Gambaran Keluhan Muskuloskeltal Pada Anak Pengguna Tas Punggung di SD Islam Terpadu Nurul ‘Azizi Medan

7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Tas Punggung
2.1.1

Definisi tas punggung
Tas punggung adalah wadah atau kemasan berbentuk persegi yang

biasanya bertali yang berfungsi untuk menaruh, menyimpan, atau
membawa sesuatu yang dibawa dengan cara digendong. Roman (2003)
mendefenisikan tas punggung sebagai tas yang memilik dua tali untuk
dikenakan di kedua bahu sehingga dapat membawa barang-barang di
punggung.
Tas punggung didesain untuk mendistribusikan berat beban pada
beberapa otot- otot tubuh terkuat. Saat digunakan dengan benar, tas
punggung dapat menjadi cara yang tepat untuk membawa kebutuhan
sekolah setiap harinya. Tas punggung yang terlalu berat atau cara

pemakaian yang tidak benar dapat menyebabkan masalah untuk anakanak dan remaja. Ketidaksesuaian pemakaian tas punggung dapat melukai
otot – otot dan sendi – sendi. Hal ini dapat menyebabkan nyeri punggung,
leher dan bahu memburuk, dan bahkan dapat menyebabkan masalah postur
tubuh. Walaupun tas punggung dihubungkan dengan masalah postur, tas
punggung berat tidak dapat menyebabkan skoliosis. Skoliosis adalah
miringnya garis tulang belakang yang sering ditunjukkan anak- anak saat
remaja (AAOS).

7
Universitas Sumatera Utara

8

2.1.2 Batasan Berat tas punggung yang baik
Illinois State Board of Education (2006), American Occupational
Therapy Association, American Chiropratic Association, American
Physical Therapy Association and American Academy of Orthopedic
Surgeons memiliki saran yang mirip terkait batasan berat tas punggung
terhadap 15% berat anak yaitu:
Berat individu (Pon = Kg)


Berat tas punggung maksimal
(Pon = Kg)
60 = 27, 18
5 = 2,265
60 – 75 = 27,18- 33, 975
10 = 4,53
100 = 45,3
15 = 6,795
125 = 56,625
18 = 8,154
150 = 67, 95
20 = 9,06
200 = 90,6 atau lebih
25 = 11,325
Tabel 2.1 Perbandingan berat tas dan berat badan individu pengguna tas
punggung.
Saran terkait berat tas punggung sekolah berhubungan dengan berat
badan berbeda tergantung organisasi tertentu. Pada 2009, American
Occupational Therapy Associaton (AOTA) dan American Physical

Therapy Association (APTA) merekomendasikan tidak membawa sebuah
tas punggung lebih berat dari 15% (atau anatara 10% dan 20%) dari berat
badan siswa, pada tahun 2012, hal ini diganti menjadi 10% berat badan
mereka. American Chiropratic Asssociation (ACA) menyarankan bahwa
berat tas punggung tidak melebihi 5- 10% dari berat badan anak. Ada
bahaya yang diakibatkan beban yang berlebih pada pematangan tulang
belakang. Banyak peneliti telah menyimpulkan bahwa berat sebah tas
punggung sekolah seharusnya tidak lebih dari 10% berat badan anak,

Universitas Sumatera Utara

9

didasarkan pada fakta bahwa hal itu dapat mempengaruhi postur tulang
belakang, bentuk kaki dan gaya berjalan mereka (Katarzyna, et al., 2015).

2.1.3 Peran orang tua dalam penggunaan tas punggung
Ada beberapa syarat berat beban tas punggung anak, yaitu bahwa
seharusnya tidak lebih dari 10% dari berat badan mereka. Artinya disini
adalah bahwa anak yang beratnya 100 pon seharusnya tidak memakai tas

punggung sekolah yang lebih berat dari 10 pon; kedua adalah barang yang
lebih berat paling dekat dengan bahu anak; yang ketiga yaitu susun bukubuku dan barang sehingga barang- barang mereka akan tersusun rapi dan
teratur di dalam tas punggung mereka. Keempat adalah periksa barang
yang dibawa ke sekolah dan dibawa pulang. Pastikan bahwa barang yang
dibawa adalah kebutuhan untuk kegiatan di sekolah; kelima adalah jika tas
punggung terlalu berat atau terlalu ketat, siswa dapat memegang buku atau
membawa barang yang lain di sisi lain tas punggung, dan yang terakhir
yaitu jika tas punggung terlalu berat dari yang seharusnya, pertimbangkan
untuk menggunakan tas beroda jika sekolah mengijinkan (American
Occupational Therapy Association/AOTA).

