Analisa Hukum Atas Kedudukan Kreditur Lain Dalam Upaya Hukum Kasasi Pada Perkara Kepailitan (Studi Terhadap Tiga Putusan Mahkamah Agung) Chapter III V

63

BAB III
KEDUDUKAN KREDITUR LAIN DALAM MENGAJUKAN UPAYA HUKUM
PADA PERKARA KEPAILITAN

A. Asas Lex Spesialis Derogat Legi Generalis Dalam Hukum Kepailitan
Dalam ilmu hukum terdapat suatu asas peraturan perundang-undangan yang penting
yang dikenal dengan asas lex spesialis derogat legi generalis. Secara sederhana asas
tersebut mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengenyampingkan
aturan hukum yang umum. 132 Aturan yang khusus itu merupakan hukum yang berlaku
terhadap peristiwa-peristiwa konkrit yang diatur dalam aturan khusus tersebut dan memiliki
kekuatan hukum mengikat untuk diterapkan sehingga mengenyampingkan aturan hukum
yang umum.

1. Hukum Kepailitan Sebagai Lex Spesialis Berhadapan Dengan Hukum
Perdata Sebagai Lex Generalis
Pada dasarnya tanggung jawab debitur atas segala perikatan yang telah
disepakatinya dengan kreditur telah diatur dalam hukum perdata yaitu dalam KUHPerdata,
HIR dan RBg. 133 KUHPerdata berperan sebagai hukum materiil yang mengatur norma-


132

Letezia Tobing, Mengenai Asas Lex Spesialis Derogat Legi Generalis, www.hukumonline.com,
Kamis 29 November 2012, diakses tanggal 11 Juni 2016
133
Kartini Muljadi, kepailitan dan Penyelesaian Utang-Piutang, Jakarta 13 Agustus 1998, Ibid., hal.
168

Universitas Sumatera Utara

64

norma umum tentang segala perikatan yang melahirkan hubungan hukum utang-piutang
antara debitur dan kreditur. Sedangkan HIR dan RBg berperan sebagai hukum formil untuk
menegakkan aturan hukum dalam KUHPerdata tersebut. Akan tetapi, aturan-aturan tersebut
tidak mengatur dengan jelas cara penyelesaian yang adil apabila harta kekayaan debitur
merupakan jaminan utang secara bersama untuk lebih dari satu kreditur. Oleh karena itu,
hukum perlu membuat rumusan yang lebih jelas dan terperinci melalui hukum kepailitan.
Hukum kepailitan ini dasar umumnya adalah KUHPerdata, khususnya Pasal 1131
dan Pasal 1132 KUHPerdata.134 Kedua pasal tersebut mengisyaratkan bahwa hukum

menghendaki adanya jaminan kepastian hukum terhadap perlindungan hak-hak kreditur dan
paksaan bagi debitur untuk melunasi utang-utangnya. Namun sifat paksaan terhadap debitur
ini tetap harus memperhatikan asas keadilan. Itulah sebabnya ketentuan tentang kepailitan
dirumuskan secara tersendiri untuk mengatur cara-cara penyelesaian masalah utang-piutang
yang adil antara debitur dengan semua krediturnya. Kepastian hukum terhadap
perlindungan hak-hak kreditur yang diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata
tidak boleh sampai mengorbankan kepentingan dari debitur dan juga pihak lainnya yang
terlibat, seperti kreditur lain. Sebagaimana konsep keadilan yang disampaikan oleh John
Rawls bahwa keadilan tidak boleh mengorbankan hak sebagian kecil orang demi hak orang
banyak. 135

134
135

Andriani Nurdin, Op. Cit., hal. 143
John Rawls, Loc. Cit

Universitas Sumatera Utara

65


Hukum kepailitan pada dasarnya memiliki dua fungsi, yaitu :136
a. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa debitur
tidak akan berbuat curang dan tetap bertanggungjawab atas semua utang-utangnya
kepada semua krediturnya
b. Kepailitan juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan
eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya
Hukum kepailitan merupakan peraturan khusus dari hukum perdata yang mengatur
cara pembagian hasil penjualan harta kekayaan debitur agar sesuai dengan tata urutan dan
prioritas pelunasan masing-masing piutang para kreditur serta menentukan oleh siapa
pembagian itu dilakukan.137 Hukum kepailitan adalah realisasi dari dua asas pokok yang
terdapat dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata.138 Hukum kepailitan adalah aturan
hukum yang dibuat untuk melindungi kepentingan hak-hak perorangan atau hak-hak
keperdataan seseorang dalam lapangan hukum kebendaan dan perikatan yang merupakan
bagian dari hukum perdata.139 Oleh karena itu, hukum kepailitan berkedudukan sebagai lex
spesialis berhadapan dengan hukum perdata sebagai lex generalis.
Dalam pelaksanaan asas lex spesialis derogat legi generalis ada beberapa prinsip
yang harus diperhatikan agar tidak terjadi disharmonisasi peraturan perundang-undangan.
Aturan-aturan yang terkandung dalam hukum kepailitan harus memperhatikan prinsip-


136

Rahayu Hartini, Op. Cit., hal. 74
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 8
138
Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, Op. Cit., hal. 20
139
Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan,
(Bandung : Mandar Maju, 1999), hal. 11
137

Universitas Sumatera Utara

66

prinsip tersebut agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Prinsip-prinsip tersebut
adalah :140
a. Ketentuan dalam aturan hukum umum tetap berlaku kecuali yang diatur khusus
dalam aturan hukum khusus tersebut

b. Ketentuan lex spesialis harus sederajat dengan ketentuan lex generalis
c. Ketentuan lex spesialis harus berada dalam lingkungan hukum yang sama dengan
lex generalis
Berdasarkan uraian sebelumnya maka hukum kepailitan tidak melanggar prinsipprinsip tersebut. Hukum kepailitan berada dalam lingkungan hukum yang sama dengan
hukum perdata yaitu dalam lingkungan hukum kebendaan dan hukum perikatan. Aturan
hukum kepailitan juga sederajat dengan hukum perdata. Ketentuan hukum umum yang
diatur dalam hukum perdata tetap berlaku dalam hukum kepailitan, seperti dalam hal
pembagian kreditur sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU,
penjabaran dari kreditur-kreditur yang diatur merupakan kreditur-kreditur yang juga diatur
dalam KUHperdata.
Kreditur konkuren yang terdapat dalam hukum kepailitan merupakan penjabaran
dari kreditur yang diatur dalam Pasal 1132 KUHperdata. Kreditur preferen merupakan
penjabaran dari Pasal 1134 KUHPerdata. Kreditur separatis merupakan penjabaran dari
pemegang hak jaminan gadai yang diatur dalam Pasal 1150-1160 Bab XX KUHPerdata dan
pemegang hak jaminan hipotek yang diatur dalam Pasal 1162-1232 Bab XXI KUHPerdata.

