T1__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Militer Jepang dan Cina dalam Kedaulatan Wilayah: Studi Kasus Perebutan Wilayah Sengketa Kepulauan SenkakuDiaoyu Tahun 20122016 T1 BAB V

BAB V
STRATEGI MILITER JEPANG DAN CINA DARI TAHUN 20122016
5.1. Arah Kebijakan Keamanan Luar Negeri Jepang Terkait Perebutan Wilayah di
Kepulauan Senkaku/Diayou
Dalam menangani klaim kedaulatan kepulauan Senkaku/Diaoyu yang dilayangkan oleh
Cina, Jepang telah menentukan sikap dan kebijakannya tersendiri. Berdasarkan pada
kebijakan Jepang tentang wilayah maritimnya, Jepang menyatakan bahwa negaranya ingin
menciptakan perdamaian maritim yang berdasarkan pada hukum dan bukan berdasarkan
pada force dan coercion. Secara berkala, Jepang akan meneruskan misinya untuk
menciptakan perdamaian dan kestabilan regional yang akan dibentuk melalui aturan-aturan
dalam hukum internasional.
Jepang menyatakan bahwa di perairan Senkaku/Diaoyu tidak ada wilayah kedaulatan
yang harus diperebutkan. Kepulauan Senkaku/Diaoyu secara resmi dan legal adalah bagian
dari teritori dan kedaulatan Jepang berdasarkan sejarah serta hukum internasional. Sehingga
Jepang akan bertindak secara sungguh-sungguh dan tenang dalam menjaga serta
mempertahankan integritas teritorial

selayaknya tugas negara dalam melindungi

kedaulatannya.
Seiring berjalannya waktu kebijakan tersebut mengalami perubahan. Sejak tahun 2010,

tepatnya setelah Cina dan Jepang sempat terlibat percekcokan di wilayah kepulauan
Senkaku/Diaoyu serta meningkatnya aktivitas militer Korea Utara terkait uji nuklir, Jepang
mulai meningkatkan perhatiannya di bidang militer serta mengembangkan kebijakan
kemananan mengikuti kondisi Asia Timur.
Pada tahun 2010, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, membuat kebijakan politik
keamanan baru yang berisi tentang diperdalamnya kerjasama keamanan dengan Amerika
Serikat serta memperbaiki dan memperkuat kebijakan keamanan Jepang tentang “Proactive
Contributor to Peace”. Dengan adanya kebijakan ini, maka secara intensif Jepang akan

terlibat secara langsung dalam lingkup keamanan regional dan Internasional.
Setelah kebijakan tersebut dibuat, Jepang mulai meningkatkan anggaran militernya,
mengurangi kontribusi pengiriman pasukan perdamaian dalam UN Peacekeeping

Operations, melakukan ekspor dan impor senjata, mengintensifkan latihan pasukan militer

dengan negara-negara sekutunya seperti Amerika Serikat, dan meningkatkan penjagaan
keamanan melalui sektor militer di setiap perbatasan teritorinya terutama yang berhadapan
langsung dengan Cina.
Setelah pada tahun 2012 Jepang secara resmi menasionalisasi tiga dari delapan pulau di
kepulauan Senkaku/Diaoyu, pemerintah Jepang mulai memperketat penjagaan di wilayah

tersebut menggunakan coast guard mereka karena meningkatnya aktivitas Cina di wilayah
perairan tersebut.
Di bawah kepemimpinan Shinzo Abe, Jepang sering menyuarakan pendapatnya tentang
perilaku Cina yang sering dianggap kontroversial serta memicu tensi diantara kedua negara
terutama jika hal itu terkait dengan konflik di Laut Cina Selatan dan tentu saja di kepulauan
Senkaku/Diaoyu. Hal ini kemudian membuat parlemen Jepang merasa bahwa sudah saatnya
bagi pemerintah Jepang untuk membuat undang-undang militer baru karena situasi dan
kondisi di kawasan regional telah berubah.
Pada bulan Desember 2013, Shinzo Abe bersama dengan pemerintahannya, mulai
mengangkat isu tentang strategi keamanan nasional Jepang terkait Laut Cina Timur dan Laut
Cina Selatan.
Strategi Keamanan Nasional Jepang (2013: 12) :
“Cina telah mengambil tindakan pemaksaan yang dapat mempengaruhi serta merubah
status quo suatu wilayah melalui pernyataan-pernyataan mereka yang tidak sesuai
dengan tatanan hukum internasional, di wilayah maritim dan udara, yaitu Laut Cina
Timur dan Laut Cina Selatan.”
Pada tahun 2014, Jepang terus meningkatkan konsentrasinya terhadap sektor keamanan
setelah Cina secara besar-besaran membangun pangkalan militer di Laut Cina Selatan.
Jepang yang menilai bahwa kegiatan tersebut kemungkinan besar akan merambah ke
wilayah Laut Cina Timur dan akan mengancam keamanan negaranya1, maka pada tahun

2015 ia mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan anggaran militer terbesar dalam kurun
waktu 22 tahun sebesar 4.82 triliun Yen atau sekitar 48.97 miliar USD.

1

Menteri Pertahanan Jepang, Nakatani Gen, berasumsi bahwa kegiatan Cina membangun pangkalan militer di Laut
Cina Selatan akan mempengaruhi serta mengancam kestabilan dan keamanan Jepang. Kegiatan Cina, dinilai akan
merambah ke wilayah Laut Cina Timur dan hal tersebut telah dimulai pada tahun 2013 ketika Cina
mendeklarasikan ADIZ yang mengambil alih sebagian besar zona udara Jepang.

Dari seluruh anggaran militer di atas, Jepang lebih memfokuskan pembangunan armada
laut dan udaranya. Hal tersebut dilakukan guna menjaga keamanan wilayah-wilayah yang
rentan akan ancaman dari negara-negara tetangganya seperti Rusia dan Cina. Kemudian,
untuk menangani aktivitas Cina yang mengancam kedaulatan di kepulauan Senkaku/Diaoyu,
Jepang menggelontorkan dana cukup besar bagi coast guard-nya yaitu 27% dari seluruh
anggaran militer Jepang. Hal tersebut dilakukan karena coast guard merupakan salah satu
pasukan pengamanan perbatasan terkuat yang dimiliki Jepang.

