Pertimbangan Hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga Dijadikan Dasar Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan NO. 1572 PDT.G 2011 PA.MDN)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga disuruh
oleh Nabi. Banyak suruhan-suruhan Allah dalam Al-Qur’an untuk melaksanakan
perkawinan. Sebagaimana firman-Nya dalam surat an-Nur ayat 32 yang artinya : 1
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orangorang yang layak (untuk kawin) di antara hamba-hamba sahayamu yang lakilaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah
akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya.”
Islam memandang perkawinan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
kehidupan individual, kekeluargaan maupun kehidupan bangsa, sebagaimana yang
telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam kehidupannya. Islam tidak
menghendaki seseorang hidup membujang tidak kawin selamanya karena hal ini
berlawanan dengan fitrah manusia serta ajaran agama.2
Pada dasarnya tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqih Munafakat dan
Undang-Undang Perkawinan, Edisi Pertama, (Cetakan III; Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009), hal.43.
2
Supardi Mursalim, Menolak Poligami (Studi tentang Undang-Undang Perkawinan dan
Hukum Islam), (Cetakan I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal.1.
1
Universitas Sumatera Utara
2
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.3 Ketentuan ini menunjukkan bahwa untuk
mewujudkan keluarga yang bahagia dalam rumah tangga maka landasan utama yang
perlu dibangun antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri adalah adanya hak
dan kewajiban di antara keduanya.
Sering terjadi di dalam masyarakat baik yang menganut kekerabatan bilateral,
matrilinear terlebih patrilinear, perkawinan tetap dipahami sebagai hubungan yang
tidak seimbang. Perkawinan dipahami sebagai hubungan antara subjek dengan objek
“atas” dan “bawah”, penguasa dengan yang dikuasai. Sering kali suami ditempatkan
pada posisi yang berkuasa dan istri sebagai pihak yang dikuasai.4
Dengan pengaturan hak dan kewajiban yang sama antara suami istri dalam
rumah tangga, pergaulan masyarakat, dan dimuka hukum serta adanya kewajiban
untuk saling mencintai menghormati, setia, dan saling memberi bantuan lahir batin
maka UU Perkawinan bertujuan agar kehidupan antara suami istri akan terhindar dari
perselisihan
atau
tindakan-tindakan
fisik
yang
cenderung
menyakiti
dan
membahayakan jiwa seseorang.5
Selanjutnya, rumah tangga menjadi ajang tindak kekerasan bukanlah suatu
keadaan yang dicita-citakan oleh norma sosial maupun norma hukum. Sebagai
institusi sosial, rumah tangga diharapkan menjadi tempat interaksi yang hangat dan
3
Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan, (Cetakan I; Yogyakarta:
Pustaka Widyatama, 2004), hal.8.
4
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU NO.1/1974 Sampai KHI, Edisi Pertama, (Cetakan III;
Jakarta: Kencana, 2004), hal.48.
5
Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal.2.
Universitas Sumatera Utara
3
intensif antar para anggotanya, tempat menanamkan nilai-nilai sosial.6 Rumah tangga
sebagai
bagian
dari
masyarakat
sebaiknya
dipelihara
kerukunan
dan
keharmonisannya agar tercipta ketentraman dan kenyamanan dalam bermasyarakat.
Kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga timbul masalahmasalah yang mendorong seorang suami atau istri melakukan gugatan cerai dengan
segala alasan. Dengan mempertimbangkan bahwa perceraian adalah solusi terakhir
dalam bahtera rumah tangga mereka.7 Sebenarnya perceraian merupakan suatu yang
wajar terjadi, mengingat selain Allah SWT, semua yang ada di dunia ini sifatnya
adalah tidak abadi termasuk di dalamnya adalah perkawinan. Walaupun perceraian
adalah perbuatan yang dihalalkan, perceraian termasuk salah satu perbuatan yang
dibenci oleh Allah SWT, hal tersebut dihalalkan dalam kasus yang mendesak dan
harus disertai arahan-arahan yang tegas bagaimana ia dilaksanakan. 8 Permasalahan
dalam rumah tangga yang menyebabkan terjadinya perselisihan berkelanjutan antara
suami istri sehingga mengakibatkan terjadinya gugatan perceraian, menurut hukum
maupun ajaran hukum Islam harus diselesaikan terlebih dahulu secara kekeluargaan.
Karena perceraian merupakan solusi terakhir bila permasalahan tersebut tidak dapat
diselesaikan secara kekeluargaan.
Sehubungan dengan itu, rumah tangga yang seharusnya sebagai tempat
berlindung, ternyata menjadi tempat penyiksaan dan kekerasan. Indonesia sebenarnya
6
T.O.Ihromi, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), hal.5.
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), hal.99.
8
Ali Hosien Hakeem, et.al, Membela Perempuan, (Jakarta: Al-Huda, 2005), hal.255.
7
Universitas Sumatera Utara
4
telah memberi perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, yaitu
dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang disahkan pada tanggal 22 September 2004.
Disahkannya UU PKDRT terwujudlah law in book dan pengakuan dari pemerintah
bahwa dulu KDRT sebagai skeleton in closet, kini menjadi tindak pidana atau urusan
publik.9 Dengan berlakunya UUPKDRT tersebut diharapkan oleh pembentuk undangundang dapat memberikan perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga,
khususnya bagi anak dan perempuan yang memang rentan menjadi korban kekerasan.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan khususnya
terhadap perempuan oleh pasangannya maupun anggota keluarga dekatnya, terkadang
juga menjadi permasalahan yang tidak pernah diangkat ke permukaan. Meskipun
kesadaran terhadap pengalaman kekerasan terhadap wanita berlangsung setiap saat,
fenomena KDRT terhadap perempuan diidentikkan dengan sifat permasalahan ruang
privat. Dari perspektif tersebut, kekerasan seperti terlihat sebagai suatu tanggungjawab pribadi dan perempuan diartikan sebagai orang yang bertanggung-jawab baik
itu untuk memperbaiki situasi yang sebenarnya didikte oleh norma-norma sosial atau
mengembangkan metode yang dapat diterima dari penderitaan yang tak terlihat.10
9
Sri Wahyuningsih, dkk, Persepsi dan Sikap Penegak Hukum Terhadap Penanganan KasusKasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Sesuai dengan Undang-Undang Penghapusan KDRT
Nomor 23 Tahun 2004 di Jawa Timur, Jurnal Ilimu-Ilmu Sosial (Social Sciences,. (Malang: Lembaga
Penelitian Universitas Brawijaya, Agustus 2006), hal 154.
10
Pan Mohamad Faiz, Perlindungan terhadap Perempuan Melalui Undang-Undang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Analisa Perbandingan antara Indonesia dan India,
http://jurnalhukum.blogspot.co.id/2007/11/kekerasan-dalam-rumah-tangga.html, diakses senin, tanggal
23 November 2015.
Universitas Sumatera Utara
5
Tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap wanita terutama istri, meski
tidak dapat dipungkiri lelaki/suami juga bisa menjadi korban kekerasan dalam rumah
tangga.11 Akibat permasalahan kekerasan dalam rumah tangga ini dapat menjadi salah
satu faktor penyebab terjadinya perceraian sehingga dapat digunakan seseorang untuk
mengajukan permohonan gugatan perceraian. Sehingga, hal ini perlu dibahas atau
dikaji lebih dalam mengapa kekerasan dalam rumah tangga dapat dijadikan dasar
perceraian.