140

A.A.
Oka

Mahendra,
Harmonisasi
Peraturan
Perundang-Undangan,
www.ditjenpp.kemenkumham.go.id, Kamis 1 April 2010, diakses tanggal 11 Juni 2016

Universitas Sumatera Utara

67

Kreditur separatis juga merupakan penjabaran dari pemegang hak tanggungan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang merupakan
peraturan pengganti dari ketentuan hipotek atas tanah dan benda-benda yang melekat di
atasnya yang sebelumnya diatur dalam KUHPerdata dan jaminan hak fidusia yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Hak Fidusia.
Hukum kepailitan juga tetap melindungi hak-hak istimewa yang dimiliki oleh
kreditur preferen dan kreditur separatis. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 55 ayat 1
UUKPKPU yang menyebutkan bahwa kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek atau jaminan hak lainnya dapat mengeksekusi haknya seolah-olah
tidak terjadi kepailitan. Namun hak eksekusi terhadap benda-benda dengan hak jaminan

tersebut diberi kekhususan dalam pelaksanaanya. Kreditur separatis tidak dapat langsung
menggunakan hak eksekusinya melainkan ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama
sembilan puluh hari sejak tanggal pernyataan pailit diucapkan. 141
Aturan yang terkandung dalam hukum kepailitan secara prinsip tidak menimbulkan
disharmonisasi peraturan perundang-undangan. Namun ada hal-hal khusus yang terdapat
dalam hukum kepailitan, salah satunya adalah syarat adanya dua atau lebih kreditur.
Lembaga kepailitan merupakan usaha bersama dari para kreditur untuk melakukan
penyitaan umum terhadap harta debitur. 142 Maka dalam perkara kepailitan terdapat
ketentuan syarat yaitu debitur harus mempunyai dua atau lebih kreditur. 143 Utang-piutang

141

Pasal 56 ayat 1 UUKPKPU
Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi II, Op. Cit., hal. 22
143
Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU menyebutkan bahwa syarat dan putusan pailit adalah debitur yang
mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak melunasi sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
142

Universitas Sumatera Utara


68

yang terjadi diantara debitur dengan satu kreditur saja tidak dapat diselesaikan melalui
kepailitan, melainkan secara perdata ke pengadilan negeri, karena hasil bersih dari eksekusi
kekayaan debitur sudah pasti merupakan sumber pelunasan bagi kreditur satu-satunya
tersebut sehingga tidak diperlukan lembaga kepailitan untuk mengatur pembagian hasil
eksekusinya. 144
Ketentuan khusus lainnya adalah mengenai syarat adanya utang. Dalam konsep
kepailitan adanya utang haruslah dapat dibuktikan secara sederhana mengenai fakta telah
terjadi adanya utang yang telah jatuh tempo dan tidak dibayar.145 Utang dalam kepailitan
mengharuskan sudah terbukti adanya hak untuk menagih. Hak untuk menagih tersebut
timbul karena debitur memiliki kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu yang
telah jatuh tempo kepada kreditur, baik yang timbul karena perikatan maupun karena
undang-undang.146 Apabila hak kreditur untuk menagih masih harus dicari kebenaran dasar
hukumnya, maka hak untuk menagih utang tersebut tidak dapat diselesaikan melalui
lembaga kepailitan melainkan harus dibuktikan terlebih dahulu secara perdata ke
pengadilan negeri.

ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas

permohonan satu atau lebih krediturnya.
144
Kartini Muljadi, Pengertian Dan Prinsip-Prinsip Umum Hukum Kepailitan, Jakarta 12 April
2000, Dalam Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.
Cit., hal. 75
145
Penjelasan Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU menyebutkan bahwa fakta atau keadaan yang terbukti
secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan fakta utang yang telah jatuh wkatu dan tidak
dibayar, sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit
tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit
146
Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU menyebutkan bahwa syarat dan putusan pailit adalah debitur
mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih krediturnya

Universitas Sumatera Utara

69


Pengadilan yang menangani perkara kepailitan juga telah diatur secara khusus
melalui pengadilan niaga. Pengadilan niaga ini dibentuk pada masa berlakunya UUK.
Sedangkan pada masa peraturan kepailitan masih menggunakan FV, pengadilan yang
berwenang memeriksa dan memutus perkara kepailitan adalah pengadilan negeri. Dengan
adanya ketentuan penyelesaian perkara kepailitan melalui pengadilan niaga maka
penyelesaian perkara kepailitan melalui pengadilan negeri tidak lagi berlaku.147
Pembentukan pengadilan niaga ini jika dikaitkan dengan prinsip yang harus
diperhatikan dalam penerapan asas lex spesialis derogat legi generalis tidak menimbulkan
disharmonisasi dengan aturan peradilan yang sudah berlaku. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU
Kekuasaan Kehakiman) yang berlaku pada saat itu, telah diatur pada penjelasan Pasal 10
ayat (1) bahwa terhadap empat lingkungan peradilan yang dikenal di Indonesia, yaitu
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara tidak
ditutup kemungkinan adanya pengkhususan dalam masing-masing lingkungan peradilan.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan
Umum) yang merupakan undang-undang tentang peradilan umum yang berlaku pada saat
itu juga menyebutkan bahwa dalam lingkungan peradilan umum dapat diadakan
pengkhususan yang diatur dengan undang-undang.
Dalam UUKPKPU juga terkandung asas integrasi yang memiliki makna bahwa
sistem hukum formil dan hukum materiil dari peraturan kepailitan tersebut merupakan satu


147

Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia (1998), (Bandung
: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 13

Universitas Sumatera Utara

70

kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata.148 Oleh karena itu,
hukum acara yang berlaku pada pengadilan niaga adalah hukum acara perdata yang diatur
dalam HIR dan RBg.149 Namun hukum acara memiliki ketentuan-ketentuan khusus pada
perkara kepailitan di pengadilan niaga. 150
Ketentuan khusus tersebut diperlukan untuk menciptakan kepastian hukum dalam
penyelesaian masalah utang-piutang melalui lembaga kepailitan. Sehingga penyelesaian
masalah utang-piutang melalui lembaga kepailitan memenuhi substansi hukum yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat akan penyelesaian perkara yang cepat, efektif, efisien dan
adil. Sebagaimana dikemukakan oleh Jan M. Otto bahwa ''kepastian hukum dapat dicapai
jika substansi hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakat''.151
Salah satu ketentuan khusus dalam beracara pada perkara kepailitan adalah adanya
kerangka waktu yang mengatur batas waktu dalam pemeriksaan perkara kepailitan.
Kerangka waktu tersebut tidak diatur dalam hukum acara perdata pada pengadilan negeri.
Kerangka waktu pemeriksaan dan putusan atas permohonan pernyataan pailit mulai dari
tingkat pengadilan niaga sampai kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung telah
diatur secara jelas, sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Tujuannya adalah
untuk menjamin kepastian hukum terhadap penyelesaian perkara utang-piutang yang cepat
dan efektif yang terjadi antara debitur dan para kreditur.

