawasan terhadap masalah yang dihadapinya, menghilangkan suatu hambatan yang ada dan membuat klien dapat mendapatkan atau memperoleh informasi maupun pengetahuan secara aktif (Lukens & McFarlane, 2004). Psikoedukasi juga merupakan intervensi untuk penanganan anak Mental Retardation dalam mendorong untuk keterampilan akademik serta perilaku adaptifnya (Nevid, 2005). Langkah-langkah dalam psikoedukasi dapat dianalogikan dengan langkah pendidikan. Beberapa teori edukasi bahkan dikembangkan dari teori belajar. Keduanya menimbulkan tingkah laku yang dikehendaki dan mengeliminasi tingkah laku yang tidak dikehendaki. Dalam banyak hal terapi psikoedukasi dapat diterangkan dengan teori belajar, yaitu mencakup falsafah tentang manusia, visi pengubahan tingkah laku, lingkup penanganan dan teknik-teknik pengubahan tingkah laku (Sugiarmin, 2007).


(20)

Memberikan penjelasan mengenai emosi dapat disampaikan melalui psikoedukasi kepada anak. Psikoedukasi yang didapatkan dapat berupa informasi tentang jenis-jenis emosi yang tidak diketahui anak, penyebab emosi-emosi itu muncul, perubahan fisik yang terjadi serta cara seseorang dalam mengekspresikan perasaannya. Melalui psikoedukasi anak Mild Mental Retardasi tidak tidak hanya diajarkan memahami emosinya sendiri melainkan diajarkan dalam menilai dan memahami emosi oranglain serta bagaimana cara menghadapi saat oranglain menunjukkan emosi tersebut. Adapun cara yang akan dilakukan dalam memberikan psikoedukasi adalah melalui video-video dan gambar yang menarik. Selain itu mengajak anak untuk berdiskusi dengan memberikan contoh-contoh yang sifatnya konkrit. Pemberian psikoedukasi dapat dilakukan melalui sebuah cerita yang sederhana agar mudah dipahami oleh anak Mental Retardasi.

Pentingnya psikoedukasi pada anak Mild Mental Retardation karena kondisi emosi mereka tidak jauh berbeda dengan anak normal lainnya, sehingga mereka membutuhkan pengetahuan atau informasi mengenai emosi dan cara mengelolanya secara bertahap. Pada penelitian ini, cara yang dilakukan adalah dengan memberikan gambar-gambar karena gambar dapat menarik perhatian anak. Nisa (2010) mengatakan bahwa anak lebih cepat memahami materi pelajaran melalui gambar karena sifatnya lebih konkrit.

Keberhasilan dalam memberikan psikoedukasi kepada anak tidak akan berhasil tanpa dukungan dari orangtua. Orangtua yang memiliki anak Mental Retardasi belum tentu dapat menerima kondisi anaknya. Bagi mereka yang masih menolak biasanya cenderung malu membawa anak-anaknya didepan orang lain, melakukan permusuhan pada anak serta meminta oranglain dalam mengasuhnya. Sebuah penelitian juga menjelaskan bahwa orangtua yang masih menolak kondisi anaknya cenderung tidak responsif dan peduli akan kebutuhan anak tersebut (Barnett, 2003).


(21)

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melihat sejauh mana efektivitas penerapan psikoedukasi untuk membuat anak mengenali jenis-jenis emosi serta paham penyebab maupun cara mengekspresikan emosi tersebut secara tepat sehingga penelitian ini

berjudul “Psikoedukasi untuk mengenali emosi pada anak Retardasi Mental”.

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pelaksanaan Psikoedukasi dalam meningkatkan regulasi emosi pada anak

Mental Retardation?

2. Bagaimana efektifitas pemberian Psikoedukasi dalam meningkatkan regulasi emosi pada anak Mental Retardasi?

C.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah melihat bagaimana pelaksanaan serta efektivitas pemberian Psikoedukasi untuk mengenali emosi pada anak Mental Retardation.

D.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan informasi di bidang psikologi klinis anak, terutama mengenai efektifitas pemberian Psikoedukasi untuk mengenali emosi pada anak Mental Retardasi. Selain itu penelitian ini


(22)

diharapkan akan menambah sumber kepustakaan mengenai psikologi perkembangan anak sehingga hasil penelitian ini nantinya diharpkan dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharpkan dapat menjadi bahan referensi atau bahan pertimbangan bagi terapis atau peneliti yang ingin menerapkan Psikoedukasi dalam mengenali emosi pada anak Mental Retardasi.

E.Sistematika Penulisan

Berikut ini adalah sistem penulisan dari penelitian ini:

BAB I : Pendahuluan: dalam bab ini terdiri dari uraian tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penelitian.

BAB II: Tunjauan Pustaka: di dalam bab ini dijelaskan beberapa teori hyang digunakan dalam penelitian ini yaitu Mental Retardasi dan Psikoedukas.i

BAB III: Metode Penelitian: di bab ini akan dijelaskan metode yang akan digunakan dalam penelitian, metode pengumpulan data, subjek penelitian serta lokasi penelitian, prosedur penelitian dan tahap pelaksanaan penelitian dan metode analisa data

BAB IV : Pelaksanaan dan Hasil Intervensi: peneliti akan menguraikan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan penelitian serta pembahasannya.

BAB V: Kesimpulan dan Saran: Menjelaskan kesimpulan yang telah diperoleh saat melakukan penelitian serta saran-saran metodologis dan praktis.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Retardasi Mental

1. Definisi Retardasi Mental

Maramis dalam Sunaryo (2004) mengatakan bahwa Mental Retardation suatu keadaan dengan intelegensi kurang (abnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa kanak-kanak) atau keadaan kurangnya fungsi inteligensi sehingga daya guna sosial dan melakukan suatu pekerjaan menjadi terganggu.

Pengertian lain dari Mental Retardation adalah suatu gangguan dimana seseorang memiliki fungsi intelektual yang sangat di bawah rata-rata dan bermasalah dalam fungsi akademik maupun perilaku adaptifnya (Davidson, 2002). Ainsworth (2004) juga mnegatakan bahwa Mental Retardation merupakan suatu sindrome yang di alami oleh seseorang dimana mereka mengalami hambatan perkembangan pada otak yang terjadi pada usia sebelum 18 tahun sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mempelajari atau mengenal informasi dan membutuhkan keterampilan untuk dapat beradaptasi di lingkungannya.

2. Ciri-ciri Retardasi Mental

DSM IV-TR (2004) menjelaskan bahwa ada beberapa ciri-ciri kriteria atau diagnosa dari Mental Retardation, diantaranya adalah:

1. fungsi intelektual sekitar 70 atau di bawahnya. Skor ini didapatkan dari pemeriksaan tes IQ. Pada bayi untuk mengetahui keberfungsian intelektualnya harus melalui orang yang profesional

2. mengalami beberapa gangguan dalam area-area ini (minimal 2 area) yaitu: komunikasi, bantu diri, pekerjaan rumah, hubungan sosial atau bermasalah dengan kemampuan interpersonal, kemampuan untuk masuk dalam suatu komunitas, fungsi akademik, pekerjaan, waktu luang, kesehatan maupun keselamatannya.


(24)

3. Ciri-ciri ini muncul sebelum usia 18 tahun.

3. Klasifikasi Retardasi Mental

Mental retardation dibagi menjadi 4 klasifikasi (DSM IV-TR, 2004) diantaranya: 1. Mild Mental Retardation (IQ Level 50 – 70)

Sekitar 85 % dari seseorang yang memiliki IQ kurang dari 70 diklasifikasikan dalam kelompok retardasi mental ringan. Mereka sulit dibedakan dengan anak-anak normal ketika mereka belum sekolah. Biasanya anak dengan diagnosa ini membutuhkan bantuan dalam menjalin hubungan secara sosial. perlu diketahui bahwa klasifikasi ni sangat memungkinkan untuk menikah dan memiliki anak.