Perceraian pada hakikatnya adalah suatu proses dimana hubungan suami istri
tatkala tidak ditemui lagi keharmonisan dalam perkawinan. Mengenai defenisi
perceraian undang-undang perkawinan tidak mengatur secara tegas, melainkan hanya
menentukan bahwa perceraian hanyalah satu sebab dari putusnya perkawinan, di
samping sebab lain yakni kematian dan putusan pengadilan. Menurut Subekti bahwa
perceraian merupakan penghapusan perkawinan karena keputusan hakim atau
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.12
Islam menetapkan perkawinan itu dapat terputus karena adanya kematian dan
atau perceraian. Suami dapat menjatuhkan thalaq satu, thalaq dua maupun thalaq tiga.
Cara menjatuhkan thalaq ialah dengan ucapan, dengan arat bagi orang bisu atau
dengan tulisan. Baik thalaq dengan bahasa lisan atau bahasa tulisan tidak boleh
dijadikan main-main. Menurut sebagian ulama madzhab terutama Imam Malik bin
Anas dan al-Syafi’iy bila sampai terucap kata thalaq atau cerai, walaupun dalam
11
Ibrahim Amini, Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Isteri, (Bandung; Al Bayan,
1996), hal. 9.
12
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT.Intermasa, 1987), hal.247.
Universitas Sumatera Utara
6
keadaan main-main ataupun dalam keadaan sedang marah, bisa berarti jatuh thalaq
satu pada istri.13 Dalam pandangan para ulama perceraian mempunyai beberapa
macam hukum sesuai dengan keadaan dan masalah yang dihadapi oleh keluarga
tersebut, adakalanya wajib, mubah, makruh dan haram.14
Dalam lingkungan masyarakat Islam berlaku 3 (tiga) katagori hukum dalam
pandangan Islam, yaitu hukum syari’at, fiqh dan siyasah syar’iyah. Syari’at atau
hukum syara’ adalah ketentuan Allah yang berkaitan dengan perbuatan subjek
hukum, berupa melakukan suatu perbuatan, memilih, atau menentukan sebagai syarat,
sebab, atau penghalang. Fiqih dapat diartikan sebagai ilmu atau pemahaman tentang
hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil yang rinci.
Sedangkan siyasah syar’iyah adalah kewenangan pemerintah untuk melakukan
kebijakan yang dikehendaki kemaslahatan, melalui aturan yang tidak bertentangan
dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu.15
Hukum Islam membenarkan dan mengizinkan perceraian kalau perceraian itu
lebih membaikkan dari tetap berada dalam ikatan perkawinan itu. Walaupun maksud
dari perkawinan itu untuk mencapai kebahagiaan dan kerukunan hati masing-masing,
tentulah kebahagiaan itu tidak akan tercapai dalam hal-hal yang tidak dapat
disesuaikan, karena kebahagiaan itu tidak dapat dipaksakan. Memaksakan
13
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Akademika Presindo,
1994), hal.141.
14
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hal.252-254.
15
Kaharuddin, Nilai-Nilai Filosofi Perkawinan, Menurut Hukum Perkawinan Islam dan
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015),
hal.76.
Universitas Sumatera Utara
7
kebahagiaan bukanlah kebahagiaan tetapi penderitaan. Karena itulah Islam tidak
menigkat mati perkawinan tetapi tidak pula mempermudah perceraian.16
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak. Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian itu harus dilakukan di
depan pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi mereka yang beragama
Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan, bahwa perceraian
itu harus dilakukan di depan pengadilan. Namun ketentuan ini lebih banyak
mendatangkan kebaikan, maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib
mengikuti ketentuan ini.17 Perceraian mempunyai akibat bahwa kekuasaan orang tua
(onderlijkemacht) berakhir dan berubah menjadi “perwalian” (voogdij).18 Perwalian
(voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur, yang tidak berada
di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut
diatur oleh undang-undang.19
Sebagaimana diketahui, perkawinan adalah upaya menyatukan dua pribadi
yang berbeda satu sama lain. Dalam kenyataannya tidak semua perkawinan dapat
berlangsung dengan langgeng dan tentunya tidak ada seorang pun yang ingin
perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Namun apa daya, saat semua upaya
dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan ternyata pada akhirnya diputus
16
H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1981), hal.30.
17
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta:
Liberty, 1986), hal.128.
18
Subekti, Pokok Hukum Perdata, (Cetakan XVII; Jakarta: PT.Intermasa, 2003), hal.52.
19
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
8
cerai oleh pengadilan. Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka akan
ada akibat-akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya adalah mengenai hak asuh
atas anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.20
Berhubungan dengan hak asuh ini, kalau perceraian suami istri telah
memasuki tingkat yang tidak mungkin dicabut kembali, maka yang menjadi persoalan
adalah anak-anak di bawah umur, yakni anak yang belum berakal. Siapakah di antara
suami istri yang berhak memelihara dan mengasuh anak tersebut, yang dalam istilah
hukum Islam disebut hadlanah.21 Hadlanah yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaikbaiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala
sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.22 Terjadinya perceraian antara suami
istri yang menimbulkan perselisihan mengenai hak pengasuhan anak, maka
pengadilan yang akan menetapkan hak pengasuhan anak akan jatuh ke ayah atau ibu.
Hak pemeliharaan dan pengasuhan anak oleh orang tua yang bercerai berdasarkan
putusan pengadilan bertujuan melindungi anak demi terjaminnya kesejahteraan
rohani dan jasmani.
Pada hakekatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri terhadap berbagai
macam ancaman mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh karena
20
Aji
Hoesodo,
Seputar
Hak
Asuh
Anak
Setelah
Perceraian,
http://www.ajihoesodo.com/index.php?option=com_content&view=article&id=76:seputar-hak-asuhanak-setelah-perceraian&catid=2:hukum&Itemid=6, diakses minggu, tanggal 01 Mei 2016.
21
H.M. Djamil Latif, Op. Cit., hal.81.
22
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), hal.117.
Universitas Sumatera Utara
9
itu anak harus dibantu orang lain dalam melindungi diri mengingat situasi dan
kondisinya. Melindungi anak adalah melindungi manusia dan membangun manusia
seutuhnya. Perlindungan anak merupakan hal yang sangat penting demi terciptanya
kontiunitas negara, karena anak merupakan cikal bakal suatu generasi manusia dalam
pembangunan bangsa. Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi
dan situasi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara
manusiawi positif.23
Pengertian perlindungan anak dalam arti luas adalah semua usaha yang
melindungi anak melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi positif.
Setiap anak melaksanakan haknya, ini berarti dilindungi untuk memperoleh dan
mempertahankan haknya untuk hidup mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh
kembang dan perlindungan pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri dan dapat
perlindungan.24 Kemudian, dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak menegaskan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.25 Oleh
karena itu, perlu dikaji lebih mendalam mengenai hak pemeliharaan dan pengasuhan
23
Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hal.
24
Ibid, hal.167.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
165.
25
Universitas Sumatera Utara
10
anak akibat perceraian menurut hukum Islam dan hukum positip yang berlaku di
Indonesia.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama juncto Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Sehingga dapat dikatakan bahwa di Indonesia perceraian bagi yang beragama Islam
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yaitu Pengadilan Agama.
Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, kewenangan Pengadilan Agama secara limitatif meliputi:26
1.
2.
3.
Seluruh bidang perkawinan sebagaimana yang tersebut dalam UndangUndang Nomor 1 tahun1974 Tentang Perkawinan;
Kewarisan, yaitu tentang penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris,
penetuan bagian-bagian yang ditetapkan oleh para ahli waris, penetuan
tentang harta warisan, penentuan tentang harta peninggalan si pewaris,
dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut;
Berwenang memutuskan dan menyelesaikan perkara hibah, wasiat wakaf,
dan sedekah bagi orang-orang Islam.
Kewenangan ini tidak bersifat fersiar dan seluruhnya utuh tanpa terbagi
kepada kewenangan lingkungan Peradilan Umum. Dengan demikian, undang-undang
ini melenyapkan titik singgung kewenangan dengan Peradilan Umum yang selama ini
26
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, Suatu Kajian dalam Sistem
Peradilan Islam, Edisi Pertama, (Cetakan I; Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hal.180-181.
