T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: PHK Karena Kesalahan Berat Studi Kasus Putusan Tingkat I Nomor 43PDT.SUS PHI2015PN.BDG dan Tingkat Kasasi Nomor PDT.SUSPHI2015 antara Heri Purnomo dan PT Mayora Indah TBK T1 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Di dalam dunia Ketenagakerjaan sering muncul berbagai perselisihan, yang
umum terjadi adalah perihal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan terkait juga
besaran pesangon yang didapat apakah sudah sesuai dengan pengaturan UndangUndang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Munculnya konflik dalam
dunia Ketenagakerjaan dipicu oleh karena adanya pelanggaran pelanggaran
terhadap Perundang-Undangan Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja (PK), Peraturan
Perusahaan (PP), dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang sebagaimana
pengaturan tersebut menjadi dasar dalam pengaturan hak serta kewajiban daripada
Pengusaha dan Pekerja dalam Hubungan Industrial. Tentunya ada sanksi yang
diatur di dalamnya sesuai tingkat pelanggaran yang terjadi.
Tenaga kerja didefinisikan menurut Pasal 1 angka 2 dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan “adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang atau jasa guna memenuhi kebutuhan sendiri maupun
masyarakat”.1

Menurut

Pasal


51

Ayat

(1)

dan

(2)

Undang-Undang

Ketenagakerjaan “Perjanjian Kerja merupakan perjanjian dibuat secara tertulis
atau lisan maupun perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dengan adanya perjanjian kerja maka lahirlah Hubungan Kerja antara Pekerja
1

Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.


1

dengan Pengusaha. Hubungan kerja yang terjadi dalam sektor industrial lebih
dikenal dengan istilah hubungan industrial, pengertian hubungan industrial secara
umum adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam
proses produksi barang dan atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945.2 Pengertian lain
dari hubungan industrial adalah hubungan antara buruh dan majikan setelah
adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh)
mengikatkan diri pada pihak lain (majikan) untuk bekerja dengan mendapatkan
upah dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh
dengan membayar upah.3 Menurut ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang
No.13 tahun 2003 mengatur demikian,” Hubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah dan perintah”. Berdasarkan pengertian hubungan kerja
tersebut maka hubungan kerja adalah bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta
setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha.4 Menurut Pasal
61 Undang – Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian

kerja dapat berakhir apabila :
1. Pekerja meninggal dunia,
2. Jangka waktu kontak kerja telah berakhir,

2

Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
H. Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta: 2012, hlm. 65.
4
Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2006) hlm 53.

3

2

3. Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap,
4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian

kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Jadi, pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang
ditentukan, wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah
pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Praktik yang terjadi di lapangan, seringkali pekerja/ buruh tidak
mendapatkan upah yang layak ataupun tidak mendapatkan hak yang harus
diterimanya, ataupun sebaliknya pekerja/buruh yang tidak memenuhi tanggung
jawabnya yang berdampak merugikan pengusaha, sehingga menimbulkan konflik/
perselisihan. Pengertian konflik/ perselisihan lebih dikenal dengan perselisihan
hubungan industrial. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat
yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/ buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan hubungan kerja, dan perselisihan antar
serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan”.5 Pengertian lain dari
perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena salah satu pihak pada
perjanjian perburuhan tidak memenuhi isi perjanjian itu ataupun menyalahi
ketentuan hukum.6

5


Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
6
Ugo & Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Sinar Grafika,
Jakarta : 2011, hlm. 27.

3

Pekerja menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang
Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain, sedangkan pemberi kerja adalah orang perseorangan,
pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang memperkerjakan tenaga
kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Hubungan antara
pekerja dengan pemberi kerja atau pengusaha secara yuridis pekerja adalah bebas,
karena seorang pekerja/buruh dalam prinsip di Negara Indonesia tidak boleh
diperbudak ataupun diperhamba, namun secara sosiologis pekerja tidak memiliki
kebebasan dimana pekerja terkadang dengan terpaksa menerima hubungan kerja
dengan pengusaha sekalipun memberatkan diri para pekerja itu sendiri. Namun
perubahan di dalam ketentuan ketenagakerjaan terus terjadi, hal tersebut tidak

lepas dari proses panjang sejarah hukum ketenagakerjaan itu sendiri. Dalam
perkembangan ini pun kemudian, pengaturan hubungan kerja diserahkan
seluruhnya pada perjanjian bebas antara pengusaha dan pekerja. Asas kebebasan
yang dibawa oleh revolusi industri, telah berperan besar dalam menumbuhkan
prinsip kehidupan liberalisme yang sangat bersifat individualistis.7
Pada dasarnya perselisihan antar manusia tidak dapat dihindarkan, karena
manusia merupakan makhuk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia
lainnya, maka dari itu hal demikian adalah wajar jika dalam interaksi tersebut
terjadi perbedaan paham yang berakibat munculnya perselisihan antara satu
dengan yang lainnya.8

