Ambang Dengar Lansia Penderita Presbikusis di Panti Jompo Kota Medan dan Binjai

(1)

46

Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN SUBJEK PENELITIAN

Salam sejahtera,

Bapak/Ibu yang saya hormati, nama saya Kamelia Sitorus, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Saat ini saya sedang melakukan penelitian untuk melengkapi Karya Tulis Ilmiah yang menjadi kewajiban saya untuk menyelesaikan pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Adapun penelitian saya berjudul “Ambang Dengar Lansia Penderita Presbikusis di Panti Jompo Kota Medan dan Binjai”.

Untuk melengkapi penelitian ini, saya harus melakukan wawancara, pemeriksaan menggunakan otoskopi, pemeriksaan berbisik dan audiometri pada Bapak/Ibu. Pemeriksaan ini akan dilakukan di panti jompo yang Bapak/Ibu tempati.

Tidak ada biaya apapun yang akan dikenakan pada penelitian ini. Partisipasi penelitian ini bersifat bebas, tanpa ada paksaan dan Bapak/Ibu berhak untuk menolak berpartisipasi tanpa dikenakan sanksi apapun.

Demikianlah penjelasan ini saya sampaikan. Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini, diharapkan Bapak/Ibu dapat membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran ini sebagai tanda persetujuan sehingga pemeriksaan dapat segera kita mulai. Atas partisipasi dan kesediaan Bapak/Ibu, saya ucapkan terima kasih.


(2)

Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP) (INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ………..

Umur : ………..

Jenis Kelamin : ………..

Setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti tentang penelitian “Ambang Dengar Lansia Penderita Presbikusis di Panti Jompo Kota Medan dan Binjai” maka dengan ini saya menyatakan bahwa saya memahami penjelasan secara lengkap serta secara sukarela dan tanpa paksaan bersedia ikut serta sebagai responden dalam penelitian tersebut.

Demikian surat pernyataan ini untuk dapat digunakan seperlunya.

Medan, 2015 Responden


(3)

48

Lampiran 3

STATUS PENELITIAN

No. Penelitian : ... Panti Jompo : ... Tanggal : ...

Identitas

Nama : ………..

Umur : ……… tahun

Kelompok umur : O 60-69 tahun O 70-79 tahun O > 80 tahun Jenis Kelamin : Wanita / Pria

Riwayat Penyakit Sistemik : O Tidak mempunyai riwayat

O Mempunyai riwayat penyakit sistemik (...)

Pemeriksaan Telinga

Kanan Kiri

Daun Telinga : Liang Telinga : Membran Timpani :


(4)

Pemeriksaan Otoskopi

Pemeriksaan Audiometri

Derajat Gangguan Pendengaran Audiometri Menurut ISO

Derajat Ambang Dengar

Normal 0 - 25 dB

Tuli ringan >25 - 40 dB Tuli sedang >40 – 55 dB Tuli sedang berat >55 – 70 dB Tuli berat >70 – 90 dB Tuli sangat berat >90 dB

Tandatangan Pemeriksa

(...) Hasil Pemeriksaan Kanan : ______________________ Kiri : ________________________


(5)

Lampiran 4

Tabulasi Data Lansia Penderita Presbikusis di Panti Jompo Kota Medan dan Binjai

Nama Umur Sex

Penyakit Sistemik

AD Telinga Kanan

AD Telinga Kiri

Derajat Ketulian Telinga Kanan

Derajat Ketulian

Telinga Kiri Kelompok Umur

Sahwa 82 P Hipertensi 76 71 Tuli Berat Tuli Berat >80 tahun

Lien Cun

Cen 77 P Tidak 44 39 Tuli Sedang Tuli Ringan 70-79 tahun

Kuibi 74 P DM 53 60 Tuli Sedang Tuli Sedang Berat 70-79 tahun

Fung Cai 85 P Tidak 72 70 Tuli Berat Tuli Sedang Berat >80 tahun

Ham Pek

Kui 80 P Tidak 56 57 Tuli Sedang Berat Tuli Sedang Berat >80 tahun

Ahun 62 L Hipertensi 79 74 Tuli Berat Tuli Berat 60-69 tahun

Alung 64 L DM 39 39 Tuli Ringan Tuli Ringan 60-69 tahun

Sukawati 80 P Tidak 72 68 Tuli Berat Tuli Sedang Berat >80 tahun

Minje 77 P DM 50 50 Tuli Sedang Tuli Sedang 70-79 tahun

Minah 62 P DM 72 70 Tuli Berat Tuli Sedang Berat 60-69 tahun

Shinta 76 P DM 62 55 Tuli Sedang Berat Tuli Sedang 70-79 tahun

Maria 88 P Tidak 83 71 Tuli Berat Tuli Berat >80 tahun

Tukijo 73 L Tidak 69 62 Tuli Sedang Berat Tuli Sedang Berat 70-79 tahun Alwi

Marzuki 74 L Tidak 64 52 Tuli Sedang Berat Tuli Sedang 70-79 tahun

Lun Thiam

Seng 62 L Hipertensi 44 46 Tuli Sedang Tuli Sedang 60-69 tahun


(6)

Lu Sun Wan 63 L Hipertensi 67 66 Tuli Sedang Berat Tuli Sedang Berat 60-69 tahun

Lina 70 P Tidak 63 41 Tuli Sedang Berat Tuli Sedang 70-79 tahun

Ninawati 71 P Tidak 40 49 Tuli Ringan Tuli Sedang 70-79 tahun

Loi Pak

Syang 66 L Hipertensi 87 67 Tuli Berat Tuli Sedang Berat 60-69 tahun

Malena

Teguh 70 P Hipertensi 69 69 Tuli Sedang Berat Tuli Sedang Berat 70-79 tahun

Nurida 70 P Tidak 47 73 Tuli Sedang Tuli Berat 70-79 tahun

Afung 60 L Hipertensi 40 44 Tuli Ringan Tuli Sedang 60-69 tahun

Bi Kim 65 P Tidak 60 48 Tuli Sedang Berat Tuli Sedang 60-69 tahun

Eka Sari 65 P Hipertensi 66 58 Tuli Sedang Berat Tuli Sedang Berat 60-69 tahun

Alui 68 P Tidak 86 88 Tuli Berat Tuli Berat 60-69 tahun

A guan 78 L DM 34 37 Tuli Ringan Tuli Ringan 70-79 tahun

Ang Ciam

To 65 P Tidak 58 57 Tuli Sedang Berat Tuli Sedang Berat 60-69 tahun

Hong Kiaw 75 P Tidak 54 53 Tuli Sedang Tuli Sedang 70-79 tahun

Lie Alien 70 P Hipertensi 83 76 Tuli Berat Tuli Berat 70-79 tahun

Li Na 71 P Tidak 75 63 Tuli Berat Tuli Sedang Berat 70-79 tahun

Nur Sehat 65 P Hipertensi 47 45 Tuli Sedang Tuli Sedang 60-69 tahun

Pek Balie 66 P Hipertensi 44 41 Tuli Sedang Tuli Sedang 60-69 tahun

Lim Sioe

Ing 62 P Hipertensi 65 81 Tuli Sedang Berat Tuli Berat 60-69 tahun

Oei Yek

Chen 82 P Tidak 98 91 Tuli Sangat Berat Tuli Sangat Berat >80 tahun

Zubaidah 83 P DM 72 68 Tuli Berat Tuli Sedang Berat >80 tahun


(7)

Lampiran 5

Kelompok Umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid >80 tahun 7 18,9 18,9 18,9

60-69 tahun 15 40,5 40,5 59,5

70-79 tahun 15 40,5 40,5 100,0

Total 37 100,0 100,0

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Laki-laki 11 29,7 29,7 29,7

Perempuan 26 70,3 70,3 100,0

Total 37 100,0 100,0

Riwayat Penyakit Sistemik

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 18 48,6 48,6 48,6

Ya 19 51,4 51,4 100,0

Total 37 100,0 100,0

Derajat Ketulian Telinga Kiri

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tuli Berat 7 18,9 18,9 18,9

Tuli Ringan 3 8,1 8,1 27,0

Tuli Sangat Berat 1 2,7 2,7 29,7

Tuli Sedang 12 32,4 32,4 62,2

Tuli Sedang Berat 14 37,8 37,8 100,0

Total 37 100,0 100,0


(8)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tuli Berat 11 29,7 29,7 29,7

Tuli Ringan 4 10,8 10,8 40,5

Tuli Sangat Berat 1 2,7 2,7 43,2

Tuli Sedang 8 21,6 21,6 64,9

Tuli Sedang Berat 13 35,1 35,1 100,0

Total 37 100,0 100,0

Statistics

Ambang Dengar Telinga Kanan

Ambang Dengar Telinga Kiri

N Valid 37 37

Missing 0 0

Mean 62,78 59,65

Minimum 34 37


(9)

Report

Kelompok Umur Ambang Dengar Telinga Kanan

Ambang Dengar Telinga Kiri

>80 tahun Mean 75,57 70,86

N 7 7

Std. Deviation 12,778 10,123

Minimum 56 57

Maximum 98 91

60-69 tahun Mean 61,13 57,80

N 15 15

Std. Deviation 15,892 15,717

Minimum 39 39

Maximum 87 88

70-79 tahun Mean 58,47 56,27

N 15 15

Std. Deviation 13,876 12,027

Minimum 34 37

Maximum 83 76

Total Mean 62,78 59,65

N 37 37

Std. Deviation 15,524 14,143

Minimum 34 37


(10)

Ambang Dengar Telinga Kanan Ambang Dengar Telinga Kiri * Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Ambang Dengar Telinga Kanan

Ambang Dengar Telinga Kiri

Laki-laki Mean 59,64 54,09

N 11 11

Std. Deviation 17,654 13,042

Minimum 34 37

Maximum 87 74

Perempuan Mean 64,12 62,00

N 26 26

Std. Deviation 14,703 14,165

Minimum 40 39

Maximum 98 91

Total Mean 62,78 59,65

N 37 37

Std. Deviation 15,524 14,143

Minimum 34 37


(11)

Ambang Dengar Telinga Kanan Ambang Dengar Telinga Kiri * Riwayat Penyakit Sistemik

Riwayat Penyakit Sistemik Ambang Dengar Telinga Kanan

Ambang Dengar Telinga Kiri

dimension0

Tidak Mean 65,22 60,56

N 18 18

Std. Deviation 14,886 14,790

Minimum 40 39

Maximum 98 91

Ya Mean 60,47 58,79

N 19 19

Std. Deviation 16,160 13,851

Minimum 34 37

Maximum 87 81

Total Mean 62,78 59,65

N 37 37

Std. Deviation 15,524 14,143

Minimum 34 37


(12)

Lampiran 6

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Kamelia Sitorus Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tanggal Lahir : Tanjungbalai/27 Januari 1995 Warga Negara : Indonesia

Status : Belum menikah

Alamat : Jl. Sakura II No.113 Helvetia Medan

E-mail : sitoruskamelia@yahoo.com

Riwayat Pendidikan :

1. TK Budi Murni Tanjungbalai (1999-2000) 2. SDS Rom Katolik II Tanjungbalai (2000-2006) 3. SMPN 1 Tanjungbalai (2000-2006)

4. SMAN 4 Medan (2009-2012)

5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2012-Sekarang)

Organisasi :

1. Tim Visitasi Persisten Perkantas (Persekutuan Kristen Antar Universitas) (2013-2015)

2. Tim PMS Persisten Perkantas (Persekutuan Kristen Antar Universitas) (2015-sekarang)


(13)

(14)

(15)

(16)

(17)

(18)

(19)

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G., Boeis, L., & Higler, P., 2007. BOEIS - Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC.