148

Penjelasan UUKPKPU
Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, Op. Cit., hal. 79
150
Aco Nur, Op. Cit., hal. 163
151
Sulaeman Jaluli, Loc. Cit

149

Universitas Sumatera Utara

71

Selain itu, hukum acara pada pengadilan niaga juga memiliki ketentuan khusus
lainnya, yaitu :152
a. Acara perdata di pengadilan niaga berlaku dengan tulisan atau surat, berlainan dengan
acara yang berlaku di pengadilan negeri yaitu acara lisan dengan pemeriksaan perkara
pada pokoknya berjalan dengan tanya-jawab dengan lisan dihadapan hakim
b. Para pihak yang berperkara pada perkara kepailitan harus didampingi oleh ahli hukum
sedangkan pada sistem HIR tidak diwajibkan untuk didampingi oleh ahli hukum
c. Tidak tersedianya upaya hukum banding melainkan langsung upaya hukum kasasi
setelah putusan pengadilan tingkat pertama
d. Sepanjang menyangkut kreditur, yang dapat mengajukan upaya hukum kasasi tidak
hanya kreditur pada persidangan tingkat pertama tapi juga juga dapat diajukan oleh
kreditur lain yang bukan pihak pada persidangan tingkat pertama
Ketentuan khusus terakhir dalam beracara pada perkara kepailitan yaitu mengenai
upaya hukum kasasi yang dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan para pihak pada
persidangan tingkat pertama. Hal ini merupakan ketentuan baru dalam mekanisme beracara
di pengadilan. Dalam hukum acara perdata, umumnya pihak lain diluar para pihak yang
berperkara pada persidangan tingkat pertama dapat melakukan upaya hukum melalui
derden verzet atau perlawanan. Perlawanan diajukan ke pengadilan tingkat pertama yang
telah memberikan putusan. Sehingga perlawanan pihak lain tersebut tidak dapat diajukan ke
tingkat kasasi di Mahkamah Agung tanpa terlebih dahulu melalui proses persidangan di
tingkat pengadilan pertama dan banding.
Kreditur lain dapat langsung menggunakan upaya hukum kasasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU meskipun kedudukan kreditur lain dalam perkara
kepailitan bukan pihak pada persidangan tingkat pertama. Ketentuan tersebut menunjukkan
kekhususan dari hukum kepailitan yang menjamin bahwa semua pihak dalam perkara
152

Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hal. 11-14

Universitas Sumatera Utara

72

kepailitan mendapatkan kesempatan yang sama untuk membela kepentingannya guna
memperoleh keadilan. Dalam perkara kepailitan, kreditur lain yang bukan merupakan pihak
pada persidangan tingkat pertama tidak dibedakan dengan para pihak yang berperkara pada
persidangan tingkat pertama.
Pihak-pihak yang memiliki kepentingan atas harta kekayaan debitur tidak hanya
debitur dan kreditur pemohon pailit tetapi juga kreditur lain. Apabila upaya hukum yang
dapat digunakan oleh kreditur lain sama dengan upaya hukum pihak ketiga yang diatur
dalam hukum acara perdata, maka upaya hukum tersebut akan berseberangan dengan tujuan
dari hukum kepailitan yaitu dapat menciptakan penyelesaian perkara kepailitan yang cepat,
efisien dan adil.
Hal tersebut juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses
penyelesaian masalah utang-piutang antara debitur dengan para krediturnya karena harus
melalui proses penyelesaian perkara yang diulang kembali melalui pengadilan tingkat
pertama. Sehingga para pihak pada persidangan tingkat pertama dan kreditur lain tidak
dapat segera mendapatkan keputusan yang berkekuatan hukum tetap atas masalah utangpiutang yang terjadi. Padahal pihak-pihak tersebut membutuhkan penyelesaian masalah
utang-piutang yang cepat, efektif dan adil agar tidak semakin memperburuk kondisi
keuangan debitur sehingga debitur mampu keluar dari masalah kesulitan keuangannya dan
dapat segera melunasi utang-utangnya.
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka kedudukan hukum kepailitan sebagai lex
spesialis berhadapan dengan hukum perdata sebagai lex generalis yang telah melahirkan
ketentuan-ketentuan khusus dalam penyelesaian perkara utang-piutang antara debitur

Universitas Sumatera Utara

73

dengan para krediturnya telah sesuai dengan teori keadilan yang diutarakan oleh John
Rawls. Bagi John Rawls, konsep keadilan harus dapat menjamin bahwa setiap orang
mendapatkan keadilan yang sama. 153
Pada perkara kepailitan terdapat kekhususan yaitu kreditur lain dapat langsung
mengajukan upaya hukum kasasi tanpa melalui perlawanan ke pengadilan tingkat pertama
yang telah memutus perkara. Kekhususan ini sesuai dengan konsep keadilan John Rawls.
Jhon Rawls berpendapat bahwa demi keadilan perbedaan itu dapat diterima. 154 Ketentuan
khusus dalam hukum kepailitan yang mengatur bahwa kreditur lain dapat langsung
menggunakan upaya hukum kasasi merupakan bentuk perbedaan demi memberi keadilan
yang sama bagi kedudukan kreditur lain dengan para pihak yang berperkara pada
persidangan tingkat pertama.
Ketentuan khusus dalam hukum kepailitan juga telah sesuai dengan teori kepastian
hukum. Sebagaimana pendapat dari Gustav Radbruch yang mengemukakan bahwa
kepastian hukum berhubungan dengan hukum yang dirumuskan dengan jelas. 155 Hal
tersebut dapat dilihat dengan adanya syarat-syarat dalam mengajukan kepailitan yaitu
adanya dua atau lebih kreditur lain dan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih. Kedua syarat tersebut merupakan aturan yang jelas dalam hukum kepailitan untuk
dapat membedakan perkara utang-piutang yang merupakan ranah hukum kepailitan dengan
perkara utang-piutang yang merupakan ranah hukum perdata, sehingga tidak menimbulkan
kekeliruan dalam pemaknaan dan mudah untuk dilaksanakan. Dan juga adanya aturan
153

John Rawls, Loc. Cit
Jhon Rawls, Loc. Cit
155
Sulaeman Jaluli, Loc. Cit
154

Universitas Sumatera Utara

74

khusus tentang kerangka waktu dalam proses beracara pada perkara kepailitan, sehingga
menjamin kepastian hukum dari penyelesaian perkara yang cepat, efisien dan adil
sebagaimana yang dibutuhkan oleh masyarakat.

