Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)

(1)

HAK DAN KEWAJIBAN KURATOR PASCA PUTUSAN

PEMBATALAN PAILIT PADA TINGKAT KASASI

OLEH MAHKAMAH AGUNG (STUDI KASUS

KEPAILITAN PT. TELKOMSEL VS

PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA)

TESIS

OLEH:

SUKSES MARHASAK PANUNGKUNAN SIBURIAN 117005056 / HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HAK DAN KEWAJIBAN KURATOR PASCA PUTUSAN PEMBATALAN PAILIT PADA TINGKAT KASASI OLEH MAHKAMAH AGUNG (STUDI

KASUS KEPAILITAN PT. TELKOMSEL VS PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

SUKSES MARHASAK PANUNGKUNAN SIBURIAN 117005056/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

JUDUL TESIS : HAK DAN KEWAJIBAN KURATOR PASCA

PUTUSAN PEMBATALAN PAILIT PADA

TINGKAT KASASI OLEH MAHKAMAH AGUNG (STUDI KASUS KEPAILITAN PT. TELKOMSEL VS PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA)

NAMA : SUKSES MARHASAK PANUNGKUNAN SIBURIAN

NIM : 117005056

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof. Dr. Sunarmi, SH. M.Hum)

Pembimbing II Pembimbing III

(Dr. Utary Maharany Barus, SH. M.Hum)

(Dr. Jelly Leviza , SH. M.Hum)

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 21 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Sunarmi, SH. M.Hum

Anggota : 1. Dr. Utary Maharany Barus, SH. M.Hum 2. Dr. Jelly Leviza, SH. M.Hum

3. Dr. Hasim Purba , SH. M.Hum 4. Dr. Rosnidar Sembiring, SH. M.Hum


(5)

ABSTRAK

Sunarmi1

Utary Maharany Barus2 Jelly Leviza3

Sukses Marhasak Panungkunan Siburian4

Setelah kepailitan berakhir, maka kurator berhak memperoleh imbalan jasa di mana imbalan jasa tersebut ditetapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga maupun di tingkat kasasi. Sementara dalam putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap kasus PT. Telkomsel, MA tidak mengeluarkan penetapan imbalan jasa kurator, padahal seharusnya imbalan jasa kurator ditetapkan oleh majelis hakim MA. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan mengenai hak dan kewajiban kurator menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU), pengaturan tentang imbalan jasa kurator serta hak dan kewajiban kurator pasca putusan pembatalan pailit pada tingkat kasasi oleh mahkamah agung terhadap kasus PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika.

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif karena mengacu kepada bahan hukum yang berisi aturan-aturan/asas-asas dan bersifat deskriptif analitis yang menggambarkan dan menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban kurator pasca putusan pembatalan pailit pada tingkat kasasi oleh mahkamah agung terhadap kasus PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika.

Hasil dari penelitian ini yakni bahwa hak dan kewajiban kurator dengan jelas telah diatur di dalam UUKPKPU Pasal 69 ayat (1) yang isinya mengatur tugas kurator melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit sedangkan yang menjadi hak dari kurator adalah mendapatkan imbalan jasa melalui penetapan hakim. Selanjutnya imbalan jasa kurator menurut UUKPKPU dibebankan kepada pemohon pailit dan debitur pailit sedangkan menurut Kepmen Nomor : M.09-HT.05.10 Tahun 1998, ditetapkan oleh hakim dan dibebankan kepada debitor. Sementara dalam Permenkumham Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Imbalan jasa bagi kurator dan pengurus, imbalan jasa kurator dibebankan kepada pemohon pernyataan pailit. Terakhir bahwa Pasca putusan pembatalan pailit pada tingkat kasasi terhadap kasus PT.Telkomsel, maka kewajiban kurator adalah mengumumkan putusan kasasi tersebut dalam berita negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2(dua) surat kabar harian, sementara hak kurator menurut undang-undang yang seharusnya diberikan

1

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2

Dosen Pengajar pada Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

3

Dosen Pengajar pada Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

4

Mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.


(6)

melalui putusan hakim, namun kenyataannya hak kurator tersebut tidak termuat dalam putusan kasasi MA, selain itu dengan adanya putusan kasasi MA ini, maka keluarlah Permenkumham No.1 Tahun 2013 tentang Pedoman Imbalan Kurator dan Pengurus, sekaligus Uji Materiil terhadap Permenkumham No.1 Tahun 2013 tersebut khususnya Pasal 2 ayat 1 huruf c. Selanjutnya dengan adanya uji materil yang menyatakan Pasal 2 ayat 1 huruf c Permenkumham No.1Tahun 2013 tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka ketentuan mengenai imbalan jasa kurator tetap merujuk kepada Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3) UUKPKPU.


(7)

ABSTRACT

Sunarmi

Utary Maharany Barus Jelly Leviza

Sukses Marhasak Panungkunan Siburian

After bankruptcy ends, curator has the right to get compensation for his service which is stipulated by the panel of judges of the Commercial Court and in the cassation level. Meanwhile, the Ruling of the Supreme Court on the case of PT. Telkomsel, the Supreme Court does not specify the compensation for the curator, whereas it has stipulated by the panel of judges of the Supreme Court. The objective of the research was to answer the problems about the right and obligation of a curator, according to Law No. 37/2004 in Bankruptcy and the postponement of the Obligation to Pay Off Debt (UUKPKPU), the regulation on the compensation for a curator, and the right and obligation of a curator after the Ruling on the cancelation of bankruptcy in the cassation level by the Supreme Court on the case of PT. Telkomsel vs. PT. Prima Jaya Informatika was stipulated.

The research used judicial normative method which was referred to legal materials which consisted of principles and descriptive analytic approach which described and explained anything related to the right and obligation of a curator after the ruling on the cancellation of bankruptcy in the cassation level was stipulated by the Supreme Court on the case of PT. Telkomsel vs. PT. Prima Jaya Informatika.

The result of the research shows that the right and obligation of a curator is clearly stipulated in Article 69, paragraph 1 of UUKPKPU which regulates a curator’s task to manage and/or to settle bankruptcy property, while his right is to get compensation for his service through a judge’s verdict. According to UUKPKPU, the compensation for a curator’s service is charged to the petitioner and the debtor of the bankruptcy; but, according to Kepmen No. M.09-HT.05.10/1998, it is specified by a judge and charged to a debtor. According to Permenkumham No. 1/2013 on the Directive for the Compensation for the Service of a Curator and an Administrator, the compensation for a curator’s service is charged to the petitioner of the bankruptcy. After the ruling on the cancellation of bankruptcy in the cassation level on the case of PT. Telkomsel is specified, the obligation of the curator was to announce the ruling in the cassation in the news of the Republic of Indonesia, at least in two daily newspapers. Under the law, a curator’s right should be specified in a judge’s verdict; but, in reality it is not stipulated in the Supreme Court’s Ruling. Besides that, the Ruling of the cassation in the Supreme Court has caused the issuance of Permenkumham No. 1/2013 on the Directive for the Compensation for a Curator’s and Administrator’s Services and Judicial of Article 2, paragraph 1, point c of Permenhumkam No. 1/2013. By the judicial which states that Article 2, paragraph 1, point c of Permenhumkan No. 1/2013 is not valid and legally


(8)

enforceable, the provision on the compensation for a curator’s service is consistently referred to Article 17, paragraph 2 and paragraph 3 of UUKPKPU.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini berjudul “Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)”. Penulisan ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Tentunya penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., selaku ketua pembimbing, Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum., dan Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum selaku anggota pembimbing, yang telah banyak memberi bimbingan, masukan dan arahan dalam penyempurnaan dan penyelesaian tesis ini serta ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum., dan Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum selaku para anggota penguji yang telah memberikan arahan dan masukan untuk penulisan tesis ini.

Selanjutnya penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

3. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak dan Ibu Dosen Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Rekan–rekan mahasiswa/mahasiswi kelas reguler dan paralel pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya angkatan 2011 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini. Secara khusus penulis menyampaikan terimakasih yang sangat dalam kepada

orang tua (Ayah) penulis Dr. Panigoran Siburian M.Pd. dan Ibunda Rostauly br. Silalahi M.Pd., serta saudara kandung yang telah memberikan dukungan materil

dan moril sehingga penulis dapat menempuh pendidikan hingga ke jenjang Magister Ilmu Hukum.

Penulis menyadari sepenuhnya tesis ini masih jauh dari sempurna, tetapi penulis berharap tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama kalangan akademis dan praktisi hukum. Penulis hanya dapat berdoa bagi semua pihak atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada Penulis agar mendapat balasan/berkat yang setimpal dari Allah yang maha kuasa.

