Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pekerja dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada industri pengelasan informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013

(1)

PEKERJA DALAM PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD)

PADA INDUSTRI PENGELASAN INFORMAL DI KELURAHAN

GONDRONG, KECAMATAN CIPONDOH, KOTA TANGERANG

TAHUN 2013

Skripsi

Disusun untuk Memenuhi Syarat Sarjana Strata 1 Kesehatan Masyarakat

Oleh : Ilham Noviandry NIM : 108101000034

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1434 H.

2013 M.


(2)

Skripsi, November 2013

ILHAM NOVIANDRY, NIM : 108101000034

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Pekerja dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013 xix + 113 halaman, 21 tabel, 5 gambar, 3 lampiran

ABSTRAK

Penggunaan APD merupakan tahap akhir dari pengendalian bahaya, walaupun pengunaan APD akan semakin maksimal apabila dilakukan dengan pengendalian lain seperti eliminasi, subsitusi, engineering dan administratif. Manfaat dari penggunaan APD saat bekerja sangat besar dalam pencegahan kecelakaan kerja, namun dalam kenyataannya masih banyak pekerja yang tidak menggunakan APD saat bekerja.

Disain penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif menggunakan metode cross sectional study yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pekerja dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada industri pengelasan informal. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 46 orang dari 12 bengkel las yang ada di Kelurahan Gondrong dengan menggunakan teknik Accidental Sampling. Data dianalisis menggunakan Chi Square (X2).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan antara pengetahuan dengan penggunaan APD, ada hubungan antara pelatihan dengan penggunaan APD, ada hubungan antara sikap penggunaan APD, ada hubungan antara pengawasan dengan penggunaan APD, ada hubungan antara hukuman dengan penggunaan APD, dan ada hubungan antara penghargaan penggunaan APD. Sedangkan tidak ada hubungan antara motivasi dengan penggunaan APD, tidak ada hubungan antara komunikasi dengan penggunaan APD, tidak ada hubungan ketersediaan APD dengan penggunaan APD.

Saran dari penelitian ini adalah dengan meningkatkan pengetahuan pekerja mengenai bahaya dan risiko pengelasan, perlunya peningkatan pengawasan terhadap pekerja dengan memberikan penghargaan sehingga meningkatkan sikap, motivasi dan komunikasi mengenai penggunaan APD. Serta melakukan pengadaaan APD yang standar baik oleh pemilik usaha dan pemerintah setempat sehingga meningkatkan kesadaran Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) khususnya mengenai pengelasan.

Daftar Bacaan : 44 (2001-2012)

Kata Kunci : Perilaku Pekerja, Alat Pelindung Diri (APD), Predisposing, Enabling, Reinforcing, Industri Pengelasan Informal


(3)

Undergraduated Thesis, November 2013 ILHAM NOVIANDRY, NIM : 108101000034

Factors Associated With Workers Behavior in the Use of Personal Protective Equipment (PPE) In Informal Welding Industry in Gondrong, Cipondoh Subdistrict, Tangerang in year 2013

xix + 113 Pages, 21 Tables, 5 Pictures, 3 Attachment ABSTRACT

Used of PPE is final stage of hazard control , although used of PPE will be maximal if it is done with other controls such as elimination , substitution , engineering and administrative . Benefits used of PPE when working heavily in prevention of occupational accidents , but in the reality there are many workers who do not use PPE when working .

Design study was a descriptive study with a quantitative approach using a cross -sectional study aimed to determine factors associated with behavior of workers in used of Personal Protective Equipment ( PPE ) to informal welding industry . Number of samples taken 46 people from 12 existing welding shop in Village Gondrong using accidental sampling technique . Data were analyzed using Chi Square ( X2 ) .

Results showed that relationship between knowledge of use of PPE , there is a relationship between training with use of PPE , there is a relationship between attitude with use of PPE, there is a relationship between supervision with use of PPE , there is a relationship between punishment with use of PPE , and there is a relationship between use of PPE with award . While there is no relationship between motivation with use of PPE , there is no relationship between communication with use of PPE , there was no association between PPE availability with use of PPE .

Suggestion of this research is to improve knowledge workers of dangers and risks of welding , need for increased surveillance of workers by giving awards to improve attitude , motivation and communication regarding use of PPE . As well as doing well in providing PPE standards by business owners and local governments to raise awareness of Health and Safety ( K3 ), particularly regarding welding .

Reading List: 44 (2001-2012)

Keywords: Behavior Workers, Personal Protective Equipment (PPE), Predisposing, Enabling, Reinforcing, Welding Industry Informal


(4)

(5)

(6)

(7)

Data Diri

Nama : Ilham Noviandry

TTL : Jakarta, 15 November 1990

Alamat : Jalan KH Dewantoro no. 34 RT 001/01, Gondrong, Cipondoh, Tangerang, Banten 15140

Telp : 0857189513689

E-mail : ilham_noviandry696969@yahoo.co.id

Pendidikan Formal

2008-2013 : Perminatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2005-2008 : SMA Negeri 94 Jakarta

2002-2005 : SMP Negeri 187 Jakarta 1997-2002 : SD Negeri 2 Gondrong

Pendidikan Non-Formal

2011 : Training Penerapan E-KTP Massal

Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia

2009 : Pelatihan Manajemen Organisasi

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Ciputat 2008 : Training ESQ tingkat SMA se – Jakarta Barat


(8)

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Ciputat 2010-2011 : Ketua Bidang Seni Budaya Komisariat DISTEKPERTUM Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Ciputat 2010-2011 : Ketua Bidang Olahraga dan Kesehatan Badan Pengurus Asrama

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Ciputat 2009-2010 : Ketua Bidang Keilmuan Komisariat DISTEKPERTUM

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Ciputat 2009-2010 : Ketua Bidang Kebersihan Badan Pengurus Asrama

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Ciputat 2006-2007 : Bidang 7K Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS)

SMA Negeri 94 Jakarta


(9)

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan kasih sayang serta kesempatan untuk belajar dan menambah ilmu pengetahuan

sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi mengenai “Faktor-Faktor yang

Berhubungan Dengan Perilaku Pekerja dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013.”

Laporan ini merupakan hasil dari proses kegiatan penelitian yang dilakukan di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang. Semoga dengan laporan skripsi ini, mudah-mudahan Alloh SWT selalu melimpahkan pertolongan dan ridho-Nya sehingga dapat menjadi manfaat bagi yang membaca secara umumnya dan bagi penulis secara khususnya.

Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang telah membantu dan membuat terselesaikanya laporan ini. Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada :

1. Prof. Dr (HC). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And. Selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Ir. Febrianti, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat. 3. Bapak dr. Yuli Pranpanca Satar. MARS selaku pembimbing I dan Bapak Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku pembimbing II Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan yang telah membimbing dengan sabar dan tawakal dalam penulisan skripsi ini.


(10)

5. Bapak H. Rudin beserta staf Kelurahan Gondrong yang telah banyak membantu dalam penyusunan dan permohonan izin untuk melakukan penelitian.

6. Buat Bapak dan Ibu yang selalu “ngomelin” dan memberi semangat dalam

penyusunan skripsi ini. Serta Adikku Fauzan yang selalu meminjamkan laptop baik untu keperluan skripsi maupun keperluan lainnya. Hehehe.... 7. Buat Kakakku Uni Lili, Uni Wen, Uni Ita, Kk Rosi, Uda Opi, Uni Febi,

Uni Tia, Rio, Uni Yuli, Uni Ari, Uni Yesi, Uda Oka, Uda Zal, Uni Del, Uda In, dan yang ada di seluruh Indonesia yang selalu memberikan semangat untuk mengerjakan skripsi ini.

8. Terima kasih buat “Spesial One” yang sudah memberikan semangat dan

perhatiannya sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini. Thanks you Endah... 9. Buat temen-temenku dari K3 dan angkatan 2008 yang ada di perminatan Gizi, buat Bang Ludi, Bang Abu, Aa Asyari, Rizqi, Miftah, Irfan (Ciripa),

Chusan yang temenin ngopi, Bayu, Iqbal. Buat Titi “Ndut”, Tetik, Icha,

Unil, Neng Irma dan yang lainnya di kelas K3 yang selama ini semangat belajar dan mengerjakan tugas kelompok bersama. Juga buat Alumni dan Adik kelas yang selalu memberikan info buat penulis.

10.Buat temen Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah periode 2012-2013, pak

Topeng Ketum Imm Ciputat, Pak Zuhri, Fauzi “Bukho” Medan, Bang

Andre, Bung Koko, Mawmaw(Immawan), Mbak Zum, Bang Zaki, Mbak


(11)

Badra, Tsalis, Ivand, Vina, Elvin, Eci, dan yang lainnya, maaf tak bisa disebutkan satu per satu. Semoga IMM Jaya...!!!! Fastabiqul Khairot... 11.Semua pihak yang telah menyukseskan penulisan skripsi ini.

Skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun agar skripsi ini dapat bermanfaat. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat, karunia dan ridho-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini.

