Perbanyakan Phragmatoecia castaneae (Lepidoptera: Cossidae) pada pakan buatan
TINJAUAN PUSTAKA
P. castaneae Hubner (Lepidoptera: Cossidae)
Biologi
Telur - telur yang masih baru berwarna putih kotor. Warna tersebut selang
beberapa hari berubah menjadi coklat muda. Satu atau dua hari menjelang
penetasan warnanya menjadi kelabu. Telur berbentuk oval dengan panjang 1,8
mm dan lebar 0,8 mm.
Gambar 1. Telur P. castaneae
Kelompok telur terdiri dari satu baris atau lebih (Gambar 1). Telur - telur
diletakkan pada pucuk yang mati (puser) atau pada daun tua dan kering yang
masih melekat pada batang. Tepi daun digulung dan direkatkan. Tergantung dari
letak telur dalam barisan, yaitu berada di sisi atau ujung, maka 1 cm baris terdiri
dari 9 - 12 butir telur. Stadia telur 9 - 10 hari (Wirioatmodjo, 1980). Jumlah telur
yang dihasilkan sebanyak 282-367 butir telur per betina (PTPN II, 2009).
Larva masuk ke dalam batang dengan membuat lorong gerekan dari
pelepah daun. Panjang larva 35 mm dan pupa 22 mm (Diyasti, 2013). Larva yang
baru menetas berukuran 0,3-0,4 mm, warna dasar tubuhnya kuning terang dengan
4 buah bercak berwarna merah ungu pada setiap segmen tubuhnya. Selama
periode larva di lapangan terjadi 5 kali pergantian kutikula, yang berarti terdapat 6
instar. Ulat yang telah besar berwarna putih jambon kemerah-merahan. Stadia
larva mencapai 70 hari. Menjelang berkepompong ulat membuat lubang keluar
pada batang yang ditutupi dengan selaput tipis (Prasasya, 2009).
Gambar 2. Larva P. castaneae instar 8
Larva jantan dapat mencapai 3,5 cm dan larva betina mencapai 5,5 cm
(Gambar 2). Sebelum menjadi pupa, larva melewati fase pra pupa selama 2-3 hari.
Larva berbentuk cruciform dengan 3 tungkai sejati dan 4 tungkai palsu
(Pramono, 2005).
Gambar 3. Pupa P. castaneae
Mula - mula pupa berwarna sedikit kekuningan. Setelah beberapa hari
warnanya berangsur - angsur menjadi lebih gelap dan akhirnya menjadi coklat
gelap (Gambar 3), masa pupa 16,45 hari. Sebelum menetas pupa merayap keluar
(Wirioatmodjo, 1980). Pada setiap segmen abdomen terdapat busur duri. Pada
awalnya pupa berwarna kuning muda kemudian berubah menjadi coklat tua
dengan panjang 2,5-3 cm (jantan) dan 3,5-4 cm (betina) ( Pramono, 2005).
Ngengat berwarna kecoklatan dan memiliki proboscis. Pada ujung tulang
sayap terdapat noktah berwarna ungu kehitaman.
Rata - rata panjang tubuh
ngengat betina 3,02 cm dan ngengat jantan 2,77 cm. Ngengat keluar pada sore
hari. Setelah keluar dari kepompong, ngengat betina berdiam selama beberapa
waktu untuk mengeringkan dan mengembangkan sayap Masa penerbangan terjadi
antara pukul 18.00 - 20.00. (BPTTD, 1979).
(a)
(b)
Gambar 4. Imago jantan P. castaneae (a) dan imago betina P. castaneae (b)
Lebar sayap imago (ngengat) sekitar 27-50 mm, betina memiliki ukuran
tubuh lebih besar dibandingkan dengan jantan. Sayap berwarna buffish-abu
dengan bercak gelap. Betina memiliki abdomen yang panjang, yang membentang
jauh melampaui ujung sayap saat fase istirahat (Gambar 4b). Ngengat mulai
berterbangan sekitar bulan Mei-Juli (Diyasti, 2013).