Penulis


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi

Nama : Sukses Marhasak Panungkunan Siburian Tempat, Tanggal Lahir : Lumban Barat, 28 Juli 1985

Jenis Kelamin : Laki Laki

Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat : Jl. Batang kuis gg.soponyono psr. VIII

Kec.Tanjung Morawa, Kab. Deli Serdang

II.Data Orang Tua

Nama Ayah : Dr. Panigoran Siburian M.Pd

Nama Ibu : Rostauly Silalahi M.Pd

Nama Saudara/saudari Kandung : E R Tetty Siburian, S.Pd Swandy M T Siburian. S.Pd Marnaike Siburian, S.Pd Juliana Siburian, S.Pd Silvia Siburian

Riwayat Pendidikan:

Formal

1991 – 1997 : SD Negeri 105855 Tanjung Morawa, di Kab. Deli serdang

1997 – 2000 : SLTP Swasta SANTO THOMAS 3 MEDAN, di

Medan

2000 - 2003 : SMU Negeri 1 Tanjung Morawa, di Kab. Deli Serdang


(12)

2004 - 2008 : Strata 1 (satu) pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara, di Medan

Non Formal

2010 : Pendidikan Khusus Profesi Advokat, di

O.C.Kaligis & Asociates, di Jakarta


(13)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi ... 15

1. Kerangka Teori... 15

2. Kerangka Konsepsi ... 20

G. Metode Penelitian ... 22

BAB II KURATOR DALAM HUKUM KEPAILITAN ... 26

A. Ketentuan Hukum Mengenai Kepailitan ... 26

B. Prosedur Permohonan Pailit ... 51

C. Ketentuan Tentang Kurator ... 60


(14)

BAB III KURATOR DALAM PENGURUSAN HARTA PAILIT ... 73

A. Imbalan Jasa Kurator Dalam Hukum Kepailitan ... 73

1. Menurut UUKPKPU ... 73

2. Imbalan Jasa Kurator Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : m.09-ht.05.10 Tahun 1998 Tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa bagi Kurator dan Pengurus ... 75

3.Imbalan Jasa Kurator Menurut Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus ... 82

B. Analisis Hukum Imbalan Jasa Kurator Berdasarkan UUKPKPU, Kepmen dan Permenkumham ... 87

BAB IV KEDUDUKAN KURATOR PASCA PUTUSAN PEMBATALAN PAILIT PADA TINGKAT KASASI OLEH MAHKAMAH AGUNG (STUDI KASUS PT. TELKOMSEL VS PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA) ... 92

A. Analisis Putusan No. 704 K/pdt.sus/2012 Tentang Pembatalan Pailit PT. Telkomsel Tingkat Kasasi ... 92

1. Deskripsi Kasus ... 92

2. Analisis Putusan ... 96

B. Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi (PT. Telkomsel) ... 100

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

A. Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 106


(15)

ABSTRAK

Sunarmi1

Utary Maharany Barus2 Jelly Leviza3

Sukses Marhasak Panungkunan Siburian4

Setelah kepailitan berakhir, maka kurator berhak memperoleh imbalan jasa di mana imbalan jasa tersebut ditetapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga maupun di tingkat kasasi. Sementara dalam putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap kasus PT. Telkomsel, MA tidak mengeluarkan penetapan imbalan jasa kurator, padahal seharusnya imbalan jasa kurator ditetapkan oleh majelis hakim MA. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan mengenai hak dan kewajiban kurator menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU), pengaturan tentang imbalan jasa kurator serta hak dan kewajiban kurator pasca putusan pembatalan pailit pada tingkat kasasi oleh mahkamah agung terhadap kasus PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika.

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif karena mengacu kepada bahan hukum yang berisi aturan-aturan/asas-asas dan bersifat deskriptif analitis yang menggambarkan dan menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban kurator pasca putusan pembatalan pailit pada tingkat kasasi oleh mahkamah agung terhadap kasus PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika.

Hasil dari penelitian ini yakni bahwa hak dan kewajiban kurator dengan jelas telah diatur di dalam UUKPKPU Pasal 69 ayat (1) yang isinya mengatur tugas kurator melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit sedangkan yang menjadi hak dari kurator adalah mendapatkan imbalan jasa melalui penetapan hakim. Selanjutnya imbalan jasa kurator menurut UUKPKPU dibebankan kepada pemohon pailit dan debitur pailit sedangkan menurut Kepmen Nomor : M.09-HT.05.10 Tahun 1998, ditetapkan oleh hakim dan dibebankan kepada debitor. Sementara dalam Permenkumham Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Imbalan jasa bagi kurator dan pengurus, imbalan jasa kurator dibebankan kepada pemohon pernyataan pailit. Terakhir bahwa Pasca putusan pembatalan pailit pada tingkat kasasi terhadap kasus PT.Telkomsel, maka kewajiban kurator adalah mengumumkan putusan kasasi tersebut dalam berita negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2(dua) surat kabar harian, sementara hak kurator menurut undang-undang yang seharusnya diberikan

1

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2

Dosen Pengajar pada Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

3

Dosen Pengajar pada Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

4

Mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.


(16)

melalui putusan hakim, namun kenyataannya hak kurator tersebut tidak termuat dalam putusan kasasi MA, selain itu dengan adanya putusan kasasi MA ini, maka keluarlah Permenkumham No.1 Tahun 2013 tentang Pedoman Imbalan Kurator dan Pengurus, sekaligus Uji Materiil terhadap Permenkumham No.1 Tahun 2013 tersebut khususnya Pasal 2 ayat 1 huruf c. Selanjutnya dengan adanya uji materil yang menyatakan Pasal 2 ayat 1 huruf c Permenkumham No.1Tahun 2013 tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka ketentuan mengenai imbalan jasa kurator tetap merujuk kepada Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3) UUKPKPU.


(17)

ABSTRACT

Sunarmi

Utary Maharany Barus Jelly Leviza

Sukses Marhasak Panungkunan Siburian

After bankruptcy ends, curator has the right to get compensation for his service which is stipulated by the panel of judges of the Commercial Court and in the cassation level. Meanwhile, the Ruling of the Supreme Court on the case of PT. Telkomsel, the Supreme Court does not specify the compensation for the curator, whereas it has stipulated by the panel of judges of the Supreme Court. The objective of the research was to answer the problems about the right and obligation of a curator, according to Law No. 37/2004 in Bankruptcy and the postponement of the Obligation to Pay Off Debt (UUKPKPU), the regulation on the compensation for a curator, and the right and obligation of a curator after the Ruling on the cancelation of bankruptcy in the cassation level by the Supreme Court on the case of PT. Telkomsel vs. PT. Prima Jaya Informatika was stipulated.

The research used judicial normative method which was referred to legal materials which consisted of principles and descriptive analytic approach which described and explained anything related to the right and obligation of a curator after the ruling on the cancellation of bankruptcy in the cassation level was stipulated by the Supreme Court on the case of PT. Telkomsel vs. PT. Prima Jaya Informatika.

The result of the research shows that the right and obligation of a curator is clearly stipulated in Article 69, paragraph 1 of UUKPKPU which regulates a curator’s task to manage and/or to settle bankruptcy property, while his right is to get compensation for his service through a judge’s verdict. According to UUKPKPU, the compensation for a curator’s service is charged to the petitioner and the debtor of the bankruptcy; but, according to Kepmen No. M.09-HT.05.10/1998, it is specified by a judge and charged to a debtor. According to Permenkumham No. 1/2013 on the Directive for the Compensation for the Service of a Curator and an Administrator, the compensation for a curator’s service is charged to the petitioner of the bankruptcy. After the ruling on the cancellation of bankruptcy in the cassation level on the case of PT. Telkomsel is specified, the obligation of the curator was to announce the ruling in the cassation in the news of the Republic of Indonesia, at least in two daily newspapers. Under the law, a curator’s right should be specified in a judge’s verdict; but, in reality it is not stipulated in the Supreme Court’s Ruling. Besides that, the Ruling of the cassation in the Supreme Court has caused the issuance of Permenkumham No. 1/2013 on the Directive for the Compensation for a Curator’s and Administrator’s Services and Judicial of Article 2, paragraph 1, point c of Permenhumkam No. 1/2013. By the judicial which states that Article 2, paragraph 1, point c of Permenhumkan No. 1/2013 is not valid and legally


(18)

enforceable, the provision on the compensation for a curator’s service is consistently referred to Article 17, paragraph 2 and paragraph 3 of UUKPKPU.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, sehingga debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para kreditornya.5

“ Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.

Pailit dapat dimohonkan dengan memenuhi persyaratan seperti yang dituangkan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat dengan UUKPKPU) yaitu:

Selanjutnya Pasal 2 Ayat (2) sampai dengan Ayat (5) UUKPKPU mengatur lebih lanjut prosedur permohonan pailit, yang menyatakan :

(2) permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.

(3) Dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

5

Andriani Nurdin. Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum. (Bandung: PT. Alumni. 2012), hal. 131.


(20)

(4) Dalam hal debitor adalah perusahaan efek, Bursa Efek, Lembaga Miring dan Penjamian, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan Pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.

(5) Dalam hal debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan Reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohoan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Putusan pernyataan pailit membawa akibat hukum terhadap debitor. Pasal 21 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) menentukan “kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan Pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.”

