Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Karyawan Di Bagian Pengolahan PTPN 2 Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2017

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang jelas tidak dikehendaki dan
sering kali tidak terduga semula yang dapat menimbulkan kerugian baik waktu,
harta benda/property maupun korban jiwa yang terjadi di dalam suatu proses
kerja industri atau yang berkaitan dengannya (Tarwaka, 2008).
Disebut tidak terduga

karena dibelakang peristiwa kecelakaan tidak

terdapat unsur kesengajaan dan perencanaan. Kejadian ini juga dikatakan tidak di
inginkan atau di harapkan, karena setiap peristiwa kecelakaan akan selalu disertai
kerugian baik fisik maupun mental. Serta selalu menimbulkan kerugian dan
kerusakan, yang sekurang-kurangnya

menyebabkan gangguan proses kerja

(Tarwaka, 2008).
Kecelakaan kerja atau kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan
berhubungan dengan hubungan kerja pada perusahaan, atau kecelakaan yang

terjadi dikarenakan oleh pekerjaan atau pada waktu melaksanakan pekerjaan
(Suma’mur, 1981). Setiap kecelakaan menyebabkan penderitaan bagi si korban
dan penderitaan pula bagi keluarganya. Apabila kecelakaan itu menyebabkan
kematian atau cacat permanen, maka keluarganya akan menderita kesusahan.
Resiko cukup besar dari kecelakaan yang terjadi adalah dalam bentuk korban
manusia dan pemborosan ekonomi, oleh sebab itu pencegahan kecelakaan di
tempat kerja adalah merupakan tugas yang penting dan merupakan kebutuhan
yang sangat vital. Anggapan bahwa kecelakaan itu merupakan takdir adalah suatu

8
Universitas Sumatera Utara

9

penilaian yang keliru. Setiap kecelakaan ada penyebabnya dan penyebab ini dapat
dicegah atau dikurangi melalui berbagai tindakan.
2.1.1 Klasifikasi Kecelakaan Kerja
Klasifikasi kecelakaan akibat kerja menurut Organisasi Perburuhan
Internasional tahun 1962 adalah sebagai berikut:
a) Klasifikasi kecelakaan dalam industri berdasarkan jenis kecelakaan :

1) Terjatuh
2) Tertimpa
3) Tertumpuk atau terkena benda-benda, terkecuali benda jatuh.
4) Terjepit oleh benda
5) Gerakan-gerakan melebihi kemampuan
6) Pengaruh suhu tinggi
7) Terkena arus listrik
8) Kontak langsung dengan bahan-bahan berbahaya atau radiasi
9) Jenis-jenis lain, termasuk kecelakaan-kecelakaan yang data-datanya tidak
cukup atau kecelakaan-kecelakaan lain yang belum masuk klasifikasi tersebut.
(Suma’mur, 1981).
Sehubungan dengan penggunaan alat pelindung diri,

klasifikasi

menentukan alat pelindung diri apa yang dapat digunakan untuk mengurangi
akibat kecelakaan berdasarkan jenis kecelakaannya.
b) Klasifikasi kecelakaan dalam industri berdasarkan penyebab kecelakaan :
1) Mesin
2) Alat angkat dan angkut


Universitas Sumatera Utara

10

3) Peralatan lain
4) Bahan-bahan, zat-zat, dan radiasi
5) Lingkungan kerja
6) Penyebab lain yang belum termasuk golongan-golongan tersebut
7) Penyebab-penyebab lain yang belum termasuk golongan di atas dan belum
memadai (Suma’mur, 1981).
Berkaitan dengan penggunaan alat pelindung diri, klasifikasi

menurut

penyebab ini berguna untuk menentukan desain, kekuatan dan bahan yang
diperlukan untuk membuat alat pelindung diri tersebut. Klasifikasi ini juga dapat
digunakan untuk melakukan standarisasi misalnya : konstruksi yang memenuhi
berbagai syarat keselamatan, jenis peralatan industri tertentu, praktik kesehatan
dan hygiene umum dan alat pelindung diri.

c) Klasifikasi menurut sifat luka atau kelainan
1) Patah tulang
2) Dislokasi
3) Memar dan luka dalam yang lain
4) Amputasi
5) Luka-luka lain
6) Luka di permukaan
7) Luka bakar
8) Keracunan-keracunan mendadak
9) Akibat cuaca, dan lain-lain
10) Mati lemas

Universitas Sumatera Utara

11

11) Pengaruh arus listrik
12) Pengaruh radiasi
13) Luka-luka yang banyak dan berlainan sifatnya
14) Lain-lain (Suma’mur, 1981).

Klasifikasi

kecelakaan

menurut

penyebab

ini

digunakan

untuk

menggolongkan penyebab kecelakaan menurut letak luka-luka akibat kecelakaan.
Penggolongan menurut sifatnya dan letak luka di tubuh berguna bagi penelaahan
tentang kecelakaan lebih lanjut dan terperinci.
d) Klasifikasi menurut letak kelainan atau luka di tubuh
1) Kepala
2) Leher

3) Badan
4) Anggota atas
5) Anggota bawah
6) Banyak tempat
7) Kelainan umum
8) Letak lain yang tidak dimasukkan dalam klasifikasi di atas (Suma’mur, 1981).
Semua penggolongan tersebut di atas dapat untuk menerangkan sebab-sebab
yang sesungguhnya dari kecelakaan dalam industri dan tempat-tempat kerja lain,
tetapi masih belum dapat menggambarkan keadaan atau peristiwa terjadinya
kecelakaan kerja yang mungkin disebabkan karena kehamilan, murung, kejenuhan
dan masalah fisik. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh keadaan di luar pabrik.

Universitas Sumatera Utara

12

Sering juga suatu kecelakaan terjadi oleh gabungan dari gangguan yang bersifat
teknik, fisik dan psikis.
2.1.2 Sebab-sebab Kecelakaan Kerja
Penelitian menunjukkan, bahwa 85% penyebab kecelakaan bersumber

kepada faktor manusia. Hal ini disebabkan karena kelainan dan kesalahan manusia
atau tindak perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan. Bahkan ada
suatu pendapat bahwa akhirnya langsung atau tidak langsung semua kecelakaan
adalah dikarenakan faktor manusia. Kesalahan tersebut mungkin saja dibuat oleh
perencanaan pabrik dan kontraktor yang membangunnya, pembuat mesin-mesin
pengusaha, insinyur, ahli kimia, ahli listrik, pimpinan kelompok, pelaksana, atau
petugas yang melakukan pemeliharaan mesin dan peralatan (Suma’mur, 1996).
Tindakan berbahaya dari para tenaga kerja/manusia (unsafe action) yang
mungkin dilatarbelakangi oleh berbagai sebab yaitu :
1. Kurang pengetahuan dan keterampilan
2. Ketidakmampuan untuk bekerja secara normal
3. Ketidakfungsian tubuh karena cacat yang tidak nampak
4. Kelelahan dan kejenuhan
5. Sikap dan tingkah laku yang tidak aman
6. Kebingungan dan stress karena prosedur kerja yang baru belum dapat
dipahami
7. Belum menguasai/belum trampil dengan peralatan atau mesin-mesin baru.
8. Penurunan konsentrasi dari tenaga kerja saat melakukan pekerjaan
9. Sikap masa bodoh dari tenaga kerja