2.1.4 Karakterisitik tas punggung yang baik (Backpack Safety)
Ketika memilih sebuah tas punggung, cari satu yang sesuai dengan
ukuran badan. Pastikan bahwa tinggi tas punggung kira- kira 2 inchi
dibawah bahu sampai ke pinggang, atau sedikit di atas pinggang. Tas

Universitas Sumatera Utara

10


punggung yang baik seharusnya memiliki 2 tali bahu; memiliki bantalan
tali bahu yang luas; bantalan tali punggung untuk mengurangi tekanan
pada area punggung; tali bahu dan tali ketiak untuk meningkatkan
kenyamanan; tali pengikat pada dada dan pinggul untuk membagi berat tas
dari punggung dan bahu ke pinggul dan ke seluruh tubuh; memiliki banyak
ruang untuk mendistribusikan berat tas punggung; pastikan keamanan
barang dan anak juga dapat mengambil isi tas dengan mudah; reflektor
untuk meningkatkan jarak penglihatan anak saat malam; dan tas punggung
yang bergelombang.
Penting diingat bahwa jika telah membeli tas punggung untuk anakanak, ukuran tas punggung yang mereka gunakan saat ini ukurannya tidak
akan baik bagi mereka jika lebih dari satu tahun. Karena masa anak- anak
mengalami pertambahan tinggi yang cepat sehingga ukuran tas punggung
yang baik sebelumnya tidak akan bertahan lebih dari satu tahun pada usia
mereka sekarang (American Academy of Orthopaedic Surgeon/AAOS;
Illinois State Board of Education, 2006).

2.1.5 Cara penggunaan tas punggung yang baik
Menghindari cedera akibat penggunaan tas punggung dapat
dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
a) Menggunakan


kedua

tali,

dapat

mendistribusikan

berat

tas.

Menyandang tas punggung pada salah satu bahu dapat menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

11

anak miring ke salah satu sisi, pembengkokan tulang belakang dan

menyebabkan nyeri ataupun ketidaknyamanan.
b) Melepas dan memakai tas punggung dengan hati- hati. Pertahankan
bentuk tubuh stabil dan hindari gerakan memutar berlebihan.
c) Letakkan tas punggung pada otot punggung tengah terkuat. Berikan
perhatian lebih pada posisi tas punggung di punggung. Tas punggung
seharusnya berada pada bagian tengah punggung. Tali pada bahu
seharusnya diatur agar mempermudah anak untuk melepas dan
memakai tas punggung tanpa kesulitan dan memungkinkan lengan
dapat bergerak dengan bebas.
d) Mengurangi beban. Pertahankan muatan pada sebesar 10 – 15 % BB
atau kurang dari berat badan anak. Hanya membawa barang yang
dibutuhkan untuk hari itu saja. Setiap malam mengeluarkan barang
yang dapat ditinggalkan di rumah. Susun isi tas punggung dengan
meletakkan barang terberat paling dekat ke punggung untuk
mengurangi desakan kinetik yang menyebabkan ketidaksejajaran
postur dan kerja berlebih otot (Illionis State Board of Education,
2006).
Menurut AOTA cara menghindari cedera akibat tas punggung dapat
dengan cara, mendistribusikan berat tas dengan memakai kedua tali tas;
kedua yaitu dengan memilih tas punggung dengan bantalan tali bahu yang

baik. Bahu dan leher memiliki banyak pembuluh darah dan saraf yang
dapat mengakibatkan nyeri dan geli pada leher, lengan, dan tangan ketika

