Jatuhnya Hak Hadhanah Kepada Orang Tua Laki-Laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama. (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)

(1)

JATUHNYA HAK HADHANAH KEPADA ORANG TUA LAKI-LAKI

KARENA PERCERAIAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN

AGAMA. (STUDI PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN

NO. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

TM. FAHRUL RAZI

Program Kekhususan Hukum Perdata BW

NIM : 080200049

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum,wr.wb

Alhamdulillahi robbil alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah SWT Sang Khalik, Sang Maha Pemberi Jalan kepada umat, yang telah mencurahkan rahmat dan karunia yang begitu besar kepada Penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Begitu pula shalawat dan salam Penulis hanturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW (Allahumma sholli ala Sayyidina Muhammad wa Ala Ali Sayyidina Muhammad). Semoga kita mendapatkan syafaatnya di hari kelak.

Penulisan skripsi yang berjudul :

JATUHNYA HAK HADHANAH KEPADA ORANG TUA LAKI-

LAKI KARENA PERCERAIAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN

AGAMA. (STUDI PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN

NO.1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)

adalah guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Tak lupa pula Penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas dukungan yang besar terhadap seluruh mahasiswa/I didalam lingkungan Kampus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, SH.MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan dan juga selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan. Terima kasih atas waktu dan kesempatan yang telah Bapak dan Ibu berikan hingga skripsi ini dapat selesai sebagaimana mestinya.

6. Ibu Dra. Zakiah.MPd selaku Dosen Pembimbing I. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala dukungan, bantuan serta petunjuk yang sangat berarti dan bermanfaat bagi Penulis.

7. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala dukungan, bantuan serta petunjuk yang sangat berarti dan bermanfaat bagi Penulis.

8. Bapak Syaiful Azam, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik, Terima kasih atas perhatian, dukungan serta arahan dan bimbingan yang telah Bapak berikan selama ini.

9. Bapak dan Ibu Dosen yang telah mendidik Penulis selama lima tahun menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Buat Bapak dan Mama Tercinta, terima kasih yang sebesar-besarnya atas curahan perhatian, kasih sayang, bantuan dan pengorbanan yang tidak ternilai. Semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan dan perlindungan kepada Bapak dan Mama yang


(4)

lagi jauh di ACEH.

11.Buat adik tercinta juga CUT. Fazriany semoga sukses dan selesai kuliahnya untuk menjadi seorang Dokter seperti yang dicita-citakan dan juga TM. Fuchra Zulham dan TM. Ferdiansyah jangan jahat apalagi bandel ya jagain Bapak dan Mama disana.

12.Terima Kasih juga Penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat yang sangat Penulis sayangi, TM Yani (Bulek), Teuku Ikhfa Sandyan (Dema), Fahrul Heri (Edoi) dan Wahyu Syahputra yang selalu ada buat Penulis, semenjak dari kecil dan selalu menghibur sampai sekarang ini baik di saat suka maupun duka, begitu banyak kenangan dari kalian yang tidak bisa dilupakan... 

13.Terima Kasih juga kepada Mirza Firmansyah, selalu bersama di kampus dan selalu melewati hari-hari kegalauan dikampus disaat kita lagi stres dengan klinis dan saat memikirkan skripsi.

14.Shahrukh Khan, menjadi inspirasi dalam hidup Penulis bahwa menjadi seorang yang sukses dan dikenal di seluruh dunia dibutuhkan perjuangan yang sangat panjang untuk mencapai kesuksesan itu dan selamat buat karirnya yang mendunia maupun film-filmnya yang luar biasa.

15.Dan buat seluruh temen-temen stambuk 2008 yang tidak dapat Penulis sebutkan satu- persatu, terima kasih telah menjadi teman yang baik selama ini.

Kesadaran Penulis akan tidak sempurnanya hasil penulisan skripsi ini membawa harapan yang besar pula pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang konstruktif guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan lebih sempurna


(5)

Semoga Allah SWT melimpahkan segala Rahmat dan Karunia-Nya kepada kita semua dan membalas semua kebaikan dan jasa semua pihak yang telah membantu Penulis secara tulus dan ikhlas dengan mendapatkan balasan yang setimpal.

Wassalam, Medan, November Penulis,

TM. Fahrul Razi


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 12

D. Keaslian Penulisan ... 13

E. Tinjauan Kepustakaan ... 13

F. Metode Penelitian ... 19

1. Sifat Jenis Penelitian ... 19

2. Sumber Data ... 19

3. Teknik Pengumpulan Data ... 20

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II KEDUDUKAN ANAK DALAM KETENTUAN HUKUM ISLAM A. Pengertian Anak ... 22

B. Hak dan Kedudukan Anak Menurut Hukum Islam ... 27

C. Hak dan Kewajiban Anak Yang Masih Dibawah Umur Menurut Perundang-Undangan ... 36


(7)

BAB III KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK HADHANAH (PEMELIHARAAN ANAK) SETELAH PERCERAIAN

A. Pengertian Hadhanah (Pemeliharaan Anak) Dalam Hukum Islam ... 47 B. Hak dan Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orang Tuanya ... 52 C. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian ... 54

BAB IV ALASAN-ALASAN HUKUM YANG DIGUNAKAN DALAM

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NOMOR 1521/Pdt.G/ 2011/

PA.Mdn TENTANG HAK HADHANAH KEPADA ORANG TUA LAKI-LAKI KARENA PERCERAIAN

A. Duduk Perkara ... 59 B. Dasar Pertimbangan Putusan Hakim Nomor 1521/Pdt.G/ 2011/PA.Mdn. 73

C. Analisis Putusan Hakim ... 84

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 90 B. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

ABSTRAKSI

Anak merupakan amanah dari Allah SWT dan penerus kehidupan manusia, anak juga sangat membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya dan juga berhak memperoleh pengasuhan, perlindungan, pemeliharaan dan pendidikan dari kedua orang tuanya sampai anak tersebut tumbuh dewasa/ dapat berdiri sendiri. Dari sisi lain dapat dilihat bila orang tua bercerai permasalahan yang paling sangat berpengaruh yaitu terhadap anak tersebut, siapa yang menanggung biaya hidupnya dan siapa pula yang berhak menanggung nafkahnya. Tidak lain juga masalah yang akan timbul lebih besar lagi yaitu pertengkaran orang tua apabila bercerai yang berusaha ingin mendapatkan hadhanah (Hak asuh anak) antara si Ibu atau Bapaknya. Jadi, dengan latar belakang tersebut maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana hak dan kedudukan anak dalam ketentuan hukum Islam, bagaimana kewajiban orang tua atas pemeliharaan anak setelah perceraian dan alasan-alasan hukum apa saja yang digunakan hakim dalam memutuskan hak hadhanah kepada orang tua laki-laki dalam perceraian.

Untuk menjawab permasalahan di atas, maka penulis menggunakan metode library research (Studi kepustakaan), Metode pendekatan ataupun yuridis normatif dan melalui data sekunder yaitu Putusan Pengadilan Agama Medan.

Hasil penelitian ini menunjukkan : Bahwa hadhanah (Hak asuh anak) kepada orang tua laki-laki dalam perkara nomor : 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn yang telah diputus oleh Pengadilan Agama Medan diberikan kepada orang tua laki-laki berdasarkan pertimbangan, si Ibu seorang dokter yang lebih sibuk bekerja dan sekaligus sibuk menyelesaikan studinya sehingga kurang memperhatikan dan memberikan waktunya kepada si anak dibandingkan dengan si Bapak yang hanya seorang Dosen, tetapi disamping itu juga si anak lebih lama tinggal bersama dengan si Bapak semenjak keduanya belum bercerai dan pisah rumah semasa pertengkaran dan si anak juga sudah merasa nyaman tinggal bersama si bapak dan juga si Ibu jarang sekali menemui dan melihat anaknya. Pemeliharaan anak kepada si Bapak tentu saja tidak bertentangan dengan UU Perkawinan, UU Perlindungan anak dan KHI, sekalipun di dalam hukum Islam hak hadhanah lebih utama kepada si Ibu, tetapi disini lebih semata-mata melihat siapa yang lebih berhak dan di ikutkan dengan fakta-fakta ikut siapa yang lebih tidak mendatangkan kerugian dan kerusakan pada anak apalagi anak tersebut belum mumayyiz


(9)

ABSTRAKSI

Anak merupakan amanah dari Allah SWT dan penerus kehidupan manusia, anak juga sangat membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya dan juga berhak memperoleh pengasuhan, perlindungan, pemeliharaan dan pendidikan dari kedua orang tuanya sampai anak tersebut tumbuh dewasa/ dapat berdiri sendiri. Dari sisi lain dapat dilihat bila orang tua bercerai permasalahan yang paling sangat berpengaruh yaitu terhadap anak tersebut, siapa yang menanggung biaya hidupnya dan siapa pula yang berhak menanggung nafkahnya. Tidak lain juga masalah yang akan timbul lebih besar lagi yaitu pertengkaran orang tua apabila bercerai yang berusaha ingin mendapatkan hadhanah (Hak asuh anak) antara si Ibu atau Bapaknya. Jadi, dengan latar belakang tersebut maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana hak dan kedudukan anak dalam ketentuan hukum Islam, bagaimana kewajiban orang tua atas pemeliharaan anak setelah perceraian dan alasan-alasan hukum apa saja yang digunakan hakim dalam memutuskan hak hadhanah kepada orang tua laki-laki dalam perceraian.