Jakarta, November 2012


(12)

Panitia Ujian Skripsi ………iv

Lembar Pernyataan ………v

Riwayat Hidup ………vi

Kata Pengantar ………viii

Daftar Isi ………xi

Daftar Gambar ………xvi

Daftar Tabel ………xvii

Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang ………1

1.2. Rumusan Masalah ………5

1.3. Pertanyaan Penelitian ………6

1.4. Tujuan Penelitian ………8

1.4.1. Tujuan Umum ………8

1.4.2. Tujuan Khusus ………8

1.5. Manfaat Penelitian ………9

1.5.1. Manfaat Teoritis ………9

1.5.2. Manfaat Metodoligis ………9

1.5.3. Manfaat Aplikatif ………9

1.6. Ruang Lingkup Penelitian ………10

Bab II Tinjauan Pustaka 2.1. Pengelasan ………11

2.1.1. Pengertian Pengelasan ………11 2.1.2. Jenis-Jenis Pengelasan ………12 2.1.3. Bahaya Pengelasan ………14 2.2. Perilaku Tidak Aman ………18

2.2.1. Pengertian Perilaku Tidak Aman ………18 2.2.2. Klasifikasi Perilaku Tidak Aman ………19 2.3. Teori-Teori Mengenai Perilaku ………20

2.3.1. Lawrence Green Theory ………20

2.3.2. Social Cognitive Theory ………21 2.3.3. Theory Ramsey ………22

2.3.4. Model ABC dan Perilaku ………24 2.4. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Kerja …27 2.4.1. Pengetahuan ………27 2.4.2. Pelatihan ………28 2.4.3. Sikap ………29

2.4.4. Motivasi ………31 2.4.5. Komunikasi ………32 2.4.6. Ketersediaan Fasilitas ………33 2.4.7. Pengawasan ………34 2.4.8. Hukuman dan Penghargaan ………35 2.5. Alat Pelindung Diri (APD) Pengelasan ………37 2.5.1. Helm Pengaman (Safety Helmet) ………37


(13)

…………3

2.5.5. Sarung Tangan (Safety Glove) ………39

2.5.6. Sepatu Kerja (Safety Shoes) ………40

2.5.7. Kacamata Bening (Safety Spectacles) ………41

2.5.8. Pelindung Telinga (Hearing Protection) …………41

2.5.9. Alat Pelindung Hidung (Respirator) ………42

2.6. Kerangka Teori ………43

Bab III Kerangka Konsep 3.1. Kerangka Konsep ………45

3.2. Varibel yang Tidak Diteliti ………46

3.3. Definisi Operasional ………48

3.4. Hipotesis Penelitian ………51

Bab IV Metodologi Penelitian 4.1. Disain Penelitian ………52 4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ………53

4.3. Populasi, Sampel dan Sampling Penelitian ………53

4.3.1.Populasi ………53

4.3.2.Sampel ………53

4.3.3.Sampling Penelitian ………53

4.4. Instrumen Penelitian ………55

4.4.1.Kuesioner ………55 4.4.2.Catatan Lapangan ………57 4.4.3.Lembar Observasi ………58

4.5. Metode Pengumpulan Data ………58

4.6. Pengolahan Data ………59

4.7. Teknik Analisis Data ………60

4.7.1.Analisis Univariat ………60

4.7.2.Analisis Bivariat ………61

Bab V Hasil 5.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian ………62

5.2. Analisis Univariat Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Pekerja dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013 ………64

5.2.1. Gambaran Perilaku Pekerja dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal. ………64

5.2.2. Gambaran Pengetahuan dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal. ………64

5.2.3. Gambaran Pelatihan dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal.


(14)

(APD) pada Industri Pengelasan Informal.

………66

5.2.5. Gambaran Motivasi dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal.

………67

5.2.6. Gambaran Komunikasi dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal.

………67

5.2.7. Gambaran Ketersediaan APD dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal.

………68

5.2.8. Gambaran Pengawasan dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal.

………69

5.2.9. Gambaran Hukuman dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal.

………69

5.2.10.Gambaran Penghargaan dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal.

………70

5.3. Analisis Bivariat Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Pekerja dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013

………72

5.3.1.Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal.

………72

5.3.2.Hubungan Antara Pelatihan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal.

………73

5.3.3.Hubungan Antara Sikap Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal.

………74

5.3.4.Hubungan Antara Motivasi Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal.

………75

5.3.5.Hubungan Antara Komunikasi Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal.

………76

5.3.6.Hubungan Antara Ketersediaan APD Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal.


(15)

………79

5.3.8.Hubungan Antara Hukuman Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal.

………80

5.3.9.Hubungan Antara Penghargaan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal.

………81

Bab VI Penbahasan

6.1. Keterbatasan Penelitian ………83 6.2. Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri

Pengelasan Informal

………85

6.3. Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013.

………86

6.4. Hubungan Antara Pelatihan Dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013.

………87

6.5. Hubungan Antara Sikap Dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013.

………89

6.6. Hubungan Antara Motivasi Dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013.

………90

6.7. Hubungan Antara Komunikasi Dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013.

………92

6.8. Hubungan Antara Ketersediaan APD Dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013.

………94

6.9. Hubungan Antara Pengawasan Dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013.

………96

6.10. Hubungan Antara Hukuman Dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013.


(16)

Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013.

………99

Bab VII Kesimpulan dan Saran

7.1. Simpulan ………102

7.2. Saran ………105

Daftar Pustaka ………107 Lampiran


(17)

Gambar 2.1 Gambar Social Cognitive Theory ……… 21

Gambar 2.2 Model ABC dan Perilaku ……… 25

Gambar 2.3 Bagan Kerangka Teori ……… 44

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep ……… 47

Gambar 5.1 Bagan Struktur Organisasi Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang ……… 60


(18)

Tabel 3.1 Tabel Definisi Operasional ……… 48 Tabel 4.1 Perhitungan sampel per variable ………55 Tabel 5.1 Perilaku Pekerja dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013

……… 64

Tabel 5.2 Gambaran Pengetahuan dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013

……… 65

Tabel 5.3 Gambaran Pelatihan dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong,

Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013

……… 65

Tabel 5.4 Gambaran Sikap dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013

……… 66

Tabel 5.5 Gambaran Motivasi dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong,

Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013

……… 67

Tabel 5.6 Gambaran Komunikasi dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013

……… 68

Tabel 5.7 Gambaran Ketersediaan APD dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013


(19)

……… 69

Tabel 5.9 Gambaran Hukuman dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013

……… 70

Tabel 5.10 Gambaran Penghargaan dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang Tahun 2013

……… 70

Tabel 5.11 Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang

Tahun 2013 ……… 72

Tabel 5.12 Hubungan Antara Pelatihan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang

Tahun 2013 ……… 73

Tabel 5.13 Hubungan Antara Sikap Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang

Tahun 2013 ……… 74

Tabel 5.14 Hubungan Antara Motivasi Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang

Tahun 2013 ……… 75

Tabel 5.15 Hubungan Antara Komunikasi Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang

Tahun 2013 ……… 77

Tabel 5.16 Hubungan Antara Ketersediaan APD Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang


(20)

Tahun 2013 ……… 79 Tabel 5.18 Hubungan Antara Hukuman Dengan Perilaku Penggunaan Alat

Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang

Tahun 2013 ……… 80

Tabel 5.19 Hubungan Antara Penghargaan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Industri Pengelasan Informal di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang


(21)

1.1. Latar Belakang

Alat Pelindung Diri (APD) merupakan seperangkat alat yang digunakan oleh tenaga kerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya terhadap kemungkinan adanya potensi bahaya kecelakaan kerja pada tempat kerja. Penggunaan alat pelindung diri sering dianggap tidak penting ataupun remeh oleh para pekerja, terutama pada pekerja yang bekerja pada sektor informal. Padahal penggunaan alat pelindung diri ini sangat penting dan berpengaruh terhadap keselamatan dan kesehatan kerja pekerja. Kedisiplinan para pekerja dalam mengunakan alat pelindung diri tergolong masih rendah sehingga resiko terjadinya kecelakaan kerja yang dapat membahayakan pekerja cukup besar.

Angka kecelakaan kerja berdasarkan laporan International Labour Organization (ILO) tahun 2010, di seluruh dunia terjadi lebih dari 337 juta kecelakaan dalam pekerjaan per tahun. Setiap hari, 6.300 orang meninggal karena kecelakaan kerja atau penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan. Sekitar 2,3 juta kematian per tahun terjadi di seluruh dunia.

Angka kecelakaan kerja di Indonesia tergolong cukup tinggi. Berdasarkan data (Jamsostek, 2011), angka kecelakaan kerja di Indonesia tahun 2011 mencapai 99.491 kasus. Jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2007 sebanyak 83.714


(22)

kasus, tahun 2008 sebanyak 94.736 kasus, tahun 2009 sebanyak 96.314 kasus, dan tahun 2010 sebanyak 98.711 kasus.

Kota Tangerang merupakan salah satu daerah terpadat di provinsi Banten. Didaerah ini terdapat banyak industri baik industri formal maupun industri informal. Tidak dapat dipungkiri bahwa daerah ini menjadi salah satu penyumbang angka kecelakaan tertinggi untuk provinsi Banten. Adapun angka kecelakaan kerja di daerah Banten mencapai 209 kasus, meliputi 103 orang meningal dunia, 25 orang menderita luka berat, 92 orang mengalami luka ringan. Dari angka kecelakaan tersebut, hampir setengahnya dari jumlah kecelakaan kerja merupakan angka kematian akibat dari kecelakaan kerja (Kementerian Tenaga Kerja dan Transportasi, 2012).

Diperkirakan pekerja di Indonesia berjumlah 95.7 juta orang yang terdiri dari 58.8 juta tenaga kerja laki-laki dan 36.9 juta tenaga kerja perempuan. Sekitar 60% dari jumlah tersebut bekerja dalam sektor informal. Oleh karena itu pemerintah perlu dilakukan pengawasan dan pelaporan mengenai tingkat kecelakaan kerja di sektor informal dari risiko dan bahaya yang terdapat di tempat kerja selain pelaporan kecelakaan kerja dari sektor formal (Dwi, 2008).

Kecelakaan kerja dapat terjadi karena disebabkan beberapa faktor antara lain adanya faktor lingkungan dan manusia. Faktor lingkungan terkait dengan peralatan, kebijakan, pengawasan, peraturan, dan prosedur kerja mengenai pelaksanaan K3. Sedangkan faktor manusia yaitu perilaku atau


(23)

Upaya untuk mencegah kecelakaan kerja adalah dengan menghilangkan risiko atau mengendalikan sumber bahaya bahkan menggunakan alat pelindung diri (APD). Menurut ILO (1989), hierarki pengendalian bahaya terdapat 5 (lima) pengendalian bahaya yaitu eliminasi, subsitusi, engineering, administratif dan alat pelindung diri. Pencegahan tersebut difokuskan pada lingkungan kerja, peralatan dan terutama adalah pekerja (manusia).