Ketentuan Pasal 21 di atas diketahui bahwa kepailitan merupakan sita umum. Dengan adanya sita umum ini hendak dihindarkan adanya sita perorangan. Pembentuk Undang-Undang memandang perlu untuk memungkinkan adanya eksekusi massal dengan cara melakukan sita umum atas seluruh harta kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditor yang bersangkutan yang dijalankan dengan pengawasan seorang hakim pengawas. Sita umum tersebut haruslah bersifat konservatoir yaitu bersifat penyimpanan bagi kepentingan semua kreditor yang bersangkutan.6

Akibat dari putusan pailit tersebut dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) menentukan debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai kekayaannya yang termasuk harta pailit, sejak hari putusan

6


(21)

pailit diucapkan. Harus dicermati bahwa dengan diputuskannya debitor pailit, bukan berarti debitor kehilangan hak keperdataannya (volkomen handelingsbevoegheid) untuk melakukan semua perbuatan hukum di bidang keperdataan. Debitor pailit hanya kehilangan hak keperdataannya untuk mengurus dan menguasai kekayaannya. Sementara itu, untuk melakukan perbuatan-perbuatan keperdataan lainnya – misalnya untuk melangsungkan pernikahan dirinya, mengawinkan anaknya sebagai wali, membuat perjanjian nikah, menerima hibah (sekalipun hibah tersebut demi hukum menjadi bagian harta pailit), mengurus harta kekayaan pihak lain, menjadi kuasa pihak lain untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama pemberi kuasa – debitor masih berwenang (masih memiliki kemampuan hukum) untuk melakukan perbuatan-perbuatan keperdataan tersebut. Dengan demikian, sejak putusan pernyataan pailit diucapkan hanya harta kekayaan debitor pailit yang berada di bawah pengampuan (di bawah penguasaan dan pengurusan) pihak lain, sedangkan debitor pailit itu sendiri tidak berada di bawah pengampuan seperti yang terjadi terhadap anak di bawah umur atau orang yang sakit jiwa yang dinyatakan berada di bawah pengampuan.7

Para kreditor harus bertindak secara bersama-sama (concursus creditorum) sesuai dengan asas dalam Pasal 1132 KUHPerdata.

8

7

Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan. (Jakarta: Grafiti. 2009), hal.190.

Perlu ditekankan bahwa tujuan

8

Pasal 1132 KUHPerdata menentukan Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama

bagi semua orang yang mengutangkan padanya. Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.


(22)

kepailitan itu adalah untuk membagi seluruh kekayaan debitor oleh kurator kepada semua kreditor dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing. Dengan terjadinya kepailitan berlakulah “general statutory attachment” atas seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan para kreditor. Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) khususnya tidak membicarakan persoalan mengenai apakah debitor dapat dimintai pertnggungjawaban atas kekayaan finansialnya. Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) berbicara secara netral tentang kepailitan menyangkut debitor yang berada dalam keadaan berhenti membayar.9

Terjadinya berbagai kemungkinan faktual dan yuridis yang akan timbul di dalam kegiatan khusus untuk mendapatkan barang-barang milik debitor di dalam kepailitan perlu dihindari. Kepailitan adalah sita umum atas barang-barang milik debitor untuk kepentingan kreditor secara bersama-sama.

10

Semua barang dieksekusi dan hasilnya dikurangi dengan biaya eksekusi dibagi-bagi di antara keditur dengan mengingat hak-hak istimewa yang diakui oleh undang-undang. Kekayaan yang dimaksudkan di sini adalah semua barang dan hak atas benda yang dapat diuangkan (ten gelde kunnen worden gemaakt).11

Putusan Pailit membawa akibat hukum terhadap seluruh harta kekayaan debitor. Kekayaan tersebut akan dikuasai oleh kurator. Kuratorlah yang akan

9

MR.J.B.Huizink, Insolventie, alih bahasa Linus Dolujawa (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2004), hal.1.

10

Ibid, hal.2.

11


(23)

mengurus dan membereskan seluruh harta pailit. Akibat dari putusan pailit membawa konsekuensi bahwa gugatan–gugatan hukum yang bersumber pada hak dan kewajiban harta kekayaan debitor pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator. Bila tuntutan diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitor pailit, maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan penghukuman debitor pailit, maka penghukuman itu tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap harta pailit.

Kurator bertugas untuk mengurus dan/atau membereskan harta pailit pasca putusan pernyataan pailit diucapkan.12 Kurator tersebut harus profesional yang memiliki keahlian khusus dalam melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit dan telah terdaftar pada Departemen Kehakiman sebagai Kurator.13 Persyaratan memiliki keahlian khusus tersebut terkait dengan risiko yang dihadapi kurator dalam melaksanakan tugasnya, dimana kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan tugas yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit. 14

12

Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

13

Pasal 70 ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Yang dimaksud keahlian khusus adalah mereka yang mengikuti dan lulus pendidikan kurator dan pengurus sedangkan yang dimaksud terdaftar adalah telah memenuhi syarat-syarat pendaftaran sesuai ketentuan yang berlaku dan anggota aktif organisasi profesi kurator dan pengurus.

14

Pasal 72 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(24)

Kurator diangkat oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga melalui putusan pernyataan pailit15 dan mulai bertugas sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.16

1. Tugas pengurusan harta pailit seperti:

Secara umum tugas atau kewajiban kurator adalah mengurus dan membereskan harta pailit, hal ini ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Tugas tersebut seperti :

a. Pengamanan harta pailit, khususnya harta pailit yang dengan mudah dapat dialihkan/disembunyikan oleh debitor pailit seperti perhiasan, uang maupun barang bergerak lainnya. Untuk mencegah debitor pailit mengalihkan harta pailit, maka kurator dapat melakukan penyegelan harta pailit. 17

15

Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

16

Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

17

Pengecualian harta pailit yang dapat disegel diatur dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang terdiri dari (a) benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu; (b) segala sesuatu yang diperoleh Debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau (c) uang yang diberikan kepada Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.


(25)

b. Pendataan harta pailit dan melakukan penilaian harta pailit untuk selanjutnya disusun dalam daftar harta pailit yang dapat dilihat oleh umum. 18

c. Pendataan piutang dan penyusunan daftar piutang, termasuk nama dan tempat tinggal kreditor serta jenis piutang.

19

2. Tugas pemberesan harta pailit yaitu dengan mencairkan atau menjual harta pailit untuk pelunasan hutang bagi kreditor. Penjualan harta pailit tersebut dilakukan dengan lelang atau penjualan di bawah tangan atas persetujuan hakim pengawas. Setelah harta pailit dijual, maka kurator membagi harta pailit sesuai dengan daftar piutang dengan memperhatikan nilai harta pailit, besar dan jenis kreditor, biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator.

Dalam tahapan ini, kurator harus memeriksa dengan cermat mengenai tagihan para kreditor apakah terdapat unsur penipuan atau konspirasi dengan debitor pailit. Apabila terdapat unsur penipuan atau konspirasi antara debitor pailit dengan kreditor yang mengajukan tagihan, maka kurator dapat mengajukan actio pauliana untuk membatalkan tindakan yang telah dilakukan oleh debitor pailit.

Berkaitan dengan tugas kurator tersebut di atas, terdapat beberapa hal tentang tugas kurator sebagaimana diatur oleh UU No.4 Tahun 1998 Tentang kepailitan dan

18

Jika dianggap perlu, kurator dapat menggunakan jasa penilai (appraisal) untuk menentukan nilai harta pailit. Biaya yang timbul untuk jasa penilai merupakan utang harta pailit.

19

Penggolongan jenis kreditor terkait dengan hak kreditor preferen untuk didahulukan, hak kreditor separatis terhadap barang yang dijaminkan dan hak kreditor konkuren. Sularto. Perlindungan


(26)

PKPU belum memberikan petunjuk tekhnis tentang pengurusan dan pemberesan harta pailit terutama terhadap kurator swasta. Permasalahan tersebut antara lain :20

1. Penunjukan kurator dan administrator;

2. UU No.4 Tahun 1998 hanya mengatur tugas dan kewenangan kurator setelah putusan pernyataan pailit. Tidak ada teknis administrasi di dalamnya.

3. UU No.4 Tahun 1998 belum memiliki suatu quidance atau standar bentuk dari isi dari laporan atau daftar yang telah ditentukan dalam peraturan pelaksana UU Kepailitan.

4. Pencacatan akuntansi.

5. Putusan kepailitan mengakibatkan berlakunya general statutory attachment atas harta kekayaan debitor untuk kepentingan para kreditor termasuk tentunya kepentingan pajak, karena utang pajak mempunyai preferensi dibandingkan dengan kreditor lainnya.

6. Efektivitas actio pauliana.

7. Penentuan fee kurator dan administrator yang belum jelas.

8. Nilai tukar untuk tagihan kreditor dalam mata uang asing sebab terjadinya fluktuasi dalam pertukaran nilai mata uang asing.

9. Tempat diselenggarakannya rapat kreditor yang tidak efektif dan terbatas. Proses kepailitan tidak harus berakhir dengan pemberesan harta pailit. UU Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa kepailitan dapat berakhir dengan beberapa macam cara, seperti:

1. Tercapainya Perdamaian

Dalam hal antara kreditor dengan debitor pailit telah sepakat melakukan perdamaian21

20

Sunarmi. Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia. (Medan: Softmedia. 2010). hal.391-393.

dengan cara membuat rencana penyelesaian atau pembagian harta pailit, maka kesepakatan rencana perdamaian tersebut perlu disahkan oleh Majelis

21

Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa hal yang harus diperhatikan untuk menilai kelayakan rencana perdamaian adalah (a) Debitor Pailit masih memiliki prospek usaha yang baik dan mampu melunasi utang; (b) pelunasan utang kreditor lebih besar daripada tidak dilakukan perdamaian; dan (c) syarat-syarat perdamaian lebih menguntungkan kreditor dan debitor daripada tidak dilakukannya perdamaian. Sutan Remy Sjahdeini. Op.Cit. hal. 380.


