Makna dan Fungsi Simbol Keberuntungan bagi Masyarakat Tionghoa di Desa Lincun Binjai

(1)

BAB II

KONSEP, TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Konsep

Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan yang digunakan secara abstrak untuk menggambarkan kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ( Rusliana, 2010 : 10).

Woodruff (dalam Rusliana, 2010:10) menjelaskan pengertian konsep menjadi 3 yaitu:

1.Konsep dapat didefenisikan sebagai suatu gagasan atau ide yang relative sempurna dan bermakna.

2.Konsep merupakan suatu pengertian tentang suatu objek.

3.Konsep adalah produk subjektif yang berasal dari cara seseorang membuat pengertian terhadap objek-objek atau benda-benda tertentu melalui pengalamannya (setelah melalui persepsi terhadap objek atau benda).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:456) konsep diartikan sebagai rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang berada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.

Selain itu, konsep dapat diartikan sebagai abstrak dimana mereka menghilangkan perbedaan dari segala sesuatu dalam eksistensi, memperlakukan seolah-olah mereka identik. Dalam hal ini defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan penyamaan persepsi


(2)

tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian.

2.1.1 Makna

Dalam kamus linguistik, pengertian makna dapat dijabarkan menjadi : 1. Maksud pembicara

2. Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia.

3. Hubungan antara kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atauantara ujaran dan semua hal yang ditunjukkan.

4. Cara menggunakan lambang- lambang bahasa

Bloomfied (dalam Stephen Ullman, 1977:40) mengemukakan bahwa makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus di analisis dalam batas-batas unsur penting situasi dimana si penutur mengujarkannya. Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin (1998:50) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti.

Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari mak na sendiri sangatlah beragam. Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna selalu menyatu dengan tuturan kata-kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Pateda, 2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dan pengertian.Dalam penulisan skripsi ini, yang dimaksud dengan makna adalah nilai yang terkandung dalam jenis-jenis benda yang dipercaya sebagai simbol keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa di desa Lincun Binjai.


(3)

2.1.2 Fungsi

Pengertian fungsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:456) merupakan kegunaan suatu hal, daya guna serta pekerjaan yang dilakukan. Fungsi dapat diartikan sebagai jabatan atau pekerjaan yang dilakukan. Dalam kehidupan sehari-hari fungsi sering diartikan sebagai dampak yang dapat diberikan oleh suatu hal atau benda. Begitu pula dalam penulisan skripsi ini, fungsi yang dimaksud adalah kegunaan atau dampak baik, yang diperoleh oleh masyarakat dari benda-benda yang diyakini sebagai simbol keberuntungan, bagi masyarakat Tionghoa di desa Lincun Binjai itu sendiri.

2.1.3 Simbol Keberuntungan

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadarminta disebutkan, simbol atau lambang adalah sejenis tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu. Berbeda pula dengan tanda (sign), simbol merupakan kata atau sesuatu yang bisa dianalogikan sebagai kata yang telah terkait dengan :

1) Penafsiran pemakai

2) Kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya

3) Kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya.

Simbol yang ada dalam dan berkaitan dengan ketiga butir tanda tersebut berbentuk simbolik. Simbol atau lambang merupakan salah satu kategori tanda (sign). Menurut Pierce (dalam Hoed, 2009 :8), tanda (sign) terdiri atas ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol).


(4)

Simbol tidak selalu diungkapkan melalui bahasa verbal. Menurut Eickelman dan Piscatori (dalam Sobur, 2004:176) simbol merupakan tanda yang menunjuk kepada nilai-nilai, dan seringkali meskipun tidak selalu simbol ini diungkapkan melalui bahasa.

Hartoko dan B. Rahmanto (1998:133) membagi simbol dalam tiga bagian yaitu:

1. Simbol universal yang berkaitan dengan arketipos, misalnya tidur sebagai lambang kematian.

2. Simbol kultural yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu, misalnya keris dalam budaya Jawa.

3. Simbol individual yang biasanya dapat ditafsir dalam konteks keseluruhan karya seorang pengarang.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan istilah simbol sebagai simbol kultural, yakni suatu simbol yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu. Simbol keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa, membentuk harapan kuat masyarakat Tionghoa akan suatu kehidupan yang sempurna. Di sisi lain, hal ini juga merefleksikan ketakutan akan faktor-faktor yang tak dapat diperkirakan dalam hidup dan mentalitas selalu berharap memperoleh keberuntungan, dan menghindari ketidakberuntungan serta bencana-bencana yang mungkin terjadi (Chunjiang 2012 : 1).

