Stratifikasi Sosial dan Tradisi Mangalua Pada Masyarakat Batak Toba (Studi Deskriptif di Kelurahan Timbang Deli Amplas, Kota Madya Medan)

(1)

( studi deskriptif di Kelurahan Timbang Deli Amplas, Kota Madya Medan)

SKRIPSI

DIAJUKAN OLEH: BRESMAN SIMAMORA

080901072

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA (S-1) PADA

FAKULTAS SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ABSTRAK 

  Penelitian ini berjudul Stratifikasi Sosial dan Tradisi Mangalua Pada Masyarakat Batak Toba di Kelurahan Timbang Deli. Penelitian ini membahas tentang keluarga Batak Toba yang tidak melaksanakan prosesi adat di dalamnya, terutama di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas. Hal ini terjadi karena adanya unsur – unsur yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan tanpa proses adat Batak

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Studi Deskripsi dengan pendekatan Kualitatif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan observasi, wawancara dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah keluarga yang menikah tanpa melakukan prosesi adat dan tetua adat di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas.

Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka penulis menyimpulkan bahwa perkawinan tanpa adat disebabkan berbagai faktor seperti faktor ekonomi, faktor tidak mendapat restu dan juga karena pergaulan bebas. Adat adalah segala bentuk aturan hidup, dimana dengan adat Batak adalah segala bentuk aturan hidup yang khas pada orang Batak, seperti ketika bertutur, bertingkah laku, berelasi, ketika menjalankan berbagai bentuk acara seremonial (kelahiran, pernikahan, memasuki rumah baru, kematian dsb). Adat pada saat ini dianggap tidak relevan bagi anak – anak muda terkait dengan acara seremonial (upacara) dan ketidaksederajatan dalam hubungan antar posisi.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan anugrahNya yang di berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Stratifikasi Sosial dan Tradisi Mangalua Pada Masyarakat Batak Toba” (Studi di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas, Kota Madya Medan) disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, semangat, doa, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan tiada henti-hentinya penulis ucapkan kepada kedua orangtua tercinta Ayahanda S. Simamora dan Ibunda L. Hutapea yang telah merawat dan membesarkan serta mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Akhirnya inilah persembahan yang dapat ananda berikan sebagai tanda ucapan terimakasih dan tanda bakti ananda.

Dalam penulisan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terimakasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini kepada:


(4)

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, Selaku ketua Departemen Sosiologi yang memberikan segenap ilmu pengetahuan semasa perkuliahan.

3. Dra. Ria Manurung, M.Si., yang selalu memberikan masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini, memberikan segenap ilmu pengetahuan semasa perkuliahan, dan nasehat serta pengarahan yang telah diberikan sebagai penguji seminar proposal dan penguji pada ujian sidang meja hijau penulis .

4. Rasa hormat dan terimakasih yang tidak akan dapat penulis ucapkan dengan kata-kata kepada Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.Si, selaku dosen pembimbing sekaligus dosen wali penulis yang telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, ide-ide dan pemikiran dalam membimbing penulis dari awal perkuliahan hingga penyelesaian penulisan skripsi ini.

5. Segenap dosen, staff, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Fenni Khairifa, dan Kak Betty yang telah cukup banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dalam hal administrasi.

6. Paling teristimewa penulis ucapkan salam sayang terhangat dan terima kasih bahkan tak terucap rasa bangga penulis kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda dan Ibundaku tercinta yang telah membesarkan saya dengan mencurahkan kasih sayangnya tiada terhingga dan tiada batasnya kepada saya, selalu memberikan doa, nasehat, dan mendidik saya serta dukungan moril maupun materil kepada saya.

7. Secara khusus saya ucapkan kepada ketiga Saudara saya, Bang Sintong Anthonius, dek Minar Simamora, Amd, dek Tioris Lorensia yang selalu


(5)

memberikan dukungan, doa, nasehat, semangat yang tak ternilai harganya sejak awal perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

8. Saudara-saudara dan sahabat-sahabat baik penulis yang bisa mengerti dan menerima penulis baik dalam keadaan suka maupun duka yang sangat penulis sayangi, terutama buat Lenny Nababan, Robby Surya, Nari Rolinon, Octa Virna Saragi, Dessi Manalu, Vanny dan Shanty yang selalu bersama-sama selama perkuliahan dan sampai saat ini dan akan datang.

12. Kepada Aparaku Alexander Giovani Simamora, Robby, Nari, Richat, Amos, Frisillia, Octa Ricky, Shanty, Vanny, Dessy, Ronald, Rina, Salmen, Eninta, Lia dan banyak lagi nama yang belum saya sebutkan terimakasi buat kebersamaannya selama perkuliahan.