Dari perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan

hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh tidak tertutup kemungkinan
akan terjadinya pemutusan hubungan kerja (untuk selanjutnya disebut PHK). PHK
Drs. Mohd. Syaufii Syamsuddin, SH,. MH., “Norma Perlindungan dalam Hubungan Industrial,”
Jakarta, Sarana Bhakti Persada, 2004, hlm. 3.
8
Husni, Lalu, Op.cit., hlm. 122.
7


4

berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang No.13 tahun 2003 yang
berbunyi, “Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja/buruh dan pengusaha”.9 Pemutusan hubungan kerja merupakan peristiwa
yang tidak diharapkan terjadinya khususnya bagi pekerja/buruh, karena
pemutusan hubungan kerja itu akan memberikan dampak psychologis, economisfinancial, bagi pekerja/buruh dan keluarganya.10

Dalam prosedur PHK dapat dipahami

bahwa sebelumnya semua pihak

(Pengusaha, Pekerja/Buruh, serikat pekerja/ serikat buruh) harus melakukan upaya
untuk menghindari terjadinya PHK (Pasal 151 Ayat 1 Undang-Undang
Ketenagakerjaan). Jika kemudian jika tidak dapat dihindari, pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh mengadakan perundingan (Pasal 151 Ayat 2 UndangUndang Ketenagakerjaan). Jika perundingan terjadi maka dibuat persetujuan
bersama. Tetapi jika tidak berhasil, pengusaha akan mengajukan permohonan
penetapan secara tertulis disertai dasar dan alasan-alasannya kepada Pengadilan

Hubungan Industrial (Pasal 151 Ayat 3 dan 152 Ayat 1) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jika selama belum ada putusan dari
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka semua pihak tetap
melaksanakan kewajiban masing-masing.11
PHK dapat terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha maupun dari
pekerja/buruh, akan tetapi dalam prakteknya PHK itu sebagian besar datangnya

9

Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
F.X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono, “Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan
Pancasila”, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm.85.
11
Abdul Khakim, S.H., M.Hum., “Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,” PT Citra
aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm.186.
10

5

dari pihak pengusaha.12 PHK dapat terjadi disebabkan oleh berbagai macam

alasan, antara lain mangkir, perubahan status perusahaan, perusahaan tutup,
perusahaan pailit, atau karena pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat. Hal
tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 158 Ayat (1) Undang-Undang
No.13 tahun 2003, yang berbunyi: “Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan
berat bahwa, pekerja/buruh yang terbukti telah melakukan kesalahan berat.” Jika
dipahami maka maksud ketentuan ini menyatakan bahwa pengusaha dapat
melakukan PHK secara sepihak apabila pekerja/buruh terbukti melakukan
kesalahan berat.
Ketentuan PHK secara sepihak yang ditetapkan oleh pengusaha harus
didukung dengan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pekerja/buruh tersebut
telah melakukan kesalahan berat. Bukti-bukti tersebut sebagaimana ketentuan
Pasal 158 Ayat (2) Undang-Undang No.13 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa
Pekerja/buruh tertangkap tangan, ada pengakuan dari pekerja/buruh yang
bersangkutan atau bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurangkurangnya dua orang saksi.
Berkaitan dengan ketentuan PHK berdasarkan kesalahan berat, Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 28 Oktober 2004 telah mengeluarkan
Putusan


No.012/PUU-I/2003

Permohonan

Pengujian

(selanjutnya

disebut

Undang-Undang No.

13

Putusan
Tahun

MK)
2003


perihal
Tentang

Ketenagakerjaan. Isi amar putusannya menyatakan bahwa, “Pasal 158 dalam

12

Ibid., hlm. 28.

6

Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat”. Maksud dalam Putusan MK ini salah satunya
membatalkan Pasal 158 yang mengatur tentang kesalahan berat sebagai alasan
yang dapat digunakan oleh pengusaha untuk melakukan PHK karena dinilai telah
melanggar

asas

praduga

tak

bersalah.

