Gambaran Lansia yang Menderita Vertigo di Panti Jompo Kota Medan dan Binjai

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Telinga
Telinga dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu telinga luar, telinga tengah
atau cavum tympani, dan telinga dalam atau labyrinth (Tortora, 2009; Snell,
2006).

Gambar 2.1: Struktur telinga (Martini et. al., 2012)
1. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari auricula dan meatus acusticus externus.
Auricula terdiri dari potongan kartilago tunggal yang ditutupi kulit dan
dihubungkan ke tengkorak oleh otot dan ligamentum vestigial. Meatus
telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani.
Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang.
Panjangnya kira-kira 2 ½ - 3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit telinga

terdapat banyak kelenjar serumen (kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar

keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada duapertiga bagian
dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen (Soetirto, Hendarmin, &
Bashiruddin, 2007).
Meatus acusticus externus dilindungi oleh rambut-rambut halus dan
terdapat modifikasi kelenjar keringat yang memproduksi serumen atau lilin
(earwax). Secara bersama-sama rambut dan serumen akan mencegah
masuknya partikel-partikel mengganggu seperti debu agar tidak sampai ke
membrana tympani dan telinga dalam (Sherwood, 2010).

2. Telinga Tengah
Telinga tengah terletak di dalam os temporale. Ia terisi udara dan
berhubungan dengan nasopharynx melalui tuba Eustachii. Ruang ini
mengandung tulang (ossicula) pendengaran, otot pendengaran, saraf dan
pembuluh darah.
Membran timpani berfungsi sebagai resonator yang menghasilkan
ulang getaran dari sumber suara dan akan berhenti bergetas hampir segera
setelah suara berhenti. Gerakan membran timpani disalurkan ke manubrium
malleus (Ganong, 2008).
Membrana tympani memisahkan telinga tengah dan luar. Membrana
Tympani merupakan membrana semi-tembus-pandang yang berjalan pada

sudut yang memotong meatus acusticus externus seperti kepala drum.
Sewaktu melihat membrana tympani, normalnya bisa melihat proccesus
lateralis mallei, yang terbesar dari ketiga ossicula (Granick, 1995).
Telinga tengah berbentuk kubus dengan :
a. Batas luar

: membran timpani

b. Batas depan

: tuba eustachius

c. Batas bawah

: vena jugularis (bulbus jugularis)

d. Batas

:


belakang

aditus

ad

antrum,

kanalis

vertikalis.
e. Batas atas

: tegmen timpani (meningen/otak)

fasialis

pars

f. Batas dalam


: berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi

sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window),
tingkap bundar

(round

window)

dan promontorium

(Soetirto,

Hendarmin, & Bashiruddin, 2007).
Dinding

medial

atau


labyrintus

telinga

tengah

merupakan

prominensia tulang bulat yang dibentuk oleh cochlea. Pada permukaannya
terdapat plexus tympanicus nervi glossopharyngei, yang memasuki telinga
tengah pada dinding labyrinthus. Dua struktur penting lain yang ditemukan
pada dinding medial adalah foramen ovale dan foramen rotundum (Granick,
1995).

3. Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua
setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis
semisirkularis.


Ujung

atau

puncak

koklea

disebut

helikotrema,

menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Para irisan melintang koklea
tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan
skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala
timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan
garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Hal ini penting
untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli

(Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah membran
basalis. Pada membran ini terletak organ corti (Soetirto, Hendarmin, &
Bashiruddin, 2007).
Labyrinthus membranaceus terdiri atas sacculus dan utriculus yang
terdapat di dalam vestibulum ossesus. Tiga duktus semicircularis, yang
terletak didalam canalis semicircularis osseus, dan ductus cochlearis yang
terletak di dalam cochlea (Snell, 2006).

Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri
dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk
organ Corti (Soetirto, Hendarmin, & Bashiruddin, 2007).

Gambar 2.2. Telinga Dalam (Tortora, 2009).
Nervus facialis selama perjalanannya melalui os temporale terdapat
di dalam canalis facialis. Di dalam telinga tengah, nervus facialis
memberikan dua cabang: nervus ke musculus stapedius dan chorda tympani
yang serabutnya terdistribusi bersama cabang nervus lingualis untuk
memberikan serabut pengecapan untuk dua pertiga anterior lidah (Granick,
1995).

Cavitas tympanica mengandung tiga ossicula kecil dan mobil.
Malleus, incus dan stapes. Tiga ossicula ini melakukan fungsi penting
menghantar tenaga mekanis yang dibentuk oleh vibrasi membrana tympani
dalam. Ossicula berartikulasi satu sama lain dan distabilkan di dalam
ruangan telinga tengah oleh ligamentum. Ada dua otot di dalam cavitas