13. Kawan-kawan Sosiologi angkatan 2008 yang solid. Terima kasih atas kebersamaan dan segala dukungannya selama menuntut ilmu di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara dan menjadi teman seperjuangan dalam menuntut ilmu ada , Lenny Nababan, Robby Surya dan Nari Rolinon 

12.  Para informan keluarga Batak Toba mangalua yang telah bersedia memberikan waktu dan kesempatan untuk memberikan informasi yang sangat dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca, dan akhir kata dengan kerendahan


(6)

hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.

 

Medan, 2013 (Penulis) BRESMAN SIMAMORA        NIM : 080901072


(7)

DAFTAR ISI Halaman

ABSTRAK... ... i

KATA PENGANTAR ………..……….... ii

DAFTAR ISI………... vi

DAFTAR TABEL……….………. xi

BAB I PENDAHULUAN……….………... 1

1.1. Latar Belakang Masalah...…..….………... 11

1.2. Perumusan Masalah………...…………. 12

1.3. Tujuan Penelitian………...…..…….... 12

1.4. Manfaat Penelitian………...…….... 12

1.5. Defenisi Konsep….………... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA....………... 14

2.1. Pelapisan Sosial………... 14

1. Pendidikan………. 17

2. Pekerjaan……… 18

2.2. Manusia dan Kebudayaan...…... 20

2.3. Perubahan dan Kebudayaan... 21

2.4. Masyarakat Batak Toba……….. 23

1. Masyarakat……… 23

2. Masyarakat Batak………. 25

3. Masyarakat Batak Toba……… 27

4. Masyarakat Batak di Perantauan……….. 27

2.5. Uraian Adat Dalam Masyarakat Batak Toba……… 28


(8)

2. Hubungan Dalam Sistem Kekerabatan……… 32

a. Manat Mardongan Tubu……….. 33

b. Somba Marhula-hula……… 34

c. Elek Marboru……… 35

2.6. Konsep Perkawinan Dalam Masyarakat Batak Toba……….. 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………... 38

3.1. Jenis Penelitian... 38

3.2. Lokasi Penelitian………... 38

3.3. Unit Analisis dan Informan... 38

3.4. Teknik Pengumpulan Data... 39

3.5. Interpretasi Data... 39

3.6. Keterbatasan Penelitian……….. 40

3.5. Jadwal Kegiatan... 41

BAB IV Deskripsi Dan Interpretasi Data………...….... 42

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian………... 42

4.1.1. Sejarah Kecamatan Timbang Deli Amplas………... 42

4.1.2. Letak Geografis dan Batas Wilayah……... 43

4.2. Keadaan Penduduk………... 44

          4.2.1. Jumlah Penduduk……….. 44

4.2.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin……….. 44

4.2.3. Distribusi Berdasarkan Penduduk Mata Pencaharian…… 45

4.2.4. Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan…. 47

4.3. Sarana Fisik……….. 48


(9)

4.4. Sejarah Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kelurahan Timbang Deli…. 49

4.5. Tata Cara Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Timbang Deli……… 51

4.6. Profil Informan………. 52

4.7. Prosesi Adat Dalam Perkawinan Masyarakat Batak Toba…….. 74

4.7.1. Perkawinan Yang mangadati (Dengan Adat) 74

1. Martandang ………74

2. Manjalo Tanda……….. 75

3. Marhusip……….76

4. Marhata Sinamot………77

5. Paulak Une……….78

4.7.2. Perkawinan Dengan Cara Mangalua………... 80

1. Tata Cara Mangalua……… 81

4.8. Faktor Penyebab Pernikahan Tanpa Adat Pada Keluarga Batak Toba………...81

1. Faktor Ekonomi……….82

2. Faktor Tidak Direstui Oleh Keluarga………83

3. Faktor Pergaulan Bebas (Hamil diluar Nikah)………..84

4.9. Deskripsi Hubungan Sosial Pada Pasangan Yang Menikah Tanpa Adat……..85

BAB V PENUTUP 5.1.Kesimpulan... 89

5.2.Saran... 90

DAFTAR PUSTAKA………...91 DAFTAR TABEL


(10)

ABSTRAK 

  Penelitian ini berjudul Stratifikasi Sosial dan Tradisi Mangalua Pada Masyarakat Batak Toba di Kelurahan Timbang Deli. Penelitian ini membahas tentang keluarga Batak Toba yang tidak melaksanakan prosesi adat di dalamnya, terutama di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas. Hal ini terjadi karena adanya unsur – unsur yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan tanpa proses adat Batak

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Studi Deskripsi dengan pendekatan Kualitatif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan observasi, wawancara dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah keluarga yang menikah tanpa melakukan prosesi adat dan tetua adat di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas.

Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka penulis menyimpulkan bahwa perkawinan tanpa adat disebabkan berbagai faktor seperti faktor ekonomi, faktor tidak mendapat restu dan juga karena pergaulan bebas. Adat adalah segala bentuk aturan hidup, dimana dengan adat Batak adalah segala bentuk aturan hidup yang khas pada orang Batak, seperti ketika bertutur, bertingkah laku, berelasi, ketika menjalankan berbagai bentuk acara seremonial (kelahiran, pernikahan, memasuki rumah baru, kematian dsb). Adat pada saat ini dianggap tidak relevan bagi anak – anak muda terkait dengan acara seremonial (upacara) dan ketidaksederajatan dalam hubungan antar posisi.


(11)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dari berbagai perbedaan kehidupan manusia, satu bentuk variasi kehidupan mereka yang menonjol adalah fenomena stratifikasi (tingkat-tingkat) sosial. Perbedaan itu tidak semata-mata ada, tetapi melalui proses suatu bentuk kehidupan atau ada dalam masyarakat karena mereka menganggap bentuk kehidupan itu benar, baik dan berguna bagi mereka. Fenomena dari stratifikasi sosial ini akan selalu ada dalam kehidupan manusia, sesederhana apapun kehidupan mereka, tetapi bentuknya mungkin berbeda satu sama lain, semua tergantung bagaimana mereka menempatkannya (Soekanto 1988:27)

Manusia adalah mahluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya.Umumnya manusia sangat peka terhadap budaya yang dipangkunya karena budaya merupakan landasan filosofi yang mendasari setiap prilaku manusia. Sehingga dengan demikian seringkali manusia secara tidak sadar bersikap tertutup terhadap kemungkinan perubahan dalam nilai-nilai yang selama ini dipangkunya, juga merasa bahwa nilai-nilai yang dimilikinya merupakan yang terbaik dan harus dipertahankan (Piotr 2008:35)

Sejak manusia mengenal adanya suatu bentuk kehidupan bersama di dalam bentuk organisasi sosial, lapisan-lapisan masyarakat mulai muncul. Pada masyarakat dengan kehidupan yang masih sederhana, pelapisan itu dimulai atas dasar perbedaan gender dan usia, perbedaan berdasarkan kekayaan.


(12)

Sistem kehidupan manusia adalah suatu aturan atau tata cara kehidupan dalam suatu kelompok masyarakatnya yang dimana lahir dari sebuah kebudayaan atau kebiasaan. Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai annggota masyarakat (Jacobus, 2006:21)

Setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargai, bisa berupa kepandaian, kekayaan, kekuasaan, profesi, keaslian keanggotaan masyarakat dan sebagainya. Selama manusia membeda-bedakan penghargaan terhadap sesuatu yang dimiliki tersebut, pasti akan menimbulkan lapisan-lapisan dalam masyarakat. Semakin banyak kepemilikan, kecakapan masyarakat/seseorang terhadap sesuatu yang dihargai, semakin tinggi kedudukan atau lapisannya. Sebaliknya bagi mereka yang hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali, maka mereka mempunyai kedudukan dan lapisan yang rendah. Seseorang yang mempunyai tugas sebagai pejabat/ketua atau pemimpin pasti menempati lapisan yang tinggi daripada sebagai anggota masyarakat yang tidak mempunyai tugas apa-apa.Karena penghargaan terhadap jasa atau pengabdiannya seseorang bisa pula ditempatkan pada posisi yang tinggi.

Dalam masyarakat tradisional pada umumnya sosial budaya dikuasai tradisi, adat, dan kepercayaan bukan dikuasai hukum dan perundang-undangan. Lapisan yang ada dalam masyarakat akan tetap untuk selamanya, anak cucu seseorang pada suatu lapisan masyarakat, akan mengikuti status orang tua dan nenek moyangnya,. Anak cucu bangsawan tetap jadi lapisan atas, anak cucu pimpinan menegah (priyayi, menak, demang bekel) akan mengantikan kedudukan ayah dan neneknya.


(13)

Golongan rendah statusnya tetap mengikuti yang menurunkannya.Perwatakan yang menyolok dalam masyarakat tradisional adalah hubungan kekeluargaan berdasarkan keturunan darah. Pergaulan mesra, saling berhadapan muka, semangat tolong menolong merupakan sifat umum, seseorang lebih dinilai dari unsur keturunan dan hubungan kekeluargaan daripada segi kemampuan dan kepandaiannya yang “impersonal” (Simandjuntak 1980:50)

Batak Toba termaksud salah satu suku di Indonesia, yang tinggal di Propinsi Sumatera Utara, yang terletak di bagian barat Indonesia adalah pulau kedua terbesar setelah Kalimantan.Orang Batak tinggal di dataran tinggi Bukit Barisan sekitar Danau Toba. Orang Batak mempunyai kultur yang mempunyai kesamaan dengan Proto-Melayu. Dalam religi mereka, orang Batak memuja peranan yang penting dalam seluruh aktivitas keturunan mereka. Sistem keturunan mereka adalah patrilinear dan struktur sosial diatur oleh perkawinan kemenakan a-simetris (Vergouwen 2004:34)

Batak Toba merupakan suatu sub suku yang hidup pada pengawasan adat-istiadat, terutama pada adat perkawinan. Masyarakat Batak Toba merupakan salah satu suku bangsa Batak dan salah satu dari ratusan suku bangsa yang ada di Indonesia.Berdiri dengan satu identitas budaya, berasal dari daerah tertentu, memiliki bahasa, dan adat istiadat sendiri.Masyarakat Batak Toba hidup dibawah pengawasan adat istiadatnya yang berperan mengatur keseluruhan tingkahlaku.

