Penanggulangan Tindak Pidana Perbuatan Cabul Terhadap Anak dalam Sudut Kebijakan Hukum Pidana (Studi di Kota Medan)

(1)

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERBUATAN CABUL TERHADAP ANAK DALAM SUDUT KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

(STUDI DI KOTA MEDAN)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Melita Berlina Br Meliala 097005006/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERBUATAN CABUL TERHADAP ANAK DALAM SUDUT KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

(STUDI DI KOTA MEDAN)

TESIS

Oleh:

Melita Berlina Br Meliala 097005006

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERBUATAN CABUL TERHADAP ANAK DALAM SUDUT KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

(STUDI DI KOTA MEDAN)

TESIS

Oleh:

Melita Berlina Br Meliala 097005006

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

ABSTRAKSI

Perbuatan cabul terhadap anak merupakan sebuah tindak pidana yang menyerang kehormatan kesusilaan anak. Hal ini menunjukkan betapa rentannya posisi anak sebagai makhluk yang lemah sehingga sering dimanfaatkan oleh orang dewasa dalam pemuasan kebutuhan biologisnya. Perbuatan tersebut tentunya akan menyebabkan dampak negatif dalam kehidupan si anak. Permasalahan dan tujuan yang diambil dalam penelitian ini adalah mengetahui faktor penyebab terjadinya tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak di Kota Medan; mengetahui upaya yang dilakukan dalam menanggulangi tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak selama ini: mengetahui kebijakan yang akan datang dalam menanggulangi tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak di Kota Medan.

Metode penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian yuridis normatif, yang dilakukan dengan mempelajari dan menelaah penerapan norma-norma hukum dan didukung oleh pendekatan yuridis empiris, dengan melakukan penelitian lapangan.

Penelitian ini menghasilkan kesimpulan penyebab terjadinya perbuatan cabul terhadap anak di Kota Medan dapat dibedakan atas pelaku anak dan pelaku dewasa yang masing-masing disebabkan oleh beberapa faktor-faktor internal (penyebab yang ada di dalam diri si pelaku) dan faktor eksternal (keadaan di luar diri si pelaku) yang dapat mempengaruhi pelaku melakukan perbuatan cabul terhadap anak.

Penanggulangan tindak pidana perbuatan cabul yang telah dilakukan adalah melalui kebijakan kriminal, yang dapat dibedakan atas kebijakan penal dan kebijakan non penal. Kebijakan penal dilakukan dengan menerapkan hukum pidana. Kebijakan non penal dilakukan tanpa hukum pidana dengan melakukan upaya-upaya pencegahan sebelum perbuatan tersebut terjadi.

Kebijakan yang akan datang dilakukan dengan merumuskan kebijakan penal dan memaksimalkan kinerja aparat penegak hukum dan juga merumuskan kebijakan non penal, yaitu upaya-upaya preventif untuk mencegah terjadinya perbuatan cabul terhadap anak.


(5)

ABSTRACT

Indecent behavior towards children is a crime action which is against of the honorary of the children morality. It shows how fragile the position of the children as the weak creature which are always used by the adults to satisfy their biologic need. Their behavior surely will cause the negative impacts in children’s life. Problems and purposes which are taken in this research are: to know the causes of why indecent behavior towards children happens in Medan; to know the efforts which are being done to overcome indecent behavior towards children recently; to know the policy which will be taken to overcome indecent behavior towards children in Medan.

The research method done is the research of normative yuridical method, which is done by learning and analyzing the application of law norms and supported by empirical yuridical approach by doing field research.

This research concludes that the causes of indecent behavior towards children in Medan can be differed of child as the doer and adult as the doer which is each of them caused by internal factors (the cause which comes from the inside of the doer him/herself) and external factors (the situations outside the doer) that can influence the doer to do indecent behavior towards children.

The ways that has been taken to overcome this indecent behavior towards children by giving criminal policy which can differed of penal policy and non penal policy. Penal policy done by applying criminal law. Non penal policy done without criminal law but instead by doing the efforts of prevention before the indecent behavior towards children happens.

The future policy done by formulating the penal policy and maximizing the functions and the duties of the law enforcers who also obliged to formulating non penal policy - the preventive efforts to prevent the indecent behavior towards children-.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, atas anugerah dan kasih karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Penanggulangan Tindak Pidana Perbuatan Cabul Terhadap Anak dalam Sudut Kebijakan Hukum Pidana (Studi di Kota Medan)” tepat pada waktunya. Penulis berharap tesis ini dapat memberikan kontribusi yang baik bagi ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum pidana serta bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi para pembaca.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa tanpa bantuan dari semua pihak baik moril, spiritual, maupun materiil, penulisan tesis ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), SP.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Runtung Sitepu, S.H. M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Suhaidi, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Mahmul Siregar, S.H.M.Hum, selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Prof. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., selaku Ketua Komisi Pembimbing, terima kasih atas bimbingan yang telah Bapak berikan kepada penulis.


(7)

6. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., selaku Anggota Pembimbing, terima kasih atas bimbingan dan motivasi yang telah Bapak berikan kepada penulis dan terima kasih karena telah mengingatkan penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

7. Dr. Marlina, S.H., M.Hum., selaku Anggota Pembimbing, terima kasih untuk kebaikan, kesabaran, perhatian, bimbingan dan motivasi yang telah Ibu berikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

8. Prof. Chainur Arrasyid, S.H., M.Hum., selaku penguji, terima kasih atas masukan yang telah Bapak berikan.

9. Dr. Idha Aprilyana, S.H., M.Hum., selaku penguji, terima kasih atas segala masukan yang sangat berharga dalam penyelesaian tesis ini.

10. Bapak/Ibu Guru Besar dan Staf Pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bekal ilmu bagi penulis yang sangat berguna bagi masa depan penulis.

11. Penghargaan setinggi-tingginya kupersembahkan kepada orang paling luar biasa dalam hidupku, yaitu kedua orang tuanku, Drs. M.T. Meliala dan J. Br. Tarigan yang telah menyekolahkanku sampai ke jenjang strata 2 (S2) dan telah memberikan dukungan, bimbingan, serta doa tulus yang tidak pernah berhenti mengalir untuk kesuksesanku.


(8)

12. Kakak/abangku Aslida Rosanni Meliala dan abangku Alm. Syahril Ginting, Junida Rufinna Meliala, Riswantra Meliala, Riwandi Meliala dan Edaku Mega Natalina Tarigan, serta keponakan-keponakanku Andre Zakaria Ginting, Sri Zaharani Ginting, dan Azhari Putra Ananda Ginting atas dukungan dan kebersamaan yang indah.

13. Brigadir Simpson Petra Wiliam Tarigan, terima kasih atas dukungan, kesetiaan, kesigapan, ketulusan, pengorbanan dan kasih sayang yang diberikan kepadaku, serta bantuan yang tidak terukur nilainya dalam menyelesaikan tesis ini.

14. Ibu Raras Sutatminingsih, M.Si., Psikolog, terima kasih atas bantuan dan motivasi yang telah Ibu berikan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Terima kasih juga buat Marizka Jasmine yang telah mempertemukan penulis dengan sang Ibunda sehingga memperlancar penulisan tesis ini.

15. Iptu Parulian Lubis, selaku Perwira Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Unit PPA) Polresta Medan atas informasi yang sangat bermanfaat dalam penulisan tesis ini

16. Bripka Betti Suriati dan Brigadir Devi O.S. Depari, selaku Penyidik Pembantu Unit PPA Polresta Medan atas informasi dan bantuannya dalam penulisan tesis ini.

17. Seluruh staf dan karyawan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Kak Fika, Kak Juli, Kak


(9)

Fitri, Bang Hendra, Bang Udin, Bu Ganti atas bantuan, dukungan, kerja sama yang baik selama penulis menyelesaikan kuliah.

18. Teman-teman seangkatan di Program Studi Magister Ilmu Hukum SPs USU, Lidya Carolina Sitepu S.H.,M.H., terima kasih atas dukungan dan kebersamaan sejak kuliah S1 sampai pada saat ini, Nanci Yosepin, S.H., M.H., terima kasih atas tumpangannya sehingga mempermudah dan melancarkan penulis dalam menyelesaikan tesis ini, dan seluruh teman-teman seperjuangan di Magister Ilmu Hukum SPs USU semoga kesuksesan menanti di masa depan kita, amin.

19. Sahabatku Jani Natasari Sinulingga, S.Sos, terima kasih atas terjemahan Bahasa Inggrisnya, dukungan, motivasi, dan hari-hari yang indah.

20. Teman-temanku di Purwacaraka Music Studio Medan atas dukungan, bantuan, dan pengertiannya kepadaku setiap kali berhalangan untuk mengajar demi kepentingan penyelesaian tesis ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa membalas setiap kebaikan, motivasi, dukungan dan pertolongan yang telah diberikan kepada Penulis dalam rangka menyelesaikan tesis ini. Penulis berharap tesis ini memberikan manfaat yang positif bagi setiap pembaca.

Medan, Agustus 2011


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Melita Berlina Br Meliala Tempat/Tanggal Lahir : Kabanjahe/18 Oktober 1985

Agama : Kristen Protestan

Jenis Kelamin : Perempuan

Riwayat Pendidikan : 1. SD Swasta Masehi 1 Kabanjahe, tahun 1992-1998. 2. SMP Negeri 1 Kabanjahe, tahun 1998-2001. 3. SMU Negeri 1 Kabanjahe, tahun 2001-2004.

4. Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, tahun 2004-2008.

5. Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, tahun 2009-2011.