Al-Ruwali N, Hagr A. 2010. Prevalence of Presbycusis in the Elderly Saudi Arabian Population. J T U Med Sc 2010; 5(1); p.21-26.

Astari, N. L. 2014. Uji Diagnostik HHIE-S Versi Indonesia untuk Skrining Gangguan Pendengaran Usia Lanjut. Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, p; 35-37.

Bashiruddin J, Alviandi W, Bramantyo B, M Yossa P. 2008. Gambaran Audiometri Nada Murni pada Penderita Gangguan Pendengaran Sensorineural Usia Lanjut. Maj. Kedokt. Indon (58); 8; p. 284-290. Bashiruddin J, Soetirto I. 2007. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise

Induced Hearing Loss). In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. p.49-56. Despopoulos, A., & Silbernagl, S. 2003. Color Atlas of Physiology. New York:

Thieme. p.365.

Dewi, Y. A. 2007. Presbiakusis. Bagian Ilmu Kesehatan THT pada Seminar Ilmu Penyakit Dalam. Bandung.

Dina, L. 2013. Prevalensi Presbikusis dan Faktor Risio yang Mempengaruhi Lanjut Usia di Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten. Laporan Penelitian Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta. Diniz, T. H. & Guida, H. L. 2009. Hearing Loss in Patients with Diabetes

Mellitus. Braz J Otorhinolaryngol.

Fernanda, M. 2009. Relationship between Hypertension and Hearing Loss. Otorhinolaryngology International Arch .13 p.3.

Gates, G. A., & Milles, J. H. 2005. Presbycusis. J Fam Pract.

Gates, G. A. 2003. Screening for Handycapping Hearing Loss in the Elderly. J Fam Pract .


(21)

44

Jennifer. 2013. Audiometry Screening and Interpretation. American Family Physician.

Kemenkes RI. 2006. Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian untuk Mencapai Sound Hearing 2030. Jakarta.

Kim SH, Lim EJ, Kim H, Park JH. 2010. Sex Difference in a Cross Sectional Study of Age Related Hearing Loss in Korea. p. 27-31.

Lalwani, A.K. 2008. The Aging Inner Ear. In: Lalwani AK. Diagnosis and Treatment in Otolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-2. New York: The MacGraw-Hill Companies Inc. p. 689-696.

Laviolette, S. R. & Kooy, V. D. 2004. The Neurobiology of Nicotine Addiction: Bridging the Gap from Molecules to Behavior. Nature Reviews Neuroscince , p 55-65.

Ludman, H. 1992. Petunjuk Penting pada Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Jakarta: HIPOKRATES.

Muyassaroh. 2012. Faktor Risiko Presbikusis. J Indon Med Assoc. (62)4. p.157-158.

Nilforoush MH, Nasr AAE, Ishagi R, and Sepehrnejad M. 2012. Comparison of Nursing Home Hearing Handicap Index with Audiological Findings: A Presbycusis Study. Journal of Aging Research.

Ricketts, T., Chicchis, A., & Bess, F. H. 2001. Hearing Aids and Assistive Listening Devices. Dalam: Barley, B. J., ed. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.

Roland, Eaton, & Meyerhoff. 2001. Aging in the Auditory Vestibular System. Dalam: Barley, B. J., ed. Head and Neck Surgery - Otolaryngology (p. 1941). Philladelphia: Lippincott Williams and Wilkins.

Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC. p.230-240.

Shohet, J. A., Talavera, F., & Gianoli, G. 2005. Inner Ear, Presbycusis.In: Dewi, Y. A. 2007. Presbiakusis. Bagian Ilmu Kesehatan THT pada Seminar Ilmu Penyakit Dalam. Bandung.


(22)

Suwento H, Hendarmin H. Gangguan Pendengaran pada Geriatri. In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. p. 43-45.

Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran (Tuli). In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. p.13-16.

Soegebi OA, Olusoga-Peters OO, Oluwapelumi O. 2013. Clinical and Audiometric Features of Presbycusis in Nigerians. Africans Health Sciences 2013; 13(4); 886-892.

Wibowo, D. S., & Widjaya, P. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu. p.537-541.

Wibowo S, Soedarmi M, Lukmantya. 2010. Hubungan Ambang Dengar dengan Nilai Hearing Handicap Berdasarkan Hearing Handicap Inventory for the Elderly-Screening (HHIE-S). Orli. 40; p.126-133.


(23)

28

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

3.2. Definisi Operasional 3.2.1 Ambang Pendengaran

Ambang pendengaran adalah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga lansia.

a. Cara ukur : Mengukur ambang pendengaran menggunakan audiometri.

b. Alat ukur : Audiometri nada murni.

c. Hasil ukur : Ambang dengar akan dikelompokkan menjadi i. Normal : 0 – 25 dB

ii. Tuli ringan : >25 - 40 dB iii. Tuli sedang : >40 – 55 dB iv. Tuli sedang berat : >55 – 70 dB v. Tuli berat : >70 – 90 dB vi. Tuli sangat berat : >90 dB d. Skala ukur : ordinal.

3.2.2 Usia

Usia adalah umur pasien berdasarkan tanggal lahir pasien. a. Cara ukur : observasi

a. Usia

b. Jenis kelamin

c. Riwayat penyakit sistemik Ambang dengar lansia


(24)

b. Alat ukur : data panti jompo

c. Hasil ukur : usia akan dikelompokkan menjadi i. 60-69 tahun

ii. 70-80 tahun iii. >80 tahun

d. Skala ukur : ordinal

3.2.3 Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah karakteristik fisik yang dimiliki lansia berdasarkan ciri-ciri jenis kelamin laki-laki atau perempuan.

a. Cara ukur : observasi b. Alat ukur : data panti jompo

c. Hasil ukur : jenis kelamin akan dikelompokkan menjadi i. Laki-laki

ii. Perempuan

d. Skala ukur : nominal

3.2.4 Riwayat Penyakit Sistemik

Riwayat penyakit sistemik adalah penyakit sistemik (hipertensi, diabetes melitus, hiperkolesterol) yang merupakan faktor risiko dari presbikusis yang pernah diderita oleh lansia.

a. Cara ukur : wawancara b. Alat ukur : kuisioner

c. Hasil ukur : riwayat penyakit sistemik akan dikelompokkan menjadi

i. Mempunyai riwayat o Hipertensi

o Diabetes Melitus

ii. Tidak mempunyai riwayat d. Skala ukur : nominal


(25)

30

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan design penelitian cross sectional (potong lintang).

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di dua panti jompo Kota Medan dan dua panti jompo Kota Binjai pada bulan Juli-Desember 2015. Panti jompo dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan tempat yang memiliki banyak populasi orang berusia lanjut.

Adapun panti jompo yang akan menjadi lokasi penelitian adalah: 1) Panti Jompo Yayasan Guna Budi Bakti (Medan)

2) Panti Jompo Harapan Jaya (Medan) 3) Panti Jompo Bodhi Asri (Binjai) 4) Panti Jompo Hisosu (Binjai)

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini merupakan semua lansia penderita presbikusis yang diambil dari panti jompo di Kota Medan dan Binjai.

4.3.2. Sampel

Sampel yang diambil merupakan subjek dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik total sampling. Sampel diperoleh dengan beberapa kriteria yang telah ditetapkan terlebih dahulu.


(26)

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi adalah sebagai berikut: a. Kriteria inklusi

1. Lansia berdasarkan umur (>60 tahun)

2. Ditetapkan menderita presbikusis melalui anamnesis, otoskopi, dan audiometri.

3. Kooperatif saat dilakukan pemeriksaan. 4. Bersedia menjadi sampel penelitian.

b. Kriteria eksklusi

1. Pada pemeriksaan otoskopi didapati perforasi membrane timpani. 2. Mempunyai riwayat telinga berair.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk menentukan ambang pendengaran dari lansia di panti jompo dilakukan pengukuran menggunakan audiometri nada murni. Data usia, jenis kelamin, riwayat menderita penyakit sistemik dan riwayat merokok dari lansia akan menggunakan data dari kartu identitas dan wawancara terhadap lansia.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul akan dan kemudian akan diolah secara komputerisasi.

Setelah semua data penelitian terkumpul kemudian dilakukan analisis data menggunakan software SPSS melalui beberapa tahap pengolahan data, sebagai berikut :

a. Editing

Proses pemeriksaan kembali data yang telah diambil dari database lansia di panti jompo dan data audiogram untuk melihat kelengkapan data lansia.

b. Coding

Melakukan pengkodean untuk mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan.


(27)

32

Memasukkan data hasil penelitian kedalam proses tabulasi menggunakan perangkat lunak komputer sekaligus melakukan editing ulang untuk mencegah terjadinya kesalahan memasukkan data.

d. Cleaning

Bila semua data dari setiap sumber data telah dimasukkan, perlu dilakukan pengecekan ulang untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi data (Notoatmodjo, 2010).


(28)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di dua panti jompo yang ada di Kota Medan dan dua panti jompo di Kota Binjai. Panti jompo di Kota Medan yang menjadi lokasi penelitian adalah Panti Jompo Yayasan Guna Budi Bakti yang terletak di Jalan KL. Yos Sudarso Km.16, Kel. Martubung, Kec. Medan Labuhan dan Panti Jompo Harapan Jaya yang berada di Jalan A.M.D Kompleks Graha Sultan Blok B No. 6, Kel. Rengas Pulau, Kec. Medan Marelan. Panti jompo di Kota Binjai yang menjadi lokasi penelitian adalah Panti Jompo Hisosu yang berada di Jalan Jend. Sudirman No. 371/373, dan Panti Jompo Bodhi Asri yang terletak di Jalan Bintang Terang Ujung No. 53A Km13,8 Medan-Binjai.

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah lansia penderita presbikusis di Kota Medan dan Binjai yang berjumlah 37 orang dengan karakteristik sebagai berikut:

Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Berdasarkan Kelompok Umur Kelompok Umur

(tahun)

Frekuensi Persentase (%)

60-69 15 40,5

70-79 15 40,5

>80 7 18,9

Total 37 100

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa sampel dengan kelompok umur 60-69 tahun sebanyak 15 orang (40,5%), umur 70-79 tahun sebanyak 15 orang (40,5%), umur di atas 80 tahun sebanyak 7 orang (18,9%). Sampel pada kelompok umur


(29)

34

60-69 tahun dan 70-79 tahun adalah kelompok umur terbanyak dengan jumlah sampel masing-masing sebanyak 15 orang (40,5%).