Demikian juga dengan perkawinan sebagai salah satu siklus kehidupan seseorang. Perkawinan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba memiliki aturan-aturan adat yang sangat kuat walaupun sudah mengalami berbagai perubahan pada saat ini perkawinan masyarakat Batak


(14)

Toba yang diatur oleh adat-istiadat akan lebih sah dan resmi. (http://sehati.blogsome.com/2008/03/04/pernikahan-adat-batak#more-286)

Sistem pelapisan sosial pada masyarakat Batak Toba didasarkan pada tiga prinsip, yaitu:

1. Berdasarkan senioritas, jabatan dan sifat keaslian. Di Indonesia tidak jarang terjadi kelas sosial orang tua atau kerabat sangat dekat mempengaruhi kelas sosial sesorang. Misalnya orang tua mempunyai kedudukan terpandang, maka biasanya anak-anaknya ikut-ikut dianggap terpandang. Sebaliknya, apabila orang tua atau kerabatnya tergolong kelas sosial yang relatif rendah, maka anaknya atau keluarganya, dianggap demikian pula, walaupun mereka berpenghasilan tinggi atau mempunyai pangkat yang tidak rendah. Sistem pelapisan sosial berdasarkan senioritas pada masyarakat. Batak Toba pada prinsipnya menyangkut konteks tua-muda dan kawin atau belum kawin. Hal ini nyata dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam aktivitas adat. Mereka yang masih muda selalu menganggap yang tua lebih tinggi kedudukannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga yang muda harus menghormati orang yang lebih tua.Analog dengan itu, persoalan kawin dan tidak kawin nyata sekali dalam aktivitas adat, di mana orang yang belum kawin tidak terlibat dalam perencaanaan dan pengambilan keputusan hal-hal yang menyangkut adat. Sistem pelapisan sosial berdasarkan jabatan mengacu pada jabatan-jabatan yang dipegang oleh seorang dalam sistem pemerintahan huta. Keturunan raja atau yang menduduki jabatan raja atau keluarga raja dan kepala-kepala wilayah atau satuan pemukiman dianggap sebagai lapisan masyarakat paling atas.

2. Lapisan kedua adalah mereka yang memiliki keahlian tertentu dalam tataran masyarakat tradisional, seperti: tukang, dukun, pemukul dan peniup (pemain) alat-alat kesenian tradisional.


(15)

3. Sementara pada lapisan ketiga adalah rakyat biasa atau rakyat kebanyakan. Sistem pelapisan sosial berdasarkan sifat keaslian mengacu pada orang yang pertama sekali mendirikan desa dan orang yang datang kemudian. Orang yang datang pertama sekali mendirikan desa dan keturunannya menduduki lapisan yang tinggi dalam tataran masyarakat Batak. Mereka memiliki hak-hak istimewa atas tanah desa dan juga mendapat prioritas utama dalam menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam desa. Pada mulanya hanya dari golongan mereka ini yang menjadi pemilik utama tanah desa, menduduki jabatan sebagai raja atau pangulu dan jabatan tersebut diwariskan kepada keturunannya. Orang-orang yang datang kemudian (pendatang) tidak memiliki hak atas tanah dan juga jabatan-jabatan dalam struktur pemerintahan huta. Mereka ini menguasai tanah desa hanya atas seizin dari penguasa. (Bungaran. 2004:43)

Selain itu Suku Batak Toba mengenal tingkatan 3H, yaitu hamoraon (kekayaan), hagabeon (kebahagiaan, sebenarnya terjemahan hagabeon menjadi kebahagiaan adalah kurang pas) dan hasangapon (kehormatan, agak kurang pas juga kalau hasangapon diterjemahkan sebagai kehormatan).Bagi manusia Batak, pencapaian 3 H merupakan ukuran keberhasilan pencapaian dan kesuksesan seseorang.Berbagai usaha dilakukan untuk mencapai 3H tersebut, bekerja keras menuntut ilmu agar bisa mamora (kaya).Maka manusia Batak menjadi petarung, berjuang keras untuk mencapai hamoraon, dan menjadi kaya secara finansial dan material. Manusia Batak tidak akan segan-segan mangaranto, pergi meninggalkan kampung halaman untuk mencari kekayaan material. Berjuang dengan segala usaha dan modal di pangarantoan, Perantauan, untuk bisa mendapatkan kekayaan.Kalau perlu merantau ke seluruh penjuru dunia.