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ………...….i

ABSTRACT ……..………...ii

KATA PENGANTAR………....iii

RIWAYAT HIDUP ………...vii

DAFTAR ISI…………...………viii

BAB I : PENDAHULUAN A. L atar Belakang …………...………..………...1

B. P ermasalahan ……….………...12

C. T ujuan Penelitian ………..………12

D. M anfaat Penelitian ……….…...12

E. K easlian Penelitian ………...…….13

F. K erangka Teori dan Kerangka Konsep 1. K erangka Teori ………..……14

2. K erangka Konsep ……….……..18


(12)

G. M etode Penelitian ……….21

1. S

umber Data ………..22

2. M

etode Pengumpulan Data ………...………22

3. A

nalisis Data ………..………….…………...23 BAB II : PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERBUATAN

CABUL TERHADAP ANAK DI KOTA MEDAN

A. P

engertian Tindak Pidana Perbuatan Cabul ..………...….25

B. T

indak Pidana Perbuatan Cabul Sebagai Kejahatan

1. S

ebab-sebab Terjadinya Kejahatan ………31

a. F

aktor Internal ……….33

b. F

aktor Eksternal ………...35

2. S

ebab-Sebab Terjadinya Tindak Pidana Perbuatan Cabul Terhadap Anak di Kota Medan ……….37

a. P

elaku Anak ……….42

b. P

elaku Dewasa ……….47

c. P


(13)

BAB III : UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERBUATAN CABUL TERHADAP ANAK DI KOTA MEDAN

A. K

ebijakan Penal (Penal Policy)

1. P

enegakan Hukum Pidana ………....55

2. F

aktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

a. F

aktor Hukum ...68

b. F

aktor Penegak Hukum ...69

c. F

aktor Fasilitas dan Sarana………..…….………...71

d. F

aktor Masyarakat ...72

e. F

aktor Kebudayaan ………...73

B. K

ebijakan Non Penal (Non Penal Policy)

1. M

engatasi Peredaran Video Porno dan Penggunaan Internet …..76

2. P

embimbingan Anak dalam Keluarga…. ……….78

3. M

enuntaskan Kemiskinan dan Mengatasi Pengangguran ………81

4. M


(14)

5. M emaksimalkan Fungsi Unit Bimmas Polresta Medan ...84 BAB IV : KEBIJAKAN KE DEPAN DALAM PENANGGULANGAN

TINDAK PIDANA PERBUATAN CABUL TERHADAP ANAK MENURUT KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

A. K

ebijakan Penal (Penal Policy) ……….86

1. P

eraturan Perundang-undangan ………...87

2. S

umber Daya Manusia Penegak Hukum ……….89

3. P

roses Persidangan ……….90

4. P

embentukan Badan Pengawas Kinerja Penegak Hukum …...91

5. M

emaksimalkan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) ...91

B. K

ebijakan Non Penal (Non Penal Policy) ………...93

1. P

enyuluhan Kepada Orang Tua ………...93

2. P

enyuluhan ke Sekolah ………95 3. Pendalaman Agama

……….96

4. R

azia Berkesinambungan ………96

5. B


(15)

6. M enunjuk Pengawas Lingkungan ………...98 BAB V : PENUTUP

A. K

esimpulan ……….99

B. S

aran ……….101


(16)

ABSTRAKSI

Perbuatan cabul terhadap anak merupakan sebuah tindak pidana yang menyerang kehormatan kesusilaan anak. Hal ini menunjukkan betapa rentannya posisi anak sebagai makhluk yang lemah sehingga sering dimanfaatkan oleh orang dewasa dalam pemuasan kebutuhan biologisnya. Perbuatan tersebut tentunya akan menyebabkan dampak negatif dalam kehidupan si anak. Permasalahan dan tujuan yang diambil dalam penelitian ini adalah mengetahui faktor penyebab terjadinya tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak di Kota Medan; mengetahui upaya yang dilakukan dalam menanggulangi tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak selama ini: mengetahui kebijakan yang akan datang dalam menanggulangi tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak di Kota Medan.

Metode penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian yuridis normatif, yang dilakukan dengan mempelajari dan menelaah penerapan norma-norma hukum dan didukung oleh pendekatan yuridis empiris, dengan melakukan penelitian lapangan.

Penelitian ini menghasilkan kesimpulan penyebab terjadinya perbuatan cabul terhadap anak di Kota Medan dapat dibedakan atas pelaku anak dan pelaku dewasa yang masing-masing disebabkan oleh beberapa faktor-faktor internal (penyebab yang ada di dalam diri si pelaku) dan faktor eksternal (keadaan di luar diri si pelaku) yang dapat mempengaruhi pelaku melakukan perbuatan cabul terhadap anak.

Penanggulangan tindak pidana perbuatan cabul yang telah dilakukan adalah melalui kebijakan kriminal, yang dapat dibedakan atas kebijakan penal dan kebijakan non penal. Kebijakan penal dilakukan dengan menerapkan hukum pidana. Kebijakan non penal dilakukan tanpa hukum pidana dengan melakukan upaya-upaya pencegahan sebelum perbuatan tersebut terjadi.

Kebijakan yang akan datang dilakukan dengan merumuskan kebijakan penal dan memaksimalkan kinerja aparat penegak hukum dan juga merumuskan kebijakan non penal, yaitu upaya-upaya preventif untuk mencegah terjadinya perbuatan cabul terhadap anak.


(17)

ABSTRACT

Indecent behavior towards children is a crime action which is against of the honorary of the children morality. It shows how fragile the position of the children as the weak creature which are always used by the adults to satisfy their biologic need. Their behavior surely will cause the negative impacts in children’s life. Problems and purposes which are taken in this research are: to know the causes of why indecent behavior towards children happens in Medan; to know the efforts which are being done to overcome indecent behavior towards children recently; to know the policy which will be taken to overcome indecent behavior towards children in Medan.

The research method done is the research of normative yuridical method, which is done by learning and analyzing the application of law norms and supported by empirical yuridical approach by doing field research.

This research concludes that the causes of indecent behavior towards children in Medan can be differed of child as the doer and adult as the doer which is each of them caused by internal factors (the cause which comes from the inside of the doer him/herself) and external factors (the situations outside the doer) that can influence the doer to do indecent behavior towards children.

The ways that has been taken to overcome this indecent behavior towards children by giving criminal policy which can differed of penal policy and non penal policy. Penal policy done by applying criminal law. Non penal policy done without criminal law but instead by doing the efforts of prevention before the indecent behavior towards children happens.

The future policy done by formulating the penal policy and maximizing the functions and the duties of the law enforcers who also obliged to formulating non penal policy - the preventive efforts to prevent the indecent behavior towards children-.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang pasti akan berpendapat bahwa anak merupakan generasi yang akan meneruskan perjuangan dan cita-cita seluruh bangsa-bangsa di belahan bumi ini. Merekalah nantinya yang akan menjadi pemimpin baru yang siap untuk menghadapi tantangan baru seiring dengan perkembangan zaman. Hal ini secara tegas dirumuskan dalam butir c konsiderans Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi “bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan”.

Sebuah keluarga akan terasa tidak lengkap tanpa kehadiran seorang anak yang sering disebut-sebut sebagai buah hati. Maka ketika seorang anak lahir, kedua orang tuanya akan memberikan segenap perhatian dan kasih sayang pada anak tersebut karena memang seorang anak berhak dan sangat layak untuk mendapatkan perlakuan khusus sebagai makhluk lemah dan masih sangat bergantung kepada orang tuanya. Sejak dilahirkan ke dunia ini, setiap orang, termasuk seorang anak memiliki hak-hak yang melekat dalam dirinya sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan hal tersebut secara tegas dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar Republik


(19)

Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.1 Hak-hak tersebut juga jelas diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tentang Hak Anak 20 November 1989 yang telah secara resmi diratifikasi oleh Indonesia. Hukum memberikan perlindungan secara penuh terhadap hak-hak anak. Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.2 Uraian di atas secara jelas memaparkan bahwa perlindungan hak anak bukan hanya merupakan tugas pemerintah dan orang tuanya saja, melainkan juga tugas masyarakat secara umum.

Kenyataannya, tidak seluruh anak yang ada di negara ini mendapatkan perlindungan hak secara penuh, namun banyak anak semakin menjadi sosok yang terancam oleh perlakuan orang-orang dewasa maupun teman sebaya. Jika kita perhatikan pemberitaan di berbagai media massa, baik media elektronik maupun media cetak, kita akan menemukan bahwa semakin banyak anak-anak yang menjadi korban kejahatan di seluruh Indonesia, baik secara fisik, psikis, bahkan seksual. Masalah kejahatan terhadap anak ini bukan hanya menjadi masalah bangsa Indonesia saja, tetapi menjadi masalah hampir seluruh negara-negara di dunia sebagaimana

1

Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 

2

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum


(20)

yang dikemukakan Ibu Negara, Ani Bambang Yudhoyono, ”masalah kekerasan terhadap anak bukan hanya masalah bangsa Indonesia melainkan sudah menjadi masalah global, dimana perdagangan anak, dan kasus eksploitasi anak di bawah umur yang semakin meningkat akhir-akhir ini yang membuat kita merasa sangat prihatin.3” M. Joni & Zulchaina Z. Tanamas, 1999 mengemukakan4:

“pada tatanan hukum, hak-hak yang diberikan kepada anak belum sepenuhnya bisa ditegakkan. Hak-hak anak sebagaimana dimaksud dalam dokumen hukum mengenai perlindungan hak-hal anak masih belum cukup ampuh bisa menyingkirkan keadaan yang buruk bagi anak . Pada kenyataannya, tatanan dunia dan perilaku kehidupan masyarakat masih menyimpan masalah anak. Bahkan keadaan sperti itu bukan saja melanda Indonesia, namun juga hampir pada seluruh muka jagat bumi ini.”

