Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Internet Dalam Perspektif Kriminologi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Maraknya cybercrime di Indonesia dan di negara-negara lain mendorong
banyak pihak terus berusaha memeranginya dengan berbagai macam cara. Salah
satu satu dasarnya adalah dengan cara memahami aspek cybercrime dari semua
sisi. Keutuhan pemahaman tentang pemberantasan cybercrime dan cybercriminal
perlu dilakukan berdasarkan pendekatan multi dimensional, salah satunya melalui
perspektif hukum pidana dan kriminologi. Hal ini didasarkan pada pola pemikiran
bahwa tidak mungkin memerangi sesuatu dapat sukses, tanpa memahami sesuatu
yang akan diperangi. 1
Saat ini bentuk cybercrime semakin beragam, modusnya sesemakin
canggih, motivasinya semakin kompleks, dan karakter pelakunya semakin
bervariasi. Kasus hacking dan cracking (sebagai salah satu bentuk cybercrime)
yang terjadi di beberapa situs milik lembaga negara di Indonesia dan di luar
Indonesia, termasuk hacking situs Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang
Yudhoyono pada tahun 2013 merupakan indikasi semakin buruknya mentalitas
cybercriminal, dan bukti tingginya kerentangan

jaringan sistem teknologi


informasi di Indonesia dan dunia internasional. Pelaku cybercrime (dapat disebut
cybercriminal) mempunyai karakteristik yang semakin unik, begitu pula
karakteristik cybercrimenya. Akhir-akhir ini cybercrime bukan hanya menyerang
harta kekayaan, melainkan sudah menyerang privasi seseorang, kehormatan,
1

Widodo, Memerangi Cybercrime Karakteristik Motivasi dan Srategi Penangananya
dalam Perspektif Kriminologi, Aswaja Pressindo, Jakarta, 2013, Halaman 1.

1
Universitas Sumatera Utara

2

bahkan rasa aman. Sasaran dan alat penyerangan bukan hanya dengan komputer
konvensional (Personal Computer/PC), tetapi juga smartphone, dan komputer
portable lainya.
Kajian kriminologis terhadap cybercrime dan cybercriminal di Indonesia
semakin di butuhkan penegak hukum dan anggota masyarakat dalam rangka

memerangi cybercrime. Kebijakan memerangi cybercrime bukan kebijakan yang
berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dengan kebijakan sosial lainya.
Cybercrime atau dapat disebut kejahatan di bidang teknologi informasi merupakan
kategori kejahatan yang menggunakan jaringan komputer sebagai target dan
kejahatan yang menjadikan jaringan komputer sebagai sarana melakukan
kejahatan (misalnya carding, pornografi). Pelaku kejahatanya lazim disebut
cybercriminal.

Kejahatan

tersebut

merugikan

secara

finansial

maupun


nonfinansial bagi individu maupun masyarakat. Kerugian kejahatan tersebut
bukan hanya terhadap harta kekayaan, melainkan dapat mengarah pada
kehormatan dan ketentraman manusia.
Cybercrime sebagai kejahatan bertekhnologi tinggi di Indonesia sudah
terjadi sejak tahun 1983, saat itu terjadi di bidang perbankan. 2
Dalam tahun-tahun berikutnya sampai saat ini, di Indonesia banyak
terjadi

cybercrime,

misalnya

pembajakan

program komputer,

cracking,

penggunaan kartu kredit oleh pihak lain secara tidak sah (carding), pembobolan
bank (banking fraud), pornografi, termasuk kejahatan terhadap nama domain

(domain name). Selain itu, kasus kejahatan lain yang menggunakan komputer di
2

Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1999, Halaman 148.

Universitas Sumatera Utara

3

Indonesia antara lain penyeludupan gambar-gambar porno melalui internet.
Sedangkan kasus kejahatan terhadap sistem atau jaringan komputer antara lain
bentuk, modus, dan latar belakang kejahatan tersebut terus berkembang seiring
dengan penemuan-penemuan baru di bidang teknologi komputer.
Laju cybercrime di Indonesia yang semakin meningkat ternyata tidak
segera diikuti dengan kemampuan legislator untuk mengendalikan kejahatan
dengan membuat hukum yang responsif. Munculnya beberapa kasus manipulasi
data, spionase, sabotase, provokasi, pencucian uang, hacking, pencurian dan
perusakan data dan software menjadi ancaman stabilitas keamanan dan ketertiban
masyarakat (kamtibmas) dengan ekskalasi yang cukup tinggi.