Universitas Sumatera Utara
11
terjadi.27 Sebagai lembaga peradilan, peradilan agama dalam bentuknya yang
sederhana berupa tahkim, yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara orang-orang
yang beragama Islam yang dilakukan oleh para ahli agama Islam.28
Selanjutnya, dengan adanya kewenangan Pengadilan Agama berdasarkan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dalam memutuskan perkara
perceraian untuk warga negara Indonesia yang beragama Islam, dan sebagai bahan
kajian dalam tesis ini, perlu dibahas suatu studi kasus perkara perceraian yang
diputuskan oleh hakim Pengadilan Agama Medan atas suatu perkara, yang bertujuan
untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama dalam
memutuskan perkara Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn. Dalam perkara ini pihak
penggugat (istri) telah mengajukan gugatan cerai terhadap tergugat (suami) yang
telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Medan pada tanggal 28
Nopember 2011 dengan dalil bahwa tergugat sering bersikap kasar, kurang peduli
terhadap kebutuhan hidup keluarga dan sering berselisih secara terus menerus atau
melakukan kekerasan dalam rumah tangga sehingga hubungan perkawinan penggugat
dengan tergugat tidak harmonis dan tidak dapat dipertahankan lagi.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka penelitian tesis ini akan
difokuskan mengenai kekerasan dalam rumah tangga menjadi salah satu faktor
penyebab terjadinya perceraian yang akan dituangkan ke dalam proposal penelitian
27
Ibid., hal.181.
Zainuddin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Cetakan I;
Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal.92.(1)
28
Universitas Sumatera Utara
12
tesis “Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Penyebab Terjadinya
Perceraian
(Studi
Putusan
Pengadilan
Agama
Medan
Nomor
1572/Pdt.G/2011/PA Mdn)”
B. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam proposal tesis ini
adalah:
1.
Mengapa Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dapat Dijadikan Dasar Perceraian?
2.
Bagaimana hak pemeliharaan dan pengasuhan anak akibat perceraian menurut
hukum Islam dan hukum positip yang berlaku di Indonesia?
3.
Bagaimana pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan
perkara Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini:
1.
Untuk mengetahui kekerasan dalam rumah tangga yang dapat dijadikan dasar
perceraian.
2.
Untuk mengetahui hak pemeliharaan dan pengasuhan anak akibat perceraian
menurut hukum Islam dan hukum positip yang berlaku di Indonesia.
3.
Untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama dalam
memutuskan perkara Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn.
Universitas Sumatera Utara
13
D. Manfaat Penelitian
Tujuan dan manfaat penelitian merupakan suatu rangkaian yang hendak
dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut:
1.
Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menambah bahan pustaka/literatur
mengenai Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Penyebab Terjadinya
Perceraian
(Studi
Putusan
Pengadilan
Agama
Medan
Nomor
1572/Pdt.G/2011/PA Mdn).
2.
Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya Hukum di
bidang Kenotariatan sehingga dapat dijadikan bahan bagi kalangan yang
berminat mempelajarinya.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran dan informasi yang ada dalam kepustakaan
Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Tindak
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Penyebab Terjadinya Perceraian (Studi Putusan
Pengadilan Agama Medan Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn)”.
Adapun penelitian yang menyerupai namun tidak membahas tentang
permasalahan yang sama, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
14
1.
Peran POLRI Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Di Kota Medan oleh Anda Nurani, NIM: 067005047.
Permasalahan yang dibahas :
a. Bagaimanakah Peran POLRI dalam menanggulangi tindak pidana Kekerasan
Dalam Rumah Tangga di Kota Medan?
b. Hambatan-hambatan
apakah
yang
dihadapi
POLRI
dalam
upaya
menanggulangi tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota
Medan?
c. Bagaimanakah solusi bagi POLRI dalam upaya menanggulangi tindak pidana
Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan pada masa depan?
2.
Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian (Studi Pada
Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura – Riau) oleh Anastasius Rico Haratua
Sitanggang, NIM: 037011006.
Permasalahan yang dibahas :
a. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinan karena
perceraian?
b. Bagaimanakah akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang
disebabkan perceraian melalui putusan pengadilan?
c. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara
perceraian di Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura-Riau?
Universitas Sumatera Utara
15
3.
Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam oleh
Ismy Syafriani Nasution, NIM: 077011030.
Permasalahan yang dibahas :
a. Bagaimanakah akibat hukum penyelesaian sengketa terhadap harta bersama
menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam?
b. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta
bersama akibat hukum perceraian?
c. Bagaimanakah akibat hukum penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan
pemeliharaan anak dari pembagian harta bersama setelah terjadinya perceraian
dikaitkan dengan perjanjian perkawinan?
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.
Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan teori yang dibuat untuk memberikan gambaran
sistematis mengenai masalah yang akan diteliti. Teori ini masih bersifat sementara
yang akan dibuktikan kebenarannya dengan cara meneliti secara realitas. Teori adalah
suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu
fenomena atau teori juga merupakan kesimpulan dari rangkaian berbagai fenomena
menjadi penjelasan yang sifatnya umum.29
29
Mukti Fajar Nurdewata, Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hal.134.
Universitas Sumatera Utara
16
Dengan mendasarkan kepada pendapat Malcolm Waters maka teori
hendaknya meliputi semua perangkat pernyataan yang disusun dengan sengaja yang
dapat memenuhi kriteria:30
a. Pernyataan itu harus abstrak yaitu, harus dipisahkan dari praktik-praktik sosial
yang dilakukan. Teori biasanya mencapai abstraksi melalui pengembangan
konsep teknis yang hanya digunakan dalam komunitas tertentu;
b. Pernyataan itu harus tematis. Argumentasi tematis tertentu harus diungkapkan
melalui seperangkat pernyataan yang menjadikan pernyataan itu koheran dan
kuat;
c. Pernyataan itu harus konsisten secara logika. Pernyataan-pernyataan itu tidak
boleh saling berlawanan satu sama lain dan jika mungkin dapat ditarik
kesimpulan dari satu dan lainnya;
d. Pernyataan itu harus dijelaskan. Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau
argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk
substansi atau eksistensinya;
e. Pernyataan itu harus umum pada prinsipnya, pernyataan itu harus dapat
digunakan dan menerangkan semua atau contoh fenomena apapun yang
mereka coba terangkan;
f. Pernyataan-pernyataan itu harus independen. Pernyataan itu tidak boleh
dikurangi hingga penjelasan yang ditawarkan para partisipan untuk tingkah
laku mereka sendiri;
30
H.R.Otje Salman S, Anthon F.Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali), (Cetakan I; Bandung: PT.Refika Aditama, 2004), hal.22-23.
Universitas Sumatera Utara
17
g. Pernyataan-pernyataan itu secara substantif harus valid. Pernyataan itu harus
konsisten tentang apa yang diketahui tentang dunia sosial oleh partisipan dan
ahli-ahli lainnya. Minimal harus ada aturan-aturan penerjemahan yang dapat
menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain.
Teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik
tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara
rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan
suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu
penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris
untuk dapat dinyatakan benar.31 Dalam setiap penelitian harus disertai dengan
pemikiran-pemikiran yang teoritis. Teori adalah menerangkan atau menjelaskan
mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.32
Terdapat empat ciri kerangka teori dalam penulisan karya ilmiah hukum,
yaitu: teori hukum, asas-asas hukum, doktrin hukum dan ulasan pakar hukum
berdasarkan dalam pembidangan kekhususannya.33 Berkaitan dengan pendapat
tersebut maka teori adalah serangkaian konsep, defenisi dan proposal yang berkaitan
dan bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis tentang suatu gejala.34
Dalam menjawab rumusan masalah yang ada, secara teoritis tesis ini
menggunakan teori tahkim. Adapun pengertian tahkim menurut ahli hukum Islam
kelompok Syafi’iyyah adalah memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau
31
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV.Mandar Maju, 1994), hal.27.