Tindak pidana terhadap anak terjadi di seluruh kota yang ada di Indonesia. Bentuk tindak pidana tersebut juga berbeda-beda. Mulai dari perbuatan cabul, penganiayaan, perdagangan anak, eksploitasi seksual anak, bahkan pembunuhan anak. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di Kalimantan Barat, dimana seorang bujang tua bernama Sumadi alias Kocer alias Pak Itam, akhir April lalu dilaporkan ke petugas kepolisian, karena dituduh telah melakukan tindakan pencabulan terhadap tiga anak laki-laki yang masih di bawah umur.5 Hal yang sama juga terjadi di Kota Tasikmalaya, seorang pelajar berusia 16 tahun telah disetubuhi atau menjadi korban

3

LCKI 11 Juli 2006,

http://www.lcki.org/index.php?option=com_content&view=article&id=102%3Aseminar-pencegahan-kejahatan-terhadap-anak&catid=45%3Aseminar-workshop-diskusi&Itemid=37&lang=id, diaksess 28 Maret 2011 

4

M. Joni & Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif

Konvensi Hak Anak, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 1 

5

Asep Syaifullah, 2009, Indosiar, http://www.indosiar.com/ragam/40835/perbuatan-cabul-bujang-tua, diakses tanggal 13 Maret 2011 


(21)

perbuatan cabul.6 Kejadian serupa juga terjadi di Kota Palembang, dimana seorang ayah telah mencabuli anak tirinya ketika sedang tertidur pulas.7 Berbeda dengan kasus yang baru-baru ini terjadi di Surabaya, dimana seorang ayah tega menganiaya yang mengakibatkan kematian Almira, bayinya sendiri yang masih berusia 18 (delapan belas) bulan dan setelah mengetahui anaknya meninggal dunia, sang ayah pun melarikan diri.8 Keadaan ini tentu saja merupakan suatu keadaan yang sangat memprihatinkan. Potensi dan posisi anak sebagai generasi penerus bangsa tampaknya bukan lagi menjadi alasan untuk memperlakukan anak sebagai seseorang yang harus dilindungi bagi sejumlah orang, tetapi justru anak sebagai makhluk yang rentan dan belum banyak mengerti tentang segala sesuatu, semakin dimanfaatkan oleh orang lain untuk melakukan tindak pidana terhadap anak. Fakta itu semakin terkuak, dimana anak yang seharusnya tumbuh berkembang dalam dunianya dan menikmati masa kecilnya yang bahagia dan tanpa beban harus dirampas hak-haknya oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Sama seperti kota-kota lain di Indonesia yang banyak menghadapi persoalan tindak pidana terhadap anak, hal yang sama juga terjadi di Kota Medan. Terbukti dengan sebuah berita mengenai perbuatan cabul yang dilakukan oleh seorang kakek

6

Kepolisian RI, Polres Ciamis, 10 Maret 2011,

http://ppid.polri.go.id/index.php?pages=details&id=8866&iduser=725&sat=65, diakses 13 April 2011  7

Banjarmasin Post, 11 Juli 2010,

http://banjarmasin.tribunnews.com/index.php/read/artikel/2010/7/11/49859/hubungikami, diakses tanggal 13 April 2011


(22)

berumur 60 tahun terhadap anak berumur 13 tahun.9 Parahnya, hal yang sama juga dilakukan oleh seorang ayah tiri terhadap anaknya yang masih berusia 10 tahun.10 Kejadian yang lebih miris lagi, perbuatan cabul tersebut dilakukan oleh seorang oknum guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhadap 6 (enam) orang anak di bawah jembatan kanal Brigjen. Katamso11, padahal, seorang guru seharusnya memberikan didikan dan teladan bagi para murid agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik. Kasus-kasus di atas merupakan sebuah potret dimana anak sebagai generasi penerus bangsa yang seharusnya diperlakukan secara khusus agar tidak mengganggu perkembangan jiwanya dan dapat bertumbuh dan berkembang secara wajar, harus dirusak jiwa dan mentalnya oleh perbuatan orang yang tidak bertanggung jawab. Perlakuan khusus terhadap anak juga diberikan oleh hukum, dimana jika suatu tindakan yang dilakukan terhadap orang dewasa tidak dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau pelanggaran hukum, tetapi jika dilakukan terhadap anak akan menjadi tindak pidana.12 Misalnya, jika seorang laki-laki dewasa membawa lari seorang wanita dewasa atas persetujuan wanita tersebut, maka perbuatan itu tidaklah dianggap sebagai perbuatan pidana, tetapi jika perbuatan tersebut dilakukan kepada seorang anak yang masih di bawah umur, sekalipun itu

9

Medan Talk, 15 April 2010, http://www.medantalk.com/hari-ini-h-bai-diperiksa/, diakses tanggal 28 Maret 2011. 

10

Harian Sumut Pos, 07 Januari 2011, http://www.hariansumutpos.com/arsip/?p=68755, diakses 28 Maret 2011. 

11

Waspada Online, 08 April 2011,

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=186378:guru-sd-cabul-diamankan&catid=14:medan&Itemid=27, indeks..., diakses 13 April 2011 

12

Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, 1997, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 99 (Bandingkan dengan Pasal 332 Ayat 1 KUHP) 


(23)

dikehendaki dan disetujui oleh anak tersebut, maka perbuatan tersebut tetap diancam dengan pidana.

Kasus di atas merupakan sebagian kecil dari kasus-kasus yang terjadi di Kota Medan. Data Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Resor Kota Medan (Polresta Medan) yang dihimpun dari Tahun 2007 sampai dengan Tahun 2010 menunjukkan ada 57 laporan kasus tindak pidana terhadap anak, 47 kasus diantaranya adalah kasus perbuatan cabul terhadap anak, selebihnya penganiayaan, percobaan perkosaan, dan perdagangan anak. Untuk lebih jelasnya dapat kita perhatikan dalam Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Laporan Tindak Pidana Terhadap Anak Polresta Medan Tahu

n

Jenis Tindak Pidana Jumla h Kasus

Usia Korban

Jeratan Keterangan

1. Perbuatan Cabul 13 3,2 - 16

293 KUHP 1 cabut BP. 1 P.22 Selebihnya

masih dalam proses.

2. Penganiayaan 1 17 351 KUHP proses 2007

3. Melarikan anak di bawah umur


(24)

1. Perbuatan Cabul 22 4 - 16 1 Pasal 290 KUHP,

Selebihnya Pasl 293 KUHP

3 Cabut BP 6 SP3, 3 P.22, Selebihnya

masih dalam proses

2. Penganiayaan 4 11 - 16 170 KUHP jo. 351 KUHP

2 SP 3,

2 dalam proses 3. Percobaan

Perkosaan

1 2 Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002

Cabut BP

4. Kekerasan Terhadap Anak

1 15 Pasal 80 UU No. 23 Tahun 2002

Cabut BP 2008

5. Perdagangan Orang

1 15 Pasal 297 KUHP P. 22 2009 1. Perbuatan Cabul 4 4 - 14 1 Pasal 290

KUHP

3 Pasal 293 KUHP

1 P. 22 Selebihnya dalam proses

2010 1. Perbuatan Cabul 8 4 - 17 4 Pasal 293 KUHP

6 Pasal 82 UU

1 SP 3 1 Cabut BP 6 Proses


(25)

No. 23 Tahun 2002

2. Melarikan Anak di Bawah Umur

1 17 Pasal 332 dan

328 KUHP

P. 22

Tabel di atas menunjukkan bahwa jenis tindak pidana terhadap anak yang paling banyak terjadi adalah kejahatan seksual terhadap anak, yakni perbuatan cabul. Hal ini tentu saja sangat merusak fisik dan psikis anak yang nantinya akan berpengaruh pada masa depan yang harus dibayangi trauma masa lalunya, padahal, sejumlah peraturan perundang-undangan telah mengatur mengenai perlindungan kejahatan seksual terhadap anak. Sebuah negara yang mencurahkan perhatian terhadap anak paling mudah dilihat dari perbagai produk peraturan perundang-undangan yang menyangkut perlindungan anak.13 Perumusan peraturan perundang-undangan tersebut akan dirumuskan dengan rinci, detail dan tidak menimbulkan celah sedikitpun bagi pelaku untuk lolos dari jeratan hukum tersebut. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) juga merumuskan beberapa perlindungan terhadap anak antara lain:

1. Menjaga kesopanan anak (Pasal 283 KUHP)

Dalam Pasal ini secara tegas dijelaskan mengenai larangan terhadap perbuatan yang dapat mengusik kesopanan anak dengan menawarkan,


(26)

memberikan untuk terus menerus ataupun sementara waktu, menyerahkan atau memperilhatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, bahkan dikenakan hukuman yang sama bagi seseorang yang membaca isi tulisan yang melanggar kesusilaan di muka orang yang belum dewasa. Pasal ini menegaskan bahwa kesopanan anak harus dijaga dan dipertahankan, sebab anak memiliki sifat seperti tape recorder, dimana ia bisa merekam apapun yang ia dapatkan, bersifat reseptif yang dengan mudah menerima apa yang ia dengar maupun lihat, dan meniru atau mengikuti tindakan atau kebiasaan-kebiasaan yang sudah ia terima sebagai suatu kewajaran.14

2. Larangan bersetubuh dengan orang yang belum dewasa (Pasal 287 KUHP) Pasal ini menegaskan larangan dan sanksi bagi pelaku yang bersetubuh dengan anak yang masih di bawah umur.

3. Larangan berbuat cabul dengan anak (Pasal 290, 294, dan 295 KUHP) Perbuatan cabul terhadap anak merupakan suatu perbuatan yang sangat merusak psikis dan fisik anak. Dalam pasal-pasal ini ditegaskan larangan perbuatan cabul terhadap anak, bahkan diancam juga dengan pidana jika seseorang membiarkan terjadinya perbuatan cabul terhadap anak.

4. Larangan menculik anak (Pasal 330 KUHP)

14

http://id.shvoong.com/lifestyle/family-and-relations/2033024-sifat-sifat-anak/#ixzz1K2egJkDc, diakses 20 April 2011 


(27)

Kasus penculikan anak banyak sekali yang berujung kepada eksploitasi anak, perbudakan anak, hingga penjualan anak (children trafficking). Terhadap kasus penculikan anak pasal ini menegaskan ancaman hukuman bagi seseorang yang melakukan penculikan anak, namun dalam rumusan pasal ini terdapat ketidakjelasan kata-kata yang dapat mengakibatkan penafsiran yang salah bahkan membuat masayarakat tidak mengerti.

5. Larangan menyembunyikan orang yang belum dewasa (Pasal 331 KUHP) Pasal ini menegaskan larangan dan sanksi bagi orang yang menyembunyikan anak dari pengawasan orang yang berwenang atas anak tersebut.