Universitas Sumatera Utara

13

10. Kurang adanya motivasi kerja dan tenaga kerja
11. Kurang adanya kepuasan kerja
12. Sikap kecenderungan mencelakai diri sendiri.
Sedang kondisi berbahaya atau keadaan yang tidak selamat adalah suatu
keadaan yang dapat menimbulkan kecelakaan yaitu:
1. Pengamanan yang tidak sempurna
2. Peralatan / bahan yang tidak seharusnya
3. Kecacatan, kektidaksempurnaan
4. Prosedur yang tidak aman
5. Penerangan tidak sempurna
6. Iklim kerja yang tidak aman
7. Tekanan udara yang tidak aman
8. Getaran yang berbahaya
9. Pakaian, kelengkapan yang tidak aman
10. Kejadian berbahaya lainnya.
Selain sebab-sebab langsung di atas, ada juga sebab-sebab dasar yang

menyebabkan munculnya tindakan berbahaya dan kondisi berbahaya, seperti
faktor manusia dan faktor kerja.
2.1.3. Usaha-usaha Pengendalian
Hierarki

pengendalian

yang

dianjurkan

dalam

perundangan

untuk

mengendalikan risiko yaitu melakukan :

Universitas Sumatera Utara


14

a) Eliminasi
Eliminasi yaitu suatu upaya atau usaha yang bertujuan untuk menghilangkan
bahaya secara keseluruhan.
b) Subtitusi
Substitusi yaitu mengganti bahan, material atau proses yang berisiko tinggi
terhadap bahan, material atau proses kerja yang berpotensi risiko rendah.
c) Pengendalian rekayasa
Pengendalian rekayasa yaitu mengubah struktural terhadap lingkungan kerja
atau proses kerja untuk menghambat atau menutup jalannya transmisi antara
pekerja dan bahaya
d) Pengendalian Administrasi
Pengendalian administrasi yaitu dengan mengurangi atau menghilangkan
kandungan bahaya dengan memenuhi prosedur atau instruksi. Pengendalian
tersebut tergantung pada perilaku manusia untuk mencapai keberhasilan.
e) Alat Pelindung Diri
Pemakaian alat pelindung diri adalah sebagai upaya pengendalian terakhir
yang berfungsi untuk mengurangi keparahan akibat dari bahaya yang

ditimbulkan
2.1.4. Usaha-usaha Pencegahan
Pencegahan kecelakaan kerja pada umumnya adalah upaya untuk mencari
penyebab dari suatu kecelakaan dan bukan mencari siapa yang salah. Di bawah ini
bermacam-macam usaha yang dilakukan untuk meningkatkan keselamatan kerja
di perusahaan atau tempat kerja yaitu dengan membuat dan mengadakan :

Universitas Sumatera Utara

15

1. Peraturan Perundangan
2. Standarisasi
3. Pengawasan
4. Penelitian bersifat teknik
5. Riset medis
6. Penelitian psikologis
7. Penelitian secara statistik
8. Pendidikan
9. Latihan-latihan
10. Penggairahan
11. Asuransi
12. Usaha keselamatan pada tingkat perusahaan (Suma’mur, 1981).
2.2 Teori Perilaku
Perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari
manusia yang mempunyai bentangan yang sangat luas yaitu berjalan, berbicara,
menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, dan membaca. Dari uraian tersebut
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku adalah semua kegiatan atau
aktivitas manusia, baik yang dapat diamati secara langsung, maupun yang tidak
dapat diamati oleh pihak luar (Notoadmodjo, 2010).
Seorang ahli psikologi Skiner (1983) merumuskan bahwa perilaku adalah
respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Skiner juga
mengungkapkan teori Stimulus-Organisme-Respon (SOR) dimana stimulus
terhadap organisme kemudian organisme merespon. Skiner membedakan dua

Universitas Sumatera Utara

16

respon, yaitu: (1) respondent respon atau reflexive, adalah respon yang
ditimbulkan oleh rangsangan tertentu atau eliciting stimulation atau stimulasi
yang menimbulkan respon tetap; (2) operant respons atau instrumental respon,
adalah respon yang timbul dan berkembang oleh stimulus tertentu. Perangsang ini
disebut dengan reinforcer artinya penguat, seperti karyawan yang telah bekerja
dengan baik diberikan penghargaan (reward) atau hadiah dengan harapan bisa
lebih meningkatkan kinerjanya lagi (Notoadmodjo, 2010).
Apabila kita melihat dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
perilaku dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) perilaku tertutup atau vovert behavior,
merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau
tertutup. Respon atau reaksi ini masih dalam batas perhatian, persepsi,
pengetahuan atau kesadaran atau sikap yang terjadi pada seseorang yang
mendapat rangsangan; (2) perilaku terbuka atau overt behavior, merupakan respon
yang terjadi pada seseorang terhadap stimulus dalam bentuk nyata atau terbuka.
Responnya dalam bentuk tindakan yang dapat diamati oleh orang lain.
Prosedur pembentukan perilaku dalam respon perilaku yang diciptakan
karena adanya kondisi tertentu (operant conditioning) menurut Skiner adalah: (1)
melakukan identifikasi tehadap hal yang merupakan penguat berupa reward atau
hadiah bagi perilaku yang akan dibentuk; (2) melakukan analisis untuk
mengidentifikasi komponen kecil membentuk perilaku yang dikehendaki; (3)
menggunakan secara urut komponen sebagai satu tujuan sementara; (4)
melakukan pembentukan perilaku dengan urutan komponen tersebut.