Universitas Sumatera Utara

12

terlalu besar tekanan yang diterima; yang ketiga adalah mengatur posisi
tali bahu sehingga tas terletak pada posisi yang tepat pada punggung anak.
Tas punggung yang bergantung bebas pada bahu dapat membuat anak
tertarik ke belakang dan ototnya tegang.
Cara keempat adalah menggunakan tali pengikat pada pinggang jika
tas punggung memilikinya. Ini membantu mendistribusikan berat tas
punggung secara merata; kelima adalah bagian bawah tas seharusnya
terletak di punggung bawah. Tas punggung seharusnya tidak boleh lebih
dari 4 inchi dari garis pinggang anak. Dan terakhir yaitu ukuran tas
punggung sekolah berbeda pada tiap usia. Pilih ukuran tas punggung yang
benar sesuai usia anak dengan ruang yang cukup untuk barang- barang
kebutuhan sekolah.
Matlabi, et al (2014) juga mengemukakan beberapa cara ataupun

tindakan yang dapat dilakukan beberapa pihak untuk mengatasi masalah
tas punggung dan tas tangan yang berat antara lain :
a. Institusi pendidikan
Tindakan yang dapat dilakukan oleh institusi pendidikan yaitu dengan
menyediakan lemari buku (lockers) yang sesuai, lemari makanan
(cupboards) dengan laci dan setiap siswa memiliki satu; membuat satu
jadwal pelajaran yang mengajarkan siswa untuk tidak menyentuh/
mengambil barang orang lain, para guru dapat mengajarkan pada siswa
untuk meletakkan barang- barang dan buku mereka dibawah kursi dan
tidak membawanya ke rumah; mengadakan kelas belajar dengan topik

Universitas Sumatera Utara

13

tas punggung untuk keluarga dan menyediakan brosur yang diberikan
pada kedua orang tua mereka; melakukan pemeriksaan bentuk tubuh
siswa secara berkala oleh dokter atau tenaga medis profesional;
membagi topik pelajaran semester pertama dan semester dua menjadi
buku yang berbeda; menyesuaikan pelajaran yang membutuhkan buku

tambahan dan buku catatan dengan jadwal pelajaran olahraga.
b. Keluarga
Orang tua seharusnya mempertimbangkan untuk membeli jenis tas
terbaik untuk siswa; orang tua seharusnya mengawasi siswa agar tidak
membawa buku dan barang- barang yang tidak perlu ke sekolah
sehingga tas punggung mereka tidak berat.
c. Siswa
Siswa sebaiknya mengosongkan botol minum dan mengisinya sebelum
kelas; tidak membawa barang- barang yang tidak diperlukan dan
meninggalkannya dirumah, jika barang tersebut memang perlu
membawa banyak barang ke sekolah, sebaiknya diletakkan di tas lain;
siswa sebaiknya berusaha untuk meringankan tas punggung mereka
dan tidak membawa barang yang tidak perlu ke sekolah; siswa
sebaiknya menyusun barang yang paling berat lebih dekat ke
punggung; siswa sebaiknya meletakkan tas di bahu mereka karena tas
akan berada pada otot punggung terkuat mereka.

Universitas Sumatera Utara

14


2.1.6 Dampak penggunaan tas punggung
Whittifield, et al (2005) meneliti hubungan antara berat tas dengan
prevalensi keluhan muskuloskeletal pada siswa kelas 3- 6 dengan rata- rata
usia 13,6- 17,1 tahun. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi
keluhan muskuloskeletal pada siswa sangat tinggi dan Whittifield, et al
(2005) meyakini bahwa berat tas itu menjadi faktor yang berkontribusi
dalam menyebabkan keluhan muskuloskeletal. Menurut Dianat et al,
(2011) sebanyak 86% anak yang menggunakan tas punggung dengan berat
10% lebih dari berat badan mereka, mengalami beberapa jenis keluhan
pada beberapa muskuloskeletal mereka yaitu pada bahu, pergelangan
tangan, dan pinggang.
Menurut Al Fageeh, et al (2009) yang meneliti hubungan antara
berat tas anak sekolah dengan kapasitas vital paru- paru, potensi nyeri
punggung, dan masalah postur menyatakan bahwa saat anak sekolah
membawa beban yang berlebih, kapasitas vital paru berkurang, gerakan
flexi dan ekstensi berkurang, dan terjadi pembungkukan ke kiri dan ke
kanan.
Ramprasad, et al (2010) yang meneliti efek berat tas punggung pada
menyatakan bahwa individu yang membawa tas dengan berat dengan
perubahan sudut potural tubuh. Pada saat individu membawa tas punggung
>15% BB, sudut cranio- vertebra berubah secara signifikan. Dan pada saat
individu membawa tas punggung >25% BB, head and neck on trunk
(HNOT) dan head on neck (HON) juga berubah secara signifikan. Anak-