2. Latar Belakang Kreditur Lain Mengajukan Upaya Hukum
Pada hakikatnya hukum kepailitan adalah sarana untuk menghindari perebutan oleh
kreditur terhadap harta kekayaan debitur, setelah debitur tidak lagi mampu untuk membayar
utang-utangnya.156 Kata tidak lagi mampu untuk membayar utang-utangnya ini
mengandung makna bahwa kondisi keuangan debitur menunjukkan aktiva lebih kecil
daripada passiva. Dengan kata lain keuangan debitur memiliki nilai keekonomian yang
negatif yaitu suatu kondisi yang menunjukkan bahwa debitur tidak lagi memiliki
pendapatan yang cukup untuk menutupi biaya operasional usaha.157 Sehingga debitur
berada dalam keadaan tidak solven atau insolven yang mengandung arti bahwa
fundamental usaha debitur sudah tidak bagus dan total utang debitur juga jauh melebihi
nilai pasar asetnya.158 Maka debitur dan kreditur membutuhkan penyelesaian yang adil
melalui lembaga kepailitan.
Di Indonesia, aturan insolvensi dalam peraturan perundang-undangan tentang
kepailitan telah beberapa kali mengalami perubahan. Awalnya keadaan insolvensi debitur
pernah diatur dalam peraturan kepailitan Indonesia yaitu pada FV. FV mengatur bahwa
debitur insolven adalah debitur yang tidak mampu membayar dan berhenti membayar
156

Hadi Subhan, Op. Cit., hal. 30
Andriani Nurdin, Op. Cit., hal.125
158
Sentosa Sembiring, Op. Cit., hal. 11
157

Universitas Sumatera Utara

75

utang-utangnya kepada kreditur, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) FV yang
berbunyi :
''Setiap debitur (pihak yang berutang) yang tidak mampu membayar utang-utangnya
yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang-utangnya tersebut,
baik atas permintaannya sendiri maupun atas permintaan seorang kreditur (orang
yang berpiutang) atau beberapa orang krediturnya, dapat diadakan putusan oleh
hakim yang menyatakan bahwa debitur yang bersangkutan dalam keadaan pailit.''
Oleh karena itu, pada masa FV masalah utang-piutang yang dapat diselesaikan
melalui kepailitan hanya apabila debitur dalam keadaan insolven. Namun bunyi Pasal 1
ayat (1) FV tersebut kemudian mengalami perubahan seiring dengan berlakunya UUK.
Pada UUK, ketentuan tentang keadaan debitur yang tidak mampu membayar utang telah
dihapus, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) UUK yang berbunyi :
'' Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan pengadilan yang berwenang baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permintaan seorang atau lebih krediturnya.''
Ketentuan tersebut juga berlaku pada UUKPKPU yang merupakan undang-undang
kepailitan yang saat ini berlaku. UUKPKPU tetap menghapus ketentuan debitur yang tidak
mampu membayar utang sehingga debitur dapat lebih mudah untuk dimohonkan
pernyataan pailit karena syaratnya cukup dengan debitur tidak membayar lunas satu utang
saja kepada satu kreditur dan memiliki dua atau lebih kreditur. 159 UUKPKPU tidak
mengatur syarat bahwa keuangan debitur harus telah dalam keadaan berhenti membayar
utang-utangnya karena debitur dalam keadaan insolven. Berdasarkan ketentuan tersebut
maka UUKPKPU tidak dapat menjamin bahwa kepailitan hanya akan digunakan untuk
159

Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU

Universitas Sumatera Utara

76

debitur insolven karena terbuka kemungkinan perusahaan yang masih solven juga dapat
dipailitkan.160
UUKPKPU mengatur bahwa debitur mulai dinyatakan insolven hanya apabila
dalam rapat pencocokan piutang kreditur tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana
perdamaian yang ditawarkan ditolak atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.161 Keadaan insolvensi yang diatur dalam
UUKPKPU tersebut tidak didasarkan kepada suatu test yang akurat melainkan hanya
berdasarkan pada tidak adanya kesepakatan damai antara debitur dengan beberapa kreditur
yang mengharapkan kepailitan debitur. Padahal pengukuran keadaan insolvensi yang
banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan sekurang-kurangnya mencakup parameter
pengujian terhadap industry risk, management risk, financial flexibility, credibility,
competitiveness, operating risk, common business performance analysis parameter, firm
default parameter, reorganition parameter, pricing, differentiation parameter, marketing
parameter, delivery parameters dan productivity.162 Maka seharusnya keadaan insolvensi
debitur ditentukan secara objektif dan independen berdasarkan financial audit atau
financial due diligence yang dilakukan oleh suatu kantor akuntan publik yang
independen. 163
Insolvensi terhadap keadaan keuangan debitur tidak cukup hanya dengan
bersandarkan pada hal-hal yang diatur dalam Pasal 178 ayat (1) UUKPKPU. Apalagi
160

Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 40
Pasal 178 ayat (1) UUKPKPU
162
Martin A. An Analysis On Qualitative Banckruptcy Prediction Rules Using Ant-Miner I.J
Intelligent System And Application, Online Journal, Modern Education And Computer Science Press, 2014,
hal. 36-38, Dalam Bambang Pratama, Op. Cit., hal. 161
163
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 40
161

Universitas Sumatera Utara

77

perkara kepailitan yang terjadi saat ini telah melibatkan perusahaan-perusahaan besar yang
memiliki aset besar dengan jumlah karyawan yang besar. Perkara kepailitan juga terkait
dengan permasalahan yang cukup rumit yang berkaitan dengan hukum perusahaan, hukum
pasar modal dan hukum jaminan. 164 Sehingga pernyataan pailit terhadap debitur yang tidak
berdasarkan pada keadaan insolvensi debitur dapat menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak
lainnya yang bergantung pada kelangsungan usaha debitur.
Sutan Remy Syahdeini berpendapat bahwa seorang debitur berada dalam keadaan
insolven apabila keuangan debitur tidak mampu untuk membayar utang-utang kepada
sebagian besar krediturnya. 165 Dengan kata lain, debitur tidak dapat dikatakan insolven
apabila tidak membayar utang hanya kepada satu kreditur atau beberapa kreditur dengan
jumlah utang yang lebih kecil daripada total keseluruhan utang debitur. Keadaan debitur
yang tidak mampu membayar utang-utangnya harus diartikan bahwa debitur tidak mampu
membayar utang-utangnya kepada mayoritas kreditur yang menguasai sebagian besar utang
debitur. Ukuran mayoritas utang debitur tersebut bisa lebih dari 50% dari jumlah utang
debitur , 2/3 atau 3/4 dari jumlah utang debitur kepada para krediturnya.166
Ketentuan insolvensi berdasarkan ketidakmampuan debitur membayar mayoritas
utang tersebut juga tidak diatur dalam UUKPKPU. UUKPKPU tidak melarang pengajuan
permohonan pailit oleh kreditur yang memiliki tagihan dengan porsi sangat kecil
dibandingkan keseluruhan utang debitur asalkan terbukti secara sederhana debitur memiliki
utang yang telah jatuh tempo, dapat ditagih dan ada dua atau lebih kreditur lain. Bahkan
164