Tabel 5.2 Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

Laki-laki 11 29,7

Perempuan 26 70,3

Total 37 100

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa paling banyak sampel berjenis kelamin perempuan yaitu 26 orang (70,3 %) dibanding dengan laki-laki yaitu 11 orang (29,7%).

Tabel 5.3 Karakteristik Sampel Berdasarkan Riwayat Penyakit Sistemik Riwayat Penyakit

Sistemik

Frekuensi Persentase (%)

Hipertensi 12 32,4

DM 7 18,9

Tidak Ada 18 48,6

Total 37 100

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa bahwa sampel yang memiliki riwayat penyakit hipertensi ada 13 orang (32,4%), riwayat penyakit DM ada 7 orang (18,9%), dan yang tidak memiliki riwayat penyakit sistemik ada 18 orang (48,6%).


(30)

Tabel 5.4 Karakteristik Sampel Berdasarkan Derajat Ketulian Derajat

Ketulian

Telinga Kanan Telinga Kiri

Frekuensi Persentase (%) Frekuensi Persentase (%)

Tuli Ringan 4 10,8 3 8,1

Tuli Sedang 8 21,6 12 32,4

Tuli Sedang Berat

13 35,1 14 37,8

Tuli Berat 11 29,7 7 18,9

Tuli Sangat Berat

1 2,7 1 2,7

Total 37 100 37 100

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa sampel dengan derajat ketulian sedang berat mempunyai persentase terbanyak dibandingkan dengan derajat ketulian lainnya. Penderita tuli sedang berat pada telinga kanan ada 13 orang (35,1%) dan pada telinga kiri ada 14 orang (37,8%).

Tabel 5.5. Mean, Ambang Dengar Minimum dan Maksimum Sampel Ambang Dengar (dB) Telinga Kanan Telinga Kiri

Mean 62,78 59,65

Ambang Dengar Maksimum 98 91

Ambang Dengar Minimum 34 37

Tabel 5.5 menunjukkan bahwa rata-rata ambang pendengaran berada pada derajat ketulian sedang berat (62,78 dB pada telinga kanan dan 59,65 dB pada telinga kiri). Ambang dengar maksimum berada pada derajat ketulian sangat berat (98 dB pada telinga kanan dan 91 dB pada telinga kiri). Ambang dengar minimum berada pada derajat ketulian ringan (34 dB pada telinga kanan dan 37 dB pada telinga kiri).


(31)

36

5.1.3 Tabulasi Silang Ambang Dengar pada Sampel Penelitian

Tabulasi silang ambang dengar lansia penderita presbikusis di panti jompo kota Medan dan Binjai dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 5.6 Tabulasi Silang Ambang Dengar Berdasarkan Usia

Usia (tahun)

Ambang Dengar (dB)

Telinga Kanan Telinga Kiri

Mean Min

Maks Mean Min Maks

60-69 61,13 39 87 57,80 39 88

70-79 58,47 34 83 56,27 37 76

>80 75,57 56 98 70,86 57 91

Total 62,78 34 98 59,65 37 91

Tabel 5.6 menunjukkan bahwa lansia dengan kelompok umur 60-69 tahun memiliki mean 61,13 dB pada telinga kanan dan 57,80 dB pada telinga kiri, nilai minimum yang sama pada telinga kiri dan kanan yatu 39 dB, serta nilai maksimum 87 dB pada telinga kiri dan 88 dB pada telinga kanan. Kelompok umur 70-79 tahun memiliki mean 58,47 dB pada telinga kanan dan 56,27 dB pada telinga kiri, nilai minimum 34 dB pada telinga dan 37 dB pada telinga kanan, serta nilai maksimum 83 dB pada telinga kanan dan 76 dB pada telinga kiri. Kelompok umur di atas 80 tahun memiliki mean 75,57 dB pada telinga kanan dan 70,86 dB pada telinga kiri, nilai minimum 56 dB pada telinga dan 57 dB pada telinga kanan, serta nilai maksimum 98 dB pada telinga kanan dan 91 dB pada telinga kiri. Lansia pada kelompok umur di atas 80 tahun mempunyai ambang dengar yang lebih tinggi dari kelompok umur lainnya yaitu 75,57 dB pada telinga kanan dan 70,86 dB pada telinga kiri.


(32)

Tabel 5.7 Tabulasi Silang Ambang Dengar Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Ambang Dengar (dB)

Telinga Kanan Telinga Kiri

Mean Min Maks Mean Min Maks

Laki-laki 59,64 34 87 54,09 37 74

Perempuan 64,12 40 98 62,00 39 91

Total 62,78 34 98 59,65 37 91

Tabel 5.7 menunjukkan bahwa lansia dengan jenis kelamin laki-laki memiliki mean 59,64 dB pada telinga kanan dan 54,09 dB pada telinga kiri, nilai minimum 34 dB pada telinga kanan dan 37 dB pada telinga kiri, serta nilai maksimum 87 dB pada telinga kanan dan 74 dB pada telinga kiri. Lansia dengan jenis kelamin perempuan memiliki mean 64,12 dB pada telinga kanan dan 62,00 dB pada telinga kiri, nilai minimum 40 dB pada telinga kanan dan 39 dB pada telinga kiri, serta nilai maksimum 98 dB pada telinga kanan dan 91 dB pada telinga kiri. Lansia dengan jenis kelamin perempuan memiliki ambang dengar yang lebih tinggi daripada kelompok umur yang lainnya.

Tabel 5.8 Tabulasi Silang Ambang Dengar Berdasarkan Riwayat Penyakit Sistemik

Riwayat Penyakit Sistemik

Ambang Dengar (dB)

Telinga Kanan Telinga Kiri

Mean Min Maks Mean Min Maks

Ada 60,47 34 87 58,79 37 81

Tidak Ada 65,22 40 98 60,56 39 91

Total 62,78 34 98 59,65 37 91

Tabel 5.8 menunjukkan bahwa lansia dengan riwayat penyakit sistemik memiliki mean 60,47 dB pada telinga kanan dan 58,79 dB pada telinga kiri, nilai minimum 34 dB pada telinga kanan dan 37 dB pada telinga kiri, serta nilai


(33)

38

maksimum 87 dB pada telinga kanan dan 81 dB pada telinga kiri. Lansia yang tidak mempunyai riwayat penyakit sistemik memiliki mean 65,22 dB pada telinga kanan dan 60,56 dB pada telinga kiri, nilai minimum 40 dB pada telinga kanan dan 39 pada telinga kiri, serta nilai maksimum 98 dB pada telinga kanan dan 91 dB pada telinga kiri. Lansia dengan riwayat penyakit sistemik memiliki ambang dengar yang lebih tinggi daripada kelompok umur yang lainnya.

5.2 Pembahasan

5.2.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Jumlah sampel yang didapat dalam penelitian adalah 37 orang. Semua data diambil dari wawancara dan pemeriksaan audiometri menggunakan audiometri di dua panti jompo dikota Medan dan Binjai. Audiometri yang digunakan adalah Interacoustic AD 206 Audiometry buatan Jerman.

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan adanya variasi karakteristik sampel berdasarkan kelompok umur. Tabel 5.1 menunjukkan bahwa lansia yang menderita presbikusis terbanyak pada dua kelompok umur yaitu kelompok umur 60-69 tahun dan 70-79 tahun dengan jumlah sampel yang sama yaitu 15 orang (40,5%) dan paling sedikit terdapat pada umur di atas 80 tahun yaitu sebanyak 7 orang (18,9%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Soegebi, dkk (2013) yang mendapatkan bahwa frekuensi terbanyak lansia yang menderita presbikusis adalah pada kelompok umur 71-80 tahun (40,5%) dan yang paling

sedikit adalah pada kelompok umur ≥81 tahun (11,8%). Hal ini dikarenakan pada

panti jompo yang menjadi lokasi penelitian, mayoritas lansia lebih banyak pada kelompok umur 60-79 tahun.

Sementara berdasarkan jenis kelamin, dari tabel 5.2 didapati bahwa lansia yang menderita presbikusis terbanyak pada jenis kelamin perempuan yaitu 26 orang (70,3%) dibanding dengan laki-laki yaitu 11 orang (29,7%). Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Astari (2014) yang mendapatkan frekuensi terbanyak lansia yang menderita presbikusis terdapat pada perempuan yaitu 53 orang (58,89%) dibanding dengan laki-laki yaitu 37 orang (41,11%). Namun hal ini bertentangan dengan hasil yang didapatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh


(34)

Nilforoush (2012) yang mendapatkan bahwa laki-laki (55%) lebih banyak frekuensi menderita presbikusis dibanding dengan perempuan (45%). Hal ini dikarenakan lansia penghuni panti jompo di Kota Medan dan Binjai lebih banyak berjenis kelamin perempuan.

Berdasarkan ada tidaknya riwayat penyakit sistemik, pada tabel 5.3 didapatkan bahwa jumlah lansia dengan riwayat penyakit sistemik lebih banyak menderita presbikusis yaitu 19 orang (51,4%) dibanding dengan yang tidak mempunyai riwayat penyakit sistemik yaitu 18 orang (48,6%). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Soegebi (2013) yang juga mendapatkan bahwa orang yang mempunyai riwayat penyakit sistemik (56,7%) lebih banyak dibanding dengan yang tidak memiliki riwayat penyakit sistemik(43,3%). Hal ini karena penyakit-penyakit sistemik seperti hipertensi, diabetes melitus, dan hiperlipidemia mempunyai efek terhadap pembuluh darah di koklea. Proses neuropati dan mikroangiopati yang terjadi pada penderita DM mempunyai kontribusi besar untuk mempengaruhi aliran darah ke telinga dalam.

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa derajat ketulian yang paling banyak frekuensinya sama pada telinga kiri dan kanan yaitu pada derajat ketulian sedang berat, 13 orang (35,1%) pada telinga kiri dan 14 orang (37,8%) pada telinga kanan. Penelitian yang dilakukan oleh Wibowo S (2010) juga menunjukkan hal yang sama. Pada penelitiannya didapatkan bahwa distribusi frekuensi lansia penderita presbikusis paling banyak pada derajat ketulian sedang berat (37%). Hal ini dikarenakan adanya pengaruh pola hidup, penyakit lainnya, paparan bising di waktu muda, dan psikososial dari orang tersebut.

5.2.2. Tabulasi Silang Ambang Dengar Telinga pada Subjek Penelitian Tuli sedang berat merupakan derajat ketulian yang memiliki frekuensi terbanyak lansia yang menderita presbikusis. Pada tabel 5.6 ditunjukkan bahwa lansia dengan usia di atas 80 tahun merupakan kelompok usia yang mempunyai ambang dengar yang paling tinggi, dilihat berdasarkan mean. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bashiruddin (2008) yang menunjukkan bahwa pada kelompok usia ≥80 tahun, tingkat ambang dengar lansia merupakan


(35)

40

yang tertinggi, yaitu 47,50 dB. Hal ini karena presbikusis merupakan penyakit degeneratif yang terkait dengan degenerasi organ pendengaran, yang berarti semakin tinggi usia seseorang, semakin buruklah kualitas pendengaran seseorang.

