Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ulos dalam Pranata Perkawinan Batak Toba di Jakarta D 762009001 BAB II
22
BAB II
KERANGKA TEORITIK
Definisi ulos dalam bahasa Batak adalah kain yakni
suatu objek yang dapat dilihat dalam kehidupan ini.
Deskripsi mengenai hal itu didasarkan pada pengertian,
kegunaan dan bentuknya, yang juga sama dengan tanda
dalam pengertian semiotik, serta teori‐teori tentang tanda
dalam konteks kebudayaan dan masyarakat.
II.1. Pengertian Kain.
Kain adalah kosakata Indonesia merupakan kata
umum yang mewakili dua nama yaitu, nama kain dan
penunjuk jenis kain. Sebagai contoh “kain sutera, kain rami,
kain cita, kain kepala, kain panjang, kain sarung, kain gebar,
kain baju, kain basahan, kain dua seragi, kain kembar; kain
lurik dan sebagainya.”1 Selain kain memiliki makna tersebut
di atas, juga digunakan secara lebih khusus. Contoh, “kain
kapal Lp dari Lampung di kalangan terbatas; kelompok
W. J. S. Poerwadarminta (penyusun), Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Jakarta: PN Balai Pustaka 1985), 432.
1
23
kerabat klan pemimpin adat, pendiri desa, penguasa wilayah
suku dan marga.”2
Kain balon dengan sistim tenunan rapat yang
digunakan sebagai kain penutup kapal terbang dan
balon penerbang. Kain bilyart dibuat dari kain wol
bermutu paling tinggi, kuat dan halus dengan cara
tenunan twill. Kain minyak yang diberi lapisan pernis
dari minyak lena, sehingga menyerupai kulit.3
Penjelasan tersebut di atas secara konseptual sama
dengan tekstil. Hanya saja kata tekstil dari bahasa asing yang
kemudian digunakan dalam bahasa Indonesia. Meskipun
demikian pada kedua istilah tersebut ada kesamaan dan
kepadanan konsep, bukan makna harafiah. Menurut the
New Encyclopaedia Britannica Volume 11, “textile, the
word—derived from the Latin textilis and the French texere,
meaning
“to
weave.”4
Berdasarkan
Encyclopedia
International Volume 18.
Tim Redaksi Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 489‐490, 128, 216.
3
A. G. Pringgodigdo., Hassan Shadily, (dkk.). Ensiklopedi Umum
(Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1977), 516‐517.
4
Jacob E. Safra, The New Encyclopaedia Britannica Volume 11 (Chicago:
Encyclopaedia Britannica, Inc, 2010), 664‐665.
2
24
textiles (teks’tils, teks’tils) from Lat. texere; (“to
weave”), woven, knitted, or felt fabrics made from
natural or man‐made fibers. The fiber content of fiber
products, and for other purposes man‐made fiber
categories.5
Jadi kata tekstil berarti “menenun” adalah kain atau barang
tenunan dari lakan (bulu kempa) yang dirajut, atau ditenun
dari serabut (serat) alamiah atau buatan manusia.
Dalam New Standard Encyclopedia Volume 17,
“Textile, the word comes from the Latin, texere, “to weave.”
Textile, téks’til; téks’til, a flexible fabric, or cloth, made from
animal, plant, mineral, or man‐‐made fibers.”6 Ini berarti
tekstil yaitu “menenun” barang tenunan yang mudah lentur
atau kain yang dibuat dari serabut (serat) hewan, tumbuh‐
tumbuhan, bahan galian atau buatan manusia.
Dari keterangan‐keterangan di atas, maka kata kain
sama arti dengan tekstil yakni “menenun.” Jadi arti
menenun itu menunjukkan kegiatan menenun : merajut,
5 Grolier, Encyclopedia International 18 (New York: Grolier International,
1974), 47‐48.
6
New Standard Encyclopedia Volume 17 (Chicago: Standard Educational
Corporation, tt), 195.
25
membuat barang‐barang tenunan, atau kain dari bahan‐
bahan alami dan biasanya digunakan suatu metode. Jadi
kosakata kain sama artinya dengan tekstil, yakni “menenun”
dengan menggunakan sebuah metode untuk membentuk
barang yang dikehendaki. Di samping itu “ada pula kain
bukan ditenun karena teksturnya tebal dan berat.”7
Kata kain menjadi populer dengan istilah bahasa
Jawa Kuno, “wastra yang berarti kain tenun yang berasal
dari daerah‐daerah di Indonesia.”8 Contoh, wastra batik tulis
dari Solo, Yogyakarta, wastra batik cap dari Pekalongan,
wastra songket Lampung, wastra songket Palembang atau
Minangkabau, wastra selendang hinggi dari Sumba, wastra
tenun ikat dari Kalimantan, wastra geringsing dari Bali,
wastra tenun ikat dari Lombok – Nusa Tenggara Barat,
7
Ibid. Most textiles are made by weaving yarns that have been spun from
fibers. However, a number of textiles are not woven, including lace, net, felt,
laminated fabrics.
8
Himpunan Pencinta Kain Adati Indonesia ‐ Indonesian Traditional Textile
Society, “Wastra Indonesia” dalam Jurnal Wastra # 1, Maret 2000 (Jakarta:
Museum Tekstil Jakarta), 1. Kata wastra dalam kesamaan arti kain menjadi
populer sejak tahun 2000 untuk menunjukkan wastra yang berasal dari daerah
tertentu di Indonesia.
26
wastra tenun panjang dari Sawu, atau wastra tenun sarung
dari Amarasi Timor Barat, Nusa Tenggara Timur dan wastra
patola dari Maluku dan sebagainya.
II.2. Fungsi Kain.
Penjelasan‐penjelasan
di
atas
tentang
kain
menunjukkan sifat yang deskriptif dan preskriptif. Ini berarti
bahwa, kain secara deskriptif adalah pada nama dan jenis
pembuatan,
sedangkan
secara
preskriptif
adalah,
penggunaannya sesuai ketentuan resmi dan keadaan
tertentu. Menurut abstraksi berdasarkan penjelasan
kepustakaan kegunaan kain bermanfaat dalam kehidupan
adalah sebagai berikut.
1. Menjadi pelindung badan dari pengaruh cuaca panas
dan dingin. “Kain dalam berbagai bentuk untuk
kebutuhan manusia. Sejak jaman prasejarah sekitar
jaman batu baru (neolitikum), manusia Indonesia telah
mengenal cara membuat kain sebagai pelindung
27
badan.”9 “Wastra Lombok terbuat dari benang kapas
(beberut) oleh masyarakat Sasak dipakai untuk menutup
badan dari pengaruh cuaca.”10
2. Kain berguna sebagai keindahan (estetika). “Kain diberi
ornamen sebagai hiasan untuk menjadikan indah, estetis
dan lebih bernilai.”11 “Kain tenun tradisional kofo
Sangihe dibuat pengikat pinggang (papehe) pengantin
pria, dengan fungsi untuk memperindah pakaian
mempelaii pria Sangihe (laku tepu).”12
3. Kain memberikan andil pada peran dan kedudukan di
suatu masyarakat. “Kain patola adalah pakaian
kebesaran bagi Sri Sultan dan bagi susuhunan di kraton
Yogyakarta dan Surakarta, karena nilai spiritual (religio‐
Suwati Kartiwa, Kain Tenun Tradisional Nusa Tenggara (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Museum Pusat, 1973), 1.
10
Benny Gratha, “Wastra Lombok” dalam Jurnal Wastra # 18, Narch 2012
(Jakarta: Museum Tekstil Jakarta), 14.
11
Aryo Sunaryo, Ornamen Nusantara Kajian Khusus tentang Ornamen
Indonesia (Semarang: Dahara Prize, 2009), 3.
12
Steven Sumolang, Yan Yan Sunaryo, Kain Tenun Tradisional Kofo di
Sangihe (Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Direktorat Tradisi,
Direkrorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, 2011), 62.
9
28
magi) untuk perlindungan dan sejahtera.”13 “Jubah
kebesaran duyin thindaing di Burma bagi keluarga
kerajaan Burma.”14
4. Peran kain menurut ketentuan adat.
Kain ma’a dipakai oleh para pemuka adat, kepala
suku di Toraja dalam kegiatan adat Toraja. Kain
ma’a sebagai alat pelindung yang bersifat rohani
atau spiritual, sebagai penghubung antara manusia
dengan para dewa; media penghubung antara
manusia dengan nenek moyang.15
5. Kain menunjukkan derajat sosial (martabat) individu
atau suatu kelompok.
P. Sareng Orinbao, Seni Tenun Suatu Segi Kebudayaan Orang Flores
(Nita‐Flores: Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, 1992), 142.
14
Frances Franklin, Burman court textiles in historical context dalam
Textiles from Burma (London: Philip Wilson Publishers, 2003), 95. A lavish duyin
thindaing (female state robe) and accessories, dating from the Konbaung
period. The status of this sumptuous ensemble can be more accurately traced
using a court parabaik (folding manusciprt), confirming entitlement for its use
by a high‐ranking minister’s principal wife. The costume isof a style exclusive to
the royal family and to thoseon whom it was bestowed by the king as a special
favour.
15
Herman Jusuf, Tim FashionPro, Kain‐kain Kita (Jakarta: Dian Rakyat,
2012), 54.
13
29
Kain tenun laku tepu disebut kaduku dipakai oleh
wanita Sangihe keturunan bangsawan (putri raja).
Kain tenun laku tepu yang disebut paporong hiteng
datu dipakai oleh pria Sangihe dari keturunan
bangsawan untuk upacara perkawinan adat,
lambang derajat sosial masyarakat Sangihe.16
“Kain‐kain Indian sebagai kekayaan dari kaum
ningrat/bangsawan.”17 “Pemilikan kain tenun bagi
masyarakat Timor berarti status sosial tinggi. Kaum
bangsawan mewariskan kain tenun dari generasi ke
generasi, karena bernilai tinggi khusus pada acara
perkawinan atau upacara adat tertentu.”18
6. Peran dan kedudukan kain menurut sistem keagamaan.
Kain patola sebagai pakaian upacara keagamaan
pedanda Brahmana lambang sesuatu yang bersifat
suci kepada para dewa. Demi nilai suci itu, kain
dijadikan pakaian tingkat Brahmana dan Jaina;
Steven Sumolang., Yan Yan Sunaryo, Kain Tenun Tradisional Kofo di
Sangihe, 71‐72.