Universitas Sumatera Utara

17

2.2.1 Bentuk Operasional Perilaku
Bentuk operasional perilaku dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis,
yaitu:
2.2.1.1 Perilaku dalam Bentuk Pengetahuan
Pengetahuan merupakan penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, telinga, hidung, dan
sebagainya). Pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan
tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap obyek.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (Inna Nesyi, 2015).
Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses yang
berurutan, yaitu: (1) kesadaran (awareness), yakni orang tersebut menyadari
dalam arti mengetahui stimulus (obyek) terlebih dahulu; (2) interest, yakni orang
mulai tertarik kepada stimulus; (3) evaluation, menimbang baik tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi; (4)
trial, orang telah mencoba perilaku baru; (5) adoption, subyek telah berperilaku
baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus
(Notoadmodjo, 2010).
2.2.1.1.1 Tingkat Pengetahuan di dalam Domain Kognitif
Menurut Notoadmodjo (2010), pengetahuan yang tercakup dalam domain
kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

18

2.2.1.1.1.1 Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling
rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari
antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan
sebagainya.
2.2.1.1.1.2 Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus
dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan
sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.
2.2.1.1.1.3 Aplikasi atau Penerapan (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Misalnya dapat
menggunakan rumus statistik dalam perhitungan hasil penelitian, dapat
menggunkan prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) didalam
pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.
2.2.1.1.1.4 Analisis (Analysis)
Analisis yaitu kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen yang terdapat dalam

Universitas Sumatera Utara

19

suatu masalah atau obyek yang diketahui. Indikasi yang menandakan bahwa
seseorang sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah
dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram
(bagan) terhadap pengetahuan atas obyek tersebut.
2.2.1.1.1.5 Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau
meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen pengetahuan yang
dimiliki. Dengan kata lain, bahwa sintesis adalah suatu kemampuan untuk
menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah ada. Misalnya, dapat membuat
ringkasan dengan kalimat sendiri tentang hal yang telah dibaca atau didengar.
2.2.1.1.1.6 Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu obyek tertentu. Penilaian ini didasarkan
pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma yang berlaku di
masyarakat.
2.2.1.2 Perilaku dalam Bentuk Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi
adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Sikap belum merupakan
tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku
(Noviandry, 2013)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau obyek. Newcomb, salah seorang ahli psikologis

Universitas Sumatera Utara

20

sosial, menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk
bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan
kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap obyek (Inna Nesyi, 2015).
Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu
mempunyai tiga komponen pokok, yaitu: (1) kepercayaan, ide, dan konsep
terhadap suatu obyek; (2) kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu
obyek; (3) kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini bersama
membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh,
pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memiliki peranan penting.
2.2.1.2.1 Berbagai Tingkatan Sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai
tingkatan, yaitu:
2.2.1.2.1.1 Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang atau subyek mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan atau obyek (Soekidjo Notoadmodjo, 2010).
2.2.1.2.1.2 Menanggapi (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap karena dengan suatu usaha
untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Lepas
pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang itu menerima ide tersebut (Inna
Nesyi, 2015)

Universitas Sumatera Utara

21

2.2.1.2.1.3 Menghargai (Valuing)
Memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti
membahasnya dengan orang lain, bahkan mengajak atau mempengaruhi atau
menganjurkan orang lain merespons (Soekidjo Notoadmodjo, 2010:31).
2.2.1.2.1.4 Bertanggungjawab (Responsible)
Bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
2.2.1.3 Perilaku dalam Bentuk Praktik atau Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior) untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas.
Praktik mempunyai tingkatan, yaitu:
2.2.1.3.1 Respon Terpimpin (Guided Response)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tapi masih
tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan (Soekidjo Notoadmodjo,
2010).
2.2.1.3.2 Praktik Secara Mekanisme (Mecanism)
Apabila seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara
otomatis (Soekidjo Notoadmodjo, 2010).
2.2.1.3.3 Adopsi (Adoption)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang,
artinya apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi

Universitas Sumatera Utara

22

sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas
(Soekidjo Notoadmodjo, 2010).
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan
yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni
dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.
2.3 Behavior Based Safety
Behavior Based Safety (BBS) adalah perilaku keselamatan manusia di area
kerja dalam mengidentifikasi bahaya serta menilai potensi resiko yang timbul
hingga bisa diterima dalam melakukan pekerjaan yang berinteraksi dengan
aktivitas, produk dan jasa yang dilakukannya (Rahardjo, 2010).
2.3.1 Perilaku Keselamatan Kerja (Safety Behavior)
Borman dan Motowidlo (1993), membedakan perilaku keselamatan di
tingkat individu ke dalam dua kategori, yaitu kepatuhan keselamatan (safety
compliance) dan partisipasi keselamatan (safety participation). Kepatuhan
keselamatan didefinisikan sebagai aktivitas utama yang harus dilakukan individu
untuk mempertahankan keselamatan di tempat kerja, termasuk didalamnya
kepatuhan akan prosedur kerja dan menggunakan peralatan pelindung diri
(personal protective equipment). Di sisi lain partisipasi keselamatan didefinisikan
sebagai perilaku yang tidak secara langsung berkontribusi terhadap aktivitas
keselamatan, tetapi akan membantu lingkungan kerja untuk tetap selamat.
Beberapa

contoh

partisipasi

keselamatan

adalah

mengikuti

rapat-rapat

Universitas Sumatera Utara

23

keselamatan, dan membantu rekan kerja untuk mengatasi masalah yang
berhubungan dengan keselamatan kerja (Winarsunu, 2008).
Perilaku Keselamatan (safety behavior) adalah perilaku kerja yang relevan
dengan keselamatan dapat dikonseptualisasikan dengan cara yang sama dengan
perilaku-perilaku kerja lain yang membentuk perilaku kerja. Perilaku keselamatan
merupakan aplikasi dari perilaku tugas yang ada di tempat kerja (Griffin dan Neal,
2000). Perilaku keselamatan adalah perilaku tugas dan perilaku kontekstual,
Borman dan Motowidlo, (1993) dalam (Griffin dan Neal, (2000) yaitu pematuhan
dan partisipasi individu pada aktivitas-aktivitas pemeliharaan keselamataan di
tempat kerja. Sebagai umpan balik maka karyawan hendaknya menyadari arti
pentingnya keselamatan bagi dirinya maupun bagi perusahaan tempat bekerja.
Perilaku keselamatan dalam keselamatan kerja yang berhubungan
langsung dengan perilaku karyawan dalam bekerja demi keselamatan individu
sangat berhubungan erat dengan iklim keselamatan dan pengetahuan keselamatan,
karena dengan keadaan iklim keselamatan yang ada di dalam perusahaan dapat
mempengaruhi tingkat kesehatan karyawan dan dengan adanya pengetahuan
keselamatan kerja yang tinggi, maka karyawan mampu mengerti dan memahami
arti keselamatan kerja dengan baik. Dan komponen terpenting dalam menjaga
keselamatan jiwa dan keselamatan peralatan kerja adalah pengetahuan tentang
penggunaan perlengkapan keselamatan kerja bagi karyawan. Dimana dampak
yang dapat dirasakan dari perilaku keselamatan bagi perusahaan adalah
produktivitas kerja (Winarsunu, 2008).