Gejala Serangan
Akibat serangan hama ini, terjadi penurunan bobot tebu atau rendemen
karena kerusakan pada ruas batang, bahkan batang tebu bisa mati dan tidak dapat
digiling. Kerugian gula akibat serangan hama ini ditentukan oleh jarak waktu
antara saat penyerangan dan saat tebang. Kehilangan rendemen dapat mencapai 50
% jika menyerang tanaman tebu umur 4-5 bulan dan 4-15 % pada tebu yang
berumur 10 bulan (Diyasti, 2013).
PBR menyerang tanaman tua maupun tanaman muda. Serangan pada
tanaman muda dapat menyebabkan kematian pucuk. Kematian pada tanaman tua
dapat pula terjadi, terutama bila terdapat populasi hama tinggi. Pada tanaman yang
telah berumur lebih dari tiga bulan, kerusakan terjadi pada ruas - ruas. Bila
gerekan ruas cukup parah, batangnya mudah patah. Gejala ditandai dengan adanya
lubang - lubang gerek, yang mudah dilihat dari luar. Tingkat kerusakan biasanya
ditentukan berdasarkan persen rusak ruas (dengan tanda ruas rusak dari luar)
terhadap jumlah ruas (BPTTD, 1979). Setiap persen kerusakan yang ditimbulkan
oleh hama ini dapat mengakibatkan penurunan kristal gula antara 0,7 - 1,27%
(Deptan, 1994). Pada serangan berat, bagian dalam batang tebu hancur dimakan
oleh larva PBR (Diyasti, 2013).
Pengendalian
Agar penyebaran hama PBR tidak semakin meluas, perlu dilakukan
eradikasi tanaman dengan memanen tebu lebih awal yaitu sekitar umur 7-8 bulan.
Tindakan ini dilakukan untuk memutus siklus hidup hama dan tidak terjadi
kehilangan hasil yang lebih besar, karena tebu yang terserang masih dapat digiling
meskipun kualitas rendemennya turun (Diyasti, 2013).
Pemanfaatan musuh alami lain berupa parasitoid pupa Tetrastichus sp.
juga dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian pupa P. castaneae. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Sidauruk et al. (2013) yang
menunjukkan bahwa persentase tertinggi pupa P. castaneae terparasit (100%)
terdapat pada perlakuan 1 pupa dengan 5, 6, dan 7 pasang Tetrastichus sp. dan
terendah (18.50%) pada perlakuan 9 pupa dengan 4 pasang parasitoid.
Pengendalian bisa juga dilakukan secara hayati dengan melepas musuh
alami hama PBR yaitu parasitoid telur Tumidiclava sp. (Hymenoptera) dan
Trichogramma sp. (Wang et al., 2014) serta
(Diptera).
Selain
itu,
penggunaan
parasitoid larva S. inferens
cendawan
entomopatogen Beauveria
bassiana dan Metarrhizium anisopliae juga cukup efektif dalam mengendalikan
hama PBR (Diyasti, 2013).
Pengendalian dengan memanfaatkan musuh alami berupa parasitoid
larva S. inferens telah diuji pada skala laboratorium untuk mengendalikan
P. castaneae. Hasil penelitian menunjukkan bahwa turunan dari perkawinan yang
berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap terbentuknya imago lalat.
Turunan terbaik berasal dari perkawinan imago jantan dari lapangan dan imago
betina dari laboratorium dengan persentase lalat yang terbentuk sebesar 59,17%.
Hasil pengamatan persentase ulat yang terparasit menunjukkan bahwa daya
parasitasi S. inferens dari turunan berbeda tidak berbeda nyata terhadap larva
P. castaneae dengan persentase parasitasi tertinggi diperoleh pada perlakuan R1
(perkawinan sepasang imago jantan dan betina di laboratorium) sebesar 63,33%
dan terendah perlakuan R2 (imago jantan dan betina dari hasil perkawinan R1)
sebesar 47,50% (Khairiyah, 2008).
Sanitasi kebun juga perlu dilakukan dengan memusnahkan sumber
inokulum berupa serasah daun kering, sisa batang dan pucuk tebu pasca tebangan,
serta memusnahkan gelagah (Saccharum spontaneum) yang merupakan inang
hama PBR (Diyasti, 2013).