17
Deepika Shah, Masters Of The Cloth; Indian Textiles Traded to Distant
Shores (New Delhi: The National Museum New Delhi, in collaboration with the
TAPI collection, 2011), 7. In the East, Indian textiles were considered a form of
starring wealth. They served as costumes for the noblitity, and so on.
18
Suwati Kartiwa, Ragam Kain Tradisional Indonesia Tenun Ikat (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), 136.
16
30
tingkat kepadrian untuk upacara keagamaan. Nilai
spiritual pada kain itu sebab dibuat oleh penenun
kasta Hindu.19
“Kain patola di Flores sebagai jubah pemimpin bernilai riil
dan spiritual. Nilai spiritual karena kain patola dianggap
suci dan terbungkus kekuatan religio‐magi.”20 “Kain te
whatu taaniko (tenunan taaniko) sebagai jubah
keagamaan di masyarakat Maori.”21 “Kain toga untuk
upacara keagamaan Katholik Roma.”22
7. Kain juga berperan pada kegiatan ibadah
mengikuti sistem agama tertentu. “Pesujudan (sajadah)
merupakan wastra paling suci bagi para kyai masyarakat
Sasak di Lombok Utara. Kain itu dibuat di Bayan, sebagai
P. Sareng Orinbao, Seni Tenun Suatu Segi Kebudayaan Orang Flores,
141‐142.
20
Ibid., 142.
21
Hirini Moko Mead, Te Whatu Taaniko – Taaniko Weaving (Aukland:
Reed Methuen Publishers Ltd, 1968), 54, 58. The most essential item of Maori
costume is called the cloak of religion. It is made with the tapestry technique
and features taaniko patterns.
22
Beverly Gordon, Textiles The Whole Story; Uses – Meanings –
Significance (London: Thames & Hudson, 2009), 151.“The toga, praetexa, which
featured purple stripes, could only be worn by priests and high officials in
ancient Rome. The ancient Egyptians (in the later periods) and Romans also
used purple cloth as a mark of prestige.”
19
31
pintu masuk agama Islam ke pulau Lombok.”23 “Kain Piµa
sebagai pakaian baptisan pada Katholik Roma di
Filipina.”24 “Kain bendera Sri Lanka untuk kegiatan
keagamaan dan prosesi‐prosesi kerajaan di Sri Lanka.”25
8. Kain mempunyai andil “penghargaan, pemberian,
pakaian yang digunakan pada upacara mengenai siklus
kehidupan.”26
1) Kegunaan kain pada upacara adat secara berkala, atau
sekali‐sekali. “Kain sarita digunakan untuk upacara‐
23
Benny Gratha, “Wastra Lombok”dalam Jurnal Wastra # 18, March 2012,
21.
24
Belen Ponferrada Thirkell, “The Piµa: Traversing Continents and
Cultures”dalam Jurnal Wastra # 12, June 2008 (Jakarta: Museum Tekstil
Jakarta), 28. Piµa fabric is the preferred fabric for some of the most important
rituals and sacraments of the Roman Catholic church: christening clothes of
infants for baptism.
25
Deepika Shah, Masters of The Cloth; Indian Textiles Traded to Distant
Shores, 23. Ceremonial banner have been used in ancient Ceylon for religious
and royal processions as well as in war. It is very important indeed even if it is
just a little things. This banner is likely to be the peacock emblem flag of the
Walapane province in Sri Lanka, known as Monara Kodiya.
26
Ibid., 7. In the East, Indian textiles were considered a form of starring
wealth. They served as costumes for the nobility, as festive displays, gifts and as
clothing and offerings clothing life‐cycle rituals. Elevated to the status of
heirlooms, they were carefully preserved and have, therefore, survived many
centuries.
32
upacara adat tertentu di Toraja sebagai media
penghubung antara manusia dengan nenek moyang.”27
“Kain tapis tubo untuk upacara pemberian gelar sutan.
Kain tapis inuh untuk upacara adat masyarakat
Lampung.”28
“Kain patola untuk upacara adat masyarakat
Maluku, yang dililitkan di pinggang atau leher. Kain ini
dianggap keramat sebagai penolak petaka.”29 “Kain
umbaq bagi masyarakat Sasak untuk upacara adat
Peraq Api (upacara putus tali pusat bayi), juga upacara
Bekuris, atau upacara adat Besunat (khitanan).”30
2) Kain berperan dalam perkawinan adat sebagai mas
kawin, atau barang pemberian perkawinan.
Tenun ikat suku Lamaholot, Adonara, Lembata,
Krowe Sikka di Pulau Flores untuk mas kawin.
Tenun ikat itu memiliki nilai sama dengan gading
untuk pertukaran hadiah perkawinan atau belis.
Herman Jusuf, Tim FashionPro, Kain‐kain Kita, 54.
Ibid., 68‐70.
29
Ibid., 59.
30
Benny Gratha, “Wastra Lombok”dalam Jurnal Wastra # 18, March 2012,
16‐17.
27
28
33
Di pulau Adonara atau Lembata kain berupa
sarung adat dari tenun ikat pada perundingan
adat pemberian mas kawin antara keluarga pria
dan wanita.31
3) Kain digunakan untuk upacara adat kematian. “Kain
selendang hinggi kombu sebagai kafan dalam kematian
di masyarakat Sumba.”32 “Kain seko mandi untuk
pembungkus atau penutup jenazah, juga digantung
semacam canopy memayungi jenazah orang Toraja.”33
“Kain osap ialah salah satu wastra (dibuat di desa
Pringgasela) masyarakat Lombok Timur untuk penutup
wajah jenazah pada saat dimandikan.”34
9. Kegunaan kain dalam bidang ekonomi kreatif pada
kerajinan tangan khas masyarakat setempat. “Wastra
Amarasi Timor Barat menjadi bahan komoditas dagang,
Jes A. Therik, Tenun Ikat dari Timur (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan,
1989), 48‐49.
32 Suwati Kartiwa, Kain Tenun Tradisional Nusa Tenggara, 59.
33
Herman Jusuf, Tim FashionPro, Kain‐kain Kita, 53.
34
Jes A. Therik, Tenun Ikat dari Timur, 15.
31
34
yaitu tais mutin (selimut laki‐laki), tais (sarung
perempuan) dan po’uk (selendang).”35
10. Kain sebagai alat tukar menukar dan untuk maksud lain
dalam arti luas.
1) Kain sebagai sebuah alat tukar pengganti uang untuk
memenuhi kebutuhan lain. “Kain sutera untuk menukari
pembayaran pajak di Cina.”36
2) Kain memberikan andil bagi tukar menukar barang
dalam hubungan antar komunitas.
Orang Kulawi dan Bada di Sulawesi Tengah
memperoleh kain tenun Toraja dengan menukar
sehelai kain itu dengan satu ekor kerbau. Kain itu
untuk pakaian adat, dengan dilipat bersusun dua
Robert Koroh, “Tradisi Menenun di Amarasi, Timor Barat” dalam Jurnal
Wastra # 16, Juni 2010 (Jakarta: Museum Tekstil Jakarta), 12‐14.
36
Beverly Gordon, Textiles The Whole Story; Uses – Meanings –
Significance, 155. This was true in China when several different government
demanded silk as a form of tax. Set quantities were required from each family,
with designated portions of household land given over to mulberry plantings to
raise the worms. During the Tang dynasty when the emporer Minghuang was
fleeing from the capital, he took with him 100,000 bolts of silk that he had
received as tribute payments from Sichuan, which was just one location in his
vast empire.
35
35
atau tiga rok bawah dengan baju dari kulit kayu
(pakaian adat Kulawi dan Bada).37
11. Kain sebagai alat tukar menukar barang bernilai
menurut aturan adat. “Kain tenun Timor untuk
keperluan adat, nilai dari hasil kerja (apakah itu tenunan,
atau ternak) ditentukan bukan menurut harga pasar,
tetapi menurut nilai adat (counter value).”38
Kain tenun Sumba dalam upacara di sekitar
lingkaran hidup. Pada sistem perkawinan pihak
laki‐laki memberikan barang seperti emas, perak,
porselin, kuda. Pihak wanita memberikan kain
tenun, hinggi, lau, manik‐manik. Dengan
pertukaran barang maka hubungan antara
kelompok kerabat dari kedua belah pihak sebagai
bentuk tukar menukar benda, jasa dan pelayanan
dalam upacara perkawinan.39
Suwati Kartika, Ragam Kain Tradisional Indonesia, 10.
Jes A. Therik, Tenun Ikat dari Timur, 53.
39
Suwati Kartiwa, Tenun Ikat – Indonesian Ikats (Jakarta: Djambatan,
1989), 70‐71.
37
38
36
“Kain‐kain tenun adat Timor dalam upacara perkawinan
sebagai pola pertukaran dari pihak keluarga laki‐laki
kepada pihak keluarga perempuan.”40
12) Kain juga berguna bagi kepentingan hukum adat
sebuah komunitas. “Kain tenun masyarakat Timor
mempunyai nilai aturan adat. Jika ada pelanggaran
terhadap aturan adat dikenakan pembayaran denda
yang harus dibayar dengan kain adat.”41
II.3. Bentuk Penggunaan Kain.
Penjelasan‐penjelasan tersebut tentang fungsi kain
memberikan gambaran mengenai kegunaan kain untuk
berbagai tujuan praktis. Untuk itu pula dapat dilihat
berbagai bentuk penggunaannya sebagai berikut.
1. Kain hinggi sebagai selimut. “Kain hingga dipakai oleh
pria berupa seli,ut dan Lau berupa sarung dipakai oleh
wanita.”42
Suwati Kartiwa, Ragam Kain Tradisional Indonesia Tenun Ikat, 136.
Ibid.
42
Stephanus Hamy, Debbie S. Suryawan, Chic Mengolah Wastra Indonesia
Tenun NTT (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), 8.
40
41
37
2. Kain geringsing dari desa Tenganan Pagringsingan Bali
Selatan. “Ada tiga bentuk penggunaan kain geringsing
yaitu kemben dililitkan di dada; sarung dikenakan pada
pinggang, dan selendang dikalungkan pada leher untuk
kaum laki‐laki dewasa.”43
3. “Kain bebali dari Bali berupa penutup pelinggih (tempat
suci), dan busana orang untuk upacara.44
4. Kain songket dari Palembang. “Penggunaan selendang
dan sarung dipakai pada upacara perkawinan yang
disebut lepas dan songket tawur.”45
5. Kain tenun adat Timor. “Kain adat sebagai pemberian
dalam upacara perkawinan dari pihak keluarga laki‐laki
kepada pihak keluarga perempuan.46
Suwati Kartiwa, Tenun Ikat – Indonesian Ikats, 19.
