Umpasa Masyarakat Batak Toba Dalam Rapat Adat : Suatu Kajian Pragmatik
UMPASA MASYARAKAT BATAK TOBA DALAM RAPAT ADAT :
SUATU KAJIAN PRAGMATIK
TESIS
Oleh
FLANSIUS TAMPUBOLON
067009005/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
SE K O L
A H
P A
S C
A S A R JA
N A
(2)
UMPASA MASYARAKAT BATAK TOBA DALAM RAPAT ADAT :
SUATU KAJIAN PRAGMATIK
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
FLANSIUS TAMPUBOLON
067009005/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(3)
Judul Tesis : UMPASA MASYARAKAT BATAK TOBA DALAM RAPAT ADAT : SUATU KAJIAN PRAGMATIK
Nama Mahasiswa : Flansius Tampubolon
Nomor Pokok : 067009005
Program Studi : Linguistik
Konsentrasi : Pragmatik
Menyetujui, Komisi Pembimbing,
(Prof. Dr. Robert Sibarani, MS) (Prof. Dr. Jawasi Naibaho)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
(4)
Telah diuji pada
Tanggal : 27 Maret 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Robert Sibarani, MS
Anggota : 1. Prof. Dr. Jawasi Naibaho
2. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D
(5)
UMPASA MASYARAKAT BATAK TOBA DALAM RAPAT ADAT: SUATU KAJIAN PRAGMATIK
Flansius Tampubolon, Prof. Dr. Robert Sibarani, MS dan Prof. Dr. Jawasi Naibaho
ABSTRAK
Kajian dengan judul “Umpasa Masyarakat Batak Toba Dalam Rapat Adat: Suatu Kajian Pragmatik” mengkaji wacana adat Batak Toba, salah satu sub-etnik Batak di Indonesia di samping Batak Simalungun, Karo, Pakpak, dan Mandailing, dengan memakai teori pragmatik yang dikemukakan oleh Austin (1962), Searle (1969), Leech (1983), Levinson (1983), dan konsep pragmatik Edmonson (1981), Kempson (1984), dan Wijana (1996), tulisan ini membicarakan komponen tindak tutur, jenis tindak tutur, serta fungsi tindak tutur pada umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat di Kota Medan.
Rapat adat masyarakat Batak Toba yang dimaksud adalah musyawarah membicarakan uang emas kawin (marhata sinamot) yang dihadiri oleh tiga unsur
Dalihan Na Tolu yaitu hulahula ‘pemberi istri’, dongan sabutuha ‘kerabat semarga’, dan boru ‘penerima istri’. Tindak tutur yang menggunakan umpasa
‘pantun’ oleh pihak hulahula, dongan sabutuha dan boru adalah berbeda sesuai dengan posisinya pada acara tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, di mana akan dibuat deskripsi yang sistematis dan akurat mengenai data yang diteliti. Metode deskriptif yang dipilih karena penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas tentang objek yang diteliti secara alamiah.
Hasil penelitian yang diperoleh bahwa tindak tutur menggunakan umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat ditemukan 3 jenis tindak tutur yaitu: (1) tindak tutur langsung, (2) tindak tutur literal, dan (3) tindak tutur langsung literal. Dari ketiga jenis tindak tutur tersebut dituturkan hulahula ‘pemberi istri’,
dongan sabutuha ‘kerabat semarga’, boru ‘penerima istri’, dongan sahuta
’kawan sekampung’, raja ni hulahula ‘paman pemberi istri’, dan raja ni
hulahula boru ‘paman penerima istri’ dari masing-masing kedua belah pihak. Tindak tutur yang menggunakan umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat sangat berbeda dengan tindak tutur yang digunakan sehari-hari dalam masyarakat Batak Toba.
(6)
UMPASA BATAK TOBA PEOPLE IN CUSTOM DEALING: A PRAGMATIC ASSESMENT
Flansius Tampubolon, Prof. Dr. Robert Sibarani, MS and Prof. Dr. Jawasi Naibaho
ABSTRACT
The title the thesis “Umpasa Batak Toba People In Custom Dealing: A Pragmatic Assesment”, has been directed to review the custom discourse of Batak Toba”, one of Batak sub-ethnics in Indonesia a after Simalungun, Karo, Pakpak, and Mandaling Batak, using pragmatic theory proposia by Austin (1962), Searle (1969), Leech (1983), Levinson (1983), and pragmatic concept to Edmonson (1981), Kempson (1984), and Wijana (1996). This research dealt with components of speech act, types of speech act, and function of speech act in umpasa of Batak Toba people in custom dealing of Medan city.
The custom dealing of Batak Toba people is a discussion to talk about the dowry of marriage (marhata sinamot) attended by three elements of Dalihan Na Tolu, i.e., : hulahula ‘wife provider’. dongan sabutuha co-surname relatives, and boru ‘Wife recipient’. The speech act using umpasa ‘quantrain’ by parties of hulahula, dongan sabutuha and boru, would vary with the position in the daling.
This research used a descriptive method, in which systematic and accurate description would be made on data under research. The descriptive method has been deliberately selected to describe clearly the object of research scientifically.
The result of research indicated that there were theree types of speech act in custom dealings of Batak Toba people using the umpasa: (1) direct speech act, (2) lieteral speech act, and (3) direct literal speech act. All theree types of speech act were uttred by hulahula ‘wife recipient’, dongan sabutuha’ co-surname relativers’, raja ni hulahula ‘uncle of wife providers’, and raja hulahula boru ‘uncle of wife recipient’ from both parties successively.
The speech act using umpasa of Batak Toba people in custom dealing varied significantly to daily speech act in Batak Toba people.
(7)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan berkatNya sehingga tesis yang berjudul “Umpasa Masyarakat
Batak Toba dalam Rapat Adat: Suatu Kajian Pragmatik” ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, MS dan Bapak Prof. Dr. Jawasi Naibaho selaku Pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan dan bimbingan demi kesempurnaan tesis ini. Tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari masih banyak kelemahan maupun kekurangan yang terkandung dalam tesis ini. Untuk itu segala saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan tesis ini sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini bermanfaat dalam bidang ilmu bahasa mengenai umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat: suatu kajian pragmatik.
Medan, Maret 2010 Penulis,
(8)
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan berkatNyalah sehingga tesis yang berjudul “Umpasa
Masyarakat Batak Toba dalam Rapat Adat: Suatu Kajian Pragmatik” ini
dapat diselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Rektor Universitas Sumatera Utara yaitu Bapak Prof. dr. Chairuddin P.
Lubis, DTM&H, Sp.A(K) yang telah memberikan kesempatan dan bantuan dana untuk menyelesaikan Studi Pendidikan S2 pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Direktur Sekolah Pascasarjana yaitu Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc.
3. Ketua Program Studi Linguistik yaitu Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph.D. 4. Komisi Pembimbing yaitu Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, MS dan Bapak
Prof. Dr. Jawasi Naibaho yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.
5. Kedua Almarhum orang tua saya yaitu Bapak St. Letda (Pur) S. Tampubolon dan Ibu N. Br Hombing berkat doa dan memberikan bantuan serta motivasi selama kuliah semasa masih hidupnya.
(9)
6. Mertua saya yaitu Bapak O.H. Tamba (Alm) dan Ibu J. Situmorang yang telah banyak berdoa dan memberikan bantuan serta motivasi dalam menyelesaikan tesis ini.
7. Keluarga saya yaitu istri tercinta Evita Elyana Br. Tamba, BA dan ketiga buah hati saya yaitu Michael Novelando Tampubolon, Julius Renaldi Tampubolon, dan Andrew Bastian Tampubolon serta keponakan saya Gresy Yohana Elysabet L. Tobing yang selalu memotivasi dan berdoa serta membantu saya untuk mencapai keberhasilan dalam tugas maupun studi. 8. Saudara-saudara saya yang telah banyak memberikan bantuan dalam
menyelesaikan studi jenjang S2.
9. Kakanda saya Dra. Asriaty R. Purba, M.Hum yang telah banyak memberikan bantuan selama kuliah serta motivasi dalam menyelesaikan tesis ini.
10. Semua pihak yang langsung maupun tidak langsung telah berpartisipasi dalam menyelesaikan studi saya di Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.
Semoga budi dan keikhlasan mereka dapat saya amalkan dan Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkat kemudahanNya untuk mereka.
Akhirnya, segala puji syukur saya persembahkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas lindunganNya selama ini. Semoga Tuhan menyertai kehidupan kita selamanya.