5.2. Arah Kebijakan Keamanan Luar Negeri Cina Terkait Perebutan Wilayah di
Kepulauan Senkaku/Diayou

Sebagai pihak yang gencar melakukan klaim terhadap kepulauan Senkaku/Diaoyu, tentu
saja Cina mengeluarkan beberapa kebijakan terkait sengketa tersebut. Berdasarkan pada
kebijakan Cina mengenai wilayah kedaulatan negara, Cina menyatakan bahwa ia akan
dengan senantiasa menjaga dan mengamankan setiap wilayah yang menjadi bagian dari
kedaulatannya.
Pada 25 Februari 1992, Cina mengeluarkan undang-undang tentang Laut Teritorial.
Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa wilayah teritorial RRC yang meliputi wilayah darat, lepas
pantai, Taiwan, dan seluruh pulau yang terafiliasi termasuk kepulauan Senkaku/Diaoyu,
Penghu, Dongsha, Xisha, dan Nansha (Spratly) adalah bagian dari kedaulatan Republik
Rakyat Cina. Menitik dari undang-undang diatas berserta klaim Cina yang menyatakan
bahwa kepulauan Senkaku/Diaoyu merupakan wilayah teritorialnya sejak abad ke-14 dan
15, maka secara berkala Cina akan merebut kembali wilayah tersebut dari tangan Jepang.
Pada tahun 2012, setelah Jepang secara resmi menasionalisasikan tiga dari delapan pulau
Senkaku/Diaoyu, pemerintah Cina menciptakan task force yang disebut dengan “Office to
Respond to the Diaoyu Crisis”. Cina yang menilai bahwa tindakan Jepang merupakan
bentuk provokasi yang dapat mengubah status quo di perairan tersebut, maka mulai
menyusun beberapa kebijakan politik dan keamanan terhadap kondisi di kepulauan
Senkaku/Diaoyu.
Kebijakan politik disusun untuk memaksa pemerintah Jepang mengubah posisinya
sebagai pihak yang tidak mau mengakui adanya persengketaan kedaulatan di kepulauan

tersebut menggunakan law enforcement. Cina menilai, jika pemerintah Jepang memiliki

pemahaman bahwa status kedaulatan wilayah tersebut masih dalam persengketaan, maka
terciptanya penyelesaian melalui jalur diplomatis akan terwujud terutama untuk menyetujui
bahwa coast guard dari masing-masing negara akan berpatroli di perairan yang
disengketakan pada hari-hari tertentu untuk menegaskan kedaulatan kedua belah pihak.
Selain itu, kedua negara juga dapat menyepakati batas penangkapan ikan bagi kapal nelayan
yang seringkali menjadi sumbu ketegangan antara Jepang dan Cina.
Presiden Cina saat ini, Xi Jinping, mengatakan bahwa pemerintahannya akan berfokus
pada permasalahan kedaulatan dan stabilitas negara (wei quan dan wei wen). Untuk itu
segala bentuk wilayah yang terafiliasi oleh Cina, harus dijaga dan dipertahankan
menggunakan kekuatan militer jika diperlukan.
Berdasarkan pada task force di atas, kebijakan keamanan Cina kemudian ditekankan pada
patroli rutin yang dijalankan oleh China Coast Guard

(CCG) maupun militer. Selain

melakukan patroli rutin, CCG juga bertugas untuk mengawal kapal penangkap ikan Cina
yang berlayar di wilayah Laut Cina Timur terutama yang berdekatan dengan perairan
Senkaku/Diaoyu.

Kebijakan tentang patroli rutin tidak hanya dilakukan di wilayah perairan saja, namun
juga diterapkan di wilayah udara. Untuk melanjutkan task force yang dibuat pada tahun
2012, Cina secara resmi mengumumkan zona udaranya atau ADIZ yang mencangkup
seluruh zona udara kepulauan Senkaku/Diaoyu pada tahun 2013 lalu.

Gambar 9.
Air Defense Identification Zone (ADIZ) Jepang dan Cina
Sumber : Website Kementerian Pertahanan Jepang, http://www.mod.go.jp/e/d_act/ryouku/

Setelah zona pertahanan udara tersebut resmi diumumkan, pesawat militer Cina telah
beberapa kali melakukan patroli rutin untuk memantau kondisi perairan yang disengketakan.
Selanjutnya, kedua kebijakan diatas terus dilakukan hingga sekarang yang ritmenya
disesuaikan dengan kondisi dan situasi diplomatik kedua negara dengan tujuan sebagai
penegak hukum jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

5.3. Persaingan Kekuatan Militer Jepang dan Cina di Wilayah Kepulauan Senkaku/Diayou
Sebagai dua negara besar yang sama-sama memiliki tujuan untuk bertahan hidup, baik
Jepang dan Cina sama-sama berusaha untuk mematenkan status kepulauan Senkaku/Diaoyu
sebagai bagian dari teritorinya. Selain mengeluarkan berbagai macam kebijakan terkait
kasus kedaulatan di kepulauan Senkaku/Diaoyu, kedua negara juga mengerahkan

kemampuan militernya di wilayah perairan maupun udara kepulauan tersebut. Secara mata
telanjang, kemampuan militer Cina jauh diatas Jepang, namun jika dilihat berdasarkan
kemampuan mengolah strategi militer, politik, fokus, teknologi, serta aliansi, dapat
dikatakan bahwa kedua negara tersebut memiliki kekuatan yang seimbang.
Berangkat dari pemikirian Mearsheimer tentang offensive realism, Cina merupakan salah
satu the new great power menyaingi Jepang dan AS. Masing-masing negara memiliki power
yang dapat mengancam satu sama lain. Cina dengan kekuatan ekonomi, militer, serta people
power -nya mampu membuat Jepang kalang kabut sehingga sebagai aktor rasional, dirinya

mulai melakukan counter-balancing2 dengan cara meningkatkan kemampuan internalnya
yaitu menciptakan strategi militer baru yang meliputi peningkatkan anggaran militer,
teknologi militer serta aliansi dengan AS guna menghadapi Cina yang terus menerus
berusaha menggeser posisi Jepang sebagai tuan rumah di kepulauan Senkaku/Diaoyu.
Melalui kekuatan ekonominya, Cina mampu mendanai fasilitas-fasilitas militernya untuk
menunjang kepentingannya di kepulauan Senkaku/Diaoyu. Namun dengan demikian, Cina
juga memiliki fokus yang terpecah belah jika dibandingkan Jepang. Meskipun saat ini

2

Respon suatu negara untuk meningkatkan power-nya ketika merasa terancam oleh kekuatan negara lain.


