Pertimbangan Hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga Dijadikan Dasar Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan NO. 1572 PDT.G 2011 PA.MDN) Chapter III V

BAB III
HAK PEMELIHARAAN DAN PENGASUHAN ANAK AKIBAT
PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIP
YANG BERLAKU DI INDONESIA
A. Pengaruh Perceraian Terhadap Anak
Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan
pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh UndangUndang.101 Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dikatakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas
keputusan pengadilan (Pasal 38). Perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada
cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai
suami istri. 102 Jadi, putusnya perkawinan karena perceraian tidak dapat dilakukan
hanya atas dasar kesepakatan suami istri melainkan harus melalui suatu proses
yakni dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang dan sebelum diambil
keputusan, hakim diwajibkan untuk mendamaikan suami istri yang akan bercerai.
Apabila usaha hakim untuk mendamaikan suami istri tidak tercapai maka proses
perceraian tetap dilanjutkan sampai memiliki kekuatan hukum.
Selanjutnya, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan apabila putus perkawinan karena perceraian mempunyai akibat
hukum terhadap anak, bekas suami/istri dan harta bersama. Akibat hukum


101

Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilawati Mahdi, Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat, (Cetakan I; Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hal.135.
102
Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hal.150-151.

63
Universitas Sumatera Utara

64

terhadap anak ialah, apabila terjadi perceraian, maka baik bapak atau ibu tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
pengadilan memberikan keputusannya.103
1.

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak

Anak merupakan sumber daya manusia yang memiliki banyak potensi,
pengelompokan pengertian anak memiliki aspek yang sangat luas sehingga
berbagai makna atau pengertian terhadap anak dapat diterjemahkan secara
benar menurut sistem kepentingan agama, hukum, sosial dari masing-masing
bidang.104
Sehubungan dengan batasan umur mengenai anak atau dalam KUHPerdata
mengenai batasan umur mengenai anak ini diistilahkan belum dewasa.
Berdasarkan Pasal 330 KUHPerdata yang menegaskan bahwa belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun
dan tidak lebih dahulu telah kawin. Mereka yang belum dewasa dan tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar
dan dengan cara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Sedangkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.

103

Ibid., hal.176.

Maulana Hasan Wadang, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,
(Jakarta: Grasindo, 2000), hal.6.
104

Universitas Sumatera Utara

65

Selanjutnya, Pasal 98 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menyebutkan bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa
adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacad fisik maupun mental atau
belum pernah melangsungkan perkawinan. Menurut Pasal 47 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menegaskan bahwa:105
Ayat 1 :

Ayat 2 :

Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari

kekuasaannya.
Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

Selanjutnya, Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan menegaskan bahwa:106
Ayat 1 :

Ayat 2 :

Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah
kekuasaan wali.
Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan
maupun harta bendanya.

Menurut ketentuan di atas, batasan umur anak yang dianggap belum
dewasa baik dalam KUHPerdata maupun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak, KHI dan Undang-Undang Perkawinan belum ada

persamaan batasan umur. Namun, dengan sejak berlakunya Undang-Undang
Perkawinan maka segala ketentuan yang mengatur permasalahan perkawinan dan
perceraian serta akibat hukumnya mengikuti aturan yang berlaku dalam UndangUndang Perkawinan ini.

105
106

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

66

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perkawinan bahwa
anak yang masih dibawah umur, berada dalam kekuasaan orang tuanya. Kedua
orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Kewajiban orang tua sebagaimana dimaksud Pasal 47 Ayat 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berlaku sampai anak tersebut
melangsungkan perkawinan atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana

berlangsung terus meskipun perkawinan orang tuanya telah putus karena
perceraian. Bila perkawinan orang tuanya telah putus maka kedudukan orang tua
terhadap anak-anaknya tersebut bukan menjadi kekuasaan orang tua melainkan
menjadi wali terhadap anak-anaknya berdasarkan putusan pengadilan.
Sedangkan ketentuan Pasal 26 Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa:
a. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
1) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
2) menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya;
3) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan
4) memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti
pada anak.
b. Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau
karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung
jawabnya, kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada

Universitas Sumatera Utara


67

ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan maupun
Undang-Undang Perlindungan Anak bahwa suami istri selaku orang tua
dari anak-anak mereka berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak mereka yang
masih dibawah umur sampai mereka dewasa atau telah berkeluarga.
Namun karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan
tanggung jawabnya, kewajiban dan tanggung jawab dapat beralih kepada
keluarga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.

Hak Dan Kewajiban Anak Mendapat Perlindungan Hukum
Peristiwa perceraian, apapun alasannya, merupakan malapetaka bagi anak,

anak tidak akan dapat lagi menikmati kasih sayang orang tua secara bersamaan
yang sangat penting bagi pertumbuhan mentalnya, tidak jarang pecahnya rumah
tangga mengakibatkan terlantarnya pengasuhan anak. Itulah sebabnya dalam

ajaran Islam perceraian harus dihindarkan sedapat mungkin bahkan merupakan
perbuatan yang paling dibenci Allah. Bagi anak-anak yang dilahirkan, perceraian
orang tuanya merupakan hal yang akan mengguncang kehidupannya dan akan
berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga biasanya
anak-anak adalah pihak yang paling menderita dengan terjadinya perceraian orang
tuanya.107 Dengan demikian, anak mempunyai hak tertentu yang harus dipenuhi
orang tua, sebaliknya orang tua juga memiliki hak yang harus dipenuhi anaknya.