(10)
RIWAYAT HIDUP
Nama : Drs. Flansius Tampubolon
Tempat/Tanggal Lahir : Tanjung Selamat, 02 Desember 1963 Pekerjaan : Staf Pengajar Fakultas Sastra USU Medan Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama Orang Tua : St. Letda (Pur) S. Tampubolon (Alm)/N. br. Hombing (Alm) Nama Istri : E.E. br. Tamba
Nama Anak : 1. Michael Novelando Tampubolon 2. Julius Renaldi Tampubolon 3. Andrew Bastian Tampubolon Pendidikan
1. Tahun 1971 – 1977 : SD Negeri Tanjung Selamat
2. Tahun 1977 – 1981 : SMP Negeri Pancur Batu Deli Serdang 3. Tahun 1981 – 1984 : SMPP Negeri 24 Sunggal Medan
4. Tahun 1984 – 1989 : Jurusan Bahasa dan Sastra Daerah Universitas Sumatera Utara Medan
Medan, Maret 2010 Hormat Saya
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR GAMBAR ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
DAFTAR ISTILAH ... xxi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 13
1.3 Tujuan Penelitian ... 14
1.4 Landasan Teori ... 15
1.5 Manfaat Penelitian ... 16
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI ... 18
2.1 Tinjauan Pustaka ... 18
2.2 Konsep... 21
2.2.1. Tindak Tutur ... 21
(12)
2.2.3. Penutur dan Petutur ... 22
2.2.4. Konteks ... 22
2.3 Kerangka Teori ... 25
2.3.1. Komponen Tindak Tutur ... 27
2.3.2. Jenis Tindak Tutur ... 28
2.3.3. Fungsi Tindak Tutur ... 35
BAB III. METODE PENELITIAN ... 38
3.1 Desain Penelitian ... 38
3.2 Data dan Sumber Data ... 39
3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 40
3.4 Analisis Data ... 41
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43
4.1 Komponen Tindak Tutur Umpasa Masyarakat Batak Toba dalam Rapat Adat ... 44
4.1.1 Makna Lokusi Umpasa Masyarakat Batak Toba dalam Rapat Adat ... 46
4.1.1.1. Tindak lokusi hulahula ‘pemberi istri’ dalam rapat masyarakat Batak Toba ... 46
4.1.1.2. Tindak lokusi dongan sabutuha hulahula ‘kerabat semarga pemberi istri’ dalam rapat adat masyarakat Batak Toba. ... 48
4.1.1.3. Tindak lokusi dongan sabutuha boru ‘kerabat semarga penerima istri’ dalam rapat adat masyarakat Batak Toba ... 48
4.1.1.4. Tindak lokusi boru ‘penerima istri’ dalam rapat adat masyarakat Batak Toba ... 48
4.1.1.5. Tindak lokusi dongan sahuta hulahula ‘kawan sekampung pemberi istri’ dalam rapat adat masyarakat Batak Toba ... 50
(13)
4.1.1.6. Tindak lokusi raja ni hulahula boru/tuang
‘paman pemberi istri’ dalam rapat adat
masyarakat Batak Toba ... 51 4.1.1.7. Makna ilokusi umpasa masyarakat Batak Toba
dalam rapat adat ... 53 4.1.1.8. Tindak ilokusi hulahula ‘pemberi istri’ dalam
rapat adat masyarakat Batak Toba... 53 4.1.1.9. Tindak ilokusi dongan sabutuha ni hulahula
‘kerabat semarga pemberi’ dalam rapat adat
masyarakat Batak Toba ... 54 4.1.1.10. Tindak ilokusi dongan sahuta boru ‘kerabat
semarga penerima istri’ dalam rapat adat
masyarakat Batak Toba. ... 55 4.1.1.11. Tindak ilokusi boru ‘penerima istri’ dalam rapat
adat masyarakat Batak Toba ... 56 4.1.1.12. Tindak ilokusi dongan sahuta hulahula ‘kawan
sekampung pemberi istri’ dalam rapat adat
masyarakat Batak Toba ... 56 4.1.1.13. Tindak ilokusi dongan sahuta boru ‘kawan
sekampung penerima istri’ dalam rapat adat
masyarakat Batak Toba ... 57 4.1.1.14. Tindak ilokusi raja ni hulahula boru/tulang
‘paman penerima istri’ dalam rapat adat
masyarakat Batak Toba ... 58 4.1.1.15. Makna perlokusi umpasa masyarakat Batak Toba
dalam rapat adat ... 58 4.1.1.16. Tindak perlokusi raja ni hulahula boru/tulang
‘paman penerima istri’ dalam rapat adat
masyarakat Batak Toba ... 59 4.1.1.17. Tindak perlokusi raja ni hulahula/tulang ‘paman
pemberi istri’ dalam rapat adat masyarakat Batak
(14)
4.1.2.1. Tindak tutur langsung pada umpasa masyarakat
Batak Toba dalam rapat adat ... 60 4.1.2.2. Tindak tutur langsung hulahula ‘pemberi istri’
dalam rapat masyarakat Batak Toba ... 61 4.1.2.3. Tindak tutur langsung dongan sabutuha ni
hulahula ‘kerabat semarga pemberi istri’ dalam
rapat adat Masyarakat Batak Toba ... 62 4.1.2.4. Tindak tutur langsung dongan sahuta hulahula
‘kawan sekampung pemberi istri’ dalam rapat
adat masyarakat Batak Toba ... 62 4.1.2.5. Tindak tutur langsung boru ‘penerima istri’
dalam rapat adat masyarakat Batak Toba ... 63 4.1.2.6. Tindak tutur langsung raja ni hulahula/tulang
‘paman pemberi istri’ dalam rapat adat
masyarakat Batak Toba ... 63 4.1.2.7. Tindak tutur literal pada umpasa masyarakat
Batak Toba dalam rapat adat ... 64 4.1.2.8. Tindak tutur literal hulahula ‘pemberi istri’
dalam rapat adat masyarakat Batak Toba ... 65 4.1.2.9. Tindak tutur literal dongan sabutuha ni hulahula
‘kerabat semarga pemberi istri’ dalam rapat adat
masyarakat Batak Toba ... 65 4.1.2.10. Tindak tutur literal dongan sabutuha boru
‘kerabat semarga penerima istri’ dalam rapat adat
masyarakat Batak Toba ... 66 4.1.2.11. Tindak tutur literal boru ‘penerima istri’ dalam
rapat adat masyarakat Batak Toba ... 67 4.1.2.12. Tindak tutur literal dongan sahuta hulahula
kawan ‘sekampung pemberi istri’ dalam rapat
adat masyarakat Batak Toba ... 69 4.1.2.13. Tindak tutur langsung literal pada umpasa
(15)
4.1.2.14. Tindak tutur langsung literal hulahula ‘pemberi
istri’ dalam rapat Masyarakat Batak Toba ... 70 4.1.2.15. Tindak tutur langsung literal dongan sabutuha ni
hulahula ‘kerabat semarga pemberi istri’ dalam
rapat adat masyarakat Batak Toba ... 71 4.1.2.16. Tindak tutur langsung literal dongan sahuta boru
‘kawan sekampung penerima istri’ dalam rapat
adat masyarakat Batak Toba ... 72 4.1.2.17. Tindak tutur langsung literal raja ni hulahula
boru/tulang ‘paman penerima istri’ dalam rapat
adat masyarakat Batak Toba ... 73 4.1.2.18. Tindak tutur langsung literal raja ni
hulahula/tulang ‘paman pemberi istri’ dalam
rapat adat masyarakat Batak Toba ... 74 4.1.3 Fungsi Tindak Tutur Umpasa Masyarakat Batak
Toba dalam Rapat Adat ... 75 4.1.3.1. Fungsi tindak tutur asertif umpasa masyarakat
Batak Toba dalam rapat adat ... 76 4.1.3.2. Fungsi tindak tutur asertif hulahula ‘pemberi
istri’ dalam rapat masyarakat Batak Toba ... 76 4.1.3.3. Fungsi tindak tutur asertif boru ‘penerima istri’
dalam rapat adat masyarakat Batak Toba ... 77 4.1.3.4. Fungsi tindak tutur asertif raja ni hulahula
boru/tulang ‘paman penerima istri’ dalam rapat
adat masyarakat Batak Toba ... 78 4.1.3.5. Fungsi tindak tutur asertif raja ni hulahula/
tulang ‘paman pemberi istri’ dalam rapat adat
masyarakat Batak Toba ... 78 4.1.3.6. Fungsi tindak tutur direktif umpasa masyarakat
Batak Toba dalam rapat adat ... 79 4.1.3.7. Fungsi tindak tutur direktif hulahula ‘pemberi
(16)
4.1.3.8. Fungsi tindak tutur direktif dongan sabutuha
hulahula ‘kerabat semarga’ dalam rapat adat
masyarakat Batak Toba ... 81 4.1.3.9. Fungsi tindak tutur direktif boru ‘penerima istri’
dalam rapat adat masyarakat Batak Toba ... 82 4.1.3.10. Fungsi tidak tutur direktif dongan sahuta
hulahula ‘kawan sekampung pemberi istri’ dalam
rapat adat masyarakat Batak Toba ... 82 4.1.3.11. Fungsi tindak tutur direktif dongan sahuta boru
‘kawan sekampung penerima istri’ dalam rapat
adat masyarakat Batak Toba ... 83 4.1.3.12. Fungsi tidak tutur direktif raja ni hulahula
boru/tulang ‘paman penerima istri’ dalam rapat
adat masyarakat Batak Toba ... 84 4.1.3.13. Fungsi tindak tutur direktif raja ni hulahula/
tulang ‘paman pemberi istri’ dalam rapat adat
masyarakat Batak Toba ... 85 4.1.3.14. Fungsi tindak tutur ekpresif umpasa masyarakat
Batak Toba dalam rapat adat ... 86 4.1.3.15. Fungsi tindak tutur ekpresif hulahula ‘pemberi
istri’ dalam rapat adat masyarakat Batak Toba ... 86 4.1.3.16. Fungsi tidak tutur ekpresif dongan sabutuha
hulahula ‘kerabat semarga pemberi istri’ dalam
rapat adat masyarakat Batak Toba ... 86 4.1.3.17. Fungsi tindak tutur ekpresif boru ‘penerima istri’
dalam rapat adat masyarakat Batak Toba ... 88 4.1.3.18. Fungsi tindak tutur ekpresif dongan sahuta
hulahula ‘kawan sekampung pemberi istri’ dalam
rapat adat masyarakat Batak Toba ... 89 4.1.3.19. Fungsi tindak tutur ekpresif raja ni hulahula/
tulang ‘paman pemberi istri’ dalam rapat adat
masyarakat Batak Toba ... 89 4.1.3.20. Fungsi tindak tutur komisif umpasa masyarakat
(17)
4.1.3.21. Fungsi tindak tutur komisif dongan sabutuha
boru ‘kerabat semarga penerima istri’ dalam
rapat adat masyarakat Batak Toba ... 90 4.1.3.22. Fungsi tindak tutur komisif boru ‘penerima istri’
dalam rapat adat masyarakat Batak Toba ... 90 4.1.3.23. Fungsi tindak tutur deklarasi umpasa masyarakat
Batak Toba dalam rapat adat ... 90 4.1.3.24. Fungsi tindak tutur deklarasi boru ‘penerima
istri’ dalam rapat adat masyarakat Batak Toba ... 91 4.2 Pembahasan ... 91 4.2.1 Komponen Tindak Tutur Umpasa Masyarakat Batak
Toba dalam Rapat Adat ... 91 4.2.2 Makna Lokusi Umpasa Masyarakat Batak Toba dalam
Rapat Adat ... 93 4.2.3 Tindak Lokusi Hulahula ‘Pemberi Istri’ dalam Rapat
Adat Masyarakat Batak Toba ... 93 4.2.4 Tindak Lokusi Dongan Sabutuha Hulahula ‘Kerabat