Universitas Sumatera Utara

24

2.3.2 Perilaku Berbahaya (Unsafe Behavior)
Whitlock et al (1974) mendefinisikan unsafe behavior merupakan perilaku
yang dapat mengakibatkan cedera pada individu sendiri atau untuk orang lain
termasuk kerusakan fisik yang mungkin terjadi selain cedera pribadi. Menurut
Kavianian (1990), perilaku berbahaya adalah kegagalan (human failure) dalam
mengikuti persyaratan dan prosedur-prosedur kerja yang benar sehingga
menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Kemudian menurut Ramsey (1992)
unsafe behavior didefinisikan sebgai suatu kesalahan dalam tahap-tahap
mempersepsi, mengenali, memutuskan menghindari dan menghindari bahaya.
Lawton (1998) menyatakan bahwa perilaku berbahaya adalah kesalahankesalahan (error) dan pelanggaran-pelanggaran (violations) dalam bekerja yang
dapat menyebabkan kecelakaan kerja (Winarsunu, 2008:34).
Menurut Kavianian (1990) dalam Winarsunu (2008) penjabaran indikator
kesalahan akibat dari kegagalan manusia yang merupakan perilaku berbahaya
adalah sebagai berikut: (1) tindakan tanpa kualifikasi dan otoritas, semua
peralatan harus dioperasikan oleh seseorang yang mempunyai kewenangan dan
mengenal dengan baik bahaya dan prosedur pengoperasiannya; (2) kurang atau
tidak menggunakan perlengkapan pelindung diri; (3) kegagalan dalam
menyelamatkan peralatan; (4) bekerja dengan kecepatan berbahaya; (5) kegagalan
pada peringatan, jika peralatan memiliki otomatis untuk hidup dan mati, atau jika
bergerak, tanda peringatan yang akurat harus diberikan; (6) menghindari atau
memindahkan peralatan keselamatan kerja, banyak peralatan yang disertai
perlengkapan keselamatan seperti kunci, sekering dan sebagainya sesorang

Universitas Sumatera Utara

25

cenderung memindah atau menghindari perlengkapan seperti ini dengan alasan
kenyamanan; (7) menggunakan peralatan yang tidak layak; (8) menggunakan
peralatan tertentu untuk tujuan lain yang menyimpang; (9) bekerja di tempat
berbahaya tanpa perlindungan dan peringatan yang tepat; (10) memperbaiki
peralatan yang salah, misal pada peralatan listrik yang hidup atau mesin yang bisa
membahayakan keselamatan; (11) bekerja dengan kasar; (12) menggunakan
pakaian yang tidak aman ketika bekrja; (13) mengambil posisi bekrja yang tidak
selamat (winarsunu, 2008:39-41).
2.3.3 Terbentuknya Perilaku Berbahaya (Unsafe Behavior)
Menurut Sanders (1993) faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku
berbahaya sangat komplek, dimana di dalamnya melibatkan faktor yang sangat
luas yaitu manajemen, sosial, psikologis dan human-machine-environment system.
Pada dasarnya perilaku berbahaya tidak dapat dilepaskan dari faktor manusia
sendiri dan lingkungan organisasinya (Winarsunu, 2008:52).
Menurut Sanders (1993) perilaku berbahaya terjadi melalui tiga fase, yaitu
fase manajmen, fase lingkungan, serta fase individu..
2.3.3.1 Fase Manajemen
Fase pertama, adalah fase yang terjadi pada tingkat manajemen yang
dianggap sebagai awal terbentuknya perilaku berbahaya penyebab terjadinya
kecelakaan kerja. Seperti perusahaan tidak mempunyai departemen atau tim
keselamatan dan kesehatan kerja, tidak mempunyai safety manual. Disamping itu
semua kebijakan perusahaan seperti program keselamatan kerja, pelatihan, dan

Universitas Sumatera Utara

26

ketersediaan fasilitas harus diarahkan untuk upaya-upaya pencegahan dan promosi
K3 di perusahaan.
2.3.3.1.1 Kondisi APD
Dalam

suasana

kerja,

kenyamanan

tempat

kerja

dan

juga

fasilitas/ketersediaan alat pelindung diri (APD) akan meningkatkan prestasi kerja
dari setiap tenaga kerja. Sehingga dengan demikian, diharapkan setiap fasilitas
atau perlengkapan kerja yang di pakai dapat menimbulkan kenyamanan dalam
pemakaiannya sehingga pekerja bekerja secara optimal.
2.3.3.2 Fase Lingkungan
Fase kedua terjadi sebagai implikasi dari kegagalan fase pertama, fase ini
meliputi aspek lingkungan fisik, lingkungan psikologis dan sosiologis dari
pekerjaan seperti Komunikasi dan hubungan pekerja.
2.3.3.2.1 Lingkungan Fisik
Teknologi modern telah menghasilkan lingkungan kerja dan mesin-mesin
yang membawa bahaya bagi para pekerja. Contohnya penggunaan sumber-sumber
energy tingkat tinggi semacam laser yang biasanya dipergunakan dalam penelitian
di laboratorium, tetapi sekarang digunakan juga dalam industri-industri garmen
untuk keperluan memotong kain. Proses produksi yang semakin maju, permesinan
canggih dengan alur produksi yang sangat cepat, penggunaan robot dan mesinmesin otomatis, menambah kompleksitas dan bahaya kerja. Industry membuat
lingkungan kerja yang membutuhkan tanggung jawab yang tinggi dari pekerja,
namun tanpa merubah kemampuan pekerjanya. Sehingga yang terjadi adalah
evolusi teknologi berjalan lebih cepat dibanding evolusi sumber daya manusianya.

Universitas Sumatera Utara

27

Padahal sumber daya manusia itulah yang diharapkan mengerti mengoperasikan,
mengontrol mesin yang canggih tersebut.
2.3.3.2.2 Lingkungan Psikologis dan Sosiologis
2.3.3.2.2.1 Komunikasi
Menurut Notoadmodjo (2010), komunikasi adalah proses pengoperasian
rangsangan (stimulus) dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak (nonverbal), untuk mempengaruhi orang lain. Agar terjadi komunikasi yang efektif
perlu keterlibatan beberapa unsure komunikasi, yaitu komunikator, komunikasi
pesan, saluran, atau media.
Komunikasi keselamatan dan kesehatan kerja dapat menggunakan
berbagai media baik lisan maupun tertulis. Pesan harus mudah diingat oleh
penerima.
Disamping untuk menyampaikan perintah dan pengarahan dalam
pelaksanaan pekerjaan, komunikasi keselamatan dan kesehatan kerja digunakan
untuk mendorong perilaku, sehingga pekerja termotivasi untuk bekerja dengan
selamat.
2.3.3.2.2.2 Lingkungan Sosial (Hubungan Pekerja)
Hubungan pekerja dapat diartikan juga sebagai interaksi sosial. Hubungan
pekerja yang dimaksud dapat berupa hubungan antara pekerja dengan pekerja
maupun hubungan antara pekerja dengan perusahaan. Proses interaksi sosial
menurut Herbert Blumer adalah pada saat manusia atau pekerja bertindak
terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia.

