Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mekanisme Pertahanan Diri terhadap Hasrat Melakukan Hubungan Seksual pada Diri Biarawan Buddha T1 802005141 BAB I

Mekanisme Pertahanan Diri Terhadap Hasrat
Melakukan Hubungan Seksual Pada Diri Biarawan
Buddha

Pembimbing 1 : Dr. Sutarto Wijono, MA
Pembimbing 2 : Dr. Hari Soetjiningsih, M.S

OLEH
Danang Yulianto
802005141

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2011

A.

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah

Pada masa ini, kebebasan bergaul sudah sampai pada tingkat
yang mengkhawatirkan. Ledakan arus informasi dilihat dari
adanya berbagai siaran televisi dan internet dari dalam dan luar
negeri yang hampir setiap saat dapat ditonton. Hal itu membuat
para remaja mengetahui bagaimana agar mereka dengan bebas
dapat bergaul antar jenis. Tidak jarang dijumpai pemandangan
di tempat-tempat umum, para remaja saling berangkulan mesra
tanpa mempedulikan masyarakat sekitarnya. Menurut Bhikkhu
Uttamo (Dewasa dalam Dharma: 1998) mereka sudah mengenal
istilah pacaran sejak awal masa remaja. Pacar, bagi mereka
merupakan salah satu bentuk gengsi yang membanggakan.
Oleh karena itu, di kalangan remaja kemudian terjadi
persaingan untuk mendapatkan pacar. Akibatnya, di masa
sekarang ini banyak dijumpai remaja yang putus sekolah karena
hamil, atau cuti kuliah karena hamil. Namun hal tersebut tidak
hanya terjadi pada anak-anak usia remaja, hal serupa banyak
terjadi di kalangan orang-orang dewasa yang sudah mempunyai
istri. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya kasus
perceraian semakin banyaknya kasus poligami serta nikah siri
yang disebabkan karena perselingkuhan, yang semata-mata

hanya

untuk

memenuhi

kebutuhan

seksualitasnya

atau

memenuhi nafsu biologisnya saja.

1

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dalin (dalam
Dewasa

Dalam


Dharma,

1998)

mengenai

seksualitas

menemukan tujuan dan penyebab kegiatan seksual pra nikah.
Tujuan dari kegiatan seksual adalah untuk memiliki keturunan,
memperkuat hubungan batin pasangan dan meningkatkan
intimitas, memberikan kenikmatan, meningkatkan harga diri,
dan mengendorkan ketegangan, sedangkan penyebab terjadinya
kegiatan seksual pra nikah adalah:
1)

Makin mundurnya rata-rata usia kawin sehingga desakan
seks semakin berlanjut


2)

Peralatan KB yang mudah didapat

3)

Pergeseran

konsep

cinta

dari

self-sacri-fice

(pengorbanan diri) menjadi self-service (melayani dan
memuaskan diri sendiri)
4)


Tekanan dari sesama teman atau pasangannya sendiri

5)

Kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kekaburan
remaja akan cinta dan seks

6)

Rasa ingin tahu dan penasaran akibat pemberitaan yang
merangsang atau yang dibesar-besarkan di media massa,
internet dan sebagainya. Dalam suasana penasaran akan
misteri seks, para remaja pun melakukan „riset‟nya
sendiri-sendiri.
Meskipun kegiatan seksual pra nikah hampir menjadi hal

yang wajar, bukan berarti perbuatan ini diperbolehkan dan aman
dilakukan. Konsekuensi yang mungkin diterima oleh para

2


pelaku seks bebas yaitu secara fisik mungkin dapat terkena
beberapa jenis penyakit yang berhubungan dengan kegiatan
seksual seperti AIDS, sedangkan konsekuensi secara mental
yang mungkin diterima oleh pelaku seks bebas adalah sering
dibayangi dengan rasa bersalah, malu dan juga rendah diri
karena merasa dirinya telah ternoda.
Menurut Yandhi (Seksualitas dalam Buddhisme: 2007)
sebagian dari mereka banyak yang cenderung merasa bersalah
besar mengenai kehidupan seksual yang dianggap salah oleh
mereka sendiri, dan untuk menghadapi akibat dari hubungan
seksual yang tidak sah itu banyak dari mereka yang
menggunakan represi sebagai cara untuk meringankan akibat
dari seksualitas yang telah mereka lakukan. Tetapi, hal itu
bukanlah suatu mekanisme pertahanan diri di saat mereka
bergairah atau sangat ingin melakukan hubungan seksual
terhadap seseorang yang mereka kagumi, namun setelah
semuanya terjadi baru mereka menyadari dan mereka merasa
menyesal setelah mereka merasakan akibat dari hubungan
seksual yang telah mereka lakukan.