(27)

Hakim Pengadilan Niaga dalam sidang homologasi.22 Setelah putusan perdamaian tersebut telah disahkan dan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka kepailitan tidak perlu dilanjutkan dan kepailitan berakhir. 23

2. Pencabutan putusan pernyataan pailit oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga Dalam hal harta pailit tidak cukup membayar biaya kepailitan maka Hakim Pengawas dapat mengajukan usulan kepada Majelis Hakim Pengadilan Niaga untuk mencabut putusan pernyataan pailit. Pengadilan Niaga dapat mencabut putusan pernyataan pailit setelah mendengar pendapat dari panitia kreditor dan debitor pailit dalam sidang yang terbuka untuk umum. Kepailitan akan berakhir apabila Majelis Hakim Pengadilan Niaga memutuskan mencabut pernyataan pailit. 24

3. Pasca pemberesan harta pailit

Dalam hal kurator telah melakukan pemberesan harta pailit (termasuk penyusunan daftar piutang dan pembagian) dan melakukan pembayaran seluruh hutang kreditor ataupun setelah pembayaran daftar pembagian penutup, maka kepailitan tersebut demi hukum berakhir. 25

4. Pembatalan putusan pernyataan pailit di tingkat kasasi atau peninjauan kembali.

26

22

Pengadilan Niaga wajib menolak pengesahan perdamaian apabila harta debitor jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian, pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin dan perdamaian tercapai karena penipuan atau itikad tidak baik. Lihat Pasal 159 ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

23

Pasal 166 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

24

Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

25

Pasal 202 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

26

Pembatalan putusan pailit harus diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian dengan skala beredar nasional dan lokal di tempat domisili debitor merupakan bentuk azas transparansi dalam proses kepailitan yang bertujuan agar semua orang yang berurusan dengan kepailitan dapat mengetahui secara pasti proses kepailitan tersebut. Lilik Mulyadi. Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan


(28)

Putusan pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga berlaku secara serta merta sehingga sejak saat putusan pailit diucapkan status debitor sudah dalam keadaan pailit. Akan tetapi jika dalam tingkat kasasi atau peninjauan kembali putusan pailit itu dibatalkan, maka status kepailitan debitor berakhir pula. Dalam hal ini, seluruh perbuatan yang telah dilakukan kurator sebelum atau pada saat kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan dari Mahkamah Agung adalah sah. 27

Setelah kepailitan berakhir, maka kurator berhak memperoleh imbalan jasa kurator atas pekerjaan yang telah dilaksanakannya. 28 Imbalan jasa kurator ditetapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga pasca tercapainya perdamaian, pemberesan harta pailit maupun pencabutan putusan pernyataan pailit oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga.29

27

Pasal 16 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Hal tersebut berbeda apabila kepailitan berakhir karena pembatalan putusan pernyataan pailit di tingkat kasasi atau peninjauan kembali sesuai Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

28

Pedoman Imbalan Jasa Kurator diatur oleh Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.09-HT.05.10 Tahun 1998 yang kemudian dicabut oleh Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus sejak tanggal 11 Januari 2013. Walaupun sudah terdapat pedoman imbalan jasa kurator dengan menggunakan sistem prosentase sebagaimana diatur dalam Pedoman 1998 dan Pedoman 2013, namun dalam praktek ada beberapa putusan yang tidak menggunakan pedoman tersebut. Selain sistem prosentase, usulan imbalan jasa kurator menggunakan perhitungan sistem imbalan jam kerja (hourly fee). Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, Herni Sri Nurbayanti. Kepailitan di Negeri Pailit.(Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. 2004), hal. 111.

29

Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi “Majelis Hakim yang memerintahkan pencabutan pailit menetapkan jumlah biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator”.


(29)

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan “Majelis hakim yang membatalkan putusan pernyataan pailit juga menetapkan biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator”. Pasal 17 ayat (2) UUKPKPU tersebut menunjuk pada Mahkamah Agung yang membatalkan putusan pernyataan pailit.

Penetapan imbalan jasa kurator oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam hal putusan pailit dibatalkan oleh Mahkamah Agung juga terjadi dalam kepailitan Telkomsel. Telkomsel dinyatakan pailit berdasarkan permohonan PT. Prima Jaya Informatika oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat melalui putusan No 48/Pailit/2012/PN.Niaga.JKT.PST tertanggal 14 September 2012. Putusan tersebut juga mengangkat Feri S. Samad, S.H., M.H., Edino Girsang, S.H., dan Mokhamad Sadikin, S.H. sebagai kurator untuk melaksanakan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Tugas kurator tersebut berakhir sejak Mahkamah Agung mengeluarkan putusan kasasi No.704K/Pdt.Sus/2012 tertanggal 21 November 2012 yang pada intinya membatalkan putusan pernyataan pailit Telkomsel. Menindaklanjuti putusan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengeluarkan Penetapan No 48/Pailit/2012/PN. Niaga JKT.PST jo No.704K/Pdt.Sus/2012 tertanggal 31 Januari 2013 yang pada intinya menetapkan imbalan jasa kurator berdasarkan perhitungan 0,5% dikalikan total aset yang dimiliki Telkomsel yakni sekitar Rp 58,723 triliun sehingga imbalan jasa kurator sebesar Rp 293.616.135.000,- (dua ratus Sembilan puluh tiga miliyar enam ratus enam belas juta seratus tiga puluh lima ribu rupiah) yang dibebankan kepada Pemohon Pailit dan Debitor masing-masing setengah bagian. Penetapan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut juga


(30)

dinilai tidak sesuai dengan Pasal 17 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU yang pada intinya menyatakan bahwa pembebanan imbalan jasa kurator dalam hal pembatalan pailit ditentukan oleh Mahkamah Agung.

Penetapan imbalan jasa kurator tersebut tidak sesuai dengan Pasal 17 ayat (2) UUKPKPU yang menyatakan “Majelis hakim yang membatalkan putusan pernyataan pailit juga menetapkan biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator.” Sementara dalam putusan Mahkamah Agung terhadap kasus PT. Telkomsel tidak mengeluarkan penetapan imbalan jasa kurator, padahal seharusnya majelis hakim Mahkamah Agung yang memutus perkara kepailitan yang membatalkan putusan pailit PT. Telkomsel pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan imbalan jasa kurator. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian bagi stakeholder seperti debitor pailit, kreditor maupun kurator.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian mengenai hak dan kewajiban kurator pasca pembatalan putusan pailit PT Telkomsel oleh Mahkamah Agung.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hak dan kewajiban kurator menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) ?

2. Bagaimana pengaturan tentang imbalan jasa kurator menurut Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


(31)

(UUKPKPU), Keputusan Menteri Kehakiman dan menurut Peraturan Menteri Hukum dan HAM terkait dengan putusan Kasasi PT. Telkomsel versus (vs) PT. Prima Jaya Informatika?

3. Bagaimana hak dan kewajiban kurator pasca putusan pembatalan pailit pada tingkat kasasi oleh mahkamah agung terhadap kasus PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis hak dan kewajiban kurator menurut Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU). 2. Untuk menganalisis pengaturan imbalan jasa kurator menurut ketentuan

UUKPKPU, Keputusan Menteri Kehakiman dan menurut Peraturan Menteri Hukum dan HAM terkait dengan putusan Kasasi PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika.

3. Untuk Menganalisis hak dan kewajiban kurator pasca putusan pembatalan pailit pada tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung terhadap kasus PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah : 1. Manfaat secara teoritis


(32)

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memberikan manfaat untuk mengembangkan pemikiran di bidang hukum Kepailitan. 2. Manfaat secara praktis

Secara praktis tulisan ini dapat menjadi referensi pemikiran kepada aparat penegak hukum dalam hal ini hakim dan advokat, agar dapat menegakkan hukum dan keadilan bagi para pihak dalam sengketa Kepailitan, terlebih mengetahui pola pikir hakim dalam menjatuhkan putusan Kepailitan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dari penelusuran yang dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan sekolah Pasca sarjana, maka penelitian dengan judul “Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan pembatalan Pailit pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT.Telkomsel VS PT Prima Jaya Informatika)”, belum pernah diteliti sebelumnya. Namun ada beberapa penelitian yang mengangkat masalah terkait dengan kepailitan, namun permasalahan yang terdapat di dalam tesis tersebut tidak sama dengan permasalahan dalam tesis ini sehingga penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Permasalahan kepailitan yang terdapat dalam penelitian yang dimaksud tersebut adalah:

1. Halida Rahardini, tesis pada tahun 2002 dengan judul “Tanggung Jawab Direktur Dalam Hal Terjadi Kepailitan Perseroan Terbatas”, dimana


(33)

permasalahannya adalah mengenai; Kriteria untuk menentukan bahwa direktur telah melanggar prinsif fiduciary duty, Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kepailitan suatu perseroan terbatas, serta Tanggung jawab seorang direktur dalam hal terjadinya kepailitan terhadap perseroan yang dipimpinnya.