Untuk menjawab permasalahan di atas, maka penulis menggunakan metode library research (Studi kepustakaan), Metode pendekatan ataupun yuridis normatif dan melalui data sekunder yaitu Putusan Pengadilan Agama Medan.

Hasil penelitian ini menunjukkan : Bahwa hadhanah (Hak asuh anak) kepada orang tua laki-laki dalam perkara nomor : 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn yang telah diputus oleh Pengadilan Agama Medan diberikan kepada orang tua laki-laki berdasarkan pertimbangan, si Ibu seorang dokter yang lebih sibuk bekerja dan sekaligus sibuk menyelesaikan studinya sehingga kurang memperhatikan dan memberikan waktunya kepada si anak dibandingkan dengan si Bapak yang hanya seorang Dosen, tetapi disamping itu juga si anak lebih lama tinggal bersama dengan si Bapak semenjak keduanya belum bercerai dan pisah rumah semasa pertengkaran dan si anak juga sudah merasa nyaman tinggal bersama si bapak dan juga si Ibu jarang sekali menemui dan melihat anaknya. Pemeliharaan anak kepada si Bapak tentu saja tidak bertentangan dengan UU Perkawinan, UU Perlindungan anak dan KHI, sekalipun di dalam hukum Islam hak hadhanah lebih utama kepada si Ibu, tetapi disini lebih semata-mata melihat siapa yang lebih berhak dan di ikutkan dengan fakta-fakta ikut siapa yang lebih tidak mendatangkan kerugian dan kerusakan pada anak apalagi anak tersebut belum mumayyiz


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Allah SWT, menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya di bumi. Namun suatu bentuk yang dapat dirasakan dari kesempurnaan itu adalah dengan diberikannya manusia akal yang berguna untuk berpikir dan hati nurani yang ada pada manusia, tetapi disamping itu juga keberadaan manusia di muka bumi tidak hanya untuk hidup saja bahkan turut serta dan aktif dalam mengisi kehidupannya sehari-hari.

Salah satu bentuk turut sertanya dan aktif dalam mengisi kehidupannya itu adalah perkawinan. Suatu perkawinan adalah salah satu lembaga kemasyarakatan yang paling tua, dan paling pertama kali diatur oleh aturan hukum sejak dahulu kala. Adapun tujuan dari perkawinan bagi manusia tidak hanya untuk mendapatkan keturunan, tetapi lebih dari itu adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan bathin sekaligus yang terpenting adalah melaksanakan perintah agama dan juga membentuk sebuah keluarga. Pelengkap dari suatu keluarga adalah kelahiran anak, apabila di dalam keluarga telah dikaruniai anak, hendaknya keluarga tersebut harus memperhatikan kepentingan seorang anak baik secara rohani, jasmani, maupun perkembangan di dalam lingkungan sosialnya.

Keluarga dapat diartikan sebagai wadah yang digunakan dalam rangka pembinaan dan kesejahteraan setiap orang dan juga dapat melanjutkan silsilah keluarga dengan adanya keturunan, yaitu anak dengan melakukan perkawinan yang


(11)

sah.

Di dalam bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah,1 yang bermakna al-

wathi’ dan al-dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna

bersetubuh, berkumpul dan akad.2 Pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan dan digunakan untuk arti bersetubuh.3 Nikah atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan, membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Kata nikah sering digunakan untuk arti persetubuhan, juga untuk arti akad nikah.4

Perkawinan merupakan suatu lembaga masyarakat yang melegitimasi hidup bersama antara seorang laki-laki dewasa dengan seorang perempuan dewasa dalam satu rumah tangga (keluarga). Hidup bersama disini lepas dari pengertian dalam ilmu hayat (biologi) yang ditandai dengan adanya kegiatan persetubuhan antara seorang laki-laki dan perempuan yang hidup bersama tersebut, “ tetapi lebih jauh lagi adalah bahwa hidup bersama itu harus memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku”.5

Mengenai perkawinan di Indonesia diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disebutkan “ perkawinan adalah

1

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelesaian Penterjemah Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hal. 468

2

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal.38

3

Armia, Bahan Ajar Fiqh Munakahat, La-Tansa Press, Medan, 2011, hal.1 4

Ibid 5


(12)

ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”.6 Adapun hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap agama tersebut satu sama lain ada perbedaan akan tetapi tidak saling bertentangan. Dari pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa perkawinan menurut undang-undang ini adalah suatu “tujuan ideal yang tinggi dan mencakup suatu pengertian jasmaniah dan rohaniah yang akan melahirkan suatu keturunan”.7

Dalam bahasa Indonesia pernikahan adalah perbuatan nikah,8 dan yang disebut perkawinan yang berarti ”ikatan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama”.9 Sedangkan menurut syara nikah berarti akad yang mengakibatkan bolehnya melakukan istimta (campur) dengan seorang wanita , dan ini dapat terjadi jika wanita itu bukan orang yang haram dinikahi karena hubungan nasab sesusuan dan hubungan semenda (pernikahan).10

Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.11

6

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 7

M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan :CV.Rajawali,1986), hal.3 8

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal.782

9

Ibid 10

Armia, Op.cit, hal.2 11

Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, 2004, hal.70

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1


(13)

Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perkawinan juga merupakan akad atau perjanjian, tetapi bukan berarti perjanjian itu sama dengan perjanjian biasa yang diatur didalam buku III KUH Perdata.12 Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa para pihak berjanji bebas untuk menentukan isi dari bentuk perjanjiannya, sebaliknya dalam perkawinan para pihak tidak bisa menentukan isi dan bentuk dalam perjanjiannya selain yang telah ditetapkan oleh hukum-hukum yang berlaku.13

Didalam perkawinan juga terdapat perjanjian, Perjanjian dalam perkawinan ini mempunyai/mengandung tiga karakter yang khusus, yaitu :14

Tidak ada seorangpun yang telah melangsungkan perkawinan mengharapkan rumah tangga yang telah dibangunnya mengalami perceraian, apalagi di dalam 1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak.

2. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumya.

3. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Setiap perkawinan dapat dipastikan bertujuan untuk membina suatu keluarga yang bahagia dan kekal dengan tetap diridhoi oleh Allah SWT. Kebahagiaan dan kekekalan perkawinan ini kadang hampir sering terjadi tidak dapat berlangsung lama atau dengan kata lain perkawinan yang tidak mendapatkan kebahagiaan lahir dan bathin yang akhirnya mengakibatkan perceraian.

12

Tengku Erwinsyahbana, Pembatalan Perkawinan Karena Alasan Poligami, Media HukumVol. XIII, Nomor 1, Januari-Juni, 2004,hal.204

13

Ibid

14

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan, Yogyakarta, Penerbit Liberti, 1982, hal.10


(14)

perkawinan itu telah dikarunia anak. Walaupun sedemikian tidak menutup kemungkinan karena sebab-sebab atau suatu hal tertentu yang harus mengakibatkan perceraian.

Perceraian yang berasal dari kata cerai adalah “putus hubungan sebagai suami istri”,15 menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerai berarti juga “talak”16. Secara bahasa talak berasal dari kata ithlaq berarti melepaskan atau meninggalkan.17 Sayyid Sabiq, dalam bukunya yang berjudul Fiqh as-sunnah mendifinisikan talak adalah “ membuka atau melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.18

Menurut ketentuan pasal 39 ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk dapat melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa suami istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.19

Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,

ikrar talak, atau putusan taklik talak.

20

Untuk dapat melakukan perceraian salah satu dari pihak laki-laki ataupun perempuan mengajukan permohonan atau gugatan cerai ke Pengadilan Agama bagi

15

Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit, hal.208 16

Ibid

17

Armia, Op.cit, hal.98 18

Sayyid Sabiq, Fiqh as-sunnah, Jilid VIII, Al-Ma’arif, Bandung, 1987, hal.9 19

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta, 2005, hal.116 20


(15)

yang beragama muslim sedangkan Pengadilan Negeri bagi yang bukan beragama muslim. Kemudian berkas dan alasan-alasan yang cukup harus diperiksa terlebih dahulu dan setelah semuanya dipertimbangkan dengan baik maka hakim baru dapat memutuskan dan mengabulkan permohonan atau gugatan cerai tersebut.