Dari hasil wawancara dengan Bhante pada tanggal 29
September 2009 di tempat tinggal Bhante yang berada di desa
Bedono. Semua orang yang hidup di dunia ini pasti memiliki
dorongan-dorongan

untuk

melakukan

hubungan

seksual.

Namun tidak semua orang akan melakukan hubugan seksual
meskipun mereka memiliki keinginan untuk melakukan

3

hubungan seksual dengan orang lain karena mereka mampu
mengendalikan


hasrat

seksual

atau

nafsu

biologisnya.

Pengendalian hasrat seksual, kebanyakan dilakukan oleh
mereka yang memutuskan untuk hidup membiara (selibat),
menjadi Bhikkhu, Samanera, dan lain-lain.
Selanjutnya setelah makan siang di tempat tinggal Bhante,
Bhante

menjelaskan pula

bahwa


terdapat

dua

macam

kebahagiaan yaitu kebahagiaan hasil dari terpenuhinya nafsu
keinginan, dan kebahagiaan hasil dari terkendalinya nafsu
keinginan, nafsu-nafsu itu tidak pernah terlintas dalam benak,
hubungan seksual dipandang sebagai ikatan keduniawian yang
akan menjerumuskan manusia ke alam samsara, menahan diri
dari membunuh makhluk hidup, menahan diri dari mengambil
apa yang tidak diberikan, menahan diri dari ucapan tidak benar,
menahan diri dari minum-minuman yang beralkohol, menahan
diri dari nafsu birahi untuk melakukan hubungan seks. Hal ini
dapat tercapai apabila kita dapat menjalani perilaku yang
bersusila atau bermoral. Menuntun diri ke arah yang benar
merupakan permasalahan yang tidak bisa saya tinggalkan
karena hal itu sudah menjadi kewajiban saya sebagai seorang

Bhante.
Seseorang yang akan menjadi Bhikkhu harus menjalani
aturan-aturan dalam kehidupan Bhikkhu, salah satu aturan untuk
menjalani kehidupan seorang Bhikkhu adalah menghindari
hubungan seks yang merupakan permasalahan yang sangat

4

penting dan harus dihindari. Seorang Bhikkhu yang melakukan
segala bentuk kegiatan seksual tersebut berarti mengeluarkan
dirinya dari Sangha dan tidak lagi menjadi bagian dari BhikkhuBhikkhu lain. Segala tindakan yang mengarah pada hubungan
seksual dapat menimbulkan sanksi skorsing sampai pengusiran
dari Sangha. Mereka yang cenderung merasa bersalah besar
mengenai kehidupan seksual seharusnya menyadari bahwa
kegagalan terhadap hal ini tidak lebih atau kurang serius
dibanding dengan pelanggaran yang lebih berat.
Perbuatan yang baik selalu berusaha menghindari tindakan
salah dalam kehidupan sehari-hari, menghindari hubungan seks
dan melakukan yang terbaik untuk suatu pengendalian diri,
karena mereka mengerti bahwa pengendalian diri tersebut

adalah hal yang baik. Tidak ada unsur paksaan dalam aturan
Bhikkhu, namun bila seorang Bhikkhu merasa kesulitan
menjalankannya, ia boleh-boleh saja meninggalkan pasamuan
yang dirasa lebih terhormat daripada bersifat munafik tetap
memakai jubah tetapi melanggar aturan. Pengendalian diri
terhadap hasrat seksual membantu mengembangkan kekuatan
diri. Karena jika seseorang mengendalikan hasrat seksual, ia
akan mendapatkan pengendalian lebih besar terhadap seluruh
struktur, mengatasi emosi yang lebih dasar.
Pendidikan secara Buddhis diawali dengan mengenalkan
perilaku bersusila atau bermoral. Perilaku ini ditumbuhkan
dengan melaksanakan latihan kemoralan. Kemoralan paling