Mahkamah

Konstitusi

melalui

pertimbangannya menilai PHK yang dilakukan oleh pengusaha dengan alasan
kesalahan berat adalah dilakukan tanpa melalui putusan pengadilan yang
independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha
yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut
hukum acara yang berlaku.
Atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pada tanggal 7 januari 2005
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran No.SE13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji
Materil Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap
Undang–Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut SE
MENAKERTRANS) pada butir 3 huruf a yang menyatakan bahwa, “pengusaha
yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan
berat berdasarkan Pasal 158, maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan
hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”. Hal ini berarti
kesalahan berat yang terdapat pada Pasal 158 dalam Undang-Undang No.13 tahun
2003 adalah diberlakukan kembali atau dapat dijadikan dasar untuk mem-PHK
seorang pekerja/buruh apabila terhadapnya telah ada putusan hakim pidana yang
berkekuatan hukum tetap dari pengadilan dan sebagai bukti hukum yang nantinya

7

dapat dijadikan bukti dalam perselisihan PHK yang akan diajukan ke Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Dalam Putusan tingkat pertama Nomor: 43/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG
dan tingkat Kasasi Putusan Nomor: 656 K/Pdt.Sus-PHI/2015, tentang putusan
perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja antara Heri Purnomo (Pekerja) dengan
PT. Mayora Indah Tbk (Pemberi Kerja), adapun gambaran duduk perkara sebagai
berikut:
Bahwa Penggugat Heri Purnomo telah bekerja ± 12 (dua belas) tahun
sebagai karyawan PT. Mayora Indah Tbk sejak tanggal, 27 Agustus 2002 pada
Bagian Prod.Biscuit-Technical Packing dengan upah sebesar Rp. 2.922.017,- (dua
juta Sembilan ratus dua puluh dua ribu tujuh belas rupiah) / bulan. Kemudian pada
tanggal, 13 Juni 2014 dipanggil oleh Bapak Suwardi selaku Unit Head, untuk
menghadap Bapak Adi Pramono selaku Dept Head terkait permasalahan
Penggugat yaitu " tidak berada ditempat kerja tanpa seijin atasan yang berwenang,
pada tanggal 12 Juni 2014", dan Penggugat telah menyatakan pada tanggal
tersebut tidak berada dilokasi kerja, tetapi berada di tempat lain yang masih dalam
lingkungan Perusahaan. Bahwa Penggugat pada tanggal, 23 s/d 26 Juni 2014
dilarang masuk bekerja oleh Tergugat secara lisan. Pada tanggal 27 Juni 2014,
Penggugat dipanggil oleh Tergugat dan kemudian Tergugat memberikan kembali
hukuman terhadap Penggugat yaitu sanksi Pembebasan Tugas (Skorsing) terkait
ketidakberadaan Penggugat ditempat kerja pada tanggal 12 Juni 2014 melalui
surat Nomor :325/MYR/HRDA/1/2014 tertanggal 21 Juni 2014 yang berlaku
mundur yaitu dari tanggal 23 Juni 2014 s/d 5 juli 2014. pada tanggal 7 Juli 2014
Penggugat masuk bekerja kembali seperti biasa, setelah menjalani Sanksi

8

Skorsing tersebut, tetapi pada siang hari Penggugat dipanggil oleh Bapak Adnan
Karim selaku IR & GA Dept. Head dan Penggugat disuruh Pulang. Tanggal 8 dan
9 Juli 2014 Penggugat dilarang masuk bekerja oleh security Tergugat atas perintah
dari Bapak Adnan Karim selaku IR & GA Dept. Head. Kemudian pada tanggal 10
Juli 2014 Tergugat mengirimkan Surat Pemutusan Hubungan Kerja No.022 /
MYR-CBT / HRD-PHK / VII / 2014 tertanggal 7 Juli 2014 terhadap Penggugat.
Dalam Surat Pemutusan Hubungan Kerja tersebut, Tergugat menyatakan
"Penggugat telah melakukan pelanggaran berat sesuai dengan PKB Pasal 62
Huruf "b" yaitu memberikan keterangan palsu/yang dipalsukan sehingga
merugikan Perusahaan/kepentingan Negara.", kesalahan Penggugat adalah : "
tidak berada ditempat kerja tanpa seijin atasan yang berwenang, pada tanggal 12
Juni 2014. Dalam PKB PT. Mayora Indah Tbk yaitu Pasal 56 Ayat (2) huruf "c"
yang menyatakan : "Pekerja meninggalkan tempat kerja atau bagiannya tanpa
sepengetahuan atau seijin atasan yang berwenang" diberikan sanksi yaitu
TEGURAN LISAN berdasarkan Pasal 56 Perjanjian Kerja Bersama (PKB) PT.
Mayora Indah. Tbk, seharusnya permasalahan tersebut sudah selesai dengan telah
dipanggilnya Penggugat dan diberikan teguran lisan pada saat itu.
Menurut Penggugat pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh
Tergugat terhadap Penggugat dengan alasan Penggugat telah memberikan
keterangan palsu/yang dipalsukan yang telah merugikan Tergugat merupakan
suatu delik tindak pidana yang harus diselesaikan terlebih dahulu tentang tindak
pidananya tersebut, seperti diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi perkara
Nomor 012/PUU-1/2003, tanggal 28 Oktober 2004 dan surat edaran Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.13/MEN/SC-HK/l/2005. Bahwa oleh