Berdasarkan

hasil

penelitian

Perusahaan

Keamanan

Symantec

sebagaimana dimuat dalam internet security threat report volume 17, Indonesia
menempati peringkat 10 sebagai negara dengan aktivitas cybercrime terbanyak
sepanjang tahun 2011, artinya 2,4% kejahatan cyber di dunia berasal dari
Indonesia. Persentase ini naik 1,7% dibandingkan tahun 2010, karena saat itu
Indonesia hanya menempati peringkat 28. Selain itu, Indonesia menempati
peringkat 6 di dunia dalam kategori program jahat spam zombie. Padahal pada
2010, Indonesia masih menempati peringkat 28 untuk spam zombie. Para pelaku
spam zombie menyebarkan spam zombie agar dapat mengendalikan sebuah nomor

telepon seluler di smarthhone untuk menyebarkan sms premium, untuk
mendapatkan keuntungan finansial. Sementara, dalam kasus pencurian data dan

Universitas Sumatera Utara

4

informasi, di tahun 2011 Indonesia berada pada posisi 27 setelah tahun 2010 lalu
menempati urutan 30.3
Dalam masyarakat modern yang mengglobal seperti saat ini, kejahatan
dapat dilakukan di mana saja, baik dalam ruang nyata maupun ruang maya
(cyberspace). Hal ini terjadi karena era globalisasi membuka beberapa peluang
terjadinya kejahatan, sehingga diperlukan penanggulangan bersama-sama melalui
kerjasama antar pihak yang berkepentingan.
Pada tatanan berikutnya teknologi informasi juga memberikan suatu
dilema terhadap kejahatan-kejahatan sebelumnya yang sudah di kenal di tengahtengah masyarakat. Misalnya kejahatan penipuan dengan mempergunakan
internet. Penipuan sudah ada dikenal sejak dahulu, tetapi dengan media teknologi
informasi maka penipuan tersebut dapat dilakukan melalui teknologi tersebut.
Keadaan ini memberikan pandangan bahwa di samping memberikan
manfaat, tingginya penggunaan teknologi informasi justru telah memberi akibat

berupa ancaman terhadap eksistensi hak pribadi seseorang untuk tejadinya suatu
kejahatan. Rahasia-rahasia tentang data seseorang yang ada di media internet
dengan sangat mudah di langgar, dimodifikasi dan digandakan. Selain itu data dan
hak pribadi seseorang di internet juga menjadi objek pelanggaran terus menerus di
internet, hal yang terakhir ini bahkan sering kali berkembang menjadi perbuatan
persaingan tidak sehat (unfair competition), pemboncengan ketenaran (passing
off) dan penyesatan informasi. Belum lagi masalah pornografi dan pornoaksi yang
dapat di buka secara bebas melalui teknologi informasi.
3

“Aktivitas Kejahatan Cyber di Indonesia Meningkat Tajam”, sebagaimana dimuat dalam
http://tekno.kompas.com, diakses pada 8 juli 2014.

Universitas Sumatera Utara

5

Cybercrime yang merupakan modus kejahatan generasi baru yang
menggunakan teknologi tinggi sudah terjadi di semua negara, cybercrime dapat
dikategorikan menjadi 2 klasifikasi, yaitu kejahatan yang menjadikan komputer

sebagai sasaran, dan kejahatan yang menggunakan komputer sebagai alat.
Kerugian atas kejahatan tersebut sangat banyak, baik bersifat material maupun
maupun nonmaterial bahkan kejahatan tersebut dapat menyebabkan terlanggarnya
hak kehormatan, kebebasan, privasi manusia, dan keresahan. Dampak kejahatan
tersebut semakin serius karena modusnya semakin bervariasi yang kadang sulit
diprediksi. Kuantitas dan kualitas cybercrime semakin tinggi, antara lain karena
dapat dilakukan dengan manggunakan komputer jinjing, telepon seluler, dan
perangkat alat komunikasi mobile lainya. Selain itu, secara kriminologis, semakin
banyaknya jumlah cybercrime juga disebabkan oleh kelengahan pengguna
perangkat teknologi informasi, yaitu belum menggunakan sistem pengamanan
data yang optimal.
Mengikuti kasus kejahatan komputer dan cyber yang terjadi di tengah
masyarakat dan apabila hal tersebut dikaji dengan menggunakan kriteria peraturan
hukum pidana konvensional, maka dari segi hukum kejahatan komputer dan
cybercrime bukanlah merupakan suatu kejahatan yang sederhana. Apabila dikaji
dalam peraturan hukum pidana konvensional, maka perbuatan pidana yang dapat
digunakan di bidang komputer dan cyber adalah penipuan, kecurangan, pencurian,
dan perusakan, yang pada pokoknya kejahatan tersebut dilakukan secara langsung
(dengan menggunakan bagian tubuh secara fisik dan pikiran) oleh si pelaku.