Semarga Pemberi Istri’ dalam Rapat Adat Masyarakat
Batak Toba ... 95 4.2.5 Tindak Lokusi Dongan Sabutuha Boru ‘Kerabat
Semarga Penerima Istri’ dalam Rapat Adat Masyarakat
Batak Toba ... 96 4.2.6 Tindak Lokasi Boru ‘Penerima Istri’ dalam Rapat Adat
Masyarakat Batak Toba ... 97 4.2.7 Tindak Lokasi Dongan Sahuta Hulahula ‘Kawan
Sekampung Pemberi Istri’ dalam Rapat Adat
Masyarakat Batak Toba ... 99 4.2.8 Tindak Lokusi Raja ni Hulahula/Tulang ‘Paman
Pemberi Istri’ dalam Rapat Adat Masyarakat Batak
Toba ... 101 4.2.9 Makna Ilokusi Umpasa Masyarakat Batak Toba dalam
(18)
4.2.10 Tindak Ilokusi Hulahula ‘Pemberi Istri’ dalam Rapat
Adat Masyarakat Batak Toba ... 103 4.2.11 Tindak Ilokusi Dongan Sabutuha Hulahula ‘Kerabat
Semarga Pemberi Istri’ dalam Rapat Adat Masyarakat
Batak Toba ... 105 4.2.12 Tindak Ilokusi Dongan Sabutuha Boru ‘Kerabat
Semarga Penerima Istri’ dalam Rapat Adat Masyarakat
Batak Toba ... 106 4.2.13 Tindak Ilokusi Boru ‘Penerima Istri’ dalam Rapat Adat
Masyarakat Batak Toba ... 107 4.2.14 Tindak Ilokusi Dongan Sahuta Boru ‘Kawan
Sekampung Penerima Istri’ dalam Rapat Adat
Masyarakat Batak Toba ... 108 4.2.15 Tindak Ilokusi Raja ni Hulahula Boru/Tulang ‘Paman
Penerima Istri’ dalam Rapat Adat Masyarakat Batak
Toba ... 109 4.2.16 Makna Perlokusi Umpasa Masyarakat Batak Toba
dalam Rapat Adat ... 110 4.2.17 Tindak Perlokusi Raja ni Hulahula Boru/Tulang
‘Paman Penerima Istri’ dalam Rapat Adat Masyarakat
Batak Toba ... 110 4.2.18 Tindak Perlokusi Raja ni Hulahula/Tulang ‘Paman
Pemberi Istri’ dalam Rapat Adat Masyarakat Batak
Toba ... 111 4.3 Jenis Tindak Tutur Umpasa Masyarakat Batak Toba
dalam Rapat Adat ... 113 4.3.1 Tindak Tutur Langsung pada Umpasa Masyarakat
Batak Toba dalam Rapat Adat ... 114 4.3.2 Tindak Tutur Langsung Hulahula ‘Pemberi Istri’ dalam
Rapat Masyarakat Batak Toba ... 114 4.3.3 Tindak Tutur Langsung Dongan Sabutuha ni Hulahula
‘Kerabat Semarga Pemberi Istri’ dalam Rapat Adat
(19)
4.3.4 Tindak Tutur Langsung Dongan Sahuta Hulahula
‘Kawan Sekampung Pemberi Istri’ dalam Rapat Adat
Masyarakat Batak Toba ... 117 4.3.5 Tidak Tutur Langsung Boru ‘Penerima Istri’ dalam
Rapat Adat Masyarakat Batak Toba ... 118 4.3.6 Tindak Tutur Langsung Raja ni Hulahula/Tulang
‘Paman Pemberi Istri’ dalam Rapat Adat Masyarakat
Batak Toba ... 118 4.3.7 Tindak Tutur Literal pada Umpasa Masyarakat Batak
Toba dalam Rapat Adat ... 121 4.3.8 Tindak Tutur Literal Hulahula ‘Pemberi Istri’ dalam
Rapat Adat Masyarakat Batak Toba ... 121 4.3.9 Tindak Tutur Literal Dongan Sabutuha ni Hulahula
‘Kerabat Semarga Pemberi Istri’ dalam Rapat Adat
Masyarakat Batak Toba ... 122 4.3.10 Tindak Tutur Literal Dongan Sabutuha Boru ‘Kerabat
Keluarga Penerima Istri’ dalam Rapat Adat Masyarakat
Batak Toba ... 122 4.3.11 Tindak Tutur Literal Boru ‘Penerima Istri’ dalam Rapat
Adat Masyarakat Batak Toba ... 124 4.3.12 Tindak Tutur Literal Dongan Sahuta Hulahula ‘Kawan
Sekampung Pemberi Istri’ dalam Rapat Adat
Masyarakat Batak Toba ... 127 4.3.13 Tindak Tutur Langsung Literal pada Umpasa
Masyarakat Batak Toba dalam Rapat Adat... 128 4.3.14 Tindak Tutur Langsung Literal Hulahula ‘Pemberi Istri’
dalam Rapat Adat Masyarakat Batak Toba ... 128 4.3.15 Tindak Tutur Langsung Literal Dongan Sabutuha ni
Hulahula ‘Kerabat Semarga Pemberi Istri’ dalam Rapat
Adat Masyarakat Batak Toba ... 130 4.3.16 Tindak Tutur Langsung Literal Dongan Sahuta Boru
‘Kawan Sekampung Penerima Istri’ dalam Rapat Adat
(20)
4.3.17 Tindak Tutur Langsung Literal Raja ni Hulahula
Boru/Tulang ‘Paman Penerima Istri’ dalam Rapat Adat
Masyarakat Batak Toba... 132 4.3.18 Tindak Tutur Langsung Literal Raja ni Hulahula/
Tulang ‘Paman Pemberi Istri’ dalam Rapat Adat
Masyarakat Batak Toba... 134 4.4 Fungsi Tindak Tutur Umpasa Masyarakat Batak Toba
dalam Rapat Adat ... 135 4.4.1 Fungsi Tindak Tutur Asertif Umpasa Masyarakat
Batak Toba dalam Rapat Adat ... 136 4.4.2 Fungsi Tindak Tutur Asertif Hulahula ‘Pemberi
Istri’ dalam Rapat Masyarakat Batak Toba ... 136 4.4.3 Fungsi Tindak Tutur Asertif Boru ‘Penerima Istri’
dalam Rapat Adat Masyarakat Batak Toba ... 138 4.4.4 Fungsi Tindak Tutur Asertif Raja ni Hulahula Boru/
Tulang ‘Paman Penerima Istri’ dalam Rapat Adat
Masyarakat Batak Toba ... 138 4.4.5 Fungsi Tindak Tutur Asertif Raja ni Hulahula/
Tulang ‘Paman Pemberi Istri’ dalam Rapat Adat
Masyarakat Batak Toba ... 139 4.4.6 Fungsi Tindak Tutur Direktif Umpasa Masyarakat
Batak Toba dalam Rapat Adat ... 140 4.4.7 Fungsi Tindak Tutur Direktif Hulahula ‘Pemberi
Istri’ dalam Rapat Adat Masyarakat Batak Toba ... 141 4.4.8 Fungsi Tindak Tutur Direktif Dongan Sabutuha
Hulahula ‘Kerabat Semarga Pemberi Istri’ dalam
Rapat Adat Masyarakat Batak Toba ... 142 4.4.9 Fungsi Tindak Tutur Direktif Boru ‘Penerima Istri’
dalam Rapat Adat Masyarakat Batak Toba ... 143 4.4.10 Fungsi Tindak Tutur Direktif Dongan Sahuta
Hulahula ‘Kawan Sekampung Pemberi Istri’ dalam
(21)
4.4.11 Fungsi Tindak Tutur Direktif Dongan Sahuta Boru
‘Kawan Sekampung Penerima Istri’ dalam Rapat
Adat Masyarakat Batak Toba ... 145 4.4.12 Fungsi Tindak Tutur Direktif Raja ni Hulahula
Boru/Tulang ‘Paman Penerima Istri’ dalam Rapat
Adat Masyarakat Batak Toba ... 146 4.4.13 Fungsi Tindak Tutur Direktif Raja ni Hulahula/
Tulang ‘Paman Pemberi Istri’ dalam Rapat Adat
Masyarakat Batak Toba ... 148 4.4.14 Fungsi Tindak Tutur Ekpresif Umpasa Masyarakat
Batak Toba dalam Rapat Adat ... 149 4.4.15 Fungsi Tindak Tutur Ekpresif Hulahula ‘Pemberi
Istri’ dalam Rapat Masyarakat Batak Toba ... 149 4.4.16 Fungsi Tindak Tutur Ekpresif Dongan Sabutuha
Hulahula ‘Kerabat Semarga Pemberi Istri’ dalam
Rapat Adat Masyarakat Batak Toba ... 150 4.4.17 Fungsi Tindak Tutur Ekpresif Dongan Sabutuha
Boru ‘Kerabat Semarga Penerima Istri’ dalam Rapat
Adat Masyarakat Batak Toba ... 151 4.4.18 Fungsi Tindak Tutur Ekpresif Boru ‘Penerima Istri’
dalam Rapat Adat Masyarakat Batak Toba ... 152 4.4.19 Fungsi Tindak Tutur Ekpresif Dongan Sahuta
Hulahula ‘Kawan Sekampung Pemberi Istri’ dalam
Rapat Adat Masyarakat Batak Toba ... 153 4.4.20 Fungsi Tindak Tutur Ekpresif Raja ni Hulahula/Tulang
‘Paman Pemberi Istri’ dalam Rapat Adat Masyarakat
Batak Toba ... 154 4.4.21 Fungsi Tindak Tutur Komisif Umpasa Masyarakat
Batak Toba dalam Rapat Adat ... 154 4.4.22 Fungsi Tindak Tutur Komisif Dongan Sabutuha Boru
‘Kerabat Semarga Penerima Istri’ dalam Rapat Adat
(22)
4.4.23 Fungsi Tindak Tutur Komisif Boru ‘Penerima Istri’
dalam Rapat Adat Masyarakat Batak Toba ... 155 4.4.24 Fungsi Tindak Tutur Deklarasi Umpasa Masyarakat
Batak Toba dalam Rapat Adat ... 155 4.4.25 Funsi Tindak Tutur Deklarasi Boru ‘Penerima Istri’
dalam Rapat Adat Masyarakat Batak Toba ... 156 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 157 5.1 Kesimpulan ... 157 5.2 Saran ... 159 DAFTAR PUSTAKA ... 160
(23)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
(24)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Terjemahan Umpasa Hulahula, Dongan Sabutuha, Boru,
Dongan Sahuta, Raja ni Hulahula/Tulang, dan Raja ni Hulahula ni Boru/Tulang pada Acara Rapat Adat (Marhata
Sinamot) Masyarakat Batak Toba ... 164 2. Daftar Informan ... 193 3. Daftar Pertanyaan ... 194
(25)
DAFTAR ISTILAH
Umpasa : Pantun
Hulahula : Pemberi istri
Dongan Sabutuha/dongan tubu : Kerabat semarga
Boru : Pihak penerima istri
Dongan sahuta : Kawan sekampung
Raja ni Hulahula/Tulang : Paman pemberi istri Raja ni Hulahula Boru/Tulang : Paman penerima istri
Sinamot : Uang emas kawin/uang mahar
Marhata Sinamot : Berbicara uang emas kawin/uang mahar Raja Parhata : Raja pembicara/juru bicara
Rapat adat : Memusyawarahkan uang emas kawin uang mahar (Sinamot)
Hata : Perkataan
Anggi doli boru : Kerabat semarga (adik penerima istri) Haha doli boru : Kerabat semarga (abang penerima istri) Anggi doli Hulahula : Kerabat semarga (adik pemberi istri) Haha doli Hulahula : Kerabat semarga (abang pemberi istri)
Suhut : Tuan rumah
Marhata sigabegabe : Menyampaikan kata-kata petuah
Mangampu : Memberi ucapan terima kasih
Tuhor boru : Uang emas kawin/uang mahar yang diterima
(26)
UMPASA MASYARAKAT BATAK TOBA DALAM RAPAT ADAT: SUATU KAJIAN PRAGMATIK
Flansius Tampubolon, Prof. Dr. Robert Sibarani, MS dan Prof. Dr. Jawasi Naibaho
ABSTRAK
Kajian dengan judul “Umpasa Masyarakat Batak Toba Dalam Rapat Adat: Suatu Kajian Pragmatik” mengkaji wacana adat Batak Toba, salah satu sub-etnik Batak di Indonesia di samping Batak Simalungun, Karo, Pakpak, dan Mandailing, dengan memakai teori pragmatik yang dikemukakan oleh Austin (1962), Searle (1969), Leech (1983), Levinson (1983), dan konsep pragmatik Edmonson (1981), Kempson (1984), dan Wijana (1996), tulisan ini membicarakan komponen tindak tutur, jenis tindak tutur, serta fungsi tindak tutur pada umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat di Kota Medan.