107

Satria Effendi M.Zein, Op. Cit., hal.166-167.

Universitas Sumatera Utara

68

Hak anak untuk mendapatkan penghidupan yang layak meliputi sandang, pangan,
pendidikan dan kesehatan merupakan nafkah anak (alimentasi) yang harus
dipenuhi orang tua, terutama ayah, baik dalam masa perkawinan atau pun setelah
terjadi perceraian.

Sehubungan dengan hak anak untuk mendapatkan penghidupan yang layak
dari orang tuanya, Pasal 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak merumuskan hak-hak anak sebagai berikut:108
a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan
khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar;
b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa dan untuk menjadi
warga negara yang baik dan berguna;
c. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan
wajar.
Selain itu, dalam ketentuan Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, maka hak-hak anak menurut undangundang ini, sebagai berikut:109
a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
108

Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak (Jakarta: Bumi Aksara, 1990),


hal.17.
109

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Universitas Sumatera Utara

69

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (Pasal 4);
b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan (Pasal 5);
c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam
bimbingan orang tua atau wali (Pasal 6);
d. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan
diasuh oleh orang tuanya sendiri dan dalam hal karena suatu sebab orang
tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam

keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai
anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 7);
e. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8);
f. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat
dan bakat (Pasal 9 Ayat 1);
g. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari
kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain (Pasal 9 Ayat 1a);
h. Selain mendapatkan hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (1a), anak penyandang disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar
biasa dan anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan
khusus (Pasal 9 Ayat 2);
i. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan
dan kepatutan (Pasal 10);
j. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,
bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi
sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan diri (Pasal 11);
k. Setiap anak penyandang disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12);
l. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi
maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan,
ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya (Pasal 13 Ayat 1);
m. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan
pemberatan hukuman (Pasal 13 Ayat 2);
n. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika
ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa

Universitas Sumatera Utara

70

o.

p.

q.

r.
s.

t.

u.
v.

pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir (Pasal 14 Ayat 1);
Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anak
tetap berhak bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap
dengan kedua orang tuanya, mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan,
pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua
orang tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya,
memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya dan memperoleh
hak hnak lainnya (Pasal 14 Ayat 2);
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan
dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan
dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung
unsur kekerasan, pelibatan dalam peperangan dan kejahatan seksual (Pasal
15);
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 16
Ayat 1);
Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum
(Pasal 16 Ayat 2);
Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir (Pasal 16 Ayat 3);
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang
dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku dan membela diri dan
memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum (Pasal 17 Ayat 1);
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17 Ayat 2);
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).
Sehubungan dengan kewajiban anak, ketentuan Pasal 19 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa setiap anak
berkewajiban untuk:110
a.

menghormati orang tua, wali, dan guru;

b.

mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;

110

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

71

c.

mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

d.

menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

e.

melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Sedangkan ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan menegaskan tentang kewajiban anak, yaitu:
a.

Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka
yang baik;

b.

Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,
orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu
memerlukan bantuannya.
Selain itu, hukum Islam mengatur kewajiban anak terhadap orang tua

sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 14,
yang artinya:
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu bapaknya: ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah
kembalimu.”
Selanjutnya, Al-Qur’an surat Luqman ayat 15, yang artinya:
‘Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Ku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku
lah kembalimu, maka kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.”
Dalam Al-Qur’an surat Luqman, Allah SWT mewasiatkan agar anak
harus berbuat baik dan berterima kasih kepada ibu bapaknya dan
bersyukur

kepada

Allah.

Allah

juga

memerintahkan

agar

anak

Universitas Sumatera Utara

72

memperlakukan kedua orang tuanya dengan cara yang baik walaupun
mereka memaksanya berbuat kufur kepada Allah. Dan jangan mengikuti
atau melakukan perbuatan yang dilarang Allah walaupun kedua orang
tuanya memaksanya untuk melakukan perbuatan tersebut.
Hak-hak dan kewajiban anak yang disebutkan di atas pada hakikatnya
adalah merupakan hak dan kewajiban yang seharusnya diberikan oleh
orang tua baik pasca perceraiaan maupun setelah perceraian orang tuanya
dan segala aspek tersebut dilindungi oleh negara serta merupakan bagian
dari kegiatan pembangunan khusus di dalam memajukan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
B. Hak Pemeliharaan Dan Pengasuhan Anak Akibat Perceraian Orang
Tuanya Di Persidangan Pengadilan Agama
1.

Menurut Hukum Islam
Sebelumnya, perhatikan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-

Baqarah ayat 233 yang artinya: 111
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan”.

111

Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahan, Revisi Terbaru,
(Semarang: CV.Asy Syifa’, 1999), hal.57.