Ida Ayu Ngurah Puniari, Mariah Waworuntu, “Makna Sosial dan
Penggunaan Wastra Sakral di Bali” dalam Jurnal Wastra # 21, April 2013
(Jakarta: Museum Tekstil Jakarta), 24.
45
Suwati Kartiwa, Kain Songket Indonesia – Songket Weaving In Indonesia
(Jakarta: Djambatan, 1989), 34.
46
Suwati Kartiwa, Ragam Kain Tradisional Indonesia Tenun Ikat, 136.
43
44
38
6. “Kain dangdong dari Kalimantan berupa selendang
digunakan untuk menaruh saji‐sajian pada upacara
panen di ladang suku Dayak.”47
7. Kain tenun panjang dari Sawu, Nusa Tenggara Timur.
Kain ini untuk pembungkus mayat kaum
bangsawan maupun rakyat biasa, ketika meninggal
dunia dibungkus kain itu untuk dikuburkan sesuai
dengan marga. Untuk pendeta dan pemuka adat
(deo rai) disebut kain pembungkus mayat, wai
meah bi i’taha.48
8. “Kain patola berupa pakaian jenazah pada orang‐orang
Flores, Solor, Adonara, Lembata, Krowe Sikka.”49
9. “Kain serban berupa ikat kepala lebar dipakai orang
Arab, haji dan lain‐lain.”50
10. ’Tenunan taaniko berupa pakaian bagi anggota
kelompok Maori baik perempuan maupun laki‐laki.”51
Ibid., 46‐47.
Herman Jusuf, Kain‐kain Kita, 53‐54.
49
P. Sareng Orinbao, Seni Tenun Suatu Segi Kebudayaan Orang Flores,
141.
50
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 478,
1047.
47
48
39
11. “Kain tenun polos warna hitam bag penganut agama
Budha di Burma dan Thailand. Kain ini berupa penutup
kepala bagi perempuan Palaung. Juga bagi perempuan
menikah ketika anak sudah dewasa dalam pelayanan di
kuil.”52
II.4. Kain adalah Tanda dalam Pengertian Semiotik.
Dari penjelasan‐penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa, kain adalah sesuatu objek atau materi (benda) yang
dapat dilihat dengan indra penglihatan (mata) dan
merupakan bagian dari masyarakat di dunia. Secara teoritis
sesuatu yang dapat dilihat dan juga dapat teramati memberi
gambaran mengenai tanda dalam pengertian semiotik.
Hirini Moko Mead, Te Whatu Taaniko‐ Taaniko Weaving, 9. Women in
performing team (usually referred to colloquially as a Maori culture group)
wear headbands, with or without feathers, neck pendants known as the tiki, ear
pendants of shark teeth, bodies in taaniko patterns, kilts of flax, and an
underskirt in red or black. No footwear, anklets, or bracelets are worn. When
men are actually performing their costume may consist minimally of shorts and
kilt only.
52
Michael C. Howard, “Southeast Asian Head Decorations: A Regional
Perspective” dalam Jurnal Wastra # 15, December 2009 (Jakarta: Museum
Tekstil Jakarta), 16. The Palaung women in Burma and Thailand are Buddhists,
and older women whose children have matured and who have decided to
devote their lives largely to temple service often wear plain black‐head‐cloths.
51
40
Untuk menguraikan pengertian tentang tanda, maka perlu
deskripsi
munculnya
tentang
asal
mulanya
dan
pengertiannya secara teoritis.
1. Asal Mula dan Pengertian Semiotik.
Sejarah semiotik telah ada sejak dahulu kala. “Orang‐
orang
Stoik
merupakan
orang
pertama
yang
mengembangkan teori tentang tanda dalam abad kedua dan
ketiga sebelum Masehi. Pengertian mereka tentang tanda
kebahasaan sudah demikian maju.”53 “Kata semiotik berasal
dari bahasa Yunani berhubungan dengan istilah semainon
(penanda) dan semainomenon (petanda).”54 Di samping itu
istilah semeiotics, juga merupakan bentuk penelaahan ilmu
medis. Menurut Marcel Danesi, istilah semeiotics (dilafalkan
demikian) yang diperkenalkan oleh Hippocrates (460‐377
SM), penemu ilmu medis Barat, seperti ilmu gejala‐gejala.
M. A. K. Halliday‐‐Ruqaiya Hasan, Language, Context, and Text: Aspects
of Language in a Social‐‐Semiotic Perspective. Asruddin Barori Tou, (trans.)
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992), 3‐4.
54
Ibid., 3.
53
41
Gejala menurut Hippocrates merupakan semeion —
bahasa Yunani untuk “petunjuk” atau “tanda” (sign)
fisik. Untuk membahas mengenai apa yang
direpresentasikan oleh gejala serta bagaimana ia
mengejawantahkan secara fisik dan mengapa ia
mengindikasikan kondisi tertentu merupakan esensi
dari diagnosa medis.55
Di masa‐masa sesudah itu ketika filsuf “John Locke
(1632‐1794), memperkenalkan kajian formal tanda pada
filsafat, dan menyebut hal itu sebagai semeiotics. Locke
mengantisipasi agar semiotika mengkaji hubungan antara
konsep dengan kenyataan yang lebih tepat.”56 Tetapi tugas
pada filsafat tidak diperhatikan secara virtual hingga akhir
abad ke‐19, ketika gagasan seorang linguis Swiss, Ferdinand
de Saussure (1857‐1913) dan filsuf Amerika Charles S. Pierce
(1839‐1914) menjadi mimbar tempat bidang penelaahan
otonom dibentuk secara perlahan pada abad ke‐20.
Saussure, menulis Cours de linguistique generale (1916),
Marcel Danesi, Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in
Semiotics and Communication Theory. Evi Setyarini, Lusi Lian Piantari, (trans.)
(Yogyakarta: Jalasutra, 2012), 6‐7.
56
Ibid., 10‐11.
55
42
dengan istilah semiologi untuk merujuk pada kajian tanda.
“Saussure menggunakan analogi pada konteks ilmu‐ilmu lain
seperti psikologi, biologi, antropologi, dari bahasa Yunani
logos adalah “kata”, “kajian.”57
Istilah Saussure menempatkan supremasi bahasa
dalam hubungan antara makna dengan tanda‐tanda
berdasarkan pada bahasa.
Bahasa adalah sistem tanda ekspresif mengenai
gagasan, karena itu dapat dibandingkan dengan
sistem tulisan, abjad bagi para tuna‐rungu dan tuna‐
wicara, ritus simbolik, formulasi kesopanan, sinyal
militer dan lain‐lain. Tetapi bahasa merupakan sistem
yang paling penting dari sistem yang lainnya.58
Untuk itu Saussure menganalisa sifat satu objek sebagai
penanda dan ditandai melalui bahasa. Juga merupakan
sistem tanda lebih bersifat pokok. “Bahasa suatu sistem
tanda, untuk mengekspresikan, atau mengkomunikasikan
Ibid., 11.
M. A. K. Halliday‐‐Ruqaiya Hasan, Language, Context, and Text: Aspects
of Language in a Social‐‐Semiotic Perspective. Asruddin Barori Tou, (trans.), 20.
57
58
43
pikiran, gagasan yang adalah bagian dari sistem konvensi
dan sistem tanda.”59
Secara perseptif dalam penyatuan satu bentuk
menandakan adanya sesuatu penanda atau signifiant dan
sesuatu ditandai yakni, signifie. Penanda (signifiant) dan
ditandai (signifie) seolah‐olah entitas terpisah, namun
keduanya hanya muncul sebagai komponen satu tanda.
Tanda itu adalah fakta sentral dalam bahasa. Jika kita
mencoba memisahkan hal perlu dengan hal sekunder atau
hal kebetulan, maka kita harus memulai dari sifat tanda itu
sendiri. Oleh karena itu teori bahasa menurut Saussure
mengenai kualitas dasar tanda.
Tanda adalah kesatuan dari penanda (signifier) dan
ditandai (signified). Setiap tanda dalam suatu bahasa
merupakan sebuah konsep (concept) termasuk bunyi
(sound images), bukan sebuah nama. Sebuah konsep,
bunyi dengan kata terucap merupakan penanda
(signifier), sedang konsep merupakan ditandai
(signified). Dua unsur ini tidak terpisahkan. Penanda
59
Ibid., 6.
44
dan ditandai maka bersifat relasional (bundle of
relations).60
Dalam hal ini maka Ilmu bahasa merupakan satu jenis
semiotik. Ilmu bahasa adalah satu segi kajian tentang
makna. Sebab bahasa merupakan hubungan paling penting
pada sebuah makna.
Pemikiran Saussure mengenai tanda dan sistem
tanda telah merintis jalan bagi kajian bahasa dan merupakan
suatu pendekatan yang memberi tekanan pada bahasa
sehubungan dengan sistem makna. Untuk melihat bahasa
sebagai tempat tanda, maka tanda bukan entitas otonom,
tetapi bagian dari satu sistem. Bahasa membagi spektrum
dan kategori tanda (penanda), untuk menghasilkan satu
sistem ditandai (konsep), namun nilai tergantung pada
hubungan antara satu dengan lainnya.
Sebetulnya pada sistem bukanlah gagasan yang
diberikan lebih dahulu, melainkan nilai‐nilai dari
sistem. Jika kita mengatakan bahwa nilai sesuai
Ferdinand de Saussure dikutip oleh Heddy Shri Ahimsa‐‐Putra,
Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra (Yogyakarta: Galang Press,
2001), 35.
60
45
dengan konsep, maka hal itu bersifat diferensial,
bukan menurut isi namun dalam sistem. Karakteristik
nilai‐nilai itu adalah sesuatu yang khas. (Course 117;
Course: 162).61
Walaupun tujuan semiotik sekarang dilihat untuk
menelusuri arti sesuatu tanda, ia tetap mempertahankan
konsep dan prinsip dasar yakni, untuk memberi makna
dalam bahasa terhadap segala sesuatu yang dapat terlihat.
Kajian bahasa tubuh, bentuk‐bentuk seni, wacana
retoris, komunikasi visual, media, mitos, naratif,
bahasa, artefak, isyarat, kontak mata, pakaian, iklan,
makanan, upacara dan peristiwa — inti dari hal itu,
semua digunakan, diciptakan atau dihadapi oleh
manusia untuk menghasilkan makna.62
Itu berarti semiotik pada sebuah bentuk tanda baik verbal
maupun non‐verbal tetap memperhatikan makna dalam
bahasa.