tympanica: tensor tympani yang berinsertio ke manubrium mallei dan
dipersarafi oleh nervus trigeminus serta musculus stapedius yang berinsertio
ke permukaan posterior stapes dan dipersarafi oleh nervus facialis. Otot-otot
ini bertindak melindungi telingan dalam dari cedera karena bising keras
dengan menurunkan gerakan ossicula (Granick, 1995).
Nervus cochlearis berasal dari sel saraf sensorik di dalam organ
Corti. Serabut saraf ini (sel rambut) terletak pada membrana basilaris dan
dirangsang oleh gerakan membrana basilaris dalam respon terhadap tenaga
mekanis yang dihantarkan melalui rantai ossicula. Sel-sel rambut dianggap
mengubah tenaga mekanis ini menjadi tenaga listrik. Jalan pendengaran
menjadi semakin rumit karena ia mendaki susunan saraf pusat untuk
berakhir pada nucleus. Cochlearis di dalam batang otak (Granick, 1995).
Nervus vestibularis muncul dari sel-sel rambut di dalam tiga
canalis semisircularis dan dua organ otolitik, utriculus dan sacculus. Tiga

canalis semisircularis tegak lurus satu sama lain untuk mempertahankan
keseimbangan, sementara utriculus dianggap pengindera percepatan linear,
fungsi sacculus belum diketahui (Granick, 1995).
Malleus terikat pada incus oleh ligamen yang kecil sehingga ketika
malleus bergerak incus juga ikut bergerak. Ujung yang berlawanan dari
incus akan berartikulasi dengan batang stapes, dan bidang depan dari stapes
terletak berhadapan dengan membran labyrith cochlea pada muara fenestra
ovalis (Guyton, 2008).

2.2. Gangguan Keseimbangan
2.2.1. Fisiologi Alat Keseimbangan
Menurut Bashiruddin dkk.,(2007), keseimbangan dan orientasi
tubuh seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya tergantung pada input
sensori dari reseptor vestibuler di labirin, organ visual dan proprioseptif.
Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut akan diolah di SSP,
sehingga menggambarkan keadaan posisi tubuh pada saat itu.

Labirin terdiri dari labirin statis yaitu utrikulus dan sakulus yamg
merupakan pelebaran labirin membran yang terdapat dalam vestibulum
labirin tulang. Pada tiap pelebarannya, terdapat makula utrikulus yag

didalamnya terdapat sel-sel reseptor keseimbangan. Labirin kinetik terdiri
dari tiga kanalis semisirkularis dimana pada tiap canalis terdapat pelebaran
yang berhubungan dengan utrikulus, disebut ampula. Didalamnya terdapat
krista ampullaris yang terdiri dari sel-sel reseptor keseimbangan dan
seluruhnya tertutup oleh suatu substansi gelatin yang disebut kupula.
Gerakan atau perubahan kepala dan tubuh akan menimbulkan
perpindahan cairan endolimfa di labirin dan selanjutnya silia sel rambut
akan menekuk. Tekukan silia menyebabkan permeabilitas membran sel
berubah, sehingga ion kalsium akan masuk ke dalam sel yang menyebabkan
terjadinya

proses

depolarisasi

dan

akan

merangsang


pelepasan

neurotransmitter eksitatori yang selanjutnya akan meneruskan impuls
sensoris melalui saraf aferen ke pusat keseimbangan di otak. Sewaktu
berkas silia terdorong ke arah berlawanan maka terjadi hiperpolarisasi.
Organ vestibuler berfungsi sebagai transduser yang mengubah
energi mekanik akibat rangsangan otolit dan gerakan endolimfa di dalam
kanalis semisirkularis menjadi enerfi biolistrik, sehingga dapat memberi
informasi mengenai perubahan posisi tubuh akibat percepatan linier atau
percepatan sudut. Dengan demikian dapat memberi informasi mengenai
semua gerak tubuh yang sedang berlangsung.
Sistem vestibular berhubungan dengan sistem tubuh yang lain,
sehingga kelainannya dapat menimbulkan gejala pada sistem tubuh
bersangkutan. Gejala yang timbul dapat berupa vertigo, rasa mual dan
muntah. Pada jantung dapat berupa bradikardi atau takikardi dan pada kulit
reaksinya berkeringan dingin.

2.2.2. Posturografi
Menurut Bashiruddin dkk.,(2007), posturografi adalah pemeriksaan
keseimbangan yang dapat menilai secara obyektif dan kuantitatif
kemampuan keseimbangan postural seseorang. Untuk mendapatkan
gambaran yang benar tentang gangguan keseimbangan karena gangguan
vestibuler, maka input visual diganggu dengan menutup mata dan input
proprioseptif dihilangkan dengan berdiri di atas alas tumpuan yang tidak
stabil. Dikatakan terdapat gangguan keseimbangan bila terlihat ayun tubuh
berlebihan, melangkah atau sampai jatuh sehingga perlu berpegangan.
Pemeriksaan posturografi dilakukan dengan menggunakan alat
yang terdiri dari alas sebagai dasar tumpuan yang disebut force platform,
computer graficoder, busa dengan ketebalan 10cm, untuk mengganggu input
proprioseptif, disket data digunakan untuk menyimpan data hasil
pengukuran (Bashiruddin dkk.,2007).