Universitas Sumatera Utara

73

Berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat
233 tersebut di atas bahwa ikatan lahir dan bathin seorang ibu dengan anaknya
begitu dekat dan tidak dapat terpisahkan karena sejak ibu melahirkan dan
menyusukan anaknya sewaktu masih bayi serta merawatnya. Hal ini menunjukkan
begitu besar perjuangan seorang ibu terhadap anaknya dibandingkan dengan
bapaknya.
Jika terjadi perceraian antara kedua orang tuanya, dengan melihat
pernyataan Abu bakar Siddiq bahwa “ ibu lebih cenderung (sabar) kepada anak,
lebih halus, lebih pemurah, lebih penyantun dan lebih penyayang. Ia lebih berhak
atas anaknya.”. Dengan demikian jelaslah jika terjadi perceraian, maka yang
berhak memelihara anak yang belum mumayyiz tersebut adalah dari pihak istri.
Alasannya seperti yang telah diungkap dalam pernyataan Abu Bakar, maka
Masdar F. Mas’udi menyimpulkan sebagai berikut:112
a.

Pertama, sebagai ibu ikatan batin dan kasih sayang dengan anak
cenderung selalu melebihi kasih sayang sang ayah;

b.

Kedua, derita keterpisahan seorang ibu dengan anaknya akan terasa
lebih berat dibanding derita keterpisahan dengan seorang ayah;

c.

Ketiga, sentuhan tangan keibuan yang lazimnya dimiliki oleh ibu akan
lebih menjamin pertumbuhan mentalitas anak secara lebih sehat.

Berkaitan dengan hak pemeliharaan dan pengasuhan anak ini, para ahli
hukum Islam sepakat bahwa hukum hadlanah adalah wajib merujuk pada hadis
Rasulullah dimana diriwayatkan dari Abdullah bin Amr Radhiyallah Anhu, di

112

Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit., hal.297.

Universitas Sumatera Utara

74

mana ada seorang wanita yang mengadukan permasalahannya (menemui
Rasulullah dan bertanya), ya Rasulullah, ini adalah anakku, perutku yang
mengandungnya, susuku yang memberi minumnya, pangkuankulah yang
memangkunya. Sesungguhnya bapaknya telah menceraikan aku dan dia hendak
merampasnya dariku. Rasulullah bersabda “Engkaulah yang berhak ke atasnya
sebagaimana engkau belum berkahwin”.113
Sehingga, apabila dua orang suami istri bercerai sedangkan keduanya
mempunyai anak yang belum mumayiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya),
maka istrilah yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia
mengerti akan kemaslahatan dirinya.114 Hal ini dijadikan sebagai dalil bahwa ibu
lebih berhak dari ayah atas hadlanah (memelihara dan mengasuh) si anak jika ada
sengketa tentang hak tersebut. Hal ini justru karena Nabi melihat kemaslahatan si
anak. Kalau kemaslahatan anak terganggu karena ibunya bersuamikan orang lain
maka ayahnya lebih patut memelihara anak itu. Jadi ibu lebih berhak memelihara
anak selama hakim masih memandang belum ada sebab yang menyebabkan si
ayah lebih patut memelihara dan mengasuh anak itu. Walaupun anak itu
dipelihara dan diasuh oleh ibunya, biaya pemeliharaan dan pendidikan menjadi
tanggungan ayahnya. Semua ulama sepakat bahwa nafkah, kiswah (pakaian)
untuk seseorang anak dari lahir hingga sampai umur ditanggung oleh ayahnya.115
Selanjutnya, ibu atau penggantinya yang dinyatakan lebih berhak
mengasuh anak itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:116
a. Berakal sehat;
113

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, terjemahan M.Abdul Ghoffur, (Cetakan I;
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hal.160-164.
114
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006), hal.426.
115
H.M. Djamil Latif, Op. Cit., hal.82.
116
A.Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Cetakan III; Banda Aceh
:Yayasan PeNA, 2010), hal.169.

Universitas Sumatera Utara

75

b. Baligh
c. Mampu mendidik;
d. Dapat dipercaya dan berakhlak mulia;
e. Beragama Islam;
f. Belum kawin dengan laki-laki lain.
Atas syarat terakhir yaitu belum kawin dengan laki-laki lain ini, hak
mengasuh anak terlepas dari ibu, dipindahkan kepada ayah atau lainnya yang
lebih mampu mendidik anak yang bersangkutan. Tetapi inipun tidak mutlak,
mungkin juga suami yang baru, ayah tiri anak justru menunjukkan perhatiannya
yang amat besar untuk suksesnya pendidikan anak. Apabila ini terjadi, maka hak
ibu mengasuh anak tetap ada.117
Hadlanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik
orang yang belum mumayyiz atau orang yang dewasa tetapi kehilangan akal dan
kecerdasan berpikirnya. Atau dengan perkataan lain, hadlanah ialah penguasaan,
pemeliharaan, perawatan dan pendidikan anak yang di bawah umur, dimana hal
tersebut dapat dilakukan oleh bapak atau ibu, berlangsungnya sampai anak itu
mumayyiz (dapat membedakan baik-buruk).118 Orang tua wajib memelihara,
mendidik dan mengasuh anak mereka sebaik-baiknya sampai anak tersebut kawin
atau dapat berdiri sendiri (dewasa). Kewajiban orang tua ini berlaku terus
meskipun perkawinan antara orang tua putus karena perceraian.
Ketentuan Al-Qur’an, hadis Rasulullah dan pendapat para ahli hukum
Islam (Fiqih Islam) ini menegaskan bahwa orang tua yang memelihara dan
117