Ukuran umum hagabeon dalam bangso Batak adalah bila mempunyai keturunan baoa (laki) dan boru (perempuan) yang juga kemudian mempunyai keturunan lagi. Jadi bila seseorang


(16)

dalam hidupnya sudah mempunyai cucu dari anak laki-laki, cucu dari anak perempuan, serta semua anaknya baik laki dan perempuan sudah berumah tangga dan mempunyai keturunan, maka ia disebut gabe. Hagabeon menjadi sempurna ketika masih hidup dan masih bisa melihat cicit (apalagi kalau dari cucu perempuan dan cucu laki-laki). Itulah puncak sempurna hagabeon manusia Batak.Adapun hasangapon, agak sulit mencari padanan katanya dalam Bahasa Indonesia.Secara harafiah, sangap bisa diartikan sebagai terpuji, atau teladan, terhormat, nyaris tanpa cela. Seseorang yang dianggap sangap, berarti akan menjadi pribadi sempurna, manusia yang mencapai status tinggi dalam kehidupan, dan tidak ada cemoohan dari orang lain. Biasanya seseorang menjadi sangap, bila dalam tingkat tertentu juga mempunyai hamoraon dan mempunyai hagabeon. Karena itu , sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan seseorang

sudah mencapai hasangapon sekarang ini. (http://togarsilaban.wordpress.com/2008/06/26/hamoraon-hagabeon-hasangapon/)

Perkawinan bagi kebanyakan suku bangsa di Indonesia, khususnya Batak (Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Mandailing) Melayu, Minang, Jawa, Betawi, Sunda, Aceh, dan sebagainya pada zaman dahulu dan bahkan sampai dewasa ini dianggap merupakan tingkat kedewasaan bagi masyarakatnya dan bukan ditentukan oleh usianya. Alasan idealnya karena pada saat itu seseorang sudah mandiri dan bertanggungjawab memenuhi nafkah pasangannnya serta siap meneruskan generasi dan nafkahi anak-anaknya kelak.Namun pada kenyataannya tidak semua berada dalam kondisi seperti ini. Oleh karena itu pandangan kultur perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya sakral dan hanya dapat dilakukan setelah wanita dan pria mengikatkan diri melalui prosesi adat dan dalam suatu ikatan perkawinan.

Perkawinan pada masyarakat Batak Toba pada hakekatnya adalah sakral, dikatakan sakral karena pemahaman adat Batak bermakna pengorbanan bagi parboru (pihak pengantin


(17)

perempuan) kerena memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuannya kepada orang lain yakni pihak paranak (pihak pengantin pria), yang nantinya pihak pria harus juga menghargainya dengan mengorbankan atau mempersembahkan satu nyawa juga yakni dengan menyembelih seekor hewan (sapi atau kerbau) yang kemudian menjadi santapan dalam pesta perkawinan

Masyarakat Batak Toba yang secara tradisional bermukim di wilayah propinsi Sumatera Utara merupakan masyarakat yang patrilineal, dimana garis keturunan ditelusuri lewat ikatan yang disebut marga.Keseluruhan marga yang ada saling berhubungan, dan menyakini bahwa mereka berasal dari satu keturunan. Hubungan sosial marga diatur dalam dalihan na tolu (harfiah: “ tiga tungku”), yakni sebuah struktur kemasyarakatan yang dibangun berdasarkan tiga pilar: hula-hula ( pihak pemberi istri), boru (pihak pemberi istri), dan dongan sabutuha (saudara seibu). Dalam setiap upacara adat dapat dilihat bagaimana peran serta hubungan relasional dari kegiatan pihak tersebut terhadap individu atau keluarga yang mengadakan upacara (suhut). Dalam tradisi perkawinan, masyarakat Batak Toba menganut konsep bahwa sebuah ikatan perkawinan merupakan penyatuan dua set dari unsur dalihan na tolu dari dua keluarga luas individu yang akan menikah (Siahaan, 1982:18)

Perkawinan pada masyarakat Batak Toba dapat terjadi seperti yang dengan jalan martandang (Pacaran) lebih dahulu sampai dengan peresmian perkawinan dengan acara adat.Hal seperti ini akan dapat berjalan lancar apabila setiap masalah dapat diselesaikan dengan baik. Kadang-kadang ada masalah yang tidak dapat diselesaikan kedua belah pihak yaitu pihak paranak dan pihak parboru.Misalnya, sepasang remaja sudah saling mencintai, tetapi orangtua mereka tidak setuju atas calon tersebut.Kedua remaja sudah berusaha mencari jalan keluar dengan jalan menghubungi keluarga untuk membujuk orangtua tetap tidak menyetujui si calon.