2. Moderate Mental Retardation (IQ Level 35-55)

Sekitar 10 % dari mereka yang memiliki IQ kurang dari 70 diklasifikasikan dalam kelompok retardasi mental sedang. Kerusakan otak dan berbagai patologi sering terjadi. orang-orang yang didiagnosa mengalami mental retardasi sedang dapat memiliki kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat keterampilan motorik yang normal, seperti memegang dan mewarnai di dalam garis, keterampilan motorik kasar seperti berlari dan memanjat. Mereka akan mampu jika banyak bimbingan dan latihan. Klasifikasi ini banyak yang tinggal di institusi penampungan, namun sebagian besar hidup mereka bergantung bersama keluarga.

3. Severe Mental Retardation (IQ Level 20-40)

Diantara mereka yang memiliki IQ kurang dari 70, sekitar 3 hingga 4 persen masuk dalam kelompok retardasi mental parah. Individu tersebut pada umumnya memiliki abnormalitas fisik sejak lahir dan keterbatasan dalam pengendalian sensori motor. Sebagian besar dimasukkan dalam institusi penampungan dan membutuhkan bantuan secara terus menerus. Orang dewasa yang mengalami retardasi mental parah umumnya ramah, namun


(25)

biasanya hanya dapat berkomunikasi yang sangat singkat di level yang konkret. Mereka hanya dapat melakukan sedikit aktivitas secara mandiri dan sering kali terlihat lesu karena kerusakan otak mereka yang parah menjadikan mereka relatif pasif dan kondisi kehidupan mereka hanya memberikan sedikit stimulasi. Mereka mampu melakukan pekerjaan yang sangat sederhana dengan bantuan yang secara terus menerus.

4. Profound Mental Retardation (IQ Level di bawah 25)

Hanya 1 hingga 2 persen mereka yang mengalami retardasi mental dari kelompok retardasi mental sangat berat. Biasanya mereka harus diasuh sepanjang hidupnya. Sebagian besar memiliki abnormalitas fisik berat serta kerusakan neurologis dan tidak dapat berjalan sendiri kemana pun. Tingkat kematian di masa kanak-kanak pada orang retardasi mental berat sangatlah tinggi.

B.Emosi

1. Definisi emosi

Kata emosi berasal dari bahasa Prancis emotion, dari kata emouvoir, yang berarti kegembiraan. Selain itu emosi juga berasal dari bahasa Latin emovere yng berarti “luar” dan movere yang berarti “bergerak”. Lahey (2003) mengatakan emosi merupakan suatu hal yang

dihasilkan oleh fisiologis yang menyebabkan munculnya reaksi emosi. Reaksi ini tidak dapat dibaca namun hanya dapat dilihat dari ekspresinya dan perilaku saja.

Menurut Prezz dalam Syukur (2011) emosi merupakan reaksi tubuh saat menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitas emosi sangat berkaitan erat dengan aktivitas kognitif (berfikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi yang dialaminya. Reaksi manusia terhadap hadirnya emosi, disadari atau tidak memiliki dampak yang bersifat membangun atau merusak. Dengan demikian bisa dikatakan emosi tidak hanya merupakan reaksi terhadap


(26)

kondisi diri sendiri maupun luar diri sendiri, tetapi juga upaya pencapaian ke arah pembentukan diri menuju hidup yang transendental (spiritual).

2. Komponen-komponen emosi

Navid (2009) menjelaskan bahwa terdapat 3 komponen dari emosi, diantaranya adalah

Bodily Arousal, Cognition dan Expresses Behavior.

a. Bodily Arousal : merupakan suatu komponen yang melibatkan sistem syaraf otonomik. Komponen ini melakukan sesuatu pekerjaan sesuai dengan hati dan perasaan kita dan emosi yang kuat. Seperti rasa marah atau takut.

b. Cognition : komponen ini meliputi pengalaman yang subjektif misalnya pengalaman akan rasa takut serta melakukan penilaian atau menilai sesuatu ancaman, sebagai contoh jika orang lain ada yang melempar ular karet ke kaki kita, hal ini dapat mengejutkan kita. Tetapi tidak menimbulkan rasa takut ketika kita mengetahui bahwa itu sebagai hal yang palsu. Selanjutnya komponen ini juga meliputi sikap marah dimana seseorang akan marah jika ia mengetahui bahwa ada suatu peristiwa atau kejadian bahkan tidakan yang tidak adil kepadanya (Frijda dalam Nevid, 2009).

c. Expressed Behavior : komponen ini meliputi kemampuan seseorang untuk mampu mengekspresikan emosinya ke luar, mampu untuk mendekati objek cinta atau objek yang disukainya atau memiliki kemampuan untuk menghindari objek yang ditakutinya. Kita cenderung mendekati benda atau situasi yang berhubungan dengan rasa takut, kebencian dan rasa jijik. Ketika perasaan tersebut muncul kita biasanya mendekati objek yang ditakuti dengan harapan kita mampu untuk melawan perasaan tersebut. Sama halnya dengan saat kita marah. Kita cenderung menyerang objek kemarahan atau justru menarik diri dari hal tersebut. Komponen perilaku ini juga mencakup cara dimana kita


(27)

mengekspresikan emosi melalui ekspresi wajah dan perilaku lainnya. Sebagai contoh gerakan dan postur tubuh.

3. Bagian-bagian emosi

Secara umum emosi yang terdapat di dalam diri manusia terdiri dari dua bagian yaitu emosi positif dan emosi negatif. Hal-hal positif dan negatif memang sellau datang silih berganti dalam kehidupan kita. Terkadang, kita terlalu egois dalam menyikapi kondisi yang di alami, karena ingin semua hal yang terjadi berjalan positif atau mungkin juga kita tidak mampu bersabar menunggu waktu datangnya hal positif setelah terjebak sekian lama dalam kondisi yang negatif.

1. Emosi Positif

Emosi positif adalah emosi yang mampu menghadirkan perasaan positif terhadap seseorang yang mengalaminya. Hill dalam Syukur (2011) mengatakan bahwa terdapat tujuh macam emosi yang masuk dalam emosi positif, diantaranya adalah hasrat, keyakinan, cinta, seks, harapan, romansa dan antusiasme. Ketujuh emosi tersebut merupakan benuk emosi yang paling dominan, kuat, dan paling umum digunakan dalam usaha kreatif. Jenis emosi ini dapat menunjang keberhasilan karir dan dianggap tidak merugikan orang lain. seberapa besar keberhasilan dari emosi positif ini tergantung dari batas kewajaran yang digunakannya.

Dari kenyataan yang sering terjadi, energi emosi positif lebih baik digunakan dalam proses mengingat jika dibandingkan dengan energi emosi negatif. Emosi yang positif akan menghadirkan perasaan senang, sebab emosi ini dapat membuat otak ingin mengenang kembali bayangan tersebut. selain itu emosi positif juga dapat menumbulkan sebuah motivasi karena memang memiliki unsur motivasi yang luar biasa kuat. Untuk menumbuhkan emosi positif ini kita harus mampu mengalahkan energi yang terkandung dalam muatan emosi negatif.


(28)

2. Emosi Negatif

Emosi negatif merupakan emosi yang selalu identik dengan perasaan tidak menyenangkan dan dapat mengakibatkan perasaan negatif pada orang yang mengalaminya. Biasanya emosi negatif ini berada di luar batas kewajaran, seperti marah-marah yang tidak terkendali, berkelahi, menangis meraung-raung, tertawa keras dan terbahak-bahak bahkan timbulnya tindakan kriminal. Umumnya, emosi negatif menimbulkan permasalahan yang dapat menganggu orang yang mengalaminya, bahkan berdampak pada orang lain dan masyarakat secara luas. Biasanya, orang yang mengalami emosi negatif cenderung lebih memperhatikan emosi-emosi yang bernilai negatif, seperti sedih, marah, cemas, tersinggung, benci, jijik, prasangka, takut, curiga dan lain sebagainya. Emosi semacam itu akan berdampak buruk bagi yang mengalaminya dan orang lain.