9

karena Pemutusan Hubungan Kerja tersebut melalui surat Nomor 022/MYRCBT/HRD-PHK/VII/2014 tertanggal 7 Juli 2014, dikeluarkan tanpa adanya
putusan hakim pidana, maka pemutusan hubungan kerja tersebut adalah tidak sah
dan batal demi hukum. Maka Penggugat meminta untuk dipekerjakan kembali
pada jabatan dan posisi semula serta membayar seluruh upah dan hak yang
seharusnya diterima oleh Penggugat sebesar Rp2.922.017,00 (dua juta sembilan
ratus dua puluh dua ribu tujuh belas rupiah) untuk setiap bulannya sampai dengan
adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Penggugat terbukti bersalah memberikan keterangan palsu atau dipalsukan
atas surat pernyataan yang dibuat Pengugat yang berdasarkan absensi dan data
kamera CCTV pada tanggal 12 Juni 2014 Penggugat masuk dan pulang sesuai
dengan jam kerja, 2. Melakukan keterangan palsu atau yang dipalsukan atas
pencatatan absen masuk pukul 08.10 WIB dan pulang datang kembali absen pukul
16.44 WIB sedangkan Penggugat tidak masuk bekerja. Hal tersebut didukung pula
dengan keterangan saksi mata.
Karena telah terbukti melakukan kesalahan berat sehingga haruslah
diputuskan hubungan kerjanya dengan alasan mendesak” Jo 1603 huruf O 1o
KUH-Pdt menyebutkan : “bagi majikan dianggap sebagai alasan-alasan mendesak
dalam arti Pasal lalu perbuatan-perbuatan sifat atau tingkah laku si buruh yang
demikian hingga karenanya dari pihak majikan tidak sepatutnya dapat diminta
untuk meneruskan perhubungan kerjanya yaitu : “ apabila si buruh pada waktu
menutup persetujuan telah menyesatkan si majikan dengan memperlihatkan suratsuarat pernyataan yang palsu atau dipalsukan , atau kepada si majikan ini dengan
sengaja telah memberikan keterangan palsu tentang tata cara bagaimana

10

perhubungan kerja yang lama telah berakhir ”, dengan demikian Surat Pemutusan
hubungan kerja yang diterbitkan oleh Tergugat kepada Penggugat No.022/MYRCBT/HRD-PHK/VII/2014 pada tanggal 7 Juli 2014 secara hukum adalah sah
demi hukum dan haruslah dinyatakan putus hubungan kerja.
Dalam kasus ini putusan memiliki kekuatan hukum tetap karena ada
ketentuan alasan mendesak yang diatur pula dalam Surat Edaran Menakertrans
NO. SE 13/MEN/SJ-RK/I/2005 pada poin ke 4, bahwa: “Dalam hal terdapat
alasan mendesak yang mengakibatkan tidak memungkinkan hubungan kerja
dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.”
Dalam putusan tingkat pertama dengan tingkat Kasasi dalam kasus ini
memiliki perbedaaan pemberian hak-hak PHK kepada penggugat (pekerja),
meskipun alasan terjadinya PHK adalah sama. Hal tersebut disebabkan oleh
karena dasar pertimbangan yang digunakan oleh Hakim tingkat pertama dan
tingkat Kasasi adalah berbeda. Pada tingkat pertama Majelis Hakim mendasarkan
pada kepatutan dengan penggugat yang telah lama bekerja pada tergugat (12
Tahun). Pada tingkat Kasasi Majels Hakim menggunakan dasar pertimbangan
Pasal 156 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang
mengatur tentang pesangon yang harus diterima bagi pekerja yang di PHK. Lalu
sebenarnya apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan putusan mengenai hakhak PHK, sedangkan jika dilihat alasan PHKnya sebenarnya adalah sama. Lalu
apakah alasan mendesak yang diatur dalam Surat Edaran Menakertrans NO. SE
13/MEN/SJ-RK/I/2005 sendiri akan menjadi celah yang dapat digunakan oleh