Universitas Sumatera Utara

6

Berdasarkan kenyataan di atas maka, penulis tertarik untuk mengkaji
sejauh mana perlindungan hukum terhadap korban kejahatan internet dalam
perspektif kriminolgi. Terlebih dengan keberadaan undang-undang Republik
Indonesia tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu Undang-undang No.
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Untuk itu penulis
membuat penulisan hukum dalam bentuk skripsi dengan judul: “Perlindungan
Hukum

Terhadap

Korban

Kejahatan

Internet


dalam

Perspektif

Kriminologi”

B. Rumusan Masalah
Sebagaimana uraian latar belakang masalah yang telah penulis paparkan
di atas maka dapatlah dirumuskan apa yang menjadi permasalahan dalam
penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut :
a. Bagaimana pengaturan hukum yang mengatur perlindungan kepada
korban kejahatan internet?
b. Bagaimana penyebab terjadinya kejahatan internet tersebut?
c. Bagaimana upaya-upaya dalam penaggulangan korban kejahatan
internet?

C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas dan pasti agar
penelitian tersebut memiliki arahan dan pedoman yang pasti. Tujuan penelitian


Universitas Sumatera Utara

7

pada prinsipnya mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh peneliti sebagai
solusi atas permasalahan yang dihadapi. 4
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini antara lain sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap korban kejahatan
internet.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab kejahatan
internet.
3. Untuk menganalisis kasus korban kejahatan internet dalam perspektif
kriminologi.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian dari skripsi ini diharapakan dapat memberikan manfaat
bagi lingkungan akademis (teoritis) dan lingkungan secara praktis, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk
memperkaya khazanah ilmu hukum, terkhusus hukum pidana, menambah
perbendaharaan karya ilmiah yang membahas kejahatan internet, memberikan
informasi, serta memberi gagasan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
kejahatan tersebut.

4

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Cetakan III, UI-Press, Jakarta, 2006,
Halaman 29.

Universitas Sumatera Utara

8

2. Manfaat Praktis
Untuk dapat mencegah dan menanggulangi kasus-kasus kejahatan
internet yang sesemakin merebak di masyarakat dan bermanfaat menjadi evaluasi
bagi penegak hukum dalam memberantas kejahatan baru ini, serta menyadarkan
masyarakat dalam peran serta untuk lebih peka atas kasus-kasus yang terjadi di
lingkungan masyarakat masa kini, juga mengetahui peraturan perundangundangan yang menjadi batas-batas dalam pengunaan internet untuk dapat
dipatuhi dan diperhatikan.

E. Keaslian Penulisan
Adapun skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap
Korban Kejahatan Internet dalam perspektif kriminologi” merupakan tulisan
yang masi baru dan belum ada tulisan lain dalam bentuk skripsi yang membahas
mengenai masalah ini. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, judul skripsi ini belum
pernah dikemukakan dan permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti.
Maka penulisan skripsi ini masih orisinil dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan.
1. Kejahatan Internet (Cyber Crime) Dalam Perspektif Kriminologi
Kemajuan teknologi telah berkembang sedemikian pesatnya. Teknologi
yang merupakan produk dari modernitas telah mengalami lompatan yang luar

Universitas Sumatera Utara

9

biasa. Oleh karena sedemikian pesatnya, pada giliranya manusia, sang kreator
teknologi itu sendiri kebingungan mengendalikanya. Bahkan bisa dikatakan
teknologi berbalik arah mengendalikan manusia.
Hukum pada prinsipnya merupakan pengaturan terhadap sikap tindak
(perilaku) seseorang dan masyarakat yang terhadap pelanggarnya dikenakan
sanksi oleh negara. Meskipun dunia cyber ialah dunia virtual, hukum tetap
diperlukan untuk mengatur sikap tindak masyarakat setidaknya karena dua hal,
pertama masyarakat yang ada di dunia virtual ialah masyarakat yang berasal dari
dunia nyata, masyarakat memiliki nilai dan kepentingan baik secara sendirisendiri maupun bersama-sama yang harus dilindungi. Kedua, walaupun terjadi di
dunia virtual, transaksi yang dilakukan oleh masyarakat memiliki pengaruh dalam
dunia nyata, baik secara ekonomis manupun non ekonomis. 5
Beberapa penulis telah mengemukakan pendekatan atau teori untuk
mengambarkan hubungan antara teknologi dan hukum. Ada penulis yang
mengemukakan teori substansif (substantive theory) dan ada pula yang
mengemukakan teori instrumental (instrumental theory). Cockfield dan Pridmore
pada tahun 2007 mendalilkan perlunya dikembangkan sintesa dari kedua teori
tersebut yang dapat digunakan dalam pembentukan regulasi, dalam bagian ini
dijelaskan secara ringkas mengenai teori dan pendekatan tersebut sebagai
landasan pola pikir untuk memahami teknologi dan hukum yang dapat diterapkan
dalam pembentukan

