Hubungan Badan Pengusahaan dan Pemerintah Kota Batam dalam Pengelolaan Pemerintahan di Kota Batam

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik,
demikian bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945. Ini berarti bahwa negara yang
bersusunan negara kesatuan, maka segenap kekuasaan/kewenangan serta
tanggung jawab pelaksanaan pemerintahan guna mewujudkan kesejahteraan dan
kelangsungan hidup bangsa berada dibawah kendali satu pemegang kekuasaan
terpusat yang terdapat pada pemerintah pusat.
Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat
kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22
tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 yang dalam perkembangannya kebijakan
ini diperbaharui dengan dikeluarkannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33
tahun 2004. Kedua UU ini mengatur tentang Pemerintahan Daerah dan
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Kebijakan ini merupakan tantangan dan peluang bagi Pemerintah Daerah (Pemda)
dikarenakan pemda memiliki kewenangan lebih besar untuk mengelola sumber
daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.
Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan kemandirian

daerah. Pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar
aspirasi masyarakat (UU No. 32 tahun 2004). Inti hakekat otonomi adalah adanya
kewenangan daerah, bukan pendelegasian.
Pengelolaan Kota Batam dapat menimbulkan permasalahan karena adanya
dua organisasi pemerintah, yaitu Badan Otorita Batam dan Pemerintah Kota
Batam. Kedua organisasi ini memiliki landasan hukum yang kuat dalam
menjalankan kewenangannya mengelola kota Batam. Badan Otorita Batam
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 41 tahun 1973. Oleh karena
pertambahan jumlah penduduk semakin tinggi maka pemerintah pusat membentuk
kotamadya Batam pada tahun 1983 dengan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun

Universitas Sumatera Utara

1983. Tugas pemerintah kota saat itu adalah untuk melayani warga masyarakat
yang ada di Pulau Batam dan sekitarnya. Tugas pembangunan dijalankan oleh
Badan Otorita Batam.
Pada 1999 terbitlah Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah. Dengan berlakunya undang-undang tersebut maka sejumlah daerah
berpeluang untuk dimekarkan menjadi daerah otonom. Salah satunya adalah Kota

Batam yang terbentuk berdasarkan HU No. 53 tahun 1999. Devas dan Rakodi ahli
manajemen perkotaan mengatakan bahwa banyaknya aktor yang terlibat dalam
pengelolaan kota dapat mengakibatkan konflik.
Menurut teori Louis Pondy, konflik dapat terjadi karena perbedaan
kepentingan, perbedaan pandangan, dan tujuan-tujuan atau juga karena perebutan
sumber daya alam.
Dengan demikian corak pemerintahan yang demikian cenderung bersifat
sentralisasi. Berbeda halnya dengan negara bersusunan serikat (federasi) dimana
corak pemerintahannya lebih cenderung bersifat desentralisasi.
Wilayah negara Republik Indonesia sedemikian luasnya dan didiami
berbagai suku bangsa yang beranekaragam (Bhineka Tunggal Ika) serta diperkaya
lagi dengan latar belakang sejarah perjuangan dalam melepaskan diri dari
belenggu

kekuasaan

penjajahan

bangsa


selama

berabad-abad

lamanya,

menyebabkan corak pemerintahan sentralisasi bukanlah merupakan tipe ideal
sistem pemerintahan yang cocok buat mengatur wilayah dan penduduk yang
demikian banyak dan beragam itu.
Para pendiri negara (founding fathers) kita menyadari keadaan alamiah
yang terdapat dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam tersebut. Dalam
menyikapi heterogenitas bangsa tersebut maka diaturlah masalah corak
pemerintahan di Indonesia berdasarkan sistem pembagian kekuasaan antara
pemerintah pusat dengan kelompok-kelompok masyarakat didaerah yang akhirnya
menciptakan Pemerintahan Daerah berdasarkan sistem desentralisasi sebagaimana
yang tercermin dalam Pasal 18 UUD 1945.
Secara ketatanegaraan pengertian desentralisasi adalah dimaksudkan untuk
menggambarkan usaha dalam melepaskan diri dari pusat pemerintahan dengan
jalan penyerahan kekuasaan pemerintahan dari pemerintah pusat atau pemerintah


Universitas Sumatera Utara

daerah tingkat atasan kepada daerah-daerah untuk dapat mengurus kepentingan
rumah tangga daerah itu sendiri. Dalam hal ini sudah tentu usaha untuk
melepaskan diri dari pusat bukanlah berarti lepas sama sekali dari ikatan negara
(apalagi dalam negara Indonesia), melainkan dengan diserahkannya beberapa
kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah-daerah dimaksudkan agar tidak
terlalu bergantung sama sekali kepada pusat. 1
Dengan

dilaksanakannya

desentralisasi

sebagai

suatu

asas


penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam susunan negara Indonesia maka
akan melahirkan wewenang atau kekuasaan dan hak kepada masyarakat didaerahdaerah untuk mengurus sendiri-sendiri urusan yang bersifat khas (spesifik)
sebagai urusan/kekuasaan yang menjadi urusan rumah tangga daerahnya tanpa
perlu diatur lagi oleh Pemerintah Pusat yang pada perkembangan selanjutnya
menurunkan pengertian otonomi daerah.
Pada awalnya Batam dikembangkan oleh pihak Badan Otorita Batam
selanjutnya disebut BO. Batam dan telah berkembang menjadi pusat industri,
perdagangan, alih kapal (transshipment) dan pariwisata di kawasan Asia
Tenggara. Seluruh proses perizinan investasi telah dilakukan dibawah satu atap
yaitu di Batam Industrial Development Authority (BIDA) atau Badan Otorita
Pengembangan Industri Batam. Tetapi dengan diberlakukannya Otonomi Daerah
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka Batam di kelola oleh Pemerintah
Kotamadya yang menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 53 Tahun 1999, yaitu dengan penetapan Kota Batam serta pembentukan
kabupaten dan kecamatan serta pembentukan Provinsi Kepulauan Riau kemudian
sebagai pemekaran dari Provinsi Riau sebelumnya.
Mengingat pada saat berlakunya undang-undang ini penyelenggaraan
sebagian tugas dan wewenang ada pada pihak Badan Pengusahaan Batam
selanjutnya disingkat BP. Batam, maka dalam rangka mendudukan tugas, fungsi

dan kewenangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
diperlukan pengaturan hubungan kerja antara Pemerintah Kota dan Otorita untuk
1

Faisal Akbar Nasution, 2003. Dimensi Hukum Dalam Pemerintahan Daerah, Medan: Pustaka
Bangsa Press, hal. 5.

Universitas Sumatera Utara

menghindari terjadinya tumpang tindih kekuasaan dan kewenangan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Batam.
Dengan adanya UUD 1945 merupakan negara yang berdasarkan atas
hukum sehingga tidak berdasarkan kekuasaan semata. Pemerintah yang
berdasarkan atas sistem konstitusi, tidak bersifat absolutisme. Dengan demikian
maka kebijaksanaan Pemerintah Pusat untuk menyerahkan sebagian urusanurusannya untuk menjadi kewenangan. Daerah, garis-garis besarnya diserahkan
melalui peraturan-peraturan perundang-undangan 2
Masalah kewenangan, tentu tidak dapat dilepaskan dari konsep kekuasaan.
Bentuk-bentuk kekuasaan pada dasarnya bisa berupa influence (pengaruh) yakni
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar mengubah sikap dan
perilakunya secara sukarela; persuasion (persuasi) yakni kemampuan meyakinkan

orang lain dengan argumentasi untuk melakukan sesuatu; manipulation
(manipulasi), yaitu penggunaan pengaruh dalam hal ini yang dipengaruhi tidak
menyadari bahwa tingkah lakunya sebenarnya mematuhi keinginan pemegang
kekuasaan; coercion yakni peragaan kekuasaan atau ancaman paksaan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain agar
bersikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi; dan force
yaitu penggunaan tekanan fisik, seperti membatasi kebebasan menimbulkan rasa
sakit ataupun membatasi pemenuhan kebutuhan biologis terhadap pihak lain agar
melakukan sesuatu. 3
Salah satu bentuk dari kekuasaan adalah kewenangan. Namun keduanya
memiliki perbedaan pada dimensi keabsahan (legitimasi). Jika kekuasaan tidak
selalu harus diikuti oleh legitimasi atau keabsahan, maka kewenangan adalah
kekuasaan yang memiliki keabsahan (legitimate power) 4artinya kewenangan
merupakan kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak selalu berupa kewenangan.
Apabila kekuasaan politik dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan
sumber-sumber untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan

2

Dann Sugandha, 1981, Masalah Otonomi Serta Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

di Indonesia, Bandung: Sinar Baru, hal 3-4
3
Ramlan Surbakti, Memahami ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1992, hal 57
4
Ibid. hal 85

Universitas Sumatera Utara

keputusan melaksanakan keputusan politik 5. Sedangkan yang dimaksud dengan
urusan adalah segala aktivitas yang dapat dilaksanakan sebagai hasil dari
kewenangan yang ada. Manifestasi dari kewenangan adalah adanya hak untuk
menjalankan aktivitas-aktivitas. Dengan demikian, urusan baru bisa diberikan
ketika seseorang atau sekelompok orang atau institusi tersebut tidak diberikan
kewenangan sebelumnya.
Wewenang BP. Batam Dalam Pengelolaan Kota. Meski pengelolaan
Kawasan Batam sejak Tahun 1983 telah melibatkan Pemerintah Kota
Administratif, namun BO. Batam tetap memiliki kewenangan yang sangat luas
untuk mengelola Pulau Batam dalam rangka menarik investor dalam menanamkan
modalnya di Pulau Batam.
Kewenangan tersebut meliputi penyelenggaraan dual functions, yaitu (a)

sebagian fungsi pemerintahan, berupa pemberian izin, pelayanan masyarakat,
pertanahan dan sebagainya, atas dasar pendelegasian berbagai kewenangan
Pemerintah Pusat cq. Departemen teknis terkait; (b) fungsi pembangunan, dimana
Badan Otoritas. 6
Wewenang Pemerintah Kota Batam Dalam Pengelolaan Kota yaitu: 7
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan
2. Perencanaan, pemanfaatan , dan pengawasan tata ruang
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum
5. Penanganan bidang kesehatan
6. Penyelenggaraan pendidikan
7. Penanggulangan masalah social
8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan
9. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
10. Pengendalian lingkungan hidup
11. Pelayanan pertanahan
5

Dann Sugandha, Op.Cit
http://www.pu.go.id/isustrategis/view/7, diakses tanggal 17 November 2013

7
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 14
6

Universitas Sumatera Utara

12. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil
13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan
14. Pelayanan administrasi penanaman modal
15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan
Permasalahan aktual yang muncul akibat dualisme pemerintahan Di Kota
Batam. Berdasarkan telaah terhadap lingkup wewenang kedua lembaga
pemerintahan tersebut maka dapat ditemu kenali beberapa tumpang tindih
kewenangan dalam hal-hal sebagai berikut: 8
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan
b. Perencanaan, pemanfaatan , dan pengawasan tata ruang
c. Penyediaan sarana dan prasarana umum
d. Pengendalian lingkungan hidup
e. Pelayanan pertanahan

f. Pelayanan administrasi penanaman modal
Berdasarkan uraian di atas maka tertarik memilih judul “Hubungan
Badan Pengusahaan dan Pemerintah Kota Batam dalam Pengelolaan
Pemerintahan di Kota Batam “

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka masalahnya dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah efektifitas penyelenggaraan BP. Batam terhadap Pemko
Batam pada masa otonomi daerah?
2. Bagaimanakah kewenangan Otorita yang sudah didelegasikan kepada
Pemerintah Kota Batam?

1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain:

8

http://www.bpbatam.go.id/ini/aboutBida/bida_history.jsp, diakses tanggal 17 Desember 2013

Universitas Sumatera Utara

1. Untuk mengetahui efektifitas penyelenggaraan BP. Batam terhadap Pemko
Batam pada masa otonomi daerah
2. Untuk mengetahui kewenangan Otorita yang sudah didelegasikan kepada
Pemerintah Kota Batam

1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terutama
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan baik secara teoritis maupun praktis.
Adapun manfaat dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Manfaat teoritis
Menambah pengetahuan dan pemahaman serta meningkatkkan kreativitas
penulis dalam membuat suatu karya ilmiah khususnya dalam bidang ilmu
politik.

b. Manfaat praktis
Memberikan kontribusi pemikiran dan menambah khazanah ilmu
pengetahuan serta memperbanyak referensi bagi ilmu politik sendiri
maupun proses pendidikan lainnya secara lebih komprehensif.

1.5. Kerangka Teoretis
1.5.1. Teori Desentralisasi
Shabbir cheema dan dennid a rondinelli yang berjudul “Decentralizing
Governance” chapter pertama banyak hal yang menarik didalamnya mengenai
teori desentralisasi pemeritahan yang menjelaskan teori desentralisasi, bagaimana
pengertian desentralisasi, tujuan dari desentralisasi, penjelasan pelaksanaan
desentralisasi serta hambatan dalam desentralisasi yang ditulis dari buku ini.
Pemerintah dipandang sebagai perwujudan kelembagaan kedaulatan
negara dan sebagai sumber dominan pengambilan keputusan politik dan hukum.
Di negara berkembang, perdebatan struktur, peran, dan fungsi pemerintah
difokuskan pada efektivitas kekuasaan pusat dan otoritas dalam mempromosikan

Universitas Sumatera Utara

kemajuan ekonomi dan sosial dan potensi keuntungan dan kerugian dari
desentralisasi kewenangan kepada unit subnasional administrasi, pemerintah
daerah, atau lembaga lain dari negara.
Menurut Rondinelli Desentralisasi didefinisikan sebagai pengalihan
wewenang, tanggung jawab, dan sumber daya-melalui dekonsentrasi, delegasi,
atau devolusi dari pusat ke tingkat yang lebih rendah dari administrasi. 9 Sebagai
konsep desentralisasi berkembang selama setengah abad terakhir, telah diambil
makna semakin beragam dan bervariasi, tujuan, dan bentuk. Pertama pascaPerang Dunia berpikir II tentang desentralisasi, pada 1970-an dan 1980-an,
berfokus pada dekonsentrasi struktur pemerintahan hirarkis dan birokrasi. Kedua
desentralisasi, dimulai pada pertengahan 1980-an, memperluas konsep untuk
memasukkan pembagian kekuasaan politik, demokratisasi, dan liberalisasi pasar,
memperluas ruang lingkup untuk pengambilan keputusan sektor swasta. Selama
tahun 1990-an desentralisasi dipandang sebagai cara membuka pemerintahan
dengan partisipasi publik yang lebih luas melalui organisasi masyarakat sipil.
Menurut Rondinelli sampai akhir 1980-an pemerintah menemukan tiga
bentuk utama desentralisasi: dekonsentrasi, devolusi, dan delegation. 10
1. Dekonsentrasi bertujuan untuk mengalihkan tanggung jawab administrasi
dari kementerian pusat dan departemen untuk tingkat administrasi regional
dan lokal dengan mendirikan kantor perwakilan departemen nasional dan
mentransfer beberapa kewenangan untuk pengambilan keputusan kepada
staf lapangan regional.
2. Devolusi bertujuan untuk memperkuat pemerintah daerah dengan
memberikan mereka otoritas, tanggung jawab, dan sumber daya untuk
menyediakan layanan dan infrastruktur, melindungi kesehatan dan
keselamatan masyarakat, serta merumuskan dan melaksanakan kebijakan
lokal.
3. Delegasi,

bertujuan

otoritas

pemerintah

nasional

bergeser

untuk

manajemen fungsi-fungsi khusus untuk organisasi semiotonomi atau
9

Rondinelli, Dennis, A and Chemma, G Shabbir, et 1983. Decentralization and Development:
Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publication, Beverly Hills. hal 1
10
Ibid

Universitas Sumatera Utara

parastatal

dan

BUMN,

perencanaan

regional

dan

badan-badan

pengembangan wilayah, dan otoritas publik dan multi-tujuan tunggal.
Dekonsentrasi global kegiatan ekonomi tidak hanya diberikan daerah
sumber daya baru, tetapi juga membawa tekanan baru pada pemerintah daerah
untuk membentuk tugas-tugas administratif secara lebih efektif.
Meskipun banyak negara telah bergerak menuju pemerintahan yang
demokratis, upaya mereka untuk mendesentralisasikan tidak selalu mudah atau
sukses. Menurut Rondinelli reformasi telah belajar bahwa desentralisasi bukanlah
obat mujarab untuk semua penyakit dari pemerintahan yang tidak efektif.
Percobaan sukses dalam desentralisasi telah menghasilkan banyak manfaat
diklaim oleh para pendukungnya, tetapi skeptis juga menunjukkan keterbatasan.11
Di banyak negara berkembang, desentralisasi dapat meningkatkan potensi untuk
“elit” dari pemerintah daerah atau dirusak oleh ketidakmampuan mereka untuk
meningkatkan sumber daya keuangan yang cukup untuk menyediakan layanan
secara efisien. Desentralisasi sering gagal karena rendahnya tingkat kapasitas
administrasi dan pengelolaan dalam pemerintah daerah dan organisasi masyarakat
sipil. Desentralisasi telah disertai dengan memperluas kesenjangan ekonomi dan
sosial antar daerah di beberapa negara dan peningkatan tingkat korupsi lokal dan
nepotisme dalam hal lainnya.
Menurut Guido Bertucci dan Maria Senese dalam Rondinelli melihat
dampak dari informasi teknologi komunikasi (TIK) dalam proses desentralisasi.
Setelah memeriksa tren dalam kepercayaan politik, yang menyoroti kepercayaan
diri rendah di pemerintahan, mereka menganalisis bagaimana TIK dapat
memainkan peran kunci dalam mempromosikan dan membantu proses
desentralisasi menjadi lebih efektif dan bermakna. Mereka menekankan, dengan
beberapa bukti dari studi kasus, bagaimana TIK dapat mendorong desentralisasi
dan

memperkuat

kepercayaan

masyarakat

terhadap

pemerintah

dengan

meningkatkan efisiensi, transparansi, partisipasi, dan keterlibatan warga. 12

1.5.2. Teori pertanggungjawaban keuangan daerah.
11
12

Ibid
Ibid

Universitas Sumatera Utara

Pertanggungjawaban berarti sesuatu yang dipertanggungjawabkan. Istilah
pertanggungjawaban berasal dari kata tanggungjawab. Dalam bahasa Inggris
disebut dengan istilah ”responsibility” dan istilah ”liability”.
Kedua istilah ini menurut Pinto mempunyai pengertian yang berbeda,
yaitu: Istilah responsibility ditujukan bagi adanya indikator penentu atas lahirnya
suatu tanggungjawab, yakni suatu standard yang telah ditentukan terlebih dahulu
dalam suatu kewajiban yang harus ditaati, serta saat lahirnya tanggungjawab itu.
Sedangkan istilah liability lebih menunjuk kepada akibat yang timbul dari
akibat kegagalan untuk memenuhi standard tersebut, dan bentuk tanggungjawab
diwujudkan dalam bentuk ganti kerugian dan pemulihan sebagai akibat dari
terjadinya kerusakan atau kerugian. Perbedaan antara istilah responsibility dengan
liability juga dapat dilihat: Istilah responsibility menunjukkan suatu standard
perilaku dan kegagalan memenuhi standard itu, sedangkan terminologi liability
lebih menunjukkan kepada kerusakan atau kerugian yang timbul sebagai akibat
kegagalan didalam memenuhi standard dimaksud, termasuk pula dalam hal ini
untuk pemenuhan ganti rugi dan atau pemulihan. 13
Atas dasar uraian tersebut diatas, maka tanggungjawab mempunyai 2 (dua)
arti.

Pertama,

yaitu

tanggungjawab

dalam

arti

responsibility

terhadap

tanggungjawab dalam artian ini maka tanggungjawab dititik beratkan pada
pemenuhan kewajiban oleh penerima tanggungjawab untuk memenuhi aturanaturan standard yang telah ditentukan. Tanggungjawab dalam arti liability,
tanggungjawab dalam artian ini dititik beratkan pada kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan kerugian yang diakibatkan dari tidak terpenuhinya
aturan-aturan standard yang telah ditentukan. 14
Prajudi Atmosudirjo mengatakan:
Tanggungjawab dan pertanggungjawaban dapat dibedakan dalam 3 (tiga)
batasan, yaitu: responsibility, accountability dan liability. Tanggungjawab
dalam arti responsibility adalah tanggungjawab yang berlaku antara
bawahan dan atasan. Liability menunjukkan tanggungjawab hukum atau
tanggungjawab gugat, seperti halnya penyelesaian perkara melalui
pengadilan (hukum), sedangkan tanggungjawab accountability adalah
pertanggungjawaban yang dibuat oleh mereka yang menerima kuasa atau
13

Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Op.cit, hal. 124.
Ibid

14

Universitas Sumatera Utara

mendapat kewenangan yang diterima digunakan untuk kebaikan
(kesejahteraan) mereka yang memberi kuasa (rakyat). 15
Atas dasar pengertian akuntabilitas di atas, maka istilah akuntabilitas lebih
luas pengertiannya dari istilah responsibility dan liability. Hal tersebut
dikarenakan akuntabilitas tidak hanya dititik beratkan pada pemenuhan kewajiban
oleh penerima tanggungjawab untuk memenuhi aturan-aturan standard yang telah
ditentukan (responsibility), dan juga tidak hanya dititik beratkan pada
pertanggungjawaban atas kerugian yang diakibatkan dari tidak terpenuhinya
aturan-aturan standard yang telah ditentukan (liability), melainkan suatu bentuk
pertanggungjawaban secara keseluruhan yang meliputi responsibility, liability dan
ditambah dengan suatu kewajiban untuk membuktikan manajemen, pengendalian,
kinerja yang baik, yang harus dilakukan oleh pengemban tanggungjawab tersebut.
Kemudian apabila dikaitkan dengan pertanggungjawaban kepala daerah
dalam melaksanakan tugasnya, maka menurut ketentuan bunyi Pasal 17 ayat (3)
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Tugas
Pembantuan, dinyatakan bahwa:”Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan (2) memuat aspek pembiayaan, sarana dan prasarana, dan
sumber daya manusia berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Ketentuan tersebut diatas menurut Yudha Bhakti Ardhiwisastra bahwa
pada penafsiran peraturan perundang-undangan selalu harus diingat hubungannya
dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini dapat dikaji dalam
arti luas dan dalam arti sempit, maka ada 3 (tiga) ketentuan, yaitu:
1. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam arti luas hubungannya
dengan pertanggungjawaban kepala daerah yang menyangkut kriminal
(kejahatan dan pelanggaran jabatan) dalam rangka tugas pembantuan dapat
dipidana, misalnya UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
2. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam arti luas hubungannya
dengan pertanggungjawaban kepala daerah yang merugikan masyarakat

15

Prajudi Atmosudirjo, 1987, Beberapa Pandangan Umum Pengambilan Keputusan, Decision
making, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987, hal 281.

Universitas Sumatera Utara

(onrechtmatige overheidsdaad), maka pemerintah daerah atau pemerintah
pusat harus mengganti kerugian tersebut.
3. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit hanya
menurut ketentuan dalam penyelenggaraan tugas pembantuan, yaitu:
pemberhentian tugas pembantuan dapat dilakukan apabila :
a. Dalam pelaksanaannya terdapat perubahan kebijaksanaan baru dari
pemerintah, provinsi dan kabupaten
b. Berdasarkan hasil penilaian, evaluasi dan pembinaan dari pemberi
tugas pembantuan bahwa penerima tugas pembantuan tidak mampu
menyelenggarakan tugas pembantuan.
c. Penyelenggaraan tidak sesuai dengan rencana/program yang telah
ditetapkan oleh pemberi tugas pembantuan.
d. Pelaksanaan tugas pembantuan telah selesai. 16
Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan akuntabilitas publik
pengelolaan keuangan daerah yang merupakan sebuah pertanggungjawaban
administrasi dan politik, maka pertanggungjawaban kepala daerah dalam
pengelolaan keuangan daerah, dapat dikatakan bahwa tujuan umumnya adalah:
1. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam pembuatan
keputusan

ekonomi,

sosial

dan

politik

serta

sebagai

bukti

pertanggungjawaban (accountability) dan pengelolaan (stewardship).
2. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam mengevaluasi kinerja
manajerial dan organisasional. 17
Secara khusus, tujuan pertanggungjawaban keuangan daerah oleh kepala
daerah adalah sebagai berikut:
1. Memberikan informasi keuangan guna menentukan dan memprediksi
aliran kas, saldo neraca, dan kebutuhan sumber daya finansial jangka
pendek unit pemerintah.

16

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni, hal.
128.
17
Soekarwo, 2005, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip Good
Financial Governance, Surabaya: Airlangga University Press, hal. 243.

Universitas Sumatera Utara

2. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi
kondisi ekonomi suatu unit pemerintahan dan perubahan-perubahan yang
terjadi didalamnya.
3. Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kinerja, kesesuaiannya
dengan peraturan perundang-undangan, kontrak yang telah disepakati, dan
ketentuan lain yang disyaratkan.
4. Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, serta untuk
memprediksi pengaruh pemilikan dan pembelanjaan sumber daya ekonomi
terhadap pencapaian tujuan operasional.
5. Memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan
organisasional. 18
Tentang

Laporan

Penyelenggaraan

Pemerintahan

Daerah

Kepada

Pemerintah, Laporan Keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat).
APBD dapat diartikan sebagai rencana keuangan tahunan pemerintahan
daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah (Pasal 1 angka 14 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah). Penyelenggaraan
pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 (Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).
Sedangkan yang dimaksud dengan pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati,
atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah).
Adapun yang menjadi asas-asas dalam pelaksanaan otonomi daerah
sebagaimana dimaksud diatas adalah sebagai berikut:

18

Ibid. hal 44

Universitas Sumatera Utara

1. Asas desentralisasi.
Adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 7 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).
2. Asas dekonsentrasi.
Adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan / atau kepada instansi vertikal
diwilayah tertentu (Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah).
3. Tugas pembantuan.
Adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu
(Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah).

1.5.3. Good Governance
1.5.3.1 Pengertian Good Governance
Istilah “Good Governance” mulai muncul dan populer di Indonesia sekitar
tahun 1990-an. Dalam penyelenggaraan pemerintahan kita “Good Governance”
menjadi sangat penting dan strategis, mengingat kemunculannya disaat
penyelenggaraan pemerintahan Indonesia sedang mengalami distorsi terhadap
efektivitas pelayanan kepada publik.
Dalam konsep “Good Governance” atau sering disebut sebagai “tatakelola
kepemerintahan yang baik” untuk membedakan dengan “pemerintahan yang
bersih dan berwibawa” (clean government), maka “tatakelola kepemerintahan
yang baik”, sebagai kata sifat adalah “cara-cara penyelenggaraan pemerintahan
secara efisien dan efektif. 19

19

Bambang Istianto. 2011. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media. hal.
183.

Universitas Sumatera Utara

Pengertian “Good Governance” menurut Healy dan Robinson yang di
kutip Hamdi, 20mengatakan bahwa “good governance” bermakna tingkat
efektivitas organisasi yang tinggi dalam hubungan dengan formulasi kebijakan
dan kebijakan yang senyatanya dilaksanakan, khususnya dalam pelaksanaan
kebijakan ekonomi dan kontribusinya pada pertumbuhan, stabilitas dan
kesejahteraan rakyat. Pemerintahan yang baik juga bermakna akuntabilitas
transparansi, partisipasi dan keterbukaan.
Adapun

pengertian

sedarmayanti, 21“Good

“Good

Governance”

Governance”

merupakan

menurut
proses

UNDP

dalam

penyelenggaraan

kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and service
disebut governance (pemerintah atau kepemerintahan), sedangkan istilah yang
lebih populer disebut “Good Governance” (kepemerintahan yang baik). Agar
good governance dapat menjadi kenyataan dan berjalan dengan baik, maka
dibutuhkan komitmen dan keterlibatan semua pihak yaitu pemerintah dan
masyarakat. “Good governance” yang efektif menuntut adanya “aligment”
(koordinasi) yang baik dan integritas, profesional serta etos kerja dan moral yang
tinggi.
Dengan

demikian

penerapan

konsep

good

governance

dalam

penyelenggaraan kekuasaan pemerintah negara merupakan tantangan tersendiri.
Dalam memahami tentang pengertian “Good Governance” patut menjadi catatan
bagi kita agar tidak salah pengertian terhadap istilah “Good Governance” seperti
yang disampaikan oleh Tjokroamidjojo 22 yaitu sebagai berikut: sebagai suatu
pemikiran kontemporer banyak kesalahmengertian, “Good Governance” sering di
artikan sebagai “Clean Government”, Good Government bahkan pemerintahan
yang bersih dan berwibawa, memang tidak difungkiri “good governance” mulai
berkembang dari

perhatian

terhadap

“Clean

Government”

dan

“Good

Government”.

20

Muchlis Hamdi. 2003. Bunga Rampai Pemerintahan. Jakarta: Yarsif Watampone. hal. 54
Sedarmayanti. 2003. Good Governance; Kepemerintahan Yang Baik Dalam Rangka Otonomi
Daerah. Bandung: Mandar Maju. hal.2
22
Bintoro Tjokroamidjojo. 2001. Good Governance, Paradigma Baru Ilmu Pemerintahan.
Jakarta: ISBM. hal 13.
21

Universitas Sumatera Utara

Dari beberapa pengertian mengenai “Good Governance” dan juga
karakteristik Good Governance”, terdapat beberapa kesamaan dalam tuntutan
serta sistem politik demokratis terutama yang meliputi; rule of law, transparansi,
accountability, konsensus. Dari segi masing-masing tersebut adalah seiring
dengan arti dan makna demokrasi sehingga sistem politik yang demokratis dapat
terwujud maka akan membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memiliki
tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik, teratur dan tertib.

1.5.3.2 Prinsip-prinsip Good Governance
Word Bank maupun UNDP mengembangkan istilah baru yaitu
”governace” sebagai pendamping kata ”government”. Istilah tersebut sekarang
sedang sangat populer digunakan dikalangan akademisi maupun masyarakat luas.
Kata ”governace” kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dalam
berbagai kata. Ada yang menterjemahkan menjadi ”tata pemerintahan”, ada pula
yang menterjemahkan menjadi ”kepemerintahan”. 23
Perubahan penggunaan istilah dengan pengertiannya akan mengubah
secara mendasar pratek-pratek penyelenggaraan pemerintahan di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia. Perubahannya akan mencakup tiga dimensi yaitu dimensi
struktural, dimensi fungsional serta dimensi kultural. Perubahan struktural
menyangkut struktur hubungan antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan
daerah, struktur hubungan antara eksekutif dan legislatif maupun struktur
hubungan

antara

pemerintah

dengan

masyarakat.

Perubahan

fungsional

menyangkut perubahan fungsi-fungsi yang dijalankan pemerintah pusat,
pemerintah

daerah

maupun

masyarakat.

Sedangkan

perubahan

kultural

menyangkut perubahan pada tata nilai dan budaya-budaya yang melandasi
hubungan kerja intraorganisasi, antarorganisasi maupun eksraorganisasi. 24
United Nation Development Programe (UNDP), memberikan batasan pada
kata governance sebagai “pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan
administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa”. Governance dikatakan
23

Sadu Wasistiono, 2007. Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqprint,
Bandung: Jatinangor, hal. 27.
24
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

baik (good atau sound) apabila sumber daya publik dan masalah-masalah publik
dikelola secara efektif dan efisien, yang merupakan respon terhadap kebutuhan
masyarakat. Tentu saja pengelolaan yang efektif dan efisien dan responsive
terhadap kebutuhan rakyat menuntut iklim demokrasi dalam pemerintahan,
pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan masalah-masalah publik yang
didasarkan pada keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, serta transparan.
Governance

berarti

pelaksanaan

pemerintahan.

Ini

berarti

good

governance adalah pemerintahan yang baik (lembaga), sedangkan (good
governance) adalah pelaksanaan pemerintahan yang baik (penyelenggaraannya).
Clean government mengandung arti pemerintahan yang bersih (lembaga),
sedangkan Clean government berarti pelaksanaan pemerintahan yang bersih.
Baik buruknya suatu pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan
dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance sebagaimana tersebut di
bawah ini. 25

1. Partisipasi (Participation)
Sebagai pemilik kedaulatan rakyat, setiap warga negara mempunyai hak
dan kewajiban untuk mengambil bagian dalam bernegara, berpemerintahan serta
bermasyarakat. Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun
melalui institusi intermediasi seperti DPRD, LSM dan lain sebagainya. Partisipasi
rakyat warga negara dilakukan tidak hanya pada tahapan implementasi, tetapi
secara menyeluruh mulai dari tahapan penyusunan kebijakan, pelaksanaan,
evaluasi serta pemanfaatan hasil-hasilnya. Syarat utama warga negara disebut
transparansi dalam kegiatan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan, yaitu :
a. Ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan)
b. Ada keterlibatan secara emosional
c. Memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari
keterlibatannya.

25

Sadu Wasistiono, 2002, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqaprint
Jatinangor, Bandung, hal. 27, lihat juga dalam Agung Hendarto, nazar Suhendar (eds), Good
government dan Penguatan Institusi Daerah, Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), hal 2-3.

Universitas Sumatera Utara

2. Penegakan Hukum (Rule of Law)
Good governance dilaksanakan dalam rangka demokratisasi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Salah satu syarat kehidupan demokratisasi adalah
adanya penegakan hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. Tanpa
penegakan hukum yang tegas, tidak akan tercipta kehidupan yang demokratis,
melainkan anarki. Tanpa penegakan hukum, orang secara bebas berupaya
mencapai tujuannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain,
termasuk menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, langkah awal penciptaan
good governance adalah membangu sistem hukum yang sehat, baik perangkat
lunak (software), perangkat keras (hardware) maupun sumber daya manusia yang
menjalankan sistemnya (human ware).

3. Transparansi (Transparancy)
Salah

satu

karakteristik

good

governance

adalah

keterbukaan.

Karakteristik ini sesuai dengan semangat zaman yang serba terbuka akibat adanya
revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup semua aspek aktivitas yang
menyangkut kepentingan publik mulai dari proses pengambilan keputusan,
penggunaan dana-dana publik sampai pada tahap evaluasi.

4. Daya Tanggap (Responsiveness)
Sebagai konsekwensi logis dari keterbukaan, maka setiap komponen yang
terlibat dalam proses pembangunan good governance perlu memiliki daya tanggap
terhadap keinginan maupun keluhan para pemegang saham (satake holder).
Upaya peningkatan daya tanggap tersebut terutama ditujukan pada sektor publik
yang selama ini cendrung tertutup, arogan serta berorientasi pada kekuasaan.
Untuk mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh
sektor publik, secara periodik perlu dilakukan survey tingkat kepuasan konsumen
(custumer satisfaction).

5. Berorientasi pada Konsenseus (Consensus Orientation)
Kegiatan bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat pada dasarnya
adalah kreatifitas politik, yang berisi dua hal utama yaitu konflik dan konsensus.

Universitas Sumatera Utara

Di dalam good governance, pengambilan keputusan maupun pemecahan masalah
bersama lebih diutamakan berdasarkan konsensus, yang dilanjutkan dengan
kesedian untuk konsisten melaksanakan konsensus yang telah diputuskan
bersama. Konsensus bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru, karena
nilai dasar kita dalam memecahkan persoalan bangsa adalah melalui
“musyawarah”.

6. Keadilan (Equity)
Melalui prinsip good governance, setiap warga negara memiliki
kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi karena
kemampuan masing-masing warga negara berbeda-beda, maka sektor publik perlu
memainkan peranan agar kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan seiring
sejalan.

7. Keefektifan dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)
Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam percaturan dunia, kegiatan
domain dalam governance perlu mengutamakan efektivitas dan efisiensi dalam
setiap kegiatan. Tekanan perlunya efektivitas dan efisiensi terutama ditujukan
pada sektor publik karena sektor ini menjalankan aktivitasnya secara
monopolistik. Tanpa adanya kompetensi tidak akan tercapai efisiensi.

8. Akuntabilitas (Accountability)
Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik perlu
mempertanggungjawabkan kepada publik. Tanggung gugat dan tanggung jawab
tidak hanya diberikan kepada atasan saja melainkan juga pada para pemegang
saham (stake holder), yakni masyarakat luas. Secara teoritis, akuntabilitas itu
sendiri dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu sebagai berikut :
a. Akuntabilitas Organisasional / administratif.
b. Akuntabilitas legal
c. Akuntabilitas politik
d. Akuntabilitas profesional
e. Akuntabilitas moral

Universitas Sumatera Utara

1.5.3.3 Good Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Dalam perkembangan dewasa ini kebijakan pemerintah ke arah
penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik sudah mulai dilakukan dengan
diawali dengan desentralisasi kewenangan kepada daerah kabupaten/kota melalui
UU No. 22 Tahun 1999 juga UU No. 32 Tahun 2004 beserta peraturan
pemerintahannya.
Oleh karena itu dalam perspektif penyelenggaraan pemerintahan terjadi
perubahan yang cukup signifikan menuju terwujudnya “Good Governance”.
Demikian pula tujuan kebijakan otonomi daerah di Indonesia tersebut di atas
dalam perspektif pendayagunaan aparatur negara pada hakekatnya adalah
memberikan kesempatan yang luas bagi daerah untuk membangun struktur
pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan responsif terhadap
kepentingan masyarakat luas; membangun sistem pola karir politik dan
administrasi yang kompetitif; mengembangkan sistem manajemen pemerintahan
yang efektif; meningkatkan efisiensi pelayanan publik di daerah, serta
meningkatkan transparansi pengambilan kebijakan dan akuntabilitas publik, pada
akhirnya diharapkan terciptanya kepemerintahan yang baik (Good Governance).

1.5.4 Teori Otonomi Daerah
1.5.4.1 Pengertian Otonomi Daerah
Seperti dikatakan oleh Mark Turne, ‘desentralisasi merupakan salah satu
konsep di dalam ilmu sosial yang memiliki banyak makna disepanjang waktu’.
Pemaknaan yang beragam ini tidak lepas dari banyaknya aplikasi disiplin dan
perspektif di dalam ilmu sosial yang concern terhadap studi mengenai
desentralisasi. 26
Otonomi bila kita tinjau dari segi etimologisnya berasal dari dua kata
dalam bahasa yunani, yakni kata “auto” yang berarti sendiri dan “nomos” yang
berarti undang-undang atau peraturan. Selanjutnya istilah ini berkembang menjadi
terminology “pemerintahan sendiri” atau mengatur dengan “undang-undang

26

Ibid

Universitas Sumatera Utara

sendiri”. Lalu beberapa ahli mencoba menarik sebuah definisi otonomi yang
diartikan sebagai “pemberian hak dan kekuasaan perundang-undangan untuk
mengatur rumah tangganya sendiri kepada instansi, perusahaan, daerah atau
“kebebasan atas kemandirian, bukan kemerdekaan”.
Sementara istilah “daerah” itu memiliki arti yang cukup luas yakni sebagai
“bagian permukaan bumi dalam kaitannya dengan keadaan alam dan sebagainya
yang khusus; Lingkungan pemerintahan; Wilayah; selingkungan kawasan, tempattempat sekeliling atau yang termasuk dalam lingkukangan suatu kota (wilayah dan
sebagainya); tempat-tempat dalam suatu lingkungan yang sama keadaannya
(iklimnya, hasilnya dan sebagainya); tempat-tempat yang terkena peristiwa yang
sama; bagian permukaan tubuh” 27
Lalu keterkaitan antara kedua kata tersebut yakni otonomi dan daerah
adalah merupakan dua buah kata yang sering dipakai secara bersamaan. Ini
disebabkan karena menurut Sumitro Maskun: “pengertian otonomi dalam lingkup
suatu Negara selalu dikaitkan dengan daerah atau pemerintahan daerah (local
government). Otonomi dalam pengertian ini, selain berarti mengalihkan
kewenangan dari pusat (central government) ke daearah, juga berarti menghargai
atau mengefektifkan daerah kewenangan asli yang sejak semula tumbuh dan
hidup di daerah untuk melengkapi system prosedur pemerintahan negara di
daerah”.
Dengan demikian otonomi daerah secara istilah dapat dirumuskan sebagai
sebuah kondisi dimana kewenangan daerah dijunjung tinggi dan mendapat tempat
yang strategis dalam arti pemerintah daerah sama sekali tidak mengalami proses
intervensi yang dapat mengganggu kewenangannya tersebut dan untuk mengatur
wilayahnya dalam lingkup kewenangannya itu 28
Bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian tetapi
bukan kemerdekaan. Menurutnya Kebebasan terbatas atau kemandirian itu adalah
wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Secara implisit
27

Kamisa, 1997, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kartika, Surabaya, hal. 116, Dalam, Politeia
Jurnal Ilmu Politik Volume 2, Husnul Isa Harahap, Militer Dan Politik;Otonomi Daerah Dan
Pengaruhnya Terhadap Hubungan Sipil-Militer Di Daerah, Penerbit Kerjasama Departemen Ilmu
Politik dan Laboratorium Politik FISIP USU, Medan, 2006, hal. 20
28
Husnul Isa Harahap. 2006. Jurnal Ilmu Politik; Militer Dan Politik, Vol. II, No 2, Departemen
Ilmu Politik dengan Laboratorium Politik FISIP USU.

Universitas Sumatera Utara

definisi otonomi tersebut mengandung dua unsur, yaitu : Adanya pemberian tugas
dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta kewenangan untuk
melaksanakannya; dan Adanya pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk
memikirkan dan menetapkan sendiri berbagai penyelesaian tugas itu.
Dalam kaitannya dengan kewajiban untuk memikirkan dan menetapkan
sendiri bagaimana penyelesaian tugas penyelenggaraan pemerintahan, batasan
otonomi sebagai “…kebebasan bergerak yang diberikan kepada daerah otomom
dan memberikan kesempatan kepadanya untuk mempergunakan prakarsanya
sendiri dari segala macam keputusannya, untuk mengurus kepentingankepentingan umum.”
Dari berbagai batasan tentang otonomi daerah tersebut diatas, dapat
dipahami bahwa sesungguhnya otonomi merupakan realisasi dari pengakuan
pemerintah bahwa kepentingan dan kehendak rakyatlah yang menjadi satusatunya

sumber

untuk

menentukan

pemerintahan

negara.

Memberikan

kemungkinan yang lebih besar bagi rakyat untuk turut serta dalam mengambil
bagian dan tanggung jawab dalam proses pemerintahan”. bahwa otonomi
mengandung tujuan-tujuan,yaitu: Pembagian dan pembatasan kekuasaan.Salah
satu persoalan pokok dalam negara hukum yang demokratik, adalah bagaimana
disatu pihak menjamin dan melindungi hak-hak pribadi rakyat dari kemungkinan
terjadinya hal-hal yang sewenang-wenang.
Dengan memberi wewenang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri, berarti pemerintah pusat membagi kekuasaan yang
dimiliki dan sekaligus membatasi kekuasaanya terhadap urusan-urusan yang
dilimpahkan kepada kepala daerah.
Efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Adalah
terlalu sulit bahkan tidak mungkin untuk meletakkan dan mengharapkan
Pemerintah Pusat dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya terhadap segala
persoalan apabila hal tersebut bersifat kedaerahan yang beraneka ragam coraknya.
Oleh sebab itu untuk menjamin efisiensi dan efektivitas dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya, kepada daerah perlu diberi wewenang untuk turut serta
mengatur dan mengurus pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam lingkungan

Universitas Sumatera Utara

rumah tangganya, diharapkan masalah-masalah yang bersifat lokal akan mendapat
perhatian dan pelayanan yang wajar dan baik.
Pembangunan-pembangunan adalah suatu proses mobilisasi faktor-faktor
sosial, ekonomi, politik maupun budaya untuk mencapai dan menciptakan
perikehidupan sejahtera. Dengan adanya pemerintahan daerah yang berhak
mengatur dan mengurus urusan dan kepentingan rumah tangga daerahnya,
partisipasi rakyat dapat dibangkitkan dan pembangunan benar-benar diarahkan
kepada kepentingan nyata daerah yang bersangkutan, karena merekalah yang
paling mengetahui kepentingan dan kebutuhannya.

1.5.4.2 Dimulainya Reformasi Otonomi Daerah
Reformasi yang ada saat ini di bidang politik dan pemerintahan
melahirkan agenda dan kesepakatan naional baru dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Hal ini kemudian menerbitkan TAP MPR No.
XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan; dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka NKRI, mengawali paradigma baru
tatanan pemerintahan daerah. Dari semangat TAP MPR No. XV/1998 tersebut
dapat dilihat beberapa aspek penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu :
a) Pembangunan daerah sebagai bagian integral pembangunan nasional,
melalui otonomi daerah, pengaturan sumber daya nasional yang
berkeadilan, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
b) Otonomi daerah diberikan dengan prinsip kewenangan yang luas, nyata
dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional. Dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasioanal yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
c) Penyelengaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip demokrasi
dan memperhatikan keanekaragaman daerah.
d) Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional antara
pusat dan daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat
daerah dan bangsa secara keseluruhan.

Universitas Sumatera Utara

e) Pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara efektif dan efisien,
bertanggung jawab, transparan, terbuka, dan dilaksanakan dengan
memberikan kesempatan yang luas kepada usaha kecil, menengah, dan
koperasi.
f) Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilaksanakan dengan
memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah
penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah.
g) Pemerintah daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan
bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan.
h) Penyelenggaraan otonomi daerah dalam kerangka mempertahankan dan
memperkokoh NKRI, dilaksanakan berdasarkan asas kerakyatan dan
berkesinambungan yang diperkuat dengan pengawasan DPRD dan
masyarakat. Dimensi otonomi daerah sedemikian ini memberika suatu
harapan bagi tercipta dan terlaksananya keadilan, demokratisasi dan
transparansi kehidupan sektor publik. Hal ini tentunya suatu lompatan jauh
bagi tertatanya masyarakat sipil yang dicita-citakan.
Paradigma baru pemerintahan daerah memberikan kewenangan luas bagi
daerah, bahkan dari kewenangan yang ada tersebut terdapat kewenangan wajib
yang merupakan bagian dari tanggung jawab publik pemerintah daerah dalam
pemenuhan kebutuhan rakyat (public goods). Kesemuannya ini dilaksanakan
secara demokratis, transparan dan egaliter, yang berarti menempatkan prioritas
keragaman daerah sebagai manifestasi dari Bhineka Tunggal Ika. Dengan
demikian, maka segala sesuatu yang menyangkut program yang bersifat massal,
uniform dan sentralistis harus dieliminasi. Disamping hal tersebut, daerah menjadi
titik sentral awal gagasan dan perencanaan berbagai kegiatan pemerintahan.
Penyelenggaraan pemerintahan di daerah merupakan manifestasi dari
pemerintahaan seluruh wilayah negara. Untuk itu segala aspek menyangkut
konfigurasi kegiatan, dan karakter yang berkembang. Hal ini akan mewarnai
penyelengaraan pemerintahan secara nasional. Dengan jelas dapat dikatakan
bahwa peran dan kedudukan pemerintahan daerah sangat strategis dan sangat
menentukan secara nasional sehingga paradigma baru pemerintahan yang
terselenggara adalah berbasis daerah. Dengan berbasis daerah, pemerintah pusat

Universitas Sumatera Utara

menyelenggarakan fungsi pengarah dan penanggung jawab segala kegiatan di
daerah dengan kepercayaan sepenuhnya, sehingga persepsi lama yang sering di
dengar menyangkut egoisme sektoral akan terhapus.
Seiring dengan penyelenggaraan pemerntahan yang semakin demokratis,
di pihak lain hal ini memberikan tantangan terhadap berbagai stakeholder di
daerah. Karena konteks mengatur rumah tangga daerah, maka daerah harus
mampu merespons tugas dan perannya. Peran besar yang diikuti oleh komitmen
yang kuat, keberadaan aparatur, kekuatan sosial politik, dan semua komponen
daerah akan memberikan sinergi bagi mantapnya keberhasilan pembangunan di
daerah.
Peran besar dan perubahan konstelasi yang sangat mendasar ini harus
dipahami oleh segenap stakeholder yang meliputi jajaran aparatur, kekuatan sosial
dan kemasyarakatan, DPRD dan semua komponen daerah. Semua ini telah
menjadi tekad nasional; oleh karena itu, semangat penyelenggara pemerintahan,
respons publik, dan faktor psikologis menyangkut sense of crisis dan sense of
urgency harus ditumbuhkan dan dipelihara bagi terlaksananya hakikat dari
reformasi. Persoalan kelembagaan pemerintah daerah terkait dengan persoalan
yang terus berlangsung yang merupakan akumulasi dari gejala sebelumnya.
Tuntutan

reformasi

adalah

dimaksudkan

untuk

mengoptimalkan

kelembagaan yang ada yang pada prinsipnya mengedepankan aspek-aspek :
a) Kerangka pemerintahan negara sebagai satu sistem, bermakna suatu
kesadaran akan keterkaitan.
b) Pengembangan visi dan misi daerah, dalam kerangka visi dan misi bangsa,
dalam wadah negara kesatuan, sebagai arah yangg jelas.
c) Paradigma tatanan pemerintahan daerah, yang mewujudkan tanggung
jawab, hak dan kewajiban, kewenangan dan tugas.
d) Adanya kondisi yang berasal dari periode sebelumnya, bermakna
kesadaran akan keterhubungan.
e) Kondisi nyata dan kondisi spesifik daerah.
f) Adanya aspek-