11

para pemberi kerja untuk melakukan PHK dengan alasan kesalahan berat dengan
alasan mendesak, tanpa harus membuktikan kesalahan pidananya.
Atas dasar permasalahan tersebut peneliti kemudian merancang penelitian
dengan judul :
“Analisis

Dalam

Putusan

Tingkat

I

Nomor

43/PDT.SUS-

PHI/2015/PN.BDG dan Tingkat Kasasi Nomor 656 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan Kesalahan Berat”.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan
masalah yang diajukan yaitu:
Apakah pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat I dan Kasasi pada
putusan No. 43/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG dan Tingkat Kasasi Nomor
656 K/Pdt.Sus-PHI/2015 sudah sesuai dengan ketentuan dalam UU No 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan?

C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah yang akan penulis teliti, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mendapatkan jawaban tentang kesesuaian pertimbangan Majelis Hakim pada
putusan No. 43/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG dan Tingkat Kasasi Nomor 656
K/Pdt.Sus-PHI/2015 tentang PHK karena Kesalahan Berat, dengan ketentuan
yang diatur dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

12

D. MANFAAT PENELITIAN
Penulisan ini dibuat untuk dapat memberi manfaat baik secara teoritis
maupun praktis. Harapan manfaat dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan Akademis
Hasil Penulisan yang penulis susun diharapkan dapat menambah
wawasan

ilmu

pengetahuan

Hukum

Ketenagakerjaan

tentang

implementasi hukum mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK)
karena Pekerja/Buruh melakukan kesalahan berat serta hak-hak yang
harus diterima pekerja/buruh yang dikenai PHK atas kesalahan tersebut
menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2.

Kegunaan Praktis
a.

Bagi

masyarakat,

diharapkan

dapat

menjadi

sumbangan

pengetahuan dalam bidang hukum ketenagakerjaan, serta dapat
dipakai sebagai acuan dalam mempelajari mengenai implementasi
hukum dalam kasus pemutusan hubungan kerja kepada pekerja
yang melakukan kesalahan berat dengan melihat contoh kasus.
b.

Bagi Praktisi, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi
dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dan memperjelas
mengenai implementasi hukum dalam kasus pemutusan hubungan
kerja kepada pekerja yang melakukan kesalahan berat dengan
melihat contoh kasus.

c.

Bagi Peneliti, diharapkan dapat digunakan untuk menambah
pengetahuan serta wawasan di bidang hukum khususnya hukum
ketenagakerjaan.

13

E. METODE PENELITIAN
1.

Metode Pendekatan
Metode penelitian untuk melengkapi dan meyempurnakan penulisan ini

maka, penulis melakukan penelitian guna mendapatkan data yang konkrit agar
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam permasalahan ini metode
penelitian yang digunakan penulis adalah Yuridis Normatif, yaitu dilakukan atau
ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bentuk-bentuk dokumen resmi
atau disebut juga dengan data sekunder. Data diperoleh dengan mengumpulkan
bahan-bahan dari buku-buku yang ada hubungannya dengan masalah yang
dibahas, disini dikelompokkan atas :
a. Bahan Hukum Primer yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hakhak Asasi Manusia, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan,

Undang-undang

No.

2

Tahun

2004

Tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
b. Bahan Hukum Sekunder yaitu semua tulisan dan hasil penelitian baik
berupa karya ilmiah sarjana, jurnal hukum, buku-buku, artikel, makalah
serta putusan Nomor 43/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG dan Tingkat Kasasi
Nomor 656 K/Pdt.Sus-PHI/2015.
c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.
2.

Teknik Pengumpulan Data
Penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi pustaka yaitu

dengan mempelajari literatur-literatur yang ada berkaitan dengan permasalahan

14

yang akan dibahas. Selain itu itu untuk melengkapi data juga dilakukan
penelurusan data melalui internet.
3.

Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data disusun secara sistematis melalui proses editing yaitu

mengolah kembali data yang telah diperoleh dengan memilih data yang sesuai
dengan keperluan dan tujuan penelitian sehingga di dapat suatu kesimpulan akhir
secara umum yang nantinya akan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
kenyataan yang ada.
4.

Teknik Analisa Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan analisis data kualitatif, yaitu

dengan bersumber pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 serta putusan
Nomor 43/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG dan Tingkat Kasasi Nomor 656
K/Pdt.Sus-PHI/2015.

15

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25