Ibid.
Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya,
(Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal.31.
118

Universitas Sumatera Utara

76

mengasuh anaknya. Dan persoalan muncul ketika kedua orang tua anaknya
bercerai. Berdasarkan penjelasan di atas, maka para ahli hukum Islam sepakat
bahwa ibu adalah orang yang paling berhak melakukan hadlanah sampai anak
tersebut dapat mengatur dirinya sendiri. Akan tetapi, hak melakukan hadlanah
atas anak oleh ibu ini tidak mutlak karena harus juga memenuhi syarat-syarat
tertentu agar kehidupan dan pendidikan anak akibat perceraian orang tuanya dapat
dipenuhi atau dilaksanakan terhadap anaknya. Bila hak hadlanah tersebut berada
dalam pihak ibu bukan berarti seorang ayah lepas tanggung-jawabnya dalam
penafkahan anak. Seorang ayah tetap diwajibkan memberi nafkah si anak sesuai
dengan kemampuannya.
2.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dan Kompilasi Hukum Islam
Sebenarnya putusnya perkawinan ini adalah merupakan suatu hal yang

wajar, karena makna dasar dari suatu akad nikah adalah ikatan atau dapat
dikatakan juga perkawinan pada dasarnya adalah kontrak. Konsekwensinya
perkawinan tersebut dapat terputus, yang kemudian dapat disebut dengan thalaq.
Makna dasar dari thalaq itu adalah melepaskan ikatan atau melepaskan
perjanjian.119 Sudah menjadi ketentuan syara’ bahwa thalaq itu adalah hak lakilaki atau suami dan hanya suami saja yang boleh menthalaq istrinya, orang lain
walaupun familinya tidak berhak kalau tidak sebagai wakil yang sah dari suami
tersebut. Islam menjadikan thalaq hak laki-laki atau suami adalah karena laki-laki
atau suamilah yang dibebani kewajiban perbelanjaan rumah tangga, nafkah istri,

119

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, hal. 206.

Universitas Sumatera Utara

77

anak-anak dan kewajiban lain.120 Dengan demikian, dalam hukum Islam
ditegaskan bahwa thalaq merupakan hak suami terhadap istrinya untuk
memutuskan ikatan perkawinan antara suami istri tersebut. Sedangkan hak istri
untuk melakukan perceraian terhadap suaminya melalui proses gugatan cerai.
Putusnya suatu perkawinan baik melalui thalaq atau gugatan cerai tersebut
merupakan solusi terakhir bila usaha perdamaian yang dilakukan oleh pihak
keluarga terhadap suami istri tidak tercapai.
Terjadinya perceraian mempunyai akibat terhadap anak dari perkawinan
bekas suami istri tersebut, menurut Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, yaitu:
a.

Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan
memberi keputusan;

b.

Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan
dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut;

c.

Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi
bekas istri.

120

H.M. Djamil Latif, Op. Cit., hal. 40.

Universitas Sumatera Utara

78

Selanjutnya Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa:
a.

Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya;

b.

Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Selain itu, kekuasaan orang tua dapat dicabut terhadap anak sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 49 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan yaitu:
a.

Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke
atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
1) Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
2) Ia berkelakuan buruk sekali.

b.

Meskipun

orang

tua

dicabut

kekuasaannya,

mereka

masih

berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.
Menurut ketentuan hukum perkawinan meskipun telah terjadi perceraian
antara suami istri, mereka masih tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anak mereka yang semata-mata ditujukan bagi kepentingan anak. Dalam
pemeliharaan tersebut walaupun pada praktiknya dijalankan oleh salah seorang

Universitas Sumatera Utara

79

dari mereka, tidak berarti bahwa pihak lainnya terlepas dari tanggung jawab
terhadap pemeliharaan tersebut.121
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan ini, bila terjadi perceraian antara
suami istri maka hak hadlanah (memelihara dan mengasuh) anak diserahkan atas
kesepakatan dari mantan suami istri tersebut untuk melaksanakan hak tersebut.
Sehingga dalam hal ini, baik mantan suami maupun istri diberi kesempatan yang
sama untuk mendapatkan hak hadlanah (memelihara dan mengasuh) anak serta
kewajiban bapaknya (mantan suami) atas semua biaya pemeliharaan tersebut
sampai anak tersebut dewasa. Bila terjadi perselisihan atas hak hadlanah
(memelihara dan mengasuh) anak ini maka hakim akan memberikan putusannya
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Sedangkan dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa
bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang
atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul;
b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam
iddah, kecuali bekas istri telahdi jatuhi talak bain atau nusyur dan dalam
keadaan tidak hamil;
c.

melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila
qobla al dukhul;

d.

memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun.

121

Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit., hal.296.