Universitas Sumatera Utara

28

Hubungan Pekerja dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat
kontak sosial dan komunikasi
2.3.3.3 Fase Individu
Fase ketiga lebih berkenaan dengan individu pada pekerja dengan
karakteristik tertentu seorang pekerja dapat mengerjakan tugasnya dengan aman
ataukah sebaliknya tidak aman. Unsur-unsur yang terdapat pada pekerja tersebut
antara lain taraf kemampuan, kesadaran, pengalaman, kepribadian, kemampuan
fisik, usia, motivasi, dan sebagainya (Winarsunu, 2008).
2.3.3.3.1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek yang dimilikinya. Pada waktu penginderaan sampai menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap proyek (Notoadmodjo, 2010)
2.3.3.3.2. Sikap
Menurut Mucchielli, sikap adalah suatu kecenderungan pikiran atau
perasaan yang terdapat aspek evaluatif. Sikap dapat dinilai dari segi baik dan
buruk maupun positif dan negatif. Sikap merupakan suatu perasaan yang konstan
dan ditujukan kepada suatu objek, baik orang, tindakan, atau. Sikap adalah reaksi
atau respon yang masih tertutup suatu stimulus atau objek. Menurut Allpart
(1954) dalam Notoadmodjo (2010) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3
komponen pokok, yakni:
1) Kepercayaan (keyakinan), yaitu ide dan konsep terhadap suatu obyek.
2) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek.

Universitas Sumatera Utara

29

3) Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave)
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total atitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir,
keyakinan dan emosi memegang peranan penting.
2.3.3.3.3 Kenyamanan
Alat pelindung diri adalah alat yang mempunyai kemampuan untuk
melindungi seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi pekerja dari
bahaya tempat kerja. Karena itu pentingnya alat pelindung diri bisa digunakan
oleh pekerja secara nyaman dan tidak menimbulkan bahaya baru. Banyak alasan
pekerja enggan menggunakan alat pelindung diri salah satunya adalah karena
faktor kenyamanan (Kusuma, 2013)
Menurut budiono (2003) dalam Kusuma (2013) Perasaan tidak nyaman
yang timbul pada saat menggunakan alat pelindung diri akan mengakibatkan
keengganan tenaga kerja menggunakannya dan mereka memberi respon yang
berbeda-beda. Respon tersebut yaitu menahan rasa tidak nyaman dan tetap
memakai, sesekali melepas, hanya digunakan pada saat tertentu, tidak digunakan
sama sekali, merasa nyaman tetap menggunakan alat pelindung diri. Alasan
pekerja tidak mau memakai alat pelindung diri adalah tidak sadar atau tidak
mengerti, panas, sesak, tidak enak dipakai, tidak enak dipandang, berat,
mengganggu pekerjaan, tidak sesuai dengan bahaya yang ada, tidak ada sangsi,
dan atasan juga tidak memakai.
Jika pekerja merasa tidak nyaman menggunakan alat pelindung diri maka
akan mempengaruhi tingkat konsentrasi dan produktivitas kerja. Semua alat

Universitas Sumatera Utara

30

pelindung diri baik pakaian maupun peralatan harus mempunyai struktur desain
yang aman dan nyaman. Pemilihan alat pelindung diri yang tepat akan
menimbulkan rasa nyaman dan aman bagi pemakainya. Kenyamanan alat
pelindung diri harus selalu ditingkatkan agar pekerja mempunyai sikap yang baik
dalam penggunaan alat pelindung diri saat bekerja.
Kenyamanan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kenyamanan
penggunaan alat pelindung diri yang digunakan oleh pekerja di bagian pengolahan
dengan indikator rasa betah dalam menggunakan alat pelindung diri.
2.4 Alat Pelindung Diri (APD)
2.4.1 Definisi
Alat Pelindung Diri (APD) adalah seperangkat alat keselamatan yang
digunakan oleh pekerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya dari
kemungkinan adanya pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap
kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Tarwaka, 2008).
Berdasarkan UU No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja
menyebutkan bahwa ditetapkan syarat keselamatan kerja adalah memberikan
perlindungan para pekerja. Pengusaha wajib menyediakan APD bagi pekerja atau
buruh ditempat kerja yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) atau
standar yang berlaku (Permenakertrans RI No. 8 tahun 2010).
2.4.2 Peraturan Perundangan
Kewajiban dalam pengunaan APD di tempat kerja yang mempunyai risiko
terhadap timbulnya kecelakaan dan penyakit akibat kerja telah diatur dalam

Universitas Sumatera Utara

31

Undang-Undang No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Pasal yang
mengatur tentang penggunaan alat pelindung diri antara lain:
1. Pasal 3 (1:f) : Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat keselamatan
kerja untuk memberikan alat pelindung diri pada pekerja.
2. Pasal 9 (1:c) : Pengurus diwajibkan menunjukan dan menjelaskan pada tiap
tenaga kerja baru tentang; alat pelindug diri bagi tenaga kerja yang
bersangkutan.
3. Pasal 12 (b) : Dengan peraturan perundngan diatur kewajiban dan atau hak
tenaga kerja untuk memakai alat pelindung diri yang diwajibkan.
4. Pasal 14 (c) : Pengurus diwajibkan menyediakan semua alat pelindung diri
yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya dan
menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut,
disertai dengan petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pegawas
atau ahli keselamatan kerja.
2.4.3 syarat-syarat APD
Adapun syarat-syarat

APD

agar dapat dipakai dan efektif dalam

penggunaan dan pemiliharaan APD sebagai berikut :
1. Alat pelindung diri harus mampu memberikan perlindungan efektif pada
pekerja atas potensi bahaya yang dihadapi di tempat kerja.
2. Alat pelindung diri mempunyai berat yang seringan mungkin, nyaman dipakai
dan tidak merupakan beban tambahan bagi pemakainya.
3. Bentuk cukup menarik, sehingga pekerja tidak malu memakainya.

Universitas Sumatera Utara

32

4. Tidak menimbulkan gangguan kepada pemakainya, baik karena jenis
bahayanya maupun kenyamanan dalam pemakaian.
5. Mudah untuk dipakai dan dilepas kembali.
6. Tidak mengganggu penglihatan, pendengaran dan pernapasan serta gangguan
kesehatan lainnya pada waktu dipakai dalam waktu yang cukup lama.
7. Tidak mengurangi persepsi sensori dalam menerima tanda-tanda peringatan.
8. Suku cadang alat pelindung diri yang bersangkutan cukup tersedia di pasaran.
9. Mudah disimpan dan dipelihara pada saat tidak digunakan
10. Alat pelindung diri yang dipilih harus sesuai standar yang ditetapkan.
2.4.4 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemakaian APD
2.4.4.1 Pengujian mutu
Alat pelindung diri harus memenuhi standar yang telah ditentukan untuk
menjamin bahwa alat pelindung diri akan memberikan perlindungan sesuai yang
diharapkan. Semua alat pelindung diri sebelum dipasarkan harus diuji lebih
dahulu mutunya.
2.4.4.2 Pemeliharaan APD
Alat pelindung diri yang akan digunakan harus benar-benar sesuai dengan
kondisi tempat kerja, bahaya kerja dan pekerja sendiri agar benar-benar dapat
memberikan perlindungan semaksimal mungkin pada tenaga kerja.
2.4.4.3 Ukuran harus tepat
Untuk dapat memberikan perlindungan yang maksimum pada tenaga kerja
serta ukuran APD harus tepat. Ukuran yang tidak tepat akan menimbulkan
gangguan pada pemakainya.

