Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

(1)

1.1 Konteks Masalah

Pembahasan pluralisme di Indonesia selalu menjadi pembicaraan yang hangat.Hal ini dikarenakan kondisi alamiah Indonesia yang berbeda-beda dari segala aspek mulai dari kondisi geografis, suku, bahasa, warna kulit, dan agama.Untuk itulah semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto menjadi cerminandari perbedaan Indonesia.Wilayah negara yang terbentang luas dari Sabang sampai ke Merauke, memiliki sumber daya alam (natural resources) yang melimpah seperti untaian zamrud di khatulistiwa dan juga sumber daya budaya (cultural resources) yang beraneka ragam bentuknya.

Di dalam penelitian etnologis misalnya, diketahui bahwa Indonesia terdiri atas kurang lebih 600 suku bangsa dengan identitasnya masing-masing serta kebudayaannya yang berbeda-beda. Selain dari kehidupan suku-suku tersebut yang terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, terjadi pula konsentrasi suku-suku di tempat lain karena migrasi atau karena mobilisasi penduduk yang cepat. Melalui sensus BPS tahun 2010 tercatat 1.340 suku bangsa di Indonesia dengan jumlah total penduduk 237.556.363 jiwa sebagai warga negara.

Secara etimologi pluralisme merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata, yakni, plural yang berarti ragam dan isme yang berarti paham.Jadi pluralisme bisa diartikan sebagai berbagai paham atau bermacam-macam paham. Sedangkan dalam Webster’s Third International Dictionary pluralisme didefinisikan sebagai berikut:

(1)”a state of society in which members of diverse ethnic, religious, racial, or social groups maintain an autonomous participation in and development of their traditional culture or special interest within the confines of a common civilization;[and] (2) A concept, doctrine, or policy advocating this state”(Ghazali, 2009: 180)

Berdasarkan pengertian di atas, pluralisme didefinisikan sebagai sebuah keadaan masyarakat di mana anggota suatu etnis, agama, ras atau kelompok sosial yang beragam mempertahankan partisipasi otonom dan pengembangan budaya


(2)

tradisional mereka ataupun minat khusus dalam batas-batas peradaban umum.Selain itu pluralisme juga diartikan sebagai sebuah konsep, doktrin atau kebijakan untuk menyokong keadaan ataupun situasi masyarakat yang beragam. Latar belakang munculnya gerakan pluralisme adalah sebagai akibat reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama agama. Karenanya, para penggiat gerakan ini mengharapkan paham pluralisme dapat menjadi penawar dari berbagai konflik dalam wacana keberagaman terutama persoalan agama.

Indonesia dengan segala kekayaan adat istiadat, suku dan agamanya pun tidak luput dari terpaan paham pluralisme ini.Tidak sedikit masyarakat yang mendukung, karena pluralisme dianggap dapat menjembatani segala perbedaan yang ada dan menumbuhkan sikap toleransi antar berbagai kelompok, sehingga dapat meminimalisir adanya potensi konflik.Konflik horizontal adalah bukti nyata kurangnya kesadaran maupun kemampuan masyarakat dalam menyikapi perbedaan dan keragaman secara bijak.

Di indonesia sendiri konflik horizontal bukanlagi menjadi hal yang asing ataupun baru. Mengingat bahwa heterogenitas bangsa Indonesia baik suku, agama, etnis maupun budaya adalah sesuatu yang tak terbantahkan, maka konflik dan perpecahan juga tidak bisa terhindarkan.Konflik horizontal yang terjadi kini tengah menyebar hampir di setiap pulau besar di Indonesia. Mulai dari Timika, Ambon, Poso, Bima, Flores Timur, Sampit, Sampang, Cikeusik, Tumenggung, Lampung Selatan, hingga Aceh pernah menjadi saksi bisu pecahnya kerusuhan antar warga tersebut.