Jonathan Culler, Saussure. Rochayah, Siti Suhayati, (trans.) (Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1996), 13‐14.
62
Arthur Asa Berger, Signs in Contemporary Culture An Introduction to
Semiotics. M. Dwi Marianto, (trans.) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010), 35‐39.
61
46
Dari penjelasan‐penjelasan di atas tentang semiotik,
maka dapat dilihat bahwa hubungan antara tanda dengan
makna untuk hubungan dengan fungsi sosial, pengetahuan,
tindakan, sikap, pendirian dan lain‐lain. Itu berarti bahwa,
semiotik menyatakan sesuatu yang dapat dilihat dan
teramati di dalam kehidupan ini, yang menyatakan sesuatu
makna dalam bahasa manusia.
2. Teori‐teori tentang Tanda.
1) Emile Durkheim : Totem sebagai Nama diri, Emblem
dan Kepercayaan Totemik.
Menurut Emile Durkheim (1858‐1917), totem untuk
petunjuk tiga aspek pokok yaitu;
a. Nama diri dari suatu klan.
b. Emblem (lambang) resmi dari suatu klan.
c. Prinsip totemik dari suatu klan.
Hal itu terdapat dalam penelitian tentang totem, secara
khusus pada suku Arunta, suku Loritja, suku Kaitish, suku
Unmatjera dan suku Ilpirra di wilayah Central Australia.
47
Deskripsi tentang tiga aspek tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut.
Pertama, totem sebagai nama diri klan. Dalam hal ini
totem menyatukan individu‐individu dari satu klan
berdasarkan hubungan keluarga atau pertalian keluarga.
We find a group which holds a preponderating place
in the collective life : this is the clan. The individuals
who compose it consider themselves united by a
bond of kinship, but one which is of a very special
nature. This relationship does not come from the fact
that they have definite blood connections with one
another; they are relatives from the mere fact that
they have the same name. They are especially
relations of kinship.63
Totem sebagai “nama diri dari suatu klan yang dipilih
dari nama dunia binatang, sayur‐sayuran, atau nenek
moyang, atau kelompok nenek moyang. Khusus nama diri
dari nenek moyang merupakan pengetahuan mitologi.”64
Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life. Joseph
Ward Swain, (trans.) (London: George Allen & Unwin Ltd, 1954), 102.
64 Ibid., 103‐105. The objects which serve as totems belong either to the
animal or the vegetable kingdom, but especially to the former. Sometimes, but
no less exceptionally, it is an ancestor or a group of ancestor which serves as
totem directly. Sometimes, however, it is a particular object. In this case, the
63
48
Pengertian tersebut menyatakan bahwa, totem memiliki
konsekuensi pada kemurnian hubungan keluarga atau
pertalian keluarga dan ikatan kelompok sosial. Untuk hal itu
mereka mempunyai suatu objek totem untuk menyebut klan
mereka.
Kedua, totem sebagai emblem resmi dari suatu klan.
Dengan emblem itu klan memperlihatkan kekuasaan sebagai
bangsa beradab di wilayah tempat tinggal. Dan anggota klan
diberi hak dan tanggung‐jawab untuk mengemban identitas
dari totem.
But the totem is not merely a name; it is an emblem,
a veritable coat—of‐‐arms whose analogies with the
arms of heraldry have often been remarked.It is in
fact a design which corresponds to the heraldic
emblems of civilized nations, and each person is
authorized to bear it as a proof of the identity of the
family to which it belongs.65
Itu berarti bahwa, totem membawa konsekuensi pada
komitmen untuk hak dan kewajiban anggota klan.
clan takes its name, not from a thing or a species of real things, but from a
purely mythical being.
65
Ibid., 113.
49
Ketiga, totem sebagai prinsip totemik dari suatu
klan. Dalam hal ini totem merupakan hubungan antara
imajinasi totemik dengan ritus keagamaan. Dengan
demikian totem selain merupakan nama diri juga bersifat
agama. Sedangkan klan sendiri adalah bagian dari liturgi.
Untuk hal itu totem disusun menurut golongan yang lebih
bersifat sakral atau profan.
These totemic decorations enable us to see that the
totem is not merely a name and an emblem. It is in
the course of the religious ceremonies that they are
employed; they are a part of the liturgy; so while the
totem is a collective label, it also has a religious
character. In fact, it is in connection with it, that
things are classified as sacred or profane.66
Imajinasi totemik itu tidak hanya menentukan totem bersifat
sakral, namun juga objek dari ritus.
But totemic images are not the only sacred things.
There are real things which are also the object of
rites, because of the relations which they have with
the totem : before all others, are the beings of the
totemic species and the members of the clan.67
66
67
Ibid., 119.
Ibid., 128.
50
Pengertian itu menunjukkan totem pada anutan
kepercayaan totemik (totemic beliefs). Barangkali ada
hubungan erat antara sakramen dengan imajinasi totemik
sakral. Untuk itu totem disusun pada objek sakral atau
profan, bukan hanya pada objek totem, tetapi juga objek
ritus. Dengan demikian totem merupakan satu kesatuan
sistem kepercayaan dan cara serta tujuan penggunaan objek
sakral, yakni dikhususkan dari objek lainnya. Kepercayaan
dan pelaksanaan itu berhubungan dengan objek sakral
bersatu dalam satu kelompok moral klan. Hal bersifat sakral
pada sesuatu objek menurut Durkheim adalah, hubungan
sosial dengan individu. Sifat tersendiri pada hal itu
merupakan bagian permukaan dari sesuatu yang jauh lebih
mendalam lagi bagi klan. Hal itu yang menandai titik awal
Durkheim menempatkan kepercayaan totemik sebagai ciri
beragama kontekstual dalam kehidupan klan.
Lebih lanjut Durkheim mengembangkan dan
mendefinitifkan pandangannya yang lebih luas lagi dari ide
pokok kepercayaan totemik. Ia menganalisis totem dengan
51
cara menyusun paham totemisme sebagai sebuah agama
dasar (totemism as an elementary religion). Ia melihat asal
mula agama dari totemisme, atau paling tidak bentuk yang
paling dini. Menurut dia, totem dalam totemisme adalah
pengertian abstrak dari totem sebagai petunjuk nama diri
dan emblem dari suatu klan. Sehubungan dengan itu maka
totemisme berasal usul pada pikiran‐pikiran dasar untuk
membuat nama diri dan emblem, merupakan prinsip
esensial dari klan dan totem itu sendiri. Bahkan dasar
totemisme tersebut dalam penggambaran dewa dalam
bahasa agama sebagai dewa, dapat dianggap benar‐benar
ada terlebih dahulu daripada totem. Seperti yang dikatakan
Durkheim bahwa, hubungan klan dengan totem sebelum
segala sesuatu lainnya, maka mengenai makhluk totemik
dan anggota dari klan merupakan tanda kehidupan dari klan.
Termasuk hubungan dengan alam semesta dan
nenek moyang/leluhur serta aktivitas dari klan. Sistem
struktur hubungan antar manusia dengan unsur‐unsur
tersebut ada bersama‐sama sesuai waktu hidup manusia itu
52
sendiri. Hubungan klan dengan totem sebelum adanya yang
lain, adalah hubungan makhluk totemik dan anggota dari
klan. Dengan hubungan asal usul klan di satu wilayah/daerah
(tempat) tinggal klan maka berbuat totem. Dengan imajinasi
mereka kepada sesuatu dipercayai secara bersama, yang
melambangkan klan itu dan bersifat sakral secara totemik,
sehingga dipuja bahkan menjadi perekat ulung dari
kehadiran klan.
Oleh karena itu pada klanlah totem menemukan
pemaknaan prinsip totemik. Totem bukan hanya nama diri
klan dan emblem klan, akan tetapi prinsip totemik atau
dewa. Menurut Durkheim, prinsip totemik dewa itu berada
di luar dari bentuk kelihatan, atau yang dapat dilihat.
Demikian juga dewa dari klan adalah prinsip totemik, tidak
lain daripada klan itu sendiri, yang melambangkan dan
memainkan peran sehubungan dengan imajinasi bentuk
lahiriah/kelihatan pada totem.
So it is not the intrinsic nature of the thing whose
name the clan bears that marked it out to become
the object of a cult. It would be the pre‐eminently
53
sacred thing; the animals, or plants employed as
totem would play an eminent part in the religious
life. But we know that the centre of the cult is
actually elsewhere. It is the figurative representations
of this plant or animal and the totemic emblems and
symbols of every sort.68
Untuk itu imajinasi totem secara hakiki bukan pada konteks
realitas sosial melambangkan nama diri dan emblem dari
suatu klan, melainkan prinsip totemik pada dewa.
It is evident that it expresses and symbolizes two
different sorts of things. In the first place, it is the
outward and visible form of what we have called the
totemic principle or god. The god of the clan, the
totemic principle, can therefore be nothing else than
the clan itself, personified and represented to the
imagination under the visible form of the animal or
vegetable which serves as totem.69
Durkheim memberi penjelasan juga tentang totem
yang mengikat secara moral dan mental anggota klan.
Ekspresi perasaan pada totem dianggap sebagai sesuatu
Emile Durkheim, On Morality and Society. The Heritage of Sociology. A
Series Edited by Morris Janowitz (Chicago: The University of Chicago Press,
1973), 168, 182‐183.
69
Ibid., 168 dan ada juga di buku The Elementary Forms of the Religious
Life, 206.
68
54
yang suci sebab ritus dan kepercayaan totemik. Oleh karena
itu gambaran totem menjadi bagian ulung dalam kehidupan
beragama. Representasi hal itu dalam hubungan antara
karakteristik simbol sosial dengan ketuhanan, sebagai
refleksi klan dalam bersosial dan beragama. Pada hal itu
dapat dilihat klan dan dewa menjadi prinsip totemisme. Cara
pemujaan pada dewa, sama hal dengan pemujaan kepada
klan sendiri. Pandangan Edward Tylor tentang kepercayaan
kepada roh mendiami benda sama dengan “anima
merupakan prinsip totem menjelma dalam individu sebagai
anggota dari klan.”70 Kepercayaan totemik atau totemisme
itu mendasari cara pemujaan klan kepada objek totemik
melalui praktek beragama dan aturan pada benda yang
bersifat sakral juga objek ritus bagi pemujaan pada totemik
yang bersifat suci. Secara hakiki, ide dari totem itulah
memberi pengertian totemisme yang tidak dapat dipisahkan
dari klan.
Edward Tylor dikutip oleh E. E. Evans Pritchard, Teori‐teori tentang
Agama Primitif (Yogyakarta: PLP2M, 1984), 75.