Jepang tidak hanya berhadapan dengan Cina terkait ancaman kedaulatan, namun skala
ancaman yang dihadapi Jepang masih cukup rendah dibanding Cina yang menghadapi
konflik di Laut Cina Selatan. Dimana klaim Cina terhadap sebagian besar wilayah tersebut,
mampu menarik sebagian besar tenaga dan anggaran Cina karena ia tidak hanya menghadapi
satu kekuatan negara, namun lima negara berdaulat yaitu Vietnam, Malaysia, Indonesia,
Brunei Darusalam, Filipina beserta aliansinya termasuk Jepang dan AS.
Berdasarkan penjelasan diatas, berikut adalah kekuatan militer dari masing-masing
negara serta aktivitas keduanya di wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu dalam kurun waktu
beberapa terakhir paska meningkatnya intensitas pergesekan hubungan diplomatis kedua
negara pada tahun 2012.
5.3.1. Kekuatan Militer Jepang
Paska Perang Dunia II, Jepang kemudian „pensiun‟ dari aktivitas
militernya. Negara ini memiliki trauma tersendiri atas apa yang terjadi di masa
lampau. Bom atom yang dijatuhkan di kota Nagasaki dan Hirosima membawa
pukulan hebat bagi Jepang. Sanksi yang dijatuhkan AS pada Jepang untuk tidak
mengembangkan kekuatan militernya menjadi titik baru kehidupan negara
tersebut.
Seiring dengan berjalannya waktu dan berubahnya situasi serta kondisi
politik dan keamanan dunia internasional, kemudian memaksa Jepang mengubah

pandangannya untuk kembali melakukan pengembangan sektor militer. Di
bawah kepemimpinan Shinzo Abe, anggaran militer Jepang berangsur naik dari
tahun 2010-2017. Seperti yang telah disebutkan dalam bab I, pada tahun 2015
Jepang menyisihkan anggaran militer terbesar setelah 22 tahun yang mencapai
4.82 triliun Yen atau 48.97 miliar USD dan terus meningkat hingga tahun 2017
ini.

Gambar 10.
Kenaikan Anggaran Militer Jepang dari 1997-2017
Sumber : Dokumen White Paper Kementerian Pertahanan Jepang tentang Dana
Fiskal tahun 2017.

Semenjak coast guard Jepang menjadi salah satu penjaga perbatasan
terkuat yang dimiliki oleh Jepang, maka negara ini menyisihkan 27% dari
keseluruhan anggaran militernya untuk meningkatkan kekuatan coast guard-nya
terutama di wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu yang saat ini menjadi perhatian
besar karena gencarnya klaim Cina terhadap wilayah tersebut. Selanjutnya, coast
guard Jepang memiliki dana sebesar 210.6 miliyar Yen untuk keperluan fiskal

dan 57.8 miliyar Yen akan digunakan untuk meningkatkan pengawasan terutama

di perairan dekat pulau-pulau terpencil.
Selain coast guard, Jepang memiliki kekuatan laut lain yang disebut
dengan Japanese Maritime Self-Defense Force (JMSDF) yang merupakan
cabang Angkatan Laut terbaik Jepang karena memiliki teknologi yang lebih
mempuni, berpengalaman, dan terlatih dibandingkan People Liberation Army
Navy (PLAN) milik Cina.

JMSDF menjadi kunci kekuatan Angkatan Laut Jepang kerena memegang
kendali yang cukup besar dalam menjaga keamanan laut Jepang. JMSDF
diketahui memiliki kekuatan kapal selam yang cukup mempuni. Pada tahun

2010, Angkatan Laut Jepang mengumumkan bahwa mereka akan meningkatkan
armada kapal selamnya dari 16 menjadi 22 kapal. Sepuluh diantaranya berjenis
Soryu yang merupakan kapal selam diesel terbesar dan berteknologi maju di
dunia. Dari keseluruhan kapal selam Soryu, lima diantaranya akan beroperasi
pada tahun 2019.
Selain memiliki kekuatan Angkatan Laut yang mempuni, Jepang sedang
mengembangkan teknologi pesawat militernya ke arah yang lebih serius.
Berdasarkan White Paper Jepang yang dirilis pada tahun 2016 lalu, Jepang
sedang berusaha untuk menciptakan serta mengembangkan teknologi seluruh

pesawat patrolinya seperti P-3C, helikopter penyelamat SH-60K dan SH-60J,
pesawat intelijen OP-3C, pesawat tempur F-35A serta F-2, dan lain-lain guna
meningkatkan kemampuan Jepang dalam menjaga wilayah perbatasan.
Dari seluruh kekuatan militer yang dimiliki oleh Jepang, tidak lengkap
jika kekuatan tersebut tidak didukung oleh Amerika Serikat. Jepang diketahui
telah menjadi sekutu AS paska PD II dan hampir 70 tahun Amerika Serikat
menjadi perisai militer Jepang. Kedua negara ini memiliki perjanjian keamanan
yang mencangkup beberapa kegiatan militer seperti latihan bersama, kerjasama
dalam pengembangan teknologi militer dll.
Amerika Serikat yang menyandang gelar sebagai negara dengan kekuatan
militer pertama di dunia, tentu saja menyuguhkan posisi tawar yang cukup tinggi
bagi Jepang dalam menghadapi ancaman-ancaman yang datang dari negaranegara tetangganya terutama Cina. Terlebih lagi, saat ini Amerika Serikat
sedang mengarahkan pandangannya ke wilayah Asia Pasifik karena kehadiran
Cina di wilayah tersebut dianggap sebagai ancaman terhadap hegemoni Amerika
Serikat. Kolaborasi antara majunya industri teknologi Jepang dengan kekuatan
Amerika Serikat sebagai negara adidaya, menciptakan kekuatan yang cukup
sepadan dalam menghadapi Cina sebagai The New Rising Power.