Penyebab dan akar permasalahan tiap konflik horizontal jugaberagam.Mulai dari etnosentrisme, wilayah kekuasaan, kecemburuan sosial hingga yang paling sering muncul adalah masalah agama dan kepercayaan.Tidak mengherankan jika paham pluralisme bagi sejumlah orang disambut hangat dandianggap menjadi angin segar yang diharapkan dapat meredakan konflik di Indonesia.


(3)

Namun seiring berjalannya waktu, pengertian pluralisme telah banyak mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan perubahan zaman.Salah satu perkembangan definisi dari pluralisme yang lebih spesifik adalah seperti yang diungkapkan oleh John Hick. Pada artikel pluralisme dalam Religious Research,

John Hick menuliskan konflik horizontal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama mereka yang paling benar. Ia mengatakan bahwa semua agama sama efektifnya, atau sama tidak efektifnya, dalam memandu dan mendorong para pengikutnya mengubah haluan kehidupan mereka dari ‘ingat diri sendiri’ ke ‘ingat akan Yang Lain’.Menurutnya itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme; untuk menghilangkan keyakinan akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut, dan menganggap yang lain salah.Ia pun mengasumsikan pluralisme sebagai identitas kultural, kepercayaan dan agama yang harus disesuaikan dengan zaman modern, karena agama-agama tersebut akan berevolusi menjadi satu (Knitter, 2008: 134-145).

Selain itu, dalam makalah Muhammad Nurdin Salim dengan judul Telaah Kritis Pluralisme Agama, John Hick menganalogikan agama-agama yang ada di dunia dengan matahari dan planet.Dia menyatakan bahwa Kristen dan agama-agama lainnya “mengelilingi” tuhan, seperti planet planet mengelilingi matahari.Karenanya ia menyarankan agar manusia berpindah dari sentralitas agama menuju sentralitas tuhandan menegaskan bahwa Kristen bukanlah agama yang paling benar. Begitu juga agama dan kepercayaan lain belum tentu lebih baikdari agamaKristen.

Perkembangan definisi pluralisme juga terjadi di Indonesia. Ulil Abshar Abdalla dalam wawancaranya dengan Gatra, Desember 2002 mengatakan:

“Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran.Jadi, Islam bukan yang paling benar”.

Bahkan dalam artikelnya yang berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” di harian Kompas, November 2002, ia menulis sebagai berikut:

“Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang


(4)

berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.”

Hal inilah yang mengundang protes keras serta penolakan dari para pemuka dan organisasi keagamaan.Di Indonesia khususnya, dominasi penolakan dan perdebatan seputar pluralisme tersebut datang dari kaum fundamentalis Islam dan Kristen.Mereka mencurigai adanya bahaya pluralisme yang dianggap sebagai agendadari pihak-pihak tertentu.Menurut mereka, pluralisme akan memudahkan terjadinya proses liberalisme sosial politik, sehingga menyebabkan wilayah agamapun pada gilirannya dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan. Melalui paham pluralisme tersebut wilayah yuridiksi serta nilai-nilai keagamaanakan direduksi, dimarjinalkan dan didomestikkan sedemikian rupa. Sehingga pada akhirnya hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling pribadi.

Perbedaan dalam memaknai pluralisme ini akhirnya membawa kepada perdebatan dan pertentangan dua kubu.Satu memperjuangkan toleransi, satu membela kemurnian.Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa inti polemik selama ini terletak pada perbedaan interpretasi kata pluralisme itu sendiri.Maka wajarlah pluralisme mendapat dukungan sekaligus penolakan karena maknanya sendiri masih bias dan belum mampu dirumuskan dengan pemahaman yang satu. Media massa dalam masyarakat pluralis memainkan peranan yang sangat signifikan, baik dalam hal penyebarluasan informasi kepada khalayak maupun dalam hal penumbuhan citra (image building). Dengan kedua muatan ini, media massa bekerja dan mengembangkan wacana. Pengembangan wacana oleh media massa dapat diamati melalui bagaimana bentuk-bentuk isi media seperti berita, film, musik ataupun sinetron yang dikemas ke dalam konstruksi tertentu yang dalam konteks masyarakat pluralis melibatkan berbagai persoalan penting seperti suku bangsa, budaya dan agama.