70
55
Melalu
BAB II
KERANGKA TEORITIK
Definisi ulos dalam bahasa Batak adalah kain yakni
suatu objek yang dapat dilihat dalam kehidupan ini.
Deskripsi mengenai hal itu didasarkan pada pengertian,
kegunaan dan bentuknya, yang juga sama dengan tanda
dalam pengertian semiotik, serta teori‐teori tentang tanda
dalam konteks kebudayaan dan masyarakat.
II.1. Pengertian Kain.
Kain adalah kosakata Indonesia merupakan kata
umum yang mewakili dua nama yaitu, nama kain dan
penunjuk jenis kain. Sebagai contoh “kain sutera, kain rami,
kain cita, kain kepala, kain panjang, kain sarung, kain gebar,
kain baju, kain basahan, kain dua seragi, kain kembar; kain
lurik dan sebagainya.”1 Selain kain memiliki makna tersebut
di atas, juga digunakan secara lebih khusus. Contoh, “kain
kapal Lp dari Lampung di kalangan terbatas; kelompok
W. J. S. Poerwadarminta (penyusun), Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Jakarta: PN Balai Pustaka 1985), 432.
1
23
kerabat klan pemimpin adat, pendiri desa, penguasa wilayah
suku dan marga.”2
Kain balon dengan sistim tenunan rapat yang
digunakan sebagai kain penutup kapal terbang dan
balon penerbang. Kain bilyart dibuat dari kain wol
bermutu paling tinggi, kuat dan halus dengan cara
tenunan twill. Kain minyak yang diberi lapisan pernis
dari minyak lena, sehingga menyerupai kulit.3
Penjelasan tersebut di atas secara konseptual sama
dengan tekstil. Hanya saja kata tekstil dari bahasa asing yang
kemudian digunakan dalam bahasa Indonesia. Meskipun
demikian pada kedua istilah tersebut ada kesamaan dan
kepadanan konsep, bukan makna harafiah. Menurut the
New Encyclopaedia Britannica Volume 11, “textile, the
word—derived from the Latin textilis and the French texere,
meaning
“to
weave.”4
Berdasarkan
Encyclopedia
International Volume 18.
Tim Redaksi Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 489‐490, 128, 216.
3
A. G. Pringgodigdo., Hassan Shadily, (dkk.). Ensiklopedi Umum
(Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1977), 516‐517.
4
Jacob E. Safra, The New Encyclopaedia Britannica Volume 11 (Chicago:
Encyclopaedia Britannica, Inc, 2010), 664‐665.
2
24
textiles (teks’tils, teks’tils) from Lat. texere; (“to
weave”), woven, knitted, or felt fabrics made from
natural or man‐made fibers. The fiber content of fiber
products, and for other purposes man‐made fiber
categories.5
Jadi kata tekstil berarti “menenun” adalah kain atau barang
tenunan dari lakan (bulu kempa) yang dirajut, atau ditenun
dari serabut (serat) alamiah atau buatan manusia.
Dalam New Standard Encyclopedia Volume 17,
“Textile, the word comes from the Latin, texere, “to weave.”
Textile, téks’til; téks’til, a flexible fabric, or cloth, made from
animal, plant, mineral, or man‐‐made fibers.”6 Ini berarti
tekstil yaitu “menenun” barang tenunan yang mudah lentur
atau kain yang dibuat dari serabut (serat) hewan, tumbuh‐
tumbuhan, bahan galian atau buatan manusia.
Dari keterangan‐keterangan di atas, maka kata kain
sama arti dengan tekstil yakni “menenun.” Jadi arti
menenun itu menunjukkan kegiatan menenun : merajut,
5 Grolier, Encyclopedia International 18 (New York: Grolier International,
1974), 47‐48.
6
New Standard Encyclopedia Volume 17 (Chicago: Standard Educational
Corporation, tt), 195.
25
membuat barang‐barang tenunan, atau kain dari bahan‐
bahan alami dan biasanya digunakan suatu metode. Jadi
kosakata kain sama artinya dengan tekstil, yakni “menenun”
dengan menggunakan sebuah metode untuk membentuk
barang yang dikehendaki. Di samping itu “ada pula kain
bukan ditenun karena teksturnya tebal dan berat.”7
Kata kain menjadi populer dengan istilah bahasa
Jawa Kuno, “wastra yang berarti kain tenun yang berasal
dari daerah‐daerah di Indonesia.”8 Contoh, wastra batik tulis
dari Solo, Yogyakarta, wastra batik cap dari Pekalongan,
wastra songket Lampung, wastra songket Palembang atau
Minangkabau, wastra selendang hinggi dari Sumba, wastra
tenun ikat dari Kalimantan, wastra geringsing dari Bali,
wastra tenun ikat dari Lombok – Nusa Tenggara Barat,
7
Ibid. Most textiles are made by weaving yarns that have been spun from
fibers. However, a number of textiles are not woven, including lace, net, felt,
laminated fabrics.
8
Himpunan Pencinta Kain Adati Indonesia ‐ Indonesian Traditional Textile
Society, “Wastra Indonesia” dalam Jurnal Wastra # 1, Maret 2000 (Jakarta:
Museum Tekstil Jakarta), 1. Kata wastra dalam kesamaan arti kain menjadi
populer sejak tahun 2000 untuk menunjukkan wastra yang berasal dari daerah
tertentu di Indonesia.
26
wastra tenun panjang dari Sawu, atau wastra tenun sarung
dari Amarasi Timor Barat, Nusa Tenggara Timur dan wastra
patola dari Maluku dan sebagainya.
II.2. Fungsi Kain.
Penjelasan‐penjelasan
di
atas
tentang
kain
menunjukkan sifat yang deskriptif dan preskriptif. Ini berarti
bahwa, kain secara deskriptif adalah pada nama dan jenis
pembuatan,
sedangkan
secara
preskriptif
adalah,
penggunaannya sesuai ketentuan resmi dan keadaan
tertentu. Menurut abstraksi berdasarkan penjelasan
kepustakaan kegunaan kain bermanfaat dalam kehidupan
adalah sebagai berikut.
1. Menjadi pelindung badan dari pengaruh cuaca panas
dan dingin. “Kain dalam berbagai bentuk untuk
kebutuhan manusia. Sejak jaman prasejarah sekitar
jaman batu baru (neolitikum), manusia Indonesia telah
mengenal cara membuat kain sebagai pelindung
27
badan.”9 “Wastra Lombok terbuat dari benang kapas
(beberut) oleh masyarakat Sasak dipakai untuk menutup
badan dari pengaruh cuaca.”10
2. Kain berguna sebagai keindahan (estetika). “Kain diberi
ornamen sebagai hiasan untuk menjadikan indah, estetis
dan lebih bernilai.”11 “Kain tenun tradisional kofo
Sangihe dibuat pengikat pinggang (papehe) pengantin
pria, dengan fungsi untuk memperindah pakaian
mempelaii pria Sangihe (laku tepu).”12
3. Kain memberikan andil pada peran dan kedudukan di
suatu masyarakat. “Kain patola adalah pakaian
kebesaran bagi Sri Sultan dan bagi susuhunan di kraton
Yogyakarta dan Surakarta, karena nilai spiritual (religio‐
Suwati Kartiwa, Kain Tenun Tradisional Nusa Tenggara (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Museum Pusat, 1973), 1.
10
Benny Gratha, “Wastra Lombok” dalam Jurnal Wastra # 18, Narch 2012
(Jakarta: Museum Tekstil Jakarta), 14.
11
Aryo Sunaryo, Ornamen Nusantara Kajian Khusus tentang Ornamen
Indonesia (Semarang: Dahara Prize, 2009), 3.
12
Steven Sumolang, Yan Yan Sunaryo, Kain Tenun Tradisional Kofo di
Sangihe (Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Direktorat Tradisi,
Direkrorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, 2011), 62.
9
28
magi) untuk perlindungan dan sejahtera.”13 “Jubah
kebesaran duyin thindaing di Burma bagi keluarga
kerajaan Burma.”14
4. Peran kain menurut ketentuan adat.
Kain ma’a dipakai oleh para pemuka adat, kepala
suku di Toraja dalam kegiatan adat Toraja. Kain
ma’a sebagai alat pelindung yang bersifat rohani
atau spiritual, sebagai penghubung antara manusia
dengan para dewa; media penghubung antara
manusia dengan nenek moyang.15
5. Kain menunjukkan derajat sosial (martabat) individu
atau suatu kelompok.
P. Sareng Orinbao, Seni Tenun Suatu Segi Kebudayaan Orang Flores
(Nita‐Flores: Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, 1992), 142.
14
Frances Franklin, Burman court textiles in historical context dalam
Textiles from Burma (London: Philip Wilson Publishers, 2003), 95. A lavish duyin
thindaing (female state robe) and accessories, dating from the Konbaung
period. The status of this sumptuous ensemble can be more accurately traced
using a court parabaik (folding manusciprt), confirming entitlement for its use
by a high‐ranking minister’s principal wife. The costume isof a style exclusive to
the royal family and to thoseon whom it was bestowed by the king as a special
favour.
15
Herman Jusuf, Tim FashionPro, Kain‐kain Kita (Jakarta: Dian Rakyat,
2012), 54.
13
29
Kain tenun laku tepu disebut kaduku dipakai oleh
wanita Sangihe keturunan bangsawan (putri raja).
Kain tenun laku tepu yang disebut paporong hiteng
datu dipakai oleh pria Sangihe dari keturunan
bangsawan untuk upacara perkawinan adat,
lambang derajat sosial masyarakat Sangihe.16
“Kain‐kain Indian sebagai kekayaan dari kaum
ningrat/bangsawan.”17 “Pemilikan kain tenun bagi
masyarakat Timor berarti status sosial tinggi. Kaum
bangsawan mewariskan kain tenun dari generasi ke
generasi, karena bernilai tinggi khusus pada acara
perkawinan atau upacara adat tertentu.”18
6. Peran dan kedudukan kain menurut sistem keagamaan.
Kain patola sebagai pakaian upacara keagamaan
pedanda Brahmana lambang sesuatu yang bersifat
suci kepada para dewa. Demi nilai suci itu, kain
dijadikan pakaian tingkat Brahmana dan Jaina;
Steven Sumolang., Yan Yan Sunaryo, Kain Tenun Tradisional Kofo di
Sangihe, 71‐72.
17
Deepika Shah, Masters Of The Cloth; Indian Textiles Traded to Distant
Shores (New Delhi: The National Museum New Delhi, in collaboration with the
TAPI collection, 2011), 7. In the East, Indian textiles were considered a form of
starring wealth. They served as costumes for the noblitity, and so on.