6. Larangan melarikan perempuan belum dewasa (Pasal 332 KUHP)15

Pasal ini menegaskan larangan untuk membawa lari seorang wanita di bawah umur, baik dengan persetujuan wanita tersebut, maupun dengan tipu muslihat, kekerasan atau acnaman kekerasan.

Pasal-pasal di atas menyebutkan beberapa tindakan yang melanggar hak-hak anak, walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri jumlah tindakan perbuatan cabul terhadap anak yang mendominasi dalam Data Polresta Medan. Hal ini tentu saja menimbulkan keprihatian yang mendalam di hati kita, karena anak sebagai makhluk yang seharusnya dilindungi harus dirusak kehormatannya yang tentu saja akan memperngaruhi tumbuh kembangnya, padahal, mengenai perbuatan cabul tesebut


(28)

telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 290 ayat (2) dan (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) dirumuskan “diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

(2) barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;

(3) Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

Rumusan pasal di atas yang paling banyak digunakan dalam menjerat tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak di Polresta Medan, padahal, telah ada peraturan khusus yang diterbitkan mengenai tindak pidana tersebut yang rumusannya lebih detail dan lebih jelas, serta dengan ancaman hukuman yang lebih berat, yaitu Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”

dalam hal ini berlaku asas lex specialis derogat lex generalis, yakni peraturan yang khusus mengesampingkan peraturang yang umum.16 Dimana, Undang-Undang


(29)

Nomor 23 Tahun 2002 sebagai peraturan yang khusus digunakan sebagai prioritas dalam menindak pelaku kejahatan terhadap anak.

Sebagai sebuah negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia bukan hanya membuat produk perundangan-undangan yang berlaku nasional saja, namun juga memutuskan untuk meratifikasi Konvensi Hak Anak sebagai bukti keseriusan dalam pencegahan pelanggaran hak-hak anak,. Konvensi Hak Anak juga secara rinci menegaskan kepada negara-negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak tersebut untuk melindungi anak dari berbagai bentuk kejahatan seksual yang tertuang dalam Pasal 34 Konvensi Hak Anak :

“Negara-negara Pihak berusaha melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual. Untuk tujuan-tujuan ini, maka Negara-negara Pihak harus terutama mengambil semua langkah nasional, bilateral dan multilateral yang tepat, untuk mencegah:

(1) Bujukan atau pemaksaan terhadap seorang anak untuk terlibat dalam setiap aktivitas seksual yang melanggar hukum.

(2) Penggunaan eksploitatif terhadap anak-anak dalam pelacuran, atau praktek-praktek seksual lainnya yang melanggar hukum.

(3) Penggunaan eksploitatif terhadap anak-anak dalam pertunjukan dan bahan-bahan pornografis.”

Uraian di atas menunjukkan bahwa betapapun tindak pidana terhadap anak telah dirumuskan dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan, namun pada kenyataannya sampai saat ini kejahatan terhadap anak masih tetap saja terjadi di berbagai daerah di negeri ini, khsusnya di Kota Medan. Hal inilah menjadi latar belakang perlunya penelitian lebih lanjut yang akan disajikan dalam bentuk Tesis yang berjudul PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERBUATAN CABUL


(30)

TERHADAP ANAK DALAM SUDUT KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (STUDI DI KOTA MEDAN).

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, adapun permasalahan yang akan diteliti adalah:

1. Mengapa tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak terjadi di Kota Medan? 2. Bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana perbuatan cabul terhadap

anak di Kota Medan selama ini?

3. Bagaimanakah kebijakan yang akan datang dalam penanggulangan tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak menurut kebijakan hukum pidana? C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan mendalami faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak di Kota Medan;

2. Untuk mengetahui dan mendalami upaya penanggulangan tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak yang terjadi selama ini;

3. Untuk mengetahui dan mendalami kebijakan yang akan datang dalam menanggulangi tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak menurut kebijakan hukum pidana.


(31)

Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat baik secara teoretis maupun secara praktis, antara lain:

1. Secara Teoretis, untuk membuka paradigma berfikir dalam mendalam permasalahan tindak pidana terhadap anak yang banyak terjadi selama ini dan juga untuk melengkapi bahan-bahan kajian tentang penanggulangan tindak pidana terhadap anak dalam sudut kebijakan hukum pidana di perpustakaan Universitas Sumatera Utara.

2. Secara Praktis, yaitu untuk menambah bahan informasi khususnya bagi instansi terkait dalam usaha menanggulangi tindak pidana terhadap anak khususnya di Kota Medan.

E. Keaslian Penelitian

Guna menghindari adanya duplikasi terhadap permasalahan yang sama dengan permasalahan di atas, maka sebelumnya peneliti telah melakukan penelusuran di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, namun tidak ditemukan Tesis dengan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Oleh sebab itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini dinyatakan masih asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karaya tulis orang lain yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan.


(32)

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep 1. Kerangka Teori

Kebijakan Kriminal (criminal policy)

Kebijakan kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahtreraan masyarakat (social welfare), oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.17 Menurut Mahmud Mulyadi, istilah criminal policy agaknya kurang tepat jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “kebijakan kriminal”,18 karena seolah-olah mencari suatu kebijakan untuk membuat kejahatan (kriminal), karena itu beliau berpendapat lebih tepat untuk menggunakan istilah kebijakan penanggulangan kejahatan.19

Barda Nawawi Arief mengutip pendapat Sudarto yang mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu:

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; dan

17

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2008, selanjutnya disebut Buku II), hlm. 2 

18

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke III (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 149 & 600.

Criminal Policy yang berasal dari Bahasa Inggris yang sering diterjemahkan dengan Kebijakan

Kriminal. Jika diterjemahkan secara harfiah, kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak; sedangkan kriminal adalah sesuatu yang berkaitan dng kejahatan (pelanggaran hukum) yang dapat dihukum menurut undang-undang.

19

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal


(33)

c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-bandan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.20

Menurut G. Pieter Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan beberapa cara, yaitu:

1. Penerapan hukum pidana (criminal law application); 2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);

3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influecing views of society on crime of

punishment).21

Kebijakan penanggulangan kejahatan ini secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu22:

1) Kebijakan Non-Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal ini adalah penaggulangan kejahatan sebelum terjadinnya kejahatan yang lebih bersifat tindakan preventif atau pencegahan terjadinya tindak pidana. Dalam hal ini yang harus ditangani adalah faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya kejahatan yang tentu saja berhubungan dengan memperbaiki moral bangsa yang dapat ditempuh dengan berbagai upaya pencegahan, baik melalui peningkatan nilai-nilai keagamaan, penyuluhan

20 Barda Nawawi Arief, Buku II, Op. Cit., hlm. 1  21

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan

Restorative Justice, (Medan: PT. Refika Aditama, 2009), Hlm. 15 


(34)

melalui pemuka masyarakat, pendidikan moral di sekolah-sekolah, termasuk pembentukan moral dan karakter dalam keluarga.

Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis dalam penanggulangan kejahatan adalah melalui sarana non-penal ini karena lebih bersifat preventif (pencegahan dan karena kebijakan penal mempunyai keterbatasan/kelemahan, yaitu bersifat fragmentaris/simplistik/tidak struktural-fungsional, dan harus didukung dengan biaya tinggi.23

Upaya penanggulangan kejahatan dengan pendekatan non penal merupakan bentuk upaya pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana dengan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa.24 Dengan demikian media massa harus menjalankan fungsinya dengan memberikan sajian-sajian positif kepada masyarakat, jangan sampai media massa yang menginspirasi masyarakat untuk melakukan kejahatan.

2) Kebijakan Penal

Penanggulangan kejahatan melalui jalur penal ini adalah penanggulangan kejahatan setelah terjadinya kejahatan. Hal ini bersifat represif (menekan, mengekang, menahan, atau menindas25), artinya dalam hal ini setiap pelaku kejahatan diberikan hukuman sesuai dengan hukum

23

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, selanjutnya disebut Buku III), hlm. 74 

24 Marlina, Op. Cit., hlm. 17 


(35)

positif. Penanggulangan kejahatan melalui jalur penal menyangkut bekerjanya fungsi aparatur penegak hukum sistem peradilan pidana yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.26

Menurut Barda Nawawi Arief, pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui sarana penal merupakan penal policy atau penal law

enforcement policy yang fungsionalisasinya/operasionalisasinya melalui

beberapa tahap:

1) Formulasi (kebijakan legislatif);

2) Aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial); 3) Eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).27

Tahap formulasi mengharapakan upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas dari aparat penegak hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui penal policy. Oleh karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.28

26 Marlina, Op. Cit., Hlm. 16 

27Barda Nawawi Arief, Buku III, Op. Cit., hlm. 75  28 Ibid. 


(36)

2. Kerangka Konsep

Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca dan memahami penulisan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu dijelaskan beberapa kerangka konseptual yang terdapat dalam tulisan ini, antara lain:

a. Penanggulangan, upaya untuk mengatasi sesuatu.29

b. Tindak Pidana, Tindak pidana dalam didalam WvS (Wetboek Van

Strafrecht)/KUHP disebut dengan istilah Strafbaar feit atau Delict,

sedangkan dalam merumuskan undang-undang atau peraturan digunakan istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana, atau tindak pidana30. Menurut R. Soesilo Tindak pidana merupakan suatu tindakan yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana31.

c. Penanggulangan Tindak Pidana, upaya untuk mengatasi suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang.32

29 Kamus Besar Bahasa Indonesia 

30 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), hlm. 90  31

M. Rasyid Ariman, M. Fahmi Raghib, dan S. Pettanase, Sari Kuliah Hukum Pidana dalam

Kodifikasi, (Palembang: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 2007), hlm.4 

32

Dalam penjelasan sebelumnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penanggulangan berarti upaya untuk mengatasi sesuatu; sedangkan tindak pidana adalah merupakan suatu tindakan yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana; dari pengertian tersebut ditarik kesimpulan mengenai pengertian Penanggulangan Tindak Pidana. 