Universitas Sumatera Utara

80

Selanjutnya ketentuan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam menyatakan
bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a.

anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadlanah dan
ibunya,

kecuali

bila

ibunya

telah

meninggal

dunia,

maka

kedudukannya digantikan oleh:
1) wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2) ayah;
3) wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4) saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5) wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
6) wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b.

anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadlanah dari ayah atau ibunya;

c.

apabila

pemegang

hadlanah

ternyata

tidak

dapat

menjamin

keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadlanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadlanah
kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadlanah pula;
d.

semua biaya hadlanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);

Universitas Sumatera Utara

81

e.

bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b),
dan (d);

f.

pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anakanak yang tidak turut padanya.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengenai hak hadlanah
(memelihara dan mengasuh) anak ini tidak dijelaskan siapa yang lebih berhak di
antara mantan suami istri tersebut. KHI hanya menjelaskan bahwa ayah diberi
tanggung jawab untuk memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang
belum mencapai umur 21 tahun (belum dewasa) berdasarkan kemampuannya.
Bila terjadi perselisihan atas hak hadlanah (memelihara dan mengasuh) anak ini
maka

hakim

akan

memberikan

putusannya

berdasarkan

pertimbangan-

pertimbangan tertentu.
3.

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan
Anak
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang

mulai efektif berlaku pertanggal 18 Oktober 2014 banyak mengalami perubahan
"paradigma hukum", di antaranya memberikan tanggung jawab dan kewajiban
kepada negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga dan orang
tua atau wali dalam hal penyelenggaran perlindungan anak, serta dinaikannya

Universitas Sumatera Utara

82

ketentuan pidana minimal bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, serta
diperkenalkannya sistem hukum baru yakni adanya hak restitusi.122
Selain undang-undang ini memberikan kewajiban dan tanggung jawab
kepada negara, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, undang-undang
ini juga memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepada orang tua dalam hal
perlindungan kepada anak, mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi
anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya, mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak dan memberikan
pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak. Karena pada
kenyataannya orang tualah yang paling dekat dengan sang anak dalam
kesehariannya yang secara langsung memantau pertumbuhan fisik dan psikis sang
anak dan memantau pergaulan keseharian sang anak.123
Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan
komprehensif,
perlindungan

undang-undang
kepada

anak

ini

meletakkan

berdasarkan

asas-asas

kewajiban
sebagai

memberikan
berikut:

(a)

nondiskriminasi; (b) kepentingan yang terbaik bagi anak, (c) hak untuk hidup,
kelangsungan hidup dan perkembangan, (d) penghargaan terhadap pendapat
anak.124
Ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

122

Muliyawan, Paradigma Baru Hukum Perlindungan Anak Pasca Perubahan UndangUndang Perlindungan Anak, http://www.pn-palopo.go.id/index.php/berita/artikel/164-paradigmabaru-hukum-perlindungan-anak-pasca-perubahan-undang-undang-perlindungan-anak,
diakses
selasa, tanggal 31 Mei 2016.
123
Ibid.
124
Mohammad Taufik Makarao, Weny Bukamo, Syaiful Azri, Op. Cit., hal.106.

Universitas Sumatera Utara

83

Anak bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan
orang

tua

atau

wali

berkewajiban

dan

bertanggung

jawab

terhadap

penyelenggaraan Perlindungan Anak. Dan dalam Pasal 23 Undang-Undang
Perlindungan Anak ini ditegaskan bahwa negara, pemerintah, dan pemerintah
daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara
hukum bertanggung jawab terhadap anak dan negara, pemerintah, dan pemerintah
daerah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.125
Bila diperhatikan materi dari Undng-Undang Perlindungan Anak ini,
Undang-Undang tersebut tidak ada membahas secara khusus mengenai hak
hadlanah (memelihara dan mengasuh) anak akibat perceraian orang tuanya dan
pembebanan tanggung jawab terhadap anak akibat perceraian oleh ibu atau
bapaknya. Undang-Undang Perlindungan Anak ini hanya menjelaskan secara
umum atas jaminan perlindungan anak baik orang tuanya belum ataupun sudah
bercerai sehingga pembebanan tanggung jawab diserahkan kepada kedua orang
tuanya. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak ini maka kewajiban dan
tanggung-jawab dalam memberikan perlindungan terhadap anak menjadi tugas
dan beban dari negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan
orang tua atau wali anak tersebut. Tujuan dibentuknya Undang-Undang
Perlindungan Anak ini untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak
yang dilakukan oleh orang tua maupun walinya dan tugas negara, pemerintah,

125

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Universitas Sumatera Utara

84

pemerintah daerah dan masyarakat mengawasi penyelenggaraan perlindungan
anak ini.
Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak menegaskan bahwa dalam hal orang tua sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 Undang-undang ini, melalaikan kewajibannya,
terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua
dapat dicabut dan tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa
asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan
pengadilan.126
Terkait pemeliharaan dan pengurusan anak yang merupakan kewajiban
dan tanggung-jawab orang tua, Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur
mengenai larangan perlakuan terhadap anak. Dalam Pasal 76A Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa setiap orang dilarang
memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak mengalami
kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya;
atau

memperlakukan

anak

penyandang

disabilitas

secara

diskriminatif.

Selanjutnya, Pasal 76B Undang-Undang Perlindungan Anak ini juga menegaskan
bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh
melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.