regulasi di bidang teknologi, khususnya di bidang

cybercrime.
5

Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrime Cyberlaw, PT.Tatanusa, Jakarta, 2012,
Halaman. 38.

Universitas Sumatera Utara

10

a. Teori Instrumental
Penganut teori instrumental melihat bahwa teknologi adalah teknologi
(technology is technology), yaitu alat yang dikembangkan secara rasional untuk
memenuhi kebutuhan tertentu. Teknologi dikembangkan dengan prinsip-prinsip
itu, teknologi menghadirkan atau memberikan pilihan-pilihan dan kebutuhankebutuhan yang rasional bagi masyarakat. Oleh karena itu, teknologi bersifat
netral (tidak bersifat baik atau buruk) dan terpisah dari proses ekonomi, politik,
sosial dan budaya. Produktifitasnya dapat diukur secara objektif, terlepas dari
budaya, sehingga teknologi dapat dialihkan dari suatu masyarakat lain, atau
dengan kata lain teknologi dapat diterapkan secara universal. Dalam hal ini terjadi
suatu penyalahgunaan teknologi, teori istrumental melihat bahwa guns don’t kill
people-peple kill people. Pihak yang harus dipersalahkan ialah orang yang
menyalahgunakan teknologi, dan bukan teknologi itu sendiri.
b. Teori Substantif
Penganut teori substansif melihat bahwa teknologi tidak netral karena
teknologi berkaitan erat dengan kepentingan dari subjek yang membuat teknologi
yang dimaksud, sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, sejarah
perkembangan teknologi komputer dan internet dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan perang. Oleh karena itu teknologi dapat menjadi sesuatu alat yang
berbahaya karena pembuat teknologi dapat mengontrol atau mendominasi orang
tau masyarakat yang mengunakan teknologi tersebut melalui teknologi yang
dibuatnya. Lebih dari itu, teknologi memberi dampak bagi masyarakat baik yang
sesuai dengan maupun diluar tujuan pembuatan teknologi. Teknologi telah

Universitas Sumatera Utara

11

membatasi kebebasan manusia karena manusia sesemakin tergantung dengan
teknologi, dan teknologi bukanlah manusia yang memiliki kebebasan atau
makhluk otonom. Penganut teori substansif juga melihat bahwa dibalik rantai
produksi, distribusi, dan konsumsi teknologi, ada struktural sosial yang kompleks.
Kekompleksan struktural sosial ini tidak dilihat oleh teori instrumental. Kedua
teori tersebut dapat diterapkan dalam pembuatan kebijakan dan regulasi. Teori
instrumentalis memberikan pendekatan yang konservatif, kaku dan melihat ke
belakang (backward-looking) dalam pembentukan kebijakan atau regulasi.
Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan teknologi adalah hukum (technology is
law). Teori substantif memberikan pendekatan yang fleksibel, liberal, dan melihat
ke depan (forward-looking) dalam pembentukan kebijakan atau regulasi.
Pendakatan ini disebut sebagai pendekatan hukum adalah teknologi (law is
technology).
c. Pendekatan Sintesa Teori Hukum dan Teknologi
Cockfiled dan Pridmore pada tahun 2007 mengajukan suatu sintesa
terhadap teori mainstream hukum dan teknologi yang berkembang (teori
substansif dan teori teori instrumental). Mereka menyadari bahwa baik teori
substansif maupun teori instrumental memiliki kelebihan dan kekuranganya
masing-masing, karena itu membuat suatu kerangka berpikir yang dapat
digunakan oleh regulator dalam menbentuk regulasi dengan mengunakan kedua
teori tersebut melalui 2 tahapan analisa sebagai berikut.
Tahap