2.3. Vertigo
Sebagai gejala tersendiri vertigo merupakan keluhan subyektif
dalam bentuk rasa berputar dari tubuh/kepala atau lingkungan disekitarnya.
Keluhan yang lebih ringan dari vertigo adalah dizziness dan yang lebih
ringan lagi adalah giddines. Dizzines adalah rasa pusing yang tidak spesifik,
misalnya rasa goyah (unstable, unsteadiness), rasa disorientasi ruangan
yang dapat dirasakan berbalikan (turning) atau berputar (whirling). .
(Joesoef, A. A., 2002).
Tidak sedikit pasien vertigo memberikan keluhan dengan pola
gejala yang tidak cocok dengan kelainan vestibuler yang jelas.
Pada kasus-kasus demikian seringkali para klinisi mendiagnosa
sebagai vertigo psikogenik. Istilah lain untuk vertigo psikogenik ini adalah
psychiatric dizziness, functional dizziness, psychophysiologic dizziness,
psychic dizziness, hyperventilation syndrome dan phobic postural vertigo

(Suhana, D. 2002).

2.3.1. Definisi Vertigo
Vertigo adalah perasaan seolah-olah penderita bergerak atau
berputar, atau seolah-olah benda di sekitar penderita bergerak atau berputar,
yang biasanya disertai dengan mual dan kehilangan keseimbangan. Vertigo
bisa berlangsung hanya beberapa saat atau bisa berlanjut sampai beberapa
jam bahkan hari. Penderita kadang merasa lebih baik jika berbaring diam,
tetapi vertigo bisa terus berlanjut meskipun penderita tidak bergerak sama
sekali (Joesoef, A. A., 2002).
Vertigo menurut Collins (1997) didefinisikan sebagai perasaan
dimana penderita merasa dirinya berputar atau ia merasa dunia
sekelillingnya berputar. Vertigo juga dapat diartikan sebagai gerakan atau
rasa gerakan tubuhatau lingkungan sekitarnya diikuti dengan gejala dari
susunan saraf otonom atau sebagai akibat gangguan alat keseimbangan
tubuh.

2.3.2. Klasifikasi
Vertigo diklasifikasikan menjadi dua kategori berdasarkan saluran
vestibular yang mengalami kerusakan, yaitu vertigo periferal dan vertigo
sentral. Saluran vestibular adalah salah satu organ bagian dalam telinga
yang senantiasa mengirimkan informasi tentang posisi tubuh ke otak untuk
menjaga keseimbangan. Vertigo periferal terjadi jika terdapat gangguan di
saluran yang disebut kanalis semisirkularis, yaitu telinga bagian tengah yang
bertugas mengontrol keseimbangan (Israr, Y. A. 2008).
Sentral (Non-Vestibuler)

Tabel. 2.1 Gejala yang sering menyertai vertigo
(Israr, Y. A. 2008). vertigo.ral

(Vestibulogenik) Vertigo
Vertigo dapat berasal dari kelainan di sentral (batang otak,serebelum
atau otak) atau di perifer (telinga-dalam, atau saraf vestibular). Kita perlu
membedakan kedua jenis vertigo ini, karena terapi dan prognosisnya dapat
berbeda (Lumbantobing, 1996).

2.3.2.1. Vertigo Sentral
Gangguan di batang otak atau di serebelum biasanya merupakan
penyebab vertigo jenis sentral. Untuk menentukan apakah gangguan berada
di batang otak, kita selidiki apakah terdapat gejala lain yang khas bagi
gangguan di batang otak, misalnya diplopia, parestesia, perubahan
sensibilitas dan fungsi motorik. Banyak penderita yang mengeluhkan rasa
lemah. Kita perlu membedakan antara kelemahan umum dengan kelemahan
yang disebabkan oleh gangguan di batang otak (Lumbantobing, 1996).
Gangguan atau disfungsi serebelum kadang-kadang sulit ditentukan.
Misalnya stroke serebelar gejalanya dapat menyerupai gangguan vestibular

perifer. Perlu dicari gejala gangguan serebelar lainnya, seperti gangguan
koordinasi. Penderita gangguan serebelar mungkin mempunyai kesulitan
dalam melaksanakan gerak supinasi dan pronasi tangannya secara berturutturut (dysdiadochokinesia ) (Lumbantobing, 1996).

2.3.2.2. Vertigo perifer
Lamanya vertigo berlangsung
a. Episode (serangan) vertigo yang berlangsung beberapa detik
Vertigo perifer paling sering disebabkan oleh vertigo posisional
benigna. Serangan vertigo dapat dicetuskan oleh perubahan posisi kepala.
Bila kepala bergerak, misalnya berguling sewaktu tidur atau menengadah
menjatah barang di rak yang lebih tinggi. Vertigo berlangsung beberapa
detik dan kemudian mereda.
Vertigo posisional benigna paling sering penyebabnya ialah
idiopatik (tidak diketahui), namun dapat juga diakibatkan oleh trauma di
kepala, pembedahan di telinga atau oleh neuronitis vestibular. Prognosis
umumnya baik, gejala akan menghilang secara spontan.
b. Episode vertigo yang berlangsung beberapa menit atau jam
Vertigo yang berlangsung beberapa menit atau jam dapat dijumpai
pada Penyakit Meniere atau vestibulopati berulang. Penyakit Meniere
mempunyai trias gejala, yaitu: ketajaman pendengaran menurun (tuli),
vertigo dan tinitus.
Rasa penuh ditelinga atau rssa telinga tertekan biasanya ditemukan
pula. Mula-mula gangguan pendengaran ialah pada frekuensi yang
rendah dan berfluktuasi, dengan eksaserbasi, yang bersamaan waktunya
dengan episode vertigo serta peningkatan tinnitus. Usia penderita
biasanya di antara 30-60 tahun pada permulaan munculnya penyakit,
namun didapat variasi yang besar. Pada sekitar 30-50% akhirnya kedua
telinga terlibat (Lumbantobing, 1996).
c. Serangan vertigo yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu

Neuronitis vestibular merupakan kelainan yang sering datang ke
unit darurat. Pada penyakit ini, mulainya vertigo dan nausea serta muntah
yang menyertainya ialah mendadak, dan gejala ini dapat berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu. Sering penderita merasa lebih
lega, namun tidak bebas sama sekali dari gejala, bila ia berbaring diam
(Lumbantobing, 1996).
Neuronitis vestibular ini mungkin disebabkan oleh virus Infeksi
virus pada saraf vestibuler. Penyakit ini jarang berulang. Pada
pemeriksaan fisik mungkin dijumpai nistagmus, yang lebih besar
amplitudonya bila pandangan dilirikkan menjauhi telinga yang terkena.
Penyakit ini akan mereda secara gradual dalam kurun waktu beberapa
hari atau minggu.
Pemeriksaan

elektronistagmografi

(ENG)

menunjukkan

penyembuhan total pada beberapa penderita, namun pada sebagian besar
penderita didapatkan gangguan vestibular berbagai tingkatan. Tambahan
pula pada beberapa penderita timbul vertigo posisional benigna.
Pada penderita dengan serangan vertigo mendadak harus ditelusuri
kemungkinan stroke serebelar. Nistagmus yang bersifat sentral pada
penyakit serebelar tidak berkurang bila dilakukan fiksasi visual, yaitu
mata memandang kepada satu benda yang tidak bergerak. Dan nistagmus
dapat berubah arah bila arah pandangan berubah.
Nistagmus perifer pada neuronitis vestibular lebih meningkat bila
pandangan diarahkan menjauhi telinga yang terkena dan mengurang bila
dilakukan fiksasi visual. Pada nistagmus perifer, nistagmus akan
berkurang bila kita memfiksasi pandangan kita ke suatu benda.
Contoh penyebab vertigo oleh gangguan sistem vestibular yang
perifer ialah : mabuk kendaraan, neuronitis vestibular, vertigo posisional
benigna, penyakit Meniere, vertigo pasca trauma.
Contoh gangguan di sentral (batang otak, serebelum) yang dapat
menyebabkan vertigo ialah : iskemia batang otak, tumor di fossa
posterior, migren basiler (Lumbantobing, 1996).

Gangguan kesehatan yang berhubungan dengan vertigo periferal
antara lain penyakitpenyakit seperti benign parozysmal positional vertigo
(gangguan akibat kesalahan pengiriman pesan), penyakit Meniere
(gangguan keseimbangan yang sering kali menyebabkan hilang
pendengaran), vestibular neuritis (peradangan pada sel-sel saraf
keseimbangan), dan labyrinthitis (radang di bagian dalam pendengaran).
Sedangkan vertigo sentral terjadi jika ada sesuatu yang tidak normal di
dalam otak, khususnya di bagian saraf keseimbangan, yaitu daerah
percabangan otak dan serebelum (otak kecil) (Israr, Y. A. 2008).

2.3.3. Penyebab Vertigo
Pada tabel 2.2 dikemukakan beberapa penyakit yang lazim
ditemukan yang mempunyai gejala vertigo dengan atau tanpa gangguan
pendengaran.

Tabel 2.2. Penyebab vertigo yang sering ditemukan (Lumbantobing, 1996).
Lama episode
Vertigo berlangsung