(18)

Ada pula masalah yang tidak dapat diatasi misalnya tidak tercapai kata sepakat berapa besar sinamot (mahar) dari pihak paranak kepada pihak parboru dan sebaliknya.Dahulu sinamot ini dibuat menjadi dalih untuk memisah kedua remaja dengan jalan meminta sinamot atau ulos-ulos sangat tinggi.Boleh juga pemisahan itu terjadi kerena salah satu dari kedua belah pihak tidak mampu membiayai upacara peresmian perkawinan.

Apabila sepasang remaja itu sudah sangat saling mencintai maka pada mereka berdualah apa dan bagaimana jalan yang ditempuh untuk menegakkan perkawinan mereka. Bagi yang putus asa kadang-kadang sepasang remaja itu mengambil jalan sesat dan bagi yang sadar masih menempuh cara lain mewujudkan perkawinan dengan kawin lari yang disebut mangalua.

Perkawinan mangalua disebabkan karena tidak adanya kata sepakat antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan mengenai jumlah maskawin yang akan diberikan pihak pengantin laki-laki, dimana pihak pengantin laki-laki adanya kerena tidak sanggup memberikan jumlah mas kawin yang diminta oleh pihak pengantin perempuan. Perkawinan mangalua ini juga dapat terjadi karena salah seorang atau kedua orangtua dan pengantin laki-laki atau pengantin perempuan tidak menyetujui perkawinan mereka.

Mangalua atau kawin lari pada waktu belakangan ini merupakan suatu peristiwa yang banyak dilakukan oleh muda-mudi Batak.Pada jaman dahulu kala, peristiwa seperti ini adalah sangat jarang dilakukan.Tetapi, pada saat ini kawin lari sudah menjadi hal biasa yang sering dilakukan masyarakat. Masyarakat yang melakukan kawin lari adalah orang yang melanggar adat Batak dan setiap orang yang melanggar adat akan diberikan hukum. Kawin lari dilakukan karena kedua belah pihak keluarga tidak ada kesesuaian sehingga upaya terakhir yang dilakukan adalah kawin lari.Jika kawin lari terjadi, maka sistem kekeluargaan tidak terjalin dengan seluruh


(19)

keluarga kedua belah pihak. Kawin lari dapat diselesaikan apabila pihak yang melarikan anak gadis tersebut yaitu pihak laki-laki pada suatu saat akan melakukan suatu upacara adat sesuai dengan hukum adat yang ditetapkan.

Faktor-faktor terjadinya kawin lari.

1. Tidak ada persetujuan dari kedua belah pihak yaitu orangtua 2. Perbedaan agama dan keyakinan

3. Perbedaan suku

4. Adanya pemahaman yang kurang akan artinya adat.

Tetapi hingga saat ini peristiwa kawin lari kebanyakan dikarenakan kesalahan orangtua.Hal penting yang dilakukan pada saat mangalua adalah.

1. Bila seorang melarikan seorang anak gadis, maka gadis tersebut harus dititipkan di tempat pihak ketiga. Di artikan dalam hal ini, pada saat peristiwa itu terjadi si gadis harus suci. Itulah sebabnya biasanya si gadis dititipkan ditempat petugas agama atau gereja dan bila ini tidak ada harus ditempatkan yang bukan ditempati oleh si laki-laki.

2. Petugas agama bersama pihak keluarga pria berusaha mengesahkan kedua insan ini menjadi suami istri yang sah menurut agama.

3. Melakukan pesta keluarga tanpa ada pihak wanita

4. Setelah pesta keluarga tanpa ada pihak wanita, barulah diadakan upacara Mangadat

Suku Batak khusus sub Batak Toba tersebar ke berbagai daerah sebagai perantau termasuk ke provinsi Sumatera Utara termasuk di Kecamatan Medan Amplas, hal ini ditandai dengan adanya masyarakat Batak Toba yang berkerja sebagai Parengge-rengge (pedagang), supir angkutan kota, pegawai negeri, pegawai swasta, dan lain-lain.