(37)

d. Perbuatan Cabul, perbuatan33 yang menyerang kehormatan kesusilaan dan melanggar kesopanan.34 Perbuatan cabul yang dimaksud dalam tulisan ini adalah perbuatan cabul yang berhubungan dengan tubuh atau bagian tubuh, terutama bagian-bagian tubuh yang dapat merangsang nafsu seksual, seperti alat kelamin, buah dada, mulut dan sebagainya yang dipandang melanggar rasa kesusilaan umum.35 Artinya, pelaku telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh dengan meremas payudara korban, memasukkan tangan pelaku ke dalam kemaluan korban, menciumi korban, dan atau melakukan hubungan intim dengan korban. Perbuatan cabul merupakan pengertian yang lebih sempit dari pelecehan seksual, dimana jika dikatakan pelecehan seksual jika seorang pria mencolek bagian tubuh wanita, seperti bokong, paha, pinggang, dan bagian sensitif (khusus) lainnya dapat dianggap sebagai pelecehan seksual namun tidak dapat dibuktikan sebagai perbuatan cabul seperti yang dirumuskan dalam KUHP dan UU No. 23 Tentang Perlindungan Anak.

e. Anak

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

33

Secara harfiah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “perbuatan” diartikan sebagai sesuatu yg diperbuat (dilakukan); tindakan, dan “cabul” keji dan kotor; tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan) 

34 Bandingkan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.Cit. hlm. 168 & 184  35

Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 82 


(38)

Dalam KUHP sendiri pengaturan tentang batasan usia anak diatur dalam pasal 45, yakni orang yang belum dewasa adalah orang yang masih dibawah enam belas (16) tahun.

2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Menurut UU ini batasan usia anak adalah orang yang berusia 8 – 18 tahun, namun dalam hal ini adalah menyangkut anaka nakal yang dirumuskan dalam Pasal 1 butir 1, Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin.” 3) UU No. 39 Tahun 1999

Dalam Pasal 1 butir ke 5 UU ini dikatakan “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”

4) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 1 butir ke 1 UU ini dikatakan “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”


(39)

f. Criminal Policy, yaitu kebijakan penanggulangan kejahatan yang dapat

dilalui dengan dua cara, yaitu kebijakan penal (penal policy) dan kebijakan non penal (non penal policy).36

g. Kebijakan Penal (Penal Policy), adalah penanggulangan kejahatan melalui tindakan represif (menghukum pelaku).37

h. Kebijakan Non Penal (non penal policy), adalah penanggulangan kejahatan melalui tindakan peventif (mencegah terjadinya kejahatan).38 G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Penelitian Yuridis Normatif, yang dilakukan dengan mempelajari dan menelaah penerapan norma-norma hukum.39 Penelitian yuridis normatif ini didukung oleh pendekatan yuridis empiris, yaitu dilakukan penelitian lapangan (field research). Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu bentuk penelitian yang menggambarkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana terhadap anak, upaya penanggulangan yang telah dilakukan selama ini dan kebijakan dalam penanggulangan tindak pidana terhadap anak ke depan.

36 Marlina, op. cit., hlm. 15  37 Ibid., hlm. 16 

38 Mahmud Mulyadi, op. cit., hlm. 55  39

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 184 


(40)

1. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Primer dan Data Sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian lapangan, sedangkan data sekunder terdiri atas:

a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat digunakan dalam penelitian ini40, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

b) Bahan Hukum Sekunder, bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku hukum, surat kabar, tulisan ilmiah, dan internet.

c) Bahan Hukum Tertier, bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam penelitian ini digunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, dan Kamus Bahasa Belanda.

2. Teknik Pengumpulan Data41

a. Penelitian Kepustakaan (library research), yaitu menelusuri dokumen-dokumen maupun buku-buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoretis berupa bahan hukum positif yang sesuai dengan objek yang akan diteliti.

40 Ibid., hlm. 185  41

Sekretariat Jenderal DPR RI, Manual Pedoman Perancangan Undang-Undang, (Jakarta, 2007), hlm. 11 


(41)

b. Wawancara (interview), merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia serta pendapat-pendapat mereka42. Teknik wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara bebas terpimpin yang bersifat komprehensif (mendalam) dengan menggunakan alat rekam (mp4 player) dan alat tulis43. Wawancara dilakukan terhadap informan yang karena jabatan, pengetahuan, kualitas, serta pengalamannya pernah terlibat secara langsung maupun tidak langsung berkenaan dengan penanggulangan tindak pidana terhadap anak, yaitu:

1) Kepolisian Negara Republik Indonesia Dearah Sumatera Utara Kota Besar Medan dan Sekitarnya (Polresta Medan);

2) Psikolog.

Wawancara dengan korban dan pelaku tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak akan dilakukan juga untuk melengkapi keterangan dalam penelitian ini.

3. Analisis Data

Analisis Data, yaitu menganalisis data yang telah diperoleh dalam penelitian tersebut dengan cara data yang telah dikumpulkan akan disajikan dalam uraian dan dijelaskan berdasarkan logika, sehingga kemudian akan diperoleh

42 Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 95  43 Ibid., hlm. 143 


(42)

suatu kesimpulan yang bersifat deduktif, yaitu kesimpulan diuraikan dari hal-hal yang umum ke hal-hal yang khusus dan disajikan dalam bentuk tesis. Keseluruhan data ini akan dianalisis secara kualitatif.


(43)

BAB II

PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERBUATAN CABUL TERHADAP ANAK DI KOTA MEDAN

A. Pengertian Tindak Pidana Perbuatan Cabul

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia membuat pembedaan atas tindakan masyarakat yang digolongkan dan dibrumuskan dalam tiga buku, yakni Buku Kesatu mengatur mengenai Aturan Umum, Buku Kedua mengatur Kejahatan, dan buku Ketiga mengatur tentang Pelanggaran. Setiap perbuatan yang melanggar isi pasal-pasal dalam buku kedua disebut sebagai kejahatan, sedangkan setiap perbuatan yang melanggar buku ketiga disebut sebagai pelanggaran. Perbedaan kejahatan dan pelanggaran sebagaimana ditegaskan dalam Memorie van Toelichting, kejahatan adalah “delik hukum”, yakni peristiwa yang berlawanan atau bertentangan dengan asas-asas hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari undang-undang, sedangkan pelanggaran adalah “delik undang-undang”, yakni peristiwa yang untuk kepentingan umum dinyatakan oleh undang-undang sebagai hal yang terlarang”.44 Sebagai contoh, pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan dan sebagainya, sebelum menjelma ke dalam KUHP telah lama ada, yaitu sebagaimana tersebut dalam 10 perintah Tuhan yang diterima oleh Nabi Musa. Perbuatan-perbuatan tersebut selain dicap sebagai sebuah kejahatan juga

44 G.W. Bawengan. 

Pengantar Psikologi Kriminil. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1971), hlm. 9 


(44)

menimbulkan reaksi masyarakat terhadap pelakunya. Contoh tersebut sebenarnya hanya sebuah norma agama, namun keyakinan untuk jangan membunuh atau mencuri bukan saja dimiliki oleh sebuah agama tertentu, tetapi hidup juga dalam keyakinan setiap orang.45 Sedangkan, contoh lain, pengemisan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 504 KUHP ditetapkan undang-undang sebagai sebuah pelanggaran, padahal reaksi orang lain tidak selalu negatif terhadap orang yang mengemis, namun karena pengemisan dianggap dapat menggangu ketertiban umum, maka undang-undang melarang tindakan pengemisan di muka umum dan menetapkannya sebagai pelanggaran. Hukuman yang diterima orang yang melakukan kejahatan dan pelanggaran tentu saja berbeda, kejahatan diancam dengan ancaman hukuman yang jauh lebih berat daripada pelanggaran.

Semua tindak pidana yang bertentangan dengan kehormatan kesusilaan disebut dengan kejahatan. Salah satunya adalah perbuatan cabul yang diatur dalam Buku Ketiga KUHP yang dirumuskan dari Pasal 289 sampai dengan Pasal 296, namun yang menjadi fokus di sini adalah Pasal 290 yakni perbuatan cabul yang dilakukan terhadap anak, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, merupakan makhluk yang lemah dan sangat lugu dan perlu untuk dilindungi kepentingan dan hak-haknya. Perbuatan cabul selalu terkait dengan perbuatan yang berhubungan dengan tubuh atau bagian tubuh, terutama bagian-bagian tubuh yang dapat merangsang nafsu seksual, seperti alat kelamin, buah dada, mulut dan sebagainya

45 


(45)

yang dipandang melanggar rasa kesusilaan umum.46 Banyak juga orang yang berpendapat bahwa perbuatan cabul sama dengan pemerkosaan. Pendapat tersebut ada benarnya juga jika kita bertolak dari pendapat seorang ahli hukum bernama Made Darma Weda. Beliau berpendapat bahwa perbuatan cabul tersebut dapat dogolongkan sebagai perkosaan karena perkosaan tidak selalu harus masuknya penis ke dalam vagina, bisa saja yang dimasukkan kedalam vagina bukan penis pelaku, tetapi jari, kayu, botol atau apa saja baik ke dalam vagina maupun mulut atau anus.47 Selanjutnya Made Darma Werda mengutip pendapat Steven Box yang mengklasifikasikan pemerkosaan ke dalam beberapa jenis, yaitu:

1. Sadist rape, yaitu pemerkosaan yang dilakukan secara sadistik. Si pelaku

mendapat kepuasan bukan karena bersetubuh tetapi karena perbuatan kekerasan terhadap “genitalia” dan tubuh si korban.

2. Anger rape, merupakan ungkapan pemerkosaan yang karena kemarahan

dilakukan dengan sifat brutal secara fisik. Seks menjadi senjatanya dan dalam hal ini tidak diperolehnya kenikmatan seksual, yang dituju acapkali keinginan untuk mempermalukan si korban.

3. Domination rape, pemerkosaan yang dilakukan oleh mereka yang ingin

menunjukkan kekuasaannya, misalnya, majikan yang memperkosa bawahannya. Tidak ada maksud untuk menyakitinya. Keinginannya yaitu bagaimana memilikinya secara seksual.