5.3.2. Kekuatan Militer Cina
Jika berbicara tentang kekuatan militer Cina, maka kekuatan negara ini
tidak perlu diragukan lagi. Sebagai negara dengan anggaran militer terbesar

ketiga di bawah Amerika Serikat dan Rusia, tentu saja negara ini menjadi negara
yang ditakuti oleh banyak negara. Di kawasan Asia, Angkatan Bersenjata Cina
atau People Liberation Army (PLA) nyaris unggul di seluruh bidang militer.
Tercatat bahwa Cina memiliki lebih dari 1.600.000 personel militer tersendiri.
Walaupun dalam kurun waktu dua tahun terakhir anggaran militernya terlihat
menurun dari tahun-tahun sebelumnya, namun kekuatan yang dimiliki negara
tersebut tidak lah berkurang.

Gambar 11.
Kenaikan Anggaran Militer Cina Tahun 1989-2016
Sumber : Dokumen White Paper Kementerian Pertahanan Jepang Tahun 2016
Untuk kekuatan Angkatan Laut Cina atau PLAN sendiri, ia memiliki
235.000 pasukan yang membawahi tiga armada laut yaitu Armada Beihai,
Armada Donghai, dan Armada Nanhai. Setiap armada memiliki kantor pusat
penerbangan, support bases, armada kapal, korps pasukan maritim, divisi
penerbangan dan unit brigade laut. Selain itu, PLAN juga didukung oleh kapal
induk Liaoning yang digunakan untuk pengembangan pesawat induk bagi
PLAN.

Berdasarkan pada White Paper yang dikeluarkan oleh Jepang pada tahun
2014, PLAN dan PLAAF3 memiliki sekitar 2,580 pesawat tempur yang
kebanyakan diimpor dari Rusia dan berjenis Su-27. Selain itu, Cina juga
memproduksi sendiri beberapa jenis pesawat tempur seperti J-11B yang
digadang-gadang sebagai tiruan dari pesawat tempur Su-27. Selain itu, sebagai
salah satu negara dengan ekonomi terkuat di dunia, Cina juga terus menerus
mengembangkan beberapa jenis pesawat tanpa awak yang mampu melakukan
penerbangan secara berjam-jam untuk menjalankan misi pengintaian serta
membawa rudal dan senjata lainnya untuk tujuan penyerangan.

5.3.3. Aktivitas Jepang dan Cina di Wilayah Kepulauan Senkaku/Diaoyu
Selain mendeklarasikan ADIZ, menasionalisasi pulau, serta mengirim
protes resmi antar pemerintah, Jepang dan Cina juga kerap kali terlibat
percekcokan vis a vis di beberapa wilayah udara yang oleh Jepang disebut
sebagai wilayah kedaulatan negaranya. Tercatat sejak tahun 2012-2017, pesawat
Cina menjadi yang terbanyak dalam memasuki wilayah udara Jepang terutama
di zona pertahanan udara kepulauan Senkaku/Diaoyu.

Gambar 12.
Jumlah Pelanggaran Batas Udara Oleh Beberapa Negara di Wilayah Udara
Jepang
Sumber : Press Release Kementerian Pertahanan Jepang
http://www.mod.go.jp/js/Press/press2017/press_pdf/p20170413_02.pdf

3

PLAAF: People Liberation Army Air Force

Gambar 13.
Aktivitas Pesawat Patroli Cina dan Rusia di Zona Udara Jepang
Sumber : Press Release Kementerian Pertahanan Jepang
http://www.mod.go.jp/js/Press/press2017/press_pdf/p20170413_02.pdf

Berdasarkan pada data dan gambar di atas, maka aktivitas udara Cina
kerapkali menyambar zona udara di dekat kepulauan Senkaku/Diaoyu. Dengan
adanya hal ini, maka sudah jelas jika Cina memiliki kepentingan tersendiri di
wilayah tersebut. Menanggapi aktivitas udara Cina, beberapa kali pesawat
tempur Jepang tidak segan untuk turun lapangan dan memberikan peringatan
pada Cina untuk mundur dan menjauh dari wilayah udara yang dilindungi oleh
Jepang itu.
Selain aktivitas udara dan patroli laut yang dimandatkan oleh pemerintah
masing-masing negara. Ketegangan di wilayah ini sering terjadi karena aktivitas
kapal penangkap ikan yang sering kali melanggar batas wilayah dan hal ini lebih
sering dilakukan oleh kapal penangkap ikan dari Cina. Hal tersebut kerap terjadi
karena banyak masyarakat cina termasuk para aktivis yang merasa memiliki hak
untuk melakukan aktivitas di perairan tersebut karena wilayah itu merupakan
wilayah Cina dan bukan Jepang. Akibatnya, coast guard Jepang sering mengusir
dan bahkan beberapa kali harus menangkap kapal-kapal penangkap ikan
tersebut.
Untuk menghindari kejadian diatas, maka CCG harus rela melakukan
pengawalan kepada kapal-kapal penangkap ikan Cina yang mulai mendekati

perairan Senkaku/Diaoyu untuk mencegah mereka masuk lebih jauh ke wilayah
sengketa dan mendesak coast guard Jepang untuk tidak melakukan tindakan
yang agresif terhadap kapal-kapal itu.
Aktivitas lain yang dilakukan oleh kedua negara di sekitar kepulauan
Senkaku/Diaoyu adalah menempatkan teknologi militer di wilayah-wilayah
yang berdekatan dengan kepulauan tersebut. Dari sisi Jepang, dari tahun 2015
lalu, ia mulai memperbaharui pemasangan radar di beberapa titik yang
berdekatan dengan Okinawa. Sedangkan dari sisi Cina, ia dikabarkan sedang
mempersiapkan pembangunan dermaga bagi kapal perang di sebuah pulau lepas
pantai yang berdekatan dengan wilayah sengketa. Dermaga tersebut dibangun di
Pulau Nanji, Wenzhou Cina, dengan panjang sekitar 80 m dan mampu
menampung kapal-kapal pendarat. Selain itu, beberapa pulau disekitarnya juga
telah dipasangi sistem radar dan heliport yang diduga digunakan untuk
membangun landasan pacu bagi keperluan militer.