Dalam hal ini yang dimaksud dengan simbol keberuntungan ialah semua benda-benda baik berupa lukisan, patung, tumbuhan, hewan dan benda lainya yang menurut masyarakat Tionghoa di desa Lincun Binjai dipercaya menggambarkan keberuntungan. Benda-benda tersebut dijadikan sebagai simbol pembawa keberuntungan dikarenakan bentuk, sifat atau namanya yang


(5)

kedengaran sama dengan makna-makna yang menggambarkan keberuntungan tertentu. Pada akhirnya masyarakat tersebut menjadikan benda-benda tersebut sebagai simbol keberuntungan dalam kehidupan.

2.1.4 Masyarakat Tionghoa di Desa Lincun Binjai

Masyarakat adalah sekelompok individu yang hidup bersama di suatu daerah tertentu dan terikat oleh suatu aturan tertentu yang disepakati bersama. August Comte (1896) mengatakan bahwa masyarakat merupakan kelompok-kelompok mahluk hidup dengan realitas-realitas baru yang berkembang menurut pola perkembangannya sendiri. Masyarakat dapat membentuk kepribadian yang khas dari manusia, sehingga tanpa adanya kelompok manusia yang atau dengan sendirinya bertalian secara golongan besar atau kecil dari beberapa manusia, yang atau dengan sendirinya bertalian secara golongan dan mempunyai pengaruh kebatinan.

Masyarakat tidak lepas dari sebuah kebudayaan. Pelly dan Menanti (1994) mengatakan hakikat masyarakat sebagai sekumpulan manusia yang memiliki buadaya sendiri dan bertempat tinggal di daerah teritorial yang tertentu. Anggota masyarakat itu memiliki rasa persatuan dan menganggap mereka memiliki idetitas sendiri. Ralph Linton, (dalam Abu Ahmadi, 1986;56) mengemukakan, bahwa anggota-anggota masyarakat tersebut memiliki pengalaman hidup bersama dalam jangka waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu, terdapat kerja sama dan pelembagaan atas dasar norma dan nilai-nilai yang dipedomani anggotanya.


(6)

Begitu juga halnya dengan masyarakat Tionghoa, Tionghoa (dialek Hokkien dari kata 中华 [中華], yang berarti Bangsa Tengah; dalam bahasa mandarin ejaan pinyin, kata ini dibaca "zhonghua") merupakan sebutan lain untuk orang-orang dari suku atau ras Cina di Indonesia. Terdapat banyak mitologi dan cerita tentang asal-mula kebudayaan Tionghoa serta tokoh legendarisnya seperti Kaisar Kuning (Huang Ti) yang membuat senjata dari batu giok, istrinya memperkenalkan cara pemeliharaan ulat sutera, dan Yu terkenal karena berhasil mengatasi banjir-banjir besar. Hingga saat ini, persebaran masyarakat Tionghoa sudah hampir tersebar keseluruh penjuru negeri, salah satunya adalah masyarakat Tionghoa di Indonesia yang hampir dapat dijumpai di setiap daerah di Indonesia.

Lincun merupakan suatu pemukiman masyarakat Tionghoa di kelurahan Suka Maju Kecamatan Binjai Barat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Poleng seorang shinshe yang memiliki pengetahuan lebih tentang adat dan kebudayaan Tionghoa di desa Lincun Binjai, beliau mengatakan menurut sejarah, nama Lincun diambil dari nama seorang hartawan Cina yang terkemuka yang bernama Lim Chun. Sekitar tahun 1910-an Lim Chun menjabat sebagai Kapiten untuk wilayah Binjai. Satu jabatan yang berwenang untuk memimpin etnis Tionghoa di suatu kawasan tertentu. Dengan jabatannya ini memungkinkan kapiten Lim Chun dekat dengan pemerintah kolonial.