Tanpa gangguan
pendengaran

Dengan gangguan
pendengaran

Beberapa detik

- vertigo posisional
benigna
-insufisiensi
vertebrobasiler
-vertigo servikal

fistula
perilimfatik

Berjam-jam

-migren vestibular
vestibulopati
berulang

- hidrops endolimfatik
(sindrom Meniere)
- sifilis

Berhari-hari

-neuronitis
vestibular

- labirinitis
- kontusio labirin

Berbulan-bulan

-degenerasi serebeler

-neuroma akustik
-toksisitas tellinga

Gejala vertigo dapat ditimbulkan oleh berbagai etiologi, antara lain
akibat mabuk gerakan/perjalanan. Pada mabuk gerakan (MG) gejala
vertigo muncul pada awal berlangsungnnya paparan gerakan dan cepat
terabaikan oleh penderita manakala paparan berlanjut dan gejala yang
lebih hebat muncul, sehingga vertigo bukan merupakan gejala yang
menonjol. Pada gejala vertigo/dizziness muncul gejala perubahan kullit
yang menjadi pucat (pallor ) terutama di daerah muka dan peluh dingin
(cold sweat). Gejala pallor ini merupakan salah satu tanda yang dapat
dipercaya bahwa penderita mengalami MG. Gejala ini selalu mendahului
munculnya gejala mual/muntah dan diduga akibat vasokonstriksi
pembuluh darah kulit disebabkan oleh peningkatan aktifitas sistem saraf
simpatik. (Joesoef, A. A., 2002).
Menurut Komatsuzaki, untuk mengetahui penyebab vertigo, perlu
pengenalan bagian-bagian tubuh yang sangat erat hubungannya dengan
awal serangan vertigo.
Vertigo sangat erat hubungannya dengan telinga bagian dalam dan
saraf vestibular, yang menghubungkan telinga bagian dalam dengan otak.
Otak, terutama serebelum dan batang otak, juga memainkan peranan
penting. Serebelum dan batang otak, secara filogenetik merupakan daerah
yang paling erat hubungannya dengan awal serangan vertigo. Tidak
mengherankan bahwa fungsi equilibrium yang mengontrol keseimbangan
tubuh dan sangat penting untuk memelihara kehidupan, secara filogenetik
berada dibawah kontrol serebelum dan batang otak dari susunan saraf
pusat.
Pada penampang melintang batang otak yang dibagi menjadi 2
bagian yaitu bagian dorsal dan basal, dimana bagian dorsal yang disebut
tegmentum, merupakan bagian yang penting terutama dalam hubungannya
dengan awal serangan vertigo.
Didalam serebelum, belahan serebelar (cerebellar hemisphere) dan
bagian tengan (medial) berhubungan erat dengan keseimbangan fisik.
Sebagai tambahan, MLF (Medial Longitudinal Fasciculus) yang melalui

bagian dorsal dari batang otak, sangat penting untuk keseimbangan dan
memainkan peranan yang vital didalam menjaga keseimbangan tubuh serta
koordinasi pergerakan bola mata.
Didalam otak, serebelum harus dipertimbangkan juga. Namun
serebelum secara filogenetik merupakan organ yang terbentuk lebih akhir,
kurang begitu erat hubungannya dengan vertigo, bila dibandingkan dengan
serebelum dan batang otak.
Faktor-faktor lain yang erat hubungannya dengan awal serangan
vertigo adalah tekanan darah rendah atau tinggi, problem fisik pada usia
menengah, stres mental, anemia dan lain-lain.
Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui
organ keseimbangan yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini
memiliki saraf yang berhubungan dengan area tertentu di otak.Vertigo bisa
disebabkan oleh kelainan di dalam telinga, di dalam saraf yang
menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam otaknya sendiri. Vertigo
juga bisa berhubungan dengan kelainan penglihatan atau perubahan
tekanan darah yang terjadi secara tiba-tiba.

2.3.4. Penyebab Umum Dari Vertigo
1. Keadaan lingkungan
- Motion sickness (mabuk darat, mabuk laut)
2. Obat-obatan
- Alkohol
- Gentamisin
3. Kelainan sirkulasi
- Transient ischemic attack (gangguan fungsi otak sementara karena
berkurangnya aliran darah ke salah satu bagian otak) pada arteri
vertebral dan arteri basiler

4. Kelainan di telinga
- Endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di dalam
telinga bagian dalam (menyebabkan benign paroxysmal positional
vertigo)
- Infeksi telinga bagian dalam karena bakteri
- Herpes zoster
- Labirintitis (infeksi labirin di dalam telinga)
- Peradangan saraf vestibuler
- Penyakit Meniere
5. Kelainan neurologis
- Sklerosis multipel
- Patah tulang tengkorak yang disertai cedera pada labirin,
persarafannya atau
- keduanya
- Tumor otak
- Tumor yang menekan saraf vestibularis.

2.3.5. Sistim Keseimbangan
Manusia, karena berjalan dengan kedua tungkainya, relatif kurang
stabil dibandingkan dengan makhluk lain yang berjalan dengan empat kaki,
sehingga lebih memerlukan informasi posisi tubuh relatif terhadap
lingkungan, selain itu diper-lukan juga informasi gerakan agar dapat terus
beradaptasi dengan perubahan sekelilingnya.Informasi tersebut diperoleh
dari sistim keseimbangan tubuh yang melibatkan kanalis semisirkularis
sebagai reseptor, serta sistim vestibuler dan serebelum sebagai pengolah
informasinya, selain itu fungsi penglihatan dan proprioseptif juga berperan
dalam memberikan informasi rasa sikap dan gerak anggota tubuh. Sistim
tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi untuk selanjutnya diolah di
susunan saraf pusat (Wrekosoatmodjo, 2004).

Gambar 2.3. (Wreksoatmodjo, Vertigo: Aspek Neurologi, 2004)

2.3.6. Patofisiologi
Rasa

pusing

atau

vertigo

disebabkan

oleh

gangguan

alat

keseimbangan tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi
tubuh yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat
(Wrekosoatmodjo, 2004).
Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian tersebut :
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan
menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya
terganggu; akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.
2. Teori konflik sensorik
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal
dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu antara mata/visus,
vestibulum dan proprioseptik, atau ketidak-seimbangan/asimetri masukan
sensorik dari sisi kiri dan kanan.
Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di sentral
sehingga timbul respons yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi
bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum)
atau rasa melayang, berputar (yang berasal dari sensasi kortikal).
Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan
gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.
3. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik; menurut teori
ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu;
sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai
dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan
saraf otonom.
Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan
terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul
gejala (Wrekosoatmodjo, 2004).