Tabel 5.7 terlihat bahwa perempuan merupakan jenis kelamin yang memiliki ambang dengar lebih tinggi (64,12 dB) dibandingkan dengan laki-laki (59,64 dB). Hal ini kurang sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa laki-laki berisiko lebih tinggi untuk menderita presbikusis dikarenakan estradiol dan progesteron mempengaruhi sekresi inhibitor neurotransmitter gamma-amino-butyric acid (GABA) pada bentuk regulasi perlawanan, sehingga peningkatan GABA mempengaruhi peningkatan level sinapsis yang melewati jaras pendengaran, yang secara tidak langsung mempengaruhi proses pendengaran (Bashiruddin J., Alviandi W., Bramantyo B, M Yossa P, 2008). Hasil yang didapat peneliti juga kurang sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nilforoush (2012) di Iran, yang pada penelitiannya ditunjukkan bahwa pada distribusi lansia penderita presbikusis lebih banyak pada laki-laki yaitu 24 orang (53,55%) dibanding dengan perempuan 21 orang (46,67%). Perbedaan hasil yang didapati oleh peneliti dikarenakan lansia penghuni panti jompo Kota Medan dan Binjai lebih banyak adalah perempuan. Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita oleh para lansia juga turut berpengaruh.

Tabel 5.8 menunjukkan bahwa lansia tanpa riwayat penyakit sistemik mempunyai ambang dengar yang lebih tinggi dibandingkan dengan lansia yang tidak mempunyai riwayat penyakit sistemik. Teori yang mengatakan bahwa penyakit kardiovaskuler dan diabetes melitus menyebabkan gangguan perfusi aliran darah ke telinga dalam akibat proses aterosklerosis dan aterogenesis sehingga mengakibatkan kerusakan koklea (Bashiruddin J., Alviandi W., Bramantyo B, M Yossa P, 2008). Hal ini dikarenakan peningkatan ambang dengar tidak hanya dipengaruhi oleh riwayat penyakit sistemik, namun dipengaruhi juga oleh usia, jenis kelamin, paparan bising, dan lain-lain.


(36)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Lansia penderita presbikusis paling banyak terdapat pada kelompok umur 60-69 dan 70-79 tahun yang masing-masing adalah 15 orang (40,5%), jenis kelamin perempuan 26 orang (70,3%), dan mempunyai riwayat penyakit sistemik berupa hipertensi dan DM 19 orang (51,4%). 2. Ambang dengar lansia penderita presbikusis paling banyak pada derajat ketulian sedang berat, yaitu 62,78 dB pada telinga kanan dan 59,65 dB pada telinga kiri.

3. Lansia pada kelompok umur di atas 80 tahun mempunyai ambang dengar yang lebih tinggi daripada kelompok umur lainnya, yaitu 75,57 dB (tuli berat).

4. Lansia dengan jenis kelamin perempuan memiliki ambang dengar yang lebih tinggi daripada laki-laki, yaitu 64,12 dB (tuli sedang berat). 5. Lansia tanpa riwayat penyakit sistemik memiliki ambang dengar yang

lebih tinggi daripada lansia yang mempunyai riwayat penyakit sistemik berupa hipertensi dan DM, yaitu 65,22 dB (tuli sedang berat).

6.2 Saran

1. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan dengan variabel yang lebih banyak agar diketahui faktor-faktor risiko dari presbikusis maupun hubungannya dengan ambang dengar lansia penderita presbikusis.

2. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan dengan cakupan demografis yang lebih luas, agar lebih merata distribusi masing-masing variabel.

3. Penelitian ini dapat dikembangkan menjadi penelitian analitik untuk dapat melihat ada tidaknya hubungan dari variabel-variabel yang diteliti dengan ambang dengar penderita presbikusis.


(37)

42

4. Instansi kesehatan seperti puskesmans, balai pengobatan, klinik dan sebagainya sebaiknya berperan aktif dalam melakukan penyuluhan tentang presbikusis bagi masyarakat.

5. Bagi masyarakat khususnya orang-orang yang belum menginjak usia lansia sebaiknya menjaga kesehatan telinga, agar mengurangi risiko menderita presbikusis pada usia tua, sehingga menekan angka kejadian presbikusis.

6. Bagi lansia yang menderita presbikusis, sebagainya menggunakan alat bantu dengar agar meningkatkan kualitas hidup.


(38)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Telinga

Telinga adalah pancaindra untuk pendengaran dan keseimbangan, terletak di lateral kepala. Telinga terdiri dari 3 bagian, yaitu telinga luar (auris externa), telinga tengah (auris media) dan telinga dalam (auris interna) (Wibowo & Widjaya, 2009).

2.1.1. Telinga Luar

Telinga luar atau auris externa terdiri dari daun telinga (auricula), liang telinga (meatus acusticus externus) dan dibatasi oleh gendang telinga atau membrana tympanica. Telinga ini terletak pada pars tympanica ossis temporalis, berbatasan di belakang dengan processus mastoideus (Wibowo & Widjaya, 2009). Auricula dibentuk oleh cartilago auriculae (elastin) yang melekat erat dengan kulit, tanpa lapisan subcutis. Auricula ini berbentuk seperti cekungan dengan bagian terdalam dinamakan concha auriculae dan pinggiran bebasnya dinamakan helix. Pada concha terdapat lubang masuk liang telinga (meatus acusticus externus). Liang telinga ini melengkung ke posterior sehingga untuk dapat melihat membrana tympani pada otoscopy, telinga perlu ditarik ke belakang (untuk meluruskan liang ini) (Wibowo & Widjaya, 2009).

Meatus acusticus externus yang panjangnya sekitar dua sampai tiga sentimeter mempunyai lapisan epithelial dengan bulu halus disertai kelenjar keringat dan lemak (sebum) yang menghasilkan serumen (wax). Bagian luar liang telinga dibentuk oleh tulang rawan sehingga bersifat mobile sedangkan bagian dalam dibentuk oleh tulang temporal (Wibowo & Widjaya, 2009).

Membrana tympanica mempunyai posisi miring menghadap ke bawah. Bentuknya tidak rata tetapi menyerupai kerucut dengan diameter sekitar sepuluh milimeter. Bagian tengahnya dinamakan umbo membranae tympanicae merupakan kedudukan tulang pendengaran (os malleus). Membrana ini terdiri dari pars tensa yang merupakan bagian terbesar, dan pars flaccida di bagian atas. Pada


(39)

5

keadaan normal, penyinaran pada membrana ini akan memberikan pantulan berupa gambaran segitiga di bagian anterior bawah dengan puncak pada umbo (Wibowo & Widjaya, 2009).

2.1.2. Telinga Tengah

Ruang telinga tengah atau auris media terdapat di sebelah dalam membrana tympanica sedalam sekitar tiga sampai enam milimeter. Dinding lateral auris media dibatasi oleh membrana tympanica beserta tulang disebelah atas dan bawahnya. Atap rongga ini (cavitas tympani) adalah paries tegmentalis (tegmen tympani) dari pars petrosa ossis temporalis yang memisahkannya dengan cavitas cranii. Di bawah atap, pada bagian rongga yang terletak diatas membrana tympani terdapat recessus epitympanicus. Bagian yang lebarnya sejajar dengan membrana tympanica disebut mesotympanica, dan yang di bawah membran ini disebut recessus hypotympanica. Recessus hypotympanica berbatasan dengan tulang yang membentuk fossa jugularis pada foramen jugulare, tempat kedudukan vena jugularis interna. Ke arah depan cavitas tympani mempunyai saluran yang berhubungan dengan nasopharynx, yaitu tuba auditiva (tuba eustachii). Selain itu, dinding depan berbatasan dengan canalis caroticus dengan arteria caroticus interna di dalamnya. Ke belakang rongga ini berhubungan dengan cellulae mastoideae, yaitu rongga berisi udara di dalam processus matoideus, melalui antrum mastoideum (Wibowo & Widjaya, 2009).

Getaran suara yang diterima membrana tympani diteruskan melalui tulang pendengaran di telinga tengah, yaitu os malleus, incus dan stapes, ke foramen ovale. Selanjutnya tulang ini meneruskan getaran suara pada cairan endolymph dan setelah melalui reseptor pendengaran getaran dinetralkan kembali melalui getaran membran pada foramen rotundum (Wibowo & Widjaya, 2009).

Membran timpani berbentuk kerucut, dengan permukaan yang cekung menghadap ke bawah mengarah ke saluran pendengaran. Yang melekat pada bagian tengah-tengah membrana timpani adalah tangkai maleus. Pada ujung lain, malleus terikat erat dengan inkus oleh ligamentum sehingga bila malleus bergerak, incus bergerak serentak dengannya. Ujung lain incus selanjutnya


(40)

bersendi dengan batang stapes, dan permukaan lebar stapes terletak pada labirin membranosa pada lubang foramen ovale tempat gelombang suara dihantarkan ke telinga dalam, yang dinamai koklea (Guyton & Hall, 2012).

2.1.3. Telinga Dalam

Rongga telinga dalam dibatasi sekelilingnya oleh tulang temporal (pars petrosa). Di dalamnya terdapat sistem keseimbangan (vestibular) yang terdiri dari tiga buah canalis semicircularis anterior, canalis semicircularis posterior, dan canalis semicircularis lateralis bersama sacculus dan utriculus di dalam vestibulum. Selain itu terdapat pula organ pendengaran yang terdiri dari cochlea. Cochlea ini menyerupai rumah siput dengan permukaan dalam yang berbentuk spiral (Wibowo & Widjaya, 2009).

Koklea merupakan suatu sistem tabung-tabung bergelung, dengan bersebelahan yang bergelung; skala vestibuli, skala media, dan skala timpani. Skala vetibuli dan skala media satu sama lain dipisahkan oleh membrana vestibularis, dan skala timpani dan skala media satu sama lain dipisahkan oleh membrana basilaris. Pada permukaan membrana basilaris terletak struktur organ corti yang mengandung sederetan sel-sel sensitif mekanik, sel-sel rambut. Sel-sel ini merupakan ujung organ penerima yang membentuk impuls saraf akibat getaran suara (Guyton & Hall, 2012).

Organ corti merupakan organ reseptor yang menimbulkan impuls saraf akibat getaran membrana basilaris. Reseptor sensoris sebenarnya dalam organ corti adalah dua jenis sel rambut (satu baris sel rambut dalam, jumlahnya sekitar 3.500 dan tiga empat baris sel rambut luar, jumlahnya sekitar 20.000). Dasar dan tempat sel-sel rambut dijepit oleh jaringan ujung-ujung N. Koklearis. Ini membentuk ganglion spiralis corti yang terletak pada modiolus koklea. Ganglion spiralis selanjutnya mengirimkan akson-akson ke N.koklearis dan kemudia ke susunan saraf pusat setinggi medula oblongata atas (Guyton & Hall, 2012)


(41)

7

2.2. Mekanisme Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria (Guyton & Hall, 2012).

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Soetirto, Hendarmin, & Bashiruddin, 2007).