Bapak Poleng mengemukakan, masyarakat Tionghoa yang menetap di kawasan sekitar Lincun merupakan penduduk turunan sejak pembukaan perkebunan di Binjai. Disini dapat diterangkan bahwa asal mula adaptasi antara


(7)

masyarakat Tionghoa dengan penduduk pribumi dimulai dari masa pembukaan perkebunan. Istilah Lincunmulai populer sebagai sebutan suatu pemukiman masyarakat Tionghoa di Binjai ini dimulai sejak tahun 1970.

Saat ini masyarakat Tionghoa di Desa Lincun memiliki profesi yang beragam. Rumah makan, tambal ban, kedai kopi, dan toko kelontong merupakan contoh usaha masyarakat Tionghoa yang paling banyak dijumpai di daerah Lincun. Masyarakat Tionghoa di desa Lincun sedikit berbeda dengan masyarakat Tionghoa pada umumnya yang cenderung menutup diri dan sulit berbaur dengan penduduk pribumi. Mereka tampak lebih membuka diri dan berbaur dengan masyarakat pribumi sekitar. Hal ini sangat terlihat dari bentuk rumah yang terbuka bebas tanpa adanya jerjak besi yang biasanya kita jumpai pada kediaman masyarakat Tionghoa pada umumnya.


(8)

Sumber :Dokumentasi pribadi. Desa Lincun Binjai, 20 Februari 2015

Unsur budaya Tionghoa tidak lepas dari keseharian masyarakat Tionghoa di desa Lincun ini. Benda-benda yang erat kaitannya dengan budaya Tionghoa, khususnya yang dipercaya dapat membawa hal baik atau keberuntungan tidak sulit dijumpai di daerah ini.


(9)

2.2 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki atau mempelajari) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:1198). Pustaka adalah kitab-kitab; buku; buku primbon (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:912). Tinjauan Pustaka beararti peninjauan kembali pustaka-pustaka yang terkait (review of related literature). Sesuai dengan arti tersebut, suatu tinjauan pustaka berfungsi sebagai peninjauan kembali (review) pustaka (laporan penelitian, dan sebagainya) tentang masalah yang berkaitan, tidak selalu harus tepat identik dengan bidang permasalahan yang dihadapi, tetapi termasuk pula yang seiring dan berkaitan (collateral).

Penelitian yang relevan dengan judul penelitian ini, baik mengenai simbol-simbol, makna dan fungsi, kepercayaan akan suatu benda yang dianggap membawa keberuntungan, dan hubungan manusia dengan hewan dan tumbuhan sudah banyak dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya. Penelitian-penelitian tersebut diantaranya adalah Hoed (2014) dalam bukunya yang berjudul Semiotik & Dinamika Sosial Budaya menyatakan bahwa sistem simbolik didasari oleh sistem konvensi sosial. Jadi, dalam sistem simbolik, makna dari semua tanda didasari oleh konvensi sosial yang berarti harus dilihat dalam konteks kebudayaan suatu masyarakat atau subkultur suatu komunitas. Buku ini sangat membantu penulis untuk memahami makna simbol dalam kebudayaan.

陈 慎 (Chén shèn) (2003) dalam jurnal China National Knowledge


(10)

zhuǎn tǒng jíxiáng wù chén wén chūtàn), jurnal ini mengkaji sejarah pembetukan sebuah simbol keberuntungan pada masayarakat Tionghoa. Dengan menggunakan metode pembelajaran dasar sejarah, jurnal ini mengkaji lima fase pembentukan sebuah simbol keberuntungan pada masyarakat Tionghoa. Lima tahap pembentukan tersebut terdiri dari tahap embrio, tahap pembentukan, tahap pertumbuhan, tahap perkembangan, dan periode puncak. Jurnal ini memberikan kontribusi penting dalam penulisan penelitian ini, yakni berupa pemahaman sejarah awal mula terbentuknya simbol pembawa keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa. Jurnal ini terfokus membahas sejarah pembentukan hingga periode puncak keberadaan benda-benda yang dijadikan simbol keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa, namun tidak membahas makna dan fungsi dari simbol pembawa keberuntungan itu sendiri.