Ibid.
33
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.79.(2)
34
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008),
32
hal.141.
Universitas Sumatera Utara
18
lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan menetapkan hukum syara’ terhadap
suatu peristiwa yang wajib dilaksanakannya.35
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat an-Nisa’: 35, yang artinya: “Dan
jika kamu dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang
hakam (juru pendamai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal”. Dalam ayat ini Allah memberikan petunjuk cara dan langkah
penyelesaian perselisihan antara suami dan istri. 36
Teori tahkim ini diperlukan untuk dapat menjelaskan bahwa perselisihan yang
terjadi dalam suatu rumah tangga (perkawinan) dan berkelanjutan sampai terjadinya
tindak kekerasan dalam rumah tangga, terlebih dahulu harus diselesaikan secara
kekeluargaan oleh pihak keluarga dari masing-masing suami-istri yang bertikai. Bila
kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga ini sampai ke persidangan di Pengadilan
Agama maka hakim akan mengarahkan kedua belah pihak suami-istri untuk
melakukan mediasi terlebih dahulu sebelum menjatuhkan putusannya (vonis)
terhadap gugatan perceraian. Hal ini terkait Hadist Rasulullah bahwa perbuatan halal
yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian). Karena perceraian
merupakan solusi terakhir apabila penyelesaian secara keluarga tidak berhasil.
35
Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih Dan Ushul Fiqih, (Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2013), hal.69.
36
Ibid., hal.72.
Universitas Sumatera Utara
19
Dalam menjawab rumusan masalah tesis ini, digunakan juga teori keadilan
dalam ajaran Islam. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat AlMaidah: 8, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Mendalamnya makna keadilan berdasarkan iman bisa dilhat dari kaitannya
dengan amanat (amanah, titipan suci dari Tuhan) kepada manusia untuk sesamanya.
Khususnya amanat yang berkenaan dengan kekuasaan memerintah. Kekuasaan
pemerintahan adalah sebuah keniscayaan demi ketertiban tatanan hidup kita. Sendi
setiap bentuk kekuasaan adalah sikap patuh dari banyak orang kepada penguasa.
Kekuasaan dan ketaatan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Namun,
kekuasaan yang patut dan harus ditaati hanyalah yang mencerminkan rasa keadilan
karena menjalankan amanat Tuhan.37
Menurut Raghib Al Asfahani ‘Adl berarti memberi pembagian yang sama. Hal
ini sejalan dengan pendapat Al Maraghi yang memberikan makna ‘Adl dengan
menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif. Sedangkan menurut Abd.Muin
37
Ibid., hal.100.
Universitas Sumatera Utara
20
Salim pendapat ‘Adl ini dinilai bukan pada segi persamaan hak, tetapi tekanannya
pada terpenuhinya hak-hak milik seseorang.38
Teori keadilan ini diperlukan untuk dapat menjelaskan bahwa hakim
pengadilan agama dalam memutuskan suatu perkara kekerasan dalam rumah tangga
atas Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn), harus
bersikap adil atau tidak memihak dalam pengambilan keputusannya. Hal ini
dilakukannya sesuai dengan kewenangan dan amanat yang dimilikinya baik dari
Allah maupun undang-undang yang berlaku.
2.
Kerangka Konsepsi
Konsepsi adalah suatu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam
penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.39
Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
a. Kekerasan dalam rumah tangga
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang dimaksud dengan
kekerasan dalam rumah tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara
fisik, seksual, psikologis dan/ atau penelantaran rumah tangga
38
Parman Ali, Kewarisan Dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal.74.
39
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), hal.31.
Universitas Sumatera Utara
21
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.40
b. Perceraian
Pengertian perceraian juga dapat ditemui dari beberapa pendapat Imam
Madzhab, Imam Syafi’I berpendapat bahwa talak ialah melepaskan akad
nikah dengan lafadz talak atau yang semakna dengan itu, sedangkan Hanafi
dan Hambali memberikan pengertian talak sebagai suatu pelepasan ikatan
perkawinan secara langsung atau untuk masa yang akan datang dengan lafadz
khusus, pendapat lain yang memberikan pengertian talak secara lebih umum
dikemukakan oleh Imam Maliki yang mengartikan talak sebagai suatu sifat
hukum khusus yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.41
c. Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum Islam
kepada orang Islam yang mencari keadilan di Pengadilan Agama dan
Peradilan Tinggi Agama, dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Selain
itu, peradilan umum merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
dalam negara Republik Indonesia. Lembaga peradilan dimaksud mempunyai
kedudukan yang sama, sederajat dengan kewenangan yang berbeda.42
G. Metode Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis,
40
41
42
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
A.Aziz Dahlan, Ensikopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT.Ihtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal.1777.
Zainuddin Ali (1), Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
22
sistematis, dan konsisten.43 Penelitian (research) sesuai dengan tujuannya dapat
didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji
kebenaran suatu pengetahuan.44
1.
Sifat dan Jenis Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat deskriptif
analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara
rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis
dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan
analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.45
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (yuridis
normatif), yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder yang
dimulai dengan analisis terhadap permasalahan hukum yang baik berasal dari
literatur maupun peraturan perundang-undangan.46
2.
Sumber Data/Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder melalui studi dokumen-dokumen, untuk memperoleh data yang diambil
dari bahan kepustakaan, diantaranya adalah:
43
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal.2.
Muslam Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press,
2009), hal.91.
45
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung:
Alumni, 1994), hal.101.
46
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,
2010), hal.37-38.
44
Universitas Sumatera Utara
23
a. Bahan Hukum Primer,47 yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini
diantaranya adalah Al-Qur’an dan Hadist, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan
perkawinan, perceraian serta kewenangan Pengadilan Agama.
b. Bahan Hukum Sekunder,48 yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan
hukum primer, seperti buku-buku yang berkaitan dengan penelitian, hasil
penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, Putusan
Pengadilan Agama Medan Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn dan literaturliteratur.
c. Bahan Hukum Tersier,49 yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
47
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), hal.53.
48
Ibid.
49
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Cetakan V; Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2001), hal.13.
Universitas Sumatera Utara
24
Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum, surat
kabar, ensiklopedia, makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.
3.
Teknik dan Alat Pengumpulan Data
a.
Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi
kepustakaan, yaitu menghimpun data dari hasil pencarian bahan pustaka atau data
sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tertier. Untuk memperoleh data-data ini akan menggunakan alat penelitian
studi dokumen/pustaka atau penelitian pustaka yaitu dengan cara mengumpulkan
semua peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen hukum dan buku-buku
yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian.50.
b. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data yang
dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan:
1) Studi dokumen, studi dokumen dilakukan dengan membaca, mempelajari, dan
menganalisis literarur buku-buku, peraturan peraturan perundang-undangan,
dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penulisan tesis.
2) Wawancara dipandu dengan pedoman wawancara, hasil wawancara yang
diperoleh akan digunakan sebagai data penunjang dalam penelitian. Data
tersebut diperoleh dari pihak yang telah ditentukan sebagai informan atau
50
Mukhti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.156.
Universitas Sumatera Utara
25
narasumber yaitu Pengadilan Agama Medan Kelas IA dan MUI Wilayah
Sumatera Utara sehingga diperoleh data yang diperlukan sebagai data
pendukung dalam penelitian tesis ini.
4.
Analisis Data
Analisis data sangat diperlukan dalam suatu penelitian, hal ini berguna untuk
memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan
metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang
kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan
variasi (keragaman).51 Kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal
yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.52
51
Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis
Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2003), hal.53.