Perceraian adalah terlarang, banyak larangan Tuhan dan Rasul mengenai perceraian antara suami dan istri. Tak ada sesuatu yang halal yang paling dimarahi oleh Tuhan selain dari talak.21

Anak adalah salah satu tujuan dari adanya pernikahan atas suatu perkawinan, yaitu yang dikatakan anak adalah seseorang yang dilahirkan dari rahim seorang wanita, apabila dikaitkan dengan ibu. Bila dikaitkan dengan keduanya atau ibu maupun bapak maka anak adalah seseorang yang dilahirkan setelah adanya pernikahan yang sah antara kedua orang tuanya. Anak juga merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada hambaNya, tetapi tidak semua insan di dunia juga diberikan kepercayaan untuk memiliki dan mengasuh anak. Oleh karena itu kehadiran anak dalam rumah tangga adalah suatu kenikmatan dan rasa syukur yang begitu besar terhadap Allah SWT, sehingga wajib dan harus disyukuri dan juga merupakan belahan jiwa setiap jiwa. Anak adalah sumber kebahagiaan dan kesejahteraan yang Adapun akibat yang terjadi terhadap perceraian adalah anak, dimana anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya sudah meninggal dunia bisa dirawat oleh ayahnya, anak yang belum mumayyiz juga dapat memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

21


(16)

mampu membuat setiap insan menjadi lebih bahagia, karena dialah rezeki dicari dan lantarannya pada cita-cita dan harapan digapai.

Perceraian dapat menimbulkan efek-efek yang kurang baik dari segi moral maupun keluarga, bahkan yang sudah memiliki anak membawa tanggung jawab yang lebih berat, sehingga anak-anak dapat saja mengalami perubahan dalam kehidupan sehari-hari mereka apalagi setelah perceraian itu terjadi, yang mana mengigat anak- anak masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang maupun pendidikan yang semestinya harus didapat kedua orangtuanya.

Terkadang orangtua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan anak dapat diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan. Padahal tidak demikian adanya dan sederhananya, bahwa penyelesaian terhadap anak lebih dapat dan mudah dicapai. Dalam kondisi dan situasi apapun harus tetap diingat bahwa anak juga adalah individu yang mempunyai hak-hak dasar yang harus diakui sebagaimana halnya orang dewasa. Berarti anak adalah subjek kehidupan, bukan objek yang dapat

diperlakukan sesuka hati orang dewasa (orangtua). Oleh karena itu, didalam perceraian orangtua, anak merupakan salah satu subjek dan kepentingan anak tetap harus menjadi prioritas yang utama.

UU Perkawinan dan KHI menentukan perceraian hanya dapat dilaksanakan bila dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah melalui proses dan tahapan tertentu. Hal ini dapat ditemukan pada Bab VIII Pasal 39, Pasal 40 dan Pasal 41 UU


(17)

Perkawinan,22 dan Pasal 115 KHI.23

Kehadiran anak juga di dalam perkawinan menimbulkan hubungan hukum antara anak dan orang tua, hubungan itu adalah memberikan hak dan kewajiban antara orangtua dan anak. Kewajiban orang tua dapat dilihat dari ketentuan didalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan :

Diadakannya ketentuan hukum yang berkaitan dengan perceraian tentunya untuk menghilangkan kesan bahwa proses perceraian dapat dilakukan dengan teramat mudah, disamping juga untuk melindungi hak bekas istri dan hak anak setelah terjadinya perceraian.

24

Selanjutnya Pasal 46 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan : 1. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2. Kewajiban orangtua yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan orang tua putus.

25

1. Anak wajib menghormati orangtua dan menaati kehendak mereka yang baik.

2. Jika anak telah dewasa maka ia wajib memelihara menurut kemampuannya orang tua dan keluarga garis lurus ke atas bila mereka memerlukan bantuannya.

Dari kedua pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan timbal balik yang erat yaitu adanya hak dan kewajiban antara orangtua dan anaknya yang tidak akan berakhir walaupun sampai kedua orangtuanya bercerai.

Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orangtua diatur dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.26

22

Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1997, hal.222

23

Ibid, hal.331 24

Lihat Pasal 45 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 25

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 26

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak


(18)

“Bahwa pertanggung jawaban orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial”.27

Sesuai dengan aturan hukum dan rumusan yang ada di dalam undang-undang, bahwa untuk dapat menentukan hak pemeliharaan anak yang perlu diperhatikan adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi hakim harus bisa benar-benar Seperti halnya juga yang kita lihat dan kita ketahui bahwa permasalahan hak dan pemeliharaan anak sering timbul dalam kehidupan manusia, sebagai akibat

darinya suatu perceraian yang dilakukan kedua orangtuanya. Oleh karena itu, bagi orangtua tentunya menginginkan anak-anaknya tetap berada di dekat dan berada didalam asuhannya, tetapi mau tidak mau antara kedua orang tua yang telah bercerai harus merelakan anak-anaknya dalam penguasaan salah satu dari mereka, ataupun dengan jalur pembagian hak asuhnya berdasarkan putusan hakim yang sudah diputuskan didalam persidangan perceraian mereka.

Anak yang belum dewasa/dapat berdiri sendiri tentu saja masih mempunyai hak atas pengasuhan kedua orangtuanya, meskipun orangtuanya sudah bercerai dan semata-mata pengasuhan tersebut demi kepentingan dan kelangsungan hidup anak tersebut. Namun apabila terjadinya suatu perselisihan dalam penguasaan anak maka pengadilan yang berhak atau memberikan keputusan yang seadil-adilnya tanpa sedikitpun mengurangi hak-hak anak tersebut.

27


(19)

memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau bapaknya. Namun apabila bapaknya tidak mempunyai jaminan sosial ekonomi untuk bisa membiayai penghidupan anaknya, maka ibunya yang ternyata lebih mampu untuk membiayainya, maka sang ibulah yang harus bertanggung jawab memberikan penghidupan kepada anaknya begitu pula sebaliknya terhadap bapaknya, walaupun seorang bapak dan ibu diwajibkan untuk membiayai penghidupan anaknya.

Seperti yang telah disinggung diatas bahwa perceraian menimbulkan akibat bagi anaknya yang telah lahir dalam perkawinan tersebut. Akibat didalam perceraian terhadap anak diatur dalam Pasal 41 UUP yang menyatakan sebagai berikut : “Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusan. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaan pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Dan Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri”.

Kenyataan yang kita lihat sebahagian besar yang terjadi dilingkungan masyarakat Indonesia sekarang terutama yang beragama Islam, apabila terjadi perceraian dan memiliki anak dibawah umur maka akan menimbulkan permasalahn dalam hal tanggung jawab orangtua setelah terjadinya perceraian dan antara permasalahan hak pemeliharaan anak dan tanggung jawab pemberian nafkah terhadap anak ini sering berbanding terbalik. Maksudnya disini adalah dalam hal hak pemeliharaan anak orangtua umumnya menginginkan anak-anaknya berada dalam asuhannya, tetapi untuk kewajiban pemberian nafkah sering kali pihak yang telah diwajibkan membiayai pemeliharaan anaknya tidak menjalankan kewajibannya sesuai


(20)

dengan keputusan Pengadilan.

Bagi yang beragama Islam ketentuan mengenai pemeliharaan dapat dilihat dalam Pasal 105 KHI, yang berbunyi sebagai berikut :

1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Jika dibandingkan dan dilihat dari ketentuan Pasal 41 UUP dengan Pasal 105 KHI, ketentuan keduanya tetap mengatur mengenai hak anak pasca terjadinya perceraian, hanya saja didalam KHI disebutkan batas umur pemeliharaan anak yang merupakan hak ibunya, yaitu sampai si anak berumur 12 (dua belas) tahun dan apabila sudah lewat 12 (dua belas) tahun atau sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk dapat memilih apakah ikut dengan ibunya maupun bapaknya. Sedangkan dalam 41 UUP tidak ditentukan batas usia anak, namun tetap ditentukan adanya kewajiban orangtua untuk memelihara anak-anaknya.

Berdasarkan uraian di atas, tertarik untuk melakukan penelitian Putusan mengenai hak asuh anak yang telah di Putuskan oleh Pengadilan Agama di kota Medan, dengan judul penelitian: “Jatuhnya Hak Hadhanah Kepada Orang Tua Laki-laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama. (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan NO. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)”.


(21)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana hak dan kedudukan anak dalam ketentuan hukum Islam ?