Penggunaan alat pelindung diri sudah seharusnya menjadi keharusan, namun tidak digunakan oleh pekerja. Hal ini disebabkan masih lemahnya kedisiplinan dan kesadaran para pekerja. Berdasarkan temuan bahaya di perusahaan yang ada di Indonesia bahwa 60% tenaga kerja cedera kepala karena tidak menggunakan helm pengaman, 90% tenaga kerja cedera wajah karena tidak menggunakan alat pelindung wajah, 77% tenaga kerja cedera kaki karena tidak menggunakan sepatu pengaman, dan 66% tenaga kerja cedera mata karena tidak menggunakan alat pelindung mata (Jamsostek, 2011).

Penelitian Syaaf (2008) diketahui bahwa faktor yang berhubungan dengan perilaku penggunaan APD pada pengelasan informal adalah pengetahuan, pelatihan, sikap, motivasi, komunikasi, ketersediaan APD, pengawasan, hukuman dan penghargaan. Sedangkan Wibowo (2010), faktor yang memiliki hubungan dengan perilaku penggunaan APD adalah pengetahuan, pengawasan, dan kebijakan. Adapun Linggasari (2008), faktornya adalah ketersediaan APD, pelatihan dan pengawasan.


(24)

Pengendalian bahaya dengan menggunakan APD juga tidak akan maksimal jika pekerja sendiri tidak menggunakan padahal dari pihak perusahaan atau pemilik usaha telah menyediakan. Menurut salah satu penelitian yang dilakukan pada pekerjaan pengelasan industri informal di daerah Depok hanya 50% pekerja yang berperilaku menggunakan APD saat bekerja sedangkan 50% mempunyai perilaku tidak menggunakan APD saat bekerja (Purwanto, 2009).

Penggunaan APD merupakan tahap akhir dari pengendalian bahaya. Walaupun pengunaan APD akan menjadi maksimal apabila dilakukan dengan pengendalian lain seperti eliminasi, subsitusi, engineering, administratif sehingga bahaya dapat dikendalikan. Manfaat dari penggunaan APD saat bekerja sangat besar dalam pencegahan kecelakaan kerja. Namun dalam kenyataannya masih banyak pekerja yang tidak menggunakan APD saat bekerja.

Kelompok masyarakat pekerja sektor informal masih belum mendapatkan perhatian dalam kesehatan kerjanya. Tindakan pencegahan dan pengendalian yang ada belum disesuaikan dengan potensi bahaya yang ada di tempat kerja. Pada umumnya fasilitas pelayanan keselamatan dan kesehatan kerja lebih banyak dinikmati oleh tenaga kerja pada industri skala besar (jumlah pekerja lebih dari 500 orang). Pada industri kecil dan menengah, fasilitas pelayanan keselamatan dan kesehatan bersifat parsial dan mungkin tidak ada sama sekali (Nur dalam Dian Rawar, 2010).

Banyak faktor yang mempengaruhi pekerja dalam menggunakan alat pelindung diri yang disediakan perusahaan/pemilik usaha antara lain


(25)

ketidaknyamanan dalam menggunakan APD sehingga mengurangi kinerja para pekerja bahkan dapat menimbulkan kecelakaan kerja yang lain. Dengan menggunakan APD pada saat bekerja maka mengurangi kemungkinan kecelakaan kerja. Oleh karena itu, penggunaan APD pada sektor informal perlu diperhatikan oleh pekerja, perusahaan dan pemerintahan setempat.

1.2. Rumusan Masalah

Bahaya dan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan pekerja dapat muncul dari setiap tempat kerja dalam bentuk yang berbeda-beda. Pada industri pengelasan informal, banyak terdapat bahaya dan risiko yang dapat melukai para pekerja, mulai dari risiko kecil sampai besar dengan tingkat paparan berbeda dari bahaya di pengelasan informal. Sehingga dalam menunjang K3 di tempat pengelasan dan untuk mencegah kecelakaan, diperlukan Alat Pelindung Diri (APD) yang tepat.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan bulan Maret 2013 di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang, diketahui bahwa 6 dari 10 orang pekerja tidak menggunakan APD pada saat bekerja dan diketahui bahwa 2 dari 4 bengkel las tidak mempunyai aturan atau kebijakan khusus dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Pemilihan Kelurahan Gondrong sebagai tempat penelitian karena daerah tersebut terdapat banyak pembangunan rumah, ruko dan bangunan lainnya yang memerlukan jasa pengelasan. Sehingga bengkel las di Kelurahan ini juga banyak mendapat pemesanan dari luar Kelurahan Gondrong sendiri sehingga tempat ini dapat dijadikan tempat penelitian.


(26)

Berdasarkan latar belakang diatas, diketahui bahwa masih banyak pekerja pengelasan yang tidak menggunakan APD saat bekerja sehingga kecelakaan kerja ringan sampai berat dapat membahayakan para pekerja. Dengan demikian diperlukan adanya suatu penelitian yang menggambarkan perilaku pekerja dalam penggunaan APD pada industri pengelasan informal ini. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pekerja sehingga tidak menggunakan APD saat bekerja walaupun dari pihak perusahaan atau pemilik usaha antara lain ketidaknyamanan jika menggunakan APD saat bekerja. Tingginya kasus kecelakaan kerja diarea kerja diakibatkan kecenderungan pekerja untuk bekerja tidak aman (unsafe act) seperti tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) pada saat melakukan pekerjaannya, hal ini juga yang berkaitan dengan behavior yang dimiliki oleh pekerja tersebut.

1.3. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran perilaku pekerja dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) ditempat kerja.?

2. Bagaimana gambaran faktor Predisposing (Pengetahuan, Pelatihan, Sikap, Motivasi, dan Komunikasi) pekerja dalam perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di industri pengelasan informal di Kelurahan Gondrong.

3. Bagaimana gambaran faktor Enabling (Ketersediaan APD) pekerja dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di industri pengelasan informal di Kelurahan Gondrong.


(27)

4. Bagaimana gambaran faktor Reinforcing (Pengawasan, Hukuman dan Penghargaan) pekerja dalam perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di industri pengelasan informal di Kelurahan Gondrong.

5. Bagaimana hubungan faktor Predisposing (Pengetahuan, Pelatihan, Sikap, Motivasi, dan Komunikasi) pekerja dengan perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di industri pengelasan informal di Kelurahan Gondrong.

6. Bagaimana hubungan faktor Enabling (Ketersediaan APD) pekerja dengan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di industri pengelasan informal di Kelurahan Gondrong.

7. Bagaimana hubungan faktor Reinforcing (Pengawasan, Hukuman dan Penghargaan) pekerja dengan perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di industri pengelasan informal di Kelurahan Gondrong.

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Diketahuinya hubungan faktor-faktor perilaku pekerja dalam penggunaan APD pada industri pengelasan informal di Kelurahan Gondrong, Tangerang. 1.4.2. Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran perilaku pekerja dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di industri pengelasan informal di Kelurahan Gondrong.?

2. Diketahuinya gambaran faktor Predisposing (Pengetahuan, Pelatihan, Sikap, Motivasi, dan Komunikasi) pekerja dalam perilaku penggunaan


(28)

Alat Pelindung Diri (APD) di industri pengelasan informal di Kelurahan Gondrong.

3. Diketahuinya gambaran faktor Enabling (Ketersediaan APD) pekerja dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di industri pengelasan informal di Kelurahan Gondrong.

4. Diketahuinya gambaran faktor Reinforcing (Pengawasan, Hukuman dan Penghargaan) pekerja dalam perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di industri pengelasan informal di Kelurahan Gondrong.

5. Diketahuinya hubungan faktor Predisposing (Pengetahuan, Pelatihan, Sikap, Motivasi, dan Komunikasi) pekerja dengan perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di industri pengelasan informal di Kelurahan Gondrong.

6. Diketahuinya hubungan faktor Enabling (Ketersediaan APD) pekerja dengan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di industri pengelasan informal di Kelurahan Gondrong.

7. Diketahuinya hubungan faktor Reinforcing (Pengawasan, Hukuman dan Penghargaan) pekerja dengan perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di industri pengelasan informal di Kelurahan Gondrong.


(29)

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis

Sebagai sumbangan referensi akademis berkaitan dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pekerja dalam penggunaan APD pada pekerjaan pengelasan di Kelurahan Gondrong.

1.5.2. Manfaat Metodoligis

Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan tentang metodologi penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan perilaku pekerja dalam penggunaan APD.

1.5.3. Manfaat Aplikatif

1. Bagi industri, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan evaluasi mengenai faktor perilaku pekerja dalam penggunaan APD, serta dapat melakukan upaya pencegahan terhadap risiko dan bahaya kecelakaan di tempat kerja.

2. Bagi fakultas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengembangan kurikulum program studi Kesehatan Masyarakat khususnya pada konsentrasi K3.

3. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini bermanfaat untuk dijadikan bahan perbandingan ataupun data dalam penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pekerja dalam penggunaan APD pada industri pengelasan informal.


(30)

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujan untuk mengetahui hubungan antara faktor yang mempengaruhi perilaku dengan perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada pekerjaan pengelasan informal di Kelurahan Gondrong. Penelitian ini perlu dilakukan karena masih kurangnya penggunaan APD sebagai salah satu bentuk pengendalian dari bahaya yang terjadi ditempat kerja sehingga para pekerja masih mengalami Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja. Penelitian ini menggunakan disain penelitian kuantitatif dengan metode studi cross sectional. Penelitian akan dilaksanakan oleh peneliti itu sendiri. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 46 orang dari 12 bengkel las yang ada di Kelurahan Gondrong dengan menggunakan teknik Accidental Sampling. Penelitian dilaksanakan pada bulam Mei-Juni 2013. Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh dengan cara pengisian kuesioer dan lembar obsevasi, sedangkan data sekunder yaitu jumlah tempat pengelasan informal. Observasi dilakukan untuk melihat bagaimana penggunaan APD para pekerja pada pekerjaan pengelasan di lapangan. Wawancara dilakukan untuk mengetahui data pekerja, pengetahuan, pelatihan, sikap, motivasi, komunikasi, pengawasan, dan fasilitas mengenai APD.