Film adalah salah satu media komunikasi massa yang sangat besar pengaruhnyaterhadap masyarakat. Film juga merupakan bentuk pesan yang terdiri dari berbagai tandadan simbol yang membentuk sebuah sistem makna sehingga bisa diinterpretasikan olehorang secara berbeda-beda, tergantung kepada referensi dan kemampuan berpikir orangtersebut.Sebagai media massa, film digunakan


(5)

sebagai media yang merefleksikan realitas atau bahkan membentuk realitas.Film mengkomunikasikan pesan dari pembuat film (film maker) kepada penonton (audience).

Sebagai sebuah media, film tentunya mewakili pandangan-pandangan yang dimiliki oleh kelompok tertentu, termasuk ideologi serta gagasan yang dibawa oleh kelompok tersebut.Hal ini menjadi sangat esensial, karena dalam penyampaiannya, film menyampaikan ideologi dengan lebih halus serta memiliki unsur paksaan.Hal itu dikarenakan ketika kita menonton film, komunikasi yang terjadi lebih bersifat satu arah. Kita sebagai penonton akan disuguhi berbagai macam informasi yang ada dan ditampilkan dalam film sehingga tanpa sadar diharuskan untuk ‘menelan’ segala macam informasi yang disajikan dalam film tersebut. Lebih tepatnya pesan-pesan bermuatan ideologis yang berasal dari pembuatnya.

Film kerap digunakan sebagai penyebar berbagai kepentingan dan ideologi karena dianggap memiliki jangkauan, realisme, pengaruh emosional dan popularitas yang hebat.Film merupakan media yang paling cepat ditangkap oleh khalayak karena sifatnya yang audio visual.Oleh karena itu, pesan-pesan yang terdapat pada film akan dengan mudah ditangkap oleh khalayak dan diinterpretasikan.

Dalam aspek jangkauan, film mampu menjangkau jutaan (bahkan puluhan juta) audiens didunia dalam waktu yang sangat singkat.Disamping itu, film juga memiliki kemampuan untuk memanipulasi realitas (kenyataan) yang sebenarnya dalam bentuk efek-efek videografi tanpa kehilangan kredibilitasnya.

Dunia perfilman saat ini telah mampu merebut perhatian masyarakat. Lebih-lebih setelah berkembangnya teknologi komunikasi massa yang dapat memberikan konstitusi bagi perkembangan dunia perfilman. Meskipun masih banyak bentuk-bentuk media massa lainnya, film memiliki efek eksklusif bagi para penontonnya. Dari puluhan sampai ratusan penelitian berkaitan dengan efek media massa film bagi kehidupan manusia, sehingga harus disadari media mampu mempengaruhi pikiran, sikap, dan tindakan penonton.

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar.Tentunya banyak cerita menarik yang bisa dikupas dari begitu banyak


(6)

individu.Film yang disajikan di layar lebar kini juga telah banyak disesuaikan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat kita. Film Cin(T)a adalah salah satunya.

Cin(T)aadalah sebuah film produksi Moonbeam Creationdan Sembilan Matahari Filmdi tahun 2009. Film ini menyentuh persoalan yang cukup sensitif, yaitumenyangkut percintaan yang dibalut dengan perbedaan agama.Film indie yangdisutradarai oleh Sammaria Simanjuntak dan pernah mendapatkehormatan untuk diputar di NationalFilm Theater – British Film Institute London ini, berani menampilkan beberapa testimoni dari pasanganbeda agama yang menjelaskan keharmonisan mereka walaupun hidupdengan memegang keyakinan masing-masing, sehingga menambah daya tarik tersendiri dari film ini.