52
Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit., hal.57.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga disuruh
oleh Nabi. Banyak suruhan-suruhan Allah dalam Al-Qur’an untuk melaksanakan
perkawinan. Sebagaimana firman-Nya dalam surat an-Nur ayat 32 yang artinya : 1
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orangorang yang layak (untuk kawin) di antara hamba-hamba sahayamu yang lakilaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah
akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya.”
Islam memandang perkawinan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
kehidupan individual, kekeluargaan maupun kehidupan bangsa, sebagaimana yang
telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam kehidupannya. Islam tidak
menghendaki seseorang hidup membujang tidak kawin selamanya karena hal ini
berlawanan dengan fitrah manusia serta ajaran agama.2
Pada dasarnya tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqih Munafakat dan
Undang-Undang Perkawinan, Edisi Pertama, (Cetakan III; Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009), hal.43.
2
Supardi Mursalim, Menolak Poligami (Studi tentang Undang-Undang Perkawinan dan
Hukum Islam), (Cetakan I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal.1.
1
Universitas Sumatera Utara
2
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.3 Ketentuan ini menunjukkan bahwa untuk
mewujudkan keluarga yang bahagia dalam rumah tangga maka landasan utama yang
perlu dibangun antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri adalah adanya hak
dan kewajiban di antara keduanya.
Sering terjadi di dalam masyarakat baik yang menganut kekerabatan bilateral,
matrilinear terlebih patrilinear, perkawinan tetap dipahami sebagai hubungan yang
tidak seimbang. Perkawinan dipahami sebagai hubungan antara subjek dengan objek
“atas” dan “bawah”, penguasa dengan yang dikuasai. Sering kali suami ditempatkan
pada posisi yang berkuasa dan istri sebagai pihak yang dikuasai.4
Dengan pengaturan hak dan kewajiban yang sama antara suami istri dalam
rumah tangga, pergaulan masyarakat, dan dimuka hukum serta adanya kewajiban
untuk saling mencintai menghormati, setia, dan saling memberi bantuan lahir batin
maka UU Perkawinan bertujuan agar kehidupan antara suami istri akan terhindar dari
perselisihan
atau
tindakan-tindakan
fisik
yang
cenderung
menyakiti
dan
membahayakan jiwa seseorang.5
Selanjutnya, rumah tangga menjadi ajang tindak kekerasan bukanlah suatu
keadaan yang dicita-citakan oleh norma sosial maupun norma hukum. Sebagai
institusi sosial, rumah tangga diharapkan menjadi tempat interaksi yang hangat dan
3
Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan, (Cetakan I; Yogyakarta:
Pustaka Widyatama, 2004), hal.8.
4
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU NO.1/1974 Sampai KHI, Edisi Pertama, (Cetakan III;
Jakarta: Kencana, 2004), hal.48.
5
Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal.2.
Universitas Sumatera Utara
3
intensif antar para anggotanya, tempat menanamkan nilai-nilai sosial.6 Rumah tangga
sebagai
bagian
dari
masyarakat
sebaiknya
dipelihara
kerukunan
dan
keharmonisannya agar tercipta ketentraman dan kenyamanan dalam bermasyarakat.
Kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga timbul masalahmasalah yang mendorong seorang suami atau istri melakukan gugatan cerai dengan
segala alasan. Dengan mempertimbangkan bahwa perceraian adalah solusi terakhir
dalam bahtera rumah tangga mereka.7 Sebenarnya perceraian merupakan suatu yang
wajar terjadi, mengingat selain Allah SWT, semua yang ada di dunia ini sifatnya
adalah tidak abadi termasuk di dalamnya adalah perkawinan. Walaupun perceraian
adalah perbuatan yang dihalalkan, perceraian termasuk salah satu perbuatan yang
dibenci oleh Allah SWT, hal tersebut dihalalkan dalam kasus yang mendesak dan
harus disertai arahan-arahan yang tegas bagaimana ia dilaksanakan. 8 Permasalahan
dalam rumah tangga yang menyebabkan terjadinya perselisihan berkelanjutan antara
suami istri sehingga mengakibatkan terjadinya gugatan perceraian, menurut hukum
maupun ajaran hukum Islam harus diselesaikan terlebih dahulu secara kekeluargaan.
Karena perceraian merupakan solusi terakhir bila permasalahan tersebut tidak dapat
diselesaikan secara kekeluargaan.
Sehubungan dengan itu, rumah tangga yang seharusnya sebagai tempat
berlindung, ternyata menjadi tempat penyiksaan dan kekerasan. Indonesia sebenarnya
6
T.O.Ihromi, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), hal.5.
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), hal.99.
8
Ali Hosien Hakeem, et.al, Membela Perempuan, (Jakarta: Al-Huda, 2005), hal.255.
7
Universitas Sumatera Utara
4
telah memberi perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, yaitu
dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang disahkan pada tanggal 22 September 2004.
Disahkannya UU PKDRT terwujudlah law in book dan pengakuan dari pemerintah
bahwa dulu KDRT sebagai skeleton in closet, kini menjadi tindak pidana atau urusan
publik.9 Dengan berlakunya UUPKDRT tersebut diharapkan oleh pembentuk undangundang dapat memberikan perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga,
khususnya bagi anak dan perempuan yang memang rentan menjadi korban kekerasan.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan khususnya
terhadap perempuan oleh pasangannya maupun anggota keluarga dekatnya, terkadang
juga menjadi permasalahan yang tidak pernah diangkat ke permukaan. Meskipun
kesadaran terhadap pengalaman kekerasan terhadap wanita berlangsung setiap saat,
fenomena KDRT terhadap perempuan diidentikkan dengan sifat permasalahan ruang
privat. Dari perspektif tersebut, kekerasan seperti terlihat sebagai suatu tanggungjawab pribadi dan perempuan diartikan sebagai orang yang bertanggung-jawab baik
itu untuk memperbaiki situasi yang sebenarnya didikte oleh norma-norma sosial atau
mengembangkan metode yang dapat diterima dari penderitaan yang tak terlihat.10
9
Sri Wahyuningsih, dkk, Persepsi dan Sikap Penegak Hukum Terhadap Penanganan KasusKasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Sesuai dengan Undang-Undang Penghapusan KDRT
Nomor 23 Tahun 2004 di Jawa Timur, Jurnal Ilimu-Ilmu Sosial (Social Sciences,. (Malang: Lembaga
Penelitian Universitas Brawijaya, Agustus 2006), hal 154.
10
Pan Mohamad Faiz, Perlindungan terhadap Perempuan Melalui Undang-Undang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Analisa Perbandingan antara Indonesia dan India,
http://jurnalhukum.blogspot.co.id/2007/11/kekerasan-dalam-rumah-tangga.html, diakses senin, tanggal
23 November 2015.
Universitas Sumatera Utara
5
Tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap wanita terutama istri, meski
tidak dapat dipungkiri lelaki/suami juga bisa menjadi korban kekerasan dalam rumah
tangga.11 Akibat permasalahan kekerasan dalam rumah tangga ini dapat menjadi salah
satu faktor penyebab terjadinya perceraian sehingga dapat digunakan seseorang untuk
mengajukan permohonan gugatan perceraian. Sehingga, hal ini perlu dibahas atau
dikaji lebih dalam mengapa kekerasan dalam rumah tangga dapat dijadikan dasar
perceraian.
Perceraian pada hakikatnya adalah suatu proses dimana hubungan suami istri
tatkala tidak ditemui lagi keharmonisan dalam perkawinan. Mengenai defenisi
perceraian undang-undang perkawinan tidak mengatur secara tegas, melainkan hanya
menentukan bahwa perceraian hanyalah satu sebab dari putusnya perkawinan, di
samping sebab lain yakni kematian dan putusan pengadilan. Menurut Subekti bahwa
perceraian merupakan penghapusan perkawinan karena keputusan hakim atau
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.12
Islam menetapkan perkawinan itu dapat terputus karena adanya kematian dan
atau perceraian. Suami dapat menjatuhkan thalaq satu, thalaq dua maupun thalaq tiga.