Universitas Sumatera Utara

33

2.4.4.4 Cara pemakaian yang benar
Sekalipun

APD disediakan oleh perusahaan, alat-alat ini tidak akan

memberikan manfaat yang maksimal bila cara memakainya tidak benar.
2.4.5 Aspek keamanan dan Aspek Ergonomi dari penggunaan APD
1) Aspek keamanan
Alat pelindung diri harus memberikan perlindungan yang adekuat terhadap
bahaya yang spesifik atau bahaya-bahaya yang dihadapi oleh tenaga kerja.
2) Aspek ergonomi
Hendaknya

APD beratnya seringan mungkin dan alat tersebut tidak

menyebabkan rasa ketidaknyamanan bagi tenaga kerja yang berlebihan dan
bentuknya harus cukup menarik.
2.4.6 Macam APD
2.4.6.1 Alat Pelindung Kepala
Tujuan penggunaan alat pelindung kepala adalah untuk pencegahan :
a. Rambut pekerja terjerat oleh mesin.
b. Bahaya terbentur benda tajam atau keras yang dapat menyebabkan luka gores,
terpotong, tertusuk.
c. Bahaya kejatuhan benda atau terpukul benda-benda yang melayang dan
meluncur di udara.
d. Bahaya percikan bahan kimia korosif, dan panas sinar matahari.(Tarwaka,
2008).

Universitas Sumatera Utara

34

Pelindung kepala juga dapat melindungi kepala dan rambut terjerat pada
mesin atau tempat-tempat yang tidak terlindungi. Berdasarkan fungsinya alat
pelindung kepala dapat dibagi menjadi tiga jenis :
2.4.6.1.1 Safety Helmets
Untuk melindungi kepala dari benda-benda keras yang terjatuh, benturan
kepala, terjatuh dan terkena arus listrik. Warna Topi Pelindung (Safety Helmets) :
Warna topi pelindung (safety helmet) dibagi menjadi beberapa warna, yang
mencerminkan posisi atau jabatan seseorang di tempat kerja, antara lain:
1. Helm safety warna putih biasa dipakai oleh manajer, pengawas, insinyur,
mandor.
2. Helm safety warna biru biasa dipakai oleh supervisor, electrical kontraktor atau
pengawas sementara.
3. Helm safety warna kuning biasa dipakai oleh sub kontraktor atau pekerja
umum.
4. Helm safety warna hijau biasa dipakai oleh pengawas lingkungan.
5. Helm safety warna pink biasa dipakai oleh pekerja baru atau magang.
6. Helm safety warna orange biasa dipakai oleh tamu perusahaan.
7. Helm safety warna merah biasa dipakai oleh safety officer yang bertanggung
jawab untuk memeriksa sistem keselamatan sudah terpasang dan berfungsi sesuai
dengan standar yang ditetapkan.
2.4.6.1.2 Tutup Kepala

Universitas Sumatera Utara

35

Untuk melindungi kepala dari kebakaran, korosi, suhu panas atau dingin.
Tutup kepala ini biasanya terbuat dari asbestos, kain tahan api/korosi, kulit dan
kain tahan air.
2.4.6.1.3 Topi
Untuk melindungi kepala atau rambut dari kotoran/debu atau mesin yang
berputar. Topi ini biasanya terbuat dari kain katun (Tarwaka, 2008).
2.4.6.2 Alat pelindung mata
Masalah pencegahan kecelakaan yang paling sulit adalah kecelakaan pada
mata. Oleh karena biasanya tenaga kerja menolak untuk memakai kacamata
pengaman yang dianggapnya mengganggu dan tidak enak untuk dipakai (Tim
Penyusun, 2008). Kacamata ini memberikn perlindungan diri dari bahaya-bahaya
seperti:
a) Percikan bahan kimia korosif
b) Debu dan partikel-partikel kecil yang melayang di udara
c) Gas/uap yang dapat menyebabkan iritasi mata.
d) Radiasi gelombang elektromagnetik, panas radiasi sina matahari.
e) Pukulan/benturan benda keras.
Terdapat 3 bentuk alat pelindung mata yaitu (Tim Penyusun, 2008).
1) Kacamata
Kacamata keselamatan untuk melindungi mata dari partikel kecil yang
melayang di udara serta radiasi gelombang elektrobagnetis.
2) Goggles

Universitas Sumatera Utara

36

Kacamata bentuk framennya dalam, yang digunakan untuk melindungi
mata dari bahaya gas-gas, uap-uap, larutan bahan kimia korosif dan debu-debu.
Googles pada umumnya kurang diminati oleh pemakainya, oleh karena selain
tidak nyaman juga alat ini menutup mata terlalu rapat sehingga tidak terjadi
ventilasi di dalamnya dengan akibat lensa mata sudah mengembun. Untuk
mengatasi hal ini, lensa dilapisi dengan bagan hidrofil/googles dilengkapi dengan
lubang-lubang ventilasi.
3) Tameng muka
Tameng muka ini melindungi muka secara keseluruhan dari bahaya.
Bahaya percikan logam dan radiasi. Dilihat dari segi keselamatannya, penggunaan
tameng muka ini lebih dari menjamin keselamatan tenaga kerja dari pada dengan
spectacles maupun googles. Dari ketiga alat pelindung mata tersebut, kacamata
adalah yang paling nyaman untuk dipakai dan digunakan untuk dipakai dan
digunakan untuk melindungi mata dari partikel kecil yang melayang di udara serta
radiasi gelombang ultramagnetik.
2.4.6.3 Alat Pelindung Telinga
Alat ini bekerja sebagai penghalang antara bising dan telinga dalam selain
itu, alat ini melindungi pemakaiannya dari bahaya percikan api atau logam-logam
panas misalnya pada pengelasan. Pada umumnya alat pelindung telinga dibedakan
menjadi 2 jenis yaitu :
a. Sumbat telinga (earplug)
Digunakan di tempat kerja yang mempunyai intensitas kebisingan antara
85 dB A sampai 95 dB A. Ukuran bentuk dan posisi saluran telinga untuk tiap-