(31)

2.1. Pengelasan

2.1.1. Pengertian Pengelasan

Banyak institusi maupun para ahli yang mendefinisikan tentang pengelasan. Namun secara umum pengelasan (welding) adalah salah satu teknik penyambungan logam dengan cara mencairkan sebagian logam induk dan ligam pengisi dengan atau tanpa tekanan dan dengan atau tanpa logam penambah dan menghasilkan sambungan yang kontinyu.

Menurut Deutsche Industrie Normen (DIN) (2008) las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair, dari definisi tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa las adalah sesuatu proses dimana bahan dan jenis yang sama digabungkan menjadi satu sehingga terbentuk suatu sambungan melalui ikatan kimia yang dihasilkan dari pemakaian panas dan tekanan.

Menurut Wiryosumarto (2000), las adalah suatu cara untuk menyambung benda padat dengan jalan mencairkannya melalui pemanasan. Untuk berhasilnya penyambungan diperlukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi yakni:

a. Bahwa benda cair tersebut dapat cair/lebur oleh panas.

b. Bahwa antara benda-benda padat yang disambung tersebut terdapat kesesuaian sifat lasnya sehingga tidak melemahkan atau menggagalkan sambungan tersebut.


(32)

c. Bahwa cara-cara penyambungan sesuai dengan sifat benda padat dan tujuan penyambungan.

2.1.2. Jenis-Jenis Pengelasan

Sampai pada waktu sakarang ini banyak sekali pengklasifikasian yang digunakan dalam bidang las. Ini disebabkan perlu adanya kesepakatan dalah hal pengklasifikasian tersebut. Secara konvensional pengklasifikasian berdasarkan kerja dan energi yang digunakan. Klasifikasi berdasarkan kerja dibagi menjadi 3 yaitu pengelasan cair, pengelasan tekan dan pematrian. Sedangkan klasifikasi berdasarkan energi yang digunakan dibagi menjadi 3 yaitu pengelasan listrik, pengelasan kimia, dan pengelasan mekanik.

Berdasarkan proses pengelasan, maka pengelasan terbagi menjadi dua antara lain (Prabowo, 2007):

1. Las Oksi Asetilen

Las oksi asetilen merupakan proses pengelasan secara manual dengan pemanasan permukaan logam yang akan dilas atau disambung sampai mencair oleh nyala gas asetilen melalui pembakaran C2H2 dengan gas O2 dengan atau tanpa logam pengisi. Pembakaran gas C2H2 oleh oksigen (O2) dapat menghasilkan suhu yang sangat sangat tinggi sehingga dapat mencairkan logam. Gas asetilen merupakan salah satu jenis gas yang sangat mudah terbakar dibawah pengaruh suhu dan tekanan. Bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh gas asetilen antara lain:


(33)

a. Polimerisasi, peristiwa ini akan menyebabkan suhu gas meningkat jauh lebih tinggi dalam waktu yang sangat singkat. Polimerisasi ini akan terjadi pada suhu 300°C, jika berada pada tekanan 1 atm. Oleh sebab itu, gas asetilen tidak boleh disimpan atau digunakan pada suhu diatas 300°C.

b. Disosiasi, yaitu adanya panas yang ditimbulkan oleh proses pembentukan zat-zat. Disosiasi terjadi pada suhu 600°C jika berada pada tekanan 1 atm atau 530°C jika tekanan 3 atm. Jika terjadi disosiasi maka tekanan gas meningkat dan hal ini sangat membahayaka karena bisa menimbulkan ledakan.

2. Las listrik

Las tahanan listrik adalah proses pengelasan yang dilakukan dengan jalan mengalirkan arus listrik melalui bidang atau permukaan-permukaan benda yang akan disambung. Elektroda-elektroda yang dialiri listrik digunakan untuk menekan benda kerja dengan tekanan yang cukup. Penyambungan dua buah logam atau lebih menjadi satu dengan jalan pelelehan atau pencairan dengan busur nyala listrik. Tahanan yang ditimbulkan oleh arus listrik pada bidang-bidang sentuhan akan menimbulkan panas dan berguna untuk mencairkan permukaan yang akan disambung.

Bahaya pada las listrik yaitu, loncatan bunga api yang terjadi pada nyala busur listrik karena adanya potensial tegangan atau beda tegangan antara ujung-ujung elektroda dan benda kerja. Tegangan yang digunakan sangat menentukan terjadinya loncatan bunga api, semakin


(34)

besar tegangan semakin mudah terjadi loncatan bunga api listrik. Selain penggunaan arus dan tegangan yang bisa membahayakan operator, nyala busur listrik juga memancarkan sinar ultra violet dan sinar infra merah yang berinteraksi sangat tinggi. Pancaran atau radiasi dari sinar tersebut sangat membahayakan mata maupun kulit manusia (Prabowo, 2007).

2.1.3. Bahaya Pengelasan

Dalam melakukan pengelasan terdapat beberapa bahaya yang berpotensi terjadinya antara lain (Yasari, 2008):

A. Bahaya Cahaya/Sinar

Cahaya dari busur las dapat digolongkan pada sifatnya yaitu cahaya yang dapat dilihat, ultra violet dan infra merah. Cahaya tersebut tergolong dalam radiasi bukan pengion (non-ionizing). Bahaya cahaya (radiasi cahaya) ini dapat menimbulkan luka bakar, kerusakan mata dan kerusakan kulit.

a. Sinar ultraviolet

Sinar ultraviolet sebenarnya adalah pancaran yang mudah diserap, tetapi sinar ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh. Bila sinar ultraviolet yang terserap oleh lensa dan kornea mata melebihi jumlah tertentu maka pada mata akan terasa seakan-akan ada benda asing di dalamnya. Dalam waktu antara 6 sampai 12 jam kemudian mata akan menjadi sakit selama 6 sampai 24 jam. Pada umunya rasa sakit ini akan hilang setelah 48 jam.


(35)

b. Cahaya tampak

Semua cahaya tampak yang masuk ke mata akan diteruskan oleh lensa dan kornea ke retina mata. Bila cahaya ini terlalu kuat maka akan segera menjadi lelah dan kalau terlalu lama mungkin akan menjadi sakit. Rasa lelah dan sakit ini sifatnya juga hanya sementara.

c. Sinar inframerah

Adanya sinar inframerah tidak segera terasa oleh mata, karena itu sinar ini lebih berbahaya sebab tidak diketahui, tidak terlihat dan tidak terasa. Pengaruh sinar inframerah terhadap mata sama dengan pengaruh panas, yaitu menyebabkan pembengkakan pada kelopak mata, terjadinya penyakit kornea, presbiopia yang terlalu dini dan terjadinya kerabunan. B. Bahaya Asap dan Gas Las

Asap las (fume) yang ada selama pengelasan terutama terdiri dari oksida logam. Asap ini terbentuk ketika uap logam terkondensasi dan teroksidasi. Komposisi asap ini tergantung pada jenis logam induk, logam pengisi, flux dalam permukaan atau kontaminasi pada permukaan logam. Gas-gas berbahaya dapat menyebabkan kerusakan pada system pernafasan juga bagian tubuh tertentu. Adapun gas-gas berbahaya yang terjadi pada waktu pengelasan adalah gas CO, CO2, NO, NO2 dan ozon.

a. Gas Karbon Monoksida

Gas ini mempunyai afinitas tinggi terhadap hemoglobin (Hb) yang akan menurunkan daya penyerapan terhadap oksigen.


(36)

Gas ini sebenarnya tidak berbahaya terhadap tubuh tetapi bila konsentrasinya terlalu tinggi dapat membahayakan apabila operator yang berada diruangan tertutup.

c. Gas Nitrogen Monoksida

Ikatan NO dan hemoglobin lebih kuat dari pada CO dan Hb, bahkan mengikat oksigen yang dibawa hemoglobin. Hal ini dapat membahayak sistem syaraf.

d. Gas Nitrogen Dioksida

Gas ini memberikan rangsangan yang kuat terhadap mata dan lapisan pernafasan sehingga dapat menyebabkan sakit dan iritasi mata serta mengalami gangguan pada pernafasan.

C. Bahaya Percikan Api

Selama dalam proses pengelasan menghasilkan percikan dan terak las. Percikan dan terak las apabila mengenai kulit dapat menyebabkan luka bakar. Oleh karena itu, juru las harus dilindungi terhindar dari hal ini terutama apabila harus melakukan pengelasan tegak dan pengelasan diatas kepala.

D. Bahaya Kebakaran

Kebakaran terjadi karena adanya kontak langsung antara api pengelasan dengan bahan-bahan yang mudah terbakar seperti solar, bensin, gas, cat kertas dan bahan lainnya yang mudah terbakar. Bahaya kebakaran juga dapat terjadi karena kabel yang menjadi panas yang disebabkan karena hubungan yang kurang baik, kabel yang tidak sesuai atau adanya kebocoran listrik karena isolasi yang rusak.


(37)

E. Bahaya Ledakan

Dalam mengelas tangki bahan bakar, tangki harus bersih dari minyak, gas yang mudah terbakar dan cat yang mudah terbakar sebelum melakukan pengelasan. Apabila dalam hal ini pembersihannya kurang sempurna maka akan terjadi ledakan yang cukup membahayakan. Untuk mencegah hal tersebut, sebelum pengelasan harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu untuk memastikan bahwa tidak akan terjadi ledakan.

F. Bahaya Jatuh

Didalam pengelasan dimana ada pengelasan di tempat yang tinggi akan selalu ada bahaya terjatuh dan kejatuhan. Bahaya ini dapat menimbulkan luka ringan ataupun berat bahkan kematian karena itu usaha pencegahannya harus diperhatikan.

G. Bahaya Listrik

Besarnya kejutan yang timbul karena listrik tergantung pada besarnya arus dan keadaan badan manusia. Tingkat dari kejutan dan hubungannya dengan besar arus adalah sebagai berikut:

a. Arus 1 mA hanya akan menimbulkan kejutan yang kecil saja dan tidak membahayakan.

b. Arus 5 mA akan memberikan stimulasi yang cukup tinggi pada otot dan menimbulkan rasa sakit.

c. Arus 10 mA akan menyebabkan rasa sakit yang hebat.

d. Arus20 mA akan menyebabkan terjadi pengerutan pada otot sehingga orang yang terkena tidak dapat melepaskan dirinya tanpa bantuan orang lain.