2. Atmawarni, tesis pada tahun 2003 dengan judul “Penyelesaian kredit macet melalui lembaga kepailitan (studi terhadap putusan pailit) permasalahannya adalah; Penyelesaian kredit macet di lembaga perbankan, Mekanisme penyelesaian kredit macet melalui lembaga kepailitan, serta Kendala-kendala yang dihadapi oleh bank dalam menggunakan lembaga kepailitan dalam penyelesaian kredit macet.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi 1. Kerangka Teori

Adanya perbedaan pandangan dari berbagai pihak terhadap suatu objek, akan melahirkan teori-teori yang berbeda, oleh karena itu dalam suatu penelitian termasuk penelitian hukum, pembatasan-pembatasan (kerangka) baik teori maupun konsepsi merupakan hal yang penting agar tidak terjebak dalam polemik yang tidak terarah. ”Pentingnya kerangka konsepsional dan landasan atau kerangka teoritis dalam penelitian hukum, seperti yang dikemukakan juga oleh Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, bahkan menurut mereka kedua kerangka tersebut merupakan


(34)

unsur yang sangat penting.30 “Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.31

Apabila ditinjau secara teoritis, lahirnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah sebagai konsekwensi dari keadaan krisis ekonomi dan moneter di Indonesia yang pada akhirnya juga menimbulkan krisis sosial dan politik akibat terjadinya euphoria reformasi segala bidang. Maka untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut, Pemerintah pun menerbitkan Undang-Undang ini menjadi suatu kaedah hukum positif dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.

”Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep”.32

30

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003), hal.7.

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah Teori Kepastian Hukum. Dalam Konteks aplikatif, kaedah hukum positif tidak dapat dipisahkan dengan penegakan hukum, karena kaedah hukum akan tampak ketika penegakan hukum tersebut terjadi. Fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah

31

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press.1986), hal. 6.

32


(35)

laku manusia sesuai dengan bingkai (frame-work) yang ditetapkan oleh suatu Undang-Undang atau hukum.33

Bila hal itu dikaitkan dengan pembangunan hukum, maka pendekatannya tidak sekadar pembaharuan aturan-aturan hukum. Pembangunan hukum bertujuan membentuk atau mewujudkan sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional (Legal system). Dalam pembangunan, pembaharuan atau pembinaan sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional harus diikuti oleh pembangunan, pembaharuan atau pembinaan substansi dari sistem hukumnya. Substansi dari sistem hukum itulah yang akan menentukan sejauh mana sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional mencerminkan Indonesia baru dan mampu melayani kebutuhan Indonesia baru. Dengan demikian dalam pembangunan sistem hukum nasional harus mencakup pembangunan bentuk dan isi dari peraturan perundang-undangan.

34

33

Calire Seltz et.,al:1977, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian

Hukum. (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).1986), hal. 9.

Bagaimana pembangunan, pembaharuan atau pembinaan bentuk dan isi dari peraturan perundang-undangan inilah yang menjadi substansi dari kebijakan legislatif. Kebijakan Legislatif atau kebijakan perundang-undangan adalah kebijakan politik dalam menyusun dan mewujudkan ide-ide para pembuat undang-undang (Legislator) dalam bentuk norma-norma baku yang terumus secara eksplisit dalam bentuk

34

Bagir Manan. Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), (Yogyakarta: FH UII Press. 2005), hal.157-158. Lihat juga pendapat Von Savigny yang dikutip Theo Huijbers, Filsafat Hukum

dalam Lintasan sejarah, (Yogyakarta: Kanisius.1990), hal.114., yang menyatakan, hukum adalah

pernyataan jiwa bangsa-Volgheist-karena pada dasarnya hukum tidak dibuat oleh manusia tetapi tumbuh dalam masyarakat, yang lahir, berkembang, dan lenyap dalam sejarah. Dalam pembentukan hukum perlu pula diperhatikan cita-cita bangsa dan nilai – nilai yang terdapat dalam bangsa tersebut.


(36)

peraturan perundang-undangan nasional, dengan berkekuatan sebagai apa yang dikatakan oleh Austin , “The Command of the Sovereign”.35

Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya

aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Terkait dengan hal ini, maka dalam hukum kepailitan khususnya menyangkut hak dan kewajiban kurator, perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh kurator ditentukan berdasarkan kewajiban yang ditetapkan melalui aturan hukum dalam hukum kepailitan dalam hal ini tertuang dalam UUKPKPU dan aturan pelaksanaannya yang dijelaskan dalam bab 2. Kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Berdasarkan pengaturan hukum yang bersifat umum tersebut, negara dalam hal ini melalui undang-undang tentang kepailitan memberikan kepastian hukum akan keamanan individu/kurator terhadap jasa dari kurator dalam pelaksanaan tugasnya terhadap pengurusan dan pemberesan harta pailit. Atas jasa kurator tersebut, maka kurator mendapatkan imbalan jasa yang ditetapkan melalui putusan hakim, sehingga melalui putusan hakim tersebut akan berdampak pada putusan hakim berikutnya dalam kasus yang serupa menjadi konsisten, sebab kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi

35

Oko Setyono dalam Muladi (Edt). Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep & Implikasinya


(37)

dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.36

Menurut Gustav Radbruch bahwa kepastian hukum merupakan bagian dari tujuan hukum .37 Tujuan hukum menurut Utrecht adalah untuk menjamin suatu kepastian di tengah-tengah masyarakat dan hanya keputusan dapat membuat kepastian hukum sepenuhnya, maka hukum bersifat sebagai alat untuk mencapai kepastian hukum.38 Kepastian hukum dimaknai dalam suatu aturan yang bersifat tetap, yang bisa dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah.39

Kepastian hukum dalam hal menjamin adanya imbalan jasa bagi kurator yang ditentukan di dalam UUKPKPU maupun peraturan yang khusus mengatur imbalan jasa bagi kurator perlu diimplementasikan dalam suatu keputusan baik di tingkat Pengadilan Niaga maupun tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Imbalan jasa sebagai hak kurator yang ditentukan dalam Pasal 17 ayat 2, ayat (4), Pasal 18 ayat (3-7) serta Pasal 75 dan Pasal 76 Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) dan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : m.09-ht.05.10 Tahun 1998 Tentang pedoman Besarnya imbalan jasa bagi kurator dan pengurus (disingkat Kepmen) bahwa ketentuan Pasal 69

36

Peter Mahmud Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Kencana Pranada Media Group. 2008), hal. 158.

37

Muhamad Erwin. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2011), hal. 123.

38

Utrecht & Moh. Saleh Jindang. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. (Jakarta: Ichtiar Baru.1983), hal. 14.

39

Theo Huijbers. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. (Yogyakarta: Kanisius. 1992), hal. 42.


(38)

dan Pasal 247 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang Kepailitan yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang Kepailitan menjadi undang-undang menentukan bahwa besarnya imbalan jasa yang harus dibayarkan kepada kurator dan pengurus sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia, yang kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus perlu ditegakkan di persidangan melalui penetapan hakim mengenai imbalan jasa kurator. Melalui penetapan hakim tersebut perlindungan hukum akan hak kurator juga dapat dijamin dan direalisasikan.

Melalui peraturan-peraturan yang mengatur imbalan jasa kurator diharapkan kepastian hukum akan tercipta akan tetapi dalam kenyataannya pola penetapan imbalan kurator yang dilakukan hakim pasca putusan pembatalan pailit PT. Telkomsel pada tingkat kasasi sudah bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

2. Kerangka Konsepsi

Adapun kerangka konsepsi yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian ini adalah :


(39)

a. Hak adalah kuasa dan berhak, kepunyaan.40

b. Kewajiban adalah Tanggung Jawab, Keharusan.

Dalam hal ini kurator setelah melakukan kewajibannya sesuai dengan yang digariskan oleh Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) maka kurator wajib memperoleh hak sebagai imbalan jasa atas kewajiban yang telah dilakukannya.

41

c. Imbalan adalah upah yang harus dibayarkan kepada kurator atau pengurus setelah kepailitan berakhir.

Kewajiban yang dimaksud disini adalah tanggung jawab yang harus dilaksanakan dan diemban oleh kurator setelah hakim pengawas resmi menunjuk sang kurator dalam melaksanakan sebagian proses kepailitan sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU).

42

d. Kurator adalah balai harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan undang-undang.

43

40

Dody Darmis Daaly. 8000 Kata Populer Kamus Bahasa Indonesia. (Semarang: Aneka Ilmu. 1985), hal.41.

41

Ibid., hal. 274.

42

Pasal 1 huruf a Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus.

43

Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(40)

e. Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.44

f. Kepailitan adalah Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang.45

g. Pembatalan adalah proses, cara, perbuatan membatalkan. 46

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian Hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan,47

Penelitian hukum normatif (Legal Research) terdiri dari inventarisasi hukum positif, penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif, serta penemuan hukum yang berkaitan dengan hak dan kewajiban kurator pasca putusan pembatalan pailit tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung antara PT. Telkomsel dengan PT. Prima Jaya Informatika.

44

Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

45

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

46

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Pusat Bahasa. 2008.

47

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. (Jakarta: Raja GrafindoPersada. 2004), hal.14.