5.4. Perimbangan Kekuatan (Balance of Power) Jepang dan Cina terkait Permasalahan
Kedaulatan di Kepulauan Senkaku/Diaoyu
Selama kasus tentang kepulauan Senkaku/Diaoyu muncul kepermukaan, telah banyak
terjadi pertarungan kebijakan antara Jepang dan Cina. Walaupun dalam beberapa kondisi
mereka memiliki beberapa kebijakan yang hampir sama, namun kebijakan-kebijakan
tersebut tidak dapat disinkronisasikan karena bedanya pandangan terhadap status kepulauan
tersebut. Jepang yang tidak mengakui bahwa kepulauan tersebut berstatus sengketa seperti
yang dilayangkan oleh Cina, kemudian memperlihatkan secara jelas tentang banyaknya
perbedaan kebijakan di antara keduanya. Menurut Jepang, kepulauan Senkaku/Diaoyu telah
resmi sebagai bagian dari kedaulatan negaranya berdasarkan nilai historis dan hukum
internasional. Maka dari itu kebijakan yang Jepang ambil seperti meningkatkan anggaran
militer, memodernisasi kekuatan militer, meningkatkan penjagaan oleh coast guard, dan
aktivitas lain terkait pengamanan wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu, didasarkan pada
kewajiban dan hak sebagai negara berdaulat untuk melindungi wilayahnya yang terancam
oleh negara lain. Jepang mempertahankan wilayah tersebut menggunakan kekuatan yang ia
miliki tanpa perlu mempermasalahkan status kedaulatan objek tersebut. Sehingga kebijakan

untuk menasionalisasi tiga pulau di Senkaku/Diaoyu yang tadinya dimiliki oleh
perseorangan bukanlah suatu bentuk provokasi karena itu adalah hak Jepang terhadap
wilayah kedaulatannya. Dan hal-hal tersebut merupakan bagian dari internal balancing yang
dilakukan oleh Jepang dalam menghadapi Cina di kepulauan Senkaku/Diaoyu
Bagi Negara Cina yang melihat bahwa status kepulauan Senkaku/Diaoyu adalah
sengketa, kemudian melakukan internal balancing dengan mengeluarkan kebijakan law
enforcement

untuk

memaksa

Jepang

mengubah

posisinya

terhadap

kepulauan

Senkaku/Diaoyu. Cina mulai mempertegas kebijakannya dengan mengirimkan pasukan
patroli CCG ke wilayah perairan Senkaku/Diaoyu dan merilis zona pertahanan udaranya
yang mencangkup seluruh wilayah udara kepulauan Senkaku/Diaoyu.
Dirilisnya zona pertahanan udara atau Air Defence Identification Zone (ADIZ) oleh Cina,
kemudian menimbulkan kontroversi bagi Jepang. Kegiatan yang dilakukan oleh Cina
merupakan

salah

satu

tindakan

balancing

terhadap

kebijakan

Jepang

terkait

penasionalisasian pulau-pulau di wilayah sengketa pada tahun 2012. Selain itu, tindakan
Cina juga dianggap sebagai bagian dari national interest-nya terhadap status quo di
kepulauan Senkaku/Diaoyu. Analoginya, Cina mendeklarasikan ADIZ karena ia sadar
bahwa

Jepang

tidak

akan

mengubah

posisi

kedaulatannya

terhadap

kepulauan

Senkaku/Diaoyu. Cina memutuskan untuk menguasai wilayah udara di sekitar kepulauan
Senkaku/Diaoyu karena ia sadar bahwa saat ini ia tidak dapat menguasai perairan maupun
daratan di wilayah tersebut. Maka dari itu, guna menunjukkan bahwa ia juga memiliki
power terhadap kepulauan tersebut, ia pada akhirnya harus mengambil alih wilayah udara

kepulauan Senkaku/Diaoyu.
Perimbangan yang dilakukan oleh Cina tersebut tentu saja direspon keras oleh Jepang
karena dengan luasnya ADIZ yang dideklarasikan Cina, maka akan mengganggu stabilitas
wilayah udara Jepang. Selain itu, ADIZ yang dideklarasikan Cina akan memaksa Jepang
untuk melaporkan segala aktivitas udaranya di wilayah kedaulatannya sendiri kepada Cina.
Sedangkan jika Jepang tidak melaporkan aktivitas tersebut, maka Cina tidak akan segan
untuk mengambil tindakan agresif dengan cara militer. Terlebih lagi, ADIZ tersebut akan
memudahkan pesawat-pesawat Cina, terutama pesawat militer, masuk ke wilayah udara
kepulauan Senkaku/Diaoyu dan memprovokasi keadaan.

Konsep mengenai ADIZ sendiri merupakan gagasan Amerika Serikat pada tahun 1951
dengan tujuan untuk mengidentifikasi maksud serta tujuan masuknya pesawat dari Amerika
Utara ke wilayah AS pada saat itu. Batas wilayah ADIZ biasanya lebih luas dari satu
wilayah teritorial untuk memudahkan pengidentifikasian pesawat yang akan memasuki
ruang udara suatu negara. Namun demikian, cara kerja ADIZ tidak terikat oleh hukum atau
perjanjian internasional karena ia merupakan mandat nasional suatu negara. Jadi negara lain
diperbolehkan untuk menaati atau menolak kebijakan tersebut, walaupun jika ada pesawat
suatu negara yang tidak mengikuti instruksi dari petugas administrasi ADIZ nekat untuk
terbang di wilayah tersebut, maka angkatan senjata dari negara „tuan rumah‟ berhak untuk
meresponnya sebagai ancaman dan dapat menggunakan kekuatan militer sebagai bentuk
perlindungan terhadap kedaulatan negaranya.
Untuk external balancing, sebenarnya dari kedua negara yang terlibat, Jepang merupakan
negara yang secara terang-terangan memanfaatkan metode external balancing sebagai
tambahan kekuatan internalnya. Kerjasama militernya dengan AS merupakan bentuk
kesepakatan yang sangat mengikat bagi Jepang dan sudah menjadi kebijakan paten terkait
pertahanan negara. Walaupun sejak tahun 2015 Amerika Serikat mulai membatasi intensitas
kerjasama militer antara keduanya, tetapi pada kenyataannya pada tahun 2017 ini, kedua
negara kembali lengket dalam urusan peningkatan kerjasama militer. Pada bulan Februari
lalu, Sekertaris Pertahanan AS, James Mattis, menyatakan bahwa ia akan mendukung
Jepang

dalam

menghadapi

Cina

terkait

pertahanan

kedaulatan

di

kepulauan

Senkaku/Diaoyu.
Walaupun Cina bukan negara yang benar-benar memanfaatkan metode external
balancing sebagai tambahan kekuatan dalam menghadapi negara pengancam kedaulatannya,

namun Cina memiliki Rusia sebagai rekan kerjasama teknologi militer yang cukup setia.
Dilatarbelakangi dari ideologi yang sama, kedua negara ini telah sejak lama menjalin
kerjasama terkait teknologi militer. Hal tersebut dapat dilihat dari persenjataan militer serta
pesawat Cina yang bahan-bahannya berasal dari Rusia. Walaupun tidak secara langsung
Rusia mendukung Cina atas klaimnya terhadap kepulauan Senkaku/Diaoyu, namun kedua
negara ini memiliki ikatan yang baik dalam mendukung satu sama lain. Terlebih, Rusia
merupakan negara yang sama-sama sedang menghadapi sengketa kedaulatan dengan Jepang
terkait pulau Kuril yang terletak di wilayah Utara negara Jepang dan Selatan Rusia.