(38)

e. Arus 50 mA sangat berbahaya bagi tubuh. f. Arus 100 mA dapat mengakibatkan kematian.

2.2. Perilaku Tidak Aman

2.2.1. Pengertian Perilaku Tidak Aman

Menurut Illyas (2000) dalam Pratiwi (2009) perilaku tidak aman adalah perilaku yang dilakukan oleh pekerja yang menyimpang dari prinsip-prinsip keselamatan atau tidak sesuai dengan prosedur kerja yang berisiko untuk timbulnya masalah.

Menurut Kletz (2001) dalam Pratiwi (2009) menyatakan bahwa pada dasarnya tindakan/perilaku tidak aman merupakan kesalahan manusia dalam mengambil sikap/tindakan. Klasifikasi kesalahan manusia antara lain : a. Kesalahan karena lupa

Kesalahan terjadi biasanya pada seseorang yang sebetulnya tahu, mampu dan berniat, mengerjakan secara benar dan aman dan telah biasa dilakukan, namun melakukan kesalahan karena lupa. Contoh : menekan tombol yang salah, lupa membuka atau menutup keran.

b. Kesalahan karena tidak tahu

Kesalahan terjadi karena orang tersebut tidak mengetahui cara mengerjakan/mengoperasikan peralatan secara benar dan aman atau terjadi kesalahan perhitungan. Hal tersebut terjadi disebabkan karena kurang pelatihan, kurang/ salah instruksi, perubahan informasi.


(39)

Kesalahan terjadi karena tidak mampu melakukan tugasnya. Contoh: pekerjaan terlalu sulit, beban fisik maupun mental pekerjaan terlalu berat, tugas/ informasi terlalu banyak.

d. Kesalahan karena kurang motivasi

Kesalahan karena kurang motivasi ini bisa terjadi karena hal-hal : Dorongan pribadi (desire) : ingin cepat selesai, melalui jalan pintas, ingin nyaman, malas memakai APD, menarik perhatian dengan mengambil resiko berlebihan.

2.2.2. Klasifkasi perilaku tidak aman

Menurut Bird dan Germin (1990), factor penyebab dasar (basic cause) terutama adalah factor manusia yang menyebabkan tindakan tidak aman sehingga menimbulkan kejadian hampir celaka (near miss) dan kecelakaan yaitu kemampuan fisik dan mental yang tidak sesuai, kurangnya pengetahuan, kurangnya keterampilan, stress fisik dan mental, motivasi yang tidak memadai. (Maanaiya, 2005).

Menurut Bird (1990) dalam Maanaiya (2005) tindakan tidak aman meliputi sebagai berikut :

1. Pengoperasian peralatan pada kecepatan yang tidak pantas. 2. Mengoperasikan peralatan pada otoritas yang tidak pantas. 3. Penggunaan peralatan yang tidak sesuai.

4. Penggunaan peralatan yang cacat.

5. Tindakan yang menyebabkan alat keselamatan tidak dapat dioperasikan. 6. Kegagalan memberi isyarat atau untuk menjalani/mengamankan


(40)

7. Kegagalan menggunakan APD.

8. Penempatan peralatan/persediaan yang tidak sesuai. 9. Pengambilan posisi kerja yang tidak sesuai.

10.Memperbaiki/ merawat peralatan yang sedang bergerak. 11.Bercanda dalam bekerja.

12.Bekerja di bawah pengaruh alkohol. 13.Penggunaan obat-obat terlarang.

14.Merokok pada lokasi yang dilarang misalnya pada lokasi tempat bekerja.

2.3. Teori-teori Mengenai Perilaku 2.3.1. Lawrence Green Theory

Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2005), faktor perilaku ditentukan oleh tiga faktor yaitu:

a. Faktor Predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, pengetahuan, motivasi, kepercayaan, nilai dan tradisi. b. Faktor Pemungkin (enabling factors), adalah faktor yang

memungkinkan atau memfasilitasi perilaku antara lain sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya kesehatan.

c. Faktor Penguat (reinforcement factors), faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku antara lain peraturan, undang-undang, pengawasan.


(41)

2.3.2. Social Cognitive Theory

Social Cognitive Theory merupakan teori perilaku kesehatan yang dikembangkan oleh Albert Bandura tahun 1963. Menurut Bandura (1977) dalam Syaaf (2008), teori social kognitif terdapat 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan yaitu individu, sosial, dan lingkungan, dimana satu sama lain saling berhubungan dan menentukan (triadic reciprocity).

Gambar 2.1

Gambar Social Cognitive Theory

Bandura menguraikan bahwa individu atau pribadi mempunyai kemampuan dasar manusiawi yang sifatnya kognitif. Setiap individu memiliki karakteristik tertentu antara lain emosi, bertindak, keyakinan, harapan, pengaturan diri, kemampuan belajar, dan lain-lain. Sedangkan faktor lingkungan juga memiliki karakteristik tersendiri misalnya karakteristik fisik, sosial, budaya, politik.

Behavior Complying,

Coaching, Recognizing, Communication Person

Knowledge, skill, Abilities, Motivate, Intelegence

Environment Equipment, Tools,

SOP, House Keeping


(42)

2.3.3. Theory Ramsey

Ramsey dalam Vitriyansyah P. (2012) mengemukakan bahwa perilaku pekerja yang aman atau terjadinya perilaku yang dapat menyebabkan kecelakaan, dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor yaitu:

a. Pengamatan (perception) b. Kognitif (cognition)

c. Pengambilan Keputusan (decision making) d. Kemampuan (ability)

Ramsey mengemukakan sebuah model yang mengkaji faktor-faktor pribadi yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan. Pada tahapan pertama, seseorang akan mengamati suatu bahaya yang akan mengancam. Bila ia tidak mengamati atau salah mengamati adanya bahaya maka ia tidak akan menampilkan perilaku kerja yang aman. Sedang bilamana bahaya kerja teramati sedangkan yang bersangkutan tidak memiliki pengetahuan atau pemahaman bahwa hal yang diamati tersebut membahayakan maka perilaku yang aman juga tidak terampil.

Pada tahapan ketiga, perilaku kerja yang aman juga tidak akan tampil bilamana seseorang tidak memiliki keputusan untuk menghindari walaupun yang bersangkutan telah melihat dan mengetahui bahwa yang dihadapi tersebut merupakan sesuatu yang membahayakan. Dan pada tahapan keempat, perilaku kerja yang aman juga tidak akan tampil bilamana seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menghindar dari bahaya.

Tahap pertama, pengamatan seseorang terhadap bahaya dipengaruhi oleh:


(43)

1. Kecakapan sensoris (sensory skill) 2. Preseptual (preseptual skill)

3. Kesiagaan mental (state of alertness)

Tahap kedua, pengenalan seseorang terhadap faktor bahaya yang diamati atau teramati akan tergantung:

1. Pengalaman (experience) 2. Pelatihan (training)

3. Kemampuan mental (mental ability) 4. Daya ingat (memory ability)

Tahap ketiga, keputusan seseorang untuk menghindari kecelakaan akan dipengaruhi oleh:

1. Pengalaman (experience) 2. Pelatihan (training) 3. Sikap (attitude) 4. Motivasi (motivation) 5. Kepribadian (personality)

6. Kecenderungan menghadapi resiko (risk taking tendency)

Tahap ke empat, kemampuan seseorang untuk menghindari kecelakaan dipengaruhi oleh:

1. Ciri dan kemampuan diri (physical characteristic and ability) 2. Kemampuan motorik (psychomotor skill)

3. Proses fisiologis (psysiological procces)

Dari keempat tahapan tersebut dapat disimpulkan bahwa keseluruhan faktor, sebagian besar merupakan faktor individu yang masih dapat


(44)

ditingkatkan melalui berbagai strategi pendidikan dan pelatihan yang sesuai.namun perlu disadari pula bahwa perilaku kerja aman masih memungkinkan terjadinya suatu kecelakaan kerja.

2.3.4. Model ABC dan Perilaku

Menurut model ABC , perilaku dipicu oleh beberapa rangkaian peristiwa anteseden (sesuatu yang mendahului sebuah perilaku dan secara kausal terhubung dengan perilaku itu sendiri) dan diikuti oleh konsekuensi (hasil nyata dari perilaku bagi individu) yang dapat meningkatkan atau menurunkan kemungkinan perilaku tersebut akan terulang kembali. Analisis ABC membantu dalam mengidentifikasi cara-cara untuk mengubah perilaku dengan memastikan keberadaan anteseden yang tepat dan konsekuensi yang mengandung perilaku yang diharapakan Anteseden yang juga disebut sebagai aktivator dapat memunculkan suatu perilaku untuk mendapatkan konsekuensi yang diharapkan (reward) atau menghindari konsekuensi yang tidak diharapkan ( penalty).

Dengan demikian, anteseden mengarahkan suatu perilaku dan konsekuensi menentukan apakah perilaku tersebut akan muncul kembali. Konsekuensi dapat menguatkan atau melemahkan perilaku sehingga dapat meningkatkan atau mengurangi frekuensi kemunculan perilaku tersebut. Dengan kata lain, konsekuensi dapat meningkatkan atau menurunkan kemungkinan perilaku akan muncul kembali dalam kondisi yang serupa. Anteseden adalah penting namun tidak cukup berpengaruh untuk menghasilkan perilaku. Konsekuensi menjelaskan mengapa orang


(45)

mengadopsi perilaku tertentu (Fleming dan. Lardner, 2002 dalam Syaaf 2008).

Model ABC dapat digunakan untuk mempromosikan perilaku sehat dan selamat. Hubungan antara anteseden, perilaku, dan konsekuensi dapat dilihat pada gambar. Panah dua arah diantara perilaku dan konsekuensi menegaskan bahwa konsekuensi mempengaruhi kemungkinan perilaku tersebut akan muncul kembali.