(41)

in concreto. Penelitian hukum normatif yang dipakai dalam penelitian adalah penemuan hukum in concreto. Norma-norma hukum in abstracto dalam penelitian ini diperlukan mutlak untuk berfungsi sebagai premisa mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara (Legal facts) dipakai sebagai premisa minor. Melalui proses silogisme akan diperolehlah sebuah konklusi, yaitu hukum in concreto, yang dimaksud.48 Adapun sifat penulisan ini adalah deskriptif analitis,yaitu untuk mendapatkan deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang diteliti.

2. Sumber Bahan Hukum

a. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang bersifat autoratif artinya mempunyai otoritas.49

1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Bahan hukum primer terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan maupun putusan-putusan pengadilan. Bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang memiliki relevansi dengan penelitian ini yakni:

2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus

48

Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta: Raja GrafindoPersada. 2006), hal. 91-92.

49


(42)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa buku, majalah dan jurnal-jurnal ilmiah yang ada relevansinya dengan hak dan kewajiban kurator pasca putusan pembatalan pailit pada tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika) dan dapat memberi petunjuk dan inspirasi dalam rangka melakukan penelitian.50

c. Bahan hukum tertier, yakni memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,51 seperti kamus umum, kamus hukum, dan bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi hasil penelitian ini.

3. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk mengumpulkan bahan hukum yang diperlukan, dipergunakan tehnik penelitian kepustakaan (Library research) yaitu suatu penelitian terhadap bahan pustaka dengan mengumpulkan bahan hukum primer melalui peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder melalui dokumen-dokumen, buku-buku serta karya ilmiah lainnya dan mengumpulkan bahan hukum tersier yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti kamus hukum, majalah atau jurnal serta kamus besar Bahasa Indonesia yang memiliki relevansi dengan pembahasan dalam penelitian ini.

50

Ibid, hal.155.

51


(43)

4. Analisis Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang telah diperoleh dianalisa secara kualitatif dengan cara melakukan inventarisasi dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Analisis terhadap peraturan perundang-undangan tersebut diharapkan dapat menemukan asas atau kaidah serta konsep dari peraturan tersebut sehingga diperoleh hubungan antar asas, kaidah dan/atau konsep dengan menggunakan kerangka teori yang selanjutnya dapat dirumuskan kesimpulan dari permasalahan dalam penelitian ini.


(44)

BAB II

KURATOR DALAM HUKUM KEPAILITAN

A. Ketentuan Hukum Mengenai Kepailitan 1. Pengertian Pailit

Bila merujuk kepada berbagai macam literatur, maka kepailitan dapat diartikan sebagai segala hal yang berhubungan dengan pailit. Istilah kepailitan berasal dari kata pailit. Istilah pailit dalam kamus bahasa Bahasa Indonesia berarti jatuh; bangkrut dan jatuh miskin.52 Dalam bahasa Belanda disebut dengan failliet, yang artinya pemogokan atau kemacetan pembayaran.53 Bahasa Perancis menggunakan istilah le failli artinya orang yang mogok atau berhenti membayar.54 Untuk arti yang sama di dalam bahsa Belanda dipergunakan istilah failliet.55 Istilah dalam bahasa Inggris disebut to fail artinya gagal. Adapun di negara-negara yang berbahasa Inggris, lebih dikenal istilah bankrupt dan bankruptcy.56

Menurut Black’s Law Dictionary, istilah bankrupt berarti intebted beyond the means of payment (berutang melebihi pembayaran).57

52

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai

Dalam pengertian operasional, disebutkan sebagai a person who cannot meet current financial obligations; an

Pustaka. 1996), hal. 715.

53

Lihat A. Broers. Engels Woordenboek. (Batavia: Bij J.B.), hal. 230.

54

Rahmadi Usman. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2004), hal. 11.

55

Zainal Asikin. Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2001), hal. 26.

56

Rahmadi Usman. Loc. Cit.

57

Bryan A. Garner (ed.). Black’s Law Dictionary, eight edition. (St. Paul: West Publishing and Co., 2004), hal. 156.


(45)

insolvent person.58 Sedangkan kebangkrutan (bankruptcy) adalah a statutory procedure by which a (Insolvent) debtor obtains financial relief and undergoes a judicially supervised reorganization or liquidation of the debtor’s assets for the benefit of creditors.59

Menurut Faillissements verordening (FV) Staatsblad 1905 Nomor 217 Jo. Staatblad Nomor 348 yang dimaksud dengan pailit adalah setiap berutang (debitor) yang ada dalam keadaan berhenti membayar baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berutang (kreditor) dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit. Perundang-undangan Indonesia tidak memberikan arti otentik tentang pailit atau kepailitan. Namun dalam Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Pernyataan pailit ini harus melalui proses pemeriksaan di pengadilan setelah memenuhi persyaratan di dalam

Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa Bryan A. Garner menegaskan pengertian pailit sebagai ketidakmampuan untuk membayar atas utang-utang yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan, baik yang dilakukan secara suka rela oleh debitor sendiri ataupun atas permintaan pihak ketiga (di luar debitor).

58

Ibid.

59


(46)

pengajuan permohonannya.

Ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Kewajiban Utang (disebut UUKPKPU) menyatakan bahwa ”kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini”. Esensi kepailitan dari pengertian tersebut menurut Rahayu Hartini secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan debitur baik yang ada pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditur yang pada waktu kreditur dinyatakan pailit mempunyai utang, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib.60 Akan tetapi dikecualikan dari kepailitan adalah:61

a. Semua hasil pendapatan debitur pailit selama kepailitan tersebut dari pekerjaan sendiri, gaji suatu jabatan/jasa, upah pensiun, uang tunggu/uang tunjangan, sekedar atau sejauh hal itu diterapkan oleh hakim pengawas.

b. Uang yang diberikan kepada debitur pailit untuk memnuhi kewajiban pemberian nafkahnya menurut peraturan perundang-undangan (Pasal 213, 225,321 KUHPerdata).

c. Sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim pengawas dari pendapatan hak nikmat hasil (seperti dimaksud dalam Pasal 311 KUHPerdata).

d. Tunjangan dari pendapatan anak-anaknya yang diterima oleh debitur pailit berdasarkan Pasal 318 KUHPerdata).

Sejalan dengan pengertian dalam Pasal 1 ayat 1 tersebut di atas, Munir Fuady mengatakan: kepailitan atau bangkrut itu adalah suatu sitaaan umum atas seluruh

60

Rahayu Hartini. Hukum Kepailitan. (Malang: UMM Press. 2008), hal.6.

61 Ibid.


(47)

harta debitor agar dicapainya perdamaian antara para kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil diantara kreditor.62Pembagian harta debitor tersebut adalah untuk kepentingan semua kreditor, hal ini senada dengan pendapat Adrian Sutedi yang menyatakan bahwa63 “kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur (orang-orang yang berutang) untuk kepentingan semua kreditor-kreditornya (orang-orang berpiutang)”. Sementara itu, Sentosa Sembiring mengemukakan bahwa:64

“kepailitan memiliki makna ketidakmampuan pihak penghutang (debitor) untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak pemberi utang (kreditor) tepat pada waktu yang sudah ditentukan. Jika terjadi ketidakmampuan untuk membayar utang, maka salah satu solusi hukum yang dapat ditempuh baik oleh debitor maupun kreditor melalui pranata hukum kepailitan”.

Kepailitan juga dapat diartikan dari sudut pandang bisnis seperti yang dikemukakan oleh Andriani Nurdin yakni:65

“kepailitan atau kebangkrutan adalah suatu keadaan keuangan yang memburuk untuk suatu perusahaan yang membawa akibat pada rendahnya kinerja untuk jangka waktu tertentu yang berkelanjutan, yang pada akhirnya menjadikan perusahaan tersebut kehilangan sumber daya dan dana yang dimiliki. Dalam teori keuangan, kesulitan keuangan (financial distress) ini dibedakan dalam beberapa kategori:

a. Kegagalan ekonomi atau economic failure, dimana pendanaan perusahaan tidak dapat menutup biaya termasuk biaya modal. Badan usaha yang mengalami kegagalan ekonomi hanya dapat meneruskan kegiatannya sepanjang kreditor berkeinginan untuk menyediakan tambahan modal dan pemilik dapat menerima tingkat pengembalian di bawah tingkat bunga pasar.

b. Kegagalan bisnis atau business failure, dimana perusahaan menghentikan kegiatannya dengan akibat kerugian bagi kreditor.

c. Technical insolvency atau secara teknis sudah tidak solven, dimana perusahaan

62

Munir Fuady. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktik. (Bandung: Citra Aditya. 2000), hal.8.

63

Adrian Sutedi. Hukum Kepailitan. (Bogor: Ghalia Indonesia. 2009), hal. 24.

64

Sentosa Sembiring. Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang Terkait

dengan Kepailitan. (Bandung: CV. Nuansa Aulia. 2006), hal. 13.

65


(48)

dinyatakan pailit apabila tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar utang yang jatuh waktu.

d. Insolvency in Bankcruptcy, dimana nilai buku dari total kewajiban melebihi nilai asset perusahaan dan keadaan ini lebih parah dibandingkan dengan technical insolvency, yang dapat mengarah ke likuidasi.

e. Kepailitan menurut hukum atau legal bankcruptcy yakni kepailitan yang dijatuhkan oleh pengadilan sesuai dengan undang-undang.