Gambar 2.4. Skema teori Mismatch (Wreksoatmodjo, 2004).

4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai
usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi; gejala klinis timbul jika sistim
simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis
mulai berperan.
5. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori
serotonin

(Lucat)

yang

masing-masing

menekankan

peranan

neurotransmiter tertentu dalam mem- pengaruhi sistim saraf otonom yang
menyebabkan timbulnya gejala vertigo.

Gambar 2.5. Keseimbangan sistim simpatis dan parasimpatis
(Wreksoatmodjo, 2004).
6. Teori sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada
proses adaptasi, belajar dan daya ingat.
Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF
(corticotropin releasing factor); peningkatan kadar CRF selanjutnya akan
mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan
mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf
parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering
timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas
simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan
hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan
saraf parasimpatis (Wreksoatmodjo, 2004).

2.3.7. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah salah satu
jenis vertigo vestibular tipe perifer yang paling sering dijumpai dalam

praktek sehari-hari, ditandai dengan serangan-serangan yang menghilang
spontan. BPPV bukan suatu penyakit, melainkan suatu sindroma sebagai
gejala sisa dari penyakit pada telinga dalam. Penelitian Baloh
mendapatkan usia rata-rata penderita BPPV adalah 54 tahun, dengan
rentang usia 11-84 tahun. Wanita : pria 1,6 : 1,0, sedangkan pada yang
idiopatik 2 : 1. (Andradi S. 2002).

2.3.7.1. Etiologi
1. Idiopatik
Sekitar 50% penderita BPPV tidak diketahui penyebabnya.
2. Simtomatik
Pasca trauma, pasca-labirinitis virus, insufisiensi vertebrobasilaris,
Meniere, pasca-operasi, ototoksisitas, mastoiditis kronik.

2.3.7.2. Patofisiologi
Terdapat 2 hipotesa yang menerangkan patofisiologi BPPV, yaitu :
1. Hipotesa kupulolitiasis
Adanya debris yang berisi kalsium karbonat berasal dari fragmen
otokonia yanng terlepas dari makula utrikulus yang berdegenerasi,
menempel pada permukaan kupula kanalis semisirkularis posterior yang
letaknya langsung di bawah utrikulus. Debris ini menyebabkan lebih
berat daripada endolimfe sekitarnya, dengan demikian menjadi lebih
sensitif terhadap perubahan arah gravitasi. Bilamana pasien berubah
posisi dari duduk ke berbaring dengan kepala tergantung, seperti pada tes
Dix Hallpike, kanalis posterior berubah posisi dari inferior ke superior,
kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus
dan keluhan vertigo (Andradi, S. 2002).
Pergeseran massa otokonia tersebut membutuhkan waktu, hal ini yang
menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya nistagmus dan
keluhan vertigo. Gerakan posisi kepala yang berulang akan menyebabkan
otokonia terlepas dan masuk ke dalamm endolimfe, hal ini yang

menyebabkan timbulnya fatigue, yaitu berkurangnya atau menghilangnya
nistagmus/vertigo, disamping adanya mekanisme kompensasi sentral.
Nistgmus tersebut timbil secara paroksismal pada bidang kanalis
posterior telinga yang berada pada posisi du bawah, dengan arah
komponen cepat ke atas (Andradi, S. 2002)
2. Hipotesa kanalitiasis
Menurut hipotesa ini debris otokonia tidak melekat pada kupula,
melainkan mengambang di dalam endolimfe kanallis posterior. Pada
perubahan posisi kepala debris tersebut akan bergerak menjauhi ampula
dan merangsang nervus ampularis. Bila kepala digerakkan tertentu debris
akan keluar dari kanalis posterior ke dalam krus komunis, lalu masuk ke
dalam vestibulum, dan vertigo/nistagmus menghilang (Andriani, S.
2002).

2.3.7.3 . Gejala Klinis
Vertigo timbul mendadak pada perubahan posisi, misalnya miring
ke satu sisi pada waktu berbaring, bangkit dari tidur, membungkuk atau
waktu menegakkan kembali badan, menunduk atau mengadah. Seangan
berlangsung dalam waktu singkat, biasanya kurang dari 30 detik.
Vertigo pada BPPV dirasakan berputar, bisa disertai rasa mual,
kadanng-kadang muntah. Setelah rasa berputar menghilang pasien bisa
merasa melayang. Umumnya BPPV menghilang sendiri dalam beberapa
hari sampai minggu dan kadang-kadang bisa kambuh lagi (Andradi, S.
2002).

2.3.7.3 . Diagnosis
Diagnosis BPPV ditegakkan secara klinis berdasarkan:
1. Amanneis
Adanya vertigo yang terasa berputar, timbul mendadak pada perubahan
posisi kepala atau badan, lamanya kurang dari 30 detik, bisa disertai oleh
rasa mual, kadang-kadang muntah.