Film yang meraih penghargaan skenarioasli terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) ini, juga mencoba menyampaikan pesan-pesan yang menarik mengenai pluralisme, khususnya pluralisme agama.Pesan-pesan tersebut tertuang jelas dalam setiap adegan dan percakapan dalam film ini. Sebagai contoh, di salah satu adegan saat Annisa dan Cina sedang makan bersama, doa yang Annisa baca sebelum makan adalah “Tuhan yang disebut dengan berbagai nama, dan disembah dengan berbagai cara”. Hebatnya lagi, film ini tidak segan menampilkan penggalan dialog yang secara jelas menggugat Tuhan seperti "Kenapa Tuhan nyiptain kita beda-beda kalau Tuhan hanya ingin disembah dengan satu cara?". Selama 79 menit film ini membahas secara gamblang perbedaan antara Cina dan Annisa.Cina (diperankan oleh Sunny Soon) adalah mahasiswa baru ber-etnis Batak Cina. Cina tumbuh menjadi seorang remaja yang lugu tapi ia yakin bisa mewujudkan impiannya dengan modal tekad yang kuat. Annisa (diperankan oleh Saira Jihan), mahasiswi muslimah 24 tahun ber-etnis Jawa yang kuliahnya terhambat oleh kariernya di industri perfilman. Ketenaran dan kecantikan membuatnya kesepian,sehingga ia bersahabat dengan jari bermuka sedih, yaitu teman imajiner yang ia ciptakan.

Dialog-dialog mengenai konsep Tuhan menurut sudut pandang Cina dan Anissa yang dalam film ini dinyatakan sebagai the unpredictable character

dikemas dengan dialog yang santai tanpa konflik, namun sarat makna.Hal yang juga membuat film ini bertambah istimewa adalah kehadirannya di tengah


(7)

banyaknya pro dan kontra mengenai pluralisme.Apalagi setelahMUI (Majelis Ulama Indonesia) memberikan fatwa haram terhadap pluralisme padatahun 2005 yang lalu.

Film ini layak diteliti karena beberapa keunikan yang dimilikinya.Tema yang diangkat masih jarang ditemui pada film-film kebanyakan.Berani menyentuh ranah pluralisme, khususnya pluralisme agama yang di Indonesia sendiri masih tabu untuk memperbincangkannya.

Walau sekarang mulai muncul beberapa film dengan genre serupa seperti

3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta (2010), Tanda Tanya (2011), dan yang terbaru Cinta Tapi Beda (2012) tidak serta merta mengurangi nilai film ini. Film Cin(T)a tetap menyajikan pesan pluralisme secara berbeda. Hal ini bisa terlihat dari dari pengemasan film yang menggunakan dua konsep sinematografi (http://www.godisadirector.com).

Konsep pertama, mengingat keberadaan Tuhan sangat subjektif pada setiap orang, Sammaria meletakkan penonton pada 'sudut pandang Tuhan'.Reaksi penonton pada film mencerminkan persepsi penonton itu sendiri tentang Tuhan.Konsep kedua, Sammaria menggunakan konsep ‘dunia hanya milik berdua, sedangkan yang lainoff - frame.’Terlihat dengan hanya ditampilkannya dua pemeran utama di setiap scene, walaupun ada figuran hanya ditampilkan suaranya saja sedangkan wajah mereka selalu disembunyikan.Di satu sisi film ini juga tidak ‘banjir’ romansa dan merupakan pelopor film dengan tema ’beda agama’.

Kehadiran film ini juga serta merta ‘menyentil’ masyarakat Indonesia yang mulai nyaman dengan bauran perbedaan sejak digadang oleh Gus Dur di masa pemerintahannya.Wacana pluralisme yang mulai ‘dingin’, kembali memanas hingga menuai perdebatan dan kontroversi di tengah masyarakat.Perlu disadari bahwa perdebatan yang terjadi, bermuara dari perbedaan memaknai pluralisme itu sendiri.