Gambar 2.2 Model ABC dan Perilaku a. Anteseden

Anteseden adalah peristiwa lingkungan yang membentuk tahap atau pemicu perilaku. Anteseden yang secara reliable mengisyaratkan waktu untuk menjalankan sebuah perilaku dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya suatu perilaku pada saat dan tempat yang tepat. Anteseden dapat bersifat alamiah (dipicu oleh peristiwa-peritiwa lingkungan) dan terencana (dipicu oleh pesan/peringatan yang dibuat oleh komunikator).

Meskipun anteseden diperlukan untuk memicu perilaku, namun kehadirannya tidak menjamin kemunculan suatu perilaku. Sebagai contoh, adanya peraturan dan prosedur keselamatan belum tentu memunculkan perilaku aman. Bagaimanapun anteseden yang memiliki efek jangka panjang seperti pengetahuan sangat penting untuk menciptakan perilaku aman. Anteseden adalah penting untuk


(46)

memunculkan perilaku, tetapi pengaruhnya tidak cukup untuk membuat perilaku tersebut bertahan selamanya.

b. Konsekuensi

Konsekuensi adalah peristiwa lingkungan yang mengikuti sebuah perilaku, yang juga menguatkan, melemahkan atau menghentikan suatu perilaku. Secara umum, orang cenderung mengulangi perilaku-perilaku yang membawa hasil-hasil positif dan menghindari perilaku-perilaku yang memberikan hasil-hasil negatif.

Konsekuensi didefinisikan sebagai hasil nyata dari perilaku individu yang mempengaruhi kemungkinan perilaku tersebut akan muncul kembali. Dengan demikian, frekuensi suatu perilaku dapat meningkat atau menurun dengan menetapkan konsekuensi yang mengikuti perilaku tersebut. (Fleming dan Lardner, 2002 dalam Syaaf, 2008).

Konsekuensi dapa berupa pembuktian diri, penerimaan atau penolakan dari rekan kerja, sanksi, umpan balik, cedera atau cacat, penghargaan, kenyamanan atau ketidaknyamanan, rasa terimakasih, penghematan waktu.

Ada tiga macam konsekuensi yang mempengaruhi perilaku, yaitu penguatan positif, peguatan negatif, dan hukuman. Penguatan positif dan penguatan negatif memperbesar kemungkinan suatu perilaku untuk muncul kembali sedangkan hukuman memperkecil kemungkinan suatu perilaku untuk muncul kembali (Fleming dan Lardner, 2002 dalam Syaaf, 2008)


(47)

Penguatan positif dapat berupa mendapatkan sesuatu yang diinginkan seperti umpan balik positif terhadap pencapaian, dikenal oleh atasan, pujian dari rekan kerja, dan penghargaan. Penguatan negative dapat berupa terhindar dari sesuatu yang tidak diingiinkan seperti terhindar dari pengucilan oleh rekan kerja, terhindar dari rasa sakit, terhindar dari kehilangan insentif, dan terhindar dari denda. Hukuman dapat berupa mendapatkan sesuatu yang tidak diinginkan atau kehilangan sesuatu yang dimiliki atau diinginkan seperti kehilangan keuntungan, aksipendisiplinan, rasa sakit/cedera, perasaaan bersalah (Fleming dan Lardner, 2002 dalam Syaaf, 2008).

2.4. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Kerja

Berdasarkan penelitian Syaaf (2008), ada beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku kerja yang dapat mempengaruhi pekerja dalam melakukan suatu pekerjaan, antara lain:

2.4.1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah

orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang ( overt behavior). Notoatmodjo (2003) mengungkapkan pendapat Rogers bahwa


(48)

sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:

a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

b. Interest ( merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai terbentuk.

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Berdasarkan penelitian Arianto Wibowo (2010), diketahui bahwa responden yang memiliki pengetahuan kurang baik tanpa penggunaan APD lebih sedikit yaitu (83,8%) daripada responden yang memiliki pengetahuan baik yang menggunakan APD (91,8%). Hasil uji Chi Square menunjukan ada hubungan yang bermakna antara penggunaan APD dengan pengetahuan P = 0,000 (Pvalue <0,05). 2.4.2. Pelatihan

Salah satu cara yang baik untuk mempromosikan keselamatan di tempat kerja adalah dengan memberikan pelatihan bagi pekerja. Pelatihan keselamatan awal harus menjadi bagian proses orientasi


(49)

pekerja baru. Pelatihan selanjutnya diarahkan pada pembentukan pengetahuan yang baru, spesifik dan lebih dalam serta memperbaharui pengetahuan yang sudah ada.

Pelatihan memberikan manfaat ganda dalam promosi keselamatan. Pelatihan dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman kerja terhadap hazard dan risiko. Dengan adanya peningkatan kesadaran terhadap risiko, pekerja dapat menghindari kondisi tertentu dengan mengenali pajanan dan memodifikasinya dengan mengubah prosedur kerja menjadi lebih aman.

Latihan keselamatan adalah penting mengingat kebanyakan kecelakaan terjadi pada pekerja baru yang belum terbiasa bekerja dengan selamat. Pentingnya segi keselamatan harus ditekankan kepada tenaga kerja oleh pelatih, pimpinan kelompok atau instruktur

(Suma’mur 2009).

Berdasarkan penelitian Arianto Wibowo (2010), diketahui bahwa responden yang tidak pernah mengikuti pelatihan tanpa memakai APD lebih sedikit (34,0%) daripada responden yang pernah mengikuti pelatihan memakai APD (66,7%). Hasil uji Chi Square menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara penggunaan APD dengan pelatihan P = 0,938 (Pvalue >0,05).

2.4.3. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus


(50)

tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku.

Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yakni:

1.Menerima (Receiving)

Subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan objek 2.Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya serta mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Lepas jawaban dan pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut. 3.Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan terhadap suatu masalah

4.Bertangguang jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya merupakan tingkat sikap yang paling tinggi.

Pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaiamana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden.(Sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju).

Berdasarkan penelitian Linggasari (2008), diketahui bahwa responden yang memiliki sikap kurang baik dalam penggunaan APD


(51)

sebanyak 60 responden (69,8%), sedangkan responden yang memiliki sikap baik dalam penggunaan APD sebanyak 12 responden (55,0%). Hasil uji Chi Square diperoleh nilai p = 0,06 (P value <0,05) dengan (95%CI) maka tidak ada hubungan antara sikap dengan perilaku penggunaan APD.

2.4.4. Motivasi

Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.

Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) karyawan dalam menghadapi situasi (situation) kerja di perusahaan. Motivasi merupakan kondisi atau energi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah atau tertuju untuk mencapai tujuan organisasi perusahaan. Sikap mental karyawan yang pro dan positip terhadap situasi kerja itulah yang memperkuat motivasi kerjanya untuk mencapai kinerja maksimal. Dalam penggunaan APD, motivasi dibutuhkan untuk memberitahukan betapa pentingnya melindungi diri dari bahaya yang ada di tempat kerja.


(52)

Berdasarkan penelitian Asriyani (2011), diketahui bahwa responden yang memiliki motivasi kurang baik tanpa penggunaan APD sebanyak 35 responden (55,5%), sedangkan responden yang memiliki motivasi baik dalam penggunaan APD sebanyak 12 responden (19,1%). Hasil uji Chi Square diperoleh nilai p = 0,002 (P value <0,05) maka ada hubungan antara motivasi dengan perilaku penggunaan APD.

2.4.5. Komunikasi

Menurut Notoatmodjo (2007), komunikasi adalah proses pengoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk lambing atai symbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk mempengaruhi orang lain. Agar terjadi komunikasi yang efektif perlu keterlibatan beberapa unsur komunikasi, yaitu komunikator, komunikan pesan, saluran atau media.

Komunikasi keselamatan dan kesehatan kerja dapat

menggunakan berbagai meda baik lisan maupun tertulis. Pesan harus mudah diingat oleh penerima. Daya ingat rata-rata melalui berbgai media adalah sebagai berikut: 10% apa yang dibaca, 20% apa yang didengar, 30% apa yang dilihat, 50% apa yang didengar dan dilihat, 70% apa yang dikatakan,90% apa yang dikatakan dan dikerjakan.

Disamping untuk menyampaikan perintah dan pengarahan dalam pelaksanaan pekerjaan, Komunikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja digunakan untuk mendorong perilaku, sehingga pekerja termotivasi untuk bekerja dengan selamat.


(53)

Berdasarkan penelitian Syaaf (2008), diketahui bahwa responden yang memiliki komunikasi baik dalam penggunaan APD (85,7%), sedangkan responden yang memiliki komunikasi kurang baik tanpa penggunaan APD (18,2%). Hasil uji Chi Square diperoleh nilai p = 0,072 (P value >0,05) maka tidak ada hubungan komunikasi dengan perilaku penggunaan APD.

2.4.6. Ketersediaan Fasilitas

Penggunaan APD merupakan penyambung dari berbagai upaya pencegahan kecelakaan lainnya atau ketika tidak ada metode atau praktek lain yang mungkin untuk dilakukan (Roughton, 2002). Aneka alat-alat APD adalah kaca mata (goggles), safety shoes, sarung tangan, topi pengaman, pelindung telinga, pelindung paru-paru, dan lain-lain. Desain dan pembuatan APD harus memenuhi standar-standar tertentu dan sudah diuji terlebih dahulu kemampuan perlindungannya

(Suma’mur, 2009).

Menurut Notoatmodjo (2005) perilaku dapat terbentuk dari tiga faktor, salah satunya faktor pendukung (enabling) yaitu ketersediaan fasilitas atau sarana kesehatan. Ketersediaan APD dalam hal ini merupakan salah satu bentuk dari faktor pendukung perilaku, dimana suatu perilaku otomatis belum terwujud dalam suatu tindakan jika tidak terdapat fasilitas yang mendukung terbentuknya sikap tersebut.