4. Jenis-jenis emosi

Hurlock (1980) mengatakan bahwa ada 5 jenis emosi pada anak, diantaranya adalah : 1. Marah

Penyebab amarah yang paling umum adalah pertengkaran mengenai permainan, tidak tercapainya keinginan dan serangan yang hebat dari anak lain. Anak mengungkapkan rasa marah dengan ledakan amarah yang ditandai dengan menangis, berteriak, menggertak, menendang, melompat atau memukul orang lain.

2. Takut

Kebiasaan atau ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan berperan penting dalam menimbulkan rasa takut, seperti cerita-cerita, gambar – gambar, acara televisi, radio maupun film yang mengandung unsur yang menakutkan. Biasanya reaksi awal anak untuk rasa takut adalah panik, kemudian menjadi lebih khusus seperti lari, menghindar, bersembunyi, menangis dan menghindari situasi yang menakutkan.


(29)

3. Cemburu

Anak menjadi cemburu apabila ia menginar bahwa minat dan perhatian orangtuanya beralih kepada orang lain di dalam keluarga. Biasanya kehadiran adik yang baru lahir. Anak yang lebih muda dapat mengungkapkan kecemburuannya secara terbuka atau menunjukkannya dengan kembali berperilaku seperti anak kecil, seperti mengompol, pura – pura sakit atau menjadi nakal. Perilaku ini semua bertujuan untuk menarik perhatian.

4. Gembira atau senang

Anak merasa gembira biasanya dikarenakan mendapatkan nilai yang bagus, hadiah, dan pujian. Anak mengungkapkan kegembiraanya dengan tersenyum dan tertawa, melompat – lompat atau memeluk benda atau orang yang dapat membuatnya bahagia.

5. Sedih

Anak – anak merasa sedih karena kehilangan segala sesuatu yang dicintainya atai sesuatu yang dianggap penting bagi dirinya apakah itu orang, binatang atau benda mati seperti mainan. Secara khas anak mengungkapkan kesedihannya dengan menangis dan dengan kehilangan minat terhadap kegiatan normalnya termasuk makan.

5. Fungsi emosi

Bagi manusia, dalam teori Coleman dan Hammen dalam Syukur (2011), emosi tidak hanya berfungsi untuk survival atau sekedar mempertahankan hidup. Emosi pada manusia seperti yang dikemukakan oleh Martin dalam buku Psikologi Belajar, juga memberikan fungsi sebagai energizer atau pembangkit energi yang memberikan kegairahan dalam hidup manusia. Emosi juga berfungsi sebagai messenger artinya adalah emosi yang terjadi dalam diri seseorang dapat membawa pesan atau informas. Emosi memberitahukan kita bagaimana keadaan orang-orang yang berada di sekitar kita, terutama orang yang kita cintai dan sayangi, sehingga kita dapat memahami dan melakukan sesuatu yang tepat dengan kondisi tersebut.


(30)

Dalam konteks ini, emosi bukan hanya pembawa informasi (messenger) dalam komunikasi intrapersonal, tetapi juga dalam komunikasi interpersonal. Lebih dari itu, emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita. Setiap emosi yang ada dalam diri kita memberikan rangsangan terhadap pemikiran, khayalan baru dan tingkah laku yang baru.

6. Ekspresi emosi

Emosi adalah keadaan internal yang memiliki manifestasi ekstrenal. Meskipun yang bisa merasakan emosi adalah orang yang mengalaminya, namun orang lain kerap bisa mengetahuinya karena emosi terekspresikan dalam berbagai bentuk. Emosi dapat diekspresikan dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Syukur (2011) mengatakan bahwa ada beberapa jenis ekspresi emosi yang menunjukkan kepribadian seseorang, diantaranya adalah:

1. Ekspresi wajah

Semua emosi yang dialami manusia akan diekspresikan melalui raut wajah. Hanya dengan melihat wajah seseorang, kita bisa dengan tepat menebak emosi yang sedang dialami oleh orang lain tersebut. Kita paham wajah orang yang sedang marah, sedih, bahagia, takut atau terkejut. Dalam hal ini, wajah saat marah dan sedih pastilah berbeda.

2. Ekspresi vokal

Nada suara seseorang akan berubah seiiring dengan emosi yang sedang dialaminya. Seseorang yang sedang marah, nada suaranya pasti akan tersengar meninggi. Demikian juga seseorang yang sedang bahagia, ia akan berbicara dengan lepas dan lancar. Sementara itu, seseorang yang sedang mengalami gangguan jiwa dan mengalami kesedihan, kemungkinan besar nada suaranya akan terbata-bata, bahkan tidak berbicara.


(31)

3. Perubahan fisiologis

Saat kita merasakan perubahan sebuah emosi, terdapat perubahan fisiologis yang mengiringinya, baik yang bisa kita rasakan atau tidak. Saat takut, kita akan merasakan detak jantung yang meningkat, berdebar-debar, kaki dan tangan gemetar. Selain itu, kita juga merasakan bulu kuduk merinding, otot wajah menegang, berkeringant, kencing di celana, dan lain sebagainya. Bahkan, perubahan tersebut jarang juga diketahui oleh orang lain.

4. Gerak dan isyarat tubuh

Sering kali, emosi emosi seseorang akan diekspresikan melalui gerak dan isyarat tubuh. Terkadang, kita cukup mengetahui seseorang sedang gugup atau jatuh cinta hanya dari bahasa tubuhnya. Ia akan menjadi tidak hati-hati, banyak melakukan gerakan yang tidak perlu, sering melakukan kesalahan berkeringan dan lain sebagainya. Orang yang jatuh cinta menatap yang dicintainya lebih sering, duduk condong padanya, tersenyum lebih lebar dan lain-lain.

5. Tindakan-tindakan emosional

Banyak cara yang dilakukan oleh seseorang untuk mengekspresikan emosi yang dialaminya. Ketika emosi marah melanda, terkadang seseorang hanya diam. Diam dianggap sebagai salah satu tindakan yang mencerminkan keadaan emosionalnya. Namun, tidak jarang kira melihat emosi seseorang yang sedang marah dengan membentak, memaki bahkan memukul. Sementara itu, saat seseorang sedang dirundung kesedihan, ia hanya sanggup mengapresiasikannya dengan menangis.


(32)

7. Gambaran emosi pada anak Retardasi Mental

Kehidupan emosi anak retardasi mental ringan tidak jauh dengan anak normal melainkan variasi gejala emosinya tidak sekaya anak normal (Mumpuniarti, 2006). Anak MR laki-laki memiliki kekurangmatangan emosi, bersikap dingin, menyendiri, impulsif, lancang dan merusak, sedangkan anak retardasi mental ringan pada perempuan bersifat mudah dipengaruhi dan kurang dapat menahan diri. kekurangan-kekurangan dalam emosi tersebut membentuk kepribadian anak retardasi mental ringan menjadi labil.

Anak retardasi mental ringan dapat memperlihatkan rasa sedihnya tetapi tidak mampu mendeskripsikan rasa sedih itu sendiri. Mereka dapat mengekspresikan kegembiraan namun tidak mampu mengungkapkan kekaguman, hal ini karena pemahaman emosi pada anak retardasi mental ringan tidak mendalam (Somantri, 2006). Sehubung dengan kemampuan intelektual, seseorang dengan taraf kemampuan intelektual rendah pada umumnya kurang mampu mengekspresikan perilakunya. Hal ini disebabkan oleh kekurangan dalam fungsi kognitifnya. Kekurangan ini kadang-kadang menyebabkan perilakunya kurang dapat diterima dalam lingkungan dan masyarakat (Rahayu, 2005).