Pakan Buatan
Pakan buatan merupakan salah satu alternatif untuk perbanyakan larva
PBR di laboratorium. Larva PBR yang merupakan hama penting pada tanaman
tebu dipelihara, selanjutnya di inokulasikan kembali dengan parasitoid agar
diperoleh parasitoid yang baik. Larva juga dipelihara untuk keperluan penelitian,
penelitian membutuhkan larva yang sehat pada tahap perkembangan yang tepat
dan jumlah yang memadai (Tende et al., 2011).
Panchal dan Kachole (2013)
telah meneliti siklus hidup dari hama
Chilo partellus dalam pakan buatan. Hasil penelitian yang diperoleh adalah
pertumbuhan dan perkembangan dari
larva C. partellus meningkat secara
signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bhavani (2013)
yang menyatakan bahwa C. infuscatellus berkembang dengan baik pada pakan
buatan dan memiliki hasil yang relatif sama dengan pakan alaminya.
Pakan buatan untuk serangga adalah komponen penting dari banyak sistem
pemeliharaan serangga yang menghasilkan serangga
untuk tujuan penelitian.
Media gel agar untuk pakan umumnya disiapkan dalam proporsi secukupnya dan
digunakan segera setelah persiapan karena bahan pakan mudah mengalami
degradasi dan mudah rusak, seperti vitamin dan asam lemak, dapat mempengaruhi
kualitas serangga yang dihasilkan (Brewer, 1984). Namun, waktu persiapan pakan
yang mungkin tidak efisien, dan terlalu boros akan berdampak pada kelebihan
bahan yang tidak terpakai sehingga dibuang, maka persentase pupa akan
bervariasi, dengan tidak ada perbedaan yang signifikan antar pakan, dimana
persentase pupa yang terbentuk maksimum sebesar 83%. Ekstrusi dari pakan di
bawah suhu tinggi dan tekanan dapat menyebabkan munculnya bahan kimia yang
tidak diinginkan dan perubahan fisik pada produk ekstrusi (Kim et al., 2014).
Berikut ini adalah kompososi pakan buatan yang dikeluarkan oleh P3GI
(2014) untuk hama C. sacchariphagus dan C. auricilius.
Tabel 1. Komposisi pakan buatan untuk C. sacchariphagus dan C. auricilius
Bahan
Serbuk pucuk tebu
Tepung kacang hijau
Vitamin C
Formalin 40%
Yeast (ragi roti)
Nipagin
Sorbic acid
Sukrose
Agar powder
Air untuk agar
Air untuk blender
Banlate
Tauge Kacang Hijau
Berat
C. sacchariphagus Bojer C. auricilius Dudgeon
20 g
30 g
175 g
30 g
2.6 g
1.3 g
0.3ml
0.3 ml
25 g
13 g
1.6g
1,6 g
0.8 g
0.4 g
20 g
10.2 g
5.1 g
350 ml
350 ml
120 ml
0.025 g
18 g
Alfazairy et al. (2012) juga melakukan penelitian dengan menggunakan
pakan buatan untuk memperbanyak
Spodoptera littoralis dengan komposisi
pakan yang disarankan mengandung lentil kuning 180 g, Lens culinaris, beras 25
g, bubuk padi, bubuk ragi 18.5 g , asam askorbat 3 g, asam sorbat 4 g, 2.5 g
natrium benzoat, 1 ml formalin (37-40%) dan air keran 575 ml. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa 180 g dari lentil kuning, L. culinaris dan beras 25 g
dapat digunakan sebagai komponen bahan pakan buatan yang bergizi dan sebagai
agen pembentuk gel tanpa mempengaruhi sifat
fisik
dari
makanan untuk
menghindari efek negatif kemungkinan terhadap pertumbuhan larva dan pupa.
Menurut Chen et al.
(2014) berbagai macam formulasi pakan telah
dikembangkan baik untuk larva maupun imago, terutama untuk efisiensi biaya dan
pasokan bahan. Namun, hanya empat larva dan dua formulasi pakan untuk imago
yang telah diterapkan di enam pabrik produksi massal lalat steril di Amerika
Serikat, Meksiko dan Panama. Di sini, mereka meninjau secara
sejarah
penelitian
pakan
screwworm
dan
singkat
pengembangannya,
serta
memperkenalkan formulasi pakan yang digunakan dalam pemeliharaan massal
dan memaparkan kelebihan dan kekurangannya dari segi aplikasi pada tanaman.