(20)

Sebagai masyarakat perantau tentunya masyarakat Batak Toba juga harus memenuhi keperluan kehidupan kekerabatan dan meneruskan keturunan. Salah satu cara untuk mewujudkan hal itu adalah melalui pranata perkawinan.Upacara perkawinan sampai saat ini masih tetap dilakukan oleh masyarakat Batak Toba, namun perkembangan zaman mengakibatkan pergeseran pandangan masyarakat akan nilai-nilai upacara perkawinan tersebut khususnya pesan yang disampaikan. Timbulnya perubahan tata cara perkawinan upacara adat perkawinan di setiap daerah termasuk daerah perantauan. Apalagi ditambah dengan tingginya tingkat pendidikan yang menyebabkan meluasnya tingkat kognitif masyarakat, serta faktor agama dan status sosial yang banyak berperan dalam penentuan afeksi mereka terhadap upacara adat perkawinan. Namun pada dasarnya pelaksanaan adat perkawinan itu tetap sama yaitu berdasarkan adat dalihan na tolu (Pasaribu, 2002:74-79)

Di perantauan khususnya masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Amplas Kelurahan Timbang Deli telah banyak melakukan pengurangan terhadap upacara perkawinan sehingga lebih ringkas, seperti pengurangan tahap-tahap tata cara upacara perkawinan, sehingga tahap upacara sebelum sesudah perkawinan disatukan dengan upacara pelaksanaan perkawinan.

Penggunaan benda adat seperti ulos menjadi pelengkap dalam melaksanakan upacara perkawinan masih tetap dilakukan, seseorang yang sudah dituakan dan benar-benar mengerti tentang adat dalam masyarakat Batak Toba sangat dihormati.Tokoh adat sangat diperlukan dan berperan penting dalam upacara-upacara adat Batak Toba termaksuk upacara perkawinan Batak Toba.

Penelitian ini dilakukan karena mengingat suku Batak Toba merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia yang banyak aturan dalam prosesi acara pernikahan di mana setiap


(21)

pasangan yang akan melangsungkan pernikahan harus memenuhi semua aturan adat. Semua aturan atau syarat ini bermakna yang baik untuk pembinaan kehidupan rumah tangga dan kehidupan bermasyarakat sehingga perlu dilestarikan dan dipahami. Sehingga peneliti tertarik untuk meneliti apa penyebab kawin lari.

1.2. Perumusan Masalah

Rumusan masalah adalah penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu menarik, penting, dan perlu untuk diteliti.Berdasarkan uraian diatas dilihat dari latar belakang yang sudah di uraikan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “ Apakah yang menjadi latar belakang bagi pasangan Suami-Istri melakukan perkawinan tanpa adat” menurut masyarakat Batak Toba di Kecamatan Medan Amplas.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kehidupan pasangan yang menikah tanpa adat dalam kehidupan sosialisasinya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan, memperluas pengetahuan kepada peneliti dan juga kepada pembaca mengenai perbandingan nilai sosial budaya perkawinan


(22)

Batak Toba antar lintas generasi, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan teori ilmu-ilmu sosial khususnya ilmu Sosiologi. Selain itu diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak memerlukannya.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat menambah referensi hasil penelitian dan dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi masyarakat tentang bagaimana komparatif nilai sosial tersebut. Atau penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat terkhusus masyarakat Batak Toba pada generasi muda tentang tata cara adat terkhusus dalam perkawinan, serta dapat menggambarkan pola penerapan upacara perkawinan pada suku Batak Toba yang ada di masyarakat.

1.5 Defenisi Konsep

1. Stratifikasi sosial merupakan Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat).

2. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang telah diciptakan oleh manusia yang mencakup seluruh sendi-sendi hidup dalam kehidupan manusia, dimana semuanya itu diciptakan dalam jangka waktu yang sangat lama.

3. Perkawinan adalah suatu bentuk ikatan antara dua orang yang berlainan jenis kelamin, atau antara seorang pria dan seorang wanita di mana mereka mengikatkan diri untuk bersatu dalam kehidupan bersama.

4. perkawinanmangalua adalah perkawinan dimana si gadis pergi diam-diam meninggalkan rumah orang tuanya bersama pemuda pilihannya.


(23)

5. Adat istiadat merupakan suatu peraturan, pranata, norma, hukum, kebiasaan- kebiasaan masyarakat yang telah diterima oleh masyarakat yang bersangkutan dan telah

dilaksanakan dalam jangka waktu yang panjang, juga tidak memiliki sanksi yang jelas.

6. Pernikahan merupakan suatu proses dimana terdapat pertemuan anatara laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa untuk bersatu membentuk sebuah rumah tangga dan diikat pernikahan itu sendiri.


(24)

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pelapisan Sosial

Pelapisan sosial di sini dianggap sebagai kedudukan yang berbeda-beda, mengenai pribadi-pribadi manusia yang merangkaikan suatu sistem sosial yang ada dan perlakuannya sebagai hubungan orang atasan (Superior) dan orang bawahan (inferior) satu sama lain dalam hal-hal tertentu yang oleh masyarakat dianggap penting. Kedudukan yang bermacam-macam seperti itu dianggap suatu fenomena sistem-sistem sosial yang benar-benar mendasar dan apa yang merupakan hal-hal di mana kedudukan adalah penting. Kedudukan merupakan salah satu di antara banyak dasar yang memungkinkan di dalam pribadi-pribadi dapat dibeda-bedakan. Hal itu hanya dalam perbedaan-perbedaan yang sepanjang diberlakukan sebagai keterlibatan atau hubungan dengan jenis-jenis tertentu superioritas atau inferioritas sosial yang relevan dengan teori pelapisan (Talcot : 1985 :70 )