18
Suwati Kartiwa, Ragam Kain Tradisional Indonesia Tenun Ikat (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), 136.
16
30
tingkat kepadrian untuk upacara keagamaan. Nilai
spiritual pada kain itu sebab dibuat oleh penenun
kasta Hindu.19
“Kain patola di Flores sebagai jubah pemimpin bernilai riil
dan spiritual. Nilai spiritual karena kain patola dianggap
suci dan terbungkus kekuatan religio‐magi.”20 “Kain te
whatu taaniko (tenunan taaniko) sebagai jubah
keagamaan di masyarakat Maori.”21 “Kain toga untuk
upacara keagamaan Katholik Roma.”22
7. Kain juga berperan pada kegiatan ibadah
mengikuti sistem agama tertentu. “Pesujudan (sajadah)
merupakan wastra paling suci bagi para kyai masyarakat
Sasak di Lombok Utara. Kain itu dibuat di Bayan, sebagai
P. Sareng Orinbao, Seni Tenun Suatu Segi Kebudayaan Orang Flores,
141‐142.
20
Ibid., 142.
21
Hirini Moko Mead, Te Whatu Taaniko – Taaniko Weaving (Aukland:
Reed Methuen Publishers Ltd, 1968), 54, 58. The most essential item of Maori
costume is called the cloak of religion. It is made with the tapestry technique
and features taaniko patterns.
22
Beverly Gordon, Textiles The Whole Story; Uses – Meanings –
Significance (London: Thames & Hudson, 2009), 151.“The toga, praetexa, which
featured purple stripes, could only be worn by priests and high officials in
ancient Rome. The ancient Egyptians (in the later periods) and Romans also
used purple cloth as a mark of prestige.”
19
31
pintu masuk agama Islam ke pulau Lombok.”23 “Kain Piµa
sebagai pakaian baptisan pada Katholik Roma di
Filipina.”24 “Kain bendera Sri Lanka untuk kegiatan
keagamaan dan prosesi‐prosesi kerajaan di Sri Lanka.”25
8. Kain mempunyai andil “penghargaan, pemberian,
pakaian yang digunakan pada upacara mengenai siklus
kehidupan.”26
1) Kegunaan kain pada upacara adat secara berkala, atau
sekali‐sekali. “Kain sarita digunakan untuk upacara‐
23
Benny Gratha, “Wastra Lombok”dalam Jurnal Wastra # 18, March 2012,
21.
24
Belen Ponferrada Thirkell, “The Piµa: Traversing Continents and
Cultures”dalam Jurnal Wastra # 12, June 2008 (Jakarta: Museum Tekstil
Jakarta), 28. Piµa fabric is the preferred fabric for some of the most important
rituals and sacraments of the Roman Catholic church: christening clothes of
infants for baptism.
25
Deepika Shah, Masters of The Cloth; Indian Textiles Traded to Distant
Shores, 23. Ceremonial banner have been used in ancient Ceylon for religious
and royal processions as well as in war. It is very important indeed even if it is
just a little things. This banner is likely to be the peacock emblem flag of the
Walapane province in Sri Lanka, known as Monara Kodiya.
26
Ibid., 7. In the East, Indian textiles were considered a form of starring
wealth. They served as costumes for the nobility, as festive displays, gifts and as
clothing and offerings clothing life‐cycle rituals. Elevated to the status of
heirlooms, they were carefully preserved and have, therefore, survived many
centuries.
32
upacara adat tertentu di Toraja sebagai media
penghubung antara manusia dengan nenek moyang.”27
“Kain tapis tubo untuk upacara pemberian gelar sutan.
Kain tapis inuh untuk upacara adat masyarakat
Lampung.”28
“Kain patola untuk upacara adat masyarakat
Maluku, yang dililitkan di pinggang atau leher. Kain ini
dianggap keramat sebagai penolak petaka.”29 “Kain
umbaq bagi masyarakat Sasak untuk upacara adat
Peraq Api (upacara putus tali pusat bayi), juga upacara
Bekuris, atau upacara adat Besunat (khitanan).”30
2) Kain berperan dalam perkawinan adat sebagai mas
kawin, atau barang pemberian perkawinan.
Tenun ikat suku Lamaholot, Adonara, Lembata,
Krowe Sikka di Pulau Flores untuk mas kawin.
Tenun ikat itu memiliki nilai sama dengan gading
untuk pertukaran hadiah perkawinan atau belis.
Herman Jusuf, Tim FashionPro, Kain‐kain Kita, 54.
Ibid., 68‐70.
29
Ibid., 59.
30
Benny Gratha, “Wastra Lombok”dalam Jurnal Wastra # 18, March 2012,
16‐17.
27
28
33
Di pulau Adonara atau Lembata kain berupa
sarung adat dari tenun ikat pada perundingan
adat pemberian mas kawin antara keluarga pria
dan wanita.31
3) Kain digunakan untuk upacara adat kematian. “Kain
selendang hinggi kombu sebagai kafan dalam kematian
di masyarakat Sumba.”32 “Kain seko mandi untuk
pembungkus atau penutup jenazah, juga digantung
semacam canopy memayungi jenazah orang Toraja.”33
“Kain osap ialah salah satu wastra (dibuat di desa
Pringgasela) masyarakat Lombok Timur untuk penutup
wajah jenazah pada saat dimandikan.”34
9. Kegunaan kain dalam bidang ekonomi kreatif pada
kerajinan tangan khas masyarakat setempat. “Wastra
Amarasi Timor Barat menjadi bahan komoditas dagang,
Jes A. Therik, Tenun Ikat dari Timur (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan,
1989), 48‐49.
32 Suwati Kartiwa, Kain Tenun Tradisional Nusa Tenggara, 59.
33
Herman Jusuf, Tim FashionPro, Kain‐kain Kita, 53.
34
Jes A. Therik, Tenun Ikat dari Timur, 15.
31
34
yaitu tais mutin (selimut laki‐laki), tais (sarung
perempuan) dan po’uk (selendang).”35
10. Kain sebagai alat tukar menukar dan untuk maksud lain
dalam arti luas.
1) Kain sebagai sebuah alat tukar pengganti uang untuk
memenuhi kebutuhan lain. “Kain sutera untuk menukari
pembayaran pajak di Cina.”36
2) Kain memberikan andil bagi tukar menukar barang
dalam hubungan antar komunitas.
Orang Kulawi dan Bada di Sulawesi Tengah
memperoleh kain tenun Toraja dengan menukar
sehelai kain itu dengan satu ekor kerbau. Kain itu
untuk pakaian adat, dengan dilipat bersusun dua
Robert Koroh, “Tradisi Menenun di Amarasi, Timor Barat” dalam Jurnal
Wastra # 16, Juni 2010 (Jakarta: Museum Tekstil Jakarta), 12‐14.
36
Beverly Gordon, Textiles The Whole Story; Uses – Meanings –
Significance, 155. This was true in China when several different government
demanded silk as a form of tax. Set quantities were required from each family,
with designated portions of household land given over to mulberry plantings to
raise the worms. During the Tang dynasty when the emporer Minghuang was
fleeing from the capital, he took with him 100,000 bolts of silk that he had
received as tribute payments from Sichuan, which was just one location in his
vast empire.
35
35
atau tiga rok bawah dengan baju dari kulit kayu
(pakaian adat Kulawi dan Bada).37
11. Kain sebagai alat tukar menukar barang bernilai
menurut aturan adat. “Kain tenun Timor untuk
keperluan adat, nilai dari hasil kerja (apakah itu tenunan,
atau ternak) ditentukan bukan menurut harga pasar,
tetapi menurut nilai adat (counter value).”38
Kain tenun Sumba dalam upacara di sekitar
lingkaran hidup. Pada sistem perkawinan pihak
laki‐laki memberikan barang seperti emas, perak,
porselin, kuda. Pihak wanita memberikan kain
tenun, hinggi, lau, manik‐manik. Dengan
pertukaran barang maka hubungan antara
kelompok kerabat dari kedua belah pihak sebagai
bentuk tukar menukar benda, jasa dan pelayanan
dalam upacara perkawinan.39
Suwati Kartika, Ragam Kain Tradisional Indonesia, 10.
Jes A. Therik, Tenun Ikat dari Timur, 53.
39
Suwati Kartiwa, Tenun Ikat – Indonesian Ikats (Jakarta: Djambatan,
1989), 70‐71.
37
38
36
“Kain‐kain tenun adat Timor dalam upacara perkawinan
sebagai pola pertukaran dari pihak keluarga laki‐laki
kepada pihak keluarga perempuan.”40
12) Kain juga berguna bagi kepentingan hukum adat
sebuah komunitas. “Kain tenun masyarakat Timor
mempunyai nilai aturan adat. Jika ada pelanggaran
terhadap aturan adat dikenakan pembayaran denda
yang harus dibayar dengan kain adat.”41
II.3. Bentuk Penggunaan Kain.
Penjelasan‐penjelasan tersebut tentang fungsi kain
memberikan gambaran mengenai kegunaan kain untuk
berbagai tujuan praktis. Untuk itu pula dapat dilihat
berbagai bentuk penggunaannya sebagai berikut.
1. Kain hinggi sebagai selimut. “Kain hingga dipakai oleh
pria berupa seli,ut dan Lau berupa sarung dipakai oleh
wanita.”42
Suwati Kartiwa, Ragam Kain Tradisional Indonesia Tenun Ikat, 136.
Ibid.
42
Stephanus Hamy, Debbie S. Suryawan, Chic Mengolah Wastra Indonesia
Tenun NTT (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), 8.
40
41
37
2. Kain geringsing dari desa Tenganan Pagringsingan Bali
Selatan. “Ada tiga bentuk penggunaan kain geringsing
yaitu kemben dililitkan di dada; sarung dikenakan pada
pinggang, dan selendang dikalungkan pada leher untuk
kaum laki‐laki dewasa.”43
3. “Kain bebali dari Bali berupa penutup pelinggih (tempat
suci), dan busana orang untuk upacara.44
4. Kain songket dari Palembang. “Penggunaan selendang
dan sarung dipakai pada upacara perkawinan yang
disebut lepas dan songket tawur.”45
5. Kain tenun adat Timor. “Kain adat sebagai pemberian
dalam upacara perkawinan dari pihak keluarga laki‐laki
kepada pihak keluarga perempuan.46
Suwati Kartiwa, Tenun Ikat – Indonesian Ikats, 19.