Cara menjatuhkan thalaq ialah dengan ucapan, dengan arat bagi orang bisu atau
dengan tulisan. Baik thalaq dengan bahasa lisan atau bahasa tulisan tidak boleh
dijadikan main-main. Menurut sebagian ulama madzhab terutama Imam Malik bin
Anas dan al-Syafi’iy bila sampai terucap kata thalaq atau cerai, walaupun dalam
11
Ibrahim Amini, Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Isteri, (Bandung; Al Bayan,
1996), hal. 9.
12
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT.Intermasa, 1987), hal.247.
Universitas Sumatera Utara
6
keadaan main-main ataupun dalam keadaan sedang marah, bisa berarti jatuh thalaq
satu pada istri.13 Dalam pandangan para ulama perceraian mempunyai beberapa
macam hukum sesuai dengan keadaan dan masalah yang dihadapi oleh keluarga
tersebut, adakalanya wajib, mubah, makruh dan haram.14
Dalam lingkungan masyarakat Islam berlaku 3 (tiga) katagori hukum dalam
pandangan Islam, yaitu hukum syari’at, fiqh dan siyasah syar’iyah. Syari’at atau
hukum syara’ adalah ketentuan Allah yang berkaitan dengan perbuatan subjek
hukum, berupa melakukan suatu perbuatan, memilih, atau menentukan sebagai syarat,
sebab, atau penghalang. Fiqih dapat diartikan sebagai ilmu atau pemahaman tentang
hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil yang rinci.
Sedangkan siyasah syar’iyah adalah kewenangan pemerintah untuk melakukan
kebijakan yang dikehendaki kemaslahatan, melalui aturan yang tidak bertentangan
dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu.15
Hukum Islam membenarkan dan mengizinkan perceraian kalau perceraian itu
lebih membaikkan dari tetap berada dalam ikatan perkawinan itu. Walaupun maksud
dari perkawinan itu untuk mencapai kebahagiaan dan kerukunan hati masing-masing,
tentulah kebahagiaan itu tidak akan tercapai dalam hal-hal yang tidak dapat
disesuaikan, karena kebahagiaan itu tidak dapat dipaksakan. Memaksakan
13
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Akademika Presindo,
1994), hal.141.
14
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hal.252-254.
15
Kaharuddin, Nilai-Nilai Filosofi Perkawinan, Menurut Hukum Perkawinan Islam dan
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015),
hal.76.
Universitas Sumatera Utara
7
kebahagiaan bukanlah kebahagiaan tetapi penderitaan. Karena itulah Islam tidak
menigkat mati perkawinan tetapi tidak pula mempermudah perceraian.16
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak. Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian itu harus dilakukan di
depan pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi mereka yang beragama
Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan, bahwa perceraian
itu harus dilakukan di depan pengadilan. Namun ketentuan ini lebih banyak
mendatangkan kebaikan, maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib
mengikuti ketentuan ini.17 Perceraian mempunyai akibat bahwa kekuasaan orang tua
(onderlijkemacht) berakhir dan berubah menjadi “perwalian” (voogdij).18 Perwalian
(voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur, yang tidak berada
di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut
diatur oleh undang-undang.19
Sebagaimana diketahui, perkawinan adalah upaya menyatukan dua pribadi
yang berbeda satu sama lain. Dalam kenyataannya tidak semua perkawinan dapat
berlangsung dengan langgeng dan tentunya tidak ada seorang pun yang ingin
perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Namun apa daya, saat semua upaya
dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan ternyata pada akhirnya diputus
16
H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1981), hal.30.
17
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta:
Liberty, 1986), hal.128.
18
Subekti, Pokok Hukum Perdata, (Cetakan XVII; Jakarta: PT.Intermasa, 2003), hal.52.
19
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
8
cerai oleh pengadilan. Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka akan
ada akibat-akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya adalah mengenai hak asuh
atas anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.20
Berhubungan dengan hak asuh ini, kalau perceraian suami istri telah
memasuki tingkat yang tidak mungkin dicabut kembali, maka yang menjadi persoalan
adalah anak-anak di bawah umur, yakni anak yang belum berakal. Siapakah di antara
suami istri yang berhak memelihara dan mengasuh anak tersebut, yang dalam istilah
hukum Islam disebut hadlanah.21 Hadlanah yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaikbaiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala
sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.22 Terjadinya perceraian antara suami
istri yang menimbulkan perselisihan mengenai hak pengasuhan anak, maka
pengadilan yang akan menetapkan hak pengasuhan anak akan jatuh ke ayah atau ibu.
Hak pemeliharaan dan pengasuhan anak oleh orang tua yang bercerai berdasarkan
putusan pengadilan bertujuan melindungi anak demi terjaminnya kesejahteraan
rohani dan jasmani.
Pada hakekatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri terhadap berbagai
macam ancaman mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh karena
20
Aji
Hoesodo,
Seputar
Hak
Asuh
Anak
Setelah
Perceraian,
http://www.ajihoesodo.com/index.php?option=com_content&view=article&id=76:seputar-hak-asuhanak-setelah-perceraian&catid=2:hukum&Itemid=6, diakses minggu, tanggal 01 Mei 2016.
21
H.M. Djamil Latif, Op. Cit., hal.81.
22
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), hal.117.
Universitas Sumatera Utara
9
itu anak harus dibantu orang lain dalam melindungi diri mengingat situasi dan
kondisinya. Melindungi anak adalah melindungi manusia dan membangun manusia
seutuhnya. Perlindungan anak merupakan hal yang sangat penting demi terciptanya
kontiunitas negara, karena anak merupakan cikal bakal suatu generasi manusia dalam
pembangunan bangsa. Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi
dan situasi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara
manusiawi positif.23
Pengertian perlindungan anak dalam arti luas adalah semua usaha yang
melindungi anak melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi positif.
Setiap anak melaksanakan haknya, ini berarti dilindungi untuk memperoleh dan
mempertahankan haknya untuk hidup mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh
kembang dan perlindungan pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri dan dapat
perlindungan.24 Kemudian, dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak menegaskan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.25 Oleh
karena itu, perlu dikaji lebih mendalam mengenai hak pemeliharaan dan pengasuhan
23
Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hal.
24
Ibid, hal.167.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
165.
25
Universitas Sumatera Utara
10
anak akibat perceraian menurut hukum Islam dan hukum positip yang berlaku di
Indonesia.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama juncto Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Sehingga dapat dikatakan bahwa di Indonesia perceraian bagi yang beragama Islam
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yaitu Pengadilan Agama.
Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, kewenangan Pengadilan Agama secara limitatif meliputi:26
1.
2.
3.
Seluruh bidang perkawinan sebagaimana yang tersebut dalam UndangUndang Nomor 1 tahun1974 Tentang Perkawinan;
Kewarisan, yaitu tentang penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris,
penetuan bagian-bagian yang ditetapkan oleh para ahli waris, penetuan
tentang harta warisan, penentuan tentang harta peninggalan si pewaris,
dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut;
Berwenang memutuskan dan menyelesaikan perkara hibah, wasiat wakaf,
dan sedekah bagi orang-orang Islam.
Kewenangan ini tidak bersifat fersiar dan seluruhnya utuh tanpa terbagi
kepada kewenangan lingkungan Peradilan Umum. Dengan demikian, undang-undang
ini melenyapkan titik singgung kewenangan dengan Peradilan Umum yang selama ini
26
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, Suatu Kajian dalam Sistem
Peradilan Islam, Edisi Pertama, (Cetakan I; Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hal.180-181.