Berbicara mengenai film, pasti berkaitan dengan penonton yang memaknai maksud, bahasa, maupun ideologi yang disampaikan. Teks media mendapatkan makna hanya pada saat penerimaan (resepsi), yaitu pada saat mereka dibaca, dilihat dan didengarkan. Dengan kata lain, penonton dilihat sebagai produser makna dan bukan hanya konsumen konten media. Penonton menginterpretasikan


(8)

teks media sesuai dengan latar belakang budaya dan pengalaman subyektif yang mereka alami dalam kehidupan. Sehingga satu teks media akan menimbulkan banyak makna dalam sebuah teks yang sama. Setiap teks mengandung ideologi yang menjadikan pentingnya kajian resepsi. Atas dasar inilah peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai interpretasi penonton terhadap pluralisme dalam film Cin(T)a.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film Cin(T)a ?”

1.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup dapat lebih jelas, terarah serta tidak mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:

1. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi analisis resepsi.

2. Penelitian ini terbatas hanya pada orang-orang yang pernah menonton film Cin(T)a.

3. Penelitian ini akan mulai dilakukan pada bulan Februari 2013 hingga selesai.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui interpretasi yang diberikan penonton terhadap pluralisme dalam film Cin(T)a.

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah peneliti dan pembaca mengenai kajian resepsi.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca agar lebih memahami pemaknaan suatu media.


(9)

3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Depertemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan.


(1)

beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.”

Hal inilah yang mengundang protes keras serta penolakan dari para pemuka dan organisasi keagamaan.Di Indonesia khususnya, dominasi penolakan dan perdebatan seputar pluralisme tersebut datang dari kaum fundamentalis Islam dan Kristen.Mereka mencurigai adanya bahaya pluralisme yang dianggap sebagai agendadari pihak-pihak tertentu.Menurut mereka, pluralisme akan memudahkan terjadinya proses liberalisme sosial politik, sehingga menyebabkan wilayah agamapun pada gilirannya dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan. Melalui paham pluralisme tersebut wilayah yuridiksi serta nilai-nilai keagamaanakan direduksi, dimarjinalkan dan didomestikkan sedemikian rupa. Sehingga pada akhirnya hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling pribadi.

Perbedaan dalam memaknai pluralisme ini akhirnya membawa kepada perdebatan dan pertentangan dua kubu.Satu memperjuangkan toleransi, satu membela kemurnian.Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa inti polemik selama ini terletak pada perbedaan interpretasi kata pluralisme itu sendiri.Maka wajarlah pluralisme mendapat dukungan sekaligus penolakan karena maknanya sendiri masih bias dan belum mampu dirumuskan dengan pemahaman yang satu. Media massa dalam masyarakat pluralis memainkan peranan yang sangat signifikan, baik dalam hal penyebarluasan informasi kepada khalayak maupun dalam hal penumbuhan citra (image building). Dengan kedua muatan ini, media massa bekerja dan mengembangkan wacana. Pengembangan wacana oleh media massa dapat diamati melalui bagaimana bentuk-bentuk isi media seperti berita, film, musik ataupun sinetron yang dikemas ke dalam konstruksi tertentu yang dalam konteks masyarakat pluralis melibatkan berbagai persoalan penting seperti suku bangsa, budaya dan agama.

Film adalah salah satu media komunikasi massa yang sangat besar pengaruhnyaterhadap masyarakat. Film juga merupakan bentuk pesan yang terdiri dari berbagai tandadan simbol yang membentuk sebuah sistem makna sehingga bisa diinterpretasikan olehorang secara berbeda-beda, tergantung kepada referensi dan kemampuan berpikir orangtersebut.Sebagai media massa, film digunakan


(2)

sebagai media yang merefleksikan realitas atau bahkan membentuk realitas.Film mengkomunikasikan pesan dari pembuat film (film maker) kepada penonton (audience).

Sebagai sebuah media, film tentunya mewakili pandangan-pandangan yang dimiliki oleh kelompok tertentu, termasuk ideologi serta gagasan yang dibawa oleh kelompok tersebut.Hal ini menjadi sangat esensial, karena dalam penyampaiannya, film menyampaikan ideologi dengan lebih halus serta memiliki unsur paksaan.Hal itu dikarenakan ketika kita menonton film, komunikasi yang terjadi lebih bersifat satu arah. Kita sebagai penonton akan disuguhi berbagai macam informasi yang ada dan ditampilkan dalam film sehingga tanpa sadar diharuskan untuk ‘menelan’ segala macam informasi yang disajikan dalam film tersebut. Lebih tepatnya pesan-pesan bermuatan ideologis yang berasal dari pembuatnya.