pertama,

pembuat

regulasi

harus

menentukan

apakah

perkembangan suatu teknologi telah menggangu atau merusak kepentingan atau

Universitas Sumatera Utara

12

nilai yang telah diatur oleh hukum yang ada. Hal ini dilakukan dengan
mengidentifikasi kepentingan yang terkena dampak perkembangan teknologi
tersebut dengan menggunakan hukum serta doktrin-doktrin hukum yang telah ada
dan menilai apakah kepentingan tersebut telah benar terganggu akibat
perkembangan teknologi yang dimaksud.
Dalam tahap ini digunakan teori instrumentalis yang menggunakan
pendekatan backward looking yaitu melihat bahwa hukum yang telah ada cukup
untuk menyesuaikan dirinya dengan perkembangan teknologi. Apabila dari hasil
analisa di atas pembuat regulasi meyakini bahwa kepentingan atau nilai yang telah
dilindungi hukum yang tidak terngangu maka pembuat regulasi tidak perlu
membentuk regulasi yang baru untuk menanggapi perkembangan teknologi yang
dikhawartikan itu.
Akan tetapi, apabila dari hasil analisa regulator meyakini bahwa
kepentingan yang dimaksud ternggangu akibat perkembangan teknologi itu,
pembuat regulasi perlu melakukan tahap kedua yaitu memeriksa dengan cermat
ruang lingkup teknologi yang berubah itu dan dampak yang mungkin ditimbulkan
oleh teknologi tesebut terhadap kepentingan atau nilai yang telah diatur hukum
yang ada dan membentuk regulasi untuk melindungi kepentingan atau nilai itu,
dengan tetap diusahakan sedapat mungkin selaras dengan hukum yang telah ada.
Pada tahap kedua diterapkan teori substansif dengan pendekatan “melihat
kedepan (looking forward) artinya pembuat regulasi harus membentuk regulasi
yang baru untuk melindungi kepentingan yang terganggu akibat perkembangn
teknologi.

Pembentukan

regulasi

dilakukan

dengan

cermat

dengan

Universitas Sumatera Utara

13

mempertimbangkan teknologi yang berkembang, hukum yang telah ada,
kepentingan atau nilai yang telah dan akan dilindungi; dan hukum yang akan
diperlukan.
d. Implementasi
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yakni UU Nomor
11 Tahun 2008 merupakan cyberlaw pertama di Indonesia yang mengatur secara
khusus tentang informasi dan transaksi elektronik. Materi Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik dapat dikelompokkan menjadi dua bagian
besar yaitu pengaturan informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan
mengenai perbuatan yang dilarang (cybercrime). Ketentuan cybercrime dalam
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengacu kepada European
Union Convention on Cybercrime (CoC) yang merupakan instrumen internasional
yang digunakan oleh banyak negara. 6 Dalam CoC diatur mengenai dua jenis
cybercrime, yaitu cybercrime dalam arti computer crime dan dalam arti computerrelated crime.
2. Convention on Cybercrime
Salah satu instrumen internasional yang mengatur cybercrimes secara
regional adalah Covention on Cybercrime-Budapest, 23. XI. 2001. CoC dibuka
untuk ditandatangani oleh negara-negara anggota sejak 23 November 2001, tetapi
baru mulai berlaku pada tahun 2004. Sampai saat ini, telah ada 43 negara anggota
Council of Europe yang menandatangani konvensi yang di maksud, dari negara

6

CoC telah diratifikasi atau diaksesi oleh 30 negara baik dari negara baik negara Uni
Eropa maupun di luar wilayah tersebut, dan telah ditandatangani oleh 16 negara lainya meskipun
belum diratifkasi, sebagaimana dimuat dalam http://conventions.coe.int/Treaty/Commun/ChercheS
ig.asp?NT=185&CL=NG, diakses pada 8 juli 2014.

Universitas Sumatera Utara

14

yang telah menandatangani konvensi, 32 negara telah meratifikasinya. Selain itu,
negara non anggota Council of Europe yang telah menandatangani Convention on
Cybercrime ialah Kanada, Jepang, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat.
Konvensi ini bertujuan untuk mengharmonisasi hukum dari negaranegara anggota, baik hukum materil maupun hukum prosedural, termasuk
pengaturan mengenai kerjasama internasional dalam menangani cybercrime,
harmonisasi ini dinilai penting mengingat karakteristik cybercrime yang
memerlukan penanganan yang khusus secara bersama. Oleh karena itu, konvensi
ini mengatur 3 bagian penting yaitu beberapa definisi yang digunakan dalam
konvensi, hukum pidana materil dan hukum pidana formil, serta kerja sama
internasional.
Sebagaimana terlihat dari jumlah negara yang telah menjadi anggota
konvensi baik dari dalam maupun dari luar Council of Europe, dapat dikatakan
bahwa CoC merupakan instrumen hukum internasional yang paling banyak
dijadikan acuan utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
mengenai tindak pidana cyber oleh negara-negara di dunia,termasuk Indonesia.
Sebagian besar dari materi dalam konvensi ini telah di terapkan, jika tidak dapat
dikatakan diapdosi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang akan dijelaskan dalm bagian-bagian
selanjutnya. Oleh karena itu, penting dalam bagian berikut untuk diulas secara
umum materi-materi dalam Convention on Cybercrime yang mencakup beberapa
terminologi yang digunakan dalam konvensi, ruang lingkup tindak pidana cyber,