2. Pemeriksaan fisik
Pada yang idiopatik tidak ditemukan kelainan. Pada yang sistomatik bisa
ditemukan kelainan neurologik fokal, atau kelainan sistemik.
3. Tes Dix Hallpike
Tes ini dilakukan sebagai berikut :
a. Sebelumnya pasien diberi penjelasan dulu mengenai prosedur
pemeriksaan supaya tidak tegang.
b. Pasien duduk dekat nagian ujung meja periksa.
c. Dengan mata terbuka dan berkedip sedikit mungkin selama
pemeriksaan, pada posisi duduk kepala menengok ke kiri atau
kanan, lalu dengan cepat bdan pasien dibaringkan sehingga kepala
tergantung pada ujung meja periksa, lalu dilihat adanya nistagmus
dan keluhan vertigo, pertahankan posisi tersebut selama 10 sampai
15 detik, setelah itu pasien dengan cepat didudukkan kembali.
Berikutnya manuver tersebut diulang dengan kepala menunjuk
kesisi lain. Untuk melihat adanya fatigue manuver ini diulang 2-3
kali (Andradi, S. 2002).
Interpretasi Tes Dix Hallpike:
a. Normal: tidak timbul vertigo dan nistagmus dengan mata terbuka.
Kadang-kadang dengan mata tertutp bisa terekam dengan
elektronistagmografi adanya beberapa detak nistagmus.
b. Abnormal: timbulnya nistagmus posisional yang pada BPPV
mempunyai 4 ciri, yaitu: ada massa laten, lamanya kurang dari 30
detik, disertai vertigo yang lamanya sama dengan nistagmus, dan
adanya fatigue, yaitu nistagmus dan vertigo yang makin berkurang
setiap kali manuver diulang.

2.3.8. Vertigo Dan Gangguan Keseimbangan Pada Usia Tua
Vertigo dangangguan keseimbangan merupakan kelainan yang sering
dijumpai pada usia tua. Kelainan tersebut seringkali menyebabkan jatuh dan
mengakibatkan berbagai morbiditas, seperti patah tulang, cedera otak bahkan bisa

fatal. Hal ini bisa dimengerti oleh karena pada usia tua terjadi degenerasi pada
sistem vestibuler, disamping faktor-faktor eksternal, seperti trauma, efek samping
obat, misalnya sedativa, tranquilizer, atau obat yang ototoksik.
Pada usia tua terjadi berbagai perubahan struktural berupa degenerasi dan
atrofi pada sistem vestibuler, visual dan proprioseptif (multisensory system),
dengan akibat gangguan fungsional pada ketiga sistem tersebut (Andradi, S.
2002).

2.3.8.1. Perubahan Struktural dan Fungsional Sistem Vestibuler
Pada sistem vestibuler perubahan tersebut bisa terjadi pada aparat
vestibuler, yaitu otokonia pada utrikulus dan sakulus, epitel vestibuler, nervus
vestibularis, ganglion scarpa, dan serebelum.
Demineralisasi dan fragmentasi progresif dari statokonia utrikulus dan
sakulus menyebabkan respon terhadap akselerasi gravitasi dan liniar berkurang,
sehingga keseimbangan mudah terganggu. Disamping itu terlepasnya otokonia ke
dalam

kanalis

semisirkularis

posterior

akan

menimbulkan

gangguan

keseimbangan posisional, seperti pada Benign Paroxysmal Position Vertigo
(BPPV).
Pada epitel vestibular terjadi akumulasi inclusion bodies dan lipofusion
serta terbentuknya vakuola, sel-sel menjadi atrofi dan sel-sel rambut digantikan
oleh sikatrik.
Perubahan pada inti vestibularis kurang banyak diketahui. Bisa ditemukan
akumulasi lipofusin seperti pada sel rambut. Di serebelum sel-sel Purkinje
jumlahnya berkurang, dan disinipun terjadi penumpukan lipofusin, inclusion
berbentuk batang dan inclusion body lain.
Perubahan struktural tersebut diatas bisa menimbulkan gangguan fungsional
berupa gangguan postural, dan gangguan keseimbangan, apalagi bila disertai
penurunan visus dan kelainan proprioseptif yang sering terjadi pada usia tua
(Andradi, S. 2002).

2.3.8.2. Penyebab

Penyebab vertigo dan gangguan keseimbangan pada usia tua
meliputi berbagai macam kelainan otologik, neurologik, kardiovaskular,
hematologik, metabolik, dan obat-obatan.

Tabel 2.2: Penyebab vertigo dan gangguan keseimbangan pada usia tua (Andradi,
S. 2002).
Otologik

BPPV,

kolesteatoma,

otosklerosis,

labirinitis,

penyakit

Meniere,

neuronitis vestibularis, obat ototoksik.
Neurologik

Tumor

sudut

insufisiensi

serebelopontin,

vertebrobasilar,

stenosis

karotid, penyakit parkinson.
Kardiovaskular

Stenosis

aorta,

disritmia,

hipotensi

postural.
Hematologik

Anemia, hiperviskositas.

Metabolik

Diabetes

Lain-lain

hipoglikemia.

mellitus,

Obat-obatan

(sedatif,

hiperventilasi,

tranquilizer),

cedera kepala, vertigo servikal.