Kustedja (2013) dalam Jurnal Sosioteknologi Edisi 30 Tahun 12 yang berjudul Makna Ikon Naga, Long, 龙, Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa, sangat membantu penulis untuk memahami makna keberuntungan yang tersirat dalam simbol naga khususnya simbol naga dalam arsitektur bangunan Tionghoa. Penulis jurnal menyimpulkan bahwa naga sebagai ikon dan simbol terbukti dapat bertahan dari zaman purba hingga sekarang, gambaran ini tetap hidup dan terpakai dalam segala segi budaya Tionghoa. Daya tahan keberadaan yang demikian kuatnya karena didukung konsep naga yang selalu dapat memberikan keberuntungan dan kejayaan, harapan ini selalu dimiliki oleh setiap manusia selama ia hidup. Perbedaan penelitian dalam jurnal ini dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis ialah, penelitian dalam jurnal ini hanya terfokus


(11)

pada makna hewan naga sebagai simbol keberuntungan dalam arsitektur Tionghoa.

Rusliana R.P (2010) dalam skripsinya yang berjudul Interpretasi Tanda Dalam Simbol Tato, dalam skripsinya penulis memaparkan bahwa Tato yang umum digunakan pemakai tato adalah tato berbentuk elang, salib, tengkorak, naga, dan bunga. Interpretasi makna dari simbol tato meliputi,makna sekuler, makna estetis, makna tato sebagai ekspresi diri, makna tato sebagai filosofis, dan makna tato sebagai makna konotasi. Tujuan utama peneliti skripsi ini mengkaji makna yang terkandung dalam sebuah simbol tato. Perbedaan skripsi ini dengan penelitian yang dilakukan penulis terletak pada objek kajiannya. Penelitian dan skripsi ini menggunakan teori semiotika. Penelitian ini memberikan kontribusi berupa pemahaman penggunaan teori semiotika. Skripsi ini juga sangat mebantu penulis dalam memaparkan makna simbol dalam kehidupan sehari-hari.

Sembiring (2011) dalam skripsinya yang berjudul Makna dan Fungsi Alam Hewan dan Tumbuhan Dalam Kehidupan Etnis Tionghoa, penulis dalam skripsinya mengatakan bahwa etnis Tionghoa mempercayai banyak jenis tumbuhan yang memiliki nilai filosofi, makna dan fungsi, yang menurut kepercayaan mereka, dapat membawa keberuntungan atau hal baik. Etnis Tionghoa menjadikan tumbuhan sebagai simbol dalam kebudayaan mereka. Penulis dalam skripsi ini membahas enam jenis tumbuhan, yaitu bambu, pinus, bunga meihua, bunga lotus, angrek dan krisan. Penelitian dalam skripsi ini memiliki beberapa kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh


(12)

penulis, hanya saja dalam penelitian yang akan dilakukan penulis, objek yang akan dikaji lebih luas bukan hanya terfokus pada makna yang terkandung dalam tumbuhan sebagai simbol keberuntungan, namun juga membahas hewan, dan benda-benda lainnya yang sering dijadikan simbol keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa, khususnya masyarakat Tionghoa di desa Lincun Binjai. Skripsi ini juga sangat membantu penulis untuk memahami makna dan fungsi dari beberapa jenis tumbuhan yang dianggap sebagai sebuah simbol keberuntungan.

2.3 Landasan Teori

Dalam penulisian skripsi ini, penulis mengawali penulisan dengan menggunakan Teori semiotik. Teori semiotik yang digunakan terfokus pada teori Semiotik Charles Sanders Peirce. Hal tersebut dikarenakan penelitian yang akan dilakukan pertama kali dalam skripsi ialah menelaah dan membedah simbol sehingga dapat menemukan makna dibalik simbol tersebut. Selanjutnya, penulis akan melanjutkan penelitian dengan menggunakan Teori Fungsional yang dikemukakan oleh Malinowski untuk mencari fungsi dari hewan, tumbuhan, dan benda lainnya yang dipercaya sebagai simbol pembawa keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa di desa Lincun Binjai.