Universitas Sumatera Utara

15

anak yang membawa tas punggung 15% BB, seluruh sudut postural
mereka berubah.
2.2 Keluhan Muskuloskeletal
2.2.1 Definisi Keluhan Muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian otot rangka yang
dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat
sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu
yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi,
ligamen dan tendon. Keluhan hingga kerusakan ini biasanya diistilahkan
dengan keluhan muskuloskeletal disorder atau cedera pada sistem
muskuloskeletal.
Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua
yaitu:
1. Keluhan Sementara (Reversibel). Keluhan sementara yaitu keluhan otot
yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikian
keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembenanan dihentikan.
2. Keluhan menetap (Persistent). Keluhan menetap yaitu keluhan otot yang
bersifat menetap. Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun
rasa sakit pada otot masih terus berlanjut.
Hasil studi menunjukkan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan
adalah otot rangka yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari,
punggung, pinggang dan otot- otot bagian bawah. Keluhan sistem
muskuloskeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan

Universitas Sumatera Utara

16

akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan
yang panjang. Sebaliknya keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila
kontraksi otot hanya berkisar antara 15 – 20% dari kekukatan otot
maksimum. Namun apabila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran
darah ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh
besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses
metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan
asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot.

2.2.2. Penyebab Keluhan Muskuloskeletal
Peter Vi (2000 dalam Tarwaka, 2015) menjelaskan bahwa terdapat
beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal,
yaitu :
1.

Peregangan Otot yang Berlebihan
Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan oleh
pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengarahan tenaga yang
besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik dan menahan
beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena
pengarahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot.
Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi resiko
terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera
otot skeletal.

Universitas Sumatera Utara

17

2.

Aktivitas Berulang
Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terusmenerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkatangkut dan lain- lain. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan
akibat beban kerja secara terus- menerus tanpa memperoleh kesempatan
untuk relaksasi.

3.

Sikap Kerja tidak Alamiah
Sikap kerja yang tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan
posisi bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah misalnya
pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala
terangkat dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat
gravitasi tubuh, maka akan semakin tinggi pula resiko terjadinya keluhan
otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umunya karena
karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai
dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja.
Empat

faktor

penyebab

sekunder

terjadinya

keluhan

muskuloskeletal, yang pertama adalah tekanan, terjadinya tekanan
langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai contoh, pada saat tangan
harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang lunak akan
meneriman tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila hal ini
sering terjadi, dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap. Kedua
yaitu getaran, getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan
kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran

Universitas Sumatera Utara

18

darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya
timbul nyeri otot.
Ketiga adalah mikroklimat, paparan suhu dingin yang berlebihan
dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga
gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan
menurunnya kekuatan otot. Demikian juga dengan paparan udara yang
panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar
menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan
oleh tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini
tidak diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi
kekurangan suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah
kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme
karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat
menimbulkan rasa nyeri otot. Keempat adalah penyebab kombinasi.
Risiko terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal akan semakin
meningkat apabila dalam melakukan tugasnya, pekerja dihadapkan pada
beberapa faktor risiko dalam waktu yang bersamaan.
Faktor penyebab keluhan muskuloskeletal tidak hanya dipengaruhi
oleh beberapa faktor tersebut diatas, tetapi ada beberapa ahli menjelaskan
bahwa faktor individu seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok,
aktivitas fisik, kekuatan fisik dan ukuran tubuh juga dapat menjadi
penyebab terjadinya keluhan otot rangka (Tarwaka, 2015).

Universitas Sumatera Utara

19

a.

Umur. Pada anak sekolah sistem muskuloskeletal terus mengalami
osteofikasi dan belum matang. Sehingga jika terkena tekanan yang
terlalu berat atau mengalami tekanan dalam waktu yang lama, maka
akan mudah mengalami cedera. Chaffin (1979) dan Guo et al (1995)
menyatakan

bahwa

pada

umumnya

kerusakan

sistem

muskuloskeletal sudah mulai dirasakan pada usia kerja. Hal ini
terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan
otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya keluhan otot
meningkat. Riihimaki, et al (1989) menjelaskan bahwa umur
mempunyai

hubungan

yang

sangat

kuat

dengan

keluhan

muskuloskeletal, terutama untuk otot leher dan bahu, bahkan ada
beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa umur merupakan penyebab
utama terjadinya keluhan otot.
b.