2.3.9. Tes Koordinasi Dan Gangguan Keseimbangan
Keseimbangan merupakan suatu proses komplek yang melibatkan 3
penginderaan penting yaitu : propioseptif (kemampuan untuk mengetahui posisi
tubuh), sistem vestibular (kemampuan untuk mengetahui posisi kepala), dan mata
(untuk memonitor perubahan posisi tubuh). Gangguan terhadap salah satu dari
ketiga jalur tersebut akan membuat keseimbangan terganggu. Untuk memeriksa
gangguan keseimbangan dan koordinasi ada beberapa tes yang bisa dilakukan,
yaitu :
1. Tes Romberg

Pasien

yang

mempertahankan

memiliki

gangguan

keseimbangan

propioseptif

menggunakan

masih

dapat

kemampuan

sistem

vestibular dan penglihatan. Pada tes romberg, pasien diminta untuk
menutup matanya. Hasil tes positif bila pasien kehilangan keseimbangan
atau terjatuh setelah menutup mata. Tes romberg digunakan untuk menilai
propioseptif yang menggambarkan sehat tidaknya fungsi kolumna dorsalis
pada medula spinalis. Pada pasien ataxia (kehilangan koordinasi motorik)
tes romberg digunakan untuk menentukan penyebabnya, apakah murni
karena defisit sensorik/propioseptif, ataukah ada gangguan pada
serebelum. Pasien ataxia dengan gangguan serebelum murni akan
menghasilkan tes romberg negatif.
Untuk melakukan tes romberg pasien diminta untuk berdiri dengan kedua
tungkai rapat atau saling menempel. Kemudian pasien disuruh untuk
menutup matanya. Pemeriksa harus berada di dekat pasien untuk
mengawasi bila pasien tiba – tiba terjatuh. Hasil romberg positif bila
pasien terjatuh. Pasien dengan gangguan serebelum akan terjatuh atau
hilang keseimbangan pada saat berdiri meskipun dengan mata terbuka
(Danardwianandika, 2013)

Gambar 2.6. Test romberg (Wreksoatmodjo, 2004)

2. Tes Tandem Walking
Tes lain yang bisa digunakan untuk menentukan gangguan koordinasi
motorik adalah tes tandem walking. Pasien diminta untuk berjalan pada
satu garis lurus di atas lantai dengan cara menempatkan satu tumit
langsung di antara ujung jari kaki yang berlawanan, baik dengan mata
terbuka atau mata tertutup.


Penderita diminta berjalan pada satu garis lurus diatas lantai,
tempatkan satu tumit tepat di depan jari-jari kaki yang berlawanan.



Pandangan lurus ke depan.
Dilakukan dengan mata terbuka (Danardwianandika, 2013).

Gambar 2.7. Test tandem (Danardwianandika, 2013).

3. Finger to nose test
Gangguan pada serebelum atau saraf – saraf propioseptif dapat juga
menyebabkan

ataxia

tipe

dismetria.

Dismetria

berarti

hilangnya

kemampuan untuk memulai atau menghentikan suatu gerak motorik halus.
Untuk menguji adanya suatu dismetria bisa dilakukan beberapa
pemeriksaan,

salah

satunya

adalah

finger

to

nose

test.

Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan pasien dalam kondisi berbaring,
duduk atau berdiri. Diawali pasien mengabduksikan lengan serta posisi
ekstensi total, lalu pasien diminta untuk menyentuh ujung hidungnya
sendiri dengan ujung jari telunjuknya. Mula – mula dengan gerakan
perlahan kemudian dengan gerakan cepat, baik dengan mata terbuka dan
tertutup (Danardwianandika, 2013).
4.

Nose finger nose test
Serupa dengan finger to nose test tetapi setelah pasien menyentuh
hidungnya, pasien diminta untuk menyentuh ujung jari pemeriksa dan
kemudian kembali menyentuh hidungnya. Jari pemeriksa dapat diubah

baik dalam jarak maupun dalam bidang gerakan (Danardwianandika,
2013).
5. Finger to finger test
Pasien diminta mengabduksikan lengan pada bidang horisontal dan
diminta untuk menggerakkan kedua ujung jari telunjuknya saling bertemu
tepat di tengah – tengah bidang horisontal tersebut. Pertama dengan
gerakan perlahan kemudian dengan gerakan cepat, dengan mata ditutup
dan dibuka (Danardwianandika, 2013).
6.

Diadokokinesis
Pasien diminta untuk menggerakkan kedua tangannya bergantian pronasi
dan supinasi dalam posisi siku diam dengan cepat. Pemeriksaan ini
dilakukan baik dengan mata terbuka maupun tertutup. Pada pasien dengan
gangguan serebelum atau lobus frontalis, gerakan pasien akan melambat
atau menjadi kikuk (Danardwianandika, 2013).

7. Heel to knee to toe test
Pemeriksaan ini lebih mudah dilakukan bila pasien dalam keadaan
berbaring. Pasien diminta untuk menggerakkan tumit kakinya ke arah lutut
kontralateral, kemudian tumit digerakkan atau didorong ke arah jari kaki
kontralateral (Danardwianandika, 2013).