126

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

85

Pelanggaran atas larangan ini, Undang-Undang Perlindungan Anak
menetapkan sanksi yang diatur dalam Pasal 77B yang menetapkan bahwa “setiap
orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), dan Pasal 76B menetapkan bahwa
“setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76B,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Sehingga, apabila terjadi kejadian adanya dugaan pelanggaran terhadap
Undang-Undang Perlindungan Anak ini maka masyarakat yang oleh undangundang ini diberi tanggung-jawab dan kewajiban untuk melakukan perlindungan
terhadap anak dengan melaporkannya kepada pihak berwajib. Dan terhadap
pelaku pelanggaran tersebut akan terkena sanksi pidana sebagaimana yang telah
ditentukan Undang-Undang ini.

Universitas Sumatera Utara

86

BAB IV
PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM PENGADILAN AGAMA DALAM
MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn
A. Analisa Putusan Hakim Pengadilan Agama Medan Atas Putusan
Pengadilan Agama Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn
1.

Pokok perkara perceraian dalam Putusan Pengadilan Agama Medan
Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn
Dalam tesis ini, penulis melakukan studi kasus Putusan Pengadilan Agama

Medan Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA-Mdn. Awal perkara ini, terjadi peristiwa
kekerasan dalam rumah tangga pada hari Minggu tanggal 16 Oktober 2011,
sekitar pukul 22.30 WIB di Jalan Letda Sujono Gang Kurnia Nomor 7 Kelurahan
Bandar Selamat, Kecamatan Medan Tembung, Sumatera Utara. Dalam hal ini
pelapor bernama Mariani Br Brutu (istri) telah dicekik leher dan dipukul matanya
oleh terlapor bernama Syofian Hadi (suami) akibat terjadinya perselisihan antara
suami istri sehingga pelapor mengalami gangguan pada matanya (mata merah)
dan leher sakit. Atas peristiwa ini, pelapor melaporkan kejadian tersebut ke
Kantor Polisi Sektor Percut Sei Tuan pada hari rabu tanggal 26 Oktober 2011,
pukul 11.00 WIB berdasarkan Surat Tanda Penerimaan Laporan Nomor
STPL/2669/X/2011/Percut atas kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT), selanjutnya akan diproses lebih lanjut kasus tindak pidana ini ke
Pengadilan Negeri Medan.
Sedangkan untuk kasus perceraian (perdata), maka pada tanggal 28
Nopember 2011 pelapor mengajukan permohonan gugatan perceraian terhadap
suaminya dengan berbagai alasan perceraian ke Pengadilan Agama Medan. Atas
penerimaan laporan penggugat, wakil ketua Pengadilan Agama Medan telah
86
Universitas Sumatera Utara

87

membaca surat gugatan penggugat tertanggal 28 Nopember 2011 yang telah
terdaftar

di

Kepaniteraan

Pengadilan

Agama

dengan

register

nomor

1572/Pdt.G/2011/PA-Mdn.
Guna memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara nomor
1572/Pdt.G/2011/PA-Mdn, maka perlu ditunjuk dan menetapkan kembali Majelis
Hakim, dengan memperhatikan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
juncto Pasal 11 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman serta ketentuan-ketentuan hukum lain yang bersangkutan,
di mana susunannya sebagai berikut:
a.

Drs.H. Mohd Hidayat Nassery

Sebagai Ketua Majelis

b.

Dra. Harmala Harahap, SH, MH

Sebagai Hakim Anggota

c.

Dra. Hasdina Hasan, SH, MH

Sebagai Hakim Anggota

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa kekerasan dalam rumah tangga dan
perceraian merupakan dua perkara yang berada pada ranah yang berbeda.
Kekerasan dalam rumah tangga berada dalam ruang lingkup pidana sedangkan
perceraian dalam ruang lingkup perdata. Namun demikian, bahwa dua perkara
tersebut memiliki suatu hubungan satu dengan lainnya (causalitas). Sehingga
dalam kasus ini, hakim Pengadilan Agama Medan harus memeriksa berkas
perkara untuk memastikan bahwa perkara ini berada dalam kewenangan hakim
Pengadilan Agama. Hakim Pengadilan Agama Medan menerima berkas gugatan

Universitas Sumatera Utara

88

dengan dasar pertimbangan memperhatikan unsur gugatan perceraian atas
ketentuan dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan juncto Pasal 113 sampai dengan Pasal 116 Kompilasi
Hukum Islam yaitu adanya kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang
didasarkan pada status perkawinan penggugat (surat nikah) untuk membuktikan
bahwa penggugat menganut agama Islam, bukti laporan penggugat tanggal 26
Oktober

2011

berupa

Surat

Tanda

Penerimaan

Laporan

Nomor

STPL/2669/X/2011/Percut atas kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) yang dilakukan suaminya (tergugat) dan bukti berupa photo
gambar yang menunjukkan penggugat mengalami kekerasan fisik.
Sebagaimana juga dijelaskan di atas, wakil ketua Pengadilan Agama
Medan dalam menentukan dan menetapkan majelis hakim, melaksanakan
prosedur sebagaimana terdapat dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa ” pengadilan memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang
hakim, kecuali undang-undang menentukan lain dan susunan hakim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri dari seorang hakim ketua dan dua orang hakim
anggota”.127 Selanjutnya atas ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama bahwa ”Ketua pengadilan membagikan semua berkas perkara dan atau