Viedma et al. (1985) menemukan komposisi pakan buatan yang sesuai
untuk beberapa ordo serangga, termasuk famili Cossidae yang terdiri dari :
Tabel 2. Komposisi pakan buatan untuk beberapa ordo serangga
Bahan
Berat
Sintetis
Semi sintetis
Air destilata
25 cc
200 cc
Agar
3,5 g
10 g
Selulosa
2g
1.3 g
Glukosa
1,5 g
0.3 ml
Yeast (ragi roti)
3g
44 g
Vitamin bebas kasein
1,2 g
Saccharose
2,5 g
Asam askorbat
0,4 g
Asam benzoat
0,1 g
1g
Campuran garam
1g
Larutan Vitamin
2 cc
Nipagin
1g
1g
Spesific component
10 g
Kecambah gandum
44 g
Maize semola / tepung jagung
22 g
Khusus untuk nipagin, 1 g nipagin dicampur dengan 5 cc alkohol 70%.
Nonci (2004); Wang et al. (2005) dan Kojima et al. (2010) melakukan
pembiakan massal terhadap O. furnacalis untuk menguji keefektifan musuh
alaminya seperti parasitoid Trichogramma ostriniae, T. dendrolini, predator
Proreus sp., Euborellia sp., Lycosa sp., Chrysopa sp., dan Orius tristicolor dan
patogen Metarhizium anisopliae dan
Beauveria bassiana; menguji
adaptasi
fisiologis O. furnacalis terhadap alelokimia yang dikeluarkan oleh tanaman inang
(jagung); dan identifikasi tanaman atau rumputan yang menguntungkan tanaman
utama karena menghasilkan semiokimia yang bersifat repellent terhadap hama
serangga dan
bersifat
attractant terhadap musuh alami O. furnacalis. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa O. furnacalis yang dibiakkan secara massal dapat
digunakan sebagai inang untuk perbanyakan parasitoid dan predator.
P. castaneae Hubner (Lepidoptera: Cossidae)
Biologi
Telur - telur yang masih baru berwarna putih kotor. Warna tersebut selang
beberapa hari berubah menjadi coklat muda. Satu atau dua hari menjelang
penetasan warnanya menjadi kelabu. Telur berbentuk oval dengan panjang 1,8
mm dan lebar 0,8 mm.
Gambar 1. Telur P. castaneae
Kelompok telur terdiri dari satu baris atau lebih (Gambar 1). Telur - telur
diletakkan pada pucuk yang mati (puser) atau pada daun tua dan kering yang
masih melekat pada batang. Tepi daun digulung dan direkatkan. Tergantung dari
letak telur dalam barisan, yaitu berada di sisi atau ujung, maka 1 cm baris terdiri
dari 9 - 12 butir telur. Stadia telur 9 - 10 hari (Wirioatmodjo, 1980). Jumlah telur
yang dihasilkan sebanyak 282-367 butir telur per betina (PTPN II, 2009).
Larva masuk ke dalam batang dengan membuat lorong gerekan dari
pelepah daun. Panjang larva 35 mm dan pupa 22 mm (Diyasti, 2013). Larva yang
baru menetas berukuran 0,3-0,4 mm, warna dasar tubuhnya kuning terang dengan
4 buah bercak berwarna merah ungu pada setiap segmen tubuhnya. Selama
periode larva di lapangan terjadi 5 kali pergantian kutikula, yang berarti terdapat 6
instar. Ulat yang telah besar berwarna putih jambon kemerah-merahan. Stadia
larva mencapai 70 hari. Menjelang berkepompong ulat membuat lubang keluar
pada batang yang ditutupi dengan selaput tipis (Prasasya, 2009).
Gambar 2. Larva P. castaneae instar 8
Larva jantan dapat mencapai 3,5 cm dan larva betina mencapai 5,5 cm
(Gambar 2). Sebelum menjadi pupa, larva melewati fase pra pupa selama 2-3 hari.