46 

Adami Chazawi,  Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 

82 

47 


(46)

4. Seduction-turned-into-rape, yaitu pemerkosaan yang ditandai dengan

adalanya relasi antara pelaku dengan si korban. Jarang digunakan kekerasan fisik dan tidak ada maksud mempermalukan. Yang dituju adalah kepuasan si pelaku dan si korban menyesali dirinya, karena sikapnya yang kurang tegas.

5. Exploitation rape, merupakan jenis pemerkosaan dimana si wanita sangat

bergantung dari si pelaku, baik dari sosial maupun ekonomi. Acapkali terjadi dimana istri dipaksa oleh suami. Kalaupun ada persetujuan, itu bukan karena ada keinginan seksual dari si istri, melainkan demi kedamaian tumah tangga.48

Berbagai jenis perkosaan si atas menunjukkan bahwa perkosaan tersebut terjadi lebih dominan karena pelaku melakukan pemaksaan dengan kekerasan terhadap korban atau korban merasa terspaksa untuk melakukan permintaan tersangka. Beranjak dari pernyataan di atas, jika dicermati modus operandi para pelaku perbuatan cabul dalam Data Polresta Medan, memang sebagian besar pelaku memasukkan penis ke dalam vagina korban, ada juga yang memasukkan jari, memegang dan mencium alat kelamin korban, namun pelaku tidak melakukannya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, melainkan hanya dengan bujuk rayu saja. Jika kita menerapkan pendapat Made Darma Werda yang menggolongkan perbuatan cabul ke dalam perkosaan, maka akan sulit untuk membuktikan unsur-unsur perbuatan cabul tersebut. Pasal 285 yang mengatur tentang perkosaan, yang berbunyi

48 


(47)

“barang siapa dengan kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” jika diuraikan unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

a. Perbuatannya: memaksa;

b. Caranya: 1) Dengan kekerasan; 2) Ancaman kekerasan;

c. Objek: seorang perempuan bukan istrinya; d. Bersetubuh dengan dia.49

Mengenai perbuatan cabul diatur dalam Pasal 289 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan melakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun”, jika diuraikan unsur-unsurnya:

a. Perbuatannya: memaksa;

b. Caranya dengan: 1) kekerasan;

2) ancaman kekerasan;

c. Objeknya: seseorang untuk: 1) melakukan; atau

2) membiarkan melakukan d. Perbuatan cabul.50

49 Adami Chazawi, 

Ibid., Hlm. 63 

50 


(48)

Unsur-unsur di atas menunjukkan bahwa perkosaan lebih sempit daripada perumusan perbuatan cabul yang cakupannya lebih luas menyentuh perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dimana perumusan pasalnya tidak menyebutkan pembedaan jenis kelamin, hanya disebut “seseorang” yang tentunya lebih luas pengertiannya. Dapat disimpulkan bahwa dalam tindakan perkosaan, korban sudah pasti perempuan, sedangkan dalam perbuatan cabul korban bisa laki-laki atau pun perempuan dan biasanya dalam kasus pemerkosaan, korban tidak mengenal pelaku51.

Perbuatan Cabul yang dikaitkan dengan anak sebagai korban, Pasal 285 dan 289 di atas tampaknya belum cukup untuk dapat menjerat pelaku perbuatan cabul terhadap anak, karena si pelaku tidak selalu melakukan pemaksaan terhadap si anak, tetapi lebih memanfaatkan ketidaktahuan dan kelemahan si anak untuk dapat melakukan perbuatannya terhadap si anak, karena itulah Pasal 290 KUHP tidak menyebutkan kalimat “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” karena pelaku perbuatan cabul terhadap anak tidak selalu melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap anak, tetapi kondisi anak yang tidak berdaya dan tidak mengerti apa-apa akan sangat menguntungkan tersangka sehingga anak sebagai makhluk yang lemah lebih banyak menjadi korban perbuatan ini. Hal ini disebabkan karena anak merupakan makhluk yang tidak berdaya dan tidak mengerti atau tidak mengetahui mengenai segala perbuatan yang dilakukan terhadapnya. Keberadaan anak yang lemah dan belum mengerti atas apa yang sedang menimpa dirinya inilah yang harus

51 Wawancara dengan Bripka Betti Suriati (Penyidik Pembantu pada Unit Perlindungan 


(49)

dilindungi dan perlu diperhatikan secara khusus kepentingannnya agar tidak lagi menjadi korban perbuatan yang dapat merusak kehormatan kesusilaannya.

B. Tindak Pidana Pebuatan Cabul sebagai Kejahatan 1. Sebab-sebab Terjadinya Kejahatan

Sebelum membahas mengenai sebab-sebab terjadinya tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak, terlebih dahulu kita akan membahas mengenai sebab-sebab terjadinya kejahatan. J.C.T. Simorangkir mengutip pendapat W.A. Bonger yang mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang sangat anti sosial yang oleh negara ditentang dengan sadar dengan penjatuhan hukuman.52 Beliau juga mengutip pendapat Paul Moedikno Moeliono yang mengartikan kejahatan sebagai perbuatan pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan yang merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan.53 Banyak hal yang dapat memicu terjadinya kejahatan dalam masyarakat, namun setiap kejahatan yang dilakukan bukanlah tanpa sebab, seperti kata pepatah “tidak mungkin ada asap bila tidak ada api”. Hanya orang yang memiliki kelainan kejiwaan yang melakukan kejahatan tanpa sebab. Kriminologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang sebab-sebab terjadinya kejahatan merumuskan tentang sebab terjadinya kejahatan, sebagai berikut54:

1) Perspeftif Biologis.

52 

J.C.T. Somorangkir, et.al., Op. Cit., hlm. 81‐82 

53 

Ibid., hlm. 82 

54 Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa, 

Kriminologi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 


(50)

Tokoh biologis mengikuti tradisi Cesare Lambrosso, Rafaelle Garofalo serta Charles Goring dalam upaya penelusuran mereka guna menjawab tentang tingkah laku kriminal. Para tokoh genetika berargumen bahwa kecenderungan untuk melakukan kejahatan kemungkinan dapat diwariskan. Sarjana lain tertarik kepada kromosom, ketidaknormalan kromosom, kerusakan otak dana sebagainya terhadap tingkah laku kriminal.

2) Perpektif Psikologis

Para tokoh psikologis mempertimbangkan suatu variasi dari kemungkinan-cacat dalam kesadaran, ketidakmatangan emosi, sosialisasi yang tidak memadai di masa kecil, kehilangan hubungan dengan ibu, perkembangan moral yang lemah.

3) Teori sosiologis

Berbeda dengan teori sebelumnya, teori sosiologis ini mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

a) Teori Strain

Teori strain beranggapan bahwa anggota masyarakat mengikuti satu set nilai-nilai budaya dari kelas menengah. Satu budaya paling penting adalah ekonomi, karena orang yang memiliki ekonomi lemah tidak memiliki sarana-sarana untuk mencapai tujuannya, sehingga mereka menjadi frustrasi dan beralih menggunakan sarana-sarana yang tidak sah dalam mencapi tujuan itu.


(51)

b) Cultural Deviance (Penyimpangan Budaya)

Teori ini beranggapan bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki satu set nilai-nilai yang berbeda, yang cenderung konflik dengan nilai-nilai kelas menengah, sebagai konsekuensinya, manakala orang kelas bawah mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melangar norma-norma konvensional.

c) Social Control (Kontrol Sosial)

Teori Social Control berdasar pada satu asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Teori konrol sosial mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturan yang efektif.

Sebab-sebab terjadinya kejahatan dapat diklasifikasikan menjadi faktor internal dan faktor internal sebagai berikut:

a. Faktor Internal

Faktor internal terjadinya kejahatan dilihat dari dalam diri si pelaku

1) Kejahatan merupakan bakat manusia yang dibawa sejak lahir, ebagaimana yang diungkapkan Lambroso bahwa, yang ditandai dengan beberapa ciri-ciri fisik.55

2) Goddard berpendapat bahwa penjahat adalah orang yang memiliki otak yang lemah (Feeble Mindness). Hasil penelitian Goddard semua pelaku kejahatan memiliki otak yang lemah (IQ rendah).56

55 


(52)

3) Aspek-aspek psikiatrik, yakni das es atau id yang merupakan alam tak sadar, dimana segala nafsu, keinginan dan naluri berada di dalamnya. Das

es inilah yang mendorong das ich atau alam sadar untuk memenuhi

kebutuhannya, sehingga das ich ini berusaha untuk melakukan hal-hal untuk memenuhi kebutuhannya. Berbeda dengan das uber ich, yakni super ego yang merupakan aspek moral, artinya semua norma-norma yang hidup dalam masyarakat sehingga melakukan penilaian keinginan dari ego itu sendiri, super ego inilah yang akan menentukan cara seseorang dalam memenuhi kebutuhannya, apakah dengan cara yang baik atau harus melakukan pelanggaran terhadap norma-norma yang ada.57 4) Permasalahan hidup, misalnya orang melakukan pencurian karena

kemiskinan. Hal tersebut telah lama dikemukakan para ahli sebagai salah satu penyebab terjadinya kejahatan, khususnya kejahatan pencurian, sebagaimana pendapat Beccaria yan dikutip oleh Bonger bahwa pencurian adalah kejahatan yang biasanya timbul karena kemiskinan dan keputusasaan.58 Ada juga orang melakukan pembunuhan karena merasa kesal ditagih hutang dengan nominal yang sangat kecil59, dan kasus yang

56 G.W., Bawengan, 

Op. Cit., hlm. 41 

57 

Ibid., hlm 19‐20 

58 

W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), hlm. 51 

59 http://m.poskota.co.id/beritaterkini/2011/06/07/kesalditagihutangrp70ributetangga


(53)

banyak terjadi adalah orang melakukan perbuatan cabul terhadap anak sehabis menonton video porno.60

Dikaitkan dengan tindak pidana percabulan, para pelaku melakukan perbuatannya karena didorong oleh kebutuhan biologis yang bergejolak di dalam dirinya, namun dalam pemenuhannya pelaku melakukan perbuatan yang menyimpang, artinya pelaku melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Pelaku tidak dapat mengendalikan super egonya untuk membedakan hal yang baik dan yang buruk, dalam hal ini akal sehatnya dikalahkan oleh dorongan pemenuhan kebutuhan biologisnya, disini dapat disimpulkan bahwa kurangnya moral yang merupakan aspek dari super ego yang menyebabkan pelaku melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan umum.

b. Faktor Eksternal

Faktor yang berasal dari luar diri si pelaku merupakan sebab-sebab orang melakukan kejahatan yang berasal dari luar dirinya, antara lain:

1) Lingkungan, dimana si pelaku melakukan kejahatan karena meniru dari orang yang pernah melakukan hal yang serupa atau mengikuti pengaruh dari teman-temannya.61 Faktor lingkungan ini merupakan suatu faktor yang potensial mempengaruhi perkembangan karakter seseorang, dimana jika seseorang tinggal dalam suatu lingkungan dalam kurun waktu

60 http://202.146.4.121/read/artikel/69543, diakses tanggal  28 Juni 2011.  61 


(54)

62

Contohnya, seorang anak yang tinggal dalam lingkungan perumahan elit yang diasuh oleh pembantu (baby

sitter) akan berbeda kepribadian dan pembawaannya dengan anak yang

tinggal di daerah padat penduduk seperti lorong atau gang, dimana semua anak berbaur dan bermain bersama ketika dia dewasa kelak.

