1 KOMPAS AJJW Publish

Kompas.com Kompas TV
Harian Kompas

opini > artikel > Antara "Jokowi" dan "Joko Widodo"

Antara "Jokowi" dan "Joko Widodo"
Jumanto
Cetak | 28 Oktober 2015

185 dibaca

0 komentar

Surat edaran Kementerian Dalam Negeri Nomor 100/449/SJ tertanggal 26 Januari 2015,
yang ditujukan kepada seluruh sekretaris daerah provinsi dan kabupaten/kota seluruh
Indonesia, memerintahkan untuk menyeragamkan penyebutan bagi Presiden Joko
Widodo (Jokowi) pada saat acara.
Formatnya: "Yang Terhormat Presiden Republik Indonesia Bapak Jokowi". Ini adalah
salah satu upaya untuk menjunjung formalitas dalam berbahasa Indonesia sehingga
kesantunan berbahasa Indonesia dapat terjaga. Tentu upaya yang baik mengingat
komunikasi antara Presiden dan rakyat Indonesia memang terjadi di ruang publik, bukan

ranah pribadi atau privasi. Namun, sudah benarkah format tersebut?
Bahasa adalah sebuah kode, yang mengatur kehidupan komunikasi verbal dan nonverbal
manusia sehari-hari, dalam situasi formal, informal, atau campuran keduanya. Namun,
penggunaan bahasa tidak bisa begitu saja kita "lontarkan" kepada siapa saja, dengan
bentuk apa saja.
Di sinilah terjadi peranan petutur, lawan bicara, atau pendengar, juga peranan konteks
dan situasi, jadi mempertimbangkan kepada siapa, kapan, dan di mana kita menggunakan
bahasa. Dari peranan petutur, ada kita kenal petutur yang akrab dan yang tak akrab, yang
superior atau yang subordinat. Di sinilah terjadi bahasa santun dan bahasa akrab.
Bahasa santun mengarah ke kesantunan, sementara bahasa akrab mengarah ke keakraban.
Bahasa santun digunakan dalam situasi formal dengan petutur yang tak akrab, sementara
bahasa akrab digunakan dalam situasi informal atau akrab atau santai dengan petutur
yang akrab. Ciri-ciri dari bahasa santun adalah: lebih panjang, lebih lengkap, dan tertata
rapi, dengan topik yang umum dan aman. Sementara itu, ciri-ciri dari bahasa akrab adalah
lebih pendek, tidak lengkap, dan tidak tertata rapi: disingkat-singkat, dibolak-balik,
1

diganti-ganti, sesuai kehendak penutur tertentu, atau kelompok penutur tertentu. Topik
bahasa akrab adalah bebas, apa saja. Marilah kita cermati format di atas.
Frase "yang terhormat" memiliki formalitas tinggi karena tidak disingkat. Biasanya frase

ini muncul bersama kata "kepada", dan biasa disingkat "Kpd Yth" atau "Kepada Yth".
Berikutnya frase "Presiden Republik Indonesia". Frase ini juga memiliki formalitas tinggi
karena tidak disingkat jadi "Presiden RI". Frase ketiga "Bapak Jokowi" terdiri atas kata
"Bapak" dan "Jokowi". Kata "Bapak" memiliki formalitas yang tinggi karena tidak
disingkat menjadi "Bpk", yang kurang formal. Sementara itu, kata "Jokowi" adalah
singkatan dari "Joko Widodo". Dari konteks formalitas, "Jokowi" seyogianya untuk
informalitas atau keakraban, sementara frase "Joko Widodo" untuk formalitas tinggi.
Formalitas dalam berbahasa mengacu ke kesantunan berbahasa. Dalam kasus ini,
formalitas yang konsisten sebenarnya adalah "Yang Terhormat Presiden Republik
Indonesia Bapak Joko Widodo". Hal ini jangan dianggap sepele karena institusi
kepresidenan adalah bukan hal yang sepele, dan wajib menyandang formalitas setinggitingginya, ke arah kesantunan berbahasa, dalam acara apa pun dalam bahasa lisan,
apalagi dalam hal bahasa tertulis dan surat-menyurat.
Berbahasa memang seperti berpakaian atau berbusana. Ucapan "terima kasih" dalam kata
"tks" atau "makasih" (disingkat) atau "thanks" (diganti dan disingkat), misalnya, adalah
seperti kita memakai celana kolor saja ketika sedang mengobrol dengan kakak atau adik
yang akrab dalam situasi informal. Namun, dalam konteks formalitas tinggi, bentuk
tersebut tak akan muncul, tetapi berubah jadi "terima kasih" atau bahkan "saya
mengucapkan terima kasih". Berbahasa memang seperti berpakaian atau berbusana, kita
memang harus menyesuaikannya ke arah kesantunan atau keakraban.
Jumanto

Doktor Linguistik, Dosen FIB Universitas Dian Nuswantoro Semarang
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Oktober 2015, di halaman 6
dengan judul "Antara "Jokowi" dan "Joko Widodo"".

2

3