127

Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Universitas Sumatera Utara

89

surat-surat lain yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke pengadilan
kepada Majelis Hakim untuk diselesaikan”.128
Dalam kasus persidangan di Pengadilan Agama Kelas IA ini, pihak-pihak
yang berperkara adalah suami istri yaitu perkara cerai gugat yang diajukan:
Mariani Br Brutu binti Biner Brutu, umur 36 Tahun, agama Islam, warga
negara Indonesia, pekerjaan ibu rumah tangga, berkediaman di Jalan Pertiwi
No.54, Kelurahan Bantan, Kecamatan Medan Tembung, Kota Medan, selanjutnya
disebut Penggugat.
Melawan
Syofian Hadi bin Kusmiadi, umur 36 Tahun, agama Islam, warga negara
Indonesia, pekerjaan wiraswasta, berkediaman di Jalan Letda Sujono No.7,
Kelurahan Bandar Selamat, Kecamatan Medan Tembung, Kota Medan,
selanjutnya disebut Tergugat.
Sebelumnya penggugat telah mengajukan gugatan dengan surat
tanggal 28 Nopember 2011 yang didaftar di Kepaniteraan Pengadilan
Agama Medan pada tanggal 28 Nopember 2011 dengan Register Nomor
1572/Pdt.G/2011/PA-Mdn yang pokok permasalahan dalam perkara
mengajukan dalil-dalilnya sebagai berikut:129
a.

Bahwa penggugat adalah istri sah tergugat yang menikah pada tanggal
01 April 1996, sesuai dengan bukti Kutipan Akta Nikah Nomor

128

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
129
Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA-Mdn tanggal 28
Nopember 2011.

Universitas Sumatera Utara

90

12/12/IV/96 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan
Medan Tembung, Kota Medan.
b.

Bahwa setelah menikah penggugat dan tergugat telah menjalin
hubungan rumah tangga sebagaimana layaknya suami istri dan telah
dikaruniai dua orang anak yang bernama Suri Andriyani, perempuan,
umur 15 Tahun dan Rizky Ariandy, laki-laki, umur 11 Tahun.

c.

Bahwa tempat tinggal bersama terakhir penggugat dan tergugat di
rumah orang tua tergugat di alamat tergugat tersebut di atas.

d.

Bahwa penggugat sebagai alasan utama menggugat cerai dari tergugat
adalah mengenai masalah hubungan penggugat dengan tergugat
sebagai suami istri terhitung sejak tahun 2000 yang lalu telah berada
dalam kondisi berselisih secara terus menerus sampai dengan saat ini
disebabkan:
1) Tergugat sering bersikap kasar dan suka memarah-marahi
penggugat dan bahkan memukul, mencekik bahkan mengancam
penggugat setiap kali ada perselisihan pendapat yang terjadi antara
penggugat dan tergugat.
2) Tergugat kurang peduli terhadap kebutuhan hidup penggugat dan
ke dua anak penggugat dan tergugat sehingga uang belanja selalu
kurang akibat tergugat telah ketagihan memakai narkoba, akibatnya
penggugat hanya selalu mengharapkan bantuan dari keluarga demi
kelangsungan hidup penggugat.

Universitas Sumatera Utara

91

3) Tergugat sering pulang larut malam bahkan sering tidak pulang
namun setiap ditanyakan tergugat marah-marah dan mencaci maki
penggugat, akibat dari perilaku-perilaku tergugat tersebut membuat
penggugat sangat tertekan dan tidak ingin hidup bersama tergugat.
e.

Bahwa puncak pertengkaran antara penggugat dengan tergugat
tersebut terjadi pada bulan Oktober 2011, pada saat itu tergugat
kembali menyakiti penggugat dengan cara memukul, mencekik leher
dan bahkan sempat mengancam penggugat dengan sebilah keris,
akibat hal ini penggugat menjadi trauma ketakutan, akhirnya
penggugat lari ke rumah keluarga penggugat baru kemudian pada
tanggal 26 Oktober 2011 penggugat pun melaporkan perbuatan
tergugat tersebut ke aparat Kepolisisan, sehingga sejak itu tergugat
tidak pernah kembali dan tidak pernah hidup bersama penggugat lagi
sampai saat ini.

f.

Bahwa pihak keluarga telah berupaya untuk menasehati dan
mendamaikan penggugat dengan tergugat akan tetapi tidak berhasil
juga, karena sikap-sikap tergugat tetap tidak mau berubah.

g.

Bahwa dengan keadaan yang demikian, penggugat merasa sudah tidak
mungkin lagi untuk mempertahankan rumah tangga bersama tergugat,
oleh karena itu penggugat berkesimpulan dan berketetapan hati untuk
menceraikan tergugat.

h.