Berdasarkan uraian dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kepailitan adalah suatu keadaan hukum yang menjadi alternatif untuk memberikan jaminan kepada para kreditor dengan jalan mempailitkan debitor akibat tidak dapat melunasi utangnya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU. Jadi pengertian tersebut bertujuan agar hasil penjualan semua harta kekayaan debitor dapat dibagi-bagi secara adil antara kreditornya dengan mengingat pemegang hak istimewa.

Berdasarkan rumusan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, jelaslah bahwa kepailitan atau pailit adalah suatu keadaan di mana seorang debitor tidak mampu melunasi utang-utangnya pada saat jatuh tempo. Ketentuan ‘tidak membayar lunas’ memiliki arti bahwa utang tidak dibayar lunas dan tuntas dari kewajiban yang seharusnya. Jika debitor hanya membayar sebagian dari kewajiban seharusnya, maka debitor masuk kategori ‘tidak membayar lunas’ karenanya memenuhi salah satu syarat untuk dimohonkan pailit.66

66

M. Hadi Shubhan. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan. (Jakarta: Prenada Media Group.2008), hal. 82.

Pernyataan pailit ini tidak serta merta terjadi begitu saja ketika utang jatuh tempo, tetapi harus didahului dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan sendiri secara suka rela maupun atas permintaan seorang kreditor


(49)

atau lebih. Oleh sebab itu, selama seorang debitor belum dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka selama itu pula yang bersangkutan masih dianggap mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo.

Sistem yang dipergunakan dalam perubahan UUKPKPU adalah tidak melakukan perubahan secara total, tetapi hanya mengubah pasal-pasal tertentu yang perlu diubah dan menambah berbagai ketentuan baru ke dalam undang-undang yang sudah ada. Pokok-pokok penyempurnaan tersebut meliputi antara lain:67

Pertama, penyempurnaan di sekitar syarat-syarat dan prosedur permintaan pernyataan kepailitan. Termasuk di dalamnya, pemberian kerangka waktu yang pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit.

Kedua, penyempurnaan pengaturan yang bersifat penambahan ketentuan tentang tindakan sementara yang dapat diambil oleh pihak-pihak yang berkepentingan, khususnya oleh kreditor atas kekayaan debitor sebelum adanya putusan pernyataan pailit.

Ketiga, peneguhan fungsi kurator dan penyempurnaan yang memungkinkan pemberian jasa-jasa tersebut di samping institusi yang selama ini telah dikenal, yaitu Balai Harta Peninggalan.

Keempa t, penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan kepailitan. Dalam UUKPKPU dikatakan bahwa untuk setiap putusan

67

Kartini Muljadi. “Perubahan pada Faillessmentverordening dan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang penetapan Perpu Nomor 1 tahun 1998 tentang perubahan atas

UU tentang kepalilitan menjadi UU”, makalah dalam Seminar Perkembangan Hukum Bisnis di


(50)

pernyataan pailit, upaya hukum yang dapat diajukan hanyalah kasasi ke Mahkamah Agung.

Kelima, dalam rangka kelancaran proses kepailitan dan pengamanan berbagai kepentingan secara adil, dalam rangka penyempurnaan ini juga ditegaskan adanya mekanisme penangguhan pelaksanaan hak kreditor dengan hak preferens, yang memegang hak tanggungan, hipotik, gadai atau agunan lainnya.

Keenam, penyempurnaan dilakukan pula terhadap ketentuan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana diatur dalam Bab Ketiga UUKPKPU.

Ketujuh, penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang akan menyelesaikan masalah kepailitan secara umum. Lembaga ini disebut dengan Pengadilan Niaga, dengan hakim-hakim yang juga akan bertugas secara khusus.68

Kekhususan Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan adalah:

a. Pengadilan ini tidak mengenal banding, sehingga jika ada pihak yang merasa tidak puas dapat mengajukan upaya hukum dengan cara kasasi ke Mahkamah agung.

b. Jangka waktu proses pendaftaran, pemeriksaan dan penjatuhan putusan pada tingkat Pengadilan Niaga diatur secara tegas yaitu 30 hari.

c. Jangka waktu kasasi di Mahkamah Agung maksimal 30 hari.69

Pelaksanaan kepailitan dilihat dari hukum kepailitan memiliki tujuan dan

68

69


(51)

fungsi. Sutan Remy Sjahdeni mengemukakan bahwa tujuan dari hukum kepailitan adalah sebagai berikut:70

a. Melindungi para kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa semua harta debitor baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah ada atau yang baru akan ada dikemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan debitor yaitu dengan memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan- tagihannya terhadap debitor. Menurut hukum Indonesia asas jaminan tersebut dijamin dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Hukum kepailitan menghindarkan saling rebut diantara kreditor terhadap harta debitor berkenaan dengan asas jaminan tersebut. Tanpa adanya Undang-undang Kepailitan, akan terjadi kreditor yang lebih kuat akan mendapat bagian yang lebih banyak dari kreditor yang lemah.

b. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor diantara para kreditor sesuai dengan asas pari passu membagi secara proporsional harta kekayaan debitor kepada para kreditor Konkuren atau unsecured creditors berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing kreditor tersebut. Di dalam hukum Indonesia asas pari passu dijamin dalam Pasal 1332 KUH Perdata. c. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang

dapat merugikan kepentingan para kreditor. Dengan dinyatakan seorang debitor pailit, debitor menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan memindah tangankan harta kekayaannya yang dengan putusan pailit itu status hukum dari harta kekayaan debitor menjadi harta pailit.

Sejalan dengan tujuan dari hukum kepailitan, Adrian Sutedi juga mengemukakan beberapa tujuan dari hukum kepailitan yakni:71

a. Melindungi para kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa semua harta debitor baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah ada atau yang baru akan ada dikemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan debitor yaitu dengan memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan- tagihannya terhadap debitor. Menurut hukum Indonesia asas jaminan tersebut dijamin dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Hukum kepailitan menghindarkan saling rebut diantara kreditor terhadap harta debitor berkenaan dengan asas jaminan tersebut. Tanpa adanya Undang-undang Kepailitan, akan terjadi kreditor yang lebih kuat akan mendapat bagian yang lebih banyak dari

70

Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto

Undang-undang No.4 Tahun 1998. (Jakarta: Pustaka Grafiti. 2002), hal.38.

71


(52)

kreditor yang lemah.

b. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor diantara para kreditor sesuai dengan asas pari passu membagi secara proporsional harta kekayaan debitor kepada para kreditor Konkuren atau unsecured creditors berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing kreditor tersebut. Di dalam hukum Indonesia asas pari passu dijamin dalam Pasal 1332 KUH Perdata. c. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat

merugikan kepentingan para kreditor. Dengan dinyatakan seorang debitor pailit, debitor menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan memindah tangankan harta kekayaannya.

d. Hukum kepailitan Amerika Serikat memberikan perlindungan kepada debitur yang beritikad baik dari para kreditornya dengan cara memperoleh pembebasan utang. Menurut hukum kepailitan Amerika, seorang debitur perorangan (individual debtor) akan dibebaskan dari utang-utangnya setelah selesainya tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta kekayaannya. Sekalipun nilai harta kekayaannya setelah dilikuidasi atau dijual oleh likuidator tidak cukup untuk melunasi seluruh utang-utangnya kepada para kreditornya, debitur tersebut tidak lagi diwajibkan untuk melunasi utang-utang tersebut. e. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan

perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk, sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan dinyatakan pailit oleh pengadilan.

f. Memberikan kesempatan kepada debitur dan para kreditornya untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-utang debitur. Sementara untuk fungsi hukum kepailitan menurut Sutan Remy Sjahdeini sebagaimana dikutip oleh Bernard Nainggolan menyatakan bahwa:72

a. Sebelum harta kekayaan debitor dibenarkan oleh hukum untuk dijual dan kemudian dibagi-bagikan hasil penjualan tersebut kepada kreditornya, terlebih dahulu harta kekayaan debitor itu harus diletakkan oleh pengadilan di bawah sita umum (dilakukan penyitaan untuk kepentingan semua kreditornya dan bukan hanya untuk kreditor tertentu saja).

b. Apabila harta kekayaan debitor tidak terlebih dahulu diletakkan di bawah sita umum sebelum dijual, yang akan terjadi adalah para kreditor akan saling mendahului untuk memperoleh pelunasan dari harta kekayaan debitor dengan sebutan menguasai dan menjual harta kekayaan debitor yang berhasil dikuasainya. Agar harta kekayaan debitor tersebut secara hukum dapat diletakkan di bawah sita umum, harus terlebih dahulu debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan.

72

Bernard Nainggolan. Perlindungan Hukum Seimbang Debitor, Kreditor dan Pihak-pihak


(53)

c. Undang-undang kepailitan mengatur bagaimana upaya perdamaian yang dapat ditempuh oleh debitor dengan para kreditornya, baik sebelum debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan maupun setelah debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan.

d. Undang-undang kepailitan mengatur bagaiamana caranya menentukan kebenaran mengenai adanya (eksistensi) suatu utang (tagihan) seorang kreditor, mengenai sahnya piutang (tagihan) tersebut dan mengenai jumlah yang pasti dari piutang (tagihan) tersebut, dengan kata lain melakukan pencocokan atau verifikasi piutang-piutang para kreditor.