Film kerap digunakan sebagai penyebar berbagai kepentingan dan ideologi karena dianggap memiliki jangkauan, realisme, pengaruh emosional dan popularitas yang hebat.Film merupakan media yang paling cepat ditangkap oleh khalayak karena sifatnya yang audio visual.Oleh karena itu, pesan-pesan yang terdapat pada film akan dengan mudah ditangkap oleh khalayak dan diinterpretasikan.

Dalam aspek jangkauan, film mampu menjangkau jutaan (bahkan puluhan juta) audiens didunia dalam waktu yang sangat singkat.Disamping itu, film juga memiliki kemampuan untuk memanipulasi realitas (kenyataan) yang sebenarnya dalam bentuk efek-efek videografi tanpa kehilangan kredibilitasnya.

Dunia perfilman saat ini telah mampu merebut perhatian masyarakat. Lebih-lebih setelah berkembangnya teknologi komunikasi massa yang dapat memberikan konstitusi bagi perkembangan dunia perfilman. Meskipun masih banyak bentuk-bentuk media massa lainnya, film memiliki efek eksklusif bagi para penontonnya. Dari puluhan sampai ratusan penelitian berkaitan dengan efek media massa film bagi kehidupan manusia, sehingga harus disadari media mampu mempengaruhi pikiran, sikap, dan tindakan penonton.

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar.Tentunya banyak cerita menarik yang bisa dikupas dari begitu banyak


(3)

individu.Film yang disajikan di layar lebar kini juga telah banyak disesuaikan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat kita. Film Cin(T)a adalah salah satunya.

Cin(T)aadalah sebuah film produksi Moonbeam Creationdan Sembilan Matahari Filmdi tahun 2009. Film ini menyentuh persoalan yang cukup sensitif, yaitumenyangkut percintaan yang dibalut dengan perbedaan agama.Film indie yangdisutradarai oleh Sammaria Simanjuntak dan pernah mendapatkehormatan untuk diputar di NationalFilm Theater – British Film Institute London ini, berani menampilkan beberapa testimoni dari pasanganbeda agama yang menjelaskan keharmonisan mereka walaupun hidupdengan memegang keyakinan masing-masing, sehingga menambah daya tarik tersendiri dari film ini.

Film yang meraih penghargaan skenarioasli terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) ini, juga mencoba menyampaikan pesan-pesan yang menarik mengenai pluralisme, khususnya pluralisme agama.Pesan-pesan tersebut tertuang jelas dalam setiap adegan dan percakapan dalam film ini. Sebagai contoh, di salah satu adegan saat Annisa dan Cina sedang makan bersama, doa yang Annisa baca sebelum makan adalah “Tuhan yang disebut dengan berbagai nama, dan disembah dengan berbagai cara”. Hebatnya lagi, film ini tidak segan menampilkan penggalan dialog yang secara jelas menggugat Tuhan seperti "Kenapa Tuhan nyiptain kita beda-beda kalau Tuhan hanya ingin disembah dengan satu cara?". Selama 79 menit film ini membahas secara gamblang perbedaan antara Cina dan Annisa.Cina (diperankan oleh Sunny Soon) adalah mahasiswa baru ber-etnis Batak Cina. Cina tumbuh menjadi seorang remaja yang lugu tapi ia yakin bisa mewujudkan impiannya dengan modal tekad yang kuat. Annisa (diperankan oleh Saira Jihan), mahasiswi muslimah 24 tahun ber-etnis Jawa yang kuliahnya terhambat oleh kariernya di industri perfilman. Ketenaran dan kecantikan membuatnya kesepian,sehingga ia bersahabat dengan jari bermuka sedih, yaitu teman imajiner yang ia ciptakan.