Rapat adat masyarakat Batak Toba yang dimaksud adalah musyawarah membicarakan uang emas kawin (marhata sinamot) yang dihadiri oleh tiga unsur
Dalihan Na Tolu yaitu hulahula ‘pemberi istri’, dongan sabutuha ‘kerabat semarga’, dan boru ‘penerima istri’. Tindak tutur yang menggunakan umpasa
‘pantun’ oleh pihak hulahula, dongan sabutuha dan boru adalah berbeda sesuai dengan posisinya pada acara tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, di mana akan dibuat deskripsi yang sistematis dan akurat mengenai data yang diteliti. Metode deskriptif yang dipilih karena penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas tentang objek yang diteliti secara alamiah.
Hasil penelitian yang diperoleh bahwa tindak tutur menggunakan umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat ditemukan 3 jenis tindak tutur yaitu: (1) tindak tutur langsung, (2) tindak tutur literal, dan (3) tindak tutur langsung literal. Dari ketiga jenis tindak tutur tersebut dituturkan hulahula ‘pemberi istri’,
dongan sabutuha ‘kerabat semarga’, boru ‘penerima istri’, dongan sahuta
’kawan sekampung’, raja ni hulahula ‘paman pemberi istri’, dan raja ni
hulahula boru ‘paman penerima istri’ dari masing-masing kedua belah pihak. Tindak tutur yang menggunakan umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat sangat berbeda dengan tindak tutur yang digunakan sehari-hari dalam masyarakat Batak Toba.
Kata Kunci: Tindak Tutur Menggunakan Umpasa Masyarakat Batak Toba dalam Rapat Adat.
(27)
UMPASA BATAK TOBA PEOPLE IN CUSTOM DEALING: A PRAGMATIC ASSESMENT
Flansius Tampubolon, Prof. Dr. Robert Sibarani, MS and Prof. Dr. Jawasi Naibaho
ABSTRACT
The title the thesis “Umpasa Batak Toba People In Custom Dealing: A Pragmatic Assesment”, has been directed to review the custom discourse of Batak Toba”, one of Batak sub-ethnics in Indonesia a after Simalungun, Karo, Pakpak, and Mandaling Batak, using pragmatic theory proposia by Austin (1962), Searle (1969), Leech (1983), Levinson (1983), and pragmatic concept to Edmonson (1981), Kempson (1984), and Wijana (1996). This research dealt with components of speech act, types of speech act, and function of speech act in umpasa of Batak Toba people in custom dealing of Medan city.
The custom dealing of Batak Toba people is a discussion to talk about the dowry of marriage (marhata sinamot) attended by three elements of Dalihan Na Tolu, i.e., : hulahula ‘wife provider’. dongan sabutuha co-surname relatives, and boru ‘Wife recipient’. The speech act using umpasa ‘quantrain’ by parties of hulahula, dongan sabutuha and boru, would vary with the position in the daling.
This research used a descriptive method, in which systematic and accurate description would be made on data under research. The descriptive method has been deliberately selected to describe clearly the object of research scientifically.
The result of research indicated that there were theree types of speech act in custom dealings of Batak Toba people using the umpasa: (1) direct speech act, (2) lieteral speech act, and (3) direct literal speech act. All theree types of speech act were uttred by hulahula ‘wife recipient’, dongan sabutuha’ co-surname relativers’, raja ni hulahula ‘uncle of wife providers’, and raja hulahula boru ‘uncle of wife recipient’ from both parties successively.
The speech act using umpasa of Batak Toba people in custom dealing varied significantly to daily speech act in Batak Toba people.
(28)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Batak Toba merupakan salah satu sub-etnik Batak yang ada di Indonesia di samping Batak Simalungun, Karo, Pakpak, dan Mandailing. Tidak jauh berbeda dengan sub-etnik lain yang ada di Indonesia, masyarakat Batak Toba mempunyai bahasa Batak Toba sebagai lambang identitas dan manifestasi eksistensi. Eksistensi yang dimaksud adalah makhluk yang bermanfaat atau makhluk sosial di mana kemasyarakatan itu sendiri terbentuk dengan adanya bahasa (Subyakto, 1992: 1).
Pada dasarnya bangsa Indonesia berlatar belakang kedaerahan. Masing-masing daerah atau suku bangsa mempunyai bahasa daerahnya sendiri. Bahasa-bahasa daerah perlu dibina dan dikembangkan karena Bahasa-bahasa daerah merupakan satu unsur kebudayan nasional yang dilindungi oleh Negara. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 menyatakan di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Batak, Madura, dan sebagainya), bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.
(29)
Lebih lanjut ditekankan di dalam Politik Bahasa Indonesia (Halim, 1984: 22) bahwa dalam rangka merumuskan fungsi dan kedudukan bahasa daerah perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
1. Bahasa daerah tetap dibina dan dipelihara oleh masyarakat pemakainya, yang merupakan bagian kebudayaan bangsa Indonesia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
2. Bahasa daerah sebagai kekayaan budaya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan bahasa nasional serta untuk pembinaan dan
pengembangan bahasa-bahasa daerah itu sendiri. 3. Bahasa daerah tidak berbeda dalam struktur kebahasaannya, tetapi juga
berbeda jumlah penutur aslinya.
4. Bahasa-bahasa daerah tertentu dipakai sebagai alat penghubung baik lisan maupun tulis, sedangkan bahasa daerah dipakai secara lisan.
Bahasa Batak Toba terus berkembang dan berfungsi sebagai alat komunikasi, pendukung, dan lambang identitas masyarakat Batak Toba. Fungsi tersebut dapat diamati melalui kegiatan-kegiatan anggota masyarakat dalam berkomunikasi antar sesamanya. Untuk mengungkap maksud dan isinya seorang penutur bahasa sering menyampaikannya melalui karya sastra. Salah satu karya sastra lisan yang lahir, hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Batak Toba dan diwariskan secara turun-temurun dari mulut ke mulut adalah
(30)
Sebagai sastra lisan umpasa ‘pantun’ digolongkan ke dalam bentuk puisi lama, karena umpasa diubah dengan syarat-syarat berbait, bersajak dan berirama, dan terdiri dari dua baris sebait, dan empat baris sebait, baris pertama terdiri sampiran dan baris kedua berupa isi, dua baris pertama berupa sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi.
Dahulu pemakaian umpasa Batak Toba sering digunakan oleh kaum muda-mudi dan orang tua ketika mengadakan suatu kegiatan, misalnya kaum muda-mudi dalam kegiatan acara martandang ‘berkunjung’ dan kaum orang tua dalam kegiatan rapat adat, upacara-upacara adat, seperti marhata sinamot (musyawarah membicarakan uang emas kawin), marunjuk (upacara perkawinan) dan lain-lain. Umpasa dalam konteks budaya masyarakat Batak Toba tidak hanya memperindah untaian kata-kata, tetapi juga memiliki makna yang sangat luas, berisi falsafah hidup, etika kesopanan, undang-undang, dan kemasyarakatan. Tetapi umpasa lebih cenderung berisi falsafah hidup yang menjadi cita-cita hidup masyarakat Batak Toba berupa hamoraon ‘kekayaan’,
hagabeon ‘mempunyai keturunan’, dan hasangapon ‘kehormatan’.
Frekwensi pemakaian umpasa lebih sering digunakan apabila dibandingkan dengan jenis karya sastra milik masyarakat Batak Toba lainnya. Seperti umpama ‘perumpamaan’, turi-turian ‘cerita’ dan lain-lain. Pemakaian
umpasa selalu dilakukan pada setiap berlangsung upacara adat. Upacara adat
tersebut adalah lebih bermaknak apabila dibarengi dengan penggunaan umpasa karena raja parhata ’juru bicara’ adat dapat bertanya jawab untuk melaksanakan
(31)
tugasnya sambil menunjukkan kebolehannya menggunakan umpasa sebagai lambang kewibawaan.
Keberadan umpasa di tengah masyarakat pada saat sekarang terutama masyarakat yang berada di perantauan dapat dikatakan mengkhawatirkan walaupun penggunaan dilakukan pada setiap upacara adat. Hal ini diakibatkan banyak orang tua masyarakat Batak Toba yang tidak dapat lagi mengetahui makna dan mempergunakan umpasa tersebut. Tentunya keadaan ini mempunyai pengaruh negatif terhadap perkembangan umpasa. Para generasi muda nantinya akan kewalahan untuk belajar dan mendapatkan imformasi akurat tentang makna yang dikandung umpasa tersebut.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, penelitian terhadap umpasa masyarakat Batak Toba sangat diperlukan sekarang agar generasi muda dan pemerhati budaya Batak Toba dapat belajar dan mendapatkan imformasi yang akurat tentang umpasa. Selain itu dapat juga sebagai inventarisasi umpasa.
Pada pelaksanaan rapat adat atau musyawarah uang emas kawin (marhata
sinamot) pada masyarakat Batak Toba tidak berbeda untuk beberapa daerah yang
dikenal seperti di Toba Humbang, Silindung, dan Holbung. Namun adanya perbedaan yang mendasar pada ketiga daerah ini adalah dalam hal pelaksanaan adat khususnya dalam pembagian Jambar (penghargaan) dan Ulos (selendang) sedangkan kesamaannya adalah alat komunikasi yang digunakan yaitu sama-sama bahasa Batak Toba.
(32)
Masyarakat Batak Toba mempunyai sistem adat istiadat tertentu yang berazaskan Daliha Na Tolu “tungku yang berkaki tiga” disingkat “tungku nan tiga”. Dalihan Na Tolu merupakan dasar hidup masyarakat Batak Toba. Setiap anggota masyarakat wajib berbuat dan bertindak menurut aturan adat istiadat yang berazaskan Dalihan Na Tolu.
Pengertian rapat adat adalah musyawarah membicakan uang emas kawin (marhata sinamot) yang dihadiri oleh ketiga unsur Dalihan Na Tolu,, yaitu
hulahula ‘pemberi istri’, dongan sabutuha/dongan tubu ‘kerabat semarga’, dan
boru ‘penerima istri’ dari kedua belah pihak.
Penelitian ini memuat tentang Umpasa Masyarakat Batak Toba dalam Rapat Adat: Suatu Kajian Pragmatik. Di dalam penelitian ini, lokasi penelitian penulis adalah Kota Medan. Peneliti membatasi rapat adat atau musyawarah uang emas kawin (marhata sinamot) yang mempergunakan umpasa sebagai tindak tutur pada masyarakat Batak Toba.
