Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Etanol Bunga Brokoli (Brassica oleracea L.) Terhadap Nilai Sun Protection Factor Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenzone dan Oktil Metoksisinamat Secara in Vitro

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Sistematika Tumbuhan

2.1.1Klasifikasi tumbuhan brokoli (Brassica oleraceae L.) Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Brassicales

Famili : Cruciferae / Brassicaceae Genus : Brassica

Spesies : Brassica oleracea L. var. Italica Plenck.

(Rukmana, 1994) 2.1.2 Deskrispi tanaman

Tanaman brokoli berasal dari daerah Asia & dataran Mediterania dan termasuk kedalam famili Brassica. Brokoli berasal dari bahasa Italia yaitu: Brocco yang berarti cabang atau lengan. Tanaman ini sering dijuluki kubis bunga hijau. Brokoli yang baik berwarna hijau tua (hijau gelap), hijau keabu-abuan, atau hijau keunguan tergantung dari varietasnya (Smith, 2002).

Brokoli tumbuh bergerombol seperti bunga. Penampilan brokoli memang menawan karena bentuknya yang membulat terdiri dari cabang-cabang kecil dan berdaging seolah-olah seperti kumpulan lengan dan tak heran jika tanaman brokoli sering digunakan sebagai penghias masakan, karena enak dimakan


(2)

mentah, direbus atau disop. Pada setiap cabang terdapat sekelompok kuntum-kuntum hijau yang disebut kepala bunga utama. Setiap kelompok kuntum-kuntum bercabang-cabang pula membentuk kelompok kuntum yang lebih kecil (kepala bunga samping) (Smith, 2002).

Sayuran ini juga sering disebut orang dengan nama: green sprouting (tunas hijau) atau sprouting broccoli (brokoli bertunas), karena bentuknya menyerupai kelompok tunas-tunas hijau. Brokoli yang baik berwarna hijau segar dengan bonggolan kepala tampak kompak serta batangnya halus dengan dedaunan yang masih segar (Smith, 2002).

2.1.3 Kandungan kimia

Tanaman brokoli mengandung sumber vitamin A, B dan C serta beberapa mineral, kalsium, kalium dan zat besi (Smith, 2002). Brokoli mengandung air, protein, lemak, karbohidrat, serat, kalsium, zat besi, vitamin (A, C, E, thiamin, riboflavin, nikotinamida), beta karoten dan glutation. Selain itu, brokoli mengandung senyawa sianohidroksibutena (CHB), sulforafan dan iberin yang merangsang pembentukan glutation. Kandungan zat berkhasiatnya adalah sulforafan yang dapat mencegah penyakit kanker (Utami, 2008).

2.1.4 Manfaat brokoli (Brassica oleraceae var Italica)

Brokoli bermanfaat untuk mencegah kanker serta menjaga kesehatan hati, jaringan tubuh dan otot, membantu meningkatkan kecerdasan dan antioksidan (Smith, 2002). Menurut Bangun (2005) menyebutkan brokoli dikenal sebagai sayuran antikanker. Hal ini terbukti bahwa orang yang mengonsumsi brokoli, kemungkinan terkena kanker esophagus, kanker perut, kanker kolon, kanker paru, kanker laring, kanker prostat, kanker mulut dan kanker faring sangat rendah.


(3)

Senyawa antidot kanker (indole) dan karoten juga ikut memberi kekuatan untuk melawan kanker karena adanya klorofil, sehingga brokoli sangat potensial untuk menghambat mutasi sel kanker.

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Struktur kimia yang berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat keasaman, dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia maka akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes, RI., 2000).

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang ditetapkan (Depkes, RI., 2000).

2.2.1 Proses pembuatan ekstrak 1. Pembuatan serbuk simplisia

Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk simplisia kering. Dari simplisia dibuat serbuk simplisia dengan peralatan tertentu


(4)

sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat mempengaruhi mutu ekstrak, semakin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi semakin efektif dan semakin efisien, namun semakin halus serbuk, maka akan semakin rumit secara teknologi peralatan untuk tahapan filtrasi.

2. Cairan pelarut

Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik (optimum) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan. Cairan pelarut yang dipilih untuk mendapatkan ekstrak total adalah yang dapat melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia. Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari antara lain: selektifitas, kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut, ekonomis, ramah lingkungan dan keamanan.