Teori semiotik digunakan untuk membedah simbol-simbol yang terdapat pada jenis-jenis benda yang telah diuraikan jenisnya di dalam pembatasan masalah. Semiotik atau ada yang menyebutnyasemiotika berasal dari kata Yunani ‘semeion’ yang berarti ‘tanda’. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan


(13)

dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi pengguna tanda (Zoest, 1991:1).

Menurut Charles Sanders Peirce, proses pemaknaan dan penafsiran tanda dalam semiotik disebut semiosis. Istilah semiosis digambarkan sebagai suatu proses dari pencerapan sesuatu oleh indra kita yang kemudian diolah oleh kognisi kita. Tanda yang diserap oleh manusia merupakan tahap awal dari semiosis. Pada tahap awal ini hal yang diindra disebut ground atau representamen. Tahap ini diikuti dengan tahap lanjutannya, yakni pengolahannya dalam kognisi secara instan yang hasilnya disebut object (ini adalah istilah yang tidak sama artinya dengan ‘benda’). Proses semiosis selanjutnya adalah penafsiran setelah ada waktu untuk mengolah lebih lanjut object dan hasilnya disebut interpretant.

Karena tanda dimulai dari representamen yang seakan mewakili apa yang ada dalam pikiran manusia (object), teori semiotik Peirce mendefinisikan tanda sebagai “something that represant something else”, yang secara teoritis dapat diterjemahkan menjadi tanda adalah representamen yang secara spontan mewakili object.’Mewakili’ disini berarti berkaitan secara kognitif yang secara sederhana dapat diartikan sebagai proses pemaknaan : ada kaitan antara ”realitas” dan “ apa yang berada dalam kognisi manusia”. Pengertian ini menjadi lebih jelas apabila kita memasuki tiga kategori tanda berdasarkan sifat hubungan antara representamen dan object menurut Peirce (Hoed 2014:10).

Kategori pertama adalah index, yakni tanda yang hubungan antara


(14)

adalah apabila kita melihat sandal sang ayah sudah tidak ditempatnya lagi (representamen), ini berarti bahwa sang ayah sudah berada di rumah (object). Artinya bahwa ada hubungan ntara ruang kosong, yakni “ ketiadaan sandal ayah ditempatnya” (representamen) dan ”ayah ada dirumah” (object) yang bersifat kausal.

Kategori kedua adalah icon. Icon adalah kategori tanda yang representamennya memiliki keserupaan identitas dengan object yang ada dalam kognisi manusia yang bersangkutan. Contohnya foto seseorang adalah icon dirinya. Bagi seseorang lukisan kerbau adalah icon dari kerbau yang ada dalam pikiran orang tersebut.

Kategori ketiga adalah symbol. Symbol adalah tanda yang makna representamennya diberikan berdasarkan konvensi sosial. Jadi, bendera merah yang ada di laut merupakan representamen yang maknanya secara sosial ‘dilarang melewati, bahaya’ (object). Berbagai sistem bahasa, verbal, nonverbal, merupakan merupakan sistem symbol karena makna dari setiap representamennya diperoleh berdasarkan konvensi sosial. Index dan icon dapat digunakan sebagai symbol. Bau kemenyan (representamen) bisa tidak sekedar mewakili object ‘kemenyan’, tetapi dapat mempunyai makna sosial ‘ada hantu yang hadir’ (object) (Hoed 2014:11). Dari ketigajenis kategori tanda (indext, icon, symbol )yang diuraikan oleh Peirce, symbol merupakan jenis tanda yang dimaksudkan dalam penelitian ini. Setelah menggunakan teori semiotik untuk mengkaji makna yang terkandung pada 15 simbol keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa desa Lincun


(15)

Binjai, penelitian ini akan dilanjutkan dengan menggunakan teori Fungsionalisme yang dikemukakan oleh Malinowski.

Malinowski dalam (T.O. Ihroni 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan.