Ida Ayu Ngurah Puniari, Mariah Waworuntu, “Makna Sosial dan
Penggunaan Wastra Sakral di Bali” dalam Jurnal Wastra # 21, April 2013
(Jakarta: Museum Tekstil Jakarta), 24.
45
Suwati Kartiwa, Kain Songket Indonesia – Songket Weaving In Indonesia
(Jakarta: Djambatan, 1989), 34.
46
Suwati Kartiwa, Ragam Kain Tradisional Indonesia Tenun Ikat, 136.
43
44
38
6. “Kain dangdong dari Kalimantan berupa selendang
digunakan untuk menaruh saji‐sajian pada upacara
panen di ladang suku Dayak.”47
7. Kain tenun panjang dari Sawu, Nusa Tenggara Timur.
Kain ini untuk pembungkus mayat kaum
bangsawan maupun rakyat biasa, ketika meninggal
dunia dibungkus kain itu untuk dikuburkan sesuai
dengan marga. Untuk pendeta dan pemuka adat
(deo rai) disebut kain pembungkus mayat, wai
meah bi i’taha.48
8. “Kain patola berupa pakaian jenazah pada orang‐orang
Flores, Solor, Adonara, Lembata, Krowe Sikka.”49
9. “Kain serban berupa ikat kepala lebar dipakai orang
Arab, haji dan lain‐lain.”50
10. ’Tenunan taaniko berupa pakaian bagi anggota
kelompok Maori baik perempuan maupun laki‐laki.”51
Ibid., 46‐47.
Herman Jusuf, Kain‐kain Kita, 53‐54.
49
P. Sareng Orinbao, Seni Tenun Suatu Segi Kebudayaan Orang Flores,
141.
50
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 478,
1047.
47
48
39
11. “Kain tenun polos warna hitam bag penganut agama
Budha di Burma dan Thailand. Kain ini berupa penutup
kepala bagi perempuan Palaung. Juga bagi perempuan
menikah ketika anak sudah dewasa dalam pelayanan di
kuil.”52
II.4. Kain adalah Tanda dalam Pengertian Semiotik.
Dari penjelasan‐penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa, kain adalah sesuatu objek atau materi (benda) yang
dapat dilihat dengan indra penglihatan (mata) dan
merupakan bagian dari masyarakat di dunia. Secara teoritis
sesuatu yang dapat dilihat dan juga dapat teramati memberi
gambaran mengenai tanda dalam pengertian semiotik.
Hirini Moko Mead, Te Whatu Taaniko‐ Taaniko Weaving, 9. Women in
performing team (usually referred to colloquially as a Maori culture group)
wear headbands, with or without feathers, neck pendants known as the tiki, ear
pendants of shark teeth, bodies in taaniko patterns, kilts of flax, and an
underskirt in red or black. No footwear, anklets, or bracelets are worn. When
men are actually performing their costume may consist minimally of shorts and
kilt only.
52
Michael C. Howard, “Southeast Asian Head Decorations: A Regional
Perspective” dalam Jurnal Wastra # 15, December 2009 (Jakarta: Museum
Tekstil Jakarta), 16. The Palaung women in Burma and Thailand are Buddhists,
and older women whose children have matured and who have decided to
devote their lives largely to temple service often wear plain black‐head‐cloths.
51
40
Untuk menguraikan pengertian tentang tanda, maka perlu
deskripsi
munculnya
tentang
asal
mulanya
dan
pengertiannya secara teoritis.
1. Asal Mula dan Pengertian Semiotik.
Sejarah semiotik telah ada sejak dahulu kala. “Orang‐
orang
Stoik
merupakan
orang
pertama
yang
mengembangkan teori tentang tanda dalam abad kedua dan
ketiga sebelum Masehi. Pengertian mereka tentang tanda
kebahasaan sudah demikian maju.”53 “Kata semiotik berasal
dari bahasa Yunani berhubungan dengan istilah semainon
(penanda) dan semainomenon (petanda).”54 Di samping itu
istilah semeiotics, juga merupakan bentuk penelaahan ilmu
medis. Menurut Marcel Danesi, istilah semeiotics (dilafalkan
demikian) yang diperkenalkan oleh Hippocrates (460‐377
SM), penemu ilmu medis Barat, seperti ilmu gejala‐gejala.
M. A. K. Halliday‐‐Ruqaiya Hasan, Language, Context, and Text: Aspects
of Language in a Social‐‐Semiotic Perspective. Asruddin Barori Tou, (trans.)
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992), 3‐4.
54
Ibid., 3.
53
41
Gejala menurut Hippocrates merupakan semeion —
bahasa Yunani untuk “petunjuk” atau “tanda” (sign)
fisik. Untuk membahas mengenai apa yang
direpresentasikan oleh gejala serta bagaimana ia
mengejawantahkan secara fisik dan mengapa ia
mengindikasikan kondisi tertentu merupakan esensi
dari diagnosa medis.55
Di masa‐masa sesudah itu ketika filsuf “John Locke
(1632‐1794), memperkenalkan kajian formal tanda pada
filsafat, dan menyebut hal itu sebagai semeiotics. Locke
mengantisipasi agar semiotika mengkaji hubungan antara
konsep dengan kenyataan yang lebih tepat.”56 Tetapi tugas
pada filsafat tidak diperhatikan secara virtual hingga akhir
abad ke‐19, ketika gagasan seorang linguis Swiss, Ferdinand
de Saussure (1857‐1913) dan filsuf Amerika Charles S. Pierce
(1839‐1914) menjadi mimbar tempat bidang penelaahan
otonom dibentuk secara perlahan pada abad ke‐20.
Saussure, menulis Cours de linguistique generale (1916),
Marcel Danesi, Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in
Semiotics and Communication Theory. Evi Setyarini, Lusi Lian Piantari, (trans.)
(Yogyakarta: Jalasutra, 2012), 6‐7.
56
Ibid., 10‐11.
55
42
dengan istilah semiologi untuk merujuk pada kajian tanda.
“Saussure menggunakan analogi pada konteks ilmu‐ilmu lain
seperti psikologi, biologi, antropologi, dari bahasa Yunani
logos adalah “kata”, “kajian.”57
Istilah Saussure menempatkan supremasi bahasa
dalam hubungan antara makna dengan tanda‐tanda
berdasarkan pada bahasa.
Bahasa adalah sistem tanda ekspresif mengenai
gagasan, karena itu dapat dibandingkan dengan
sistem tulisan, abjad bagi para tuna‐rungu dan tuna‐
wicara, ritus simbolik, formulasi kesopanan, sinyal
militer dan lain‐lain. Tetapi bahasa merupakan sistem
yang paling penting dari sistem yang lainnya.58
Untuk itu Saussure menganalisa sifat satu objek sebagai
penanda dan ditandai melalui bahasa. Juga merupakan
sistem tanda lebih bersifat pokok. “Bahasa suatu sistem
tanda, untuk mengekspresikan, atau mengkomunikasikan
Ibid., 11.
M. A. K. Halliday‐‐Ruqaiya Hasan, Language, Context, and Text: Aspects
of Language in a Social‐‐Semiotic Perspective. Asruddin Barori Tou, (trans.), 20.
57
58
43
pikiran, gagasan yang adalah bagian dari sistem konvensi
dan sistem tanda.”59
Secara perseptif dalam penyatuan satu bentuk
menandakan adanya sesuatu penanda atau signifiant dan
sesuatu ditandai yakni, signifie. Penanda (signifiant) dan
ditandai (signifie) seolah‐olah entitas terpisah, namun
keduanya hanya muncul sebagai komponen satu tanda.
Tanda itu adalah fakta sentral dalam bahasa. Jika kita
mencoba memisahkan hal perlu dengan hal sekunder atau
hal kebetulan, maka kita harus memulai dari sifat tanda itu
sendiri. Oleh karena itu teori bahasa menurut Saussure
mengenai kualitas dasar tanda.
Tanda adalah kesatuan dari penanda (signifier) dan
ditandai (signified). Setiap tanda dalam suatu bahasa
merupakan sebuah konsep (concept) termasuk bunyi
(sound images), bukan sebuah nama. Sebuah konsep,
bunyi dengan kata terucap merupakan penanda
(signifier), sedang konsep merupakan ditandai
(signified). Dua unsur ini tidak terpisahkan. Penanda
59
Ibid., 6.
44
dan ditandai maka bersifat relasional (bundle of
relations).60
Dalam hal ini maka Ilmu bahasa merupakan satu jenis
semiotik. Ilmu bahasa adalah satu segi kajian tentang
makna. Sebab bahasa merupakan hubungan paling penting
pada sebuah makna.
Pemikiran Saussure mengenai tanda dan sistem
tanda telah merintis jalan bagi kajian bahasa dan merupakan
suatu pendekatan yang memberi tekanan pada bahasa
sehubungan dengan sistem makna. Untuk melihat bahasa
sebagai tempat tanda, maka tanda bukan entitas otonom,
tetapi bagian dari satu sistem. Bahasa membagi spektrum
dan kategori tanda (penanda), untuk menghasilkan satu
sistem ditandai (konsep), namun nilai tergantung pada
hubungan antara satu dengan lainnya.
Sebetulnya pada sistem bukanlah gagasan yang
diberikan lebih dahulu, melainkan nilai‐nilai dari
sistem. Jika kita mengatakan bahwa nilai sesuai
Ferdinand de Saussure dikutip oleh Heddy Shri Ahimsa‐‐Putra,
Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra (Yogyakarta: Galang Press,
2001), 35.
60
45
dengan konsep, maka hal itu bersifat diferensial,
bukan menurut isi namun dalam sistem. Karakteristik
nilai‐nilai itu adalah sesuatu yang khas. (Course 117;
Course: 162).61
Walaupun tujuan semiotik sekarang dilihat untuk
menelusuri arti sesuatu tanda, ia tetap mempertahankan
konsep dan prinsip dasar yakni, untuk memberi makna
dalam bahasa terhadap segala sesuatu yang dapat terlihat.
Kajian bahasa tubuh, bentuk‐bentuk seni, wacana
retoris, komunikasi visual, media, mitos, naratif,
bahasa, artefak, isyarat, kontak mata, pakaian, iklan,
makanan, upacara dan peristiwa — inti dari hal itu,
semua digunakan, diciptakan atau dihadapi oleh
manusia untuk menghasilkan makna.62
Itu berarti semiotik pada sebuah bentuk tanda baik verbal
maupun non‐verbal tetap memperhatikan makna dalam
bahasa.
Jonathan Culler, Saussure. Rochayah, Siti Suhayati, (trans.) (Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1996), 13‐14.