2. Bagaimana kewajiban orang tua atas pemeliharaan anak setelah perceraian ?

3. Alasan-alasan hukum apa saja yang digunakan hakim dalam memutuskan hak hadhanah anak kepada orang tua laki-laki dalam perceraian ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui tentang hak dan kedudukan anak dalam ketentuan hukum Islam. 2. Untuk mengetahui kewajiban orang tua atas pemeliharaan anak setelah perceraian. 3. Untuk mengetahui alasan-alasan hukum yang digunakan hakim dalam memutuskan hak

hadhanah anak kepada orang tua laki-laki dalam perkara perceraian. Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah :

1. Menambah wawasan pembaca terhadap ilmu hukum Perdata khususnya hukum keluarga yang berkaitan dengan hak hadhanah anak kepada orang tua laki-laki setelah terjadinya perceraian.

2. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai putusan Pengadilan Agama yang berhubungan dengan hak hadhanah anak kepada orang tua laki-laki setelah perceraian. 3. Sebagai bahan referensi bagi lembaga Peradilan sebagai bahan pertimbangan bagi


(22)

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara belum pernah ada penulisan skripsi yang menyangkut hak hadhanah anak kepada orang tua laki-laki dalam hal terjadinya perceraian, sehingga penulisan skripsi ini adalah asli.

JATUHNYA HAK HADHANAH KEPADA ORANG TUA LAKI- LAKI KARENA PERCERAIAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan NO. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn) yang diangkat menjadi judul skripsi ini merupakan hasil karya yang ditulis secara objektif dan ilmiah melalui pemikiran referensi, dari buku-buku, media elektronik dan bantuan para narasumber dari pihak-pihak lain. Skripsi ini juga bukan merupakan jiplakan atau merupakan judul skripsi yang sudah pernah diangkat sebelumnya oleh orang lain.

E. Tinjauan Kepustakaan

Pada prinsipnya perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Karena itu antara suami dan istri perlu adanya sikap saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material, karena itu UU Perkawinan menganut asas atau prinsip mempersukar terjadinya perceraian.

Di dalam Pasal 38 UU Perkawinan ditegaskan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Adapun di dalam Pasal


(23)

39 UU Perkawinan ditegaskan kembali bahwa perceraian hanya dapat dilakukan did epan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Apabila perkawinan tersebut putus karena perceraian, persoalan yang terjadi tidak begitu saja selesai, akan tetapi timbul akibat-akibat hukum yang perlu dipatuhi oleh pihak-pihak yang bercerai. Akibat hukum yang timbul dari perceraian tidak hanya kepada pihak suami atau istri, akan tetapi juga terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

Akibat hukum yang kemudian timbul dari perceraian pada umumnya adalah tentang hadhanah.28 Secara teminologi hadhanah berarti merawat dan mendidik seorang yang belum mumayyiz atau yang hilang kecerdasannya karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya.29 Apabila anak sudah mumayyiz (berumur 12 tahun) hendaklah diselidiki oleh yang berwajib siapakah diantara kedua orang tuanya yang lebih baik dan lebih cakap untuk mendidik anak tersebut.30 Selain persoalan hadhanah, akibat hukum perceraian juga berkaitan dengan biaya hadhanah dan biaya nafkah anak tersebut dan harta sarikat (harta bersama).31

Setiap anak berhak mendapatkan pemeliharaan (hadhanah) dan kelangsungan hidup yang layak dari orangtuanya sekalipun telah terjadi perceraian. Pemeliharaan menurut etimologi adalah “proses, cara, perbuatan memelihara (kan), penjagaan,

28

Hadhanah berasal dari kata “hidhan” yang artinya lambung, para ahli fiqh mendefinisikan hadhanah

ialah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tapi belum tamyiz (berumur 12 tahun), Sayyid Sabbiq Op.cit., hal.42-43

29

Abu Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Ikhtiar Baru, Jakarta, 1999, hal.415 30

M.Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Fakultas Hukum Dharmawangsa, Medan, 1993, hal.12

31

Harta bersama adalah harta benda dan kekayaan yang diperoleh pasangan suami istri disaat berlangsungnya perkawinan, Ibid, hal.133


(24)

perawatan, pendidikan, penyelamatan, penjagaan harta kekayaan”.32

Menurut Abdul Aziz Dahlan, “Hadhanah ini berarti disamping atau berada dibawah ketiak. Sedangkan secara terminologisnya merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri”.

33

Hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki- laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz (dapat membedakan antara yang baik atau yang buruk) tanpa perintah padanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga sesuatu dari yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.

Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa :

34

Anak adalah putra-putri kehidupan didalam sebuah keluarga, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu anak memerlukan bimbingan atau pembinaan yang khusus agar perkembangan fisik, mental maupun spiritualnya dapat dimiliki Dalam Pasal 41 UU Perkawinan, disebutkan akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :

1. Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata mata berdasarkan kepentingan anak ; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, maka Pengadilan memberi keputusannya.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu ; bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.

32

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal.848

33

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1999), hal.415 34


(25)

semaksimal mungkin. Anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil dan belum menikah.

Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa anak adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Secara hukum perdata pengertian anak tidak diatur secara eksplisit, namun pengertian anak selalu dikaitkan dengan pengertian tentang kedewasaan dan masalah batas kedewasaan tidak ada keseragaman dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak kawin sebelumnya.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak langsung mengatur mengenai usia sampai kapan seseorang digolongkan sebagai seorang anak,

bahkan undang-undang membedakan usia dewasa yang dikaitkan kepada perbuatan hukumnya, sebagaimana dinyatakan didalam Pasal 6 ayat (2) yang memuat tentang syarat perkawinan, “ Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya”. Kemudian dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan memuat batas usia minimum untuk dapat melangsungkan perkawinan, “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Dilihat dari sisi lain Pasal 47 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”.


(26)

Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan, “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.35 Sedangkan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, menyatakan, “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun dan belum pernah kawin”.36

Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI, batas usia dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat (1) yang menyatakan, “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan” Kemudian Pasal 105 huruf a dan b KHI membedakan anak yang belum dewasa antara yang belum mumayyiz ( belum berumur 12 tahun) dan telah mumayyiz.37

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak), disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.38

Dari 2 (dua) sumber tersebut terdapat pengertian yang sangat berbeda tentang anak, satu sisi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian anak tidak

35

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak 36

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak 37

Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum umur 12 tahun) merupakan hak ibunya sepanjang tidak terhalang dan yang telah mumayyiz diserahkan kepada anak yang bersangkutan untuk memilih apakah ikut ibunya atau bapaknya

38


(27)

melihat kepada batas usia, sedangkan berdasarkan UU Perlindungan Anak, pengertian anak hanya meliputi yang berusia 0 (nol) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun bahkan yang masih dalam kandungan ibunya juga dikategorikan sebagai anak. Untuk dapat disebut anak maka anak itu harus berada pada batas usia bawah atau usia minimum 0 (nol) tahun (terhitung dalam kandungan) sampai dengan batas usia atas.39

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, apabila perkawinan bubar karena perceraian yang dilakukan melalui pengadilan, maka setiap anak berhak mendapatkan pemeliharaan dan nafkah dari orang tuanya. Mengasuh anak adalah hak ibu, kalau tidak ada ibu maka diganti oleh kaum wanita dari keluarga ibu, dan kalau mereka tidak ada maka digantikan oleh kaum wanita dari keluarga ayah, kemudian keluarga lain dari pihak ibu, kalau tidak ada maka digantikan oleh keluarga lain dari pihak ayah.

Dari berbagai peraturan yang telah dikemukakan di atas, batas umur anak yang belum dewasa itu ada 2 (dua) batasan umur yaitu 18 (delapan belas) tahun dan 21

(dua puluh satu) tahun. Hal ini tergantung kepada tindakan atau perbuatan hukum yang terjadi padanya.

40

Dari beberapa permasalahan yang telah dikemukakan di atas dapat dikatakan bahwa apabila terjadinya suatu perceraian, maka pemeliharaan anak dan memberikan kelangsungan hidup yang layak ataupun pemberian nafkah sampai anak tersebut tumbuh dewasa tetap menjadi tanggung jawab orang tua sesuai keputusan

39

Maulana Hasan Wadung, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hal.24 40


(28)

pengadilan.

F. Metode Penelitian 1. Sifat Jenis Penelitian

Penulisan skripsi ini adalah dikaji dan disusun dengan menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif, karena penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan atau menggambarkan keadaan atau fenomena yang berhubungan dengan permasalahan yang akan di teliti. Adapun Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang tata kerjanya memberikan data seteliti mungkin tentang segala hal yang berhubungan dengan aktivitas manusia, karya manusia, keadaan dan gejala-gejala lainnya.

Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum/ norma-norma hukum atau prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan “Jatuhnya Hak Hadhanah

Kepada Orang Tua Laki-laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan

PengadilanAgama MedanNO. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn”.

2. Sumber Data

Data Sekunder yang di pergunakan terdiri dari beberapa bahan hukum, yaitu :

1. Bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang di bahas dan Putusan Pengadilan Agama di wilayah hukum Medan. 2. Bahan hukum sekunder, yang sifatnya menjelaskan dari hukum primer. 3. Tersier, berupa kamus umum.