Teori fungsionalisme dapat diterapkan dalam analisa mekanisme-mekanisme kebudayaan secara tersendiri, namun teori ini tidak mengemukakan dalil-dalil sendiri untuk menerangkan mengapa kebudayaan yang berbeda-beda memiliki unsur-unsur budaya yang berbeda dan mengapa terjadi perubahan dalam kebudayaan. Secara garis besar Malinowski merintis bentuk kerangka teori untuik menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya suatu teori fungsional tentang kebudayaan atau “a functional theory of culture”. Menurut Malinowski (1984:216) :

“Pada dasarnya kebutuhan manusia sama, baik itu kebutuhan yang bersifat biologis maupun yang bersifat psikologis dan kebudayaan pada pokoknya memenuhi kebutuhan tersebut. Kondisi pemenuhan kebutuhan tidak terlepas dari sebuah proses dinamika perubahan kea rah konstruksi niali-nilai yang disepakati bersama dalam sebuah masyarakat (dan bahkan proses yang dimaksud akan terus bereproduksi) dan dampak dari nilai tersebut pada akhirnya membentuk tindakan tindakan yang terlembagakan dan dimaknai sendiri oleh masyarakat bersangkutan yang pada akhirnya melahirkan tradisi upacara perkawinan, tata cara dan lain sebagainya yang terlembaga untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia tersebut”.


(16)

Hal inilah yang kemudian menguatkan tesis dari Malinowski yang sangat menekankan konsep fungsi dalam melihat kebudayaan . Ada tiga tingkatan oleh Malinowski yang harus terekayasa dalam kebudayaan yakni :

“ (1) Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan pangan dan prokreasi, (2) Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan hokum dan pendidikan, (3) Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti kebutuhan agama dan kesenian”.

Melalui tingkatan abstraksinya tersebut Malinowski kemudian mempertegas inti dari teorinya dengan mengasumsikan bahwa segala kegiatan / aktivitas manusia dalam unsur-unsur kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.

Sesuai dengan teori fungsionalisme yang dikemukan oleh Bronislaw Malinowski bahwa kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, instrumental dan integrative, maka 15 simbol keberuntungan pada masyarakat Tionghoa desa Lincun Binjai juga memiliki fungsi biologis sebagai lambang harapan masyarakat Tionghoa desa Lincun Binjai akan suatu keberuntungan tertentu. Instrumental sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat dan juga sebagai lambang kebudayaan. Integratif yang memenuhi kebutuhan agama atau religi masyarakat. Teori Fungsionalisme Malinowski juga mengemukakan bahwa fungsi mengalami perubahan ke arah nilai-nilai dan dampak dari nilai tersebut akhirnya berubah menjadi makna yang disepakati bersama oleh masyarakat.


(1)

pada makna hewan naga sebagai simbol keberuntungan dalam arsitektur Tionghoa.

Rusliana R.P (2010) dalam skripsinya yang berjudul Interpretasi Tanda Dalam Simbol Tato, dalam skripsinya penulis memaparkan bahwa Tato yang umum digunakan pemakai tato adalah tato berbentuk elang, salib, tengkorak, naga, dan bunga. Interpretasi makna dari simbol tato meliputi,makna sekuler, makna estetis, makna tato sebagai ekspresi diri, makna tato sebagai filosofis, dan makna tato sebagai makna konotasi. Tujuan utama peneliti skripsi ini mengkaji makna yang terkandung dalam sebuah simbol tato. Perbedaan skripsi ini dengan penelitian yang dilakukan penulis terletak pada objek kajiannya. Penelitian dan skripsi ini menggunakan teori semiotika. Penelitian ini memberikan kontribusi berupa pemahaman penggunaan teori semiotika. Skripsi ini juga sangat mebantu penulis dalam memaparkan makna simbol dalam kehidupan sehari-hari.