Jenis kelamin. Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari
beberapa ahli tentang pengaruh jenis kelamin terhada risiko keluhan
sistem muskuloskeletal, namun beberapa hasil penelitian secara
signifikan bahwa jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat risiko
keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan
otot wanita memang lebih rendah dari pada pria. Astrand & Rodahl
(1996) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita hanya sekitar dua
pertiga (2/3) dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria
pun lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Hasil penelitian
Betti’e et al. (1989) menunjukkan bahwa rerata kekuatan otot wanita

Universitas Sumatera Utara

20

kurang lebih hanya 60% dari kekuatan oto pria, khususnya untuk
otot lengan, punggung dan kaki. Dari uraian tersebut diatas, maka
jenis kelamin perlu dipertimbangkan dalam mendesain beban tugas.
c.

Ukuran Tubuh (antropometri). Walaupun pengaruhnya relatif kecil,
berat badan, tinggi badan dan massa tubuh juga merupakan faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan muskuloskeletal.
Vessy, et al (1990) menyatakan bahwa wanita yang gemuk
mempunyai risiko dua kali lipat dibandingkan wanita kurus. Hal ini
diperkuat oleh Werner, et al (1994) yang menyatakan bahwa bagi
pasien yang gemuk (obesitas dengan indeks massa tubuh > 29)
mempunyai risiko 2,5 lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurus
(indeks massa tubuh < 20), khususnya otot kaki. Temuan lain
menyatakan bahwa pada tubuh yang umumnya sering menderita
keluhan sakit punggung, tetapi tubuh tinggi tidak mempunyai
pengaruh terhadap keluhan pada leher, bahu dan pergelangan tangan.
Apabila dicermati, keluhan sistem muskuloskeletal yang terkait
dengan ukuran tubuh lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan
struktur rangka di dalam menerima beban, baik beban berat tubuh
maupun beban tambahan lainnya. Sebagai contoh, tubuh yang tinggi
pada umumnya mempunyai bentuk tulang yang langsing sehingga
secara biometrik rentan terhadap beban tekan tekukan, oleh karena
itu mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya keluhan
sistem muskuloskeletal.

Universitas Sumatera Utara

21

d.

Penggunaan tas punggung yang salah. Penggunaan tas punggung
yang

salah

berkontribusi

mengakibatkan

terjadinya

keluhan

muskuloskeletal. Anak yang membawa tas punggung dengan berat
lebih dari 10% BB, akan mengalami keluhan muskuloskeal. Tas
punggung dengan berat 10% BB akan menekan otot, ligamen dan
tendon sehingga terjadi ketegangan dan akan menimbulkan nyeri
akut pada leher. Nyeri leher yang bertahan selama lebih dari 2 atau
sampai 3 bulan, nyeri akan menyebar ke lengan dan dari lengan bisa
sampai ke tangan maupun jari, biasanya disebabkan oleh diskus
servikal yang herniasi atau stenosis foramen sehingga menekan saraf
pada leher (Ullrich, 2009).
2.2.3 Mekanisme nyeri
Mekanisme dasar terjadinya nyeri adalah proses nosisepsi. Nosisepsi
adalah proses penyampaian informasi adanya srimuli noksius, di perifer
ke sistem saraf pusat. Rangsangan noksius adalah rangsangan yang
berpotensi atau merupakan akibat terjadinya cedera jaringan, yang
dapat berupa rangsangan mekanik, suhu dan kimia. Deskripsi
mekanisme dasar terjadinya nyeri secara klasik dijelaskan dengan
empat proses yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.
1.

Proses transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada
ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik
kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktivitas listrik yang akan

Universitas Sumatera Utara

22

diterima ujung – ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ –
organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi
mazoni). Kerusakn jaringan karena trauma baik trauma pembedahan
atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana
prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor
– reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat – zat mediator nyeri
seperti histamin, bradikinin, serotin yang akan menimbulkan sensasi
nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.
2.

Proses transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan
proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer
ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi
sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spino thalamicus dan
sebagian ke traktus spinorektikularis. Traktus spinorektikularis
terutama membawa rangsangan dari organ – organ yang lebih dalam
dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan
melibatkan emosi. Selain itu juga serabut – serabut saraf disini
mempunyai sinaps interneuron dengan saraf – saraf berdiameter
besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan
somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi
nyeri.