Berdasarkan penelitian Asriyani (2011), diketahui bahwa responden yang menyatakan ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) tidak lengkap dan memiliki sikap yang kurang baik (69,8%),


(54)

sedangkan responden yang menyatakan ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap dan memiliki sikap yang baik (88,1%). Hasil uji Chi Square diperoleh nilai p = 0,002 (P value <0,05) dengan (95%CI) maka ada hubungan antara ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan perilaku penggunaan APD di PT Telekomunikasi, Tbk Pekanbaru.

2.4.7. Pengawasan

Kelemahan dari peraturan keselamatan adalah hanya berupa tulisan yang menyebutkan bagaimana seseorang bisa selamat, tetapi tidak mengawasi tindakan aktivitasnya. Pekerja akan cenderung melupakan kewajibannya dalam beberapa hari atau minggu (Roughton, 2002 dalam Syaaf, 2008). Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan untuk menegakkan peraturan di tempat kerja.

Menurut Roughton (2002) dalam Syaaf (2008), beberapa tipe individu yang harus terlibat dalam mengawasi tempat kerja yaitu :

a. Pengawas (Supervisor)

Setiap pengawas yang ditunjuk harus mendapatkan pelatihan terlebih dahulu mengenai bahaya yang mungkin akan ditemui dan juga pengendaliannya.

b.Pekerja

Ini merupakan salah satu cara untuk melibatkan pekerja dalam proses keselamatan. Setiap pekerja harus mengerti mengenai potensi bahaya dan cara melindungi diri dan rekan kerjanya dari bahaya tersebut. Mereka yang terlibat dalam pengawasan


(55)

membutuhkan pelatihan dalam mengenali dan mengendalikan potensi hazard.

c. Safety Professional

Safety Professional harus menyediakan bimbingan dan petunjuk tentang metode inspeksi. Safety Professional dapat diandalkan untuk bertanggung jawab terhadap kesuksesan atau permasalahan dalam program pencegahan dan pengendalian bahaya.

Berdasarkan penelitian Arianto Wibowo (2010), diketahui bahwa responden yang menyatakan tidak ada pengawasan dalam penggunaan APD lebih sedikit yaitu 72,3% daripada responden yang menyatakan ada pengawasan (92,4%). Hasil uji Chi Square menunjukan ada hubungan yang bermakna antara penggunaan APD dengan adanya pengawasan P =0,000 (Pvalue<0,05) dengan OR 32,533(10,535-100,468)

2.4.8. Hukuman dan Penghargaan

Menurut Geller (2001) dalam Syaaf (2008) hukuman adalah konsekuensi yang diterima individu atau kelompok sebagai bentuk akibat dari perilaku yang tidak diharapkan. Hukuman dapat menekan atau melemahkan perilaku. Hukuman tidak hanya berorientasi untuk meghukum pekerja yang melanggar peraturan, melainkan sebagai control terhadap lingkungan kerja sehingga pekerja terlindung dari insiden.


(56)

Sedangkan penghargaan menurut Geller (2001) dalam Syaaf (2008) adalah konsekuensi positif yang diberikan kepada individu atau kelompok dengan tujuan mengembangkan, mendukung dan memelihara perilaku yang diharapkan. Jika digunakan sebagaimana mestinya, penghargaan dapat memberikan yang terbaik kepada setiap orang karena penghargaan membentuk parasaan percaya diri, penghargaan diri, pengendalian diri, optimistisme, dan rasa memiliki.

Berdasarkan penelitian Syaaf (2008), diketahui bahwa responden yang menyatakan tidak ada kebijakan dalam penggunaan APD lebih sedikit yaitu 86,5% daripada responden yang menyatakan ada kebijakan (93,2%). Hasil uji Chi Square menunjukan ada hubungan yang bermakna antara penggunaan APD dengan kebijakan P = 0,000 (P value<0.05).

Menurut Wilde dalam Syaaf (2008) penekanan pada hukuman dapat memotivasi perilaku seseorang dalam keselamatan, namun bukti dari efektifitasnya tidak diketahui dengan pasti. Adapun kelemahan dari hukuman ini adalah :

a. Efek Atribusi. Sebagai contoh, menilai seseorang sebagai karakteristik yang tidak diharapkan dapat merangsang seseorang untuk berperilaku seperti mereka benar-benar memiliki karakteristik itu. Menilai seseorang tidak bertanggung jawab akan membuat mereka berperilaku seperti itu.

b.Penekanan pada pengendalian proses pembentukan perilaku. Sebagai contoh menggunakan alat pelindung diri atau mematuhi


(57)

batas kecepatan kerja daripada menekankan pada hasil akhir yang ingin dicapai yaitu keselamatan. Pengendalian proses tidak praktis untuk didesain dan diimplementasikan serta tidak dapat merangkum seluruh perilaku yang tidak diharapkan dari pekerja dalam setiap waktu.

c. Hukuman membawa efek samping negatif. Hukuman menimbulkan disfungsi iklim organisasi yang tidak ditandai oleh dendam, tidak mau bekerja sama, sikap antagonis, bahkan sabotase. Hasilnya, perilaku yang tidak diharapkan mungkin akan muncul.

2.5. Alat Pelindung Diri (APD) Pengelasan

Menurut Sriwirdharto (1987) dalam Vitriyansyah P. (2012), Alat pelindung diri (APD) yang digunakan dalam proses pengelasan meliputi:

A. APD Pengelasan Utama

1. Helm Pengaman (Safety Helm)

Alat pelindung kepala (safety helmet) digunakan untuk melindungi pekerja dari bahaya terbentur oleh benda tajam atau benda keras yang dapat meyebabkan luka gores, terpotong, tertusuk, kejatuhan benda, atau terpukul oleh benda-benda yang melayang di udara. Safety helmet juga berfungsi untuk melindungi rambut pekerja dari bahaya terjepit mesin yang berputar, bahaya panas radiasi, dan percikan bahan kimia. Di Indonesia belum ada standar/klasifikasi untuk safety helmet.


(58)

Di Amerika terdapat 4 jenis safety helmet yaitu:

a. Kelas A : untuk penggunaan umum dan untuk tegangan listrik yang terbatas.

b. Kelas B : tahan terhadap tegangan listrik tinggi

c. Kelas C : tanpa perlindungan terhadap tegangan listrik, biasanya terbuat dari logam.

d. Kelas D : yang digunakan untuk pemadam kebakaran. Adapun fungsi dari Helm pengaman antara lain: a. Tumbukan langsung benda keras dengan kepala

b. Cipratan ledakan-ledakan kecil dari cairan las yang mengakibatkan terbakarnya daerah kepala.

2. Kacamata Las (Googles)

Pelindung mata digunakan untuk menghindati pengaruh radiasi energy seperti sinar ultra violet, sinar infra merah dan lain-lain yang dapat merusak mata. Para pekerja yang kemungkinan dapat terkena bahaya dari sinar yang menyilaukan, seperti sinar las potong dengan menggunakan gas dan percikan dari sinar las yang memijar harus menggunakan pelindung mata khusus. Pekerjaan pengelasan juga menghasilkan radiasi sinar tergantung pada pada temperature tertentu. 3. Pelindung Muka (Face Shield)

Pelindung muka digunakan untuk melindungi seluruh muka terhadap kebakaran kulit sebagai akibat dari cahaya busur, percikan dan lainnya, yang tidak dapat dilindung hanya dengan pelindung mata


(59)

saja. Bentuk dari pelindung muka bermacam-macam, dapat berbentuk helm las (helmet welding) dan kedok las (handshield welding).

4. Pakaian Kerja dan Pelindung Dada (Apron)

Pakaian kerja yang digunakan waktu pengelasan berfungsi untuk melindungi anggota badan dari bahaya-bahaya waktu pengelasan. Sedangkan bagian dada merupakan bagian yang sangat peka terhadap pengaruh panas dan sinar yang tajam. Sinar dari las listrik termasuk sinar yang sangat tajam. Pelindung dada dipakai setelah baju las.

Pakaian kerja khusus untuk pekerja dengan sumber-sumber berbahaya tertentu seperti :

a. Tahan radiasi panas : Pakaian kerja untuk radiasi panas harus dilapisi bahan yang merefleksikan panas biasanya aluminium dan berkilap, sedangkan pakaian kerja untuk panas konveksi terbuat dari katun yang mudah menyerap keringat serta longgar.

b. Tahan radiasi mengion : Pakaian harus dilengkapi dengan timbal dan biasanya berupa apron.

c. Tahan cairan dan bahan-bahan kimiawi : Pakaian kerja terbuat dari plastik atau karet.

5. Sarung Tangan (Safety Glove)

Pekerjaan pengelasan selalu berhadapan dengan benda-benda panas dan arus listrik. Untuk melindung jari-jari tangan dan kulit dari benda panas dan sengatan listrik dingin, radiasi elektromagnetik, dan


(60)

radiasi mengion, bahan kimia, benturan dan pukulan, luka, lecet dan infeksi, maka tukang las harus memakai sarung tangan yang tahan panas dan bersifat isolasi terhadap listrik. Menurut bentuknya alat pelindung tangan dan jari dapat dibedakan menjadi:

a. Sarung tangan (gloves).

b.Mitten : sarungan tangan dengan ibu jari terpisah sedang jari lain menjadi satu.

c. Hand pad : melindungi telapak tangan.

d.Sleeve : untuk pergelangan tangan sampai lengan, biasanya digabung dengan sarung tangan.

Bahan untuk sarung tangan bermacam-macam bahannya, sesuai dengan fungsinya :

a. Bahan asbes, katun, wool untuk panas dan api. b.Bahan kulit untuk panas, listrik, luka dan lecet.

c. Bahan karet alam atau sintetik untuk kelembaban air dan bahan kimia.

d.Bahan PVC (Poli Vinil Chloride) untuk zat kimia, asam kuat dan oksidator.

6. Sepatu Kerja (Safety Shoes)

Fungsi dari sepatu kerja yaitu untuk melindungi kaki dan kulit dari benda-benda tajam, kejatuhan benda-benda tajam dan percikan cairan logam serta goresan-goresan benda-benda tajam. Syarat dari sepatu kerja yaitu kuat dan tahan api, tinggi dengan ujung sepatu dari baja dan bahan dari kulit.