Masing-masing pihak mempunyai ketiga komponen adat yaitu: hulahula,
dongan sabutuha, boru dan inilah yang menjadi satu keluarga besar Dalihan Na Tolu yang baru. Apabila ketiga komponen dari kedua pihak tidak hadir maka apa
yang disebut adat tidak memenuhi kualifikasi adat. Dengan kata lain, keterikatan ketiga komponen tersebut merujuk pada satu kesatuan yang terintergrasi sehingga rapat adat dapat berlangsung dengan baik.
Dalam rapat adat pada masyarakat Batak Toba dilaksanakan apabila kitiga komponen yang dikenal dengan Dalihan Na Tolu telah hadir berserta
(33)
dongan sahuta ‘kawan sekampung’ pada situasi tersebut, hulahula ‘sebagai pemberi istri’, dongan sabutuha sebagai ‘kerabat semarga’, boru sebagai
‘penerima istri’, dan dongan sahuta sebagai ‘kawan sekampung’. Dalihan Na
Tolu ini ialah suatu kerangka yang meliputi hubungan kekerabatan dari
hubungan perkawinan di mana ada pertemuan dua marga dari kedua pihak yaitu pihak boru ‘penerima istri’ dan pihak hulahula ‘pemberi istri’.
Rapat adat adalah musyawarah membicarakan uang emas kawin/uang mahar atau disebut juga dengan istilah dalam bahasa Batak Toba marhata
sinamot merupakan suatu awal yang harus dilaksanakan sebelum acara
dilanjutkan ke tahap pesta perkawinan bagi setiap suku Batak Toba. Pada saat rapat adat (marhata sinamot) di sinilah dimusyawahkan banyaknya tuhor boru
‘uang emas kawin/uang mahar yang harus diberikan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan’. Dalam hal rapat adat bagi suku Batak bukanlah persoalan bagi pihak laki-laki dan pihak perempuan semata, termaksud saudara-saudara kandung masing-masing, akan tetapi merupakan ikatan berdasarkan Dalihan Na
Tolu dari masing-masing pihak. Dalam hal membicarakan uang mahar peran dari tulang ‘paman’ dari kedua belah pihak juga menentukan banyaknya uang mahar yang diberikan dari pihak laki-laki. Akibatnya bila tidak terjadi kesepakatan dari kedua belah pihak, maka rapat adat tersebut dikatakan gagal. Namun bila terdapat kesepakatan dari kedua belah pihak, maka ditentukan kapan hari, tanggal, dan bulan pelaksanaan pesta perkawinan dilangsungkan.
(34)
Pada rapat adat (marhata sinamot) merupakan semacam jembatan yang mempertemukan Dalihan Na Tolu dari orangtua pihak laki-laki dan Dalihan Na
Tolu dari orangtua pihak perempuan. Artinya karena adanya musyawarah
membicarakan uang mahar (sinamot) inilah maka Dalihan Na Tolu dari orang tua pihak laki-laki menjadi berkerabat dengan Dalihan Na Tolu dari pihak perempuan dan sebaliknya. Jadi segala istilah sapaan dan acuan yang digunakan oleh pihak yang satu terhadap pihak lain demikian pula sebaliknya adalah istilah-istilah kekerabatan berdasarkan Dalihan Na Tolu.
Istilah “pragmatik” sebagai bidang kajian di dalam ilmu linguistik, diberi batasan yang berbeda-beda oleh pakar-pakar linguistik. Namun dari batasan-batasan itu dapat ditelusuri adanya dua tradisi prakmatik, yaitu tradisi Anglo Amerika dan tradisi continental (Lavinson, 1983: 5). Yang pertama itu lebih terbatas dan lebih erat kaitannya dengan apa yang secara tradisional menjadi kajian linguistik seperti struktur kalimat dan tata bahasa. Yang Kontinental itu lebih luas dan meliputi analisis wacana, etnografi komunikasi, beberapa aspek psikolinguistik dan bahkan kajian tentang kata sapaan (Fasold, 1987: 119).
Salah satu batasan pragmatik yang berterima oleh para pengikut kedua tradisi itu adalah bidang ini adalah bidang di dalam linguistik yang mengkaji maksud ujaran, bukan makna kalimat yang diujarkan itu. Makna kalimat dikaji di dalam semantik, sedangkan maksud atau daya (force) ujaran dikaji dalam pragmatik.
(35)
Pragmatik selain mempelajari maksud ujaran juga mempelajari fungsi ujaran: untuk apa suatu ujaran dibuat atau dilakukan. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa pragmatik termasud dalam fungsionalisme di dalam linguistik. Seperti yang disebutkan sebelumnya, satuan analisisnya bukanlah kalimat (karena kalimat adalah satuan tata bahasa), melainkan tindak ujaran atau tindak tutur (speech act). Sebagaimana tindak ujaran bukan kalimat. Thomas (1995: 22) mendefinisikan ilmu pragmatik sebagi arti dalam interaksi, ini menggambarkan bakwa “makna” itu bukan sesuatu arti yang melekat pada kata itu sendiri, bukan juga kata-kata yang dikeluarkan oleh pembicara dan pendengar, juga konteks ujaran (seperti konteks fisik, sosial, budaya, dan bahasa) dan arti yang mungkin muncul dari sebuah ujaran. Ini merupakan definisi interpretasi dari sudut pandang pendengar.
Crystal (1985: 240) mendefinisikan pragmatik sebagai pengkajian bahasa dari sisi pengguna bahasa, khususnya tentang pilihan-pilihan yang dibuat, kendala-kendala yang ditemukan pada pengguna bahasa dalam interaksi sosial dan pengaruh pengguna bahasa itu terhadap peserta lainnya dalam tindak komunikasi. Dengan kata lainnya pragmatik ialah pengkajian tindak komunikatif di dalam kontek sosiokultural tindak itu. Dalam pengertian ini tindak komunikatif tidak hanya meliputi tindak tutur seperti memuji, memohon, memberi salam, dan sebagainya, tetapi juga mencakup peran serta di dalam percakapan, keterlibatan di dalam beberapa jenis wacana, dan menjaga
(36)
kesinambungan interaksi di dalam beberapa jenis wacana, dan menjaga kesinambungan interaksi di dalam peristiwa bahasa yang kompleks.
Tindak tutur melakukan tindak tertentu melalui kata, misalnya memuji, memohon sesuatu, menolak (tawaran, permohonan), berterima kasih, memberi salam, meminta maaf dan mengeluh. Bentuk lahiriah tindak tutur yang sama tidak saja dapat berbeda, tetapi daya atau kekuatan tindak tutur mungkin pula berbeda. Selain itu, dalam kebudayaan tertentu menolak (tawaran, permohonan) dapat dilakukan secara langsung, sementara dalam kebudayaan lainnya dilakukan harus dengan berbasa-basi tertentu sebelum penolakan diucapkan atau bahkan tanpa diucapkan sama sekali. Akibatnya adalah dalam beberapa kasus tertentu kemungkinan terjadinya salah tafsir apakah seseorang penutur telah melakukan penolakan atau tidak sedangkan kemungkinan lainnya terjadinya kesalahpahaman terhadap maksud ucapan penutur.
Dalam melakukan sesuatu tindak tutur, selain menyatakan maksud dan keinginannya, penutur juga secara alami bertujuan untuk menciptakan dan menjaga hubungan sosial tertentu antara diri penutur dengan petutur. Penutur mempertimbangkan berbagai kendala dalam menyampaikan maksudnya secara tepat dan sesuai dari segi kedekatan atau jarak antara penutur dan petutur, situasi bahasa dan sebagainya. Siasat bahasa (komunikasi) yang digunakan untuk menciptakan dan menjaga hubungan sosial ini sering disebut siasat kesantunan. Kesantunan pada dasarnya hanya digunakan pada dua fungsi, yaitu fungsi kompetitif yang meliputi tindak tutur seperti meminta, memerintah, menuntut,
(37)
dan fungsi konvival yang meliputi menawarkan, mengundang, memberi salam, berterima kasih, memberi selamat. Fungsi pertama berorientasi pada petutur sedangkan yang kedua pada penutur. Selanjutnya Leech (1983) menyatakan tujuan konpetitif pada dasarnya bersifat keras (kasar) dan tujuan konvivial sebaliknya bersifat halus. Fungsi kompetitif lebih mengancam muka penutur bila dibandingkan dengan fungsi konvivial.
Lakoff (1972, 1973b) mengembangkan teori kesantunan yang meramalkan bahwa penambahan kebebasan pada pihak penutur untuk menolak suatu permohonan akan berkorelasi dengan penambahan kesantunan. Dengan kata lainnya, maka makin tinggi kesantunan atau kesantunan bertambah bersamaan dengan berkurangnya pembebanan pada pihak petutur.
Leech (1983) mengatakan bahwa kesantunan merupakan siasat yang digunakan untuk menjaga dan mengembangkan hubungan. Menurut Brown dan Levison (1983) kesantunan ialah menjaga muka petutur. Semua peserta tutur dalam suatu interaksi percakapan berkeinginan menjaga dua jenis muka, yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif adalah merupakan citra positif yang dimiliki orang terhadap dirinya sendiri dan hasrat untuk mendapatkan persetujuan, sementara muka negatif ialah tututan dasar terhadap wilayah, bagian pribadi, dan hak-hak untuk tidak diganggu.
Pengertian muka menurut Brown dan Levinson membedakan kesantunan positif dan kesantunan negatif. Siasat kesantunan positif dan negatif keduanya digunakan untuk menambah keakraban dan mengurangi pemaksaan. Keduannya
(38)
berinterasi dengan cara yang rumit sesuai dengan sifat tindak tutur dan status penutur dan petutur. Siasat kesantunan positif mencakup: memperhatikan keinginan penutur, menggunakan pemarkah kelompok dalam, bersifat optimis, mengusahakan persetujuan, menunjukkan kesamaan latar, dan menawarkan atau menjanjikan. Sementara itu siasat kesantunan negatif mencakup: bersifat tidak langsung, bertanya atau kalimat berpagar, bersifat pesimis, meminimalkan pemaksaan, memberi hormat dan meminta maaf.
Pragmatik berhubungan erat dengan tindak tutur karena pragmatik menelaah makna dalam kaitan dengan situasi tuturan (Leech, 1983: 19). Dalam menelaah tindak tutur, konteks amat penting, telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi cara kita menafsirkan kalimat disebut pragmatik (Tarigan, 1990: 34). Dengan demikian melalui pragmatik makna-makna yang secara semantik ganjil, dapat berterima karena pertimbangan secara pragmatik atau lebih khusus lagi karena konteks.
Leech (1983: 2) menyatakan untuk itu konteks merupakan suatu yang sangat mendasar dalam pemakaian bahasa kenyataan ini membuktikan bahwa semantik tidak selalu mudah dibedakan dengan pragmatik.
Parker (1986: 11) menyatakan berbeda dengan fonologi, sintaksis, morfologi, dan semantik yang memiliki kajian secara internal, pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara ekternal, yakni bagaimana kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi.
(39)
Tarigan (1990: 32) mendefinisikan pragmatik menelaah acuan-acuan khusus dalam situasi-situasi khusus dan terutama sekali memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial performasi bahasa yang dapat mempengaruhi tafsiran atau interprestasi.
Wijana (1996: 1) mendefinisikan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi. Berbeda dengan fonologi, sintaksis, morfologi, dan semantik yang mengkaji bahasa secara internal.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pragmatik seperti semantik adalah cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual. Adapun yang menjadi kajian pragmatik tentang makna berbeda dengan semantik. Pragmatik mengkaji makna secara eksternal sedangkan semantik mengkaji bahasa secara internal.
Kajian tindak tutur, merupakan hal yang perlu dikaji. Tindak tutur merupakan pengejewantahan kompetisi seseorang. Schiffrin (1994: 365) mengemukakan, “people can use language to do things to perform speech acts because the rules throngh which speech acts are realized are part of linguistic competence”. Kompetensi tersebut terbentuk sejak dini, dari masa kanak-kanak hingga dewasa, berkembang sesuai deangan aturan yang merupakan konvensi dalam komunikasi bahasa tiap manusia.
Grass (1996: 127) mengemukakan, tindak tutur bersifat fundamental pada komunikasi manusia, “that fundamental to human communication is nation of speech act”. Sementara Cohen (1996: 384) mengatakan bahwa, “a speech act is
(40)
functional unit in communication”, yang berarti tindak tutur merupakan unit yang berfungsi penting dalam komunikasi.
Schiffrin (1994: 190) mengemukakan “pragmatics deals with three consepts (meaning, contexs, communication)”. Pragmatik berkaitan dengan tiga konsep yaitu makna, konteks, komunikasi.
Chaer dan Agustina (1995: 3) mengatakan sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat. Selanjutnya Nababan (1984: 2) mengatakan sosiolingustik merupakan studi atau pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sendiri sebagai anggota masyarakat, mempelajari atau membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa. Siregar (2002b: 172-173) mengatakan bahwa komunikasi sehari-hari atau siasat bahasa dalam tindak tutur dan penutur bertujuan untuk menciptakan dan menjaga hubungan sosial, berhubungan dengan kesantunan.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana ungkapan tindak tutur yang menggunakan umpasa oleh masyarakat Batak Toba pada saat berkomunikasi dalam rapat adat.
Dalam hal ini akan terlihat bagaimana tindak tutur yang menggunakan
(41)
1. Komponen tindak tutur apakah pada umpasa yang digunakan oleh
hulahula (pihak pemberi istri), dongan sabutuha (kerabat semarga), dan boru (pihak penerima istri) dalam rapat adat masyarakat Batak Toba?
2. Jenis tindak tutur apakah pada umpasa yang digunakan dalam rapat adat masyarakat Batak Toba?
3. Bagaimanakah fungsi tindak tutur pada umpasa yang digunakan dalam rapat adat masyarakat Batak Toba?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan komponen tindak tutur yang menyangkut makna lokusi, makna ilokusi, dan makna perlokusi pada umpasa yang digunakan oleh
hulahula (pihak pemberi istri), dongan tubu (kerabat semarga), boru
(pihak penerima istri) dalam rapat adat masyarakat Batak Toba.
2. Mendeskripsikan jenis tindak tutur pada umpasa yang digunakan dalam rapat adat masyarakat Batak Toba.
3. Mendeskripsikan fungsi tindak tutur pada umpasa yang digunakan dalam rapat adat masyarakat Batak Toba.
(42)
1.4 Landasan Teori
Dalam penelitian ini dibutuhkan teori-teori yang dapat dijadikan acuan atau pedoman untuk mendukung penelitian tindak tutur yang menggunakan
umpasa dalam rapat adat (marhata sinamot) pada masyarakat Batak Toba.
Penelitian ini penulis menggunakan teori Austin (1962), Searle (1969), dan Leech (1983) tentang tindak tutur (speech acts).
Austin (1962: 1-11) membedakan tuturan yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Tindak tutur konstatif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji benar atau salah dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia. Sedangkan tindak tutur performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat mengatakan bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi sahih atau tidak.
Lebih lanjut Austin membedakan tiga komponen tindak tutur yaitu: 1. Tindak tutur lokusi, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan
kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah sintaksisnya.
2. Tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu dilakukan, dan lain sebagainya.
3. Tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.
(43)
Searle (1969: 20) mengemukakan, “all linguistic Communication Invoclves Linguistic acts”. Maksudnya, seluruh kegiatan berkomunikasi adalah
merupakan tindak bahasa atau tindak tutur.
Leech (1983: 5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan sesuatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, dan bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan.
Lakoff (1972, 1973b) mengembangkan teori kesantunan yang meramalkan bahwa penambahan kebebasan pada pihak petutur untuk menolak suatu permohonan akan berkorelasi dengan penambahan kesantunan. Dengan kata lainnya, maka makin tinggi kesantunan atau kesantunan bertambah bersamaan dengan berkurangnya pembebanan pada pihak petutur.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:
1. Memberikan sumbangan pada kajian pragmatik, khususnya kajian tidak tutur (speech acts).
2. Memberikan sumbangan praktis pada masyarakat tentang tindak tutur yang menggunakan umpasa pada rapat adat (marhata sinamot).
(44)
3. Menambah khazanah kepustakaan atau bacaan dalam bidang linguistik. 4. Menjadi bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya.
5. Merupakan cara melestarikan budaya Batak Toba khususnya dalam tindak tutur yang menggunakan umpasa pada rapat adat (marhata
sinamot).
(45)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI
2.1. Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap umpasa masyarakat Batak Toba sudah banyak dilakukan sebagai usaha menunjang perkembangan, pemakaian, dan makna yang tepat dari suatu umpasa, seperti:
1. A.N. Sibarani (1976) menulis buku berjudul: Umpama Batak Dohot
Lapatanna. Tulisan ini bersifat menginventarisasi sebanyak mungkin umpama dan umpasa beserta dengan pengertiannya berdasarkan alfabetis.
Istilah umpama pada tulisan ini lebih luas sifatnya karena menyatukan pengertian Umpama dan Umpasa. Umpama yang pada kesusastraan Indonesia adalah perumpamaan karena menggunakan kata songon
‘seperti’ misalnya masiamin-aminan songon lampak ni gaol artinya saling seia-sekata bagaikan daun pisang. Sedangkan Umpasa dapat disamakan dengan bentuk pantun pada kesusastraan Indonesia, terdiri dari dua baris sebait, dan empat baris sebait; bila dua baris, baris pertama sebagai sampiran dan baris kedua disebut sebagai isi, bila empat baris, dua baris pertama sebagai sampiran dan dua baris kedua disebut sebagai isi, bersajak ab/ab namun kadang kala dapat juga bersajak aa/aa.
2. T.M. Sihombing (1989) menulis buku: Jambar Hata: Dongan Tu Ulaon
(46)
beserta pemakaian umpasa sesuai dengan upacara adat berlangsung. Di samping itu beliau sudah membedakan antara umpama dan umpasa berdasarkan bentuknya. Selain itu diungkapkan juga beberapa falsafah Batak, makna ulos ‘selendang’ dan beberapa bentuk sastra Batak.
3. Jhonson Pardosi (1993) dalam laporan Penelitian OPF-USU 1993 berjudul: Penggunaan Umpasa Saat Pemberian Ulos pada Upacara Adat
Batak Toba. Tulisan ini memfokuskan pada manfaat penggunaan umpasa
saat pemberian ulos. Unsur-unsur Dalihan Na Tolu yang dapat menggunakan umpasa saat pemberian ulos, dan nilai-nilai penggunaan
umpasa saat pemberian ulos.
4. Parlindungan Purba (2002) tesis berjudul: Ruang Persepsi Metapora
pada Umpasa Masyarakat Batak Toba: Suatu Kajian Pragmatik. Kajian
ini menfokuskan ruang persepsi metapora yang ditemukan dalam masyarakat Batak Toba pada saat kegiatan acara adat marhata sinamot
‘memusyawarahkan uang emas kawin’, dan marunjuk ‘pesta membayar adat penuh’.
5. Warisman Sinaga (2004) tesis berjudul: Tindak Tutur Permohonan,
Permintaan Maaf, dan Keluhan dalam Bahasa Indonesia oleh Mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris FKIP UMSU: Suatu Kajian Sosiolinguistik.
Kajian ini memfokuskan tindak tutur permohon, permintaan maaf, dan keluhan dalam bahasa Indonesia oleh mahasiswa jurusan bahasa Inggris antara mahasiswa dengan dosen, mahasiswa junior dengan mahasiswa
(47)
senior. Penelitian ini bersifat kualitatif, namun pembahasan menggunakan distribusi frekuensi sebagai dasar analisisnya.
6. Asriaty R. Purba (2007) tesis berjudul: Tema Umpasa Masyarakat
Simalungun: Suatu Kajian Lingustik Fungsional Sistemik. Kajian ini
menfokuskan struktur, jenis dan unsur tema serta konteks sosial umpasa Simalungun, dianalisa berdasarkan teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) yang dikembangkan oleh Halliday, Saragih dan pakar Linguistik Fungsional Sistemik lainnya.
7. Tomson Sibarani (2008) tesis berjudul: Tindak Tutur dalam Upacara
Perkawinan Masyarakat Batak Toba. Kajian ini memfokuskan tindak
tutur yang digunakan hulahula ‘pemberi istri’, dongan sabutuha ‘kerabat semarga’, dan boru ‘penerima istri’, tindak tutur apa yang dominan, bagaimana tindak tutur dilakukan, jenis dan fungsi tindak tutur dalam upacara perkawinan masyarakat Batak Toba.
Penelitian ini menggunakan teori tindak tutur dari Leech, Austin, dan Searle serta metode yang dipakai adalah metode deskriptif.
Kajian tersebut telah membantu peneliti dalam meletakkan fenomena- fenomena dasar yang berkaitan dengan umpasa yang digunakan dalam rapat adat masyarakat Batak Toba.
(48)
2.2. Konsep
2.2.1. Tindak Tutur
Tindak tutur (speech atc), yang oleh beberapa ahli disebut dengan istilah tindak pertuturan, adalah istilah yang pertama kali dimunculkan oleh Austin (1962) yang sekarang digunakan secara luas dalam telaah linguistik. Istilah itu dikembangkan oleh pengikutnya seperti Searle (1969), Leech (1981; 1993), Levinson (1983), Kempson (1984), Crystal (1985), Allan (1986), Yule dan Brown (1991), Wierzbicka (1996), dan Wijana (1996).
Kempson (1984: 58-68) membatasi konsep tindak tutur pada segala sesuatu yang berhubungan dengan manifestasi bahasa, interpretasi unsur-unsur bahasa, kalimat-kalimat, dan kata-kata. Menurutnya tindak tutur merupakan tuturan atau rentang perbincangan yang berisi muatan makna lokusi, ilokusi, perlokusi, pesan, janji, atau tawaran yang sifatnya komunikatif dan memiliki fungsi sosial tertentu.