3. Separasi dan pemurnian

Tujuan dari tahapan ini adalah menghilangkan (memisahkan) senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada senyawa kandungan yang dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih murni. Proses-proses pada tahapan ini adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tidak bercampur, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi serta proses adsorpsi dan penukar ion. 4. Pemekatan atau penguapan (vaporasi dan evaporasi)

Pemekatan berarti jumlah parsial senyawa terlarut (solute) secara penguapan pelarut tidak sampai menjadi kering, melainkan ekstrak hanya menjadi kental atau pekat.


(5)

5. Randemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan simplisia kering (Depkes,RI., 2000).

2.2.2 Ekstraksi dengan menggunakan pelarut a. Cara dingin

1. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cara ini dapat menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan.

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Ekstraksi ini membutuhkan pelarut yang lebih banyak.

b. Cara panas 1. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

2. Soxhletasi

Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendinginan balik.


(6)

3. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-500C.

4. Infundasi

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit).

5. Dekoktasi

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air (Depkes, RI., 2000).

2.3 Kulit

2.3.1 Anatomi kulit

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa sekitar 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan (Wasitaatmadja, 1997). Kulit merupakan “selimut” yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.3.2 Struktur kulit

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu: 1. lapisan epidermis, lapisan ini terdiri dari atas stratum corneum, stratum


(7)

a. Stratum corneum (lapisan tanduk) terdiri atas beberapa lapis sel yang pipih, mati, tidak memiliki inti, tidak mengalami proses metabolisme, tidak berwarna dan sangat sedikit mengandung air dan sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia. Hal ini berkaitan dengan fungsi kulit untuk memproteksi tubuh dari pengaruh luar. Secara alami, sel-sel yang sudah mati di permukaan kulit akan melepaskan diri untuk berdegenarasi. Permukaan stratum corneum dilapisi oleh suatu lapisan pelindung lembab tipis yang bersifat asam disebut Mantel Asam Kulit.

b. Stratum lusidum (lapisan jernih) terletak tepat di bawah stratum corneum merupakan lapisan yang tipis, jernih, mengandung eleidin, sangat tampak jelas pada telapak tangan dan telapak kaki.

c. Stratum granulosum (lapisan berbutir-butir) tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk poligonal, berbutir kasar, berinti mengkerut. d. Stratum spinosum (lapisan malphigi) memiliki sel berbentuk kubus dan

seperti berduri. Intinya besar dan oval. Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein.

e. Stratum germinativum (lapisan basal) adalah lapisan terbawah epidermis. Di dalam stratum germinativum juga terdapat sel melanosit, yaitu sel-sel yang tidak mengalami keratinisasi dan fungsinya hanya membentuk pigmen melanin dan memberikan kepada sel-sel keratinosit melalui dendritnya (Tranggono dan Latifah, 2007).

2. Dermis

Berbeda dengan epidermis yang tersusun oleh sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan, dermis terutama terdiri dari bahan dasar serabut kolagen dan


(8)

elastin yang berada di dalam substansi dasar yang bersifat koloid dan terbuat dari gelatin mukopolisakarida. Serabut kolagen dapat mencapai 72 persen dari keseluruhan berat kulit manusia bebas lemak.

Adneksa-adneksa kulit terdapat di dalam dermis seperti folikel rambut, papila rambut, kelenjar keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf, juga sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan lemak bawah kulit (subkutis/hipodermis) (Tranggono dan Latifah, 2007).

3. Lapisan subkutis (hipodermis)

Lapisan subkutis merupakan lapisan kulit yang terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya, di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah dan saluran getah bening (Wasitaatmadja, 1997).