2.2.1. Koklea

Di sebagian besar panjangnya koklea dibagi menjadi tiga kompartemen longitudinal berisi cairan. Duktus kokhlearis yang buntu, yang juga dikenal


(42)

sebagai skala media, membentuk kompartemen tengah. Bagian ini membentuk terowongan di seluruh panjang bagian tengah kokhlea, hampir mencapai ujung. Kompartemen atas, skala vestibuli, mengikuti kontur dalam spiral, dan skala timpani, kompatemen bawah, mengikuti kontur luar. Cairan di dalam duktus koklearis disebut endolimfe. Skala vestibuli dan skala timpani mengandung cairan yang sedikit berbeda, perilimfe. Daerah di luar ujung duktus koklearis tempat cairan di kompartemen atas dan bawah berhubungan disebut helikotrema. Skala vestibuli dipisahkan dari rongga telinga tengah oleh jendela oval., tempat melekatnya stapes. Lubang kecil lain yang ditutupi oleh membran, jendela bundar (round window), menutup skala timpani dari telinga tengah. Membran vestibularis yang tipis membentuk atap duktus koklearis dan memisahkannya dari skala vestibuli. Membran basilaris sangat penting karena mengandung organ corti, organ indera untuk pendengaran (Sherwood, 2012).

Organ corti, yang terletak di atas membran basilaris di seluruh panjangnya, mengandung sel rambut yang merupakan reseptor suara. Sebanyak 16.000 sel rambut di dalam masing-masing koklea tersusun menjadi empat baris sejajar di seluruh panjang membran basilaris; satu baris sel rambut dalam dan tiga baris sel rambut luar. Dari permukaan masing-masing sel rambut menonjol sekitar 100 rambut yang dikenal sebagai stereosilia, yaitu mikrovilus yang dibuat kaku oleh adanya aktin. Sel rambut menghasilkan sinyal saraf jika rambut permukaannya mengalami perubahan bentuk secara mekanis akibat gerakan cairan di telinga dalam. Stereosilia ini berkontrak dengan membran tektorium, suatu tonjolan mirip tenda yang menutupi organ corti di seluruh panjangnya (Sherwood, 2012).

Gerakan stapes yang mirip piston terhadap jendela oval memicu gelombang tekanan di kompartemen atas, karena cairan tidak dapat mengalami penekanan, maka tekanan disebarkan melalui dua cara ketika stapes menyebabkan jendela oval menonjol ke dalam: (1) penekanan jendela bundar dan (2) defleksi membran basilaris. Pada bagian awal-awal jalur ini, gelombang tekanan mendorong maju perilimfe di kompartemen atas, kemudian mengelilingi helikotrema, dan masuk ke dalam kompartemen bawah, tempat gelombang


(43)

9

tersebut menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar mengarah ke rongga telinga tengah untuk mengompensasi peningkatan tekanan. Sewaktu stapes bergerak mundur dan menarik jendela oval ke arah luar ke telinga tengah, perilimfe mengalir ke arah berlawanan, menyebabkan jendela bundar menonjol ke dalam. Jalur ini tidak menyebabkan penerimaan suara tetapi hanya menghilagkan tekanan (Sherwood, 2012).

Gelombang tekanan frekuensi-frekuensi yang berkaitan dengan penerimaan suara mengambil “jalan pintas”. Gelombang tekanan di kompartemen atas disalurkan melalui membran vestibularis yang tipis, menuju duktus koklearis, dan kemudian melalui membran basilaris di kompartemen bawah, tempat gelombang ini menyebabkan jendela bundar menonjol keluar masuk bergantian. Perbedaan utama pada jalur ini adalah bahwa transmisi gelombang tekanan melalui membran basilaris menyebabkan membran ini bergerak naik-turun, atau bergetar, sesuai gelombang tekanan. Karena organ korti berada di atas membran basilaris maka sel-sel rambut juga bergetar naik-turun sewaktu membran basilaris bergetar (Sherwood, 2012).

2.2.2. Sel Rambut Luar dan Sel Rambut Dalam

Sel rambut dalam dan luar memiliki fungsi berbeda. Sel rambut dalam adalah sel yang mengubah gaya mekanis suara (getaran cairan koklea) menjadi impuls listrik pendengaran (potensial aksi yang menyampaikan pesan pendengaran ke korteks serebri). Karena berkontak dengan membran tektorium yang kaku dan stasioner, maka stereosilia sel-sel reseptor ini tertekuk maju-mundur ketika membran basilar mengubah posisi relatif terhadap membran tektorium. Deformasi mekanis maju-mundur rambut-rambut ini secara bergantian membuka dan menutup saluran ion berpintu mekanis di sel rambut sehingga terjadi perubahan potensial depolarisasi dan hiperpolarisasi yang bergantian yaitu potensial reseptor dengan frekuensi yang sama seperti frekuensi rangsangan pemicu semula (Sherwood, 2012).

Sel rambut dalam berhubungan melalui suatu sinaps kimiawi dengan ujung serat-serat aferen yang membentuk nervus auditorius (kokhlearis).


(44)

Depolarisasi sel-sel rambut ini (ketika membran basilaris terangkat) meningkatkan laju pelepasan neurotransmiter, yang meningkatkan frekuensi lepas muatan di serat aferen. Sebaliknya, laju lepas muatan berkurang sewaktu sel-sel rambut ini mengeluarkan lebih sedikit neurotransmiter ketika mengalami hiperpolarisasi akibat pergeseran ke arah yang berlawanan (Sherwood, 2012).

Karena itu, telinga mengubah gelombang suara di udara menjadi gerakan bergetar membran basilaris yang menekuk rambut-rambut sel reseptor maju-mundur. Deformasi mekanis rambut-rambut ini secara bergantian membuka dan menutup saluran sel reseptor, menghasilkan perubahan potensial berjenjang di reseptor yang menyebabkan perubahan dalam frekuensi potensial aksi yang dikirim ke otak. Dengan cara ini, gelombang suara diterjemahkan menjadi sinyal saraf yangdapat diterima oleh otak sebagai sensasi suara (Sherwood, 2012).

Sementara sel-sel rambut dalam mengirim sinyal auditorik ke otak melalui serat aferen, sel rambut luar tidak memberi sinyal ke orak tentang suara yang datang. Sel-sel rambut luar secara aktif dan cepat berubah panjang sebagai respons terhadap perubahan potensial membran, suatu perilaku yang dikenal sebagai elektromotilitas. Sel rambut luar memendek pada depolarisasi dan memanjang pada hiperpolarisasi. Perubahan panjang ini memperkuat atau menegaskan gerakan membran basilaris. Modifikasi pergerakan membran basiaris seperti ini meningkatkan respons sel rabut dalam, reseptor sensorik pendengaran yang sebenarnya, menyebabkan mereka sangat peka terhadap intensitas suara dan dapat membedakan berbagai nada suara (Sherwood, 2012).


(45)

11

Gambar 2.1. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran. Sumber : Despopoulos & Sibernagl, 2003.


(46)

2.3. Presbikusis 2.3.1. Definisi

Presbikusis adalah gangguan pendengaran sensorineural pada usia lanjut akibat proses degenerasi organ pendengaran yang terjadi secara perlahan dan simetris pada kedua sisi telinga (Roland, Eaton, & Meyerhoff, 2001).

Presbikusis adalah penurunan pendengaran yang mengiringi semua proses menua, pada audiogram terlihat gambaran penurunan pendengaran bilateral simetris yang mulai terjadi pada nada tinggi dan bersifat sensorineural dengan tidak ditemukannya kelainan yang mendasari selain proses menua secara umum (Shohet, Talavera, & Gianoli, 2005).

2.3.2. Patologi

Terdapat empat tipe patologik yang telah diklasifikasikan oleh Schuknecht. Fenomena pertama adalah presbikusis sensorik. Pada bentuk ini, yang mula-mula hilang adalah patologi sel-sel rambut. Hal ini kemudian akan menyebabkan gangguan neuron-neuron koklea. Biasanya melibatkan hilangnya sel-sel rambut pada gelang basal koklea dan menyebabkan ketulian nada tinggi. Sebaliknya, neuropresbikusis, hilangnya gangguan primer adalah pada neuron-neuron koklea dan sel-sel rambut relatif dipertahankan. Pada kasus ini, diskriminasi kata-kata relatif lebih terganggu dengan hanya sedikit gangguan sel rambut. Presbikusis stria masih memberi skor diskriminasi yang bagus walaupun proses degenerasi menyebabkan ketulian sedang hingga berat yang sifatnya relatif datar. Secara patologis, stria vaskularis tampak berdegenerasi dan menciut. Yang terakhir, ketulian koklear-konduktif dengan populasi sel rambut dan neuron yang normal tanpa adanya kerusakan stria vaskularis namun ketullian diduga berkaitan dengan keterbatasan gerak membrana basilaris. Sifat-sifat proses patologik ini masih belum jelas (Adams, Boeis, & Higler, 2007).


(47)

13

Tabel 2.1. Jenis Presbikusis Berdasarkan Patologinya

Jenis Patologi

Sensorik Lesi terbatas pada koklea. Atrofi organ corti, jumlah sel-sel rambut dan sel-sel penunjang kurang.

Neural Sel-sel neuron pada koklea dan jaras auditorik berkurang.

Metabolik (Strial presbycusis) Atrofi stria vaskularis. Potensial mikrofonik menurun. Fungsi sel dan keseimbangan biokimia/bioelektrik koklea berkurang.

Mekanik (Cochlear presbycusis) Terjadi perubahan gerakan mekanik duktus koklearis. Atrofi ligamentum spiralis. Membran basilaris lebih kaku Sumber: Suwento H & Hendarmin H, 2007.

2.3.2.1. Presbikusis Sensori

Menurut Lalwani (2008) pada pemeriksaan audiometri didapatkan penurunan pendengaran pada nada tinggi dan simetris dengan penurunan ambang dengar secara tiba-tiba, terjadi mulai usia pertengahan. Diskriminasi tutur berhubungan langsung dengan bagaimana mempertahankan fungsi pendengaran frekuensi tinggi. Secara histologi terjadi kehilangan baik pada sel rambut dan sel penunjang yang terletak di basal koklea. Selain itu terjadi atropi organ korti akan diikuti oleh degenerasi neural sekunder. Sedangkan bagian tengah dan apeks koklea yang mengandung frekuensi bicara biasanya tertahan. Perubahan patologi ini memiliki kemiripan dengan trauma akibat bising (Astari, 2014).

2.3.2.2. Presbikusis Neural

Ditandai dengan hilangnya sel-sel neuron pada seluruh koklea dan berhubungan dengan hilangnya diskriminasi tutur secara signifikan. Hilangnya diskriminasi tutur lebih berat daripada yang dapat diperkirakan dari pemeriksaan ambang dengar dengan nada murni. Meskipun dapat terjadi pada semua usia, gangguan pendengaran tidak akan dikeluhkan sampai jumlah sel-sel neuron yang baik tinggal sedikit. Tanda khasnya pada audiogram didapatkan gambaran penurunan frekuensi yang sangat tajam. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya gangguan pada diskriminasi tutur yang berhubungan langsung dengan luasnya


(48)

kehilangan sel-sel neuron pada koklea yang bertanggungjawab terhadap frekuensi tutur pada koklea (Astari, 2014).