(29)

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian Putusan Pengadilan Agama Medan. Library research dimaksudkan untuk dapat dikumpulkan bahan-bahan kepustakaan, berupa buku-buku, majalah, dokumen-dokumen serta sumber-sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok masalah dalam skripsi ini. Putusan Pengadilan Agama Medan yang akan dibahas untuk melengkapi data yang telah diperoleh melalui Pengadilan Agama Medan.

G. Sistematika Penulisan

Gambaran isi dari tulisan ini kemudian diuraikan secara sistematis dalam bentuk tahapan-tahapan atau bab-bab yang masalahnya akan diuraikan secara tersendiri, tetapi antar satu dengan yang lainnya mempunyai keterkaitan.

Berdasarkan sistematika yang baku, penulisan skripsi ini dibagi dalam 5 (lima) bab, yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisi latar belakang

pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan gambaran isi.

BAB II : KEDUDUKAN ANAK DALAM KETENTUAN HUKUM

ISLAM


(30)

anak menurut hukum Islam, hak dan kewajiban anak yang masih dibawah umur menurut perundang-undangan.

BAB III : KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK HADHANAH (PEMELIHARAAN ANAK) SETELAH PERCERAIAN

Didalam bab ini di jelaskan tentang pengertian hadhanah

(pemeliharaan anak) dalam hukum Islam, hak dan kedudukan anak setelah perceraian orang tuanya, kewajiban orang tua terhadap anak setelah perceraian.

BAB IV : ALASAN-ALASAN HUKUM YANG DIGUNAKAN DALAM

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO. 1521/Pdt.G/2011/PA.

Mdn TENTANG HAK HADHANAH KEPADA ORANG TUA

KARENA PERCERAIAN

Didalam bab ini dijelaskan tentang duduk perkara, dasar

pertimbangan putusan hakim serta analisis putusan hakim.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini akan memberikan kesimpulan dari seluruh analisis


(31)

BAB II

KEDUDUKAN ANAK DALAM KETENTUAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian Anak

Berbicara tentang anak saat ini seperti tidak ada habis-habisnya, saya rasa semakin menarik karena di balik itu semua terdapat fakta-fakta menarik tentang permasalahan anak. Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan anak.

Anak sering kali dipersepsikan sebagai manusia yang masih berada pada tahap perkembangan sehingga belum dapat dikatakan sebagai manusia yang utuh. Dengan keterbatasan usia yang tentunya berpengaruh pada pola pikir dan tindakan, anak belum mampu untuk memilah antara hal yang baik dan buruk.

Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi Pembangunan Nasional. Anak adalah aset bangsa, masa depan bangsa dan Negara dimasa yang akan datang berada ditangan anak sekarang, semakin baik keperibadian anak sekarang maka semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa begitu pula sebaliknya, apabila keperibadian anak tersebut buruk maka akan bobrok pula kehidupan bangsa yang akan datang.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia anak dapat diartikan sebagai keturunan yang kedua, anak juga memiliki pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu juga anak pada hakekatya seorang yang berada pada masa perkembangan tertentu dan


(32)

mempunyai potensi untuk menjadi dewasa.41 Di dalam perkembangan lebih lanjut kata “anak“ bukan hanya dipakai untuk menunjukkan keturunan dari bapak dan ibunya, tetapi juga dipakai untuk menunjukkan asal seseorang, seperti anak Aceh, Jawa atau Batak, berarti anak tersebut keturunan dari orang Aceh, Jawa maupun Batak.42

Dalam sudut pandang yang dibangun oleh agama khususnya dalam hal ini adalah agama Islam, anak merupakan makhluk yang dhaif dan mulia, yang keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui proses penciptaan.43 Oleh karena anak mempunyai kehidupan yang mulia dalam pandangan agama Islam, maka anak harus diperlakukan secara manusiawi seperti diberi nafkah baik lahir maupun batin, sehingga kelak anak tersebut tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia seperti dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan dirinya untuk mencapai kebutuhan hidupnya dimasa mendatang. Dalam pengertian Islam, anak adalah titipan Allah SWT kepada kedua orang tua, masyarakat bangsa dan negara yang kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lila’lamin dan sebagai pewaris ajaran Islam pengertian ini mengandung arti bahwa setiap anak yang dilahirkan harus diakui, diyakini, dan diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima oleh akan dari orang tua, masyarakat , bangsa dan negara.44

Masa anak-anak, merupakan hal yang paling menyenangkan bagi anak. Masa dimana mereka dapat bermain atau bercanda dengan siapa saja dengan tanpa batas dan bebas dan juga berkesempatan untuk belajar semaksimal mungkin. Dalam konteks perkembangan anak, terlibat dalam suatu permainan bukanlah sekedar bermain, justru dengan bermain itulah

41 Anton M.Moelino, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hal.30 42Ibid

43 Iman Jauhari, Advokasi Hak-Hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan, Pustaka Bangsa, Medan, 2008, hal 46


(33)

sebenarnya anak belajar untuk menjadi pintar dalam berbagai macam hal.45

Selama ini terkadang seringkali diyakini bahwa masa anak-anak adalah masa untuk pematangan fisik, kecerdasan emosional, sosial dan pematangan susila. Sebenarnya hidup dimasa anak-anak haruslah hidup yang memperluas wawasan dan juga mendapatkan pengalaman baru, karena setiap anak perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani maupun jasmani. Anak sebagai amanah Tuhan Yang Maha Esa senantiasa haruslah dijaga karena di dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.46 Agama Islam memerintahkan untuk memelihara keturunan agar jangan sampai sia-sia, Islam menetapkan bahwa ketentuan keturunan menjadi hak anak, anak akan dapat menangkis penghinaan atau musibah terlantar.47

Kedudukan anak mem berikan arti yang sangat penting bagi bapak dan ibunya bahkan lebih jauh dari itu anak sangat memberikan arti tertentu bagi keluarga.48 Beberapa hukum positif di Indonesia memberikan pengertian yang authentik tentang anak, pengertian tersebut pada dasarnya terdiri dari persyaratan atau kualifikasi yang harus dipenuhi oleh seseorang agar dapat disebut anak, umumnya kualifikasi yang dipergunakan adalah :49

1. Batasan Umur. 2. Status Perkawinan.

45 Invanto (dkk), Pekerja Anak di Tiga Kota Besar : Jakarta Surabaya Medan Unicef dan Unika Atma Jaya, Jakarta, 1995, hal.21

46 Penjelasan Umum UU Perlindungan Anak 47 Zakaria Ahmad Al-Barry, op.cit, hal.7

48 Kedudukan anak dalam sebuah keluarga bukan hanya sebagai penerus dari keluarga tersebut, akan tetapi kedudukan anak dalam sebuah keluarga dapat memberikan status sosial bahkan juga sangat memberikan keharmonisan dalam rumah tangga.

49 Ariffani (dkk), Menuju Perlindungan Anak yang Holistik, Yayasan Pustaka Indonesia, Medan, 2005, hal.12


(34)

Adapun, variasi perbedaan pengertian anak terdiri dari :50

Anak adalah anak, anak tidak sama dengan orang dewasa. 1. Batasan umur yang berbeda-beda.

2. Dipergunakannya status perkawinan sebagai syarat. 3. Status perkawinan tidak digunakan sebagai syarat.

51

Anak juga memiliki sistim penilaian kanak-kanak yang memperlihatkan martabat dan norma anak itu sendiri, tidak hanya itu saja bahkan sejak lahirpun anak sudah menampakkan ciri-ciri dan tingkah laku karakteristik yang mandiri, memiliki kepribadian yang khas dan unik. Hal ini ditunjukkan oleh taraf perkembangan anak itu memang selalu berkelainan dengan sifat- sifatnya dan ciri-cirinya dimulai semenjak masih dari usia bayi, anak-anak, remaja sampai dewasa maupun usia lajut akan berlainan pola pikir dan jasmaninya.52

3. Pasal 1 angka 1 UU Pengadilan Anak, menyatakan :“Anak adalah orang yang dalam

Pada umumnya pengertian anak adalah mereka-mereka yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin, hal ini dapat dilihat dari beberapa peraturan sebagai berikut :

1. Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa :”Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak kawin sebelumnya”. Pengertian pada Pasal 330 KUH Perdata ini menunjukkan kedudukan seseorang yang masih dikategorikan sebagai anak-anak.

2. Pasal 1 angka 2 UU Kesejahteraan Anak menentukan “anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.

50Ibid

51 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal.6 52Ibid


(35)

perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun dan tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.53

7. Konvensi ILO No.182 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk- bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menentukan bahwa “anak berarti semua orang yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun.”

4. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM) menentukan “Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih didalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya”.

5. Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak menentukan “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan”.