Universitas Sumatera Utara
11
terjadi.27 Sebagai lembaga peradilan, peradilan agama dalam bentuknya yang
sederhana berupa tahkim, yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara orang-orang
yang beragama Islam yang dilakukan oleh para ahli agama Islam.28
Selanjutnya, dengan adanya kewenangan Pengadilan Agama berdasarkan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dalam memutuskan perkara
perceraian untuk warga negara Indonesia yang beragama Islam, dan sebagai bahan
kajian dalam tesis ini, perlu dibahas suatu studi kasus perkara perceraian yang
diputuskan oleh hakim Pengadilan Agama Medan atas suatu perkara, yang bertujuan
untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama dalam
memutuskan perkara Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn. Dalam perkara ini pihak
penggugat (istri) telah mengajukan gugatan cerai terhadap tergugat (suami) yang
telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Medan pada tanggal 28
Nopember 2011 dengan dalil bahwa tergugat sering bersikap kasar, kurang peduli
terhadap kebutuhan hidup keluarga dan sering berselisih secara terus menerus atau
melakukan kekerasan dalam rumah tangga sehingga hubungan perkawinan penggugat
dengan tergugat tidak harmonis dan tidak dapat dipertahankan lagi.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka penelitian tesis ini akan
difokuskan mengenai kekerasan dalam rumah tangga menjadi salah satu faktor
penyebab terjadinya perceraian yang akan dituangkan ke dalam proposal penelitian
27
Ibid., hal.181.
Zainuddin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Cetakan I;
Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal.92.(1)
28
Universitas Sumatera Utara
12
tesis “Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Penyebab Terjadinya
Perceraian
(Studi
Putusan
Pengadilan
Agama
Medan
Nomor
1572/Pdt.G/2011/PA Mdn)”
B. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam proposal tesis ini
adalah:
1.
Mengapa Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dapat Dijadikan Dasar Perceraian?
2.
Bagaimana hak pemeliharaan dan pengasuhan anak akibat perceraian menurut
hukum Islam dan hukum positip yang berlaku di Indonesia?
3.
Bagaimana pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan
perkara Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini:
1.
Untuk mengetahui kekerasan dalam rumah tangga yang dapat dijadikan dasar
perceraian.
2.
Untuk mengetahui hak pemeliharaan dan pengasuhan anak akibat perceraian
menurut hukum Islam dan hukum positip yang berlaku di Indonesia.
3.
Untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama dalam
memutuskan perkara Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn.
Universitas Sumatera Utara
13
D. Manfaat Penelitian
Tujuan dan manfaat penelitian merupakan suatu rangkaian yang hendak
dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut:
1.
Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menambah bahan pustaka/literatur
mengenai Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Penyebab Terjadinya
Perceraian
(Studi
Putusan
Pengadilan
Agama
Medan
Nomor
1572/Pdt.G/2011/PA Mdn).
2.
Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya Hukum di
bidang Kenotariatan sehingga dapat dijadikan bahan bagi kalangan yang
berminat mempelajarinya.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran dan informasi yang ada dalam kepustakaan
Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Tindak
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Penyebab Terjadinya Perceraian (Studi Putusan
Pengadilan Agama Medan Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn)”.
Adapun penelitian yang menyerupai namun tidak membahas tentang
permasalahan yang sama, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
14
1.
Peran POLRI Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Di Kota Medan oleh Anda Nurani, NIM: 067005047.
Permasalahan yang dibahas :
a. Bagaimanakah Peran POLRI dalam menanggulangi tindak pidana Kekerasan
Dalam Rumah Tangga di Kota Medan?
b. Hambatan-hambatan
apakah
yang
dihadapi
POLRI
dalam
upaya
menanggulangi tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota
Medan?
c. Bagaimanakah solusi bagi POLRI dalam upaya menanggulangi tindak pidana
Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan pada masa depan?
2.
Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian (Studi Pada
Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura – Riau) oleh Anastasius Rico Haratua
Sitanggang, NIM: 037011006.
Permasalahan yang dibahas :
a. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinan karena
perceraian?
b. Bagaimanakah akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang
disebabkan perceraian melalui putusan pengadilan?
c. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara
perceraian di Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura-Riau?
Universitas Sumatera Utara
15
3.
Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam oleh
Ismy Syafriani Nasution, NIM: 077011030.
Permasalahan yang dibahas :
a. Bagaimanakah akibat hukum penyelesaian sengketa terhadap harta bersama
menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam?
b. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta
bersama akibat hukum perceraian?
c. Bagaimanakah akibat hukum penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan
pemeliharaan anak dari pembagian harta bersama setelah terjadinya perceraian
dikaitkan dengan perjanjian perkawinan?
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.
Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan teori yang dibuat untuk memberikan gambaran
sistematis mengenai masalah yang akan diteliti. Teori ini masih bersifat sementara
yang akan dibuktikan kebenarannya dengan cara meneliti secara realitas. Teori adalah
suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu
fenomena atau teori juga merupakan kesimpulan dari rangkaian berbagai fenomena
menjadi penjelasan yang sifatnya umum.29
29
Mukti Fajar Nurdewata, Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hal.134.
Universitas Sumatera Utara
16
Dengan mendasarkan kepada pendapat Malcolm Waters maka teori
hendaknya meliputi semua perangkat pernyataan yang disusun dengan sengaja yang
dapat memenuhi kriteria:30
a. Pernyataan itu harus abstrak yaitu, harus dipisahkan dari praktik-praktik sosial
yang dilakukan. Teori biasanya mencapai abstraksi melalui pengembangan
konsep teknis yang hanya digunakan dalam komunitas tertentu;
b. Pernyataan itu harus tematis. Argumentasi tematis tertentu harus diungkapkan
melalui seperangkat pernyataan yang menjadikan pernyataan itu koheran dan
kuat;
c. Pernyataan itu harus konsisten secara logika. Pernyataan-pernyataan itu tidak
boleh saling berlawanan satu sama lain dan jika mungkin dapat ditarik
kesimpulan dari satu dan lainnya;
d. Pernyataan itu harus dijelaskan. Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau
argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk
substansi atau eksistensinya;
e. Pernyataan itu harus umum pada prinsipnya, pernyataan itu harus dapat
digunakan dan menerangkan semua atau contoh fenomena apapun yang
mereka coba terangkan;
f. Pernyataan-pernyataan itu harus independen. Pernyataan itu tidak boleh
dikurangi hingga penjelasan yang ditawarkan para partisipan untuk tingkah
laku mereka sendiri;
30
H.R.Otje Salman S, Anthon F.Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali), (Cetakan I; Bandung: PT.Refika Aditama, 2004), hal.22-23.
Universitas Sumatera Utara
17
g. Pernyataan-pernyataan itu secara substantif harus valid. Pernyataan itu harus
konsisten tentang apa yang diketahui tentang dunia sosial oleh partisipan dan
ahli-ahli lainnya. Minimal harus ada aturan-aturan penerjemahan yang dapat
menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain.
Teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik
tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara
rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan
suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu
penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris
untuk dapat dinyatakan benar.31 Dalam setiap penelitian harus disertai dengan
pemikiran-pemikiran yang teoritis. Teori adalah menerangkan atau menjelaskan
mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.32
Terdapat empat ciri kerangka teori dalam penulisan karya ilmiah hukum,
yaitu: teori hukum, asas-asas hukum, doktrin hukum dan ulasan pakar hukum
berdasarkan dalam pembidangan kekhususannya.33 Berkaitan dengan pendapat
tersebut maka teori adalah serangkaian konsep, defenisi dan proposal yang berkaitan
dan bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis tentang suatu gejala.34
Dalam menjawab rumusan masalah yang ada, secara teoritis tesis ini
menggunakan teori tahkim. Adapun pengertian tahkim menurut ahli hukum Islam
kelompok Syafi’iyyah adalah memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau
31
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV.Mandar Maju, 1994), hal.27.