Universitas Sumatera Utara

15

hukum acara yang digunakan dalam penyidikan atau proses pengadilan pidana
cyber, serta kerja sama internasional antar negara anggota.
a. Terminologi yang digunakan
CoC memberi definisi mengenai perangkat dan penyelenggara. Defenisi
mengenai perangkat, yang diatur dalam CoC ialah sistem komputer, komputer
data, dan data trafik, sedangkan penyelengara yang dimaksud dalam CoC ialah
penyelengara layanan. Sepintas terminologi-terminologi ini terkesan sderhana dan
terbatas, tetapi terminologi yang digunakan dalam CoC ialah istilah umum pada
masanya, dan diatur dalam lingkup yang luas.
b. Pengaturan Pidana
Dalam bagian kedua dari konvensi ini diatur mengenai perbuatanperbuatan yang di tetapkan sebagai tindak pidana cyber, beberapa perbuatan
tersebut telah di atur dalam hukum pidana konvensional, sedangkan yang lain
merupakan kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan baru yang belum diatur
atau setidaknya masih sangat diperdebatkan dalam hukum pidana konvensional.
Pengaturan tindak pidana ini harus diimplementasikan dalam hukum nasional
negara-negara anggotanya. Jenis perbuatan yang diatur adalah:
1. Tindak pidana terhadap kerahasiaan, integritas dan ketersediaan data dan
sistem komputer (offences against the confidentiality, integrity and
availability of computer data and systems). Tujuan dari pengaturan dalam
bagian ini adalah untuk melindungi dan menjaga kerahasiaan, integritas, dan
ketersediaan data komputer serta sistem komputer, termasuk melindungi
tindakan-tindakan yang sah yang terkait dengan perancangan jaringan atau

Universitas Sumatera Utara

16

aktifitas lainya yang umum dilakukan dalam pengoperasian sistem
komputer dan dalam perdangangan. Tindak-tindak pidana ini merupakan
ruang lingkup cybercrimes dalam arti sempit (computer crimes). Jenis
kejahatan yang dimaksud di bagi menjadi :
a. Akses ilegal (illegal access)
b. Intersepsi ilegal (illegal interception)
c. Gangguan terhadap data (data interference)
d. Gangguan terhadap sistem (system interference)
e. Penyalahgunaan alat dan perangkat (misue of device)
2. Tindak pidana yang terkait dengan komputer (computer related offences).
Pengaturan ini bertujuan untuk mengkriminalisasi tindak-tindak pidana
konvensional yang sering dilakukan dengan menggunakan sistem komputer
atau sistem elektronik. Tindak-tindak pidana ini merupakan ruang lingkup
cybercrimes dalam arti luas (computer related crimes). Tindak pidana yang
dimaksud terdiri dari :
a. Pemalsuan dengan penggunaan komputer (computer related forgery)
b. Penipuan dengan penggunaan komputer (computer related fraud)
3. Tindak pidana yang terkait dengan konten (content-related offences).
Tindak pidana yang dimaksud dalam bagian ini hanyalah tindakan
mendistribusikan, mentramisikan. Membuat dapat diaksesnya pornografi
anak, sedangkan pornografi dewasa tidak diatur. Pornografi anak yang
dimaksud dalam materi pornografi yang memperlihatkan secara eksplisit
gambar anak di bawah umur, seseorang yang tampak sebagai anak di bawah