Sembiring (2011) dalam skripsinya yang berjudul Makna dan Fungsi Alam Hewan dan Tumbuhan Dalam Kehidupan Etnis Tionghoa, penulis dalam skripsinya mengatakan bahwa etnis Tionghoa mempercayai banyak jenis tumbuhan yang memiliki nilai filosofi, makna dan fungsi, yang menurut kepercayaan mereka, dapat membawa keberuntungan atau hal baik. Etnis Tionghoa menjadikan tumbuhan sebagai simbol dalam kebudayaan mereka. Penulis dalam skripsi ini membahas enam jenis tumbuhan, yaitu bambu, pinus, bunga meihua, bunga lotus, angrek dan krisan. Penelitian dalam skripsi ini memiliki beberapa kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh


(2)

penulis, hanya saja dalam penelitian yang akan dilakukan penulis, objek yang akan dikaji lebih luas bukan hanya terfokus pada makna yang terkandung dalam tumbuhan sebagai simbol keberuntungan, namun juga membahas hewan, dan benda-benda lainnya yang sering dijadikan simbol keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa, khususnya masyarakat Tionghoa di desa Lincun Binjai. Skripsi ini juga sangat membantu penulis untuk memahami makna dan fungsi dari beberapa jenis tumbuhan yang dianggap sebagai sebuah simbol keberuntungan.

2.3 Landasan Teori

Dalam penulisian skripsi ini, penulis mengawali penulisan dengan menggunakan Teori semiotik. Teori semiotik yang digunakan terfokus pada teori Semiotik Charles Sanders Peirce. Hal tersebut dikarenakan penelitian yang akan dilakukan pertama kali dalam skripsi ialah menelaah dan membedah simbol sehingga dapat menemukan makna dibalik simbol tersebut. Selanjutnya, penulis akan melanjutkan penelitian dengan menggunakan Teori Fungsional yang dikemukakan oleh Malinowski untuk mencari fungsi dari hewan, tumbuhan, dan benda lainnya yang dipercaya sebagai simbol pembawa keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa di desa Lincun Binjai.

Teori semiotik digunakan untuk membedah simbol-simbol yang terdapat pada jenis-jenis benda yang telah diuraikan jenisnya di dalam pembatasan masalah. Semiotik atau ada yang menyebutnyasemiotika berasal dari kata Yunani ‘semeion’ yang berarti ‘tanda’. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan


(3)

dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi pengguna tanda (Zoest, 1991:1).

Menurut Charles Sanders Peirce, proses pemaknaan dan penafsiran tanda dalam semiotik disebut semiosis. Istilah semiosis digambarkan sebagai suatu proses dari pencerapan sesuatu oleh indra kita yang kemudian diolah oleh kognisi kita. Tanda yang diserap oleh manusia merupakan tahap awal dari semiosis. Pada tahap awal ini hal yang diindra disebut ground atau representamen. Tahap ini diikuti dengan tahap lanjutannya, yakni pengolahannya dalam kognisi secara instan yang hasilnya disebut object (ini adalah istilah yang tidak sama artinya dengan ‘benda’). Proses semiosis selanjutnya adalah penafsiran setelah ada waktu untuk mengolah lebih lanjut object dan hasilnya disebut interpretant.

Karena tanda dimulai dari representamen yang seakan mewakili apa yang ada dalam pikiran manusia (object), teori semiotik Peirce mendefinisikan tanda sebagai “something that represant something else”, yang secara teoritis dapat diterjemahkan menjadi tanda adalah representamen yang secara spontan mewakili object.’Mewakili’ disini berarti berkaitan secara kognitif yang secara sederhana dapat diartikan sebagai proses pemaknaan : ada kaitan antara ”realitas” dan “ apa yang berada dalam kognisi manusia”. Pengertian ini menjadi lebih jelas apabila kita memasuki tiga kategori tanda berdasarkan sifat hubungan antara representamen dan object menurut Peirce (Hoed 2014:10).

Kategori pertama adalah index, yakni tanda yang hubungan antara


(4)

adalah apabila kita melihat sandal sang ayah sudah tidak ditempatnya lagi (representamen), ini berarti bahwa sang ayah sudah berada di rumah (object). Artinya bahwa ada hubungan ntara ruang kosong, yakni “ ketiadaan sandal ayah ditempatnya” (representamen) dan ”ayah ada dirumah” (object) yang bersifat kausal.

Kategori kedua adalah icon. Icon adalah kategori tanda yang representamennya memiliki keserupaan identitas dengan object yang ada dalam kognisi manusia yang bersangkutan. Contohnya foto seseorang adalah icon dirinya. Bagi seseorang lukisan kerbau adalah icon dari kerbau yang ada dalam pikiran orang tersebut.