2.3.2.3. Presbikusis Strial (Presbikuis Metabolik)

Didapatkan audiogram yang flat atau mendatar dengan diskriminasi tutur yang baik. Stria vaskularis merupakan daerah metabolisme aktif pada koklea yang bertanggung jawab terhadap sekresi dari endolimfe dan pemeliharaan gradien ion yang melalui organ korti. Patologinya dimana terjadi atropi sebagian pada stria vaskularis pada bagian tengah dan apikal dari koklea, tanpa disertai kehilangan sel-sel neuron koklea. Besarnya atropi yang terjadi berhubungan dengan derajat penurunan pendengaran. Kualitas dari endolimfe akan berpengaruh pada degenerasi dari strial, dimana akan menyebabkan hilangnya ketersediaan energi pada end-organ (Astari, 2014).

2.3.2.4. Presbikusis Konduksi Koklea

Perubahan secara mekanikal pada membran basilar dapat menyebabkan penurunan pendengaran pada frekuensi tinggi secara perlahan-lahan pada usia pertengahan. Presbikusis konduksi koklea secara patologi tidak dapat dilihat perubahannya yang terjadi pada telinga dalam. Tanpa adanya pengukuran langsung secara mikromekanikal, presbikusis konduksi koklea hanyalah suatu teori belaka pada kategori presbikusis. Diskriminasi tutur berkaitan dengan besarnya penurunan dari nada murni (Astari, 2014).

Tabel 2.2. Karakteristik Penurunan Pendengaran pada Presbikusis

Tipe presbikusis Nada murni Diskriminasi tutur Sensori Nada tinggi, penurunan

tiba-tiba

Sesuai dengan frekuensi yang terganggu

Neural Terjadi pada semua

frekuensi

Sangat berat

Strial Terjadi pada semua

frekuensi

Minimal Konduksi koklea Nada tinggi, penurunan

perlahan

Sesuai dengan penurunan ketajaman pada nada tinggi


(49)

15

2.3.3. Faktor yang Mempengaruhi Pendengaran

Presbikusis diduga berhubungan dengan faktor herediter, metabolisme, aterosklerosis, bising, gaya hidup, dan pemakaian beberapa obat. Berbagai faktor risiko tersebut dan hubungannya dengan presbikusis adalah sebagai berikut (Roland, Eaton, & Meyerhoff, 2001).

2.3.3.1. Usia dan Jenis Kelamin

Presbikusis rata-rata terjadi pada usia 60-65 tahun ke atas. Pengaruh usia terhadap gangguan pendengaran berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih banyak mengalami penurunan pendengaran pada frekuensi tinggi dan hanya sedikit penurunan pada frekuensi rendah bila dibandingkan dengan perempuan. Perbedaan jenis kelamin pada ambang dengar frekuensi tinggi ini disebabkan laki-laki umumnya lebih sering terpapar bising di tempat kerja dibandingkan perempuan (Kim, Lim, Park, 2010).

Sunghee et al. menyatakan bahwa perbedaan pengaruh jenis kelamin pada presbikusis tidak seluruhnya disebabkan perubahan di koklea. Perempuan memiliki bentuk daun dan liang telinga yang lebih kecil sehingga dapat menimbulkan efek masking noise pada frekuensi rendah. Penelitian di Korea Selatan menyatakan terdapat penurunan pendengaran pada perempuan sebesar 2 kHz lebih buruk dibandingkan lakilaki. Pearson menyatakan sensitivitas pendengaran lebih baik pada perempuan daripada laki-laki (Muyassaroh, 2012).

2.3.3.2. Hipertensi

Hipertensi yang berlangsung lama dapat memperberat resistensi vaskuler yang mengakibatkan disfungsi sel endotel pembuluh darah disertai peningkatan viskositas darah, penurunan aliran darah kapiler dan transpor oksigen. Hal tersebut mengakibatkan kerusakan sel-sel auditori sehingga proses transmisi sinyal mengalami gangguan yang menimbulkan gangguan komunikasi. Kurang pendengaran sensori neural dapat terjadi akibat insufisiensi mikrosirkuler pembuluh darah seperti emboli, perdarahan, atau vasospasme (Fernanda, 2009).


(50)

2.3.3.3. Diabetes Melitus

Pada pasien dengan diabetes melitus (DM), glukosa yang terikat pada protein dalam proses glikosilasi akan membentuk advanced glicosilation end product (AGEP) yang tertimbun dalam jaringan dan mengurangi elastisitas dinding pembuluh darah (arteriosklerosis). Proses selanjutnya adalah dinding pembuluh darah semakin menebal dan lumen menyempit yang disebut mikroangiopati. Mikroangiopatipada organ koklea akan menyebabkan atrofi dan berkurangnya sel rambut, bila keadaan ini terjadi pada vasa nervus VIII, ligamentum dan ganglion spiral pada sel Schwann, degenerasi myelin, dan kerusakan axon maka akan menimbulkan neuropati National Health Survey USA melaporkan bahwa 21% penderita diabetik menderita presbikusis terutama pada usia 60-69 tahun. Hasil audiometri penderita DM menunjukkan bahwa frekuensi derajat penurunan pendengaran pada kelompok ini lebih tinggi bila dibandingkan penderita tanpa DM (Diniz, 2009).

2.3.3.4. Hiperkolesterolemia

Hiperkolesterolemia adalah salah satu gangguan kadar lemak dalam darah (dislipidemia) di mana kadar kolesterol dalam darah lebih dari 240 mg/dL. Keadaan tersebut dapat menyebabkan penumpukan plak/atherosklerosis pada tunika intima. Patogenesis atherosklerosis adalah arteroma dan arteriosklerosis yang terdapat secara bersama. Arteroma merupakan degenerasi lemak dan infiltrasi zat lemak pada dinding pembuluh nadi pada arteriosklerosis atau pengendapan bercak kuning keras bagian lipoid dalam tunika intima arteri sedangkan arteriosklerosis adalah kelainan dinding arteri atau nadi yang ditandai dengan penebalan dan hilangnnya elastisitas/ pengerasan pembuluh nadi. Keadaan tersebut dapat menyebabkan gangguan aliran darah dan transpor oksigen. Teori ini sesuai dengan penelitian Villares yang menyatakan terdapat hubungan antara penderita hiperkolesterolemia dengan penurunan pendengaran (Muyassaroh, 2012).


(51)

17

2.3.3.5. Merokok

Rokok mengandung nikotin dan karbonmonoksida yang mempunyai efek mengganggu peredaran darah, bersifat ototoksik secara langsung, dan merusak sel saraf organ koklea. Karbonmonoksida menyebabkan iskemia melalui produksi karboksi-hemoglobin (ikatan antara CO dan haemoglobin) sehingga hemoglobin menjadi tidak efisien mengikat oksigen. Seperti diketahui, ikatan antara hemoglobin dengan CO jauh lebih kuat ratusan kali dibanding dengan oksigen. Akibatnya, terjadi gangguan suplai oksigen ke organ korti di koklea dan menimbulkan efek iskemia. Selain itu, efek karmonmonoksida lainnya adalah spasme pembuluh darah, kekentalan darah, dan arteriosklerotik (Muyassaroh, 2012).

Insufisiensi sistem sirkulasi darah koklea yang diakibatkan oleh merokok menjadi penyebab gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi yang progresif. Pembuluh darah yang menyuplai darah ke koklea tidak mempunyai kolateral sehingga tidak memberikan alternatif suplai darah melalui jalur lain (Laviolette & Kooy, 2004).

2.3.3.6. Riwayat Bising

Gangguan pendengaran akibat bising adalah penurunan pendengaran tipe sensorineural yang awalnya tidak disadari karena belum mengganggu percakapan sehari-hari. Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian ialah intensitas bising, frekuensi, lama pajanan per hari, ama masa kerja dengan paparan bising, kepekaan individu, umur, dan faktor lain yang dapat berpengaruh. Berdasarkan hal tersebut dapat dimengerti bahwa jumlah pajanan energi bising yangditerima akan sebanding dengan kerusakan yang didapat. Hal tersebut dikarenakan paparan terus menerus dapat merusak sel-sel rambut koklea (Bashiruddin & Soetirto, 2007).

2.3.4. Gejala Klinis

Gejala klinis pada pasien presbkusis yaitu adanya kesulitan untuk memahami percakapan. Perlahan kemampuan tersebut semakin menurun terutama


(52)

untuk menentukan jenis suara dan arah datangnya suara. Kehilangan senstivitas bermula dari frekuensi yang tinggi, sehingga terdapat kesulitan ketika mendengar pada situasi bising. Keluhan pada pasien presbikusis kebanyakan bukan tidak dapat mendengar tetapi tidak dapat memahami percakapan (Gates & Milles, 2005).

Selain itu, terdapat keluhan tambahan yaitu tinnitus (berdenging). Hal ini terjad karena adanya peningkatan sensitivitas dari saraf pendengaran. Setelah kehilangan frekuensi yang tinggi, selanjutnya yaitu kehilangan frekuensi rendah. Seiring berjalannya waktu kesulitan yang terjadi mencakup keduanya yaitu tidak dapat mendengar dan tidak dapat memahami percakapan. Kehilangan pendengaran akan berpengaruh terhadap masalah sosial. Masalah sosial yang akan terjadi antara lain depresi, kehilangan kepercayaan diri, cemas, paranoid, dan frustasi (Gates & Milles, 2005).

2.3.5. Derajat presbikusis

Derajat kurang pendengaran dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher, yaitu:

Ambang Dengar(AD) =

Tabel 2.3. Derajat Ketulian berdasarkan ISO

Derajat Ketulian Ambang Dengar

Normal 0 - 25 dB

Tuli ringan >25 - 40 dB

Tuli sedang >40 – 55 dB Tuli sedang berat >55 – 70 dB

Tuli berat >70 – 90 dB

Tuli sangat berat >90 dB

Sumber: Soetirto, Hendarmin, & Bashiruddin, 2007

2.3.6. Penegakan Diagnosis

Pertama kali dilakukan skrining pendengaran terhadap pasien berusia lanjut apakah ia mengalami masalah pendengaran, yang dapat kita sebut dengan metode self-assesment. Metode ini cukup sederhana dan lebih sensitif daripada mengajukan banyak pertanyaan. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan


(53)

19

otoskopi, maka akan tampak membran timpani yang normal ataupun suram dan juga dilakukan tes dengan menggunakan penala, untuk mendapatkan jenis tuli sensorineural atau tuli konduktif. Pemeriksaan lebih lanjut menggunakan audiometri nada murni menunjukkan gangguan pendengaran sensori neural nada tinggi, bilateral dan simetris. Pada pemeriksaan audiometri tutur dapat menunjukkan adanya diskriminasi bicara (Gates GA, 2003).