C.Regulasi Emosi

1. Definisi Regulasi Emosi

Gross (2007) menyatakan bahwa istilah emotion regulation atau regulasi emosi merupakan istilah yang ambigu karena regulasi emosi bisa diartikan dengan bagaimana emosi mengatur hal lainnya seperti pikiran, fisiologis, dan perilaku (pengaturan oleh emosi) atau bisa juga diartikan dengan bagaimana emosi itu sendiri diatur (pengaturan emosi). Thomson (dalam Fujiki, Spackman, Brinton, & Hall, 2004) juga menyatakan bahwa regulasi emosi adalah suatu proses ekstrinsik dan instrinsik yang bertanggung jawab untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya


(33)

untuk mencapai suatu tujuan. Karena emosi adalah proses dari berbagai komponen yang berkembang sepanjang waktu maka regulasi emosi termasuk dalam perubahan dinamika emosi (Thomson, 1990), atau latensi, waktu yang meningkat, besarnya (magnitude) dan menyeimbangkan respon-respon pada domain perilaku, experiential, dan fisiologis. Regulasi emosi juga mencakup perubahan bagaimana merespon komponen-komponen yang saling berkaitan seperti emosi yang berkembang.

2. Ciri-ciri Regulasi Emosi

Gross (2007) menyatakan ada tiga aspek dari pengertian regulasi emosi yang perlu mendapatkan perhatian khusus, yaitu:

a. Kemungkinan bahwa seseorang bisa meregulasi emosi baik emosi positif ataupun negatif, dengan cara menaikan atau menurunkan emosi tersebut. Namun, hanya sedikit yang diketahui apakah emosi seseorang bisa berubah sesuai dengan tahap perkembangan mereka.

b. Regulasi emosi dilakukan dengan kesadaran, seperti memutuskan untuk mengubah topik yang menjengkelkan atau menggigit bibir sendiri saat marah. Tetapi, regulasi emosi juga bisa terjadi tanpa adanya kesadaran penuh, seperti saat seseorang membesar-besarkan kesenangannya setelah menerima hadiah yang tidak menarik (Cole, 1986) atau saat seseorang berpindah perhatian secara cepat dari sesuatu yang menjengkelkan (Boden & Baumeister, 1997).

c. Regulasi emosi bukanlah suatu sifat yang baik ataupun buruk. Hal ini penting untuk dipahami, untuk menghindari kebingungan pada literatur-literatur mengenai stres dan cara mengatasinya (coping). Dimana mekanisme pertahanan yang standar dianggap sebagai sesuatu yang maladaptif dan berlawanan dengan strategi mengatasi stres, yang telah ditetapkan sebagai sesuatu yang adaptif (Parker & Endler, 1996). Pra definisi ini membuat sulit untuk menetapkan kerugian dan keuntungan dari proses-proses defensif (Lazarus,


(34)

1985). Namun, dalam pandangan Gross dan Thomson (2007) bahwa proses regulasi emosi itu bisa digunakan untuk membuat sesuatu menjadi lebih baik ataupun lebih buruk, bergantung pada konteksnya.

D.Psikoedukasi

1. Definisi Psikoedukasi

Pendidikan psikologis (dalam bahasa Inggris, Pschological Education atau Psycho-education) atau psikoedukasi sering juga disebut personal and social education atau pendidikan pribadi dan sosial yang merupakan gerakan yang relatif baru namun penting di lingkungan psikologi konseling. Hakikat gerakan ini adalah perluasan peran konselor melampaui aktivitas dalam pemberian layanan konseling individu dan kelompok (Nelson-Jones, dalam Supraktiknya, 2008).

Ada enam pengertian tentang psikoedukasi yang mewakili gerakan-gerakan tertentu (Nelson-Jones, dalam Supraktiknya, 2008), diantaranya adalah: Pertama, melatih seseorang mempelajari life skill. Psikoedukasi dimaknai sebagai usaha membantu klien mengembangkan aneka life-skill atau keterampilan hidup lewat aneka program terstrutur. Beberapa life skill menurut (Nelson-Jones, dalam Supraktiknya, 2008) meliputi keterampilan mendengarkan, contohnya memahami sesorang secara empatik, mengirim pesan, kemampuan untuk pengungkapan diri yang sesuai, kemampuan memecahkan atau menyelesaikan konflik, kemampuan memecahkan masalah dan membuat rencana, kemampuan membuat keputusan, kemampuan mengelola kecemasan. Dapat disimpulkan bahwa psikoedukasi identik dengan pendidikan pribadi maupun sosial.

Kedua, pendekatan akademik dalam mengajarkan psikologi. Secara garis besar ada dua pendekatan dalam pembelajaran suatu disiplin ilmu atau pengetahuan, yaitu pendekatan


(35)

akademik dan pendekatan eksperiensial. Yang pertama menekankan pada pemerolehan pengetahuan-pengertian lewat intelectual skill atau keterampilan atau olah pikir. Yang kedua menekankan pembentukan pengetahuan-pemahaman lewat pengalaman atau sering disebut

learning by doing.

Ketiga, pendidikan humanistik. Seseorang yang diberikan psikoedukasi merupakan subjek yang secara utuh memandang bahwa tujuan dari psikoedukasi adalah menghasilkan pribadi yang mampu mengaktualisasikan dirinya. Peran terapis hanyalah memfasilitasi atau menyediakan aneka bantuan fasilitas agar proses belajar dalam diri berlangsung secara efektif dan optimal.

Keempat, melatih tenaga paraprofesional di budang keterampilan konseling. Kelima,

serangkaian kegiatan pelayanan kepada masyarakat. Istilah psikoedukasi sering kali diartikan sebagai mencakup keseluruhan aktivitas pendidikan-konsultasi yang bersifat pelayanan kepada masyarakat. Kegiatan ini lazimnya meliputi life skill pada subjek. Keenam, istilah psikoedukasi juga diartikan sebagai pendidikan publik atau pendidikan kepada masyarakat luas tentang berbagai konsep atau keterampilan psikologis yang berguna untuk menghadapi aneka problem.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa psikoedukasi merupakan suatu upaya pemberian bantuan kepada individu maupun kelompok dalam rangka menguasai berbagai life skill.


(36)

2. Bidang Materi dalam Melakukan Psikoedukasi

Winkel (dalam supraktimya, 2008) menjelaskan bahwa ada 3 materi bidang dalam melakukan psikoedukasi, diantaranya adalah:

a. Bidang Pribadi-Sosial

Keterampilan hidup dalam bidang pribadi-sosial pada dasarnya meliputi 3 kategori yaitu:

 Pemahaman diri menyangkut baik aspek fisik maupun psikologis serta penerimaan diri  Kemampuan mengatasi aneka pergulatan abtin dan kemampuan untuk mengatur diri

sendiri

 Kemampuan untuk menjalin hubungan serta relasi dengan oranglain

b. Bidang Akademik

Keterampilan hidup dalam bidang akademik pada dasarnya juga memiliki 3 kategori, diantaranya:

 Menemukan cara belajar yang tepat

 Mampu mengatasi kesukaran dalam belajar

 Memilih program studi yang sesuai dengan kemampuan anak

c. Bidang Karir

Secara lebih spesifik, bidang ini mencakup antara lain jenis-jenis keterampilan hidup, diantaranya adalah:

 Mamahami diri dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri  Memahami dunia pekerjaan dan berbagai jenis pekerjaan


(37)

 Memahami perlunya saling berhubungan dengan antarmanusia dan perlu mengembangkan secara terus menerus kemampuan untuk hidup dalam suasana saling memahami dan saling kerja sama dengan orang lain.

3. Langkah-langkah dalam Melakukan Psikoedukasi

Berikut ini adalah langkah-langkah dalam melakukan psikoedukasi, diantaranya: a. Melakukan asessment kebutuhan klien

b. Menyusun program psikoedukasi melalui suatu modul

c. Mengembangkan modul tersebut untuk difokuskan pada pengembangan suatu keterampilan tertentu.

E.Gambaran Psikoedukasi untuk Meningkatkan Kemampuan Regulasi Emosi pada

Anak Mental Retardasi

Setiap orang pasti mengenal jenis-jenis emosi. Pada dasarnya seseorang diperkenalkan dengan emosi sejak mereka kecil. Biasanya pengetahuannya berasal dari ajaran-ajaran yang diberikan oleh orangtuanya. Mereka bisa melatih anak untuk mengenali dan menerima emosi. Sebagai contoh emosi sedih atau kecewa adalah emosi yang wajar dialami saat orang tidak mendapatkan keinginannya. Biasanya orangtua mengajarkan hal ini kepada anak secara langsung berdasarkan situasi yang sedang terjadi. Dari situlah emosi anak terbentuk. Mereka menjadi paham penyebab emosi itu muncul serta mengetahui bagaimana cara mengekspresikan dan mengotrol perasaan tersebut. Dari penjelasan ini diketahui bahwa kemampuan seseorang dalam mengenali emosi tergantung bagaimana cara orang tua mengajarkan hal tersebut kepada anak.