Untuk permasalahan pembagian wilayah di kepulauan Senkaku/Diaoyu, Cina
menyarankan bahwa pembagian wilayah tersebut dapat dilakukan melalui ketentuan Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE), sedangkan Jepang mengusulkan untuk menggunakan konsep
equidistant atau menarik garis median dari wilayah yang tumpang tindih karena luas Laut

Cina Timur tidak lebih dari 400 mil di wilayah yang disengketakan.
Berdasarkan pada ketentuan dari United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS) tahun 1982 mengenai Hukum Laut Internasional, jika jarak perairan laut yang
membelah dua negara (berhadap-hadapan) kurang dari 400 mil, maka kedua negara tersebut
berhak melakukan perundingan untuk menciptakan kesepakatan tentang batas negaranya.
Tetapi karena Jepang dan Cina telah memiliki pandangan dan national interest yang
berbeda, maka kesepakatan antar keduanya selalu gagal terwujud. Bagi Jepang, jika
menuruti kemauan Cina untuk menggunakan konsep ZEE, maka negaranya akan sangat rugi
karena Cina akan mendapatkan seluruh wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu yang mana
diakui sebagai kedaulatan negara Jepang. Sedangkan bagi Cina, pembagian menggunakan
konsep equidistant tidak dapat diterima karena itu berarti ia akan menyerahkan seluruh
wilayah perairan kepulauan Senkaku/Diaoyu kepada Jepang.
Balancing antara Jepang dan Cina tidak hanya soal kebijakan namun juga soal bagaimana

negara tersebut saling bertindak dan berperilaku. Penggunaan kekuatan militer sebagai jalan
kedua negara dalam mempertahankan kedaulatan wilayah mereka, telah menjadi ancaman
yang nyata bagi keamanan nasional Jepang maupun Cina. Seperti yang telah digambarkan
pada sub bab sebelumnya tentang aktivitas kedua negara di wilayah kepulauan
Senkaku/Diaoyu, baik Jepang maupun Cina sama-sama saling mengancam satu sama
lainnya dengan cara mengerahkan teknologi militer yang mereka miliki. Pergesekan antar
coast guard, kapal militer, dan pesawat militer kedua negara di wilayah yang bermasalah,

menjadi sumbu yang memperkeruh hubungan keduanya. Salah satu contohnya terjadi di
tahun 2013 ketika kapal perang Cina me-lock-on radar fire-control-nya ke kapal dan
helikopter angkatan pertahanan maritim Jepang atau Maritime Self-Defence Force (MSDF)
yang sedang berpatroli di kawasan Senkaku/Diaoyu. Dimana setelah diselidiki lebih lanjut,
radar tersebut merupakan sebuah sistem kapal perang yang digunakan untuk mengarahkan
senjata perang termasuk rudal ke sebuah sasaran.

Negara Jepang dan Cina, keduanya sama-sama mengerahkan power yang mereka miliki
untuk mempertahankan apa yang menurut mereka menjadi miliknya. Kedua negara ini tidak
henti-hentinya saling mengancam, lock-on melalui radar kapal perang terhadap angkatan
bersenjata militer negara lain, merupakan suatu bentuk tindakan provokasi yang sangat
berbahaya dalam dunia internasional karena hal tersebut merupakan ancaman terhadap
keamanan nasional suatu negara dan dapat memicu perang jika terus berlanjut.
Jika dianalisis lebih jauh, penggunaan angkatan bersenjata Cina ke Jepang, merupakan
salah satu bentuk dari tindakan offensive Cina dalam menghadapi Jepang yang bersikeras
untuk tidak mengubah posisinya yang menyatakan bahwa kepulauan Senkaku/Diaoyu
merupakan bagian dari kedaulatan negaranya. Untuk memperlihatkan kesungguhannya, Cina
kemudian mengambil tidakan seperti law enforcement dengan mengirimkan pasukan CCGnya ke perairan Senkaku/Diaoyu untuk lebih memperlihatkan bahwa ia tidak main-main
dalam klaim yang ia layangkan. Sedangkan dari sisi Jepang, sebagai tindakaan offensivenya, ia secara mengejutkan mulai meningkatkan anggaran militernya secara besar-besaran,
mengembangkan teknologi militernya menggunakan kemampuan dan kecanggihan
teknologi negaranya yang telah diakui dunia, dan tentu saja menjalin kerjasama yang
semakin akrab dengan Amerika Serikat.
Walaupun Jepang dan Cina telah benar-benar saling menunjukkan tindakan agresif yang
mengancam, keduanya tidak kunjung mengobarkan perang satu sama lain dan malah saling
menciptakan balance of power secara berkala. Terciptanya situasi balance of power antara
Cina dan Jepang, tentu saja didasari oleh beberapa alasan kuat, berikut adalah alasan-alasan
tersebut. Pertama, Jepang dan Cina sama-sama memiliki visi untuk menciptakan kestabilan
regional yang damai dengan membentuk kerjasama kawasan di wilayah Asia Timur. Sebagai
dua great power di wilayah regional Asia Timur, Jepang dan Cina memiliki peran besar
dalam menjaga kestabilan kawasan baik dari segi politik, ekonomi, dan keamanan. Tidak
hanya di kawasan saja, mereka juga bertanggung jawab dalam menjaga kestabilan dunia
karena pengaruh mereka sangat besar dalam sirkulasi dunia internasional baik dari segi
ekonomi, politik maupun keamanan. Jika kedua negara ini memutuskan untuk berperang,
maka kestabilan kawasan dan bahkan dunia akan terganggu. Lebih kecil lagi, kestabilan
nasional mereka akan melemah sehingga akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan
hidup kedua negara tersebut.