Universitas Sumatera Utara

23

3.

Proses modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat
(medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem
analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input
nyeri yang masuk ke kornu posterior medullan spinalis merupakan
proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen
(enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan
impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Diman kornu
posterior sebaga pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan
impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang
menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.

4.

Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses
transduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan
menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks
sebaga diskriminasi dari sensorik (Turk & Flor, 1999; Davis, 2003).

2.2.4 Metode penilaian tingkat keparahan keluhan sistem muskuloskeletal
dengan Nordic Body Map
Nordic Body Map merupakan metode penilaian yang sangat subjektif,
artinya keberhasilan aplikasi metode ini sangat bergantung dari kondisi dan
situasi yang dialami oleh individu saat dilakukannya penilaian dan juga

Universitas Sumatera Utara

24

tergantung dari keahlian dan pengalaman observer yang bersangkutan.
Namun demikian, metode ini secara luas telah digunakan oleh para ahli
ergonomi

untuk

menilai tingkat

keparahan

gangguan pada sistem

muskuloskeletal dan kuesioner ini dibuat oleh Kuorinka et al tahun 1987.
Dalam aplikasinya, metode ‘Nordic Body Map’ dengan menggunakan
lembar kerja berupa peta tubuh (body map) merupakan cara yang sangat
sederhana, mudah dipahami, murah dan memerlukan waktu yang sangat
singkat (± 5 menit) per individu. Observer dapat langsung mewawancarai
atau menanyakan kepada responden, pada sistem muskuloskeletal bagian
mana saja yang mengalami gangguan kenyerian atau sakit, atau dengan
menunjuk langsung pada setiap sistem muskuloskeletal sesuai yang tercantum
dalam lembar kerja kuisioner ‘Nordic Body Map’. Nordic Body Map meliputi
28 bagian otot pada sistem muskuloskeletal pada kedua sisi tubuh kanan dan
kiri, yang dimulai dari anggota tubuh bagian atas yaitu otot leher sampai
dengan bagian paling bawah yaitu otot pada kaki. Melalui kuisioner ‘Nordic
Body Map’ maka akan dapat diketahui bagian otot mana saja yang mengalami
gangguan kenyerian atau keluhan dari tingkat rendah (tidak ada
keluhan/cedera) sampai dengan keluhan tingkat tinggi (keluhan sangat sakit).
Pengukuran gangguan sistem muskuloskeletal dengan menggunakan
kuesioner ‘Nordic Body Map’ sebaiknya digunakan untuk menilai tingkat
keparahan gangguan sistem muskuloskeletal individu dalam kelompok kerja
yang cukup banyak atau kelompok sampel yang dapat merepresentasikan
populasi secara keseluruhan. Jika metode ini dilakukan hanya untuk beberapa

Universitas Sumatera Utara

25

orang pekerja di dalam kelompok populasi kerja yang besar, maka hasilnya
tidak akan valid dan reliabel.
Penilaian dengan menggunakan kuisioner ‘Nordic Body Map’ dapat
dilakukan dengan berbagai cara; misalnya dengan menggunaan 2 jawaban
sederhana (data nominal) yaitu ‘YA’ (tidak ada keluhan sakit pada sistem
muskuloskeletal) dan ‘TIDAK’ (tidak ada keluhan atau tidak ada rasa sakit
pada sistem muskuloskeletal). Tetapi lebih utama untuk menggunakan desain
penilaian dengan skoring (misalnya; 4 skala likert). Apabila digunakan
skoring dengan skala likert, maka setiap skor atau nilai haruslah mempunyai
definisi operasional yang jelas dan mudah dipahami oleh responden.
Selanjutnya, setelah selesai melakukan wawancara dan pengisian
kuisioner, maka langkah berikutnya adalah menghitung total skor individu
dari seluruh sistem muskuloskeletal (28 bagian sistem muskuloskeletal) yang
diobservasi. Pada desain 4 skala likert ini, maka akan diperoleh skor individu
terendah adalah sebesar 0 dan skor tertinggi 84. Dalam banyak penelitian
dengan menggunakan uji statistik tertentu yang dimaksudkan untuk menilai
tingkat signifikansi hasil penelitian, maka total skor individu tersebut dapat
langsung digunakan dalam entri data statistik.
Langkah terakhir dari aplikasi metode ‘Nordic Body Map’ ini,
tentunya adalah melakukan upaya perbaikan pada pekerjaan maupun
posisi/sikap kerja, jika diperoleh hasil yang menunjukkan tingkat keparahan
pada sistem muskuloskeletal yang tinggi. Tindakan perbaikan yang harus
dilakukan tentunya sangat tergantung dari perbaikan risiko sistem