Bahwa berdasarkan dalil dan alasan tersebut di atas, maka dengan ini
penggugat memohon kepada Ketua Pengadilan Agama Medan cq

Universitas Sumatera Utara

92

Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk dapat menentukan
suatu hari persidangan, kemudian memanggil penggugat dan tergugat
untuk diperiksa dan diadili, selanjutnya memberikan putusan yang
amarnya sebagai berikut:
Primair:
1) Mengabulkan gugatan penggugat;
2) Menjatuhkan talak satu bain sughro tergugat terhadap penggugat;
3) Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara
sesuai ketentuan yang berlaku.
Subsidair:
Apabila Pengadilan berpendapat lain mohon putusan yang seadiladilnya.
Dalam perkara ini, pihak penggugat menyampaikan alasan-alasan
diajukannya gugatan perceraian kepada Pengadilan Agama Medan agar
gugatannya tersebut dapat dikabulkan oleh Hakim Pengadilan Agama
Medan. Bila dianalisa alasan-alasan yang dijadikan dasar perceraian oleh
penggugat maka unsur telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan memenuhi
syarat dijadikan alasan perceraian menurut penjelasan Pasal 39 ayat (2)
Undang-Undang Perkawinan, Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Universitas Sumatera Utara

93

Tentang Perkawinan juncto Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam mengenai
alasan-alasan perceraian.
Penjelasan di atas didasarkan bahwa penggugat selaku istri sering
diperlakukan kasar oleh tergugat (suami) berupa kekerasan fisik berupa
pemukulan yang mengakibatkan luka pada bagian mata yang diperkuat
dengan bukti dan laporan visum dari kepolisian serta kekerasan psikis
berupa mengancam penggugat, penelantaran keluarga yaitu kurang peduli
terhadap kebutuhan hidup penggugat dan anak-anaknya serta melakukan
perbuatan tidak baik lainnya. Ketentuan aturan dalam yang dijadikan
penggugat sebagai alasan gugatan perceraian terutama mengenai
kekerasan yang dilakukan tergugat terhadap penggugat yang menimbulkan
luka fisik dan psikis sebagaimana berdasarkan Surat Tanda Penerimaan
Laporan Nomor STPL/2669/X/2011/Percut tanggal 26 Oktober 2011 yang
dikeluarkan Polsek Percut Sei Tuan atas kasus Tindak Pidana Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) .
Kekerasan atas perkara ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga yang menegaskan bahwa “setiap orang dilarang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah
tangganya dengan cara kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan
seksual atau penelantaran rumah tangga”. Sehingga perbuatan yang
dilakukan tergugat cukup dijadikan alasan oleh penggugat untuk

Universitas Sumatera Utara

94

mengajukan gugatan perceraian yang bertujuan demi kebaikan dan
keselamatan penggugat dan anak-anaknya.
Selanjutnya,

Peradilan

Agama

dalam

persidangan

tidak

ada

kewenangan memasukkan kekerasan dalam rumah tangga karena bukan
kompetensi Peradilan Agama, alasannya bahwa ketentuan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga ini merupakan domain Peradilan Umum yang mengatur
permasalahan pidana dan Peradilan Agama tidak mempunyai kompetensi
apapun apabila terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang ini. Namun
hakim Peradilan Agama hanya menjadikan UUPKDRT ini sebagai
pedoman bentuk kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang dilarang
oleh Undang-Undang dan menghubungkannya dengan alasan perceraian
yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan maupun KHI.
Selanjutnya, untuk mendukung alasan-alasan atau dalil-dalil yang
diajukan dalam gugatan perceraian ini, penggugat mengajukan bukti-bukti
kepada Pengadilan Agama Medan. Sebagaimana yang ditetapan dalam
Pasal 1865 KUHPerdata bahwa “setiap orang yang mendalilkan bahwa ia
mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun
membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa,
diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Kemudian,
Pasal 1866 KUHPerdata menegaskan bahwa alat-alat bukti terdiri atas:
a.
b.
c.
d.

Bukti Tulisan;
Bukti dengan saksi-saksi;
Persangkaan-persangkaan;
Pengakuan;

Dokumen yang terkait

Jatuhnya Hak Hadhanah Kepada Orang Tua Laki-Laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama. (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)

1 59 103

Tinjauan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1345/Pid. B/2010/PN/Medan)

0 66 146

Pencabutan Delik Aduan Dalam Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Akibatnya Dalam Peradilan Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. Reg. : 1276/Pid.B/2007PN.LP)

3 144 102

Penarikan Kembali Hibah Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 249 PDT.G 2010 PA.MDN) Chapter III V

0 4 49

Pertimbangan Hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga Dijadikan Dasar Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan NO. 1572 PDT.G 2011 PA.MDN)

0 0 18

Pertimbangan Hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga Dijadikan Dasar Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan NO. 1572 PDT.G 2011 PA.MDN)

0 0 2

Pertimbangan Hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga Dijadikan Dasar Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan NO. 1572 PDT.G 2011 PA.MDN)

0 1 25

Pertimbangan Hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga Dijadikan Dasar Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan NO. 1572 PDT.G 2011 PA.MDN)

0 3 1

Pertimbangan Hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga Dijadikan Dasar Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan NO. 1572 PDT.G 2011 PA.MDN)

0 0 6

Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Hak Asuh Anak Oleh Pengadilan Agama (Studi Putusan Pengadilan Agama No. 50 PDT.G 2006 PA.Mdn) Chapter III V

0 3 56