Universitas Sumatera Utara

37

tiap individu berbeda-beda dan bahkan antara kedua telinga dari individu yang
sama berlainan pula. Oleh karena itu sumbat telinga harus dipilih sesuai dengan
ukuran, bentuk dan posisi saluran telinga pemakaiannya. Diameter saluran antara
5 –11 mm. Umumnya bentuk saluran telinga adalah lonjong, tetapi beberapa
diantaranya berbentuk bulat. Saluran telinga manusia umumnya tidak lurus.
Penyebaran saluran telinga laki-laki dalam hubungannya dengan ukuran alat
sumbat telinga (ealpling) kurang lebih adalah sebagai berikut : 5% sangat kecil,
15% kecil, 30% sedang 30% besar, 15% sangat besar dan sumbat telinga yang
disuplai oleh pabrik-pabrik pembuatnya. Sumbat telinga dapat terbuat dari kapas,
malam (wax), plastik karet alami dan sintetik. Menurut cara pemakaiannya
dibedakan dalam ;
1) Semi insert type
Sumbat telinga yang hanya menyumbat lubang masuk telinga luar.
2) Insert type
Sumbat telinga yang menutupi seluruh saluran telinga luar. Menurut cara
penggunaanya dibedakan dalam :
1) Disposible earplug
Sumbat telinga yang digunakan untuk sekali pakai saja kemudian dibuang, bahan
yang digunakan dapat dari kapas dan malam (wax)
2) Non Disposible
Sumbat telinga yang digunakan untuk waktu yang lama, bahan yang digunakan
dari karet atau plastic yang dicetak.

Universitas Sumatera Utara

38

Keuntungan dan kerugian sumbat telinga yaitu :
1) Keuntungan
a) Mudah dibawa karena ukurannya kecil
b) Relatif lebih nyaman dipakai di tempat kerja panas.
c) Tidak membatasi gerakan kepala
d) Harga relatif murah daripada tutup telinga
e) Dapat dipakai dengan efektif tanpa dipengaruhi oleh pemakaian kacamata,
tutup kepala, anting-anting, dan rambut.
2) Kerugian
a) Memerlukan waktu yang lebih lama dari tutup telinga untuk pemasangan yang
tepat.
b) Tingkat proteksinya lebih kecil dari tutup telinga
c) Sulit untuk memonitor tenaga kerja apakah ia memakai atau tidak, oleh karena
pemakaiannya sukar dilihat oleh pengawas.
d) Hanya dapat dipakai oleh saluran telinga sehat.
e) Bila mata yang digunakan untuk memasang sumbat telinga kotor maka saluran
telinga akan mudah terkena iritasi (Tim Penyusun, 2008).
b. Tutup Telinga (Ear muff)
Tutup telinga (ear muff) terdiri dari dua buah tudung untuk tutup telinga dapat
berupa cairan atau bisa yang berfungsi untuk menyerap suara frekuensi tinggi.
Pada pemakaian yang lama sering ditemukan efektifitas telinga menurun yang
disebabkan karena bantalan dengan minyak kulit dan keringat. Reaksi ini juga
dapat terjadi pada sumbat telinga, sehingga pada pemilihan tutup telinga

Universitas Sumatera Utara

39

disarankan agar memilih jenis yang berukuran agak besar. Tutup telinga dapat
mengurangi intensitas suara sampai 30 dB (A) dan juga dapat melindungi bagian
luar telinga dari benturan benda keras atau percikan bahan kimia. (Tarwaka, 2008)
Keuntungan dan kerugian tutup telinga yaitu :
1) Keuntungan
a) Atenuasi suara oleh tutup telinga uumnya lebih besar dari sumbat telinga.
b) Satu ukuran tutup telinga dapat digunakan oleh beberapa orang dengan ukuran
telinga yang berbeda.
c) Mudah dimonitor pemakaiannya oleh pengawas
d) Dapat dipakai pada telinga yang terkena infeksi (ringan).
e) Tidak mudah hilang/terselip
2) Kerugian
a) Tidak nyaman dipakai di tempat kerja yang panas.
b) Efektifitas dan kenyamanan pemakaiannya dipengaruhi oleh pemakaian
kacamata, tutup kepala, anting-anting dan rambut yang menutupi telinga.
c) Relatif tidak mudah dibawa/disisipkan
d) Dapat membatasi gerakan kepala pada ruang kerja yang agak sempit.
e) Harganya relatif lebih mahal dari sumbat telinga.
f) Pada penggunaannya yang terlalu sering atau bilamana pita perhitungan yang
berpegas sering ditekuk oleh pemakaiannya daya atenuasinya akan berkuran
Faktor-faktor yang mepengaruhi efektifitas alat pelindung telinga adalah :
1) Kebocoran udara
2) Penambatan gelombang suara melalui bahan alat pelindung

Universitas Sumatera Utara

40

3) Vibrasi alat itu sendiri
4) Konduksi suara melalui tulang dan jaringan (Tim Penyusun, 2008).
2.4.6.4 Alat Pelindung Pernafasan
Alat pelindung jenis ini digunakan untuk melindungi pernafasan dari
resiko paparan gas, uap, debu, atau udara terkontaminasi atau beracun, korosi atau
yang bersifat rangsangan. (Tarwaka, 2008). Selain penggunaannya pada keadaan
darurat, alat pelindung ini juga dipakai secara rutin atau berkala dengan tujuan
inspeksi, oemeliharaan atau perbaikan alat-alat dan mesin yang terdapat ditempattempat kerja yang udaranya telah terkontaminasi oleh bahan-bahan kimia
berbahaya (Tim Penyusun, 2008).
Alat pelindung pernafasan dibedakan menjadi :
a. Masker
Masker umumnya terbuat dari kain kasa atau busa yang didesinfektan
terlebih dahulu. Penggunaan masker umumnya digunakan untuk mengurangi
paparan debu atau partikel-partikel yang lebih besar masuk ke dalam saluran
pernapasan.
b. Respirator
Respirator digunakan untuk melindungi pernafasan dari paparan debu,
kabut, uap logam, asap dan gas-gas berbahaya (Tarwaka, 2008).
Secara umum respirator dibedakan menjadi:
1) Air Purifing Respirator
Alat pelindung ini digunakan untuk melindungi seseorang tenaga kerja
dari bahaya pernafasan oleh debu, kabut uap logam, asap dan gas.

Universitas Sumatera Utara

41

Menurut cara kerjanya dan bentuk kontaminan, air purifying respirator dapat
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu:
a) Chemical Respirator yaitu cartidge respirator dan canister respirator yang
digunakan untuk kontaminan bentuk gas dan uap dengan tiksisitas rendah.
Cartridge ini berisi adsorban dan karbon aktif, arang dan silicagel. Sedang
canister digunakan nuntuk mengadsorbsi khlor dan gas atau uap zat organic.
b) Mechanical filter Respirator yaitu digunakan

untuk menangkap partikel-

partikel zat padat, debu, kabut, uap logam dan asap. Respirator ini biasanya
dilengkapi dengan filter yang berfungsi untuk menangkap debu dank abut dengan
kadar kontaminasi udara tidak terlalu tinggi atau partikel tidak terlalu kecil. Filter
pada respirator ini terbuat dari fiberglas atau wol dan serat sintetis yang dilapisi
dengan resin untuk memberi muatan pada partikel (Tarwaka, 2008).
c) Untuk campuran gas atau uap dengan partikel-partikel zat padat, digunakan
cartridge atau canister respirator yang dilengkapi filter.
2) Breathing Apparatus / Air Supply Respirator
Respirator ini tidak dilengkapi dengan filter maupun adsorbent. Cara air
supply respirator atau breathing apparatus melindungi pemakainya dari
pemaparan zat-zat kimia yang sangat toksik atau dari bahaya kekurangan oksigen
adalah dengan mensuplay udara (compressed air) atau oksigen kepada
pemakainya. Macam-macamnya adalah :
a) Air Line Respirator
Mensuplay udara dari silinder atau kompresor udara yang bertekanan pada
pemakaiannya setelah tekanannya terlebih dahulu diatur oleh suatu alat pengatur