Universitas Sumatera Utara

17

umur, gambar yang merepresentasikan anak di bawah umur, yang terlibat
dalam aktivitas seksual yang terang-terangan. Ketentuan ini dimaksudkan
untuk melindungi anak dengan memperkuat instrumen dalam perlidungan
anak,khususnya dari eksploitasi seksual. Tindak pidana tersebut merupkan
bagian dari cybercrimes dalam arti luas.
4. Tindak pidana yang terkait dengan pelanggaran hak cipta dan hak yang
terkait. Pengaturan dalam CoC hanya ditujukan terhadap pelanggaran
tersebut merupakan pelanggaran yang sangat sering terjadi di internet,
tindak pidana ini juga merupakan bagian dari cybercrimes dalam arti luas.
5. Tindak pidana percobaan (attempt) dan pembantuan (aiding or abetting)
c. Pembatasan Pertanggungan jawaban Pidana
Terkait dengan ketentuan pembantuan dalam tindak pidana cyber,
Convention on Cybercrime memberikan batasan pertanggungjawaban terhadap
penyelengara jasa yang telibat dalam transmisi atau komunikasi elektronik.
Misalnya, meskipun transmisi konten malicious code memerlukan keterlibatan
penyelengara jasa, mereka yang tidak memiliki tujuan untuk melakukan tindak
pidana tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana atas
perbuatan yang terjadi melalui layanannya. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban
bagi penyelengara jasa untuk memonitor konten secara terus menerus dalam
rangka menghindari pertanggung jawaban pidana berdasarkan ketentuan ini.
d. Pengaturan Prosedural
Mengingat Convention on Cybercrime merupakan konvensi regional
untuk negara-negara anggota Council of Europe meskipun dapat diterapkan oleh

Universitas Sumatera Utara

18

negara-negara lain yang mengaksesi atau meratifikasi konvensi yang dimaksud,
dalam konvensi ini diatur hukum acara pidana yang harus diterapkan oleh negara
anggota dalam peraturan perundang-undangan untuk menciptakan keseragaman
pengaturan. pengaturan hukum acara pidana dalam CoC mencakup kewenangan
prosedur dalam menangani :
1. Penyidikan tindak pidana yang diatur dalam konvensi
2. Penyidikan tindak pidana lain yang dilakukan dengan menggunakan sistem
komputer
3. Pengumpulan alat bukti elektronik
e. Kerja Sama Internasional
Karakteristik tindak pidana cyber yang lintas batas negara mengharuskan
aparat penegak hukum untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum dari
negara lainya. Untuk memfasilitasi kerjasama tersebut, Convention on Cybercrime
mencantumkan pengaturan kerjasama internasional dalam bidang penyidikan
maupun proses peradilan pidana lainya terkait dengan sistem komputer dan data
komputer serta pengumpulan alat bukti elektronik. Secara umum, kerja sama yang
dimaksud ialah dalam bidang ekstradisi dan dalam bidang bantuan timbal balik
(mutual assistance).
c. Perlindungan Hukum Terhadap korban kejahatan.
Masalah korban kejahatan menimbulkan berbagai permasalahan dalam
masyarakat pada umumnya pada korban/pihak korban kejahatan pada khususnya
(orang dewasa dan anak). Belum adanya perhatian dan pelayanan terhadap korban
kejahatan suatu masyarakat merupakan tanda belum atau kurang adanya keadilan

Universitas Sumatera Utara

19

dan pengembangan kesejahteraan dalam masyarakat tersebut. Ini berarti juga
bahwa citra mengenai sesama manusia dalam masyarakat tersebut masih juga
belum memuaskan dan perlu di sempurnakan demi pembangunan manusia yang
seutuhnya. 7
Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling
menderita dalam suatu tindak pidana,

justru tidak memperoleh perlindungan

sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan.
Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan,
kondisi korban kejahatan seperti tidak diperdulikan sama sekali. 8
Dalam setiap penanganan perkara pidana aparat penegak hukum (polisi,
jaksa) sering kali dihadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan
yang terkesan saling berlawanan, yaitu kepentingan korban yang harus dilindungi
untuk memulihkan penderitaanya karena telah menjadi korban kejahatan (secara
mental, fisik, maupun material), dan kepentingan tertuduh/tersangka sekalipun dia
bersalah, tetapi dia tetap sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang tidak
boleh dilanggar. Terlebih apabila atas perbuatanya itu belum ada putusan hakim
yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Oleh karena itu, pelaku harus dianggap
sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tidak bersalah).
Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan
kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang
sifatnya immateril maupun materil. Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat

7

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, UniversitasTrisakti, Jakarta
, 2007, Halaman. 17.
8
Dikdik, M. Arief Mansur, Urgensi perlindugan Korban Kejahatan Antara Norma dan
Realita, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, Halaman. 24.