Dialog-dialog mengenai konsep Tuhan menurut sudut pandang Cina dan Anissa yang dalam film ini dinyatakan sebagai the unpredictable character dikemas dengan dialog yang santai tanpa konflik, namun sarat makna.Hal yang juga membuat film ini bertambah istimewa adalah kehadirannya di tengah


(4)

banyaknya pro dan kontra mengenai pluralisme.Apalagi setelahMUI (Majelis Ulama Indonesia) memberikan fatwa haram terhadap pluralisme padatahun 2005 yang lalu.

Film ini layak diteliti karena beberapa keunikan yang dimilikinya.Tema yang diangkat masih jarang ditemui pada film-film kebanyakan.Berani menyentuh ranah pluralisme, khususnya pluralisme agama yang di Indonesia sendiri masih tabu untuk memperbincangkannya.

Walau sekarang mulai muncul beberapa film dengan genre serupa seperti 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta (2010), Tanda Tanya (2011), dan yang terbaru Cinta Tapi Beda (2012) tidak serta merta mengurangi nilai film ini. Film Cin(T)a tetap menyajikan pesan pluralisme secara berbeda. Hal ini bisa terlihat dari dari pengemasan film yang menggunakan dua konsep sinematografi (http://www.godisadirector.com).

Konsep pertama, mengingat keberadaan Tuhan sangat subjektif pada setiap orang, Sammaria meletakkan penonton pada 'sudut pandang Tuhan'.Reaksi penonton pada film mencerminkan persepsi penonton itu sendiri tentang Tuhan.Konsep kedua, Sammaria menggunakan konsep ‘dunia hanya milik berdua, sedangkan yang lainoff - frame.’Terlihat dengan hanya ditampilkannya dua pemeran utama di setiap scene, walaupun ada figuran hanya ditampilkan suaranya saja sedangkan wajah mereka selalu disembunyikan.Di satu sisi film ini juga tidak ‘banjir’ romansa dan merupakan pelopor film dengan tema ’beda agama’.

Kehadiran film ini juga serta merta ‘menyentil’ masyarakat Indonesia yang mulai nyaman dengan bauran perbedaan sejak digadang oleh Gus Dur di masa pemerintahannya.Wacana pluralisme yang mulai ‘dingin’, kembali memanas hingga menuai perdebatan dan kontroversi di tengah masyarakat.Perlu disadari bahwa perdebatan yang terjadi, bermuara dari perbedaan memaknai pluralisme itu sendiri.

Berbicara mengenai film, pasti berkaitan dengan penonton yang memaknai maksud, bahasa, maupun ideologi yang disampaikan. Teks media mendapatkan makna hanya pada saat penerimaan (resepsi), yaitu pada saat mereka dibaca, dilihat dan didengarkan. Dengan kata lain, penonton dilihat sebagai produser makna dan bukan hanya konsumen konten media. Penonton menginterpretasikan


(5)

teks media sesuai dengan latar belakang budaya dan pengalaman subyektif yang mereka alami dalam kehidupan. Sehingga satu teks media akan menimbulkan banyak makna dalam sebuah teks yang sama. Setiap teks mengandung ideologi yang menjadikan pentingnya kajian resepsi. Atas dasar inilah peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai interpretasi penonton terhadap pluralisme dalam film Cin(T)a.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film Cin(T)a ?”

1.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup dapat lebih jelas, terarah serta tidak mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:

1. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi analisis resepsi.

2. Penelitian ini terbatas hanya pada orang-orang yang pernah menonton film Cin(T)a.

3. Penelitian ini akan mulai dilakukan pada bulan Februari 2013 hingga selesai.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui interpretasi yang diberikan penonton terhadap pluralisme dalam film Cin(T)a.

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah peneliti dan pembaca mengenai kajian resepsi.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca agar lebih memahami pemaknaan suatu media.


(6)

3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Depertemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan.