Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga Fel-Terrae (Lour) Merr.) Terhadap Otot Polos Trakea Marmut Terisolasi Dan Pengaruhnya Pada Fosfodiesterase

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan meliputi sistematika tumbuhan, nama daerah, nama
asing, morfologi tumbuhan dan manfaat tumbuhan.
2.1.1 Sistematika tumbuhan
Sistematika tumbuhan pugun tanoh adalah sebagai berikut (Anonim, 2009):
Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Subkelas


: Asteridae

Ordo

: Scrophulariales

Famili

: Scrophulariaceae

Genus

: Curanga

Spesies

: Curanga fel-terrae (Lour) Merr.

Sinonim


: Curanga amara Vahl., Picria fel-terrae Lour.

2.1.2 Nama daerah
Nama daerah dari tumbuhan ini adalah pugun tanoh (Dairi), tamah raheut
(Sunda), kukurang (Maluku), dan papaita (Ternate) (Anonim, 2009).
2.1.3 Nama asing
Nama asing dari tumbuhan ini adalah sagai-uak (Filipina), gelumak susu,
hempedu tanah, rumput kerak nasi (Malaysia), kong saden (Laos) dan thanh
(Vietnam) (Anonim, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Morfologi tumbuhan
Pugun tanoh merupakan tanaman berbatang basah, berbaring dan tumbuh
merambat. Tumbuhan pugun tanoh memiliki tinggi 40 sampai 60 cm. Batangnya
dengan cabang-cabang yang ramping, jarang, tegak atau melata, berakar di bukubuku, dan berbulu halus. Daunnya berbulu halus, berbentuk bundar telur dengan
panjang 3-6 cm dan lebar 2-3 cm, ujung daun agak melancip dan tepi daun
beringgit. Tangkai daunnya tumbuh berhadapan, permukaannya tidak berbulu, dan
tipis. Bunga berupa tandan di ujung atau di batang, jumlah bunga 2-16, mahkota

bunga menabung, dan berbibir rangkap (Anonim, 2009).
2.1.5 Manfaat tumbuhan
Pugun tanoh digunakan sebagai obat diabetes (Harfina, 2013),
meningkatkan nafsu makan, diuretik (Anonim, 2011), antiinflamasi (Juwita, 2009)
dan sesak napas (asma) (Sugiarto dan Putera, 2008). Di Filipina, rebusan daun
pugun tanoh digunakan sebagai obat penurun panas, terutama untuk malaria, obat
mual dan sakit perut (Anonim, 2011).

2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari bahan
asal dengan menggunakan pelarut. Umumnya zat berkhasiat tersebut dapat ditarik,
namun khasiatnya tidak berubah. Tujuan utama ekstraksi adalah mendapatkan
atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan
dari zat-zat yang tidak dibutuhkan, agar lebih mudah dipergunakan (kemudahan
diabsorpsi, rasa, dan pemakaian) dan disimpan dibandingkan simplisia asal, dan
tujuan pengobatannya lebih terjamin. Hasil ekstraksi disebut dengan ekstrak, yaitu
sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati

Universitas Sumatera Utara


atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau
hampir semua pelarut diuapkan (Depkes, 1995).
2.2.1 Metode ekstraksi
Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa
cara yaitu :
a. Cara dingin
i. Maserasi
Maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut
dalam cairan penyari dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur kamar, sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan
pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Ditjen POM,

2000).
ii. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi
penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar (Ditjen
POM, 2000).
b. Cara panas
i. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).
ii. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet, dimana
pelarut akan terdestilasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi

Universitas Sumatera Utara

dan merendam sampel dalam tabung soklet, kemudian setelah pelarut mencapai
tinggi tertentu maka akan turun ke labu destilasi setelah melewati pipa sifon,
demikian berulang-ulang (Ditjen POM, 2000).
Keuntungan dari metode ini adalah ekstraksi simplisia dapat dilakukan
dengan sempurna dan pelarut yang digunakan lebih sedikit dibandingkan metode
lainnya (Voigt, 1995).
iii. Digesti
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang
lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur 40-50oC (Ditjen POM, 2000).
iv. Infus
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati

dengan air pada suhu 900C selama 15 menit (Depkes RI, 1979).
v. Dekok
Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati
dengan air pada waktu yang lebih lama ± 30 menit dangan temperatur sampai titik
didih air (Ditjen POM, 2000).

2.3 Saluran Pernapasan
Saluran pernapasan atau tractus respiratorius (respiratory tract) adalah
bagian tubuh manusia yang berfungsi sebagai tempat lintasan dan tempat
pertukaran gas yang diperlukan untuk proses pernapasan. Saluran ini berpangkal
pada hidung atau mulut dan berakhir pada paru-paru (Wibowo, 2008).
Sistem pernapasan terdiri atas saluran pernapasan bagian atas dan saluran
pernapasan bagian bawah. Saluran pernapasan bagian atas berfungsi dalam

Universitas Sumatera Utara

menyaring, menghangatkan, dan melembapkan udara yang dihirup. Saluran ini
terdiri dari hidung, faring, dan laring. Sedangkan saluran pernapasan bagian
bawah berfungsi untuk mengalirkan udara. Saluran ini terdiri dari trakea, bronkus,
bronkiolus dan alveolus (Hidayat dan Uliyah, 2008).

Otot polos saluran pernapasan adalah jaringan yang memiliki fungsi
fisiologis untuk menjaga kekakuan dari saluran pernapasan, yang dapat membantu
menstabilkan saluran pernapasan saat terjadinya perubahan tekanan intrapleural.
Kontraksi otot polos ini menyebabkan menyempitnya saluran pernapasan dan
menghambat aliran udara, sehingga menyebabkan asma (Martin, 2005).

2.4 Trakea
Trakea atau batang tenggorok adalah tuba dengan panjang 10 cm sampai
12 cm dan diameter 2,5 cm serta terletak di permukaan anterior dari esofagus
(Gambar 2.1). Trakea berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebra
koralis kelima dan di tempat ini bercabang menjadi dua bronkus (bronki) (Suryo,
2010).

Mukosa
Silia
Esofagus
Otot
polos
t k


Lumen
trakea

Submukosa
Kelenjar
seromukosa dalam
Cincin
kartilago

Gambar 2.1 Potongan melintang trakea (Saladin, 2003)

Universitas Sumatera Utara

Dinding trakea terdiri dari 3 lapisan (Suryo, 2010). Adapun 3 lapisan
tersebut yaitu:
a. Lapisan luar, terdiri dari jaringan ikat;
b. Lapisan tengah, terdiri dari otot polos dan cincin tulang rawan; dan
c. Lapisan dalam, terdiri dari jaringan epithelium bersilia.
Trakea terdiri dari 16 sampai 20 cincin kartilago/tulang rawan berbentuk-C
yang dihubungkan oleh jaringan ikat dan otot polos. Tulang rawan berfungsi

mempertahankan agar trakea tetap terbuka; karena itu, ujung posterior dari cincin
trakea dihubungkan oleh otot polos, yaitu di tempat trakea menempel pada
esophagus, yang memisahkannya dari tulang belakang (Slonane, 2004). Trakea
dilapisi oleh epithelium bersilia pada lapisan dalamnya. Silia ini akan bergerak
menuju ke atas ke arah laring; maka dengan gerakan ini debu dan butir-butir halus
lainnya yang turut masuk bersama dengan udara dapat dikeluarkan (Pearce, 2009).
Trakea marmut terisolasi dapat digunakan untuk menguji aktivitas reseptor
muskarinik, histaminergik dan adrenergik. Selain itu, model ini dapat digunakan
untuk menguji senyawa yang menghambat bronkospasme. Hal ini digunakan
untuk mendeteksi β-simpatomimetik, penyekat reseptor H1 dan reseptor
muskarinik (Vogel, 2002).

2.5 Asma
Asma adalah suatu penyakit dengan adanya penyempitan saluran
pernapasan yang berhubungan dengan hiperaktivitas otot polos, hipersekresi
mukus, edema dinding saluran pernapasan, dan infiltrasi sel inflamasi yang
disebabkan berbagai macam rangsangan. Gejala klinis penyakit ini berupa
kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan saluran pernapasan.

Universitas Sumatera Utara


Penyempitan saluran napas bersifat dinamis, derajat penyempitan dapat berubah,
baik secara spontan maupun karena pemberian obat, dan kelainan dasarnya berupa
gangguan imunologi (Alsagaff, 2010).
Penyebab dari hiperaktivitas otot polos saluran pernapasan salah satunya
terjadi karena pengaktifan jalur saraf muskarinik oleh asetilkolin yang dapat
menstimulasi kontraksi otot polos. Pemberian antagonis reseptor muskarinik akan
menghambat efek asetilkolin dengan cara berikatan dengan reseptor muskarinik
sehingga dapat menghambat kontraksi otot polos dan mengurangi sekresi kelenjar
submukosa saluran pernapasan (Supriyatno, 2010). Namun, obat seperti teofilin
dapat juga merelaksasi otot polos saluran pernapasan secara langsung dengan
menghambat fosfodiesterase yang memecah cAMP (Katzung, 2001).

2.6 Asetilkolin
Asetilkolin merupakan molekul ester-kolin yang pertama diidentifikasi
sebagai neurotransmitter. Asetilkolin (ACh) disintesis di dalam susunan saraf
pusat oleh saraf yang badan selnya terdapat pada batang otak. ACh yang
dihasilkan kemudian akan dilepas dari ujung presinaptik dan menduduki
reseptornya. ACh diambil kembali (re-uptake) ke ujung presinaptik setelah
mengalami degradasi menjadi kolin dan asetat oleh enzim asetilkolinesterase.

ACh sebagai neurotransmitter dalam sistem motorik dan sistem saraf otonom
harus dihilangkan dan diaktivasi dalam waktu tertentu (Katzung, 2001).
Enzim-enzim yang berperan dalam sintesis dan degradasi ACh.
a. Choline Acetyltransferase (kolin asetiltransferase)
Enzim ini mengkatalisa asetilasi kolin dengan asetil koenzim A (disintesis
di mitokondria dan tersedia dalam jumlah banyak di ujung saraf) sehingga

Universitas Sumatera Utara

membentuk asetilkolin, kemudian asetilkolin ditransportasikan dari sitoplasma ke
dalam vesikel-vesikel oleh sebuah antiporter sepanjang akson sampai ujungnya
(Taylor dan Brown, 2006). Perkiraan jumlah ACh dalam vesikel sinaptik berkisar
antara 1.000-50.000 molekul setiap vesikel. Dalam satu ujung saraf terdapat
300.000 atau lebih vesikel (Fawcett, 2002).
b. Acetylcholinesterase (Asetilkolin esterase, AChE)
AChE terdapat pada saraf kolinergik. Enzim ini mempunyai dua sisi
pengikatan keduanya penting untuk degradasi ACh. Daerah anionik berfungsi
untuk pengikatan sebuah molekul ACh pada enzim. Begitu ACh terikat, reaksi
hidrolisis terjadi pada sisi aktif yang disebut daerah esteratik. Di sini ACh terurai
menjadi kolin dan asam asetat. Kolin kemudian diambil lagi melalui sistem uptake
kolin pada membran presinaps. Kolin ditransportasikan dari plasma ke dalam
terminal neuron oleh pembawa membran bergantung – natrium (McCormick,
1989; Taylor dan Brown, 2006).

2.7 Reseptor Kolinergik
Reseptor kolinergik banyak dijumpai di sistem saraf otonom perifer. Ligan
dari reseptor kolinergik adalah neurotransmiter asetilkolin (ACh). Reseptor
kolinergik terbagi 2 tipe, yaitu reseptor nikotinik dan reseptor muskarinik.
2.7.1 Reseptor nikotinik
Reseptor nikotinik merupakan reseptor yang terhubung dengan kanal ion
dan terdiri dari lima subunit yaitu subunit α1, α2, β, γ, dan δ yang masing-masing
berkontribusi membentuk kanal ion dan memiliki tempat ikatan untuk molekul
asetilkolin. Reseptor ini terdapat di neuromuscular junction, ganglia otonom,
medula adrenal, dan susunan saraf pusat. Paling banyak ditemukan di

Universitas Sumatera Utara

neuromuscular junction. Neuromuscular junction adalah sinaps yang terjadi
antara saraf motorik dengan serabut otot (Rahardjo, 2009).
2.7.2 Reseptor muskarinik
Reseptor muskarinik terdistribusi luas di seluruh tubuh dan mendukung
berbagai fungsi vital, di otak, sistem saraf otonom terutama saraf parasimpatis.
Reseptor muskarinik merupakan reseptor yang terhubung dengan protein G,
terdiri dari 5 subtipe yaitu: M1, M2, M3, M4, M5. Reseptor M1, M3, dan M5
terhubung dengan protein Gq, sedangkan reseptor M2 dan M4 terhubung dengan
protein Gi dan dengan suatu kanal ion. Respons yang timbul dari aktivasi reseptor
muskarinik oleh ACh dapat berbeda, tergantung pada subtipe reseptor dan
lokasinya (Rahardjo, 2009).

Gambar 2.2 Aktivasi reseptor muskarinik (sumber: www.COPDexchange.co.uk)
Aktivasi reseptor M3 oleh asetilkolin menyebabkan kontraksi pada saluran
pernafasan seperti yang terlihat pada Gambar 2.2 (Barnes, 1993; Karyono, 2006).
Aktivasi reseptor M3 akan mengaktifkan phospolipase C (PLC) melalui

Universitas Sumatera Utara

penggabungan dengan protein Gq. Aktifnya PLC akan meningkatkan hidrolisis
komponen fosfolipid minor membran plasma yang disebut phospatidylinositol
4,5-biphosphat (PIP2). PIP2 dipecah menjadi pembawa pesan kedua (second
messengers) yaitu inositol 1,4,5-trisphosphate (IP3) dan diacylglycerol (DAG).
IP3 adalah second messenger yang larut air dan menyebar dalam sitosol (Katzung,
2001). IP3 akan menduduki reseptor IP3 pada calcium store di sarcoplasmatic
reticulum (SR) sehingga menginduksi pelepasan kalsium dari SR ke dalam
sitosol. Hal ini mengakibatkan jumlah kalsium intraseluler meningkat (Hall,
2000).
DAG, produk lain dari hidrolisis PIP2, mampu mengaktifkan protein
kinase C (PKC). Aktifnya PKC akan membuka gerbang kalsium sehingga terjadi
peningkatan influks kalsium (Ikawati, 2006). Peningkatan Ca2+ di sitosol akan
membentuk kompleks Ca2+-kalmodulin yang mengaktifkan myosin light chain
kinase (MLCK) yang akan memfosforilasi myosin light chain (MLC), akibatnya
terjadi interaksi miosin dengan aktin yang menghasilkan kontraksi otot polos
saluran pernapasan (Oenema, 2013).

2.8 Fosfodiesterase
Siklik nukleotida cyclic adenosine-3',5' monophosphate (cAMP) adalah
second messenger yang penting dalam regulasi aktivitas sel. Di saluran
pernapasan cAMP mengatur tonus otot polos, sekresi mediator dan aktivasi sel-sel
inflamasi. Meningkatnya konsentrasi cAMP intraseluler akan menyebabkan
terjadinya bronkorelaksasi. Konsentrasi cAMP intraseluler ditentukan oleh
stimulasi reseptor pada permukaan sel dan degradasi cAMP menjadi 5’-AMP oleh
fosfodiesterase (PDE) (Raff, et al., 2002). Degradasi cAMP oleh PDE dapat

Universitas Sumatera Utara

dilihat pada Gambar 2.3. Fosfodiesterase adalah enzim yang mengkatalisis
hidrolisis ikatan ester pada molekul fosfat, seperti pada oligo- dan poli- nukleotida
(Pudjaatmaka, 2002; Feneck, 2007).

Gambar 2.3 Hidrolisis cAMP oleh fosfodiesterase (Raff, et al., 2002)
Terdapat lima jenis isoenzim PDE yang telah dibedakan berdasarkan
spesifisitas substrat dan pengembangan inhibitor selektif. Pada otot polos trakea
dan bronkus manusia, telah diidentifikasi adanya PDE I, II, III, IV dan V. Pada
percobaan secara in vivo menggunakan marmut, diketahui bahwa penghambatan
terhadap PDE III, IV dan V dapat menyebabkan bronkorelaksasi. Penghambatan
PDE III menyebabkan relaksasi otot polos saluran napas, baik saat tonus spontan
atau tonus yang disebabkan oleh induksi karbakol. Sedangkan penghambatan PDE
IV tidak menurunkan tonus spontan tetapi dapat menurunkan tonus yang
disebabkan oleh induksi karbakol (Barnes, 1995).

Universitas Sumatera Utara

Kombinasi inhibitor PDE III dan IV yang paling efektif dalam merelaksasi
otot polos saluran napas. Hal ini menunjukkan bahwa kerjasama dua isoenzim
PDE III dan IV diperlukan untuk efek bronkodilator yang optimal. Inhibitor PDE
V, juga efektif sebagai bronkodilator, yang menunjukkan bahwa cGMP juga
terlibat dalam relaksasi otot polos saluran napas (Barnes, 1995; Hall, 2000).

2.9 Teofilin
Rumus struktur teofilin dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Struktur teofilin (Depkes RI, 1995)

Nama Kimia

: 1,3-dimethyl-3,7-dihydro-1H-purine-2,6-dione

Rumus Molekul

: C7H8N4O2

Berat Molekul

: 180,17

Pemerian

: Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa pahit, stabil di
udara

Kelarutan

: Sukar larut dalam air, tetapi lebih mudah larut dalam air
panas, mudah larut dalam larutan alkali hidroksida dan
dalam amonium hidroksida, agak sukar larut dalam
etanol, dalam kloroform dan dalam eter (Depkes RI,
1995).

Universitas Sumatera Utara

Teofilin merupakan derivat xantin yang menyebabkan relaksasi otot polos,
terutama otot polos bronkus, serta merangsang otot jantung, dan meningkatkan
diuresis. Adapun mekanisme kerja dari teofilin yaitu dengan cara menghambat enzim
fosfodiesterase sehingga mencegah pemecahan cAMP dan cGMP masing-masing
menjadi 5’-AMP dan 5’-GMP. Penghambatan fosfodiesterase menyebabkan
akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel sehingga menyebabkan relaksasi otot polos,
termasuk otot polos bronkus (Katzung, 2006). Sehingga teofilin digunakan sebagai

bronkodilator yang diperlukan pada serangan asma yang berlangsung lama. Selain
itu, teofilin juga digunakan sebagai profilaksis terhadap serangan asma (Ward, et
al., 2008).
Teofilin mempunyai efek samping berupa mual dan muntah, gangguan
sistem saraf pusat (gelisah dan gangguan tidur), juga efek kardiovaskular, seperti
takikardia, aritmia dan hipotensi (Schmitz, et al., 2003).

2.10 Organ Terisolasi
Organ terisolasi adalah suatu metode percobaan in vitro. Pada prinsipnya
penelitian ini menggunakan organ yang direndam dalam larutan fisiologis yang
sesuai, temperatur diatur atau dikondisikan pada kondisi yang sama dari mana
organ tersebut berasal serta pengaturan aliran oksigen. Percobaan organ terisolasi
ini menggunakan alat organ bath (Perry, 1970).
Percobaan dengan organ terisolasi mempunyai keuntungan tidak
dipengaruhi oleh faktor farmakokinetika, dengan demikian obat yang digunakan
relatif lebih sedikit dosisnya dibandingkan in vivo. Percobaan dengan organ
terisolasi lebih ditekankan untuk mengobservasi mekanisme pada sel target
sebagai tempat kerja. Hasil yang didapat dari percobaan organ terisolasi adalah

Universitas Sumatera Utara

respon kontraktilitas terhadap rangsangan yang diberikan. Respon kontraktilitas
dapat direkam dan dapat diukur untuk selanjutnya dapat dibuat kurva dosis
respons. Untuk mendapatkan hasil percobaan yang akurat, maka diperlukan
persiapan yang baik dan seluruh percobaan harus betul-betul terkontrol. Hewan
percobaan yang digunakan dibunuh tanpa anestesi sehingga tidak memengaruhi
kontraktilitasnya. Organ yang diambil segera dimasukkan ke dalam cairan
fisiologis dan dikontrol oksigenasinya dan dihubungkan ke transduser dan
diteruskan ke alat pencatat misalnya, kymograph atau maclab computer
(Syamsudin dan Darmono, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut (Cavia porcellus) Terisolasi Secara In Vitro

8 98 122

Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga Fel-Terrae (Lour) Merr.) Terhadap Otot Polos Trakea Marmut Terisolasi Dan Pengaruhnya Pada Fosfodiesterase

2 26 85

Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga Fel-Terrae (Lour) Merr.) Terhadap Otot Polos Trakea Marmut Terisolasi Dan Pengaruhnya Pada Fosfodiesterase

0 1 14

Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga Fel-Terrae (Lour) Merr.) Terhadap Otot Polos Trakea Marmut Terisolasi Dan Pengaruhnya Pada Fosfodiesterase

0 0 2

Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga Fel-Terrae (Lour) Merr.) Terhadap Otot Polos Trakea Marmut Terisolasi Dan Pengaruhnya Pada Fosfodiesterase

0 0 6

Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga Fel-Terrae (Lour) Merr.) Terhadap Otot Polos Trakea Marmut Terisolasi Dan Pengaruhnya Pada Fosfodiesterase

0 0 5

Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga Fel-Terrae (Lour) Merr.) Terhadap Otot Polos Trakea Marmut Terisolasi Dan Pengaruhnya Pada Fosfodiesterase

0 0 16

Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut (Cavia porcellus) Terisolasi Secara In Vitro

0 0 45

Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut (Cavia porcellus) Terisolasi Secara In Vitro

0 0 16

Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut (Cavia porcellus) Terisolasi Secara In Vitro

1 3 16