2.3.3 Fungsi biologik kulit a. Proteksi

Serabut elastis yang terdapat pada dermis serta jaringan lemak subkutan berfungsi mencegah trauma mekanik langsung terhadap interior tubuh. Lapisan tanduk dan mantel lemak kulit menjaga kadar air tubuh dengan cara mencegah masuk air dari luar tubuh dan mencegah penguapan air, selain itu juga berfungsi sebagai barrier terhadap racun dari luar. Mantel asam kulit dapat mencegah pertumbuhan bakteri di kulit.

b. Thermoregulasi

Kulit mengatur temperatur tubuh melalui mekanisme dilatasi dan konstriksi pembuluh kapiler dan melalui perspirasi, yang keduanya dipengaruhi saraf otonom.Vasokontriksi terjadi pada saat temperatur badan menurun,


(9)

sedangkan pada saat temperatur badan meningkat terjadi vasodilatasi untuk meningkatkan pembuangan panas.

c. Persepsi Sensoris

Kulit berfungsi sebagai indera terhadap rangsangan dari luar berupa tekanan, raba, suhu dan nyeri melalui beberapa reseptor.Rangsangan dari luar diterima oleh reseptor-reseptor tersebut dan diteruskan ke sistem saraf pusat dan selanjutnya diinterpretasi oleh korteks serebri.

d. Absorbsi

Beberapa bahan dapat diabsorbsi kulit masuk ke dalam tubuh melalui dua jalur yaitu melalui epidermis dan melalui kelenjar sebasea. Zat yang mudah larut dalam lemak lebih mudah diabsorbsi dibanding air dan zat yang larut dalam air (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.4 Kosmetik

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI. No.445/MenKes/Permenkes/ 1998, kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ kelamin bagian luar), gigi dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, menyembuhkan suatu penyakit (Tranggono dan Latifah, 2007).

Kosmetik berdasarkan kegunaannya dibagi menjadi kosmetik perawatan kulit dan riasan. Kosmetik perawatan kulit, misalnya kosmetik untuk membersihkan kulit, untuk melembabkan kulit, pelindung kulit dan menipiskan atau mengempelas kulit, sedangkan kosmetik riasan diperlukan untuk merias dan


(10)

menutup cacat pada kulit sehingga menghasilkan penampilan yang lebih menarik. Krim ekstrak bunga brokoli ini termasuk kedalam kosmetik perawatan kulit yakni sebagai pelindung kulit.

2.4.1 Kosmetik pelindung kulit

Kosmetik pelindung adalah kosmetik yang dikenakan pada kulit yang sudah bersih dengan tujuan melindungi kulit dari berbagai pengaruh lingkungan yang merugikan kulit. Menurut tujuan spesifiknya, masing-masing kosmetik pelindung dapat dibagi dalam kelompok berikut:

1. Preparat yang melindungi kulit dari bahan-bahan kimia (bahan kimia yang membakar, larutan detergen dan lain-lain).

2. Preparat untuk melindungi kulit dari debu, kotoran, bahan pelumas dan lain-lain.

3. Preparat untuk melindungi kulit dari benda fisik yang membahayakan kulit (sinar ultraviolet, panas).

4. Preparat yang melindungi kulit dari luka secara mekanis (dalam bentuk kosmetik pelumas).

5. Preparat untuk mengusir serangga agar tidak mendekati (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.4.2 Preparat untuk melindungi kulit dari radiasi sinar ultraviolet matahari a. Sinar Ultraviolet

Spektrum UV terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan panjang gelombang UV-C (200-290 nm), UV-B (290-320 nm) dan UV-A (320-400 nm).UV-A terbagi lagi menjadi dua sub bagian yaitu UV-A2 (320-340 nm) dan


(11)

UV-A1 (340-400 nm) (COLIPA, 2006), namun UV-C tidak sampai ke bumi karena diserap oleh lapisan ozon di angkasa luar (Tranggono dan Latifah, 2007).

Penyerapan UV B/ UV C pada kulit dibatasi oleh lapisan basal epidermis, sedangkan UV A dapat menembus lebih dalam. UV C diserap stratum korneum dan lapisan atas stratum malpighi. UV C hanya memberikan efek tidak langsung pada lapisan hidup epidermis (melanosit dan keratinosit), mampu menginduksi produksi sitokin yang bertanggung jawab terhadap timbulnya eritema dan mampu mengubah fungsi imunitas sel langerhnas sehingga mungkin terlibat dalam pembentukan kanker kulit (Anies, 2009).

Radiasi UV B dapat menembus semua lapisan epidermis, hanya sekitar 10-15% dapat menjangkau bagian atas lapisan dermis. Efek pajanan ini adalah eritema dan kanker kulit, sedangkan radiasi UV A yang diserap lapisan epidermis hanya 50%, sedangkan sisanya hanya mampu menembus lapisan dermis sampai kedalaman 2 mm. Efek yang dapat ditimbulkan adalah kanker kulit, penuaan dini dan juga pigmentasi kulit akibat peningkatan produksi pigmen melanin (Anies, 2009).

Intensitas radiasi matahari yang mengenai kulit tergantung pada jarak antara suatu tempat dan garis khatulistiwa, kelembaban udara, musim, ketinggian tempat dan jam waktu setempat. Semakin dekat jarak antara suatu tempat dan garis khatulistiwa, semakin tinggi suatu tempat, maka semakin tinggi intensitas radiasi sinar ultraviolet yang mengenai kulit dalam jangka waktu yang sama. Intensitas radiasi ultraviolet tertinggi adalah terjadi pada pukul 08:00-15:00 waktu setempat, yaitu ketika orang sedang aktif di luar rumah (Tranggono dan Latifah, 2007).


(12)

b. Perlindungan Kulit

Secara alami, kulit sudah berusaha melindungi dirinya beserta organ-organ dibawahnya dari bahaya sinar UV matahari, antara lain dengan membentuk butir-butir pigmen kulit (melanin) yang sedikit banyak memantulkan kembali sinar matahari. Jika kulit terpapar sinar matahari, misalnya ketika seseorang berjemur maka timbul dua tipe reaksi melanin:

1. Penambahan melanin dengan cepat ke permukaan kulit, 2. Pembentukan tambahan melanin baru.

Jika pembentukan tambahan melanin ini berlebihan dan terus menerus, noda hitam pada kulit dapat terjadi. Secara artificial, ada dua cara perlindungan kulit yaitu:

1. Perlindungan secara fisik, misalnya dengan menggunakan payung, topi lebar, baju lengan panjang, celana panjang, serta pemakaian bahan-bahan krim yang dapat melindungi kulit dengan jalan memantulkan sinar yang mengenai kulit, misalnya talkum, titan dioksida, zinc oksida, kaolin, kalsium karbonat, magnesium karbonat, talkum, silisium dioksida dan bahan-bahan lainnya sejenis yang sering ditambahkan dalam dasar bedak (foundation) atau pembuatan bedak.

2. Perlindungan secara kimiawi dengan memakai bahan kimia. Ada dua kelompok bahan kimia ini:

a. Bahan yang menimbulkan dan mempercepat proses penggelapan kulit (tanning), misalnya dioxy acetone dan 8-methoxy psoralen, yang digunakan 2 jam sebelum berjemur. Bahan ini mempercepat pembentukan pigmen melanin di permukaan kulit.


(13)

b. Bahan yang menyerap UV-B tetapi meneruskan UV-A ke dalam kulit, misalnya Para Amino Benzoic Acid (PABA) dan derivatnya, Cinnamates, Anthranilates, Benzophenone, Digalloly trioleate dan Petrolatum veteriner merah. Tapi perlu diingat bahwa PABA dan sejumlah bahan tersebut bersifat photosensitizer, yaitu jika terkena sinar matahari terik seperti halnya di negara tropis Indonesia dapat menimbulkan berbagai reaksi negatif pada kulit, seperti photoallergy, phototoxic, disamping pencoklatan kulit (tanning) yang tidak disukai oleh orang Asia yang menyukai kulit yang berwarna putih (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.4.3 Syarat preparat kosmetik tabir surya (sunscreen) 1. Enak dan mudah dipakai,

2. Jumlah yang menempel mencukupi kebutuhan, 3. Bahan aktif dan bahan dasar mudah tercampur,

4. Bahan dasar harus dapat mempertahankan kelembutan dan kelembaban kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).

Syarat-syarat bagi bahan aktif untuk preparat tabir surya:

1. Efektif menyerap radiasi sinar UV-B tanpa perubahan kimiawi, karena jika tidak demikian akan mengurangi efisiensi, bahkan menjadi toksik atau menimbulkan iritasi,

2. Stabil, yaitu tahan keringat dan tidak menguap,

3. Mempunyai daya larut yang cukup untuk mempermudah formulasinya, 4. Tidak berbau atau boleh berbau ringan,

5. Tidak toksik, tidak mengiritasi dan tidak menyebabkan sensitisasi (Tranggono dan Latifah, 2007).


(14)

2.5 Sun Protection Factor (SPF)

Efektifitas dari suatu sediaan tabir surya dapat ditunjukkan salah satunya adalah dengan nilai Sun Protection Factor (SPF), yang didefinisikan sebagai jumlah energi UV yang dibutuhkan untuk mencapai minimal erythema dose (MED) pada kulit yang dilindungi oleh suatu tabir surya, dibagi dengan jumlah energi UV yang dibutuhkan untuk mencapai MED pada kulit yang tidak diberikan perlindungan. Tabir surya yang memiliki spektrum yang luas dapat memberikan perlindungan terhadap UVB dan UVA (Barel, dkk.,2014).

Minimal erythema dose (MED) didefinisikan sebagai jangka waktu terendah atau dosis radiasi sinar UV yang dibutuhkan untuk menyebabkan terjadinya erythema (Wood dan Murphy, 2000).

Gambar 2.1 Hubungan Panjang Gelombang dengan Eritema (McKinlay dan Diffey, 1987)

Berdasarkan Gambar 2.1 diatas sinar ultraviolet pada daerah UV B memiliki kekuatan 1000 kali lebih kuat daripada UV A pada peristiwa pembentukan eritema pada kulit (McKinlay & Diffey, 1987). Nilai SPF ini berkisar antara 0 sampai 100, dan kemampuan tabir surya yang dianggap baik berada diatas 15. Pathak membagi tingkat kemampuan tabir surya sebagai berikut:


(15)

2. Sedang, bila SPF antara 4-6, contoh sinamat, benzofenon. 3. Ekstra, bila SPF antara 6-8, contoh derivate PABA. 4. Maksimal, bila SPF antara 8-15, contoh PABA.

5. Ultra, bila SPF lebih dari 15, contoh kombinasi PABA, non-PABA dan fisik (Wasitaatmadja, 1997).

2.6Bahan Tabir Surya 2.6.1 Oktil metoksisinamat

Gambar 2.2 Rumus bangun oktil metoksisinamat (Setiawan, 2010)

Oktil metoksisinamat adalah bahan yang paling banyak digunakan dalam sediaan tabir surya (Steinberg, 2003). Oktil metoksisinamat tergolong dalam tabir surya kimia yang melindungi kulit dengan cara menyerap energi dari radiasi UV dan mengubahnya menjadi energi panas. Penggunaan topikal jarang menimbulkan iritasi (Wahlberg, dkk., 1999). Konsentrasi penggunaan berkisar 2-7,5% (Polo, 1998). Konsentrasi maksimum dapat mencapai 10% (Barel, dkk.,2014). Turunan sinamat seperti oktil metoksisinamat terurai setelah terpapar radiasi UVB dan UVA. Radiasi sinar UV mengubah trans-oktil metoksisinamat menjadi cis-oktil metoksisinamat melalui reaksi fotoisomerisasi cis-trans (Walhberg, dkk., 1999). Oktil metoksisinamat berupa cairan minyak berwarna kuning pucat yang jernih, tidak berasa, larut dalam etanol, propilenglikol, isopropanol.


(16)

2.6.2 Avobenzone

Gambar 2.3 Rumus bangun avobenzone (Afonso, dkk., 2014)

Avobenzone merupakan filter UV yang disetujui FDA (Food and Drug Administration) (Mulliken, dkk., 2012) dan avobenzone bersifat lipofilik dan avobenzone memberikan absorpsi yang besar pada UVA dengan panjang gelombang 360 nm (Barel, dkk., 2014). Avobenzone juga memiliki kemampuan dalam menyerap sinar UVB. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa avobenzone dapat menyerap sinar UVB pada panjang gelombang 306 nm dua kali lebih baik dibandingkan etil-heksilsalisilat, namun efikasinya akan berkurang setelah terpapar oleh sinar matahari (Bonda dan David., 2000). Avobenzone bersifat tidak stabil, avobenzone terdegradasi dalam waktu yang cepat saat terpapar UV, paparan selama 15 menit menyebabkan 36% avobenzone terdegradasi (Auerbach, 2011). Konsentrasi minimal yaitu 2% dan maksimal yaitu 3% (Barel, dkk., 2014).

2.7 Krim

Menurut Farmakope Indonesia IV, krim merupakan sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Krim dibagi atas dua macam, yaitu krim minyak dalam air dan krim air dalam minyak. Krim merupakan sediaan farmasi berbentuk emulsi (Ditjen POM., 1995).


(17)

Krim kosmetik dibuat dengan cara mencampurkan bahan-bahan yang larut dalam fase air pada bahan-bahan yang larut dalam fase lemak, melalui pemberian energi berupa pemanasan dan pengadukan (Djajadisastra, 2004). Bahan-bahan dasar krim yang digunakan:

 Asam Stearat (Rowe, dkk., 2009)

Gambar 2.4 Rumus bangun asam stearat Fungsi : Bahan pengemulsi, bahan pengeras

Berwarna putih atau sedikit kekuningan, mengkilat, kristal padat berlemak. Mudah larut dalam benzen, eter, larut dalam etanol 95%, heksana dan propilen glikol, praktis tidak larut dalam air. Konsentrasi hingga 1-20% digunakan untuk sediaan krim dan salep.

 Setil Alkohol (Rowe, dkk., 2009)

Gambar 2.5 Rumus bangun setil alkohol Fungsi : Bahan pengemulsi, bahan pengeras, pelembut

Setil alkohol berbentuk seperti lilin, serpihan putih, bau khas dan lunak, mudah larut dalam etanol 95% dan eter, kelarutan meningkat dengan kenaikan suhu, praktis tidak larut dalam air. Konsentrasi yang digunakan dalam sediaan topikal berkisar hingga 10%.


(18)

 Propilen Glikol (Rowe, dkk., 2009)

Gambar 2.6 Rumus bangun propilen glikol Fungsi : Humektan, plastisizer, pelarut, bahan penstabil

Dalam sediaan topikal biasa digunakan dengan konsentrasi hingga 15% sebagai humektan. Larut dalam aseton, kloroform, etanol 95%, gliserin dan air, larut dalam 1 bagian dalam 6 bagian eter.

 Trietanolamin (TEA) (Rowe, dkk., 2009)

Gambar 2.7 Rumus bangun trietanolamin Fungsi : Bahan pengalkali, bahan pengemulsi

Konsentrasi yang digunakan sebagai bahan pengemulsi adalah sekitar 2-4%.Mempunyai ciri tidak berwarna hingga berwarna kuning pucat, cairan kental mempunyai bau sedikit ammonia. Larut dalam aseton, methanol, karbon tetraklorida dan air, larut 1 bagian dalam 63 bagian etil eter.

 Sorbitol (Rowe, dkk., 2009)


(19)

Fungsi : Humektan, bahan pemanis dan bahan penstabil Konsentrasi : sebagai humektan digunakan 3-15%

 Nipagin (Rowe, dkk., 2009)

Gambar 2.9 Rumus bangun nipagin Fungsi : Pengawet (anti mikroba)

Dalam sediaan topikal biasa digunakan dengan konsentrasi 0,02-0,3%. Pemerian kristal tidak berwarna atau berwarna putih, tidak berbau, rasanya sedikit membakar. Larut 1 bagian dalam 3 bagian etanol 95%, 1 bagian dalam 50 bagian air pada suhu 500C dan larut 1 bagian dalam 30 bagian air pada suhu 800C.


(1)

2.5 Sun Protection Factor (SPF)

Efektifitas dari suatu sediaan tabir surya dapat ditunjukkan salah satunya adalah dengan nilai Sun Protection Factor (SPF), yang didefinisikan sebagai jumlah energi UV yang dibutuhkan untuk mencapai minimal erythema dose (MED) pada kulit yang dilindungi oleh suatu tabir surya, dibagi dengan jumlah energi UV yang dibutuhkan untuk mencapai MED pada kulit yang tidak diberikan perlindungan. Tabir surya yang memiliki spektrum yang luas dapat memberikan perlindungan terhadap UVB dan UVA (Barel, dkk.,2014).

Minimal erythema dose (MED) didefinisikan sebagai jangka waktu terendah atau dosis radiasi sinar UV yang dibutuhkan untuk menyebabkan terjadinya erythema (Wood dan Murphy, 2000).