(38)

Dalam mengajarkan atau memperkenalkan emosi pada anak normal merupakan hal yang tidak sulit. Namun, hal ini akan berbeda ketika orangtua memiliki anak mental Retardasi. Keterbatasan kognitif yang dimiliki oleh anak Mental Retardasi membuatnya sulit untuk menerima informasi yang diberikan oleh orangtuanya. Disamping itu banyak diantara orangtua yang memiliki anak seperti itu tidak mampu atau tidak mengerti cara memperkenalkan emosi pada anak mereka. Terkadang mereka lebih cepat putus asa, padahal orangtua yang memiliki anak Mental Retardasi untuk kategori ringan mereka memiliki kesempatan yang besar dalam mendidik anak secara emosi maupun sosialnya. Sebab, anak

Mental Retardasi ringan bersifat educable.

Kehidupan emosi anak Mild Mental Retardation tidak jauh berbeda dengan anak normal melainkan variasi gejala emosinya tidak sekaya anak normal (Mumpuniarti, 2006). Anak mental Retardation pada umumnya mampu memperlihatkan rasa sedihnya sayangnya mereka tidak dapat mengutarakan atau menceritakan perasaan tersebut kepada oranglain. Selain itu, anak dengan diagnosa ini juga dapat merasakan kegembiraan namun mereka tidak dapat mengungkapkan kegagumannya. Hal ini dapat terjadi pada mereka karena pemahaman pada anak Mental Retardation sangat rendah dan tidak mendalam (Somantri, 2006). Sebuah penelitian mengatakan bahwa anak Mental Retardation sering salah dalam melabel jenis-jenis emosi akibatnya adalah mereka cenderung tidak tepat dalam mengekspresikan apa yang dirasakannya selain itu mereka juga sulit untuk menganalisa emosi-emosi yang dirasakannya. Kemampuan anak dalam mengenali serta memahami emosi berkembang sesuai dengan usia anak dan memiliki kemampuan intelektual yang baik (Ellis, 1997).

Dalam mengenalkan emosi kepada anak Mental Retardasi dapat dilakukan melalui psikoedukasi. Menurut Nelson-Jones dalam Supraktiknya (2008) psikoedukasi merupakan suatu intervensi yang dapat membantu klien untuk mengembangkan life skill atau keterampilan dirinya dengan memberikan program yang terstruktur, biasanya psikoedukasi


(39)

ini bisa diberikan secara individu maupun kelompok. Berdasarkan hasil penelitian diketahui juga bahwa anak Mental Retardation memiliki pemahaman dan kesadaran yang sangat rendah dalam memahami emosi serta mereka masih sulit menyampaikan apa yang dirasakannya kepada orang lain (Sovener & Hurley, dalam McClurer, 2004). Anak dengan kategori Mild Mental Retardation membutuhkan keterampilan dan pelatihan yang terus menerus dalam mengenali serta mengidentifikasi untuk dapat melabel emosi serta memahami emosi dan ekspresi yang dirasakan oleh oranglain (McClurrer, 2004).

Pemberian psikoedukasi pada anak Mental Retardasi sifatnya harus konkrit, sebab dampak dari terhambatnya fungsi kognitif membuat mereka mengalami kesulitan dalam berfikir abstrak. Pemberian materi dapat dilakukan dengan menggunakan gambar, video, mempraktekkannya langsung maupun diskusi dengan bahasa yang mudah dipahami oleh anak. Supraktiknya (2008) mengatakan bahwa dalam menyusun modul psikoedukasi hendaknya membuat topik materi, prosedur, tujuan, waktu dan media yang akan digunakan.

Pada penelitian ini materi-materi psikoedukasi yang akan diberikan berupa pengenalan jenis-jenis emosi, penyebab emosi itu muncul, cara mendeteksi atau mengenali perubahan di dalam tubuh saat emosi muncul maupun cara mengekspresikan emosi secara tepat serta membuat anak dapat menilai emosi terhadap situasi yang tepat.


(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.Pendekatan Kualitatif

Pendekatan kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menghadirkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau pelaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengungkapkan data deskriptif dari informasi tentang apa yang mereka lakukan dan yang mereka alami terhadap fokus penelitian Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2000).

Karakteristik dari metode pendekatan kualitatif ini adalah ilmiah, manusia sebagai instrumen, menggunakan metode kualitatif, analisis data secara induktif, deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, adanya fokus, adanya kriteria untuk keabsahan data, desain penelitian bersifat sementara, dan hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama. Poerwandari (2007) mengatakan pendekatan kualitatif mengolah dan menghasilkan data yang sifatnya deskriptif seperti transkrip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video dan lain sebagainya.

Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Studi kasus adalah fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi meskipun batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas (Poerwandari, 2007). Kasus tersebut dapat berupa individu, peran kelompok kecil, organisasi, komunitas atau bahkan suatu bangsa. Pendekatan studi kasus membuat peneliti dapat memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai fakta dan dimensi dari kasus khusus tersebut. Dalam penelitian ini tipe studi kasus yang digunakan adalah studi kasus intrinsik. Poerwandari (2007) mengatakan bahwa studi kasus intrinsik adalah suatu penelitian yang dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus khusus. Penelitian dilakukan untuk memahami secara utuh kasus


(41)

tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep atau teori ataupun tanpa ada upaya menggeneralisasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai intervensi yang digunakan yaitu Psikoedukasi untuk mengenal emosi pada anak Mental Retardasi. Penggunaan metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk mengetahui lebih jelas bagaimana proses dan hasil penerapan psikoedukasi dalam memperkenalkan emosi pada anak Mental Retardasi melalui cara deskripsi dalam bentuk kata-kata, bahasa, perilaku pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode pengambilan data. Salah satu tujuan penting pendekatan kualitatif ini adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi dalam elemen dan angka sehingga akan lebih baik jika diteliti dengan seting yang alamiah.

B.Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini peneliti menggunakan 3 cara dalam mengumpulkan data, diantaranya adalah:

1. Wawancara

Banister dalam Poerwandari (2007) mengatakan bahwa wawancara merupakan pertanyaan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila penelitian bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenan dengan topik yang ingin diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain. Peneliti akan melakukan wawancara mendalam sehingga diperoleh gambaran mengenai emosi dan kemampuannya untuk mengelola emosi tersebut


(42)

secara tetap. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan didasarkan pada pedoman wawancara yang telah disusun berdasarkan teori yang melandasi penelitian ini.

Wawancara dilakukan dengan subjek untuk mengetahui pemahamannya dalam mengenali serta mengelola emosinya. Selain itu peneliti juga akan mewawancarai ibu subjek dan significant others guna mengetahui pemahaman subjek dalam mengenali dan mengelola emosi sebelum dan sesudah diberikan intervensi. Wawancara ini dilakukan pada saat pelaksanaan penelitian untuk mendapatkan informasi tentang gambaran emosi dan cara subjek mengekspresikannya sebelum dan sesudah mengikuti terapi. Selain dengan ibu, peneliti juga melakukan wawancara kepada subjek guna mengetahui seberapa baik pemahaman subjek dalam mengenali emosi. Peneliti juga membuat pedoman wawancara untuk subjek berdasarkan teori dari komponen-komponen emosi yaitu bodily arousal, cognition dan expressed behavior.