Universitas Sumatera Utara

42

tekanan yang dipakai oleh pemakainya dan pada respirator ini oksigen tidak boleh
digunakan.
b) Hose Mask Respirator
Mensuplay udara kepada pemakainya melalui saluran udara penghubung (hose)
yang berdiameter lebih besar dari air line, alat ini dapat dilengkapi “blower”
dengan tujuan menambah kecepatan aliran udara dalam “hose” kecepatan
maksimum alirnya dapat mencapai 150 l/menit. (Tim Penyusun, 2008).
c) Self Contained Breathing Apparatus
Supplied air respirator ini adalah sangat efisien bila digunakan di tempat-tempat
kerja dimana zat-zat kimia yang sangat toksik/defisiensi oksigen (dr. A. Siswanto,
1991).
2.4.6.5 Alat Pelindung Tangan
Alat pelindung tangan mungkin yang paling banyak digunakan. Hal ini
tidak mengherankan karena jumlah kecelakaan pada tangan adalah yang banyak
dari seluruh kecelakaan yang terjadi di tempat kerja (Tim Penyusun, 2008).
Adapun faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan sarung tangan
yang tepat antara lain adalah :
a. Bahaya yang terpapar, berbentuk bahan-bahan kimia, korosif, benda-benda
panas, dingin, tajam atau kasar.
b. Daya tahannya terhadap bahan-bahan kimia misalnya sarung tangan dari karet
alami adalah tidak tepat bila digunakan pada pemaparan pelarutpelarut organic
(solvents) karena karet alami larut dalam solvents.

Universitas Sumatera Utara

43

c. Kepekaan yang diperlukan dalam melakukan suatu pekerjaan untuk pekerjaan
harus dimana pemakainya harus membedakan benda-benda yang halus,
pemakaian sarung tangan yang tipis akan memperikan kepekaan yang lebih besar
dari sarung tangan yang berukuran tebal.Bagian tangan yang harus dilindungi,
bagian tangan saja atau tangan dan lengan bawah. Menurut bentuknya sarung
tangan dapat dibedakan menjadi:
a. Sarung tangan bisasa (Gloves)
b. Gaunlets atau sarung tangan dimana keempat dari pemakainya dibungkus
menjadi satu kecuali ibu jari yang mempunyai pembungkus sendiri (bentuknya
seperti sarung tangan petinju).
Macam-macam sarung tangan menurut bahaya yang harus dicegah :
a. Bahaya listrik : sarung tangan karet
b. Bahaya radiasi yang mengion : sarung tangan karet atau kulit yang dilapisi Pb.
c. Benda-benda tajam atau kasar : sarung tangan kulit atau PVC atau sarung
tangan kulit yang dilapisi dengan logam krom.
d. Asam dan Alkali yang korosif : sarung tangan karet (Natural Rubber)
e. Pelarut Organik (Solvents) : sarung tangan dari karet sintetik (Synthetic rubber)
f. Benda-benda panas : Sarung tangan kulit, Asbestos, atau Gaunets (Siswanto,
1991)
2.4.6.6 Alat Pelindung Kaki
Sepatu keselamatan kerja dipakai untuk melindungi kaki dari bahaya
kejatuhan benda-benda berat, kepercikan larutan asam dan basa yang korosit atau

Universitas Sumatera Utara

44

cairan yang panas, menginjak benda-benda tajam. Menurut jenis pekerjaan yang
dilakukan suatu pengaman dapat dibedakan menjadi empat yaitu :
a. Sepatu yang digunakan pada pekerjaan pengecoran baja (Foundry Leggings)
dibuat dari bahan kulit dilapisi krom atau asbes dan tinggi sepatu kurang lebih
lebih 35 cm pada sepatu ini, tetapi sampingnya terbuka untuk memudahkan pipa
celana dimasukkan ke dalam sepatu kemudian ditutup dengan gasper/tali
pengikat.
b. Sepatu khusus keselamatan kerja di tempat-tempat yang mengandung bahaya
peledakan. Sepatu ini tidak boleh memakai paku-paku yang dapat menimbulkan
percikan bunga api.
c. Sepatu karet anti elektrostatik digunakan untuk melindungi pekerjapekerja dari
bahaya listrik hubungan pendek sepatu ini harus tahan terhadap arus listrik 10.000
volt selama 3 menit.
d. Sepatu bagi pekerja bangunan dengan resiko terinjak benda-benda tajam,
kejatuhan benda-benda berat atau terbentur benda-benda keras, dibuat dari kulit
yang dilengkapi dengan baja pada ujungnya untuk melindungi jarijari kaki (Tim
Penyusun, 2008).
2.4.6.7 Pakaian Pelindung
Pakaian pelindung dapat berbentuk Appron yang menutupi sebagian dari
tubuh yaitu dari dada sampai lutut dan “overall” yang menutupi seluruh badan.
Pakaian pelindung digunakan untuk melindungi pemakainya dari percikan api,
cairan, larutan bahan-bahan kimia korosif dan di cuaca kerja (panas, dingin, dan
kelembaban). Appron dapat dibuat dari kain (drill), kulit, plastic (PVC, polietilen)

Universitas Sumatera Utara

45

karet, asbes atau yang dilapisi alumunium. Perlu diingat bahwa apron tidak

Dokumen yang terkait

Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri dengan Gejala Keracunan Pada Penyemprot Pestisida di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2015

7 108 119

Gambaran Faktor-Faktor Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Pekerja di Departemen Metalforming PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2014

1 12 100

Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pekerja dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada industri pengelasan informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013

2 29 157

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Karyawan Di Bagian Pengolahan PTPN 2 Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2017

0 0 18

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Karyawan Di Bagian Pengolahan PTPN 2 Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2017

0 0 2

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Karyawan Di Bagian Pengolahan PTPN 2 Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2017

0 0 7

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Karyawan Di Bagian Pengolahan PTPN 2 Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2017 Chapter III VI

0 0 57

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Karyawan Di Bagian Pengolahan PTPN 2 Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2017

1 6 4

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Karyawan Di Bagian Pengolahan PTPN 2 Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2017

0 0 40

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA KARYAWAN BAGIAN PACKER PT SEMEN BOSOWA MAROS TAHUN 2014

0 0 133