Sunarmi, Prinsip Kesimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia Edisi 2, Op. Cit., hal. 320
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 39
166
Sutan Remy Sjahdeiny, Ibid., hal. 42

165

Universitas Sumatera Utara

78

debitur juga dapat mengajukan permohonan pailit atas dirinya tanpa adanya keharusan
untuk meminta persetujuan dari mayoritas kreditur.167
Oleh karena itu, debitur yang masih solven seharusnya tidak diberi kemungkinan
untuk diajukan permohonan pailit ke pengadilan niaga tetapi harus diajukan gugatan biasa
ke pengadilan perdata biasa.168 Putusan pailit yang diberikan kepada debitur atas
permohonan kreditur yang memiliki piutang kecil atau atas permohonan debitur itu sendiri
tanpa persetujuan kreditur mayoritas dapat menimbulkan kerugian terhadap kepentingan
pihak lainnya, seperti bank yang berkedudukan sebagai kreditur lain. Bagi bank, kepailitan
debiturnya merupakan kehilangan salah satu potensi penyaluran kredit dan fasilitas-fasilitas
lainnya. 169 Apalagi keuntungan usaha bank berasal dari kontraprestasi atas fasilitas kredit
yang diberikannya kepada debitur yang berupa bunga kredit. 170
Oleh karena itu, bank keberatan untuk mempailitkan debitur yang hanya memiliki
kendala pembayaran utang terhadap sebagian kreditur dengan nilai utang lebih kecil dari
keseluruhan total utang debitur, apalagi usaha yang dimiliki debitur masih dapat untuk
diselamatkan atau disehatkan kembali karena memiliki nilai usaha yang prospektif. Bank
akan lebih memilih untuk melakukan restructuring, rescheduling atau reconditioning

167

Ibid., hal. 42-43
Ibid., hal. 63
169
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 memberikan definisi bank sebagai badan usaha yang memiliki
kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, menyalurkan dana kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan bentuk-bentuk di bidang jasa keuangan lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak
170
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hal.
266
168

Universitas Sumatera Utara

79

fasilitas pinjaman dalam penyelesaian masalah utang-piutangnya.171 Putusan pailit terhadap
debitur juga dapat mengakibatkan perusahaan debitur kehilangan kepercayaan dan
kesulitan untuk menjalin hubungan bisnis baru.

172

Putusan pailit juga akan mengubah

status hukum debitur menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. 173 Kepailitan
debitur akan menyebabkan usaha debitur mengalami potensial loss yaitu kehilangan
pelanggan dan proyek-proyek baru.174 Keadaan ini justru akan memperburuk kondisi
keuangan debitur dan akan mengakibatkan debitur mengalami kesulitan untuk memperbaiki
dan mengembangkan usahanya. Sehingga debitur menjadi kesulitan untuk mengembalikan
utang-utangnya dengan wajar.
Keadaan-keadaan tersebut yang menjadi latar belakang kreditur lain menolak
kepailitan debitur dan mengajukan upaya hukum kasasi. Putusan kepailitan debitur yang
tidak didasarkan pada keadaan insolvensi debitur dan persetujuan mayoritas kreditur telah
mengorbankan kepentingan kreditur lain. Padahal hukum kepailitan seharusnya juga
melindungi kepentingan kreditur lain karena hukum kepailitan memiliki tujuan untuk
memberikan keadilan yang seimbang bagi semua pihak yang terlibat dalam perkara
kepailitan. Namun aturan penyelesaian perkara kepailitan hanya berdasarkan telah terbukti

171

Harry Rachmadi, Dampak Likuidasi Bank dan Implikasi Perpu Kepailitan Terhadap Dunia
Perbankan, Dalam Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
Op. Cit., hal. 509
172
Pande Radja Silalahi, Dampak Perpu Kepailitan Terhadap Dunia Usaha, Jakarta 30 April 1998,
Dalam Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op. Cit.,
hal. 206
173
Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan bahwa subjek hukum yang tidak cakap untuk membuat
perbuatan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan adalah orang-orang yang belum dewasa dan orangorang yang berada dibawah pengampuan atau curatele
174
Sunarmi, Kepailitan Edisi II, Op. Cit., hal. 25

Universitas Sumatera Utara

80

adanya utang serta adanya dua atau lebih kreditur lain. 175 Sehingga debitur solven dan
debitur yang memiliki usaha prosfektif dapat dinyatakan pailit.
Ketentuan tersebut tidak sesuai dengan teori keadilan yang disampaikan oleh John
Rawls. Bagi John Rawls, konsep keadilan harus dapat menjamin bahwa setiap orang
mendapat keadilan yang sama. 176 Maka seharusnya jaminan kepastian hukum terhadap
perlindungan kepentingan pihak pemohon pailit tidak boleh sampai mengorbankan hak
kreditur lain. Jika aturan kepailitan memberikan celah timbulnya ketidakadilan bagi pihak
lain, dalam hal ini kreditur lain, maka aturan kepailitan tersebut harus diperbaiki melalui
upaya hukum kasasi untuk menjamin keadilan yang sama bagi semua pihak seperti yang
dimaksudkan oleh John Rawls.

B. Kedudukan Kreditur Lain Dalam Perkara Kepailitan
Pada UUKPKPU ada ketentuan baru mengenai pihak yang dapat mengajukan upaya
hukum kasasi. Hal ini diatur pada Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, Pasal tersebut menjelaskan bahwa upaya hukum kasasi selain dapat
diajukan oleh debitur atau kreditur yang merupakan para pihak pada persidangan tingkat
pertama, juga dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada
persidangan tingkat pertama.

175
176

Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU
John Rawls, Loc. Cit

Universitas Sumatera Utara

81

1. Pengertian Kreditur Lain
Para pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak pemohon pailit dan
pihak termohon pailit. Pihak pemohon pailit adalah pihak yang mengambil inisiatif untuk
mengajukan permohonan pailit ke pengadilan. Dalam perkara perdata pihak pemohon ini
dikenal sebagai pihak penggugat.177
Pihak pemohon tersebut diatur dalam Pasal 2 UUKPKPU. Pasal tersebut
menjelaskan bahwa pihak yang dapat menjadi pemohon dalam perkara kepailitan adalah
salah satu dari :
a.
b.
c.
d.
e.

Debitur itu sendiri
Salah satu dari dua atau lebih kreditur
Kejaksaan jika menyangkut kepentingan umum
Bank Indonesia jika debiturnya adalah bank
Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya adalah perusahaan efek, bursa efek,
lembaga kliring dan penjaminan serta lembaga penyimpanan dan penyelesaian
f. Menteri Keuangan jika debiturnya adalah perusahaan asuransi, reasuransi, dana
pension, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik
Selanjutnya Pasal 149 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas (UU PT) menyebutkan bahwa likuidator perusahaan terbatas juga dapat
menjadi pihak pemohon dalam perkara kepailitan. Likuidator tersebut menjadi pemohon
pailit dalam hal likuidator telah memperkirakan bahwa utang perseroan lebih besar dari
kekayaan perseroan. Likuidator wajib mengajukan permohonan pailit kecuali undangundang menentukan lain atau semua kreditur sepakat memilih penyelesaian di luar jalur
kepailitan.