6. Pasal 98 KHI menentukan batas anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

54

9. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang usia anak “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 8. Convention on the Right of the Childs (CRC), di antara hasil-hasilnya menyatakan bahwa “anak adalah setiap orang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak kedewasaan telah diperoleh sebelumnya” (pasal 1).

53 Batas umur 8 (delapan) tahun bagi anak nakal untuk dapat ke sidang anak didasarkan pertimbangan sosiologis, psikologis, pedagogis, bahwa anak yang belum mencapai 8 (delapan) tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, lebih lanjut lihat UU Pengadilan Anak

54 SelanjutnyaKonvensi ILO No.182 telah diratifikasi Pemerintah melalui UU Nomor 1 Tahun 2000

Tentang Pengerahan Konvensi ILO No.182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak


(36)

(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”. Mahkamah berpendapat bahwa meskipun Pasal a quo tidak dimintakan pengujiannya oleh para Pemohon, namun Pasal a quo merupakan jiwa atau ruh dari Undang-Undang Pengadilan Anak, terutama Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak, sehingga batas umur minimum juga harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, yakni 12 (dua belas) tahun. Dari beberapa analisis peraturan yang ada di atas, masih terdapat pluralisme pengertian anak dalam hukum positif Indonesia, hal ini karena ditandai adanya batasan umur yang dipakai, di pergunakannya status perkawinan sebagai syarat pembatas anak dan dewasa serta tidak adanya dipergunakan status perkawinan sebagai syarat pembatas kategori anak- anak dan dewasa.

B. Hak dan Kedudukan Anak Menurut Hukum Islam

Sebagai seorang Muslim tentu saja kita harus memahami dan mengetahui mengenai hak dan kedudukan anak di dalam Hukum Islam apalagi kita sendiri berperan sebagai anak, namun tidak hanya itu saja melainkan anak juga harus bisa mengetahui hak maupun kedudukan atas dirinya dari kedua orang tuanya dan anak juga diharuskan untuk bisa berbakti, menaati dan berbuat baik terhadap kedua orang tuanya.

Disamping itu juga sebagai orang tua harus bisa memberikan contoh yang baik terhadap anak di dalam keluarga tanpa harus memberikan didikan yang keras terhadap anak, karena anak sangat bergantung pengharapan keluarga dikemudian hari karena ialah ujung cita-cita dalam segenap kepayahan.


(37)

dari kedua orang tuanya, karena dari situlah anak akan bisa menunjukkan karakter dirinya sebagai anak dan merasakan kenyaman dari rasa cinta kedua orang tuanya terhadap dirinya sendiri. Oleh sebab itu Nabi Muhammad SAW sangat sayang kepada anak-anak sampai punggungnya diperkuda-kuda oleh anak-anak disaat dirinya sedang sujud di waktu shalat, sampai anak-anak dipangkunya ketika sedang mengerjakan ibadah dan apabila dia hendak sujud diletakannya anak itu kesampingnya dan bila hendak tegak di punggugnya kembali. Beliau bersabda :

“Rumah yang tidak ada anak-anak, tidaklah ada berkat didalamnya”. (Abu

Syaikh, Ibnu Hibban)55

“Anak-anak adalah setengah dari harum-haruman surga (Turmidzi) peliharalah anak-anakmu dan perbaikilah budi pekerti mereka. Sesungguhnya anak-anak itu adalah hadiah Allah kepadamu”. (HR.Bukhari)

Dalam Hadis lain Rasul bersabda :

56

Pengertian anak dalam Hukum Islam dan hukum keperdataan yang dihubungkan dengan keluarga. Anak dalam hubunganya dengan keluarga, seperti anak kandung, anak laki- laki dan anak perempuan, anak sah dan anak tidak sah, anak sulung dan anak bungsu, anak tiri dan anak angkat, anak piara, anak pungut, anak kemenakan, anak pisang, anak sumbang (anak haram) dan sebagainya.57

55

Hamka, Lembaga Hidup, PT Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, hal.223 56

Ibid

57

Loc.cit, hal.41

Adapun sebenarnya Pengertian anak dalam Islam disosialisasikan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang arif dan berkedudukan mulia yang keberadaanya melalui proses penciptaan yang berdimensi pada kewenangan kehendak Allah


(38)

SWT.58

Dalam hukum Islam terdapat bermacam macam kedudukan/status anak, sesuai dengan sumber asal-usul anak itu sendiri, sumber asal itulah yang akan menentukan kedudukan status seorang anak. Adapun kedudukan/status anak dalam hukum Islam adalah anak kandung, anak angkat, anak susu, anak pungut, anak tiri, dan anak luar nikah,

Penjelasan status anak dalam agama Islam ditegaskan dalam al-Quran surat al-Isra ayat 70, yang artinya :

“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka didarat dan dilautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.”

Dengan begitu bahwa al-Qur’an atau akidah Islam meletakan kedudukan anak sebagai suatu makhluk yang mulia, diberikan rezeki yang baik-baik dan memiliki nilai plus, semua diperoleh melalui kehendak sang Pencipta Allah SWT.

59

Anak kandung dapat juga dikatakan anak yang sah, pengertianya adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah antara ibu dan bapaknya. Dalam hukum positif dinyatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

masing-masing anak tersebut diatas, mendapat perhatian khusus dalam syariat Islam yang menentukan kedudukan/statusnya, baik dalam keturunan dan kewarisan, maupun perwalian. Berikut macam-macam dari kedudukan anak dalam Islam adalah sebagai berikut :

1. Anak kandung

60

58

Ibid

59

Lihat Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Lihat juga Pasal 99 huruf a Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

60

Lihat Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Lihat juga Pasal 99 huruf a Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Perkawinan


(39)

dianggap sah, yaitu :

a. Kehamilan bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar untuk hami. Imam Hanafi tidak mensyaratkan seperti ini, menurut beliau meskipun suami isteri tidak melakukan hubungan seksual, apabila anak lahir dari seorang isteri yang dikawini secara sah maka anak tersebut adalah anak sah.

b. Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan sedikit-dikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang ini terjadi ijma’ para pakar hukum Islam (fuqha) sebagai masa terpendek dari suatu kehamilan.

c. Anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang panjangnya kehamilan. Tentang hal ini masih diperselisihkan oleh para pakar hukum Islam.

d. Suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga li’an. Jika seorang laki- laki ragu tentang batas minimal maksimal kehamilan terlampaui maka ada alasan bagi

suami untuk mengingkari anak yang dikandung oleh isterinya dengan cara li’an.61

Anak yang sah mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarganya, orang tua berkewajiban untuk memberikan nafkah hidup, pendidikan yang cukup, memelihara kehidupan anak tersebut sampai ia dewasa atau sampai ia dapat berdiri sendiri mencari nafkah. Anak yang sah merupakan tumpuan harapan orang tuanya dan sekaligus menjadi penerus keturunanya.62

“Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang 2. Anak angkat

Anak angkat dalam hukum Islam, dapat dipahami dari maksud firman Allah SWT dalam surat al-Ahzab ayat 4 dan 5 yang menyatakan :

61

Abdul Manan, Aneka masalah Hukum Materiil dalam Praktek Peradilan Agama, editor Iman Jauhari, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hal.102

62


(40)

demikian itu hanya perkataanmu dimulutmu saja. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka”.

Pengertian anak angkat dalam hukum Islam adalah yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.63 Dengan adanya pengangkatan anak, maka anak angkat itu tidak mengakibatkan berubahnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkatnya baik dalam hubungan keturunan/darah maupun dalam hubungan muhrim. Sehingga status anak angkat terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya ia tidak mewarisi tetapi memperolehnya melalui wasiat dari orang tua angkatnya, apabila anak angkat tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka ia diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.64

Mengenai anak tiri ini dapat terjadi apabila dalam suatu perkawinan terdapat salah satu pihak baik isteri atau suami, maupun kedua belah pihak masing-masing membawa anak kedalam perkawinannya. Anak itu tetap berada pada tanggung jawab orang tuanya, apabila didalam suatu perkawinan tersebut pihak isteri membawa anak yang di bawah umur (belum dewasa) dan menurut keputusan Pengadilan anak itu Islam masih mendapat nafkah dari pihak bapaknya samapai ia dewasa, maka keputusan itu tetap berlaku walaupun ibunya telah kawin lagi dengan pria lain. Kedudukan anak tiri ini baik dalam Hukum Islam maupun Dalam hukum Islam, lembaga (peraturan) pengangkatan anak, anak angkat itu tidak mempunyai hubungan darah antara orang tua angkat dengan anak angkatnya. Hal ini berarti bahwa di dalam hukum Islam anak angkat tidak dijadikan dasar mewarisi, karena prinsip dasar untuk mewarisi adalah hubungan darah dan perkawinan, demikian juga pengangkatan anak tidak mengakibatkan halangan untuk melangsungkan perkawinan.