5

dasar dalam agama Buddha adalah Pancasila Buddhis. Pancasila
Buddhis berisikan lima latihan pengendalian diri. Latihan untuk
tidak melakukan pembunuhan, tidak melakukan pencurian,
tidak melakukan hubungan seksual, tidak berbohong dan tidak
mabuk-mabukan. Setiap Bhikkhu melaksanakan Pancasila
Buddhis dengan ketat setiap hari, setiap hari mereka
melaksanakan Atthasila atau delapan aturan kemoralan,
tujuannya agar lebih mampu mengendalikan diri dan menguasai
emosi. Salah satu dari Atthasila adalah berpuasa setelah tengah
hari, yaitu dari jam 8 pagi sampai jam 12 siang mereka boleh
makan dan minum, setelah jam 12 siang hingga jam 7 pagi
mereka tidak diperbolehkan makan dan minum dan hal tersebut
dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Tujuan berpuasa ini
adalah untuk mengalahkan rasa lapar yang merupakan dorongan
universal yang ada dalam diri sendiri. Disebut dorongan
universal karena ketika masih di dalam kandungan, manusia
telah mengenal rasa lapar terlebih dahulu sebelum mengenal
segala sesuatu yang ada di dunia, jadi bila orang telah dapat
menundukkan dorongan universal ini maka akan lebih mudah
menenangkan

pikirannya

menghampirinya,

sehingga

ketika
batin

ketidakpuasan
menjadi

lebih

datang
tenang,

seimbang dan emosi terkendali. Selain berpuasa diberikan juga
latihan meditasi yang bertujuan mengendalikan pola pikir agar
seseorang tidak hanya terlihat baik pada ucapan dan perbuatan
luarnya saja namun juga baik dalam pikiran. Dalam latihan

6

meditasi, orang dikondisikan untuk selalu menyadari segala
sesuatu yang dikatakan, dilakukan dan dipikirkan.
Menurut Abhidhamma, “diri” didentifikasikan dengan
aktivitas-aktivitas psikologis, seperti pikiran, ingatan, atau
persepsi. Apa yang kelihatan sebagai “diri” tidak lain adalah
jumlah keseluruhan dari bagian-bagian tubuh, yaitu pikiran,
pengindraan, hawa nafsu, ingatan, dan sebagainya, namun
semua gejala ini merupakan bagian dari suatu arus yang
berkesinambungan. Satu-satunya benang yang bersinambung
dalam jiwa, yakni kesinambungan kesadaran dari waktu ke
waktu. Setiap momen yang berturut-turut dalam kesadaran kita
dibentuk oleh momen sebelumnya dan pada gilirannya akan
membentuk momen berikutnya.
Johansson

(1970),

mengemukakan

bahwa

Bhikkhu

merupakan hakekat dari kesehatan jiwa. Sifat-sifat kepribadian
seorang bhikkhu diubah secara permanen; semua motif,
persepsi, perbuatan yang sebelumnya dilakukan di bawah
pengaruh faktor-faktor yang tidak sehat akan lenyap. Daftar
sifat-sifat yang dikemukakan mencakup:
1.

Bebas dari: ketamakan terhadap hasrat-hasrat indra
antara lain kecemasan, kebencian atau aneka macam
ketakutan serta aneka macam dogmatisme seperti
keyakinan bahwa inilah atau itulah “kebenaran”,
kemuakan terhadap kondisi-kondisi seperti kehilangan,
dipermalukan, rasa sakit atau dipersalahkan, perasaan

7

hawa

nafsu

atau

marah,

pengalaman-pengalaman

penderitaan, kebutuhan akan peneguhan, kenikmatan
atau pujian, keinginan akan sesuatu untuk diri sendiri
melebihi hal-hal yang pokok dan diperlukan.
2.