Larva berbentuk cruciform dengan 3 tungkai sejati dan 4 tungkai palsu
(Pramono, 2005).
Gambar 3. Pupa P. castaneae
Mula - mula pupa berwarna sedikit kekuningan. Setelah beberapa hari
warnanya berangsur - angsur menjadi lebih gelap dan akhirnya menjadi coklat
gelap (Gambar 3), masa pupa 16,45 hari. Sebelum menetas pupa merayap keluar
(Wirioatmodjo, 1980). Pada setiap segmen abdomen terdapat busur duri. Pada
awalnya pupa berwarna kuning muda kemudian berubah menjadi coklat tua
dengan panjang 2,5-3 cm (jantan) dan 3,5-4 cm (betina) ( Pramono, 2005).
Ngengat berwarna kecoklatan dan memiliki proboscis. Pada ujung tulang
sayap terdapat noktah berwarna ungu kehitaman.
Rata - rata panjang tubuh
ngengat betina 3,02 cm dan ngengat jantan 2,77 cm. Ngengat keluar pada sore
hari. Setelah keluar dari kepompong, ngengat betina berdiam selama beberapa
waktu untuk mengeringkan dan mengembangkan sayap Masa penerbangan terjadi
antara pukul 18.00 - 20.00. (BPTTD, 1979).
(a)
(b)
Gambar 4. Imago jantan P. castaneae (a) dan imago betina P. castaneae (b)
Lebar sayap imago (ngengat) sekitar 27-50 mm, betina memiliki ukuran
tubuh lebih besar dibandingkan dengan jantan. Sayap berwarna buffish-abu
dengan bercak gelap. Betina memiliki abdomen yang panjang, yang membentang
jauh melampaui ujung sayap saat fase istirahat (Gambar 4b). Ngengat mulai
berterbangan sekitar bulan Mei-Juli (Diyasti, 2013).
Gejala Serangan
Akibat serangan hama ini, terjadi penurunan bobot tebu atau rendemen
karena kerusakan pada ruas batang, bahkan batang tebu bisa mati dan tidak dapat
digiling. Kerugian gula akibat serangan hama ini ditentukan oleh jarak waktu
antara saat penyerangan dan saat tebang. Kehilangan rendemen dapat mencapai 50
% jika menyerang tanaman tebu umur 4-5 bulan dan 4-15 % pada tebu yang
berumur 10 bulan (Diyasti, 2013).
PBR menyerang tanaman tua maupun tanaman muda. Serangan pada
tanaman muda dapat menyebabkan kematian pucuk. Kematian pada tanaman tua
dapat pula terjadi, terutama bila terdapat populasi hama tinggi. Pada tanaman yang
telah berumur lebih dari tiga bulan, kerusakan terjadi pada ruas - ruas. Bila
gerekan ruas cukup parah, batangnya mudah patah. Gejala ditandai dengan adanya
lubang - lubang gerek, yang mudah dilihat dari luar. Tingkat kerusakan biasanya
ditentukan berdasarkan persen rusak ruas (dengan tanda ruas rusak dari luar)
terhadap jumlah ruas (BPTTD, 1979). Setiap persen kerusakan yang ditimbulkan
oleh hama ini dapat mengakibatkan penurunan kristal gula antara 0,7 - 1,27%
(Deptan, 1994). Pada serangan berat, bagian dalam batang tebu hancur dimakan
oleh larva PBR (Diyasti, 2013).
Pengendalian
Agar penyebaran hama PBR tidak semakin meluas, perlu dilakukan
eradikasi tanaman dengan memanen tebu lebih awal yaitu sekitar umur 7-8 bulan.
Tindakan ini dilakukan untuk memutus siklus hidup hama dan tidak terjadi
kehilangan hasil yang lebih besar, karena tebu yang terserang masih dapat digiling
meskipun kualitas rendemennya turun (Diyasti, 2013).
Pemanfaatan musuh alami lain berupa parasitoid pupa Tetrastichus sp.
juga dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian pupa P. castaneae. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Sidauruk et al. (2013) yang
menunjukkan bahwa persentase tertinggi pupa P. castaneae terparasit (100%)
terdapat pada perlakuan 1 pupa dengan 5, 6, dan 7 pasang Tetrastichus sp. dan
terendah (18.50%) pada perlakuan 9 pupa dengan 4 pasang parasitoid.