3. Anak tiri

63

Lihat Pasal 171 huruf h Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam 64


(41)

dalam Hukum Adat, Hukum Perdata Barat tidak mengatur secara rinci. Hal itu karena seorang anak tiri itu mempunyai ibu dan bapak kandung, maka dalam hal kewarisan ia tetap mendapat hak waris dari harta kekayaan peninggalan (warisan) dari ibu dan bapak kandungnya apabila ibu dan bapak kandungnya meninggal dunia.65

Anak piara/asuh lain juga dari anak-anak tersebut diatas, karena mengenai piara/asuh ini ia hanya dibantu dalam hal kelangsungan hidupnya maupun kebutuhan hidupnya baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk biaya pendidikan.

4. Anak piara/asuh

66

Anak luar nikah adalah anak yang lahir dari hasil hubungan kelamin luar nikah, Dalam hal anak piara ini ada yang hidupnya mengikuti orang tua asuh, namun hubungan hukumnya tetap dan tidak ada hubungan hukum dengan orang tua asuh. Selain dari pada itu ada juga anak piara/asuh yang tetap mengikuti orang tua kandungnya, namun untuk biaya hidup dan biaya pendidikannya mendapatkan dari orang tua asuh. Sehingga dengan demikian dalam hal pewarisan, maka anak piara/asuh sama sekali tidak mendapat bagian, kecuali apabila orang tua asuh memberikan hartanya melalui hibah atau kemungkinan melalui surat wasiat.

5. Anak luar nikah

67

2. Anak mula’anah, adalah anak yang dilahirkan oleh seorang isteri yang mana keberadaan anak itu dibantah oleh suami sebagai anaknya dan menuduh isterinya telah berbuat zina dengan pria lain dengan cara melakukan sumpah li’an terhadap dalam Hukum Islam anak tersebut dapat dianggap anak di luar nikah adalah :

1. Anak zina, adalah anak yang lahir dari hasil hubungan kelamin tanpa pernikahan, karena perbuatan yang dilakukan oleh orang yang menyebabkan kelahiran anak tersebut.

65

Iman Jauhari, Op.cit, hal.87 66

Ibid, hal.9 67


(42)

isterinya.

3. Anak shubhat, adalah anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang digauli dengan cara syubhat, yang dimaksud dengan syubhat dalam hal ini, menurut jawad mughaniyah yaitu seorang laki-laki menggauli seorang wanita yang haram atasnya karena tidak tahu dengan keharaman itu.68

Mengenai status anak luar nikah, baik didalam hukum nasional maupun hukum Islam bahwa anak itu hanya dibangsakan pada ibunya, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya.69

“dan janganlah kamu membunuh anak-anak karena takut kemiskinan. Kamilah yang memberi rezki kepada mereka dan juga kepada kamu. Sesungguhnya membunuh

Maka hal ini berakibat pula pada hilangnya kewajiban tanggung jawab ayah kepada anak dan hilangnya hak anak kepada ayah. Didalam hukum Islam dewasa dilihat sejak ada tanda-tanda perubahan badaniah baik bagi laki-laki maupun perempuan. Apabila tanda-tanda ini tidak kelihatan maka seorang anak dianggap telah dewasa apabila telah mencapai usia 15 tahun.

Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya gadis, bersuami atau janda, jejaka, beristeri atau duda sebagaimana yang berlaku pada hukum perdata.

Setelah adanya kedudukan anak dalam ketentuan hukum Islam kemudian akan timbulnya suatu pemberian hak atau melahirkan hak anak yang harus diakui /diyakini, dan diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima oleh anak dari orang tua, masyarakat, bangsa dan Negara. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam Surat al-Isra’ ayat 17 yang artinya :

68

Huzaemah Tahido, Kedudukan Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Islam, Makalah KOWANI, Jakarta, hal.2

69

Lihat Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 100 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam


(43)

mereka adalah suatu dosa yang besar”.

Hak anak dalam pandangan Islam ini memiliki aspek yang universal terhadap kepentingan anak, yaitu meletakan hak anak dalam pandangan Islam, memberikan gambaran bahwa tujuan dasar kehidupan umat Islam adalah membangun umuat manusia yang memegang teguh ajaran Islam dengan demikian, hak anak dalam pandangan Islam meliputi aspek hukum dalam lingkungan hidup seseorang untuk Islam. Cara pandang yang dimaksud tidak saja memposisikan umat Islam yang harus tunduk pada hukum-hukum Islam seperti hukum Pidana Islam, hukum Perdata Islam, Hukum Perkawinan Islam, hukum Tata Negara Islam dan hukum waris sebagai formalitas-formalitas wajib yang harus ditaati oleh umat Islam dan apabila dilanggar maka perbuatan tersebut akan mendapat laknat dan siksaan dari Allah SWT baik diatas dunia maupun di akhirat kelak. Pada tindakan lain seorang umat Islam harus taat dalam menegakan hak azasi anak dengan berperang pada hukum nasional yang positif. Islam juga meletakan hak asasi anak yang dapat diletakan atas dasar hukum Perdata, hukum Pidana, dan hukum Tata Negara yang berlaku dalam ruang lingkup wilayah Indonesia.70

Hak menurut Pengertian umum yaitu suatu ketentuan yang denganya syara’ menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum.71

70

Op.cit, hal.33 71

Loc.cit, hal 51

Demikian ini adalah sebagai hak wali bertasharruf atas tiap-tiap anak yang dibawah perwalianya. Hak-hak anak yang mutlak dalam dimensi akidah dan pandangan kehidupan agama Islam, terdiri dari :

1. Hak untuk melindungi anak ketika masih berada dalam kandungan atau rahim ibunya

terdapat dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 233

2. Hak untuk disusui selama dua tahun terdapat dalam al-Qur’an Surat Luqman ayat 14


(44)

3. Hak untuk diberi pendidikan, ajaran, pembinaan, tuntutan dan akhlak yang benar terdapat

dalam al-Qur’an Surat al-Mujadilah ayat 11

4. Hak untuk mewarisi harta kekayaan milik kedua orang tuanya terdapat dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 2, 6 dan 10.

5. Hak untuk mendapatkan nafkah dari orang tuanya terdapat dalam surat al- Qashah ayat 12

6. Hak untuk mempertahankan agama dan aqidahnya, bila dipaksa untuk murtad oleh pelaksana hadhanah terdapat dalam surat Luqman ayat 5172

7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran

Hak asasi anak dalam pandangan Islam dikelompokkan secara umum ke dalam bentuk hak asasi anak yang meliputi subsistem berikut ini :

1. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan 2. Hak dalam kesucian keturunan

3. Hak anak dalam menerima pemberian nama yang baik 4. Hak anak dalam menerima susuan

5. Hak anak dalam mendapat asuhan, perawatan pemeliharaan

6. Hak dalam memiliki harta benda atau hak warisan demi kelangsungan hidup

anak yang bersangkutan

73

72

Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Keluarga Poligami, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003, hal.87


(45)

C. Hak dan Kewajiban Anak Yang Masih di Bawah Umur Menurut Undangan

Dalam ajaran Islam, anak adalah amanat dan titipan dari Allah SWT kepada orang tuanya, masyarakat, bangsa dan negara sebagai pewaris nantinya dari ajaran Islam. Anak menerima setiap ukiran dan mengikuti semua pengarahan yang diberikan kepadanya, oleh karenanya perlu dididik dan diajari dengan kebaikan.74

Anak dilahirkan merdeka, tidak boleh dilenyapkan atau dihilangkan, kemerdekaan anak harus dilindungi dan diperluas dalam hal mendapatkan hak atas hidup dan hak perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.75 Perlindungan anak tersebut mutlak harus diberikan untuk mendapatkan hak anak yang tidak boleh dikurangi karena sebab apapun, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang.76

Pengertian ini memberikan hak atau melahirkan hak anak yang harus diakui, diyakini dan diamankan. Hak Asasi anak dalam pandangan Islam dikelompokkan secara umum ke dalam hak asasi anak yang meliputi :

Perlindungan anak berkaitan erat untuk mendapatkan hak asasi sehingga anak mendapatkan haknya dan memahami apa yang menjadi hak dan kewajibannya baik terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

77

74

R. Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta, 2007, hal.10 75

Ibid

76

R. Abdussalam, Op.cit., hal.11 77

Ibid

1. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan; 2. Hak anak dalam kesucian keturunan;


(46)

4. Hak anak dalam menerima susuan;

5. Hak anak dalam mendapat asuhan, perawatan dan pemeliharaan;

6. Hak anak dalam memiliki harta benda atau warisan demi kelangsungan hidup yang bersangkutan;

7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Untuk memastikan terjaminnya hak anak dalam segala aspek, Pemerintah telah menegaskan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukankehidupan berbangsa dan bernegara.78

5. Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertama berhak mendapat Adapun hak anak sebagaimana diatur didalam UU Kesejahteraan anak diatur dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 8, yang meliputi :

1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan ksih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan negara yang baik dan berguna.