177

Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2014),

hal. 35

Universitas Sumatera Utara

82

Berdasarkan

ketentuan-ketentuan

tersebut

maka

pihak-pihak

yang

dapat

mengajukan permohonan kepailitan terhadap debitur kehadapan pengadilan niaga adalah
debitur itu sendiri atau krediturnya. Pasal 1 ayat (3) UUKPKPU menyebutkan bahwa
debitur adalah orang yang mempunyai utang yang dapat ditagih terhadap kreditur akibat
adanya perjanjian atau undang-undang. Sedangkan kreditur sebagaimana diatur dalam Pasal
1 ayat (2) UUKPKPU adalah orang yang mempunyai piutang yang dapat ditagih terhadap
debitur akibat adanya perjanjian atau undang-undang.
Secara umum kreditur dalam perkara kepailitan terdiri dari kreditur konkuren,
separatis, preferen dan sindikasi. Hal ini disebutkan pada penjelasan Pasal 2 ayat (1)
UUKPKPU. Kreditur konkuren (unsecured creditor) adalah kreditur-kreditur yang
memiliki kedudukan sama dan harus berbagi secara proporsional (paripasu) atas penjualan
harta debitur.178 Kreditur konkuren ini adalah kreditur biasa yang tidak memiliki hak
istimewa dan tidak memegang hak jaminan kebendaan. Sehingga apabila terdapat kreditur
separatis dan preferen dalam perkara kepailitan maka pembagian atas pembayaran utang
debitur dapat diterima kreditur konkuren setelah dibagikan kepada kreditur separatis dan
preferen.
Kreditur separatis (secured creditor) adalah kreditur pemegang hak jaminan
kebendaan.179 Hak jaminan kebendaan tersebut dapat berupa hak jaminan benda bergerak
yang meliputi gadai dan fidusia serta hak jaminan benda tidak bergerak yang meliputi hak

178
179

Sentosa Sembiring, Op. Cit., hal. 18
Ibid

Universitas Sumatera Utara

83

tanggungan, fidusia rumah susun, hipotek kapal laut dan pesawat udara.180 Dengan adanya
hak jaminan kebendaan tersebut, tagihan kreditur separatis tidak termasuk dalam boedel
pailit. Oleh karena itu kreditur separatis dapat mengeksekusi hak mereka seolah-olah tidak
terjadi kepailitan.181 Sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU yang
menyebutkan bahwa :
''Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56,
Pasal 57 dan Pasal 58, setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi
haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan''
Selanjutnya, kreditur yang didahulukan dari kreditur lainnya untuk memperoleh
pelunasan utang debitur adalah kreditur preferen. 182 Kreditur preferen mendapat hak
istimewa yang diberikan oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 dan
1149 KUHPerdata. Namun kedudukan kreditur preferen tidak lebih tinggi dari pada
kedudukan kreditur separatis sebagaimana diatur dalam Pasal 1134 KUHPerdata. Pasal
1134 KUHPerdata mengatur bahwa kreditur pemegang hak jaminan harus didahulukan
daripada kreditur pemegang hak istimewa dalam hal memperoleh pelunasan dari hasil
penjualan harta kekayaan debitur jika tidak dengan tegas ditentukan lain oleh undangundang.
Dalam hukum kepailitan juga dikenal yang namanya kreditur sindikasi. Kreditur
sindikasi terjadi dalam keadaan debitur menerima bantuan pinjaman dari sekelompok
180

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), hal. 8-9
J. Djohansjah, Kreditur Preferen Dan Separatis Serta Tentang Penjaminan Utang, Makalah
disampaikan pada lokakarya terbatas ''Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan'' Selasa dan Rabu, 11-12
Juni 2002, (Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum, 2003), hal. 58
182
Ibid
181

Universitas Sumatera Utara

84

kreditur yang membuat secured agreement. 183 Pada UUK, jika terdapat kreditur sindikasi
maka yang dapat mengajukan permohonan kepailitan terhadap debitur ke pengadilan hanya
salah satu kreditur yang ditunjuk menjadi agen dari kreditur lainnya. Namun dengan adanya
UUKPKPU jika terdapat kreditur sindikasi maka masing-masing anggota yang tergabung
dalam kreditur sindikasi dapat mengajukan permohonan kepailitan terhadap debitur ke
pengadilan. 184
Dalam perkara kepailitan, kreditur-kreditur sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas dapat berkedudukan sebagai kreditur pemohon pailit dan juga dapat berkedudukan
sebagai kreditur lain, yaitu kreditur yang bukan merupakan kreditur yang mengajukan
permohonan pailit. Kreditur lain dalam perkara kepailitan berperan untuk memenuhi
ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa syarat yang
harus dipenuhi dalam mengajukan permohonan pailit yaitu adanya utang yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih serta adanya dua atau lebih kreditur lain. Maka dalam hal tersebut,
kreditur lain merupakan unsur dari syarat-syarat mengajukan permohonan pailit yang harus
dipenuhi oleh pihak pemohon pailit.
Kreditur lain merupakan kreditur yang memiliki kedudukan yang sangat penting
dalam perkara kepailitan. Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU menyebutkan bahwa permohonan
pailit hanya dapat dikabulkan apabila terbukti secara sederhana telah terpenuhi ketentuan
Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa permohonan pailit

183
184

A. Hakim Garuda Nuusantara, Kewenangan Kreditur Sindikasi, Ibid, hal. 39
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU

Universitas Sumatera Utara

85

yang diajukan oleh pemohon pailit baik yang diajukan oleh debitur itu sendiri maupun
krediturnya tidak dapat dikabulkan oleh hakim apabila hanya terdapat satu kreditur dan
tidak terdapat kreditur lain. Adanya kreditur lain merupakan inti dari penyelesaian masalah
utang-piutang melalui lembaga kepailitan. Apabila tidak ada kreditur lain sehingga hanya
ada satu kreditur maka penyelesaian masalah utang-piutang tidak memerlukan lembaga
kepailitan. Penyelesaian utang-piutang melalui kepailitan berbentuk sitaan umum yaitu
penyelesaian yang akan menyita seluruh harta kekayaan debitur untuk dibagi-bagikan
kepada para krediturnya dengan adil sesuai dengan porsinya masing-masing.
Dalam perkembangan perkara kepailitan, adakalanya kreditur lain tidak sejalan
dengan tujuan pemohon pailit dan menolak kepailitan debitur. Umumnya, alasan kreditur
lain keberatan dengan kepailitan debitur karena usaha debitur masih memiliki potensi untuk
berkembang. Tingkat kemampuan debitur dalam mengembalikan utang-utangnya akan
lebih baik apabila usahanya tetap berjalan. Dengan demikian kreditur lain lebih memilih
untuk mempertahankan kelangsungan usaha debitur daripada mempailitkan debitur.