2.2.2. Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur yang dimaksud dalam kajian ini mengacu pada pendapat Bauman, dkk (1974: 225-226). Menurutnya istilah peristiwa tutur (speech event) dibatasi pada aktivitas-aktivitas atau aspek-aspek aktivitas yang secara langsung ditentukan oleh aturan-aturan atau norma-norma dalam penggunaan sebuah tindak tutur. Peritiwa tutur itu menurutnya dapat pula mempengaruhi kajian makna atau fungsi sebuah tindak tutur seperti halnya pada umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat. Hal itu mengindikasikan bahwa makna tindak tutur
(49)
yang muncul pada peristiwa tutur yang berbeda akan memunculkan fungsi dan jenis tindak tutur yang berbeda pula.
Beberapa peristiwa tutur yang perlu mendapat perhatian dalam menganalisis sebuah tindak tutur yang menggunakan umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat antara lain adalah yang disebut oleh Bauman dan kawan-kawan dengan emosi penutur (emotional state of speaker), identitas sosial penutur (social identity of speaker), dan tingkat keakraban (arrangement of
participants spatially) (Bauman, dkk. 1974: 217; 225-226). Dengan kata lain,
untuk memaknai, menentukan jenis, dan fungsi sebuah tindak tutur yang menggunakan umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat tidak dapat terlepas dari beberapa faktor peristiwa di atas.
2.2.3. Penutur dan Petutur
Para ahli seperti Leech (1983), dan Wijana (1996) menggunakan istilah penutur yang mengacu kepada pembicara, dan istilah petutur mangacu kepada pendengar. Wijana (1996: 11) mengemukakan aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan pada penutur dan petutur, antara lain usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, dan tingkat keakraban.
2.2.4. Konteks
Konteks merupakan hal yang penting dalam kajian bahasa. Faktor lain yang secara sistematis juga menentukan makna, jenis, dan fungsi suatu tindak tutur adalah konteks.
(50)
can be assumed to know (e.g about social intitutions, about other’s wants and needs, about the nature of human rationality) and how that knowledge guides the use of language and the interpretation of utterances”.
Konteks linguistik adalah berupa urutan kata yang membentuk suatu frase atau kalimat serta unsur suprasegmental yang menyertai seperti pada kontruksi-kontruksi berikut.
(2-1) a. Shut up
b. Be quiet
c. Would you please be quiet?
d. Keep your voice down a little please.
(Palmer 1976: 36)
Tindak tutur (2-1a), sekalipun memiliki makna yang sama dengan tindak tutur (2-1b, c, dan d) terdapat hirarki (gradasi) kesopanan dan status penutur akibat penggunaan kode dan simbol linguistik yang berbeda. Palmer (1976: 36) mengindikasikan secara implisit bahwa sebutan would you please be quiet (1c) dalam bahasa Inggris dianggap lebih santun daripada tindak tutur be quiet (2-1b) atau shut up (2-1a).
Aspek di luar komponen internal bahasa seperti terminologi konteks situasi (context of situation) dan konteks budaya (context of culture) merupakan konteks nonlinguistik yang sangat berperan pula dalam menelaah sebuah tindak tutur seperti terlihat pada contoh berikut.
(2-2) What about the weather. (Palmer 1976: 36) (2-3) Anda ingin minum?
(51)
Tindak tutur (2-2) di atas misalnya yang digunakan masyarakat Barat sebagai
“salam perkenalan” tidak digunakan oleh orang Indonesia. Hal sejenis terdapat pula pada pertanyaan seperti (2-3) Anda ingin minum?. Pertanyaan (2-3) itu jika ditujukan bagi orang Barat akan bermakna minuman whisky atau beer. Pertanyaan itu lebih berorientasi kepada air putih, kopi atau teh bagi orang Indonesia. Paradigma itu menandakan perlunya penelaahan tentang konteks nonlinguistik dalam penelaahan sebuah tindak tutur.
Parera (1990: 120) mengemukakan tiga ciri yang harus dipenuhi untuk terciptanya suatu konteks, yaitu 1) seting, 2) kegiatan, dan 3) hubungan (relasi). Interaksi ketiganya membentuk konteks:
1. Seting meliputi: a. unsur-unsur material yang ada di sekitar peristiwa interaksi berbahasa, b. tempat, dan c. waktu.
2. Kegiatan: semua tingkah laku yang terjadi dalam interaksi, seperti berbahasa sendiri, juga termaksud kesan, perasaan, tanggapan dan persepsi penutur dan petutur.
3. Hubungan (relasi) meliputi hubungan antara penutur dan petutur yang ditentukan oleh (a) jenis kelamin, (b) umur, (c) kedudukan; status, peran, prestise (d) hubungan keluarga, dan (e) hubungan kedinasan. Seting, kegiatan dan hubungan ditentukan secara kultural.
(52)
2.3. Kerangka Teori
Teori tindak tutur diyakini mampu mewadahi fenomena yang terdapat pada umpasa digunakan dalam rapat adat masyarakat Batak Toba dengan beberapa pertimbangan berikut.
Pertama, teori tindak tutur menggunakan seperangkat instrumen dan
batasan terstruktur yang memungkinkan kajian ini lebih akomodatif. Perangkat-perangkat instrumen yang ada dalam teori tindak tutur itu mampu mengakomodasi fenomena-fenomena tindak tutur yang muncul pada bahasa manusia secara empiris dan universal. Teori tindak tutur (Wierzbicka, 1996: 171 dan Wijana, 1996: 9-13) memperhatikan aspek tempat dan waktu, partisipan, konteks, hasil perbincangan, cara, norma, atau jenis seperti halnya instrumen yang ada dalam teori SPEAKING (Gumperz dan Hymes, 1989: 35-69, dan Hymes, 1989: 45-66). Hal tersebut mengindikasikan bahwa analisis teori tindak tutur dalam mengakomodasi fenomena lingual kajian ini, di samping sangat kontekstual dan relevan, juga merupakan unsur penentu makna sebuah tuturan.
Kedua, berbeda dengan teori SPEAKING di atas, atau teori-teori
semiotik sosial lainnya, teori tindak tutur ini memberi batasan yang tegas dan konkret tentang jenis (seperti tuturan langsung dan tindak langsung), dan fungsi sebuah wacana tutur (seperti asertif, direktif, komisif, dan lain-lain) yang diyakini mampu mewahanai beberapa fenomena permasalahan.
Ketiga, penelitian teori tindak tutur pada bahasa Inggris antara lain sudah
(53)
mereka melalui teori tindak tutur mampu memberikan manfaat yang sangat berarti terhadap perkembangan khasanah linguistik, pemerolehan dan pengajaran bahasa, serta pemahaman aspek-aspek budaya manusia secara universal.
Untuk mengakodasi fenomena lingual pada umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat terutama yang berkaitan dengan makna lokusi, makna ilokusi, dan makna perlokusi digunakan teori tindak tutur Kempson (1984) dan Wijana (1996). Alasannya adalah karena teori tersebut memuat unsur-unsur penginterpretasi makna lokusi, ilokusi, dan perlokusi komponen tindak tutur yang diperkirakan mampu mewahanai dan mengakomodasi fenomena-fenomena lingual yang ada dalam permasalahan pada umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat.
Sementara teori yang mampu mengakomodasi jenis tindak tutur yang menyangkut tindak tutur langsung, tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal, tindak tutur tidak literal, tindak tutur langsung literal, tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur langsung tidak literal, dan tindak tutur tidak langsung tidak literal pada umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat adalah teori tindak tutur Wijana (1996). Alasannya adalah sebagai berikut.
Pertama, teori Wijana (1996) tersebut tidak hanya memperhatikan
fenomena lingual semantis semata, akan tetapi juga mempertimbangkan aspek sintaksis dan pragmatis sebuah tindak tutur.
Kedua, teori itu banyak memberikan contoh-contoh yang sesuai dengan
(54)
Ketiga, teori Wijana (1996: 29-36) tersebut memberikan pemilahan yang
lebih rinci tentang jenis sebuah tindak tutur.
Selanjutnya, acuan dasar yang digunakan untuk mengklaim fungsi tindak tutur pada umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat diaplikasikan teori tindak tutur Searle (dalam Rahardi 2005: 36). Teori tersebut memberi batasan, klasifikasi, dan contoh-contoh yang jelas tentang fungsi sebuah tindak tutur seperti: fungsi asertif, fungsi direktif, ekpresif, komisif, dan deklarasi.
2.3.1. Komponen Tindak Tutur
Sebuah tindak tutur (Leech 1993, Endmonson 1981, Levinson 1983, Kempson 1984, Austin 1962, Yule dan Brown 1991, Wierzbicka 1996, Wijana 1996) sekurang-kurangnya memuat tiga komponen tindak tutur yaitu:
a. Tindak Lokusi (Locutionary Act)
Tindak lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Tindak tutur ini disebut sebagai the act of saying something. Dalam tindak lokusi tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh sipenutur. Misalnya: tanganku gatal makna lokusinya semata-mata hanya dimaksudkan untuk memberitahukan simitra tutur bahwa pada saat dimunculkannya tuturan itu tangan sedang dalam keadaan gatal.
b. Tindak Ilokusi (Illocutionary Act)
Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu. Tindak tutur ini dapat disebut sebagai the act of doing
(55)
something. Tuturan kalimat, misalnya awas ada anjing gila. Kalimat ini biasanya
ditemui di pintu pagar rumah atau di bagian depan rumah pemilik anjing tidak hanya berfungsi untuk membawa imformasi, tetapi untuk memberi peringatan. Akan tetapi, bila ditujukan kepada pencuri, tuturan itu mungkin pula diutarakan untuk menakut-nakuti.
c. Tindak Perlokusi (Perlocutionary Act)
Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindak tutur ini dapat disebut dengan the act of affecting someone. Tuturan tanganku gatal, misalnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul, misalnya karena yang menuturkan tuturan itu berprofesi sebagai tukang pukul yang pada kesehariannya sangat erat kegiataan memukul dan melukai orang lain.
2.3.2. Jenis Tindak Tutur
Para linguis seperti Austin (1962), Leech (1981; 1993), Levison (1983), Kempson (1984), dan Wijana (1996) memperbaharui anggapan bahwa kontruksi deklaratif hanya bisa melahirkan makna berita atau imformasi; konstruksi imperatif melahirkan makna perintah, dan kontruksi introgratif melahirkan makna bertanya. Menurut mereka, pengkarakterisasian kontruksi seperti itu berbeda degan fakta yang ada di lapangan. Banyak fakta yang membuktikan bahwa kontruksi deklaratif melahirkan ilokusi makna perintah dan bertanya.
Berdasarkan fenomena di atas, Wijana (1996: 29-36) yang dijadikan acuan dasar dalam kajian jenis tindak tutur yang menggunakan umpasa dalam
(1)
Tinapu bulung ni sabi
Dongan ni lompan ni pangula
Sahat ma pasu-pasu na nilehon muna di hami Sai horas nang hamu Hulahula
Boti ma.