62
Arthur Asa Berger, Signs in Contemporary Culture An Introduction to
Semiotics. M. Dwi Marianto, (trans.) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010), 35‐39.
61
46
Dari penjelasan‐penjelasan di atas tentang semiotik,
maka dapat dilihat bahwa hubungan antara tanda dengan
makna untuk hubungan dengan fungsi sosial, pengetahuan,
tindakan, sikap, pendirian dan lain‐lain. Itu berarti bahwa,
semiotik menyatakan sesuatu yang dapat dilihat dan
teramati di dalam kehidupan ini, yang menyatakan sesuatu
makna dalam bahasa manusia.
2. Teori‐teori tentang Tanda.
1) Emile Durkheim : Totem sebagai Nama diri, Emblem
dan Kepercayaan Totemik.
Menurut Emile Durkheim (1858‐1917), totem untuk
petunjuk tiga aspek pokok yaitu;
a. Nama diri dari suatu klan.
b. Emblem (lambang) resmi dari suatu klan.
c. Prinsip totemik dari suatu klan.
Hal itu terdapat dalam penelitian tentang totem, secara
khusus pada suku Arunta, suku Loritja, suku Kaitish, suku
Unmatjera dan suku Ilpirra di wilayah Central Australia.
47
Deskripsi tentang tiga aspek tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut.
Pertama, totem sebagai nama diri klan. Dalam hal ini
totem menyatukan individu‐individu dari satu klan
berdasarkan hubungan keluarga atau pertalian keluarga.
We find a group which holds a preponderating place
in the collective life : this is the clan. The individuals
who compose it consider themselves united by a
bond of kinship, but one which is of a very special
nature. This relationship does not come from the fact
that they have definite blood connections with one
another; they are relatives from the mere fact that
they have the same name. They are especially
relations of kinship.63
Totem sebagai “nama diri dari suatu klan yang dipilih
dari nama dunia binatang, sayur‐sayuran, atau nenek
moyang, atau kelompok nenek moyang. Khusus nama diri
dari nenek moyang merupakan pengetahuan mitologi.”64
Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life. Joseph
Ward Swain, (trans.) (London: George Allen & Unwin Ltd, 1954), 102.
64 Ibid., 103‐105. The objects which serve as totems belong either to the
animal or the vegetable kingdom, but especially to the former. Sometimes, but
no less exceptionally, it is an ancestor or a group of ancestor which serves as
totem directly. Sometimes, however, it is a particular object. In this case, the
63
48
Pengertian tersebut menyatakan bahwa, totem memiliki
konsekuensi pada kemurnian hubungan keluarga atau
pertalian keluarga dan ikatan kelompok sosial. Untuk hal itu
mereka mempunyai suatu objek totem untuk menyebut klan
mereka.
Kedua, totem sebagai emblem resmi dari suatu klan.
Dengan emblem itu klan memperlihatkan kekuasaan sebagai
bangsa beradab di wilayah tempat tinggal. Dan anggota klan
diberi hak dan tanggung‐jawab untuk mengemban identitas
dari totem.
But the totem is not merely a name; it is an emblem,
a veritable coat—of‐‐arms whose analogies with the
arms of heraldry have often been remarked.It is in
fact a design which corresponds to the heraldic
emblems of civilized nations, and each person is
authorized to bear it as a proof of the identity of the
family to which it belongs.65
Itu berarti bahwa, totem membawa konsekuensi pada
komitmen untuk hak dan kewajiban anggota klan.
clan takes its name, not from a thing or a species of real things, but from a
purely mythical being.
65
Ibid., 113.
49
Ketiga, totem sebagai prinsip totemik dari suatu
klan. Dalam hal ini totem merupakan hubungan antara
imajinasi totemik dengan ritus keagamaan. Dengan
demikian totem selain merupakan nama diri juga bersifat
agama. Sedangkan klan sendiri adalah bagian dari liturgi.
Untuk hal itu totem disusun menurut golongan yang lebih
bersifat sakral atau profan.
These totemic decorations enable us to see that the
totem is not merely a name and an emblem. It is in
the course of the religious ceremonies that they are
employed; they are a part of the liturgy; so while the
totem is a collective label, it also has a religious
character. In fact, it is in connection with it, that
things are classified as sacred or profane.66
Imajinasi totemik itu tidak hanya menentukan totem bersifat
sakral, namun juga objek dari ritus.
But totemic images are not the only sacred things.
There are real things which are also the object of
rites, because of the relations which they have with
the totem : before all others, are the beings of the
totemic species and the members of the clan.67
66
67
Ibid., 119.
Ibid., 128.
50
Pengertian itu menunjukkan totem pada anutan
kepercayaan totemik (totemic beliefs). Barangkali ada
hubungan erat antara sakramen dengan imajinasi totemik
sakral. Untuk itu totem disusun pada objek sakral atau
profan, bukan hanya pada objek totem, tetapi juga objek
ritus. Dengan demikian totem merupakan satu kesatuan
sistem kepercayaan dan cara serta tujuan penggunaan objek
sakral, yakni dikhususkan dari objek lainnya. Kepercayaan
dan pelaksanaan itu berhubungan dengan objek sakral
bersatu dalam satu kelompok moral klan. Hal bersifat sakral
pada sesuatu objek menurut Durkheim adalah, hubungan
sosial dengan individu. Sifat tersendiri pada hal itu
merupakan bagian permukaan dari sesuatu yang jauh lebih
mendalam lagi bagi klan. Hal itu yang menandai titik awal
Durkheim menempatkan kepercayaan totemik sebagai ciri
beragama kontekstual dalam kehidupan klan.
Lebih lanjut Durkheim mengembangkan dan
mendefinitifkan pandangannya yang lebih luas lagi dari ide
pokok kepercayaan totemik. Ia menganalisis totem dengan
51
cara menyusun paham totemisme sebagai sebuah agama
dasar (totemism as an elementary religion). Ia melihat asal
mula agama dari totemisme, atau paling tidak bentuk yang
paling dini. Menurut dia, totem dalam totemisme adalah
pengertian abstrak dari totem sebagai petunjuk nama diri
dan emblem dari suatu klan. Sehubungan dengan itu maka
totemisme berasal usul pada pikiran‐pikiran dasar untuk
membuat nama diri dan emblem, merupakan prinsip
esensial dari klan dan totem itu sendiri. Bahkan dasar
totemisme tersebut dalam penggambaran dewa dalam
bahasa agama sebagai dewa, dapat dianggap benar‐benar
ada terlebih dahulu daripada totem. Seperti yang dikatakan
Durkheim bahwa, hubungan klan dengan totem sebelum
segala sesuatu lainnya, maka mengenai makhluk totemik
dan anggota dari klan merupakan tanda kehidupan dari klan.
Termasuk hubungan dengan alam semesta dan
nenek moyang/leluhur serta aktivitas dari klan. Sistem
struktur hubungan antar manusia dengan unsur‐unsur
tersebut ada bersama‐sama sesuai waktu hidup manusia itu
52
sendiri. Hubungan klan dengan totem sebelum adanya yang
lain, adalah hubungan makhluk totemik dan anggota dari
klan. Dengan hubungan asal usul klan di satu wilayah/daerah
(tempat) tinggal klan maka berbuat totem. Dengan imajinasi
mereka kepada sesuatu dipercayai secara bersama, yang
melambangkan klan itu dan bersifat sakral secara totemik,
sehingga dipuja bahkan menjadi perekat ulung dari
kehadiran klan.
Oleh karena itu pada klanlah totem menemukan
pemaknaan prinsip totemik. Totem bukan hanya nama diri
klan dan emblem klan, akan tetapi prinsip totemik atau
dewa. Menurut Durkheim, prinsip totemik dewa itu berada
di luar dari bentuk kelihatan, atau yang dapat dilihat.
Demikian juga dewa dari klan adalah prinsip totemik, tidak
lain daripada klan itu sendiri, yang melambangkan dan
memainkan peran sehubungan dengan imajinasi bentuk
lahiriah/kelihatan pada totem.
So it is not the intrinsic nature of the thing whose
name the clan bears that marked it out to become
the object of a cult. It would be the pre‐eminently
53
sacred thing; the animals, or plants employed as
totem would play an eminent part in the religious
life. But we know that the centre of the cult is
actually elsewhere. It is the figurative representations
of this plant or animal and the totemic emblems and
symbols of every sort.68
Untuk itu imajinasi totem secara hakiki bukan pada konteks
realitas sosial melambangkan nama diri dan emblem dari
suatu klan, melainkan prinsip totemik pada dewa.
It is evident that it expresses and symbolizes two
different sorts of things. In the first place, it is the
outward and visible form of what we have called the
totemic principle or god. The god of the clan, the
totemic principle, can therefore be nothing else than
the clan itself, personified and represented to the
imagination under the visible form of the animal or
vegetable which serves as totem.69
Durkheim memberi penjelasan juga tentang totem
yang mengikat secara moral dan mental anggota klan.
Ekspresi perasaan pada totem dianggap sebagai sesuatu
Emile Durkheim, On Morality and Society. The Heritage of Sociology. A
Series Edited by Morris Janowitz (Chicago: The University of Chicago Press,
1973), 168, 182‐183.
69
Ibid., 168 dan ada juga di buku The Elementary Forms of the Religious
Life, 206.
68
54
yang suci sebab ritus dan kepercayaan totemik. Oleh karena
itu gambaran totem menjadi bagian ulung dalam kehidupan
beragama. Representasi hal itu dalam hubungan antara
karakteristik simbol sosial dengan ketuhanan, sebagai
refleksi klan dalam bersosial dan beragama. Pada hal itu
dapat dilihat klan dan dewa menjadi prinsip totemisme. Cara
pemujaan pada dewa, sama hal dengan pemujaan kepada
klan sendiri. Pandangan Edward Tylor tentang kepercayaan
kepada roh mendiami benda sama dengan “anima
merupakan prinsip totem menjelma dalam individu sebagai
anggota dari klan.”70 Kepercayaan totemik atau totemisme
itu mendasari cara pemujaan klan kepada objek totemik
melalui praktek beragama dan aturan pada benda yang
bersifat sakral juga objek ritus bagi pemujaan pada totemik
yang bersifat suci. Secara hakiki, ide dari totem itulah
memberi pengertian totemisme yang tidak dapat dipisahkan
dari klan.
Edward Tylor dikutip oleh E. E. Evans Pritchard, Teori‐teori tentang
Agama Primitif (Yogyakarta: PLP2M, 1984), 75.
70
55
Melalu