Kategori ketiga adalah symbol. Symbol adalah tanda yang makna representamennya diberikan berdasarkan konvensi sosial. Jadi, bendera merah yang ada di laut merupakan representamen yang maknanya secara sosial ‘dilarang melewati, bahaya’ (object). Berbagai sistem bahasa, verbal, nonverbal, merupakan merupakan sistem symbol karena makna dari setiap representamennya diperoleh berdasarkan konvensi sosial. Index dan icon dapat digunakan sebagai symbol. Bau kemenyan (representamen) bisa tidak sekedar mewakili object ‘kemenyan’, tetapi dapat mempunyai makna sosial ‘ada hantu yang hadir’ (object) (Hoed 2014:11). Dari ketigajenis kategori tanda (indext, icon, symbol )yang diuraikan oleh Peirce, symbol merupakan jenis tanda yang dimaksudkan dalam penelitian ini. Setelah menggunakan teori semiotik untuk mengkaji makna yang terkandung pada 15 simbol keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa desa Lincun


(5)

Binjai, penelitian ini akan dilanjutkan dengan menggunakan teori Fungsionalisme yang dikemukakan oleh Malinowski.

Malinowski dalam (T.O. Ihroni 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan.

Teori fungsionalisme dapat diterapkan dalam analisa mekanisme-mekanisme kebudayaan secara tersendiri, namun teori ini tidak mengemukakan dalil-dalil sendiri untuk menerangkan mengapa kebudayaan yang berbeda-beda memiliki unsur-unsur budaya yang berbeda dan mengapa terjadi perubahan dalam kebudayaan. Secara garis besar Malinowski merintis bentuk kerangka teori untuik menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya suatu teori fungsional tentang kebudayaan atau “a functional theory of culture”. Menurut Malinowski (1984:216) :

“Pada dasarnya kebutuhan manusia sama, baik itu kebutuhan yang bersifat biologis maupun yang bersifat psikologis dan kebudayaan pada pokoknya memenuhi kebutuhan tersebut. Kondisi pemenuhan kebutuhan tidak terlepas dari sebuah proses dinamika perubahan kea rah konstruksi niali-nilai yang disepakati bersama dalam sebuah masyarakat (dan bahkan proses yang dimaksud akan terus bereproduksi) dan dampak dari nilai tersebut pada akhirnya membentuk tindakan tindakan yang terlembagakan dan dimaknai sendiri oleh masyarakat bersangkutan yang pada akhirnya melahirkan tradisi upacara perkawinan, tata cara dan lain sebagainya yang terlembaga untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia tersebut”.


(6)

Hal inilah yang kemudian menguatkan tesis dari Malinowski yang sangat menekankan konsep fungsi dalam melihat kebudayaan . Ada tiga tingkatan oleh Malinowski yang harus terekayasa dalam kebudayaan yakni :

“ (1) Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan pangan dan prokreasi, (2) Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan hokum dan pendidikan, (3) Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti kebutuhan agama dan kesenian”.

Melalui tingkatan abstraksinya tersebut Malinowski kemudian mempertegas inti dari teorinya dengan mengasumsikan bahwa segala kegiatan / aktivitas manusia dalam unsur-unsur kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.

Sesuai dengan teori fungsionalisme yang dikemukan oleh Bronislaw Malinowski bahwa kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, instrumental dan integrative, maka 15 simbol keberuntungan pada masyarakat Tionghoa desa Lincun Binjai juga memiliki fungsi biologis sebagai lambang harapan masyarakat Tionghoa desa Lincun Binjai akan suatu keberuntungan tertentu. Instrumental sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat dan juga sebagai lambang kebudayaan. Integratif yang memenuhi kebutuhan agama atau religi masyarakat. Teori Fungsionalisme Malinowski juga mengemukakan bahwa fungsi mengalami perubahan ke arah nilai-nilai dan dampak dari nilai tersebut akhirnya berubah menjadi makna yang disepakati bersama oleh masyarakat.