Universitas Sumatera Utara

20

bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan
bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya
adalah kecil.
Hukum pidana materil dan hukum pidana formal (KUHAP) lebih menitik
beratkan perhatian pada pembuat korban (pelaku kejahatan) dari pada korban,
seolah-olah terdapat suatu perbedaan atau pemisahan yang tajam antara si
pembuat korban dengan si korban, walaupun keduanya memiliki peranan yang
fungsional dalam terjadinya tindak pidana.
Dalam penegakan hukum pidana Nasional (baik KUHP maupun
KUHAP) harus dilaksanakan sesuai dengan isi ketentuan hukum pidana nasional
tersebut, yang telah diatur secara tegas tanpa memerhatikan kedudukan dan
kepentingan korban, ternyata hingga sekarang hanayalah sebuah regulitas yang
bersifat rutin namun tanpa makna ketika harus berhadapan dengan pentingnya
perlindungan korban kejahatan, Jika hukum pidana nasional berlaku secara umum
untuk seluruh wilayah Indonesia, muncul pertanyaan, berlaku untuk siapa
ketentuan tersebut jika tidak memerhatikan kepentingan para korban kejahatan.
Baik KUHP maupun KUHAP seolah-olah layaknya sebuah hiperealitas hukum,
yaitu undang-undang menjadi pembenar sebuah kejahatan dan pelaksana undangundang berubah menjadi mayat hidup, robot, dan mesin dengan remote control
yang pada akhirnya realitas undang-undang menopengi kebenaran dan undangundang kejahatan. 9

9

Ibid, Halaman. 30.

Universitas Sumatera Utara

21

Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting karena
masyarakat baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban atau
bahkan sebagai pelaku kejahatan.
Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan
kepada masyarakat dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti melalui
pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.
Dalam penanganan perkara pidana, kepentingan korban sudah saaatnya
untuk diberikan perhatian khusus, selain sebagai saksi yang mengetahui terjadinya
suatu kejahatan juga karena kedudukan korban sebagai subjek hukum yang
memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before the law).
Perhatian kepada korban dalam penanganan perkara pidana hendaknya dilakukan
atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban (compassion and respect
for their dignity).
Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai
akibat tindakan orang lain yan mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau
orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita,
menderitanya korban bisa di sebabkan murni karena keterlibatan korban di
dalamnya, namun demikian secara umum korban merupakan individu atau
kelompok yang menderita secara fisik, mental, dan sosial karena tindakan
kejahatan, bahkan korban dapat menderita ketakutan berkepanjangan jika ia
melaporkan perbuatan pelaku dan memberikan kesaksian yang memberatkan
pelaku di pengadilan.

Universitas Sumatera Utara

22

G. Metode Penelitian
Dalam skripsi ini, metodologi penelitian hukum yang digunakan
meliputi:
1. Spesifikasi penelitian
Penulis menggunakan penelitian hukum normatif. Dalam hal penelitian
hukum normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perundangundangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul skiripsi ini yaitu
“Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan internet dalam perspektif
Kriminologi”. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis
sosiologis (social legal approach) mengingat permasalahan yang diteliti adalah
mengenai hubungan antara faktor sosiologis dan faktor yuridis. Faktor sosiologis
yang di maksud adalah bentuk-bentuk kejahatan internet dan dampaknya bagi
para pengguna internet dan masyarakat luas pada umumnya. Sedangkan faktor
yuridisnya adalah mengenai sebab-sebab terjadinya kejahatan internet dan upayaupaya penanggulanganya.
2. Bahan Hukum
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan bahan hukum
primer, sekunder dan bahan tersier. Bahan hukum primer merupakan bahan
hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum
primer dalam skripsi ini terdiri dari peraturan perundang-undangan antara lain
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, serta peraturan perundang-undangan lain yang

Universitas Sumatera Utara

23

terkait dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. Bahan hukum sekunder
adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku, pendapat para sarjana dan kasuskasus hukum yang terkait dengan pembahasan judul skripsi ini yaitu Perlindugan
hukum terhadap korban kejahatan internet dalam perspektif kriminologi. Bahan
hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan
bermakna terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus hukum dan lain-lain.
3. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (library research). Dalam hal penulis melakukan
penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang
dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam
skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan (library research) ini adalah untuk
memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan,
buku-buku, majalah surat kabar, situs internet maupun bahan bacaan lainya yang
berhubungan dengan skripsi ini.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan
dianalisis secara deskriptif. Analisa deskriptif artinya penulis semaksimal
mungkin berupaya untuk memaparkan data-data yang sebenarnya. Selanjutya
dianalisis dengan menggunakan metode dekdutif yang ada yang pada akhirnya
akan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi.

Universitas Sumatera Utara