2. Kedudukan Kreditur Lain Dalam Mengajukan Upaya Hukum Dalam Perkara
Kepailitan
Peraturan kepailitan di Indonesia telah beberapa kali mengalami perbaikan.
Perbaikan tersebut bertujuan agar peraturan kepailitan dapat memenuhi kebutuhan dunia
usaha dalam menyelesaian masalah utang-piutang dengan cepat, efektif dan adil. Akhirnya
lahirlah UKPKPU, peraturan terbaru tentang kepailitan yang memiliki cakupan aturan lebih

Universitas Sumatera Utara

86

luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun proses penyelesaian utangpiutang.185
Ketentuan khusus dari UUKPKPU yang diatur dalam Pasal 11 ayat (3) merupakan
salah satu bentuk konkrit dari perbaikan yang dilakukan dalam peraturan kepailitan di
Indonesia. Apalagi UUKPKPU merupakan peraturan kepailitan yang menjunjung asas
keseimbangan dan asas keadilan. Asas keseimbangan dalam UUKPKPU memiliki tujuan
agar ketentuan yang terdapat dalam UUKPKPU di satu pihak dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur dan di lain
pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan
lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik.186 Asas keadilan dalam
UUKPKPU bertujuan agar ketentuan dalam UUKPKU dapat memenuhi rasa keadilan bagi
semua pihak yang berkepentingan dan dapat mencegah terjadinya kesewenang-wenangan
pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap
debitur dengan tidak mempedulikan kreditur lainnya.187
Oleh karena itu, dengan lahirnya UUKPKPU yang berlandaskan pada asas
keseimbangan dan keadilan diharapkan penyelesaian perkara utang-piutang melalui
lembaga kepailitan dapat memberikan manfaaat dan perlindungan yang adil bagi debitur
dan para krediturnya. Sehingga UUKPKPU dapat mencapai tiga tujuan hukum kepailitan,
yaitu :188
185

Rahayu Hartini, Op. Cit., hal. 70
Penjelasan UUKPKPU
187
Penjelasan UUKPKPU
188
Zulkarnain Sitompul, Pola Penyelesaian Utang Tantangan Bagi Pembaruan Undang-Undang
Kepailitan, Makalah disampaikan dalam lokakarya mengenai rancangan perubahan undang-undang
186

Universitas Sumatera Utara

87

a. Memberikan perlindungan kepada kreditur terhadap kreditur lainnya
b. Melindungi kreditur dari debitur yang tidak jujur
c. Melindungi debitur yang jujur dari para krediturnya
UUKPKPU telah berupaya untuk tidak hanya sebatas memberikan perlindungan
terhadap kepentingan mereka yang berperkara yaitu kreditur pemohon pailit dan debitur,
tetapi juga kepentingan kreditur lain. Hal ini diwujudkan dalam ketentuan upaya hukum
kasasi yang dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan para pihak pada persidangan
tingkat pertama. Ketentuan tersebut merupakan upaya UUKPKPU

memberikan

perlindungan hukum yang seimbang dan adil terhadap kepentingan kreditur lain atas
putusan permohonan kepailitan debitur yang diajukan pihak pemohon pailit.
Ketentuan upaya hukum kasasi oleh kreditur lain bertujuan untuk melindungi
kreditur lain dari kreditur pemohon pailit yang mempunyai piutang lebih kecil daripada
piutang kreditur lain.189 Hal ini juga bertujuan untuk melindungi kelangsungan usaha
debitur apabila aset debitur pailit jauh lebih besar dari nilai piutang kreditur pemohon pailit.
Oleh karena itu, kreditur lain dapat memohon kepada Hakim Mahkamah Agung melalui
upaya hukum kasasi agar putusan hakim pengadilan niaga yang telah mempailitkan debitur
tersebut dibatalkan. Pembatalan putusan pailit bertujuan untuk menghindari kerugian usaha
yang akan dialami debitur, karena kerugian yang akan dialami debitur juga akan berdampak
pada pelunasan utang-utang debitur kepada kreditur lain.

kepailitan, Medan 7 Desember 2001, kerjasama antara FH-UI, Pasca Sarjana USU dan University of South
Carolina, Dalam Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia, Op. Cit., hal. 401
189
Supriyono, Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara

88

Sehubungan dengan kedudukan kreditur lain dalam mengajukan upaya hukum
kasasi pada perkara kepailitan maka perlu diperhatikan ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata.
Pada prinsipnya Pasal 1132 KUHPerdata mengisyaratkan bahwa semua kreditur memiliki
hak yang sama atas harta kekayaan debitur. Harta kekayaan debitur adalah jaminan atas
utang debitur kepada semua krediturnya. Sehingga harta kekayaan debitur tidak dapat
dikuasai hanya oleh sebagian kreditur.
Sejalan dengan pemahaman atas ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata
tersebut maka dalam hukum kepailitan dikenal sebuah prinsip yang disebut dengan paritas
creditorium. 190 Prinsip paritas creditorium menentukan bahwa para kreditur baik separatis,
preferen maupun konkuren memiliki hak yang sama terhadap seluruh harta kekayaan
debitur. Apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU yang
mengharuskan adanya dua atau lebih kreditur lain dalam perkara kepailitan maka antara
dua atau lebih kreditur lain tersebut memiliki hak yang sama atas seluruh harta kekayaan
debitur. Dengan demikian, kedudukan antara kreditur pemohon pailit dengan kreditur lain
dalam hukum kepailitan adalah setara, karena pada dasarnya hukum kepailitan menganut
prinsip paritas creditorium.
Dalam perkara kepailitan pihak pemohon pailit tidak hanya kreditur tapi debitur
juga dapat mengajukan permohonan pailit atas dirinya sendiri. Sehingga kedudukan
kreditur lain terhadap debitur yang mengajukan permohonan pailit atas dirinya sendiri perlu
memperhatikan asas keseimbangan dan keadilan yang menjadi dasar dari UUKPKPU,
sebagaimana dituangkan dalam penjelasan UUKPKU.
190