Hal-hal yang akan ditanyakan kepada anak sehubungan dengan aspek bodily arousal

adalah tentang kemampuan anak dalam mengenali perubahan yang terjadi di dalam tubuh saat munculnya suatu emosi. Pada aspek cognition hal-hal yang akan ditanyakan seputar kemampuan anak dalam menilai dan memahami situasi secara tepat serta menilai emosi yang dirasakan oleh orang lain, sedangkan untuk aspek expressed behavior peneliti akan menanyakan tentang pemahamannya dalam mengekspresikan apa yang diarasakannya berdasarkan dengan situasi yang sesuai.

2. Observasi

Patton dalam Poerwandari (2007) menegaskan bahwa observasi merupakan metode pengumpulan data yang esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan pendekatan kualitatif. Agar memberikan data yang akurat dan bermanfaat, observasi sebagai metode


(43)

ilmiah harus dilakukan oleh peneliti yang sudah melewati latihan-latihan yang memadai, serta telah mengadakan persiapan yang teliti dan lengkap.

Tujuan dari observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktifitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Pada penelitian ini peneliti melakukan observasi guna untuk memperkuat hasil wawancara. Tempat yang dipilih dalam melakukan observasi adalah di rumah subjek. Peneliti melakukan observasi kepada anak berdasarkan dengan aspek emosi. Adapun hal-hal yang akan diobservasi adalah cara anak memahami situasi yang terjadi dilingkungannya. Peneliti juga ingin melihat kemampuan anak dalam mengenali emosi yang ditunjukkan oleh orang lain apakah ia mampu meresponnya secara tepat atau tidak. Selain itu peneliti juga ingin melihat bagaimana cara ketepatan anak dalam mengekspresikan emosi yang dirasakannya.

3. Tes Psikologi

Salah satu kriteria subjek penelitian dalam hal ini adalah anak dengan diagnosa Mental Retardasi dalam kategori Mild. Untuk mengetahui hal tersebut peneliti melakukan pemeriksaan kapasitas intelektual anak dengan menggunakan Tes Stanford Binet.

C.Subjek dan Lokasi Penelitian

1. Teknik pemilihan subjek penelitian

Pemilihan subjek dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan teori atau konstruk operasional (theory-based operational construct sampling). Subjek dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai dengan tujuan penelitian agar sungguh-sungguh mewakili fenomena yang dipelajari (Poerwandari, 2001).


(44)

2. Kriteria subjek penelitian

Adapun karakteristik subjek penelitian yang akan digunakan adalah:  Kanak-kanak usia menengah (9-13 tahun)

 Didiagnosa mengalami Mild Mental Retardasi

 Belum mampu mengenali emosi serta mengelolanya secara tepat

3. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan kesepakatan antara peneliti dengan subjek penelitian. Pemberian intervensi pada subjek pertama dan subjek kedua di kota Medan.

D.Prosedur Penelitian

1. Tahap persiapan penelitian

Pada tahap ini peneliti melakukan beberapa langkah yang diperlukan dalam penelitian, yaitu:

a. Mengumpulkan dan mempelajari teori

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan dengan program psikoedukasi, emosi serta Mental Retardasi.

b. Informed consent

Peneliti meminta persetujuan dari orangtua untuk mengikuti program psikoedukasi. Peneliti juga meminta kesediaan orang tua/wali subjek penelitian untuk mengizinkan subjek mengikuti program terapi dan membicarakan ketentuan pelaksanaan terapi.


(45)

c. Membuat rancangan penelitian dan menyusun pedoman wawancara

Peneliti menyusun rancangan terapi dan pedoman wawancara berdasarkan teori yang ada. Hal ini dilakukan agar pelaksanaan terapi tidak menyimpang dari tujuan penelitian.

d. Melakukan proses screening

Pada tahapan ini peneliti memperoleh data-data mengenai identitas diri, informasi mengenai gambaran perilaku subjek, hubungannya dengan orangtua sebagai data awal serta memperoleh hasil tes psikologi untuk memastikan apakah anak tergolong dalam Retardasi Mental dengan kategori Mild.

2. Tahap pelaksanaan penelitian

a. Pengambilan data awal (data sebelum terapi)

Sebelum pemberian psikoedukasi dilaksanakan, terlebih dahulu peneliti mengambil data sebelum terapi yang bertujuan untuk menggambarkan bagaimana pemahaman subjek penelitian tentang emosi. Data sebelum terapi ini menggunakan wawancara yang disusun berdasarkan teori komponen emosi yang dikemukakan oleh Nevid (2009). Pertanyaan-pertanyaan ini dibuat berdasarkan 3 komponen dari emosi, yakni bodily arousal, cognition

dan expressed behavior.

b. Pelaksanaan program terapi

Sebelum program terapi dilaksanakan, peneliti terlebih dahulu melakukan uji coba modul terapi dengan seorang anak yang sesuai dengan kriteria subjek penelitian. Tujuan dari uji modul ini adalah untuk mengetahui apakah instruksi yang diberikan dan bahasa yang digunakan dapat dimengerti dan proses pengerjaannya tidak sulit bagi anak. Program


(46)

psikoedukasi yang dilaksanakan dalam penelitian ini sebanyak 10 sesi. Pemberian psikoedukasi dilakukan tidak setiap hari melainkan dua hari sekali dengan durasi 30-45 menit untuk setiap sesinya. Untuk sesi pertama sampai dengan sesi keenam partisipan dalam pemberian psikoedukasi ini adalah anak dan peneliti saja, sedangkan untuk sesi ketujuh sampai dengan sesi kesepuluh partisipan dalam psikoedukasi ini melibatkan orangtua.


(47)

Tabel 3: Tahapan Pelaksanaan Psikoedukasi

Sesi Nama Kegiatan Tujuan Kegiatan Metode

1 Ice Breaking -Memahami sifat dan kebutuhan

anak

-Membuat anak memahami tujuan

dari terapi

-Menjelaskan tujuan terapi kepada

anak

-Menjelaskan kepada anak tentang

kegiatan yang akan dilakukan saat terapi

-Menjelaskan kepada anak bahwa

dalam pertengahan sesi, anak tidak hanya dengan peneliti namun ibu dilibatkan dalam proses terapi

-Membuat aturan-aturan kepada

anak dalam mengikuti terapi

-Mengajak anak untuk bermain

-Bermain -Berdiskusi

2 Bentuk-bentuk emosiku

-Menilai pemahaman anak dalam

mengenali jenis emosi-emosi dasar

- Mengajak anak untuk bermain - Menunjukkan 3 buah puzzle

kepada anak

- Meminta anak untuk menebak jenis

emosi yang ada pada puzzle


(48)

- Mengacak puzzle dan meminta

anak untuk menyusunnya kembali serta mengulang ekspresi wajah pada puzzle yang sudah disusun 3 Mengenali emosi -Mengenalkan berbagai emosi pada -Membahas mengenai sesi

sebelumnya dengan anak

-Melakukan brain stoarming

sehubungan dengan materi yang akan dilakukan pada sesi ini

-Menunjukkan kepada anak video

bergambar ekspresi wajah seseorang

-Meminta anak untuk menebak atau

mengatakan ekspresi apa yang dirasakan seseorang yang ada pada gambar

-Berdiskusi -Menonton video


(49)

-Meminta anak untuk menirukan

gambar yang dilihatnya 4 Ada apa denganku? -Membuat anak memahami

penyebab-penyebab munculnya suatu emosi

-Membahas mengenai sesi

sebelumnya dengan anak

-Berdiskusi dengan anak dengan

membahas materi pada sesi ini

-Menunjukkan kepada anak

penyebab-penyebab emosi melalui video bergambar

-Mempraktekkan

penyebab-penyebab tersebut dihadapan dengan anak

-Berdiskusi dengan ibu tentang sesi

yang dilakukan serta melakukan wawancara

-Berdiskusi -Ceramah

-Menonton video

-Praktek dengan media permainan

5 Mengenali apa yang terjadi di dalam tubuhku

-Memberikan informasi agar anak

memahami dan mampu merasakan perubahan fisik yang terjadi saat mengalami emosi-emosi yang dirasakan

-Membahas sesi sebelumnya dengan

anak

-Berdiskusi dengan anak tentang

materi yang akan dilakukan pada sesi ini

-Berdiskusi -Ceramah

-Menonton video

-Bermain dengan menggunakan


(50)