3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.

78


(47)

pertolongan, bantuan dan perlindungan.

6. Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh negara atau orang atau badan hukum.

7. Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan

keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar.

8. Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhannya dan

perkembangannya.

9. Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangannya sejauh batas kemampuan dan kesanggupan anak yang bersangkutan.

10. Bantuan dan pelayanan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa membedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik, dan kedudukan sosial.

Sementara itu hak anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia diatur dari Pasal 52 sampai dengan Pasal 66, yang meliputi :

1. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara. 2. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungannya.

3. Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.


(48)

pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

5. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan berkreasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali. 6. Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.

7. Setiap anak berhak dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

8. Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau walinya berdasarkan putusan Pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.

9. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik dan mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.

10. Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak.

11. Setiap anak berhak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya.


(49)

12. Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya.

13. Setiap anak berhak mencari, menerima dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat

intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai- nilai kesusilaan dan kepatutan.

14. Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.

15. Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak sesuai dengan kemampuan fisik dan mental spritualnya.

16. Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan didalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan.

17. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan didalam kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat menggangu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spritualnya.

18. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk

penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya.

19. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

20. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.


(50)

manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.

22. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.

23. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak di dalam sidang yang tertutup untuk umum.

Hak anak yang diatur di dalam UU Perlindungan Anak tercantum dari Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 yang meliputi sebagai berikut :

1. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

2. Setiap anak berhak atas nama sebagai identitas dan status kewarganegaraan.

3. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.

4. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal ini karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial dengan kebutuhan fisik, mental, spritual dan sosial.


(51)

6. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak mendapatkan pendidikan luar

biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga mberhak mendapatkan fasilitas yang khusus.

7. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memeberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kepatutan dan ksesusilaan.

8. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri.

9. Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

10. bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dn perlakuan salah lainnya.

11. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

12. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik,perlibatan dalam sengketa senjata, perlibatan di dalam kerusuhan sosial, perlibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan perlibatan dalam


(1)

dibandingkan diasuh oleh penggugat dulunya dan tumbuh seperti anak seusianya.

Mengenai dikabulkannya pemeliharaan anak (hadhanah) ditangan tergugat oleh

Hakim dengan mendasarkan pada penerapan Pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam

adalah sudah tepat, dimana anak dalam kasus ini masih berumur 5 tahun dan masih

memerlukan kasih sayang dan bimbingan seseorang ibu dan tergugat sebagai orang tua laki-

laki tidak termasuk orang yang terhalang untuk memelihara anak yang mana tujuannya

adalah sama-sama untuk kepentingan anak baik untuk pertumbuhan jasmani, rohani,

intelektual dan agama anak. Namun karena dalam hal ini penggugat telah lalai akan tanggung

jawabnya sebagai seorang ibu, dan sebaliknya tergugat mampu mengasuh dan memelihara

anak tergugat ataupun penggugat dan oleh dikarenakan untuk kepentingan anak pengadilan


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian pada putusan pengadilan Agama yang telah diuraikan di

atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Mengenai hak dan kedudukan anak dalam hukum Islam sebagaimana diatur di dalam Al-

Qur’an surat al-Isra ayat 70 yang mana jelas dikatakan bahwa al-qur’an dan aqidah Islam

meletakkan kedudukan anak sebagai suatu makhluk yang mulia, diberikan rezeki yang

baik dan memiliki nilai plus semua diperoleh melalui kehendak sang pencipta Allah SWT,

selain itu hak anak juga diatur dalam KHI yang terdapat di dalam pasal 156 huruf a dan

huruf b Kompilasi Hukum Islam.

2. Sekalipun telah bercerai antara suami isteri, anak tetap berhak mendapatkan kasih sayang,

pemeliharaan dan kebutuhan jasmani maupun rohani, artinya orang tua tetap mempunyai

kewajiban yang sama sebelum terjadi perceraian. Adapun kewajiban orang tua tersebut

dapat dilihat pengaturannya di dalam pasal 45 UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan

dan pasal 77, 105 dan pasal 106 Kompilasi Hukum Islam.

3. Dalam putusan Pengadilan Agama Medan Nomor : 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn, hak

hadhanah diberikan kepada bapak karena di dalam persidangan terdapat fakta-fakta hukum yang mana jelas bahwa si ibu tidak memiliki kemampuan untuk mengasuh

anaknya atau si ibu telah lalai merawat dan menjaga anaknya. Dengan demikian, dalam

kasus ini hakim telah tepat dalam menerapkan hukumnya sebagai dasar pertimbangan


(3)

B. Saran

1. Diperlukannya bentuk penyuluhan hukum atau pendekatan yang lebih intensif untuk

meningkatkan kesadaran hukum di dalam masyarakat atas tanggung jawab pemeliharaan

anak, dan juga untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai arti perkawinan.

2. Untuk menegakkan isi putusan Pengadilan Agama mengenai hak hadhanah setelah

putusnya hubungan perkawinan karena perceraian yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap, maka dalam pelaksanaanya diperlukan adanya hakim pengawas agar tidak terjadi


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung :Sumur Bandung, 1984

Armia, Bahan Ajar Fiqh Munakahat, La-Tansa Press, Medan, 2011

M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Medan :CV.Rajawali,1986

Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, 2004

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan, Yogyakarta, Penerbit Liberti, 1982

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta, 2005

Rasyid Sulaiman, Fiqh Islam, Jakarta, Attahiriyah, 1954

M.Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Fakultas Hukum Dharmawangsa, Medan, 1993

Abu Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Ikhtiar Baru, Jakarta, 1999

Maulana Hasan Wadung, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000

Zakaria Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-Anak Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2004

Iman Jauhari, Advokasi Hak-Hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan, Pustaka Bangsa, Medan, 2008

Anton M.Moelino, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1988

Ariffani (dkk), Menuju Perlindungan Anak yang Holistik, Yayasan Pustaka Indonesia, Medan, 2005

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006

Hamka, Lembaga Hidup, PT Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelesaian Penterjemah Al-Qur’an, Jakarta, 1973


(5)

Abdul Manan, Aneka masalah Hukum Materiil dalam Praktek Peradilan Agama, editor Iman Jauhari, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003

Huzaemah Tahido, Kedudukan Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Islam, Makalah KOWANI, Jakarta

Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Keluarga Poligami, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003

R. Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta, 2007

Shanti Dellyana, Wanita dan Hak Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988

Yusuf Thaib, Pengaturan Perlindungan Hak Anak dalam Hukum Positif, BPHN, Jakarta, 1984

R.Soetodjo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, 1988

R.Soetodjo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, Airlangga University Press, Surabaya,1991

Hakim Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2000

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Presindo, Jakarta, 2004

Huzaemah T Yanggo, Fiqh Anak, Al-Mawardi, Jakarta, 2004

S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah, Pustaka Amani, Jakarta, 2002

Musthafa Kamal Pasha, Chalil, Wahardjani, Fikih Islam, Citra Karsa Mandiri, Yogyakarta, 2002

B. Peraturan Perundang-Undangan

- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

-Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

-Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak


(6)

-Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

-Kompilasi Hukum Islam

C. Media Internet

-http://imamrusly.wordpress.com/2012/04/22/hadhanah-mengasuh-anak

-http://masterfajar.com/2012/08/pengertian-dasar-hukum-hak-perwalian-anak


Dokumen yang terkait

Jatuhnya Hak Hadhanah Kepada Orang Tua Laki-Laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama. (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)

1 59 103

Analisis Hadhanah Pada Putusan Hadhanah Di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 2010-2012)

2 91 165

Hak Pemeliharaan Dan Kewajiban Memberi Nafkah Terhadap Anak Di Bawah Umur Akibat Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Di Kota Binjai (Studi Putusan Pada Wilayah Hukum Pengadilan Agama Binjai)

1 42 105

Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Akibat Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 345/Pdt.G/2007/Pa.Bks.)

0 12 73

Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak Akibat Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 345/Pdt.G/2007/Pa.Bks.)

1 27 73

BAB II KEDUDUKAN ANAK DALAM KETENTUAN HUKUM ISLAM A. Pengertian Anak - Jatuhnya Hak Hadhanah Kepada Orang Tua Laki-Laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama. (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Jatuhnya Hak Hadhanah Kepada Orang Tua Laki-Laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama. (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)

0 0 21

BAB II KARAKTER HADHANAH PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN DARI TAHUN 2010-2012 1. Perceraian Dan Akibat Hukum Terhadap Anak a. Perceraian - Analisis Hadhanah Pada Putusan Hadhanah Di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 20

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang - Analisis Hadhanah Pada Putusan Hadhanah Di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 2010-2012)

0 1 32

Analisis Hadhanah Pada Putusan Hadhanah Di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 2010-2012)

0 2 14