Kaya dengan: sikap netral terhadap orang-orang lain dan
tenang

dalam

semua

situasi,

kesiapsiagaan

dan

kegembiraan dalam menghadapi pengalaman, secara
tenang tidak peduli apakah pengalaman itu bisa menahan
atau malahan membosankan, perasaan-perasaan belas
kasihan yang kuat dan kebaikan hati yang penuh kasih,
persepsi yang cepat dan tepat, ketenangan dan
ketrampilan dalam bertindak, keterbukaan kepada orang
lain dan kepekaan terhadap kebutuhan mereka.
Menurut Freud (Libido Kekuasaan Sigmud Freud, 2000)
larangan-larangan hati nurani adalah hambatan (kekangankekangan) jiwa atau anti catheis yang menghalangi peredaran
energi naluriah secara langsung melalui mekanisme ego.
Seseorang yang mempunyai hati nurani yang kuat selalu
berjaga-jaga terhadap gerak hati yang amoral. Menggunakan
demikian banyaknya energi untuk mempertahankan diri
terhadap id, sehingga apa yang tinggal tidak cukup untuk
melakukan pekerjaan yang berguna dan memuaskan. Sebagai
akibatnya, ia tidak berdaya dan hidup dalam kadaan yang kaku,
namun psikologi tradisional menentang adanya tekanan
eksklusif pada struktur pertahanan diri dan menyatakan bahwa

8

ciri-ciri menojol dari pikiran sadar adalah proses-prosesnya
yang aktif dan bukan isi-isinya yang pasif.

Mengindra dan

bukan indra-indra, berfikir dan bukan ide-ide, dan proses-proses
ini dinyatakan bahwa pengalaman sadar tidak dapat dipisahpisahkan tanpa menghancurkan hakekat pengalaman secara
keseluruhan. Psikologi tradisional mengatakan bahwa kesadaran
langsung terdiri dari pola-pola atau konfigurasi, bukan unsurunsur yang digabungkan menjadi satu.
Kemudian Freud membandingkan jiwa dengan gunung es di
mana bagian lebih kecil yang muncul di permukaam air
menggambarkan daerah kesadaran, sedangkan massa yang jauh
lebih besar di bawah permukaan air menggambarkan daerah
ketidaksadaran. Dalam daerah ketidaksadaran yang sangat luas
ini ditemukan dorongan-dorongan, nafsu-nafsu, ide-ide dan
perasaan-perasaan yang ditekan yang berisi kekuatan-kekuatan
vital dan tidak kasat mata yang melaksanakan kontrol-kontrol
penting atas pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan sadar
individu untuk memahami motif-motif mendasari tingkah laku
manusia.
Freud mengemukakan bahwa kepribadian manusia tersusun
dari 3 sistem pokok, yaitu: id, ego, dan superego. Meskipun
masing-masing bagian dari kepribadian total mempunyai fungsi,
sifat, komponen, prinsip kerja, dinamisme, dan mekanismenya
sendiri, namun semua itu berinteraksi begitu erat satu sama
lainnya sehingga sulit untuk memisah-misahkan pengaruhnya

9

dan menilai sumbangan relatifnya terhadap tingkah laku
manusia. Tingkah laku hampir selalu merupakan produk dari
interaksi diantara ketiga sistem tersebut.
Berkaitan dengan pengendalian diri terhadap hasrat seksual
yang dilakukan oleh Bhikkhu dan teori Freud tentang
mekanisme pertahanan diri, penulis menganggap bahwa
pengendalian diri terhadap hasrat seksual, dalam hal ini
pengendalian diri yang dilakukan oleh Bhikkhu cenderung
menempuh cara-cara yang ekstrim untuk menghilangkan
tekanan dari keinginan yang dengan sengaja tidak dipenuhi.
Untuk meringankan tekanan ini mengalami banyak kesulitan
karena adanya aturan dalam menjalani kehidupan sebagai
seorang Bhikkhu, perbedaan kebutuhan dengan masyarakat
pada umumnya, perbedaan tujuan hidup, dan perbedaan faktor
eksternal

(lingkungan

tempat

tinggal).