Kedua, Negara yang berperang cenderung akan lebih memfokuskan urusan rumah
tangganya untuk dapat bertahan dan menang dalam pertarungan yang dihadapi. Hal itu, tentu
saja akan mengganggu kestabilan nasionalnya karena urusan negara bukan hanya soal
urusan keamanan saja namun juga soal ekonomi, pemerintahan, sosial, dll. Selain itu, saat
ini situasi dunia telah semakin maju. Globalisasi mengubah fokus setiap negara dunia yang
tadinya berfokus pada sektor keamanan, kemudian berpindah haluan menjadi sektor
ekonomi. Dimana sektor ini merupakan sektor terpenting dan menjadi pondasi kehidupan
suatu negara dalam membangun serta mengembangkan negaranya. Sebagai aktor rasional,
pembentukan strategi balance of power , merupakan hal yang patut dilakukan suatu negara
dalam dunia globalisasi saat ini. Jika negara ingin bertahan hidup, maka ia harus menjaga
kekuatan ekonominya agar tidak terganggu karena modal untuk melakukan pembangunan
dan pengembangan negara adalah adanya pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, Jepang dan Cina sama-sama masih memiliki nasional interest satu sama lain.
Sebagai negara yang saling bertetangga, keduanya memiliki ikatan ketergantungan
walaupun hubungan antar keduanya sering kali mengalami pasang surut. Kedua negara ini
memiliki hubungan yang disebut dengan “cold politics and warm economic relations”.
Globalisasi membawa mereka pada hubungan kerjasama ekonomi khususnya dalam sektor
industri dan perbankan. Hal tersebut dapat diketahui pada tahun 2014 ketika Jepang menjadi
negara terbesar kedua bagi Cina terkait kerjasama ekonomi karena investasi-investasi yang
ditanamkan oleh Jepang di Cina. Walaupun investasi yang dilakukan kedua negara memiliki
resiko kerugian karena situasi dan kondisi politik yang tidak menentu, namun keduanya
tetap melakukan kerjasama karena mereka telah berada dalam pola ketergantungan satu
sama lain. Mungkin, kerjasama ekonomi yang masih terjalin antara Jepang dan Cina dapat
meredam sedikit ketegangan yang sering terjadi antara dua great power ini. Namun
demikian, melalui dokumen white paper -nya pada tahun 2015, secara khusus Cina
menyatakan bahwa ia akan siap melindungi aset maupun institusi yang terletak di negara
lain menggunakan pasukan militernya jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di negara
tersebut.
Dengan penjelasan di atas, maka situasi Jepang dan Cina tidak akan berubah menjadi
situasi perang walaupun keduanya telah saling mengancam. Adanya balance of power, telah
menekan situasi perang yang mungkin terjadi diantara kedua negara. Balancing yang

dilakukan Jepang dan Cina bukan lagi sekedar untuk bertahan, namun digunakan untuk
mengancam lawan sebelum ia diancam terlebih dahulu. Tindakan yang saling mengancam
dan percikan ketegangan fisik antar kedua kubu di perairan maupun udara kepulauan
Senkaku/Diaoyu merupakan hal yang tidak bisa lagi mereka hindari karena pada
kenyataannya mereka memiliki kapasitas power yang memungkinkan mereka untuk
mengambil tindakan tersebut. Selain itu, sebagai great power , mereka akan sama-sama
memiliki banyak pertimbangan dalam melakukan segala tindakan untuk tetap bertahan
hidup. Baik Jepang atau Cina, akan terus melakukan peningkatan kekuatan militer terutama
di wilayah kepulauan Senkaku/Diaoyu sebagai alat untuk meningkatkan posisi tawarnya
dalam setiap perselisihan yang mereka hadapi sekaligus untuk memperlihatkan kepada
lawan bahwa negaranya tidak lemah dan bisa saling mengimbangi dengan cara melakukan
ancaman menggunakan kekuatan militer.

5.5. Refleksi Penelitian
Penelitian mengenai strategi militer Jepang dan Cina dalam mempertahankan kedaulatan
Kepulauan Senkaku/Diaoyu dimulai dari rasa ketertarikan penulis atas perubahan situasi
keamanan regional Asia Timur. Dari seluruh faktor perubahan yang ada, ketegangan antara
Cina dan Jepang atas status sebuah wilayah perairan dengan pulau-pulau tak berpenghuni
telah menarik penulis untuk melakukan penelitian lebih dalam mengenai permasalahan
tersebut. Dimana sebuah kepulauan yang memiliki julukan berbeda dari Jepang dan Cina
yaitu Senkaku/Diaoyu telah menciptakan situasi yang cukup rumit bagi hubungan
diplomatik kedua negara.
Sebagai refleksi dari hasil penelitian dan analisa terkait topik di atas, terdapat beberapa
temuan menarik dari seluruh strategi militer yang dikeluarkan oleh Jepang maupun Cina.
Pertama, kepulauan Senkaku/Diaoyu merupakan wilayah yang memiliki letak strategis bagi
Jepang dan Cina. Seperti yang dijelaskan dalam penelitiannya tentang sengketa wilayah
antara Jepang dan Cina di Laut Cina Timur, Reinhard Drifte mengatakan bahwa nilai-nilai
strategis yang terletak di kepulauan Senkaku/Diaoyu seperti migas, mampu menarik kedua
negara untuk saling bersitegang dan mengancam satu sama lain menggunakan kekuatan
militernya. Walaupun keduanya saling melakukan tindakan offensive dengan melancarkan
ancaman dan bahkan tak jarang beradu „fisik‟ di perairan maupun udara kepulauan

Senkaku/Diaoyu, namun keduanya masih belum berani untuk menaikkan level menjadi
keadaan perang karena berbagai pertimbangan. Baik Jepang maupun Cina sama-sama
menciptakan kondisi balance of power yang tujuannya bukan hanya soal bertahan namun
mengancam negara lawan dimana strategi dan kekuatan militer menjadi jalan keluar bagi
kedua negara dalam menghadapi situasi tersebut. Walaupun keduanya melakukan
perundingan secara diplomatis dan membentuk perjanjian kerjasama untuk mengolah nilainilai strategis di kepulauan Senkaku/Diaoyu seperti kerjasama eksplorasi energi, tetapi
kepentingan dan berbedanya pandangan terhadap status kepulauan tersebut akan terus
mendorong konflik antar kedua negara.
Yang kedua terkait status kedaulatan kepulauan Senkaku/Diaoyu yang masih belum jelas.
Berdasarkan pada buku yang ditulis oleh Unryu Suganuma tentang kedaulatan kepulauan
Senkaku/Diaoyu, status kedaulatan kepulauan tersebut masih sangat rancu karena Jepang
dan Cina sama-sama memiliki bukti-bukti kuat yang dapat diserahkan ke ICJ (International
Court of Justice). Hal tersebut terbukti dari bukti-bukti yang dikeluarkan oleh pemerintah