Hadi Subhan, hal.27

Universitas Sumatera Utara

89

Kedua asas tersebut memiliki makna bahwa ketentuan tentang kepailitan dalam
UUKPKPU dibuat untuk memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak yang berkepentingan
secara seimbang, yaitu keseimbangan kepentingan antara debitur dengan dua atau lebih
kreditur lainnya. Maka pada satu sisi ketentuan dalam UUKPKPU dibuat untuk mencegah
penyalahgunaan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur. 191 Dengan demikian,
kedudukan kreditur lain dalam mengajukan upaya hukum kasasi terhadap kedudukan
debitur yang mengajukan pailit untuk dirinya sendiri juga adalah setara. Karena ketentuan
upaya hukum kasasi dapat diajukan oleh kreditur lain dapat mencegah penyalahgunaan
lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur.
Dengan demikian, kreditur lain memiliki kedudukan yang sama dengan pihak
pemohon pailit, baik kreditur pemohon pailit maupun debitur pemohon pailit atas dirinya
sendiri. Dengan adanya ketentuan upaya hukum kasasi ini, kreditur lain dapat membela dan
mempertahankan kepentingannya atas harta kekayaan debitur dihadapan pengadilan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU yang mengatakan bahwa kreditur
lain yang keberatan dengan putusan atas permohonan kepailitan debitur dapat mengajukan
keberatan melalui upaya hukum kasasi.
Kedudukan yang setara antara kreditur lain dan pihak pemohon pailit yaitu kreditur
pemohon pailit dan debitur pemohon pailit atas dirinya sendiri dalam ketentuan upaya
hukum kasasi oleh kreditur lain sesuai dengan konsep keadilan yang disampaikan oleh John
Rawls. Ketentuan upaya hukum kasasi yang dapat langsung digunakan oleh kreditur lain
dalam perkara kepailitan merupakan bentuk jaminan keadilan yang ingin diberikan oleh
191

Penjelasan UUKPKPU

Universitas Sumatera Utara

90

UUKPKPU kepada semua pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan meskipun kreditur
lain bukanlah para pihak pada persidangan tingkat pertama. Ketentuan tersebut akan
memberikan kesetaraan kesempatan bagi kreditur lain untuk memperoleh keadilan
meskipun kedudukannya dalam perkara kepailitan berbeda dengan pihak pemohon pailit,
yang mana pihak pemohon pailit berkedudukan sebagai para pihak pada persidangan
tingkat pertama dan kreditur bukan para pihak pada persidangan tingkat pertama.

Universitas Sumatera Utara

91

BAB IV
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG DALAM UPAYA HUKUM KASASI YANG
DIAJUKAN KREDITUR LAIN PADA PERKARA KEPAILITAN

Peraturan kepailitan dibentuk sebagai sarana untuk menjamin kepastian hukum
penyelesaian masalah utang-piutang yang adil antara debitur dengan para krediturnya.
Namun kepastian hukum atas tujuan tersebut dapat tercapai, bukan hanya dibutuhkan
ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan tetapi juga dibutuhkan perwujudan
dari peraturan hukum tersebut dalam praktik hukum, yaitu penegakan peraturan hukum
melalui lembaga peradilan.
Sejalan dengan teori keadilan yang disampaikan oleh John Rawls yaitu keadilan
berpedoman pada keadilan yang terdapat pada peraturan hukum dan lembaga
pelaksananya. 192 Maka hal yang sama juga berlaku bagi hukum kepailitan dalam memberi
keadilan bagi kreditur lain dalam mengajukan upaya hukum kasasi. Keadilan yang
seimbang bagi kedudukan kreditur lain dengan pihak pemohon pailit dalam perkara
kepailitan dapat tercapai dengan adanya aturan tentang upaya hukum kasasi yang dapat
diajukan oleh kreditur lain sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU dan
juga harus ada jaminan penegakan hukum dari lembaga pelaksananya yaitu lembaga
peradilan di tingkat pengadilan niaga dan Mahkamah Agung.

192

John Rawls, Loc.Cit.

Universitas Sumatera Utara

92

Pelaksanaan kepastian hukum atas tegaknya asas keadilan yang seimbang bagi
kreditur lain dalam mengajukan upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan akan dilihat
penerapannya dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 27K/N/1999, Putusan
Mahkamah Agung Nomor 075 K/Pdt.Sus/2007 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor
331K/Pdt.Sus/2012.

A. Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 27 K/N/1999
Kasus ini terjadi pada tahun 1999 antara Ssangyong Engineering Construction
(SEC) dengan PT. Citra Jimbaran Indah Hotel (CJIH). SEC adalah suatu badan hukum
yang didirikan dan tunduk pada hukum Negara Korea Selatan dengan kantor perwakilannya
berada di Gedung Bursa Efek Jakarta. CJIH adalah suatu badan hukum yang didirikan dan
tunduk pada hukum Negara Republik Indonesia yang beralamat di Kompleks Delta
Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta.
Hubungan hukum antara CJIH dan SEC berawal dari kesepakatan diantara mereka
dalam perjanjian konstruksi yang dibuat pada tanggal 28 Oktober 1991. Berdasarkan
perjanjian tersebut CJIH menunjuk SEC sebagai perusahaan konstruksi untuk
melaksanakan pembangunan sebuah hotel atau suatu komplek (resort) hotel di pulau Bali
yang dikenal dengan nama ''Bali Inter Continental Resort'' dan beralamat di Jalan Uluwatu
Nomor 45 Jimbaran, Bali. Proyek pembangunan hotel tersebut bernilai US$ 75,558,774.50
dan nilai tersebut sudah termasuk dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPn). Namun akhir dari
perjanjian konstruksi tersebut tidak berjalan mulus sehingga akhirnya SEC mengajukan

Universitas Sumatera Utara

93

permohonan pailit atas CJIH ke pengadilan niaga. Kreditur lain yang keberatan dengan
permohonan

Dokumen yang terkait

Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)

1 38 128

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Analisa Hukum Atas Kedudukan Kreditur Lain Dalam Upaya Hukum Kasasi Pada Perkara Kepailitan (Studi Terhadap Tiga Putusan Mahkamah Agung)

0 1 17

Analisa Hukum Atas Kedudukan Kreditur Lain Dalam Upaya Hukum Kasasi Pada Perkara Kepailitan (Studi Terhadap Tiga Putusan Mahkamah Agung)

0 0 2

Analisa Hukum Atas Kedudukan Kreditur Lain Dalam Upaya Hukum Kasasi Pada Perkara Kepailitan (Studi Terhadap Tiga Putusan Mahkamah Agung)

0 0 28

Analisa Hukum Atas Kedudukan Kreditur Lain Dalam Upaya Hukum Kasasi Pada Perkara Kepailitan (Studi Terhadap Tiga Putusan Mahkamah Agung)

0 0 34

Analisa Hukum Atas Kedudukan Kreditur Lain Dalam Upaya Hukum Kasasi Pada Perkara Kepailitan (Studi Terhadap Tiga Putusan Mahkamah Agung)

0 0 5

Analisa Hukum Atas Kedudukan Kreditur Lain Dalam Upaya Hukum Kasasi Pada Perkara Kepailitan (Studi Terhadap Tiga Putusan Mahkamah Agung)

0 0 83

ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN KASASI MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA INTERVENSI

0 7 16

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM UPAYA HUKUM KASASI ATAS PUTUSAN BEBAS PERKARA PIDANA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 18