Gambar 2.1 Hubungan Panjang Gelombang dengan Eritema (McKinlay dan Diffey, 1987)

Berdasarkan Gambar 2.1 diatas sinar ultraviolet pada daerah UV B memiliki kekuatan 1000 kali lebih kuat daripada UV A pada peristiwa pembentukan eritema pada kulit (McKinlay & Diffey, 1987). Nilai SPF ini berkisar antara 0 sampai 100, dan kemampuan tabir surya yang dianggap baik berada diatas 15. Pathak membagi tingkat kemampuan tabir surya sebagai berikut:


(2)

2. Sedang, bila SPF antara 4-6, contoh sinamat, benzofenon. 3. Ekstra, bila SPF antara 6-8, contoh derivate PABA. 4. Maksimal, bila SPF antara 8-15, contoh PABA.

5. Ultra, bila SPF lebih dari 15, contoh kombinasi PABA, non-PABA dan fisik (Wasitaatmadja, 1997).

2.6Bahan Tabir Surya 2.6.1 Oktil metoksisinamat

Gambar 2.2 Rumus bangun oktil metoksisinamat (Setiawan, 2010)

Oktil metoksisinamat adalah bahan yang paling banyak digunakan dalam sediaan tabir surya (Steinberg, 2003). Oktil metoksisinamat tergolong dalam tabir surya kimia yang melindungi kulit dengan cara menyerap energi dari radiasi UV dan mengubahnya menjadi energi panas. Penggunaan topikal jarang menimbulkan iritasi (Wahlberg, dkk., 1999). Konsentrasi penggunaan berkisar 2-7,5% (Polo, 1998). Konsentrasi maksimum dapat mencapai 10% (Barel, dkk.,2014). Turunan sinamat seperti oktil metoksisinamat terurai setelah terpapar radiasi UVB dan UVA. Radiasi sinar UV mengubah trans-oktil metoksisinamat menjadi cis-oktil metoksisinamat melalui reaksi fotoisomerisasi cis-trans (Walhberg, dkk., 1999). Oktil metoksisinamat berupa cairan minyak berwarna kuning pucat yang jernih, tidak berasa, larut dalam etanol, propilenglikol, isopropanol.


(3)

2.6.2 Avobenzone

Gambar 2.3 Rumus bangun avobenzone (Afonso, dkk., 2014)

Avobenzone merupakan filter UV yang disetujui FDA (Food and Drug Administration) (Mulliken, dkk., 2012) dan avobenzone bersifat lipofilik dan avobenzone memberikan absorpsi yang besar pada UVA dengan panjang gelombang 360 nm (Barel, dkk., 2014). Avobenzone juga memiliki kemampuan dalam menyerap sinar UVB. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa avobenzone dapat menyerap sinar UVB pada panjang gelombang 306 nm dua kali lebih baik dibandingkan etil-heksilsalisilat, namun efikasinya akan berkurang setelah terpapar oleh sinar matahari (Bonda dan David., 2000). Avobenzone bersifat tidak stabil, avobenzone terdegradasi dalam waktu yang cepat saat terpapar UV, paparan selama 15 menit menyebabkan 36% avobenzone terdegradasi (Auerbach, 2011). Konsentrasi minimal yaitu 2% dan maksimal yaitu 3% (Barel, dkk., 2014).

2.7 Krim

Menurut Farmakope Indonesia IV, krim merupakan sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Krim dibagi atas dua macam, yaitu krim minyak dalam air dan krim air dalam minyak. Krim merupakan sediaan farmasi berbentuk emulsi (Ditjen POM., 1995).


(4)

Krim kosmetik dibuat dengan cara mencampurkan bahan-bahan yang larut dalam fase air pada bahan-bahan yang larut dalam fase lemak, melalui pemberian energi berupa pemanasan dan pengadukan (Djajadisastra, 2004). Bahan-bahan dasar krim yang digunakan:

 Asam Stearat (Rowe, dkk., 2009)

Gambar 2.4 Rumus bangun asam stearat Fungsi : Bahan pengemulsi, bahan pengeras

Berwarna putih atau sedikit kekuningan, mengkilat, kristal padat berlemak. Mudah larut dalam benzen, eter, larut dalam etanol 95%, heksana dan propilen glikol, praktis tidak larut dalam air. Konsentrasi hingga 1-20% digunakan untuk sediaan krim dan salep.