Namun,

penulis

menemukan fenomena yang menarik tentang pengendalian diri
terhadap hasrat seksual pada diri seorang Bhikkhu yang sedang
mengasingkan diri (bertapa) untuk mencapai tujuan hidupnya,
namun meskipun mengasingkan diri beliau tetap menerima
pelayanan umat atau melayani umat yang ingin konsultasi untuk
mencari jalan keluar dari masalah yang sedang dihadapi.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai mekanisme pertahanan diri terhadap hasrat
seksual

pada biarawan Buddha (Bhikkhu) karena penulis

menyimpulkan bahwa hal-hal yang dilakukan oleh para bhikkhu

10

tersebut adalah kekangan dari luar individu atau pengaruh dari
luar individu, namun mekanisme pertahanan diri yang terjadi
dari

dalam

diri

individu

sehingga

individu

mampu

mengendalikan diri dari tekanan aturan-aturan dalam menjalani
profesinya merupakan fenomena yang sangat menarik untuk
diketahui.
B.

Rumusan Masalah
Bagaimanakah bentuk mekanisme pertahanan diri yang
digunakan para Bhikkhu dalam menghadapi hasrat untuk
melakukan hubungan seksual mereka sehingga mereka dapat
tidak melakukan hubungan seksual selama hidupnya.

C.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih dalam
tentang mekanisme pertahanan diri terhadap hasrat seksual pada
diri Bhikkhu. Sehingga dapat diketahui mekanisme pertahanan
diri yang digunakan para Bhikkhu dalam mengendalikan hasrat
seksualnya.

D.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan
manfaat kepada para pembaca baik yang bersifat akademis
maupun praktis, antara lain:
a.

Secara akademis :
Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi bidang

Psikologi Perkembangan, Psikologi Sosial terlebih bidang

11

psikoseksual. Dan psikologi abnormal yang berkaitan dengan
pengendalian hasrat seksual.
b.

Secara Praktis :
1. Remaja
Memberikan gambaran secara khusus mengenai
pengambilan keputusan keputusan yang matang dalam
masalah seksual yang muncul sehingga hasil penelitian
ini dapat diterapkan bagi remaja putra dan puteri agar
dapat mengendalikan hasrat seksualnya.
2. Orang tua
Bagi orang tua, hasil penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan sebagai pedoman untuk memberikan
pendidikan seks, menanamkan moral, dan etika kepada
anak-anaknya. Serta memberikan wawasan tentang
pendidikan seks kepada anak-anaknya agar mampu
mengendalikan hasrat seksualnya.
3. Masyarakat
Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat
diterapkan untuk mengendalikan diri terhadap hasrat
seksual, sebagai upaya untuk mengurangi tingkat
perselingkuhan dan poligami.

12

E.

Definisi Istilah
Supaya tidak terjadi kesalahan dalam pengartian istilah atau
supaya dapat membantu pembaca dalam memahami istilah
penelitian ini maka di uraikan definisi istilah yang terdapat
dalam penelitian ini.
Bhikkhu adalah orang yang hidup membiara/selibat dengan
tidak menikah dan menaati tata tertib ajaran agama Buddha,
dengan tujuan untuk memperoleh pencerahan batin.

13

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Harga Diri (Self-Esteem) dan Kepuasan Seksual pada Wanita yang Melakukan Histerektomi

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Kebahagiaan pada Imam Biarawan T1 802007030 BAB I

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Kebahagiaan pada Imam Biarawan T1 802007030 BAB II

0 0 62

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Kebahagiaan pada Imam Biarawan T1 802007030 BAB IV

0 0 90

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Kebahagiaan pada Imam Biarawan T1 802007030 BAB V

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mekanisme Pertahanan Diri terhadap Hasrat Melakukan Hubungan Seksual pada Diri Biarawan Buddha T1 802005141 BAB II

0 0 41

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mekanisme Pertahanan Diri terhadap Hasrat Melakukan Hubungan Seksual pada Diri Biarawan Buddha T1 802005141 BAB IV

0 8 110

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mekanisme Pertahanan Diri terhadap Hasrat Melakukan Hubungan Seksual pada Diri Biarawan Buddha T1 802005141 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mekanisme Pertahanan Diri terhadap Hasrat Melakukan Hubungan Seksual pada Diri Biarawan Buddha

0 0 15

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Diri Anggota “JKT48 Surakarta” T1 BAB I

0 0 5