Dungi i ditutup ma punguan i marhite ende dohot tangiang sian Hulahula /tulang parboru.
Laos disi pe asa dibagi ingot-ingot jala marhehe na uli ma.
Terjemahan:
Raja kami, raja dari pihak perempuan kami dan terlebih-lebih kepada Paman yang akan jadi menantu kami, terima kasih yang baik hati kami sampaikan pertama sekali kami katakana ini semua karena kebaikan dan berkat yang kalian berikan kepada kami. Semuanya yang kalian sampaikan tujuannya adalah baik itu sudah semakin yakin aku hendak menjalankan jalanku dan mencari keperluan diacara pesta kita itu. Semoga Tuhan mengasihi kita semoga dijadikan semua segala perkataan serta berkat kalian yang baik itu. Maka teringat kepada anak kita itu semoga disatukan Tuhanlah semua segala kata dan berkat kalian yang baik itu. Seperti anak kita yang kita teringat itu. Semoga disatukan Tuhan kitalah seperti yang kalian katakana itu, raja kami semoga jadilah mereka benar-benar rumah tangga yang bagus membuat senang hati kita dan membuat jadi terhormat dihadapan Tuhan kita. Maaf, raja kami kalau kusampaikan pun sebuah umpasa bukannya kami yang memberikan berkat kepada kalian, karena kalianlah menyampaikan berkat kepada kami, tetapi jadi ganti seperti doalah itu kepada Tuhan kita. Jadi kusampaikanlah:
Dipetik daun sawi Lauk untuk pekerja
Sampailah berkat yang kalian berikan kepada kami Semoga selamat juga kalian Hulahula.
Demikianlah.
Kemudian acara itu terlebih dahulu ditutup dengan nyanyian dan doa dibawakan oleh paman dari pihak perempuan.
Setelah acara doa selesai sekagus di situ dibagi-bagikan uang ingat-ingat dan lalu berkemas pulanglah mereka.
(2)
Lampiran 2.
DAFTAR IMPORMAN
1. Nama : Drs. H. Tampubolon (Omp. Salomo) Umur : 65 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki Pendidikan : Sarjana (S1)
Alamat : Jln. Palem IV No. 91 Perumnas Helvetia Medan
2. Nama : Drs. M, Silaen Umur : 64 tahun Pendidikan : Sarjana (S1)
Alamat : Jln. Helvetia Raya No. 201 Medan
3. Nama : Drs. B. Opusunggu Umur : 69 tahun
Pendidikan : Sarjana (S1)
Alamat : Jln. Karya IV No. 58 Helvetia Medan
4. Nama : G.H. Tampubolon Umur : 70 tahun
Pendidikan : S.L.T.A
Alamat : Pasar VII No. 66 Padang Bulan Medan
5. Nama : Guru Huria B. Silitonga Umur : 58 tahun
Pendidikan : S.G.A
(3)
Lampiran 3.
DAFTAR PERTANYAAN
1. Adakah umpasa yang disampaikan hulahula dalam rapat adat kepada boru yang hanya menginformasikan sesuatu?
2. Apakah ada umpasa bertanya dalam rapat adat disampaikan hulahula kepada boru?
3. Apakah ada umpasa memuji pada rapat dalam disampaikan hulahula kepada boru?
4. Apakah ada umpasa memberkati dalam rapat adat disampaikan hulahula kepada boru?
5. Adakah umpasa yang memuji dalam rapat adat disampaikan dongan sabutuha hulahula kepada boru ?
6. Adakah umpasa yang disampaikan dongan sabutuha boru pada rapat adat kepada hulahula yang hanya menginformasikan sesuatu?
7. Adakah umpasa yang disampaikan boru kepada hulahula dalam rapat adat yang hanya menginformasikan sesuatu?
8. Apakah ada umpasa yang memuji pada rapat adat disampaikan boru kepada hulahula?
9. Apakah ada umpasa yang menyarankan dalam rapat adat disampaikan dongan sahuta hulahula kepada kedua belah pihak?
10. Adakah umpasa yang menasehati dan memberkati dalam rapat adat disampaikan paman ‘pemberi istri’ kepada boru ‘penerima istri’?
11. Bagaimana mengetahui umpasa yang memohon dalam rapat adat disampaikan paman ‘penerima istri’ kepada hulahula ‘pemberi istri’ supaya menerima uang emas kawin yang diberikan boru-nya?
12. Apakah ada umpasa yang meminta maaf dalam rapat adat disampaikan dongan sabutuha boru kepada hulahula tidak dapat menyanggupi uang emas kawin? 13. Adakah umpasa berjanji menyanggupi uang emas kawin yang disampaikan boru
(4)
14. Apakah ada umpasa yang berterima kasih disampaikan dongan sahuta hulahula dalam rapat adat kepada kedua belah pihak ada kesepatan uang emas kawin yang dimusyawarahkan?
15. Apakah ada umpasa yang memohon kemupakatan uang emas kawin supaya jangan saling mencari kekurangan disampaikan dongan sabutuha boru dalam rapat adat kepada kedua belah pihak?
16. Adakah ada umpasa yang memberkati kedua calon pengantin dalam rapat adat disampaikan paman ‘pemberi istri’?
17. Adakah umpasa berterima kasih kepada boru-nya ‘pemberi istri’ menerima uang emas kawin yang diberi boru ’penerima istri’ dalam rapat adat disampaikan paman ‘pemberi istri’?
18. Apakah ada umpasa sekedar memberi informasi disampaikan dalam rapat adat oleh hulahula kepada boru?
19. Apakah ada umpasa bertanya langsung maksud datang ke rumah hulahula disampaikan kepada boru dalam rapat adat?
20. Apakah ada umpasa memerintah langsung supaya menyanggupi uang emas kawin yang diminta hulahula disampaikan dalam rapat adat kepada boru? 21. Apakah ada umpasa memohon langsung supaya dibuat keputusan uang emas
kawin disampaikan dongan sabutuha hulahula dalam rapat adat kepada suhut? 22. Adakah umpasa memerintah langsung supaya saling kerja sama dalam
melaksanakan pesta disampaikan hulahula dalam rapat adat kepada boru? 23. Bagaimana umpasa mengajak makan bersama-sama disampaikan boru dalam
rapat adat kepada hulahula?
24. Apakah ada umpasa memohon supaya seia-sekata memusyawarahkan uang emas kawin disampaikan dongan sahuta hulahula dalam rapat adat kepada kedua belah pihak?
25. Apakah umpasa memerintah supaya saling kerjasama dan saling pengertian dalam melaksanakan pesta nantinya disampaikan paman ‘pemberi istri’ dalam rapat adat kepada kedua belah pihak?
26. Bagaimana mengetahui umpasa memuji pihak boru maksunya sama dengan tuturan disampikan dalam rapat adat oleh hulahula?
(5)
27. Bagaimana mengetahui umpasa mendoakan pihak boru maksudnya sama yang diharapkan hulahula yang disampaikan dalam rapat adat?
28. Bagaimana mengetahui umpasa memuji pihak boru bahwa mereka orang kaya maksudnya sama dengan tuturan disampaikan dongan sabutuha hulahula dalam rapat adat?
29. Bagaimana mengetahui umpasa memberitahukan kepada hulahula maksudnya sama yang disampaikan pihak boru dalam rapat adat?
30. Bagaimana mengetahui umpasa berfungsi menyarankan kepada boru disampaikan oleh hulahula dalam rapat adat?
31. Bagaimana mengetahui umpasa berfungsi memberkati pihak boru disampaikan pihak hulahula dalam rapat adat?
32. Bagaimana mengetahui umpasa berfungsi menyatakan bahwa kedua belah pihak masih ada ikatan kekeluargan disampaikan pihak boru dalam rapat adat kepada pihak hulahula?
33. Bagaimana mengetahui umpasa berfungsi menyarankan kepada boru-nya ‘pemberi istri’ senang menerima uang emas kawin sedikit maupun banyak diberi pihak boru ‘penerima istri’ disampaikan paman ‘penerima istri’ dalam rapat adat?
34. Bagaimana mengetahui umpasa berfungsi mengesahkan uang emas kawin diterima boru-nya ‘pemberi istri’ disampaikan paman ‘pemberi istri’ dalam rapat adat?
35. Bagaimana mengetahui umpasa berfungsi bertanya maksud datang ke rumah hulaula disampaikan kepada pihak boru dalam rapat adat?
36. Bagaimana mengetahui umpasa berfungsi memohon supaya menambahi uang emas kawin pihak boru disampaikan oleh hulahula dalam rapat adat?
37. Bagaimana mengetahui umpasa berfungsi memohon supaya menambahi uang emas kawin pihak boru disampaikan oleh dongan sabutuha hulahula dalam rapat adat?
38. Bagaimana mengetahui umpasa berfungsi memohon supaya makan bersama disampaikan pihak boru dalam rapat adat kepada hulahula?
(6)
39. Bagiamana mengetahui umpasa berfungsi memohon supaya menerima uang emas kawin yang diberikan pihak boru disampaikan dalam rapat adat kepada hulahula?
40. Bagaimana mengetahui umpasa berfungsi memohon kepada kedua belah pihak supaya saling kerjasama pada pesta nantinya disampaikan dongan sahuta hulahula dalam rapat adat?
41. Bagaimana mengetahui umpasa berfungsi memohon kepada kedua belah pihak supaya berdamai-damailah memusyawarahkan uang emas kawin disampaikan dongan sahuta boru dalam rapat adat?
42. Bagaimana mengetahui umpasa berfungsi menasehati boru-nya ‘penerima istri’ supaya jangan pelit memberi kepada hulahula disampaikan paman ‘penerima istri’ dalam rapat adat?
43. Adakah umpasa berfungsi menasehati kepada kedua belah pihak supaya saling kerjasama disampaikan paman ‘pemberi istri’ dalam rapat adat?
44. Adakah umpasa berfungsi memuji pihak boru bahwa mereka orang kaya dan cucu raja disampaikan hulahula kepada pihak boru dalam rapat adat?
45. Adakah umpasa berfungsi memuji pihak boru disampaikan dongan sabutuha hulahula dalam rapat adat?
46. Adakah umpasa berfungsi meminta maaf pihak boru kepada hulahula disampaikan dalam rapat adat?
47. Adakah umpasa berfungsi berterima kasih pihak boru kepada hulahula disampaikan dalam rapat adat?
48. Adakah umpasa berfungsi berterima kasih dongan sahuta hulahula kepada kedua belah pihak disampaikan dalam rapat adat?
49. Adakah umpasa berfungsi berterima kasih disampaikan paman ‘pemberi istri’ dalam rapat adat?
50. Adakah umpasa berfungsi berjanji disampaikan dalam rapat adat?
51. Adakah umpasa berfungsi menyatakan berpasrah disampikan dalam rapat adat?