(61)

Safety shoes yang digunakan harus disesuaikan dengan jenis risikonya seperti :

a.Untuk melindungi jari-jari kaki terhadap benturan dan tertimpa benda-benda keras, safety shoes dilengkapi dengan penutup jari dari baja atau campuran baja dengan karbon.

b.Untuk mencegah tergelincir dipakai sol anti slip luar dari karet alam atau sintetik dengan bermotif timbul (permukaan kasar). c. Untuk mencegah tusukan dari benda-benda runcing, sol dilapisi

dengan logam.

d.Terhadap bahaya listrik, sepatu seluruhnya harus dijahit atau direkat, tidak boleh menggunakan paku.

Untuk pekerja yang bekerja dengan mesin-mesin berputar tidak diperkenankan menggunakan sepatu yang menggunakan tali.

B. APD Pengelasan Tambahan

1. Kacamata Bening (Safety Spectacles)

Kacamata ini mempunyai lensa yang terbuat dari gelas atau plastik yang tahan terhadap benturan, dengan atau tanpa pelindung samping. Kacamata bening dipakai pada waktu membersihkan terak, karena terak sangat rapuh dan keras pada waktu dingin.

2. Pelindung Telinga (Hearing Protection)

Alat pelindung telinga digunakan untuk melindungi telinga dari kebisingan pada waktu menggerinda, meluruskan benda kerja, persiapan pengelasan dan lain sebagainya yang dapat merusak telinga.


(62)

3. Alat Pelindung Hidung (Respirator)

Alat pelindung hidung (Masker dan respirator) digunakan untuk melindungi saluran pernapasan dari pernapasan secara inhalasi terhadap sumber-sumber bahaya di udara pada tempat kerja seperti kekurangan oksigen, pencemaran oleh partikel (debu, kabut, asap dan uap logam), pencemaran oleh gas atau uap sehingga tidak terjadi penyakit akibat kerja (PAK).

Berdasarkan jenisnya masker dibagi menjadi 2 yaitu masker debu dan masker karbon:

a. Masker debu : Melindungi dari debu phylon, buffing, grinding, serutan kayu dan debu lain yang tidak terlalu beracun. Masker debu tidak dapat melindungi dari uap kimia, asap cerobong dan asap dari pengelasan.

b.Masker karbon : Melindungi dari bahan kimia yang daya toxicnya rendah yang memiliki absorben dari karbon aktif.

Respirator berdasarkan jenisnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu: a. Respirator untuk memurnikan udara : Respirator yang bersifat

memurnikan udara dibagi menjadi 3 jenis, yaitu respirator yang mengandung bahan kimia, respirator dengan filter mekanik, respirator yang mempunyai filter mekanik dan bahan kimia.


(63)

b.Respirator untuk supply udara : Supply udaranya berasal dari saluran udara bersih atau kompresor, alat pernapasan yang mengandung udara (self contained breathing apparatus).

2.6. Kerangka Teori

Berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dibagi atas faktor lingkungan dan individu. Menurut Lawrence Green dalam Arianto (2010) faktor yang berhubungan dengan pemakaian APD adalah faktor individu berupa pengetahuan, pelatihan dan faktor lingkungan berupa pengawasan dan kebijakan. Sedangkan menurut teori Social Cognitive dalam Purwanto (2009), faktor yang berhubungan dengan perilaku pemakaian APD adalah faktor individu berupa pengetahuan, kemampuan, motivasi, intelegensia, komunuikasi, pelatihan, pengambilan keputusan dan faktor lingkungan berupa perlengkapan,

peralatan, SOP, House Keeping. Menurut Sya’af (2008), faktor yang

berhubungan dengan pemakaian APD adalah faktor individu berupa pengetahuan, pelatihan, sikap, motivasi, komunikasi dan faktor lingkungan berupa ketersediaan fasilitas, pengawasan, hukuman dan penghargaan.


(64)

Kerangka Teori Menurut Lawrence Green

Gambar 2.3 Bagan Kerangka Teori Sumber:

Lawrence Green dalam Arianto (2010), teori Social Cognitive dalam Purwanto

(2009), Sya’af (2008).

Faktor Predisposing - Pengetahuan - Pelatihan - Kemampuan - Motivasi - Intelegensia - Komunuikasi - Pengambilan

keputusan - Sikap

-Faktor Enabling - Perlengkapan - Peralatan - House Keeping.

Perilaku Penggunaan Alat

Pelindung Diri (APD)

Faktor Reinforcing - Pengawasan - Kebijakan - SOP

- Hukuman dan Penghargaan


(1)

Crosstab

Pakai_APD

Total Memakai APD

Tidak Memakai APD

Komunikasi Baik Count 15 13 28

% within Komunikasi 53.6% 46.4% 100.0%

Kurang Baik Count 9 9 18

% within Komunikasi 50.0% 50.0% 100.0%

Total Count 24 22 46

% within Komunikasi 52.2% 47.8% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square .056a 1 .813

Continuity Correctionb .000 1 1.000 Likelihood Ratio .056 1 .813

Fisher's Exact Test 1.000 .526

Linear-by-Linear Association .055 1 .815 N of Valid Casesb 46

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,61. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Komunikasi

(Baik / Kurang Baik) 1.154 .353 3.776 For cohort Pakai_APD =

Memakai APD 1.071 .602 1.907 For cohort Pakai_APD =

Tidak Memakai APD .929 .505 1.708 N of Valid Cases 46


(2)

Sedia_APD * Pakai_APD

Crosstab

Pakai_APD

Total Memakai APD

Tidak Memakai APD

Sedia_APD Lengkap Count 15 9 24

% within Sedia_APD 62.5% 37.5% 100.0%

Tidak Lengkap Count 9 13 22

% within Sedia_APD 40.9% 59.1% 100.0%

Total Count 24 22 46

% within Sedia_APD 52.2% 47.8% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 2.144a 1 .143

Continuity Correctionb 1.366 1 .242 Likelihood Ratio 2.160 1 .142

Fisher's Exact Test .237 .121

Linear-by-Linear Association 2.098 1 .148 N of Valid Casesb 46

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,52. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Sedia_APD

(Lengkap / Tidak Lengkap) 2.407 .736 7.877 For cohort Pakai_APD =


(3)

For cohort Pakai_APD =

Tidak Memakai APD .635 .340 1.183 N of Valid Cases 46

Pengawasan * Pakai_APD

Crosstab

Pakai_APD

Total Memakai APD

Tidak Memakai APD

Pengawasan Ada Count 13 4 17

% within Pengawasan 76.5% 23.5% 100.0%

Tidak Ada Count 11 18 29

% within Pengawasan 37.9% 62.1% 100.0%

Total Count 24 22 46

% within Pengawasan 52.2% 47.8% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 6.379a 1 .012

Continuity Correctionb 4.928 1 .026 Likelihood Ratio 6.636 1 .010

Fisher's Exact Test .016 .012

Linear-by-Linear Association 6.241 1 .012 N of Valid Casesb 46

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,13. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Pengawasan


(4)

For cohort Pakai_APD =

Memakai APD 2.016 1.181 3.442 For cohort Pakai_APD =

Tidak Memakai APD .379 .154 .935 N of Valid Cases 46

Hukuman * Pakai_APD

Crosstab

Pakai_APD

Total Memakai APD

Tidak Memakai APD

Hukuman Ada Count 17 7 24

% within Hukuman 70.8% 29.2% 100.0%

Tidak Ada Count 7 15 22

% within Hukuman 31.8% 68.2% 100.0%

Total Count 24 22 46

% within Hukuman 52.2% 47.8% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 7.002a 1 .008

Continuity Correctionb 5.526 1 .019 Likelihood Ratio 7.186 1 .007

Fisher's Exact Test .017 .009

Linear-by-Linear Association 6.850 1 .009 N of Valid Casesb 46

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,52. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate


(5)

Lower Upper Odds Ratio for Hukuman

(Ada / Tidak Ada) 5.204 1.481 18.289 For cohort Pakai_APD =

Memakai APD 2.226 1.147 4.322 For cohort Pakai_APD =

Tidak Memakai APD .428 .215 .849 N of Valid Cases 46

Penghargaan * Pakai_APD

Crosstab

Pakai_APD

Total Memakai APD

Tidak Memakai APD

Penghargaan Ada Count 17 7 24

% within Penghargaan 70.8% 29.2% 100.0%

Tidak Ada Count 7 15 22

% within Penghargaan 31.8% 68.2% 100.0%

Total Count 24 22 46

% within Penghargaan 52.2% 47.8% 100.0% Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 7.002a 1 .008

Continuity Correctionb 5.526 1 .019 Likelihood Ratio 7.186 1 .007

Fisher's Exact Test .017 .009

Linear-by-Linear Association 6.850 1 .009 N of Valid Casesb 46

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,52. b. Computed only for a 2x2 table


(6)

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Penghargaan

(Ada / Tidak Ada) 5.204 1.481 18.289 For cohort Pakai_APD =

Memakai APD 2.226 1.147 4.322 For cohort Pakai_APD =

Tidak Memakai APD .428 .215 .849 N of Valid Cases 46


Dokumen yang terkait

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan kerja pada pekerja penjahit sektor usaha informal i wilayah Ketapang Cipondoh Tangerang tahun 2009

2 13 167

Gambaran Faktor-Faktor Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Pekerja di Departemen Metalforming PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2014

1 12 100

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMAKAIAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PADA PEKERJA BAGIAN PRODUKSI DI PT. LEMBAH KARET PADANGTAHUN 2014.

1 11 10

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Karyawan Di Bagian Pengolahan PTPN 2 Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2017

0 0 18

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Karyawan Di Bagian Pengolahan PTPN 2 Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2017

0 0 2

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Karyawan Di Bagian Pengolahan PTPN 2 Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2017

0 0 7

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Karyawan Di Bagian Pengolahan PTPN 2 Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2017

0 0 42

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Karyawan Di Bagian Pengolahan PTPN 2 Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2017

1 6 4

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Karyawan Di Bagian Pengolahan PTPN 2 Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2017

0 0 40

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRAKTIK PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) PADA PEKERJA PENGELASAN INFORMAL

0 3 11