Universitas Sumatera Utara

26

muskuloskeletal mana saja yang mengalami adanya gangguan atau
ketidaknyamanan. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya
adalah dengan melihat persentase pada setiap bagian sistem muskuloskeletal
dan dengan menggunakan kategori tingkat risiko sistem muskuloskeletal.
Berikut ini tabel klasifikasi subjektivitas tingkat risiko sistem muskuloskeletal
berdasarkan total skor individu.
Total Skor
Tingkat
keluhan individu
risiko
1 – 20
0

Kategori risiko

Tindakan perbaikan

Belum
diperlukan
adanya
tindakan
perbaikan
21 – 41
1
Sedang
Mungkin diperlukan
tindakan dikemudian
hari.
42 – 62
2
Tinggi
Diperlukan tindakan
segera
63 – 84
3
Sangat tinggi
Diperlukan tindakan
menyeluruh sesegera
mungkin.
Tabel 2.2 Klasifikasi subjektivitas tingkat risiko sistem muskuloskeletal
berdasarkan total skor individu

2.2

Rendah

Keluhan Muskuloskeletal pada Anak
Shamsoddini, Hollisaz, dan Hafezi (2010) mengatakan bahwa banyak

faktor yang dapat menimbulkan keluhan muskuloskeletal pada anak sekolah
antara lain dengan keikutsertaan pada kegiatan olahraga ataupun latihan, postur
duduk yang salah, dan tidak beraktivitas untuk waktu yang lama, serta membawa
tas punggung yang berat. Rai dan Argawal (2014) menambahkan bahwa faktor
individu seperti usia, jenis kelamin, dan cedera tubuh dapat menyebabkan
terjadinya masalah pada bagian tubuh yang berbeda – beda.

Universitas Sumatera Utara

27

American Occupational Therapy Assosiation menyatakan bahwa lebih dari
50% siswa berusia 9 – 20 tahun mengalami nyeri punggung kronik akibat muatan
tas punggung yang berlebih dan juga penyusunan isi tas punggung yang tidak
benar. Saat anak masuk sekolah, tas sekolah menjadi teman yang sangat
diperlukan. Tas sekolah adalah hadiah yang selalu diharapkan menjadi hadiah
masuk sekolah bagi anak. Bagaimanapun, tas sekolah yang berat tidak hanya berat
secara psikologi tetapi juga berat secara fisik pada postur tubuh. Kelas yang lebih
rendah memiliki tas yang lebih berat (Rai, Argawal & Bharti, 2013).
Keluhan muskuloskeletal yang dialami oleh perempuan lebih sering pada
ekstremitas atas. Dan juga, siswa perempuan mengatakan keluhan pada
ekstremitas bawah dan punggung lebih sering daripada yang dialami oleh siswa
laki – laki. Walaupun perbedaannya tidak signifikan. Hertzberg (1985, dalam
Shamsoddini, et al., 2010) mengatakan bahwa nyeri punggung bawah dan
punggung atas lebih sering dialami oleh siswa perempuan daripada siswa laki –
laki. Haisman, (1988, dalam Shamsoddini, et al,. 2010) mengatakan alasan
kemungkinan mengapa perempuan lebih sering mengalami keluhan pada sistem
muskuloskeletalnya yaitu karena kekuatan otot perempuan lebih rendah daripada
laki – laki, khususnya di otot lengan atas.
Lama membawa tas punggung dan cara ke sekolah juga dapat menjadi
faktor pemicu terjadinya keluhan muskuloskeletal. Seperti yang dikatakan oleh
Haselgrove, et al. (2008), bahwa durasi yang lama dan cara tempuh ke sekolah
dengan transportasi pasif (mobil/bus) lebih sering mengalami nyeri punggung dan

Universitas Sumatera Utara

28

leher, walaupun tidak memiliki hubungan yang kuat antara durasi dan cara
tempuh ke sekolah.

Universitas Sumatera Utara