Pengendalian bisa juga dilakukan secara hayati dengan melepas musuh
alami hama PBR yaitu parasitoid telur Tumidiclava sp. (Hymenoptera) dan
Trichogramma sp. (Wang et al., 2014) serta
(Diptera).
Selain
itu,
penggunaan
parasitoid larva S. inferens
cendawan
entomopatogen Beauveria
bassiana dan Metarrhizium anisopliae juga cukup efektif dalam mengendalikan
hama PBR (Diyasti, 2013).
Pengendalian dengan memanfaatkan musuh alami berupa parasitoid
larva S. inferens telah diuji pada skala laboratorium untuk mengendalikan
P. castaneae. Hasil penelitian menunjukkan bahwa turunan dari perkawinan yang
berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap terbentuknya imago lalat.
Turunan terbaik berasal dari perkawinan imago jantan dari lapangan dan imago
betina dari laboratorium dengan persentase lalat yang terbentuk sebesar 59,17%.
Hasil pengamatan persentase ulat yang terparasit menunjukkan bahwa daya
parasitasi S. inferens dari turunan berbeda tidak berbeda nyata terhadap larva
P. castaneae dengan persentase parasitasi tertinggi diperoleh pada perlakuan R1
(perkawinan sepasang imago jantan dan betina di laboratorium) sebesar 63,33%
dan terendah perlakuan R2 (imago jantan dan betina dari hasil perkawinan R1)
sebesar 47,50% (Khairiyah, 2008).
Sanitasi kebun juga perlu dilakukan dengan memusnahkan sumber
inokulum berupa serasah daun kering, sisa batang dan pucuk tebu pasca tebangan,
serta memusnahkan gelagah (Saccharum spontaneum) yang merupakan inang
hama PBR (Diyasti, 2013).
Pakan Buatan
Pakan buatan merupakan salah satu alternatif untuk perbanyakan larva
PBR di laboratorium. Larva PBR yang merupakan hama penting pada tanaman
tebu dipelihara, selanjutnya di inokulasikan kembali dengan parasitoid agar
diperoleh parasitoid yang baik. Larva juga dipelihara untuk keperluan penelitian,
penelitian membutuhkan larva yang sehat pada tahap perkembangan yang tepat
dan jumlah yang memadai (Tende et al., 2011).
Panchal dan Kachole (2013)
telah meneliti siklus hidup dari hama
Chilo partellus dalam pakan buatan. Hasil penelitian yang diperoleh adalah
pertumbuhan dan perkembangan dari
larva C. partellus meningkat secara
signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bhavani (2013)
yang menyatakan bahwa C. infuscatellus berkembang dengan baik pada pakan
buatan dan memiliki hasil yang relatif sama dengan pakan alaminya.
Pakan buatan untuk serangga adalah komponen penting dari banyak sistem
pemeliharaan serangga yang menghasilkan serangga
untuk tujuan penelitian.
Media gel agar untuk pakan umumnya disiapkan dalam proporsi secukupnya dan
digunakan segera setelah persiapan karena bahan pakan mudah mengalami
degradasi dan mudah rusak, seperti vitamin dan asam lemak, dapat mempengaruhi
kualitas serangga yang dihasilkan (Brewer, 1984). Namun, waktu persiapan pakan
yang mungkin tidak efisien, dan terlalu boros akan berdampak pada kelebihan
bahan yang tidak terpakai sehingga dibuang, maka persentase pupa akan
bervariasi, dengan tidak ada perbedaan yang signifikan antar pakan, dimana
persentase pupa yang terbentuk maksimum sebesar 83%. Ekstrusi dari pakan di
bawah suhu tinggi dan tekanan dapat menyebabkan munculnya bahan kimia yang
tidak diinginkan dan perubahan fisik pada produk ekstrusi (Kim et al., 2014).
Berikut ini adalah kompososi pakan buatan yang dikeluarkan oleh P3GI
(2014) untuk hama C. sacchariphagus dan C. auricilius.