Sebuah gerombolan yang terdiri dari beberapa anak yang tinggal di sebuah gang kecil, Gang Ajarib Jl. Djamin Ginting di Kota Medan memiliki sifat dan pembawaan yang sama dalam menghadapi seseorang, dimana semua anak dalam gerombolan tersebut memiliki sifat “menantang” kepada orang yang lebih tua sekalipun dan cenderung sering melakukan pengancaman kepada anak-anak sebaya lain yang tinggal di daerah Pasar I Padang Bulan Medan untuk melakukan pemerasan dengan kekerasan dan ancaman kekerasan secara bersama-sama.63 Mereka tumbuh bersama-sama dalam lingkungan yang sama, bermain bersama, mendapatkan pengalaman yang cenderung sama sehingga menyebabkan prilaku dan kepribadian mereka tidak jauh berbeda satu dengan lain. Contoh tersebut merupakan suatu contoh nyata yang menunjukkan betapa sebuah lingkungan sangat mempengaruhi kepribadian seseorang, seperti

62 Stephan Hurwitz, 

Kriminologi, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), hlm.38 

63 

Berdasarkan Observasi Peneliti (Minggu, 05 Juni 2011) di Kawasan  Kampus Universitas 

Sumatera Utara, dimana setelah diwawancara beberapa masyarakat sekitar gang, mereka 

mengatakan bahwa anak‐anak tersebut memang sering melakukan pemerasan kepada anak‐anak 


(55)

yang dikemukakan oleh Stephen Hurwitz bahwa faktor-faktor ingkungan dan pembawaan selalu mempengaruhi timbal balik, dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.64 Mau tidak mau, manusia harus bertinteraksi dengan lingkungannya karena manusia adalah makhluk sosial (zoon

politicon), artinya manusia tidak dapat hidup sendiri namun harus

berinteraksi dengan manusia lainnya sebagai anggota masyarakat. Selain faktor lingkungan, seperti contoh kasus di atas, orang yang melakukan perbuatan cabul juga dapat dipengaruhi oleh peranan teknologi yang digunakan sebagai fasilitas untuk menyaksikan adegan-adegan yang dapat merangsang nafsu seksual.

2. Sebab-Sebab Terjadinya Tindak Pidana Perbuatan Cabul Terhadap Anak di Kota Medan

Setiap orang di muka bumi ini tidak pernah menghendaki dirinya menjadi korban kejahatan, begitu juga dengan anak, sebagian besar dari mereka, khususnya anak yang masih balita, bahkan belum mengerti apa artinya kejahatan apalagi sampai membayangkan dirinya menjadi korban kejahatan. Mereka seringkali menjadi korban pelecehan seksual yang sama sekali tidak mereka pahami, sementara dampak yang dialaminya kemungkinan bisa mengganggu kejiwaaannya, berdampak negative pada pertumbuhannya, bahkan dapat menjadi beban mental seumur hidupnya.65 Peneliti menyimpulkan bahwa perbuatan cabul terhadap anak (khususnya anak balita) adalah

64 Stephan Hurwitz. 

Ibid., hlm. 38 

65 


(56)

perbuatan yang sangat keji, bahkan lebih keji dari kejahatan perang, karena di dunia peperangan, orang yang terlibat di dalamnya adalah orang yang sama-sama mengerti atas perbuatannya dan jika mereka mau, mereka dapat menghindari ancaman yang datang kepadanya, sedangkan seorang anak kecil sama sekali tidak dapat menghindari kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadapnya karena ketidaktahuannya, dia hanya bisa menerima perlakukan yang dihadapkan kepadanya tanpa mengerti apa yang sedang dialami olehnya.

Anak mudah percaya kepada orang yang pernah dikenalnya, walaupun hanya bertemu sekali saja yang membuat mereka tidak takut berkomunikasi dengan yang bersangkutan, sehingga peluang orang berbuat jahat terhadapnya akan semakin terbuka, apalagi anak mudah dibujuk dan diming-imingi akan diberikan sesuatu seperti permen, mainan, dan sebagainya tanpa menaruh kecurigaan sama sekali.66 Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak tidak perlu mengeluarkan tenaga lebih, beban pikiran untuk menyusun taktik, materi yang banyak, serta tidak memakan waktu yang lama untuk mencabuli anak kecil bila dibandingkan dengan melakukan pelecehan seksual terhadap orang dewasa, apalagi perbuatan cabul terhadap anak ini cukup sulit untuk diungkap karena dibutuhkan keterampilan, pengetahuan dan keahlian khusus untuk berkomunikasi dengan si anak untuk

66 

Wawancara dengan Brigadir S.P.W. Tarigan, anggota Kepolisian Sektor Medan Baru yang 

pernah bertugas di Polresta Medan dalam menangani kasus tindak pidana percabulan terhadap anak, 


(57)

menceritakan apa yang dialaminya, di samping itu saksi dalam kasus seperti ini adalah anak juga.67

Perbuatan cabul yang dilakukan oleh pelaku awalnya bukanlah perbuatan yang direncanakan tetapi secara spontan terjadi karena pelaku dalam keadaan terdesak nafsu seksualnya, dan pada saat ia ingin melampiaskan nafsunya tersebut, tanpa disengaja beberapa anak muncul di hadapannya atau pelaku tidak sengaja melihat anak yang bermain di dekitar lingkungan tempat tinggalnya, sehingga timbullah niat pelaku untuk melampiaskannya terhadap anak tersebut walaupun hanya sebatas memegang alat kelamin korban. Kasus lain yang terjadi, si anak sering bermain ke rumah pelaku, namun ada masanya si pelaku khilaf ketika keluarga (istri dan anak-anak) tidak ada di rumah dan nafsu seksualnya memuncak, sehingga timbul niat jahat si pelaku untuk mencabuli korban yang sedang berada di rumahnya tersebut.68 Bahayanya, apabila tindakan ini berhasil, maka besar kemungkinan pelaku akan mengulangi perbuatannya setiap ada kesempatan sampai perbuatan tersebut terbongkar. Tidak tertutup kemungkinan, pelaku juga melakukan hal yang sama terhadap teman-teman korban setiap ada kesempatan. Sekali pelaku melakukan perbuatan cabul terhadap anak, besar kemungkinan si pelaku akan mengalami penyimpangan seksual yang berkepanjangan dan akan sulit baginya untuk merubah

67 

Ibid. 

68 Wawancara dengan Bripka Betti Suriati (Penyidik Pembantu pada Unit Perlindungan 


(58)

prilaku seks yang menyimpang ini.69 Peneliti menyimpulkan bahwa prilaku seks yang seperti ini hampir sama dengan pengguna narkoba, yakni akan menjadi candu pada pelaku yang membutuhkan waktu lama dan pengobatan khusus untuk merubahnya karena sudah mempengaruhi psikologis pelaku.

Tragisnya lagi, ada juga kejadian dimana ayah melakukan percabulan terhadap anak kandungnya, yang sering disebut dengan hubungan sumbang atau

incest (dalam Bahasa Inggris). Wikipedia Indonesia mengartikan hubungan sumbang

atau incest sebagai hubungan saling mencintai yang bersifat seksual yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan keluarga (kekerabatan) yang dekat, biasanya antara ayah dan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama saudara kandung atau saudara tiri.70 Incest yang pernah terjadi di wilayah Polresta Medan adalah antara ayah dengan anak perempuannya, dimana kejadiannya berawal dari percabulan yang dilakukan sang ayah sejak anak masih balita, pada masa dimana si anak percaya kepada orang-orang dewasa yang setiap hari bertemu dengannya, yaitu orang yang sesungguhnya memilki kewajiban untuk melindunginya dari berbagai bahaya yang dapat mengganggu pertumbuhan psikis dan fisiknya. Ironisnya, justru perlakuan yang merusak dirinya diterima dari orang yang dianggapnya paling melindunginya. Perbuatan incest ini biasanya diakukan berulang-ulang sejak anak masih balita sampai menginjak usia remaja. Incest ini terjadi tidak memandang

69 

Wawancara dengan Brigadir S.P.W. Tarigan, anggota Kepolisian Sektor Medan Baru yang 

pernah bertugas di Polresta Medan dalam menangani kasus tindak pidana percabulan terhadap anak. 

Pada tanggal 29 Juni 2011 

70 


(59)

tempat, biasanya sang ayah akan memanfaatkan berbagai situasi untuk melakukan aksinya terhadap sang anak. Contohnya jika kondisi rumah sedang ramai, sang ayah membawa anak tersebut ke luar rumah dan mencari sunyi untuk melakukan perbuatannya atau mencabuli anaknya ketika rumah sedang sepi dimana anggota keluarga yang lain sedang tidak ada di rumah dimana sang ayah hanya berdua dengan anaknya. Setelah melakukan perbuatannya, biasanya anak diiming-imingi hadiah agar tidak melapor kepada siapapun, terutama ibunya atas perbuatan yang dilakukannya. Ketika si anak menginjak usia remaja dimana si anak sudah semakin memahami penyimpangan perbuatan yang dilakukannya bersama sang ayah, iming-iming tersebut dapat berubah menjadi ancaman keras seperti ancaman si anak akan dibunuh atau si ayah akan menceraikan ibunya, dan rasa takut di anak terhadap ayahnya membuat si anak tidak melaporkan perbuatan yang dialaminya kepada siapapun. Perbuatan tersebut terbongkar disaat sang anak sudah remaja dan mulai bercerita kepada teman-temannya tentang hubungan gelapnya dengan ayahnya atau lebih fatalnya, perbuatan sang ayah terbongkar ketika anak mengalami kehamilan. 71

Faktor spesifik terjadinya tindak pidana percabulan yang terjadi di Kota Medan lebih banyak di daerah pemukiman padat penduduk dengan keadaan ekonomi menengah ke bawah, dimana anak-anak tidak memilki penjaga, dan bebas berkeliaran dan bermain bersama teman-temannya di lingkungan tempat tinggalnya. Pelaku

71 Wawancara dengan Bripka Betti Suriati (Penyidik Pembantu pada Unit Perlindungan 


(60)

biasanya adalah orang yang kenal dan dekat dengan kehidupan sehari-hari korban.72 Sehingga pelaku dapat dengan mudah membujuk korban untuk melakukan perbuatan cabul terhadapnya. Berbeda halnya dengan ekonomi atas yang sulit untuk dijangkau untuk melakukan perbuatan cabul karena biasaya untuk menembus pagar rumahnya saja pelaku kesulitan, apalagi sampai mencabuli anaknya, maka dapat dipastikan bahwa korban perbuatan cabul ini berasal dari keluarga menengah ke bawah. Beberapa kasus perbuatan cabul terhadap anak, anak seringkali diancam agar tidak memberitahukan perbuatan yang telah dilakukan terhadapnya kepada siapa saja, dan si anak pun pasti akan menurut saja karena rasa takut akan ancaman yang dihadapkan padanya sehingga si anak tidak melaporkan kepada ayah atau ibunya atau kepada siapa saja yang ada di dekatnya.

a. Pelaku Anak

Faktor-faktor penyebab perbuatan cabul terhadap anak Pelaku anak dalam perbuatan cabul tersebut, dapat disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini:

1) Faktor Internal

a) Meningkatnya Libido Seksualitas pada Anak

Peningkatan hasrat seksual pada anak akan mendorong anak melakukan aktivitas tertentu untuk memenuhi kebutuhan seksualnya.

b) Rasa Ingin Tahu yang Besar

Usia remaja merupakan usia rentan dimana anak selalu ingin tahu tentang segala sesuatu dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru, termasuk

72 


(1)

Binmas Polresta Medan). Mengadakan razia ke tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya tindak pidana perbuatan cabul seperti warnet, karaoke, pemandian, tempat hiburan lain secara intensif dan berkesinambungan (fungsi Binmas Polresta Medan)

3. Pendidikan seks sejak dini kepada anak, baik melalui orang tua maupun di sekolah. Mengatasi pengangguran dan kemiskinan di Kota Medan. Pembatasan penggunaan internet di kalangan remaja sangat penting untuk dilakukan dengan cara mengawasi aktivitas anak yang sedang bermain internet atau menonton TV, sehingga tidak ada kesempatan bagi anak untuk menonton ideo porno tersebut. Memperbaiki moral bangsa dan memperkuat super ego yang dapat dilakukan dengan pendalaman agama dan menyeimbangkannya dengan hati nurani.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Arief, Barda Nawawi, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana.

---, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

---, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebiijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Ariman, M. Rasyid, M. Fahmi Raghib, dan S. Pettanase, 2007, Sari Kuliah Hukum Pidana dalam Kodifikasi, Palembang: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Ashshofa, Burhan, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta. Aziz, Aminah, 1998, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Medan: USU Press. Bawengan, G.W, 1971, Pengantar Psikologi Kriminil. Jakarta: Pradnya Paramita Bonger, W.A., 1977, Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta: Ghalia Indonesia Chazawi, Adami, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: Sinar Grafika Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:

Balai Pustaka

Dirdjosisworo, Sudjono, 1996, Sosiologi Hukum Studi Tentang Hukum dan Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Hamzah, Andi, 2004, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta ---, 2005, KUHP & KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta.

Hurwitz, Stephan, 1986, Kriminologi, Jakarta: Bina Aksara

Joni, M. & Zulchaina Z. Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Medan: PT. Refika Aditama.


(3)

Mulyadi, Mahmud, 2008, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan, Medan: Pustaka Bangsa Press.

Poernomo, Bambang, 1992, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia. Prinst, Darwan, 1997, Hukum Anak Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Prodjodikoro, Wirjono, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama

Rukmini, Mien, 2006, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung: Alumni Santoso, Topo & Eva Achjani Zulfa, 2001, Kriminologi, Jakarta: RajaGrafindo Persada,

Sekretariat Jenderal DPR RI, 2007, Manual Pedoman Perancangan Undang-Undang, Jakarta.

Santrock, John. W., 2007, Remaja Edisi Kesebelas Jilid 1, Jakarta: Erlangga Sarwono, Sarlito Wirawan, 2007, Psikologi remaja, Jakarta: RajaGrafindo Persada Soejono, 1969, Doktrin-Doktrin Kriminologi, Bandung: Alumni Simorangkir, J.T.C,

et. al., 2000, Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Sunggono, Bambang, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Weda, Made Darma, 1996, Kriminologi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Wojowasito, S., 2001, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak Anak 20 November 1989 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak


(4)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

C. Internet

Asep Syaifullah, 2009, Indosiar, http://www.indosiar.com/ragam/40835/perbuatan-cabul-bujang-tua, diakses tanggal 13 Maret 2011

Azhar Pungkhasadi/Hengki Wiramada/Sup, Pemred Playboy Divonis Bebas, http://www.indosiar.com/fokus/60329/pemred-playboy-divonis-bebas, diakses pada tangal 3 Juli 2011

Banjarmasin Post, 11 Juli 2010,

http://banjarmasin.tribunnews.com/index.php/read/artikel/2010/7/11/49859/hubun gikami, diakses tanggal 13 April 2011

Harian Sumut Pos 07 Januari 2011, http://www.hariansumutpos.com/arsip/?p=68755, diakses 28 Maret 2011

http://202.146.4.121/read/artikel/69543, diakses tanggal 28 Juni 2011

http://belajarpsikologi.co./struktur-kepribadian-id-ego-dan-superego-sigmund-freud/, diakses tanggal 3 Juli 2011

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Hubungan_sedarah di akses tanggal 28 Juni 2011

http://id.shvoong.com/lifestyle/family-and-relations/2033024-sifat-sifat-anak/#ixzz1K2egJkDc, diakses 20 April 2011

http://m.inilah.com/read/detail/611661/banjir-video-porno-bikin-abg-candu-seks, diakses pada tanggal 26 Juni 2011.

http://m.poskota.co.id/berita-terkini/2011/06/07/kesal-ditagih-utang-rp70-ribu-tetangga-dogorok, diakses tanggal 28 Juni 2011.

http://www.indonesiapower.co.id/index.php?option=com_content&view=article &id=1157:internet-ladang-porno-bagi-anak., diakses tanggal 3 Juli 2011


(5)

http://www.posmetro-medan.com/index.php?open=view&newsid=16709, diakses tanggal 1 Juli 2011

http://www.starberita.com/index.php?option=com_content&view=article&id=29 392:pelayanan-unit-ppa-polresta-medan-disesalkan-warga&catid=103:hukum-a-kriminal&Itemid=410, di akses tanggal 1 Juli 2011

Kabar Petang TVOne, Minggu/17 April 2011, Pukul 18.47 WIB

Kamus Besar Bahasa Indonesia versi off line, tautan untuk mengunduh: http://www.4shared.com/file/GD4LKiJd/kbbi-10.html

Kepolisian RI, Polres Ciamis, 10 Maret 2011,

http://ppid.polri.go.id/index.php?pages=details&id=8866&iduser=725&sat=65, diakses 13 April 2011

LCKI 11 Juli 2006,

http://www.lcki.org/index.php?option=com_content&view=article&id=102%3As eminar-pencegahan-kejahatan-terhadap-anak&catid=45%3Aseminar-workshop-diskusi&Itemid=37&lang=id, diaksess 28 Maret 2011

Medan Talk, 15 April 2010, http://www.medantalk.com/hari-ini-h-bai-diperiksa/, diakses tanggal 28 Maret 2011.

Pos Metro Online,

http://www.posmetro-medan.com/index.php?open=view&newsid=18863, diakses tanggal 3 Juli 2011 Waspada Online, 08 April 2011,

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=186 378:guru-sd-cabul-diamankan&catid=14:medan&Itemid=27, indeks..., akses 13 April 2011

Tugas dan Fungsi Kasat Bimmas Polresta Medan,

http://www.polrestamedan.com/tugas-dan-fungsi/kasat-bimmas/, diakses pada tanggal 15 Juli 2011

D. Wawancara

1. Iptu Parulian Lubis, Perwira Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Panit PPA) Polresta Medan, tanggal 26 Juni 2011


(6)

2. Bripka Betti Suriati (Penyidik Pembantu pada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak/Unit PPA Polresta Medan, tanggal 24 Juni 2011 di Unit PPA Polresta Medan

3. Brigadir S.P.W. Tarigan, anggota Kepolisian Sektor Medan Baru yang pernah bertugas di Polresta Medan dalam menangani kasus tindak pidana percabulan terhadap anak, pada tanggal 27 Juni 2011

4. Brigadir Devi O.S Depari, Penyidik Pembantu pada Unit PPA Polresta Medan, tanggal 24 Juni 2011 di Unit PPA Polresta Medan

5. Raras Sutatminingsih, M.Si., Psikolog, Staf Pengajar di Jurusan Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, pada tanggal 3 Juli 2011