Hal senada juga dikemukakan oleh H. Man S. Sastrawidjaja bahwa73

Fungsi dan tujuan hukum tersebut perlu didukung oleh asas hukum khusus dalam kepailitan yaitu asas-asas hukum kepailitan. Asas-asas hukum kepailitan terdapat dalam UUKPKPU yakni:

“fungsi hukum kepailitan adalah untuk melindungi kepentingan baik debitor maupun kreditor, di mana perlindungan yang diberikan harus seimbang, tidak terlalu berat sebelah, baik kepada kreditor maupun kepada debitor”.

74

1. Asas Keseimbangan

Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.

3. Asas Keadilan

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya

kesewenang-73

H. Man S. Sastrawidjaja. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. (Bandung: P.T. Alumni. 2006), hal.73.

74

Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(1)

kurator dan pengurus, ditetapkan oleh hakim dan dibebankan kepada debitor. Kedua ketentuan ini berbeda dengan ketentuan Permenkumham Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Imbalan jasa bagi kurator dan pengurus, yang menyatakan bahwa besarnya imbalan jasa kurator dibebankan kepada pemohon pernyataan pailit.

3. Pasca putusan pembatalan pailit pada tingkat kasasi terhadap kasus PT.Telkomsel, maka kewajiban kurator adalah mengumumkan putusan kasasi tersebut dalam berita negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2(dua) surat kabar harian, sementara hak kurator menurut undang-undang yang seharusnya diberikan melalui putusan hakim, namun kenyataannya hak kurator tersebut tidak termuat dalam putusan kasasi MA, selain itu dengan adanya putusan kasasi MA ini, maka keluarlah Permenkumham No.1 Tahun 2013 tentang Pedoman Imbalan Kurator dan Pengurus, sekaligus Uji Materiil terhadap Permenkumham No.1 Tahun 2013 tersebut khususnya Pasal 2 ayat 1 huruf c. Selanjutnya dengan adanya uji materil yang menyatakan Pasal 2 ayat 1 huruf c Permenkumham No.1Tahun 2013 tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka ketentuan mengenai imbalan jasa kurator tetap merujuk kepada Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3) UUKPKPU.


(2)

B. Saran

1. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban kurator sebagaimana telah diatur dalam UUKPKPU hendaknya dapat tetap dipertahankan baik di dalam UUKPKPU maupun dalam peraturan pelaksanaannya, sehingga jaminan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban kurator dapat diketahui berdasarkan undang-undang.

2. Sebaiknya pemerintah tidak membentuk produk hukum yang baru yang secara khusus mengatur mengenai besarnya imbalan jasa kurator beserta pembebanannya, sehingga terdapat kepastian hukum mengenai imbalan jasa kurator berdasarkan Pasal 17 ayat (2) dan (3) UUKPKPU.

3. Setelah adanya putusan pembatalan pailit pada tingkat kasasi, maka hakim melalui putusannya hendaknya menetapkan imbalan jasa kurator sesuai Pasal 17 ayat (2) UUKPKPU beserta pihak yang menanggung biaya imbalan jasa kurator (dalam hal ini PT. Telkomsel selaku pemohon kasasi dan PT. Prima Jaya Informatika selaku termohon kasasi) sesuai Pasal 17 ayat (3) UUKPKPU yang selanjutnya setelah putusan kasasi tersebut maka kurator wajib mengumumkan putusan kasasi tersebut dalam berita negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2(dua) surat kabar harian nasional.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. 1996. Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2009 .

Daaly, Dody Darmis, 8000 Kata Populer Kamus Bahasa Indonesia. Semarang: Aneka Ilmu. 1985.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Pusat Bahasa. 2008.

Dworkin,R.M.,The Philosophy of Law. New Jersey: Oxford University Press. 1977. Erwin, Muhamad. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada. 2011.

Friedman, W. Legal Theory. London: Steven & sons Limited, Third Edition. 1953. Fuady, Munir. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktik. Bandung: Citra Aditya. 2000. Garner (ed.), Bryan A. Black’s Law Dictionary, eight edition. St. Paul: West

Publishing and Co. 2004.

Hartini, Rahayu. Hukum Kepailitan. Malang: UMM Press. 2008.

---. Penyelesaian Sengketa Kepaailitan di Indonesia: Dualisme

Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase. Jakarta: Kencana.

2009.

Huijbers, Theo. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius. 1992.

Huizink, J.B. , Insolventie, alih bahasa Linus Dolujawa. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2004.

Ibrahim, Johny. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia. 2005.


(4)

Jono. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.

Kelsen, Hans. Pure Theory of Law, diterjemahkan oleh Max Knight dari bahasa Jerman. Berkeley: University of california Press. 1967.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2008.

Manan, Bagir, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian). Yogyakarta: FH UII Press. 2005.

Mulyadi, Lilik, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktek. Bandung: Alumni. 2010.

Nainggolan, Bernard. Perlindungan Hukum Seimbang Debitor, Kreditor dan

Pihak-pihak Berkepentingan dalam Kepailitan. Bandung: P.T. Alumni. 2011.

Nating, Imran. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan

Pemberesan Harta Pailit. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2004.

Nurdin, Andriani. Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum. Bandung: PT. Alumni. 2012.

Ranuhandoko, I.P.M. Terminologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2000. Rasjidi, Lili. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Bandung: Penerbit Alumni.1982.

---Filsafat Hukum:Apakah hukum Itu?. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, Cetakan Keenam. 1993.

---& Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat & Teori Hukum, (Bandung: Citra Adytia Bakti. 2004.

Santiago, Faisal. Pengantar Hukum Bisnis. Jakarta: Mitra Wacana Media. 2012. Sastrawidjaja, H. Man S.. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang. Bandung: P.T. Alumni. 2006.

Seltz, Calire et.,al:1977, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, Pengantar

Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). 1986.

Sembiring, Sentosa. Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang


(5)

Setyono, Oko dalam Muladi (Edt). Hak Asasi Manusia, Hakekat,Konsep &

Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: PT. Refika

Aditama. 2005.

Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun

2004 Tentang Kepailitan. Jakarta: Grafiti. 2009.

---, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto

Undang-undang No.4 Tahun 1998. Jakarta: Pustaka Grafiti. 2002.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.1986.

---dan Sri Mahmudji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003.

---dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.

Shubhan, M. Hadi. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Prenada Media Group. 2008.

Sunarmi. Hukum Kepailitan Edisi 2. Medan: Softmedia. 2010.

---, Prinsip KeseimbanganDalam Hukum Kepailitan di Indonesia Part 2. Medan: Sofmedia. 2010.

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006.

Sutedi, Adrian. Hukum Kepailitan. Bogor: Ghalia Indonesia. 2009.

Suyudi,Aria, Eryanto Nugroho, Herni Sri Nurbayanti, Kepailitan di Negeri Pailit. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. 2004.

Usman, Rahmadi. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2004.

Utrecht & Moh. Saleh Jindang. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru.1983.


(6)

Widajaja, Gunawan. Seri Aspek Hukum dalam Bisnis: Pemilikan, Pengurusan,

Perwakilan & Pemberian Kuasa dalam Sudut Pandang KUHPerdata. Jakarta:

Kencana. 2006.

Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis: Kepailitan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 1999.

B. Jurnal, Makalah dan Internet

Muljadi, Kartini “Perubahan pada Faillessmentverordening dan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang penetapan Perpu Nomor 1

tahun 1998 tentang perubahan atas UU tentang kepalilitan menjadi UU”,

makalah dalam Seminar Perkembangan Hukum Bisnis di Indonesia. Jakarta 25 Juli 2003.

Sularto. Perlindungan Kreditor Separatis Dalam Kepailitan, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24 No. 2, Juni 2012.

C. Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Imbalan Kurator dan Pengurus.

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor.M.09HT.5.10 Tahun 1998 tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa Bagi Kurator dan Pengurus.


Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Penerapan Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 704 k/Pdt.Sus/2012 Antara PT. Telkomsel Melawan PT. Prima Jaya Informatika)

9 92 121

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

HAK DAN KEWAJIBAN KURATOR DALAM PROSES PENYELESAIAN HARTA PAILIT PADA PENGADILAN NIAGA JAKARTA PUSAT (Studi Kasus Kepailitan Antara PT. Citra Dana Asia Dengan CV. Pasim Teknologi).

0 1 11

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBEBANAN IMBALAN JASA KURATOR SETELAH TERJADINYA PEMBATALAN STATUS PAILIT OLEH MAHKAMAH AGUNG.

0 0 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 704 k/Pdt.Sus/2012 Antara PT. Telkomsel Melawan PT. Prima Jaya Informatika)

0 0 25

Penerapan Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 704 k/Pdt.Sus/2012 Antara PT. Telkomsel Melawan PT. Prima Jaya Informatika)

0 0 14

Penerapan Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 704 k/Pdt.Sus/2012 Antara PT. Telkomsel Melawan PT. Prima Jaya Informatika)

0 0 14

BAB II KURATOR DALAM HUKUM KEPAILITAN A. Ketentuan Hukum Mengenai Kepailitan 1. Pengertian Pailit - Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya I

0 0 47

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)

0 0 25