Jepang dan Cina melalui Kementerian Luar Negerinya. Dimana baik Jepang dan Cina, samasama menjelaskan bahwa mereka sama-sama berhak atas kedaulatan kepulauan
Senkaku/Diaoyu berdasarkan pada nilai historis maupun hukum internasional. Penulis
menyetujui bahwa belum ada hukum internasional yang mampu menyelesaikan kasus
kedaulatan ini karena baik Jepang dan Cina sama-sama tidak mau melepaskan klaimnya
serta sikap saling pengertian antar keduanya masing sangat kurang terbukti dari terus
meningkatnya aktivitas militer di wilayah sengketa.
Ketiga, terkait kebijakan Cina yang mendeklarasikan Air Defense Identification Zone
(ADIZ)

di

atas

kepulauan

Senkaku/Diaoyu.

Sebenarnya,

jauh

sebelum

Cina

mendeklarasikan zona pertahanan udaranya tersebut, Jepang telah terlebih dahulu memiliki
kebijakan ADIZ yang batasnya 130 km mendekati daratan Cina dan di dalamnya termasuk
kepulauan Senkaku/Diaoyu. Ketika Jepang menyebutkan bahwa tindakan Cina merupakan
pemprovokasian terhadap hubungan diplomatik kedua negara dan Cina dianggap tidak
memiliki etika, maka sebenarnya dari empat dekade lalu Jepang telah melakukan hal yang
sama.
Dari sisi Cina, terdapat beberapa hal yang perlu dipahami tentang tindakannya dalam
mengambil keputusan tersebut. Sebagai negara yang mengaku bahwa terdapat wilayah

kedaulatannya yang diambil oleh negara lain dan negara itu tidak mau melepaskan posisinya
untuk melakukan perundingan, maka adalah hal yang wajar jika kemudian Cina
memutuskan untuk melakukan tindakan berbasis law enforcement. Berdasarkan pada teori
balance of power , suatu negara akan melakukan tindakan pengimbang untuk menaikkan

posisi tawarnya agar tidak jatuh dari pihak lain atau counter balancing, maka jika Cina tidak
dapat mengambil dan menguasai daratan maupun perairan kepulauan Senkaku/Diaoyu,
maka ia akan menggunakan udara untuk memperkuat posisinya dalam persengketaan yang
ia hadapi. Setidaknya, Cina memiliki posisi tawar yang cukup baik untuk mendorong musuh
ke dalam situasi yang dapat membuatnya sadar bahwa Cina tidak main-main dalam kasus
persengketaan kedaulatan tersebut.
Yang keempat terkait kekuatan militer Cina dan Jepang yang sebenarnya memiliki jarak
yang cukup jauh untuk disandingkan. Kita telah mengetahui bahwa Jepang merupakan
negara dengan kekuatan militer yang tidak seberapa dibanding Cina. Namun demikian,
Jepang memiliki hal yang tidak dimiliki oleh Cina yaitu soal fokus negara yang tidak
terpecah serta external balancing. Jepang tidak seperti Cina yang tengah menghadapi
berbagai macam konflik kedaulatan. Ia memiliki strategi dan fokus yang lebih kerucut
dibanding Cina yang saat ini tengah berkonflik di Laut Cina Selatan. Hal ini memberi
keuntungan bagi Jepang karena ia dapat memaksimalkan power -nya untuk melindungi
kepulauan Senkaku/Diaoyu.
Berdasarkan pada penelitian sebelumnya tentang “Diplomasi Jepang dan Amerika Serikat
dalam Merespon Peningkatan Anggaran Militer Tiongkok Periode 2006-2010” yang ditulis
oleh Mohamad Reza Tri Satriakhan, hadirnya Amerika Serikat sebagai great power bagi
Jepang menciptakan keuntungan ganda baginya. Dalam segi militer, Jepang hanya memiliki
segelintir

pasukan

yang

dapat

mendukung

negaranya

dalam

mempertahankan

kedaulatannya, namun Amerika Serikat memiliki banyak pasukan yang dapat memberikan
bala bantuan bagi Jepang dalam melaksanakan kewajibannya sebagai negara. Dari penelitian
tersebut, maka dapat dilihat bahwa Jepang benar-benar memanfaatkan external balancing
untuk memperkuat negaranya dalam menghadapi kekuatan Cina yang terus meningkat.
Kedua negara tersebut saling melakukan hubungan timbal balik dimana Jepang
menyuguhkan kesetiaan dan teknologi mempuni, dan Amerika Serikat memberikan
dukungan militer kepada Jepang. Mereka juga saling mendukung satu sama lain, karena

kedua negara juga memiliki kepentingan yang sama untuk menekan kekuatan Cina yang
semakin mengancam hegemoni kedua negara di wilayah Asia.
Sedangkan dari sisi Cina, ia tidak benar-benar mengandalkan external balancing karena
ia telah memiliki kekuatannya tersendiri. Kemudian untuk persoalan fokus negara, Cina saat
ini ia tengah menghadapi „pertarungan‟ besar terkait konflik Laut Cina Selatan. Konflik
tersebut telah membawa Cina pada pemecahan konsentrasi atas anggaran dan kekuatan
militernya. Cina menggunakan kekuatan militernya di wilayah tersebut dengan komposisi
yang cukup besar karena apa yang ia hadapi tidak hanya satu negara namun lima negara
berdaulat yaitu Filipina, Malaysia, Indonesia, Brunei Darusalam, dan Vietnam berserta
aliansi mereka termasuk Jepang dan Amerika Serikat. Dengan banyaknya negara yang ia
hadapi ditambah keterlibatan Amerika Serikat, maka semakin mengganggu konsentrasinya
atas kekuatan yang dapat ia berikan di kepulauan Senkaku/Diaoyu.

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25