2.3.7. Penatalaksanaan

Presbikusis tidak dapat disembuhkan. Gangguan dengar pada presbikusis adalah tipe sensorineural dan tujuan penatalaksanaannya adalalah untuk memperbaiki kemampuan pendengarannya dengan menggunakan alat bantu dengar. Alat ini berfungsi membantu penggunaan sisa pendengaran untuk berkomunikasi. Alat bantu dengar baru diperlukan bila penurunan pendengaran lebih dari 40 dB (Dewi, 2007) . Selain itu dapat juga digunakan assistive listening devices, alat ini merupakan amplifikasi sederhana yang mngirimkan signal pada ruangan dengan menggunakan headset (Shohet, Talavera, & Gianoli, 2005)

Pada presbikusis dimana terjadi penurunan pendengaran bersifat progresif perlahan yang mulai terjadi pada nada tinggi, pada awalnya tidak terasa pendengaran menurun. Umumnya gangguan dengar baru disadari jika kegiatan sehari-hari mengalami kesulitan. Pada orang tua penurunan pendengaran sering disertai juga dengan penurunan diskriminasi bicara akibat perubahan SSP oleh proses menua yang kemudiaan mengakibatkan perubahan watak yang bersangkuran seperti mudah tersinggung, penurunan perhatian, penurunan konsentrasi, cepat emosi, dan berkurangnya daya ingat (Dewi, 2007).

Dengan demikian tidak semua penderita presbikusis dapat diatasi denga baik menggunakan alat bantuk dengar terutama pada presbikusis tipe neural. Pada keadaan dimana tidak dapat diatasi dengan alat bantuk dengar, penderita merasa adanya penolakan dari teman atau saudara yang selanjutnya akan mengakibatkan hubungan jadi tidak baik sehingga penderita akan menarik diri, terjadi pengurangan sosialisasi, penurunan fisik, penurunan aktifitas mental sehingga merasa kesepian, dan akhirnya dapat terjadi depresi dan paranoid (Dewi, 2007).


(54)

Untuk mengatasi hal ini dapat dicoba dengan cara latihan mendengar atau lip reading yaitu dengan cara membaca gerakan mulut orang yang menjadi lawan bicaranya. Penting juga dilakukan physiologic counseling yaitu memperbaki mental penderita. Disini harus dijelaskan pada keluarganya bagaimana memperlakukan atau menghadapi penderita presbkusis (Dewi, 2007).

Penderita yang mengalami perubahan koklear tetapi gangla spiralis dan jaras sentral masih baik dapat digunakan koklear implant (Shohet, Talavera, & Gianoli, 2005).

Rehabilitasi perlu sesegera mungkin untuk memperbaiki komunikasi. Hal ini akan memberikan kekuatan mental karena sering orangtua dengan gangguan dengar dianggap menderita senilitas, yaitu suatu hal yang biasa terjadi pada orangtua dan dianggap tidak perlu diperhatikan. Rehabilitasi pada penderita presbikusis membutuhkan waktu dan kesabaran. Diperlukan gabungan ahli dari THT, audiologi, neurologi, dan psikolog untuk menangani penderita ini (Dewi, 2007).

Pemasangan alat bantu dengar merupakan salah satu bagian yang penting dalam penatalaksanaan gangguan dengar pada presbikusis agar dapat memanfaatkan sisa pendengaran semaksimal mungkin. Fungsi utamanya adalah untuk memperkuat (anplifikasi) bunyi sekitar sehingga dapat mendengar percakapan untuk berkomunikasi, mengatur nada dan volume suaranya sendiri, mendengar dan menyadari adanya tanda bahaya, mengetahui kejadian sekelilingnya, serta mengenal lingkungan. Yang terpenting adalah bunyi untuk berkomunikasi antar manusia sehingga alat ini harus dapat menyaring dan memperjelas suara percakapan manusia berkisar antara 30-60 dB pada frekuensi 500-2000 Hz (Ricketts, Chicchis, & Bess, 2001).

Alat bantu dengar terdiri dari mikrofon (penerima suara), amplifier (pengeras suara), receiver (penerus suara), cetakan telinga/ear mold (menyumbat liang telinga dan pengarah suara ke telinga tengah) (Ricketts, Chicchis, & Bess, 2001).


(55)

21

2.4. Audiometri

2.4.1. Audiometri Nada Murni

Audiometer nada murni adalah suatu alat elektronik yang menghasilkan bunyi yang relatif bebas bising ataupun energi suara pada kelebihan nada, karenanya disebut nada “murni”. Terdapat beberapa pilihan nada terutama dari oktaf skala C:125, 250, 500,1000,2000,4000 dan 8000 Hz. Tersedia pula nada-nada dengan interval setengah oktaf(750,1500,3000,dan 6000 Hz). Audiometer memiliki tiga bagian penting: suatu osilator dengan berbagai frekuensi untuk menghasilkan bunyi, suatu peredam yang memungkinkan berbagai intensitas bunyi(umumnya dengan peningkatan 5 dB), dan suatu transduser(earphone atau penggetar tulang dan kadang-kadang pengeras suara) untuk mengubah energi listrik menjadi energi akustik (Adams, Boeis, & Higler, 2007).

2.4.1.1. Hantaran Udara Dan Hantaran Tulang

Ada dua sumber bunyi. Yang pertama adalah dari earphone yang ditempelkan pada telinga. Masing-masing telinga diperiksa secara terpisah dan hasilnya digambarkan sebagai audiogram hantaran udara. Sumber bunyi kedua adalah suatu osilator atau vibrator hantaran tulang yang ditempelkan pada mastoid(atau dahi) melalui suatu head band. Vibrator menyebabkan osilasi tulang tengkorak dan menggetarkan cairan dalam koklear. Hasil pemeriksaan digambarkan sebagai audiogram hantaran tulang, dan biasanya diinterpretasikan sebagai suatu metoda yang memintas telinga tengah, sebagai alat pengukur ”cadangan koklearis” dan mencerminkan keadaan sistem saraf pendengaran. Kelak kita akan melihat bahwa interpretasi yang terakhir ini tidak sepenuhnya akurat tapi umumnya bermanfaat (Adams, Boeis, & Higler, 2007).

2.4.1.2. Ambang

Tujuan pemeriksaan adalah menentukan tingkat intensitas terendah dalam desibel dari tiap frekuensi yang masih dapat didengar, dengan kata lain ambang pendengaran dari bunyi tersebut (Adams, Boeis, & Higler, 2007).


(56)

2.4.1.3. Audiometri Nol Dan Rentang Intensitas

Tingkat ambang pendengaran yang didapat dari pemeriksaan pasien dibandingkan dengan audiometri “nol”. Audiometri nol adalah median ambang bunyi yang didapat dari suatu sampel yang sangat besar dari kelompok dewasa muda tanpa keluhan pendengaran, tanpa riwayat penyakit telinga dan tidak menderita flu akhir-akhir ini. Masing-masing frekuensi memiliki angka nol nya sendiri, dan suatu alat kalibrasi nilai nol dirakitkan pada outmput audiometer. Karena “nol” untuk memeriksa pendengaran yang lebih peka. Skala yang sama tidak selalu harus digunakan. Hasil-hasil pengujian yang sudah lama mungkin berbeda dengan hasil-hasil terakhir hanya krena standar yang berbeda (Adams, Boeis, & Higler, 2007).

Intensitas audiometer berkisar antara -10 dB hingga 110 dB. Jika seorang pasien memerlukan intensitas sebesar 45 dB diatas intensitas normal untuk menangkap bunyi tertentu, maka tingkat ambang pendengarannya adalah 45 dB; jika kepekaan pasien lebih dekat ke normal dan hanya memerlukan peningkatan sebesar 20 dB di atas normal, maka ambang tingkat pendengarannya adalah 20dB. Jika pendengaran pasien 10 dB lebih peka dari pendengaran rata-rata, tingkat ambang pendengarannya ditulis dalam nilai negatif atau -10 dB (Adams, Boeis, & Higler, 2007).

2.4.1.4. Notasi Audiogram untuk Hantaran Udara dan Hantaran Tulang Audiogram adalah gambaran kepekaan pendengaran pada berbagai frekuensi. Pemeriksaan direkam untuk masing-masing telinga secara terpisah, dimana frekuensi merupakan aksis sedangkan intensitas sebagai ordinatnya. Simbol hantaran udara dihubungkan dengan garis penuh seperti yang tergambar pada audiogram. Simbol hantaran tulang dihubungkan dengan garis putus-putus yaitu bila terdapat perbedaan antara hantaran tulang-udara; jika tidak, simbol hantaran tulang tidak dihubungkan. Warna tidak perlu berbeda untuk identifikasi simbol dari telinga mana. Namun seandainya menggunakan warna, maka warna merah harus digunakan untuk simbol telinga kanan dan biru untuk telinga kiri. Menggambarkan grafik telinga kanan dan kiri pada audiogram yang terpisah telah


(57)

23

digunakan untuk menghindari kekacauan audiogram (Adams, Boeis, & Higler, 2007).

2.4.1.5. Prosedur untuk Menentukan Ambang Pendengaran 2.4.1.5.1. Persiapan Pasien

a. Pasien harus duduk sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat melihat panel kontrol ataupun pemeriksanya. Sebagian pemeriksa lebih suka bila dapat melihat profil pasien.

b. Benda-benda yang dapat mengganggu pemasangan earphone yang tepat atau dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan harus disingkirkan. Misalnya anting-anting, kacamata, topi, wig, permen karet dan kapas dalam liang telinga. Saat ini pemeriksa sebaiknya memeriksa apakah ada penyempitan liang telinga dengan cara mengamati gerakan dinding kanalis saat menekan pinna dan tragus. Perbedaan hantaran udara tulang hingga sebesar 15-30 dB telah dilaporkan sebagai akibat penyempitan liang telinga. Masalah ini dapat diatasi dengan memegang earphone bantal sirkumaural. Cara lain adalah dengan memasukkan suatu cetakan telinga ke dalam kanalis agar suatu jalan udara menuju membrana timpani dapat dipertahankan.

c. Instruksi harus jelas dan tepat. Pasien perlu mengetahui apa yang harus didengar dan apa yang diharapkan sebagai jawabannya. Pasien harus didorong untuk memberi jawaban terhadap bunyi terlemah yang dapat didengarnya.

d. Lubang earphone harus tepat menempel pada lubang liang telinga. Biasanya jawaban yang diminta adalah mengacungkan tangan atau juri atau menekan tombol yang menghidupkan sinyal cahaya. Pasien diinstruksikan untuk terus memberi jawaban selama ia masih menangkap sinyal pengujian. Tindakan ini memungkinkan pemeriksa mengendalikan pola jawaban pasien, tidak hanya dengan mengubah-ubah selang waktu antar rangsangan namun juga lamanya sinyal diberikan. Hal ini khususnya penting jika pasien memberikan banyak jawaban positif palsu.


(58)

Gambar 2.2. Contoh Audiogram Presbikusis. Sumber: Huangn Qi and Tang Jianguo, 2010.