 Setil Alkohol (Rowe, dkk., 2009)

Gambar 2.5 Rumus bangun setil alkohol Fungsi : Bahan pengemulsi, bahan pengeras, pelembut

Setil alkohol berbentuk seperti lilin, serpihan putih, bau khas dan lunak, mudah larut dalam etanol 95% dan eter, kelarutan meningkat dengan kenaikan suhu, praktis tidak larut dalam air. Konsentrasi yang digunakan dalam sediaan topikal berkisar hingga 10%.


(5)

 Propilen Glikol (Rowe, dkk., 2009)

Gambar 2.6 Rumus bangun propilen glikol Fungsi : Humektan, plastisizer, pelarut, bahan penstabil

Dalam sediaan topikal biasa digunakan dengan konsentrasi hingga 15% sebagai humektan. Larut dalam aseton, kloroform, etanol 95%, gliserin dan air, larut dalam 1 bagian dalam 6 bagian eter.

 Trietanolamin (TEA) (Rowe, dkk., 2009)

Gambar 2.7 Rumus bangun trietanolamin Fungsi : Bahan pengalkali, bahan pengemulsi

Konsentrasi yang digunakan sebagai bahan pengemulsi adalah sekitar 2-4%.Mempunyai ciri tidak berwarna hingga berwarna kuning pucat, cairan kental mempunyai bau sedikit ammonia. Larut dalam aseton, methanol, karbon tetraklorida dan air, larut 1 bagian dalam 63 bagian etil eter.

 Sorbitol (Rowe, dkk., 2009)


(6)

Fungsi : Humektan, bahan pemanis dan bahan penstabil Konsentrasi : sebagai humektan digunakan 3-15%

 Nipagin (Rowe, dkk., 2009)

Gambar 2.9 Rumus bangun nipagin Fungsi : Pengawet (anti mikroba)

Dalam sediaan topikal biasa digunakan dengan konsentrasi 0,02-0,3%. Pemerian kristal tidak berwarna atau berwarna putih, tidak berbau, rasanya sedikit membakar. Larut 1 bagian dalam 3 bagian etanol 95%, 1 bagian dalam 50 bagian air pada suhu 500C dan larut 1 bagian dalam 30 bagian air pada suhu 800C.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Etanol Bunga Brokoli (Brassica oleracea L.) Terhadap Nilai Sun Protection Factor Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenzone dan Oktil Metoksisinamat Secara in Vitro

2 75 90

Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Etanol Daun Jamblang (Syzygium cumini(L.) Skeels) dan Amylum Oryzae Terhadap Nilai Sun Protection Factor Krim Tabir Surya Oktil Metoksisinamat secara In Vitro

10 61 95

Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Etanol Bunga Brokoli (Brassica oleracea L.) Terhadap Nilai Sun Protection Factor Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenzone dan Oktil Metoksisinamat Secara in Vitro

2 21 90

Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Etanol Bunga Brokoli (Brassica oleracea L.) Terhadap Nilai Sun Protection Factor Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenzone dan Oktil Metoksisinamat Secara in Vitro

0 0 14

Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Etanol Bunga Brokoli (Brassica oleracea L.) Terhadap Nilai Sun Protection Factor Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenzone dan Oktil Metoksisinamat Secara in Vitro

0 0 2

Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Etanol Bunga Brokoli (Brassica oleracea L.) Terhadap Nilai Sun Protection Factor Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenzone dan Oktil Metoksisinamat Secara in Vitro

0 0 5

Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Etanol Bunga Brokoli (Brassica oleracea L.) Terhadap Nilai Sun Protection Factor Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenzone dan Oktil Metoksisinamat Secara in Vitro

0 2 3

Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Etanol Bunga Brokoli (Brassica oleracea L.) Terhadap Nilai Sun Protection Factor Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenzone dan Oktil Metoksisinamat Secara in Vitro

0 0 25

Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Etanol Daun Jamblang (Syzygium cumini(L.) Skeels) dan Amylum Oryzae Terhadap Nilai Sun Protection Factor Krim Tabir Surya Oktil Metoksisinamat secara In Vitro

2 3 14

Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Etanol Daun Jamblang (Syzygium cumini(L.) Skeels) dan Amylum Oryzae Terhadap Nilai Sun Protection Factor Krim Tabir Surya Oktil Metoksisinamat secara In Vitro

1 1 2