Ibid.
33
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.79.(2)
34
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008),
32
hal.141.
Universitas Sumatera Utara
18
lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan menetapkan hukum syara’ terhadap
suatu peristiwa yang wajib dilaksanakannya.35
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat an-Nisa’: 35, yang artinya: “Dan
jika kamu dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang
hakam (juru pendamai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal”. Dalam ayat ini Allah memberikan petunjuk cara dan langkah
penyelesaian perselisihan antara suami dan istri. 36
Teori tahkim ini diperlukan untuk dapat menjelaskan bahwa perselisihan yang
terjadi dalam suatu rumah tangga (perkawinan) dan berkelanjutan sampai terjadinya
tindak kekerasan dalam rumah tangga, terlebih dahulu harus diselesaikan secara
kekeluargaan oleh pihak keluarga dari masing-masing suami-istri yang bertikai. Bila
kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga ini sampai ke persidangan di Pengadilan
Agama maka hakim akan mengarahkan kedua belah pihak suami-istri untuk
melakukan mediasi terlebih dahulu sebelum menjatuhkan putusannya (vonis)
terhadap gugatan perceraian. Hal ini terkait Hadist Rasulullah bahwa perbuatan halal
yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian). Karena perceraian
merupakan solusi terakhir apabila penyelesaian secara keluarga tidak berhasil.
35
Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih Dan Ushul Fiqih, (Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2013), hal.69.
36
Ibid., hal.72.
Universitas Sumatera Utara
19
Dalam menjawab rumusan masalah tesis ini, digunakan juga teori keadilan
dalam ajaran Islam. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat AlMaidah: 8, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Mendalamnya makna keadilan berdasarkan iman bisa dilhat dari kaitannya
dengan amanat (amanah, titipan suci dari Tuhan) kepada manusia untuk sesamanya.
Khususnya amanat yang berkenaan dengan kekuasaan memerintah. Kekuasaan
pemerintahan adalah sebuah keniscayaan demi ketertiban tatanan hidup kita. Sendi
setiap bentuk kekuasaan adalah sikap patuh dari banyak orang kepada penguasa.
Kekuasaan dan ketaatan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Namun,
kekuasaan yang patut dan harus ditaati hanyalah yang mencerminkan rasa keadilan
karena menjalankan amanat Tuhan.37
Menurut Raghib Al Asfahani ‘Adl berarti memberi pembagian yang sama. Hal
ini sejalan dengan pendapat Al Maraghi yang memberikan makna ‘Adl dengan
menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif. Sedangkan menurut Abd.Muin
37
Ibid., hal.100.
Universitas Sumatera Utara
20
Salim pendapat ‘Adl ini dinilai bukan pada segi persamaan hak, tetapi tekanannya
pada terpenuhinya hak-hak milik seseorang.38
Teori keadilan ini diperlukan untuk dapat menjelaskan bahwa hakim
pengadilan agama dalam memutuskan suatu perkara kekerasan dalam rumah tangga
atas Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn), harus
bersikap adil atau tidak memihak dalam pengambilan keputusannya. Hal ini
dilakukannya sesuai dengan kewenangan dan amanat yang dimilikinya baik dari
Allah maupun undang-undang yang berlaku.
2.
Kerangka Konsepsi
Konsepsi adalah suatu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam
penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.39
Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
a. Kekerasan dalam rumah tangga
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang dimaksud dengan
kekerasan dalam rumah tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara
fisik, seksual, psikologis dan/ atau penelantaran rumah tangga
38
Parman Ali, Kewarisan Dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal.74.
39
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), hal.31.
Universitas Sumatera Utara
21
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.40
b. Perceraian
Pengertian perceraian juga dapat ditemui dari beberapa pendapat Imam
Madzhab, Imam Syafi’I berpendapat bahwa talak ialah melepaskan akad
nikah dengan lafadz talak atau yang semakna dengan itu, sedangkan Hanafi
dan Hambali memberikan pengertian talak sebagai suatu pelepasan ikatan
perkawinan secara langsung atau untuk masa yang akan datang dengan lafadz
khusus, pendapat lain yang memberikan pengertian talak secara lebih umum
dikemukakan oleh Imam Maliki yang mengartikan talak sebagai suatu sifat
hukum khusus yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.41
c. Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum Islam
kepada orang Islam yang mencari keadilan di Pengadilan Agama dan
Peradilan Tinggi Agama, dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Selain
itu, peradilan umum merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
dalam negara Republik Indonesia. Lembaga peradilan dimaksud mempunyai
kedudukan yang sama, sederajat dengan kewenangan yang berbeda.42
G. Metode Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis,
40
41
42
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
A.Aziz Dahlan, Ensikopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT.Ihtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal.1777.
Zainuddin Ali (1), Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
22
sistematis, dan konsisten.43 Penelitian (research) sesuai dengan tujuannya dapat
didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji
kebenaran suatu pengetahuan.44
1.
Sifat dan Jenis Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat deskriptif
analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara
rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis
dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan
analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.45
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (yuridis
normatif), yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder yang
dimulai dengan analisis terhadap permasalahan hukum yang baik berasal dari
literatur maupun peraturan perundang-undangan.46
2.
Sumber Data/Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder melalui studi dokumen-dokumen, untuk memperoleh data yang diambil
dari bahan kepustakaan, diantaranya adalah:
43
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal.2.
Muslam Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press,
2009), hal.91.
45
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung:
Alumni, 1994), hal.101.
46
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,
2010), hal.37-38.
44
Universitas Sumatera Utara
23
a. Bahan Hukum Primer,47 yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini
diantaranya adalah Al-Qur’an dan Hadist, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan
perkawinan, perceraian serta kewenangan Pengadilan Agama.
b. Bahan Hukum Sekunder,48 yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan
hukum primer, seperti buku-buku yang berkaitan dengan penelitian, hasil
penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, Putusan
Pengadilan Agama Medan Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn dan literaturliteratur.
c. Bahan Hukum Tersier,49 yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
47
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), hal.53.
48
Ibid.
49
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Cetakan V; Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2001), hal.13.
Universitas Sumatera Utara
24
Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum, surat
kabar, ensiklopedia, makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.
3.
Teknik dan Alat Pengumpulan Data
a.
Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi
kepustakaan, yaitu menghimpun data dari hasil pencarian bahan pustaka atau data
sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tertier. Untuk memperoleh data-data ini akan menggunakan alat penelitian
studi dokumen/pustaka atau penelitian pustaka yaitu dengan cara mengumpulkan
semua peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen hukum dan buku-buku
yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian.50.
b. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data yang
dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan:
1) Studi dokumen, studi dokumen dilakukan dengan membaca, mempelajari, dan
menganalisis literarur buku-buku, peraturan peraturan perundang-undangan,
dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penulisan tesis.
2) Wawancara dipandu dengan pedoman wawancara, hasil wawancara yang
diperoleh akan digunakan sebagai data penunjang dalam penelitian. Data
tersebut diperoleh dari pihak yang telah ditentukan sebagai informan atau
50
Mukhti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.156.
Universitas Sumatera Utara
25
narasumber yaitu Pengadilan Agama Medan Kelas IA dan MUI Wilayah
Sumatera Utara sehingga diperoleh data yang diperlukan sebagai data
pendukung dalam penelitian tesis ini.
4.
Analisis Data
Analisis data sangat diperlukan dalam suatu penelitian, hal ini berguna untuk
memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan
metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang
kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan
variasi (keragaman).51 Kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal
yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.52
51
Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis
Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2003), hal.53.
52
Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit., hal.57.
Universitas Sumatera Utara