Gambar 2.3. Contoh Audiometri

Sumber: http://alkes-maraleksana.indonetwork.co.id/group+148628/audiometers-welch-allyn-usa.html

2.4.2. Audiometri Hambatan dan Timpanometri

Audiometri hambatan telah dianggap semakin penting artinya dalam rangkaian pemeriksaan audiologi. Timpanometri merupakan alat pengukur tak langsung dari kelenturan(gerakan) membrana timpani dan sistem osikular dalam berbagai kondisi tekanan positif, normal atau negatif. Energi akustik tinggi


(59)

25

dihantarkan pada telinga melalui suatu tabung bersumbat; sebagian diabsorbsi dan sisanya dipantulkan kembali ke analisis dan dikumpulkan oleh saluran kedua dari tabung tersebut. Satu alat pengukur pada telinga normal diperlihatkan bahwa besar energi yang dipantulkan tersebut lebih kecil dari energi insiden. Sebaliknya bila telinga terisi cairan, atau bila gendang telinga menebal, atau sistem osikular menjadi kaku, maka energi yang dipantulkan akan lebih besar dari telinga normal. Dengan demikian jumlah energi yang dipantulkan makin setara dengan energi insiden. Hubungan ini digunakan sebagai sarana pengukur kelenturan (Adams, Boeis, & Higler, 2007).

Timpanogram dalah suatu penyajian berbentuk grafik dari kelenturan relatif sistem timpanoosikular sementara tekanan udara liang telinga diubah-ubah. Kelenturan maksimal diperoleh pada tekanan udara normal, dan berkurang jika tekanan udara ditingkatkan atau diturunkan. Individu dengan pendengaran normal atau dengan gangguan sensorineural akan memperlihatkan sistem timpano-osikular yang normal (Adams, Boeis, & Higler, 2007).

2.4.3. Audiometri Bicara

Uji nada murni memberi informasi mengenai derajat gangguan pendengaran, konfigurasi audiometri dan tipe gangguan yaitu konduktif atau sensorineural. Kendati dari ambang pendengaran nada murni dapat ditarik kesimpulan dan spekulasi menyangkut kemampuan mendengar dan memahami pembicaraan, namun audiometri nada murni bukan merupakan suatu pengukur langsung dari kecakapan tersebut dan dapat saja salah. Perlunya menilai aspek komunikasi dari pendengaran menuntun kearah perkembangan rangkaian pengujian yang menggunakan pembicaraan itu sendiri sebagai rangsangnya. Perkembangan ini berlanjut dalam dua arah yang agak luas, yaitu pengukuran kepekaan(ambang pengenalan bicara) dan pengukuran pemahaman (skor diskriminasi kata) (Adams, Boeis, & Higler, 2007).


(60)

2.4.3.1. Ambang Penangkapan (Penanggalan) Bicara

Ambang penangkapan bicara(APB) yang kadangkala disebut sebagai ambang pengenal atau ambang bicara(AB) adalah tingkat presentasi terlemah dalam desibel dimana pasien mampu mengenali dengan benar 50% kata-kata yang diuji. Telah dikembangkan suatu uji yang efisien menggunakan kata-kata(bersuku dua dengan tekanan yang sama) dimana hubungannya cukup baik dengan ambang pendengaran terhadap kalimat atau suatu pembicaraan yang kontinu. Uji ambang penangkapan bicara menggunakan kata-kata bersuku dua ini merupakan metode konvensional dalam pengukuran kepekaan terhadap pemahaman pembicaraan (Adams, Boeis, & Higler, 2007).

Uji dapat dilakukan dengan menggunakan rekaman kata-kata ataupun yang langsung diucapkan dan dilakukan pemantauan memakai VU meter. Reliabilitas uji yang lebih baik dicapai dengan metode yang menggunakan stimuli rekaman kata-kata. Jawaban yang lazim diminta adalah pengulangan kata-kata tersebut oleh pasien (Adams, Boeis, & Higler, 2007).

2.4.3.2. Diskriminasi Bicara

Penilaian kemampuan pasien untuk mengenali pembicaraan memberikan banyak informasi. Kemampuan ini berguna dalam diagnosis dan penatalaksanaan. Telah dikembangkan sejumlah daftar kata-kata yang secara fonetis seimbang, yaitu mencerminkan insidensi relatif dari berbagai bunyi bicara dalam bahasa Inggris. Daftar tersebut juga seimbang dalam hal keawaman kosakata. Daftar kata-kata diperdengarkan pada pasien pada tingkat 30 atau 40 dB diatas APB nya. Pasien akan menjawab secara verbal. Skor diskriminasi kata adalah suatu persentase berdasarkan pada jumlah kata yang dapat diulangi pasien dengan tepat (Adams, Boeis, & Higler, 2007).

Umunya skor diskriminasi kata maksimum dapat dicapai bila daftar kata-kata disampaikan dalam intensitas 30-40 dB diatas APB pasien dengan pendengaran normal, tuli konduktif, dan seringkali juga pasien sensorineural ringan. Skor yang diharapkan pada tingkat ini dapat mencapai 94 hingga 100 persen. Pada gangguan pendengaran yang berat dimana ambang pendengaran


(61)

27

mendekati batas keluaran audiometer, maka uji diskriminasi seringkali dilakukan pada tingkat kekerasan bunyi yang tidak menyakitkan pasein (Adams, Boeis, & Higler, 2007).

2.4.4. Audiometri Pediatrik

Kini telah jelas bahwa tahun-tahun pertama kehidupan adalah sangat penting untuk memperoleh kecakapan berbahasa. Identifikasi dini adalah penting pada bayi dengan gangguan pendengaran dapat memperoleh bimbingan rehabilitatif ataupun pendidikan yang diperluka, dan jika keluarganya ingin mendapat bantuan. Seorang anak yang masih belum belajar bicara pada usia 12 hingga 18 bulan biasanya mencemaskan orangtuanya; kondisi ini seharusnya juga mengingatkan dokter keluarga akan risiko tinggi gangguan pendengaran dan perlunya evaluasi pendengaran (Adams, Boeis, & Higler, 2007).

Pendengaran semua bayi dan anak dapat dievaluasi. Pengukuran pendengaran anak dapat dibedakan dalam empat kategori: (1) audiometri observasi tingkah laku, (2) audiometri bermain, (3) audiometri bicara, (4) audiometri “objektif” dan biasanya memerlukan teknologi khusus (Adams, Boeis, & Higler, 2007).


(1)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

1.3.1. Tujuan Umum ... 2

1.3.2. Tujuan Khusus ... 2

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Anatomi telinga ... 4

2.1.1. Telinga Luar ... 4

2.1.2. Telinga Tengah ... 5

2.1.3. Telinga Dalam ... 6

2.2. Mekanisme Pendengaran ... 7

2.2.1. Koklea ... 7

2.2.2. Sel Rambut Luar dan Sel Rambut Dalam ... 9

2.3. Presbikusis ... 12

2.3.1. Definisi ... 12


(2)

vii

2.3.2.1. Presbikusis Sensori ... 13

2.3.2.2. Presbikusis Neural ... 13

2.3.2.3. Presbikusis Strial ... 14

2.3.2.1. Presbikusis Konduksi Koklea ... 14

2.3.3. Faktor yang Mempengaruhi Pendengaran ... 15

2.3.3.1. Usia dan Jenis Kelamin ... 15

2.3.3.2. Hipertensi ... 15

2.3.3.3 Diabetes Melitus ... 16

2.3.3.4 Hiperkolesterolemia ... 16

2.3.3.5 Merokok ... 17

2.3.3.6 Riwayat Bising ... 17

2.3.4. Gejala Klinis ... 17

2.3.5. Derajat Presbikusis ... 18

2.3.6. Penegakan Diagnosis ... 18

2.3.7. Penatalaksanaan ... 19

2.4. Audiometri ... 21

2.4.1. Audiometri Nada Murni ... 21

2.4.1.1. Hantaran Udara dan Hantaran Tulang ... 21

2.4.1.2. Ambang ... 21

2.4.1.3. Audiometri Nol dan Rentang Intensitas ... 22

2.4.1.4. Notasi Audiogram ... 22

2.4.1.5. Prosedur Menentukan Ambang Pendengaran.. 23

2.4.1.5.1. Persiapan Pasien ... 23

2.4.2. Audiometri Hambatan dan Timpanometri ... 24

2.4.3. Audiometri Bicara ... 25

2.4.3.1. Ambang Penangkapan Bicara ... 26

2.4.3.2. Diskriminasi Bicara ... 26

2.4.4. Audiometri Pediatrik ... 27


(3)

viii

3.2. Defenisi Operasional ... 28

3.2.1. Ambang Pendengaran ... 28

3.2.2. Usia ... 28

3.2.3. Jenis Kelamin ... 29

3.2.4. Riwayat Penyakit Sistemik ... 29

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 30

4.1. Jenis Penelitian ... 30

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 30

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 30

4.3.1. Populasi ... ... 30

4.3.2. Sampel ... 30

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 31

4.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 31

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

5.1. Hasil Penelitian ... 33

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 33

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel Peneltian ... 33

5.1.3. Tabulasi Silang Ambang Dengar pada Sampel Penelitian 36 5.2. Pembahasan ... 38

5.2.1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 38

5.2.2. Tabulasi Silang Ambang Dengar Telinga pada Subjek Penelitian ... 39

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

6.1. Kesimpulan ... 41

6.2. Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(4)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Jenis Presbikusis Berdasarkan Patologinya ... 13

2.2. Karakteristik Penurunan Pendengaran pada Presbikusis ... 14

2.3. Derajat Ketulian Berdasarkan ISO ... 18

5.1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Kelompok Umur ... 33

5.2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 34

5.3. Karakteristik Sampel Berdasarkan Riwayat Penyakit Sistemik... 34

5.4. Karakteristik Sampel Berdasarkan Derajat Ketulian ... 35

5.5. Mean, Ambang Dengar Minimum dan Maksimum Sampel ... 35

5.6. Tabulasi Silang Ambang Dengar Berdasarkan Usia ... 37

5.7. Tabulasi Silang Ambang Dengar Berdasarkan Jenis Kelamin ... 37


(5)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman Gambar 2.1. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran ... 11 Gambar 2.2. Hasil Audiogram pada Tuli Konduktif Akibat Serumen ... 23 Gambar 2.3. Hasil Audiogram pada Tuli Konduktif Akibat Perforasi

Membrana Timpani ... 23 Gambar 2.4. Hasil Audiogram pada Tuli Sensorineural ... 24 Gambar 3.1. Kerangka Konsep ... 28


(6)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

Lampiran 1 Lembar Penjelasan Ssubjek Penelitian Lampiran 2 Informed Consent

Lampiran 3 Status Penelitian

Lampiran 4 Tabulasi Data Lansia Penderita Presbikusis di Panti Jompo Kota Medan dan Binjai

Lampiran 5 Output SPSS

Lampiran 6 Riwayat Hidup Peneliti

Lampiran 7 Persetujuan Komisi Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Lampiran 8 Surat Izin Penelitian