Tabel 1. Komposisi pakan buatan untuk C. sacchariphagus dan C. auricilius
Bahan
Serbuk pucuk tebu
Tepung kacang hijau
Vitamin C
Formalin 40%
Yeast (ragi roti)
Nipagin
Sorbic acid
Sukrose
Agar powder
Air untuk agar
Air untuk blender
Banlate
Tauge Kacang Hijau
Berat
C. sacchariphagus Bojer C. auricilius Dudgeon
20 g
30 g
175 g
30 g
2.6 g
1.3 g
0.3ml
0.3 ml
25 g
13 g
1.6g
1,6 g
0.8 g
0.4 g
20 g
10.2 g
5.1 g
350 ml
350 ml
120 ml
0.025 g
18 g
Alfazairy et al. (2012) juga melakukan penelitian dengan menggunakan
pakan buatan untuk memperbanyak
Spodoptera littoralis dengan komposisi
pakan yang disarankan mengandung lentil kuning 180 g, Lens culinaris, beras 25
g, bubuk padi, bubuk ragi 18.5 g , asam askorbat 3 g, asam sorbat 4 g, 2.5 g
natrium benzoat, 1 ml formalin (37-40%) dan air keran 575 ml. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa 180 g dari lentil kuning, L. culinaris dan beras 25 g
dapat digunakan sebagai komponen bahan pakan buatan yang bergizi dan sebagai
agen pembentuk gel tanpa mempengaruhi sifat
fisik
dari
makanan untuk
menghindari efek negatif kemungkinan terhadap pertumbuhan larva dan pupa.
Menurut Chen et al.
(2014) berbagai macam formulasi pakan telah
dikembangkan baik untuk larva maupun imago, terutama untuk efisiensi biaya dan
pasokan bahan. Namun, hanya empat larva dan dua formulasi pakan untuk imago
yang telah diterapkan di enam pabrik produksi massal lalat steril di Amerika
Serikat, Meksiko dan Panama. Di sini, mereka meninjau secara
sejarah
penelitian
pakan
screwworm
dan
singkat
pengembangannya,
serta
memperkenalkan formulasi pakan yang digunakan dalam pemeliharaan massal
dan memaparkan kelebihan dan kekurangannya dari segi aplikasi pada tanaman.
Viedma et al. (1985) menemukan komposisi pakan buatan yang sesuai
untuk beberapa ordo serangga, termasuk famili Cossidae yang terdiri dari :
Tabel 2. Komposisi pakan buatan untuk beberapa ordo serangga
Bahan
Berat
Sintetis
Semi sintetis
Air destilata
25 cc
200 cc
Agar
3,5 g
10 g
Selulosa
2g
1.3 g
Glukosa
1,5 g
0.3 ml
Yeast (ragi roti)
3g
44 g
Vitamin bebas kasein
1,2 g
Saccharose
2,5 g
Asam askorbat
0,4 g
Asam benzoat
0,1 g
1g
Campuran garam
1g
Larutan Vitamin
2 cc
Nipagin
1g
1g
Spesific component
10 g
Kecambah gandum
44 g
Maize semola / tepung jagung
22 g
Khusus untuk nipagin, 1 g nipagin dicampur dengan 5 cc alkohol 70%.
Nonci (2004); Wang et al. (2005) dan Kojima et al. (2010) melakukan
pembiakan massal terhadap O. furnacalis untuk menguji keefektifan musuh
alaminya seperti parasitoid Trichogramma ostriniae, T. dendrolini, predator
Proreus sp., Euborellia sp., Lycosa sp., Chrysopa sp., dan Orius tristicolor dan
patogen Metarhizium anisopliae dan
Beauveria bassiana; menguji
adaptasi
fisiologis O. furnacalis terhadap alelokimia yang dikeluarkan oleh tanaman inang
(jagung); dan identifikasi tanaman atau rumputan yang menguntungkan tanaman
utama karena menghasilkan semiokimia yang bersifat repellent terhadap hama
serangga dan
bersifat
attractant terhadap musuh alami O. furnacalis. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa O. furnacalis yang dibiakkan secara massal dapat
digunakan sebagai inang untuk perbanyakan parasitoid dan predator.