-Menunjukkan kepada anak video

tentang perubahan yang terjadi dalam tubuh saat emosi muncul

-Berdiskusi dengan anak tentang

perubahan yang muncul pada diri seseorang selain dari video yang ditunjukkan

-Mempraktekkan dengan anak -Meminta anak untuk mengulangi

materi yang sudah dilakukan pada sesi ini

-Berdiskusi dengan ibu tentang

materi yang dilakukan serta melakukan wawancara sehubungan dengan perkembangan anak tiap harinya

-Menyimpulkan hasil terapi

6 Belajar berekspresi -Anak mampu mengekspresikan apa

yang dirasakannya secara tepat

-Anak mampu menilai dan

memahami ekspresi yang dirasakan

-Membahas sesi sebelumnya dengan

anak

-Berdiskusi dengan anak tentang

bagaimana cara anak

-Ceramah -Berdiskusi -Menonton video -Praktek


(51)

oleh orang lain mengekspresikan perasaannya sehari-hari

-Menunjukkan kepada anak video

tentang cara orang

mengekspresikan perasaannya

-Mengajak anak untuk berdiskusi

diluar dari video yang diperlihatkan

-Meminta anak untuk mengulang

hal-hal yang dipelajari pada sesi ini

-Melakukan wawancara dengan ibu

tentang perkembangan emosi anak selama mengikuti terapi

-Menyimpulkan hasil terapi pada

sesi ini 7 Mengenali

perasaanku (1)

-Membuat anak paham akan situasi

individu dan mampu

mengekspresikannya secara tepat

-Melatih orangtua dalam

mendampingi anak saat menyelesaikan tugas

-Menjelaskan kepada anak bahwa

sesi ini dilakukan bersama dengan orangtua

-Memberikan lembar kerja kepada

orangtua

-Memberikan instruksi kepada

-Lembar kerja -Diskusi


(52)

-Meningkatkan kesadaran orangtua

untuk dapat mendukung anak dalam melakukan suatu hal

orangtua tentang tugas yang akan dilakukan

-Meminta orangtua untuk kembali

memberikan instruksi kepada anak dan bekerja sama dengan anak dalam menyelesaikan tugas yang diberikan

-Peneliti mendiskusikan mengenai

lembar kerja tersebut

-Melakukan evaluasi kepada ibu

dan anak 8 Mengenali

perasaanku (2)

-Membuat anak paham akan situasi

sosial dan mampu

mengekspresikannya secara tepat

-Melatih orangtua dalam

mendampingi anak saat menyelesaikan tugas

-Meningkatkan kesadaran orangtua

untuk dapat mendukung anak dalam melakukan suatu hal

-Memberikan lembar kerja kepada

orangtua

-Memberikan instruksi kepada

orangtua tentang tugas yang akan dilakukan

-Meminta orangtua untuk kembali

memberikan instruksi kepada anak dan bekerja sama dengan anak dalam menyelesaikan tugas yang diberikan

-Lembar kerja -Diskusi


(53)

-Peneliti mendiskusikan mengenai

lembar kerja tersebut

-Melakukan evaluasi kepada ibu

dan anak 9 Belajar mengenal

situasi

- Anak mampu mengaplikasikan

emosi dengan berbagai situasi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari

- Melatih kerja sama antara orangtua

dan anak

- Memperbaiki serta meningkatkan

hubungan orangtua dengan anak

-Memberikan lembar kerja kepada

orangtua

-Memberikan instruksi cara

menyelesaikan tugas tersebut

-Orangtua dan peneliti melakukan

evaluasi terhadap pelaksanaan terapi ini

-Peneliti menyimpulkan hasil terapi

pada sesi ini

-Lembar kerja -Diskusi

10 Menjadi siapakah aku?

-Penilaian tentang pemahaman anak terhadap keseluruhan sesi terapi -Melihat perubahan attachment dalam

diri orangtua kepada anak setelah mengikuti keseluruhan rangakaian sesi terapi

- Memberikan instruksi kepada ibu - Memberikan tema cerita yang akan

diperankan dalam role play

- Melakukan evaluasi kepada orangtua tentang sesi ini

- Melakukan evaluasi kepada orangtua tentang proses terapi dari sesi awal hingga akhir


(54)

(55)

(56)

c. Pengambilan data setelah terapi (follow up)

Peneliti melakukan tahap lanjutan yaitu pengambilan data setelah terapi dengan kembali melakukan wawancara kepada subjek dan significant others yaitu ibu dan nenek subjek berdasarkan pedoman yang telah disusun berdasarkan teori komponen emosi. Selain itu, peneliti juga kembali melakukan wawancara kepada orangtua untuk mengetahui bagaimana gambaran emosi subjek penelitian setelah diberikan program psikoedukasi.

E.Metode Analisis

Menurut Poerwandari (2001), terdapat beberapa tahapan menganalisa data kualitatif, yaitu:

a. Organisasi data

Pengolahan data analisis sesungguhnya dimulai dengan mengorganisasikan data. Melalui data kualitatif yang sangat beragam dan banyak,peneliti berkewajiban untuk mengorganisasikan datanya dengan rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Poerwandari, 2007 mengatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan, serta menyimpan data dan menganalisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.

b. Analisis data

Analisa terhadap data pengamatan sangat dipengaruhi oleh kejelasan mengenai apa yang ingin diungkapkan peneliti melalui pengamatan yang dilakukan. Patton (dalam Poerwandari, 2001) menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari perilaku subjek penelitian sendiri maupun konsep yang dikembangkan oleh peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisi. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara deskriptif yaitu menganalisa subjek penelitian pada setiap sesi terapi diikuti dengan analisa keseluruhan proses pelaksanaan.


(57)

c. Tahapan interpretasi

Poerwandari 2007 mengatakan interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Interpretasi dilakukan untuk melihat tercapainya atau tidaknya upaya disetiap sesi terapi yang telah ditetapkan dengan membandingkan tujuan terseut dengan proses pelaksanaan terapi di setiap sesinya.


(58)

BAB IV

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan diuraikan keseluruhan hasil dari program psikoedukasi yang telah disusun oleh peneliti untuk anak Retardasi Mental. Pembahasan ini akan dimulai dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian dengan pelaksanaan dan hasil intervensi penelitian, kemudian akan dilihat apakah program yang telah disusun memiliki pengaruh dalam meningkatkan pemahaman subjek dalam mengenali emosi serta cara mengekspresikannya secara tepat di lingkungan sehari-hari.

A.Subjek Penelitian Pertama

A.1. Indentitas diri subjek penelitian1

Nama : AG

Jenis Kelamin : Laki - laki

Tempat/tanggal lahir : Medan, 29 Juni 2001 Umur : 12 tahun 1 bulan Pendidikan : SD kelas 5 Suku bangsa : Jawa

Agama : Islam

Alamat : Pasar 1

Posisi dalam keluarga : Anak pertama dari dua bersaudara


(59)

A.2. Deskripsi diri subjek penelitian 1

Subjek penelitian pertama adalah seorang anak laki-laki berinisial AG yang saat ini usianya 12 tahun 1 bulan. AG merupakan anak pertama dan memiliki seorang adik. Jarak usia AG dan adiknya tergolong jauh yaitu 3 tahun. Saat ini AG duduk di kelas 5 SD. Sebenarnya AG sudah duduk di kelas 1 SMP, namun 2 tahun belakangan AG berhenti sekolah. Ia menolak untuk pergi sekolah karena takut dengan guru dan teman-temannya. Menurut ibu, AG kerap dimarahi oleh guru saat proses belajar mengajar. AG juga sering diejek dan dimusihi maupun diejek oleh teman-temannya di sekolah. 6 bulan belakangan ini ibu mencoba AG untuk kembali masuk sekolah namun ia menolaknya. Ibu terus membujuknya dan pada akhirnya ia mau melanjutkan sekolahnya. Ibu mendaftarkan AG ke skolah paket C di dekat rumahnya. Setelah dilakukan pemeriksaan psikologis terhadap masalah ini, pemeriksa mendiagnosa AG dengan Mental retardasi dengan kategori Mild. Menurut ibu sejak kecil perkembangan AG memang tidak senormal anak lainnya. Ia sangat lambat dalam menyelesaikan pekerjaan apapun termasuk dalam hal pendidikan.

Dengan terhambatnya pekembangan yang dimiliki AG membuat ibunya selalu tidak sabar dalam menghadapinya. AG lebih banyak diasuh oleh ibunya dibandingkan dengan ayah. Hubungan antara ibu dan ayah tidak harmonis sehingga membuat ayahnya jarang sekali purang ke rumah. Hubungan AG dan adiknya pun tidak terlalu baik, AG kerap cemburu dengan adiknya tanpa alasan yang jelas. Hal ini diperlihatkan AG sebab ibu dan ayahnya lebih memberikan perhatian yang besar kepada adiknya. Ketika adiknya sedang bermain sendiri AG sering tiba-tiba datang dan memukulnya. AG juga kerap berebut suatu barang yang dipegang oleh adiknya.


(60)

Dalam merespon emosi terkadang AG meresponnya tidak tepat. Sebagai contoh saat bermain dengan teman-temannya. Biasanya AG selalu bermain dengan mereka setelah pulang sekolah. Mereka sering bermain disekitar rumah AG. Saat bermain tidak jarang teman-teman mengejek AG dengan mengatakan “bodoh dan paok”, selain itu mereka kerap menertawai AG sebab ia tidak nyambung saat melakukan komunikasi dengan AG. Dalam merespon hal ini terkadang AG marah dengan langsung memukul mereka, namun terkadang ia juga meresponnya dengan diam saja.

Saat berada di rumah AG juga kerap marah dengan alasan yang jelas. Suasana hatinya tampak mudah berubah. Dalam merespon kemarahannya AG juga sering melemparkan barang-barang atau mendatangi adiknya dan mencubitnya. Hal ini yang membuat ibu juga sering marah kepada AG. Hal lain yang berkaitan dengan emosi adalah saat AG sedang merasa senang. Menurut ibu saat AG merasa senang ia sering mendekati orang-orang dan memegang tangan orang tersbut. Hal ini lah yang dapat dilihat saat ia merasa senang. Namun, jika ibu menanyakan apa yang menyebabkan ia senang, AG tampak tidak dapat mengutarakannya.

Emosi lain yang sering diperlihatkan AG saat di rumah adalah ketika ia sedang sedih. Biasanya AG sedih jika dimarahi oleh ibunya saat ia mengganggu adiknya. AG menunjukkan kesedihannya dengan wajah yang murung kemudian ia duduk di sudut meja. Saat ibu melihat hal ini biasanya ia langsung menanyakan kepada AG apa yang dirasakannya. Namun, AG tidak menjawabnya sehingga ibu kembali marah bukan membujuk AG.


(61)

A.3. Pelaksanaan intervensi subjek penelitian 1

Sesi 1 : Ice Breaking

Hari dan tanggal: Rabu, 17 Juli 2013 Waktu : 09.00 – 09.40

Lama : 40 Menit Tujuan :

-Menjalin Rapport dengan anak

-Membuat peraturan-peraturan pada anak yang harus diterapkan dalam menjalani terapi

Proses Pelaksanaan

Kegiatan ini diawali dengan menjelaskan tujuan dari pelaksanaan program terapi kepada AG, yaitu terapis ingin memperkenalkan emosi sertanya penyebab-penyebab munculnya emosi tersebut dan bagaimana cara mengekpresikannya secara tepat. Terapis juga menjelaskan kepaada AG bahwa terapi ini akan dilakukan sebanyak 10 kali pertemuan dan pertemuan pertama sampai pertemuan keenam AG akan belajar dan bermain bersama dengan terapis dan pada pertemuan ketujuh sampai kesepuluh AG akan belajar dan bermain bersama dengan ibu. Terapis juga memberikan beberapa perjanjian yang harus disepakati dengan AG, perjanjian tersebut adalah AG harus mau mengikuti proses terapi sampai dengan selesai, mengerjakan tugas yang diberikan dengan baik serta mengulangi apa yang dipelajari saat terapi ketika berada di rumah dengan bantuan ibunya.

Pada sesi ini selain membuat suatu perjanjian terapis juga melakukan pendekatan dengan AG. Tujuannya adalah agar terapis mampu mengetahui kebutuhan dan sifat AG. Dalam mendekati AG terapis melakukannya dengan bermain sambil melakukan wawancara kepadanya. Dari hasil wawancara dketahui bahwa pada dasarnya AG tidak menyukai perilaku ibunya yang suka marah. Ia menginginkan ibunya dapat berperilaku baik seperti orangtua


(62)

teman-temannya. AG juga mengaku bahwa ia sangat cemburu dengan adiknya sebab adiknya lebih mendapatkan perhatian dibandingkan dengan AG. AG merasa ibunya lebih menyayangi adiknya.

Sesi 2 : Bentuk-bentuk emosiku

Hari dan tanggal: Jumat, 19 Juli 2013 Waktu : 09.00 – 09.40

Lama : 40 Menit Tujuan :

-Menjalin Rapport kepada anak

-Menilai pemahaman anak akan emosi dasar yang sederhana

Proses Pelaksanaan

Pada sesi ini terapis menjelaskan kepada anak tentang kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan. Terapis menjelaskan bahwa akan ada tiga buah puzzle yang akan ditunjukkan kepada AG. AG diminta untuk menebak perasaan seseorang yang ada di dalam puzzle. Setelah ia mampu menebaknya terapis akan mengacak puzzle dan meminta AG untuk menyusunnya kembali.

Saat ditunjukkan puzzle tersebut satu persatu AG tampak tidak langsung menjawabnya. Yang ia lakukan adalah merespon bagian-bagian dari wajah yag ada pada puzzle tersebut. AG membutuhkan arahan untuk dapat memahami pertanyaan yang diberikan oleh terapis. Dengan arahan yang diberikan AG mampu menebak dan mengenali ketiga gambar emosi yang ada pada puzzle tersebut diantaranya adalah wajah sedih, senang dan menangis.


(63)

Setelah menebak emosi tersebut terapis mengacak puzzle satu persatu dan meminta AG untuk menyusunnya agar menjadi gambar yang utuh. Awalnya AG menyerah dengan alasan ia tidak mampu melakukannya namun terapis terus memberikan dukungan kepadanya sampai ia selesai menyelesaikannya. Setelah AG menyusunnya dengan baik terapis kembali meminta AG untuk menyebutkan wajah yang ada dalam puzzle tersebut. Tidak seperti pada awal sesi ini dimana AG menjawabnya dengan terlebih dahulu mengomentari tentang bagian-bagian dari wajah gambar. AG mampu langsung menjawabnya dengan cepat dan tepat.

Setelah sesi ini berakhir terapis meminta ibu untuk masuk kedalam ruangan untuk menanyakan responnya terhadap kegiatan yang dilihatnya. Menurut ibu ia jarang bermain dengan AG. Biasanya ketika AG meminta untuk bermain ibu menolaknya karena ia merasa letih setelah pulang kerja. Ibu juga mengatakan bahwa ia tidak akan sabar menemani AG dalam bermain seperti yang dilakukan terapis pada sesi ini. Terapis memberikan masukan kepada ibu bahwa sebaiknya setiap ibu dapat meluangkan sedikit waktunya kepada AG. Kegiatan yang dilakukan tidak harus bermain namun bisa dengan mengobrol tentang kegiatan yang dilakukan AG di sekolah. Terapis juga meminta ibu untuk mencoba melakukan hal ini agar ibu memahami kebutuhan AG.

Sesi 3 : Mengenali emosi

Hari dan tanggal: Minggu, 21 Juli 2013 Waktu : 09.00 – 09.40

Lama : 40 Menit Tujuan :


(1)

(2)

182 LAMPIRAN 6. Lembar Kerja Subjek Penelitian Kedua


(3)

(4)

(5)

(6)