Stratifikasi sosial (social Stratification) merupakan suatu sistem di mana manusia terbagi dalam lapisan-lapisan sesuai dengan kekuasaan, kepemilikan, dan prestise relatif mereka. Stratifikasi sosial merupakan cara untuk menggolongkan sejumlah besar kelompok manusia ke dalam suatu hirarki sesuai dengan hak-hak istimewa relatif mereka. (Henslin 2007:178)

Stratifikasi dapat terjadi dengan sendirinya sebagai bagian dari proses pertumbuhan masyarakat, juga dapat dibentuk untuk mencapai tujuan bersama. Faktor yang menyebabkan stratifikasi sosial dapat tumbuh dengan sendirinya adalah kepandaian, usia, sistem kekerabatan dan harta dalam batasan-batasan tertentu. Stratifikasi sosial memiliki dua sifat yaitu stratifikasi terbuka dan stratifikasi tertutup.


(25)

Pada startifikasi terbuka kemungkinan terjadinya mobilitas sosial cukup besar, sedangkan pada stratifikasi tertutup kemungkinan terjadinya mobilitas sosial sangat kecil.Menurut Davis dan Moore bahwa posisi yang tinggi di dalam stratifikasi sosial dianggap sebagai posisi yang kurang menyenangkan tetapi sangat penting untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat dan membutuhkan bakat dan kemampuan yang besar. Oleh karena itu masyarakat menambahkan di dalam posisi itu ganjaran-ganjaran atau reward sehingga orang-orang yang bekerja di dalam posisi itu dapat melakukan pekerjaannya dengan rajin. Sebaliknya, posisi yang lebih rendah lebih menyenangkan tetapi kurang penting dan tidak membutuhkan bakat dan kemampuan khusus untuk melaksanakannya. Masyarakat juga tidak terlalu menganggap penting bahwa orang-orang menduduki posisi-posisi itu harus melaksanakan tugasnya (Bernard 2007: 51)

Secara umum, status seseorang dalam masyarakat terdidiri dari tiga bentuk, yaitu

1. Ascribed Status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut dapat diperoleh karena kelahiran, misalnya kedudukan seorang anak bangsawan adalah bangsawan juga.

2. Achieved Status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja, kedudukan tersebut tidak diperoleh atas dasar kelahiran, tetapi bersifat terbuka bagi siapa saja, tergantung dari kemampuannya masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan, misalnya setiap orang dapat menjadi hakim asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu.

3. Assigned Status, yaitu kedudukan yang diberikan berhubungan dengan achieved


(26)

yang lebih tinggi kepada seseorang yang berprestasi di dalam instansi pemerintahan akan dinaikkan pangkatnya.

Menurut Soerdjono Soekanto :

“Status sosial diartikan sebagai suatu kedudukan yang diatur secara sosial dan menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam struktur sosial masyarakat, yang disertai pula dengan seperangkat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi pula oleh si pembawa status”.

Bentuk–bentuk penghargaan masyarakat yang mempengaruhi tingkat status sosial seseorang adalah pekerjaan yang dimilikinya, pendapatan, pendidikan, keturunan, kepangkatan, kekayaan, bentuk rumah dan lokasi rumah.Inilah yang menyebabkan terjadinya lapisan-lapisan ataupun stratifikasi di dalam masyarakat dalam arti sosial. Menurut Soerjono Soekanto :

“Ada beberapa ukuran-ukuran yang dapat diperlukan untuk menggolong-golongkan masyarakat, anggota-anggotanya ke dalam lapisan-lapisan” ,yaitu :

a. Ukuran Kekayaan (materil)

b. Ukuran kekuasaan

c. Ukuran kehormatan

d. Ukuran ilmu pengetahuan.

Untuk lebih jelasnya maka berikut ini akan diuraikan yang mempengaruhi pembentukan tingkatan sosial.


(27)

1. Pendidikan

Salah satu ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongankan masyarakat kedalam lapisan-lapisan sosial atau status sosial ialah ukuran ilmu pengetahuan.Ilmu pengetahuan diperoleh dengan pendidikan formal yang diperoleh di sekolah-sekolah. Bila anggota masyarakat memandang pendidikan sebagai suatu yang berharga yang dapat meningkatkan status sosial, maka secara sadar akan berusaha agar hal tersebut dapat dicapai.

Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh manusia, baik melalui lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah maupun di luar sekolah. Melalui pendidikan yang diperoleh seseorang secara tidak langsung akan mengembangkan kepribadiannya dan kemampuannya untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi. Berbeda dengan orang-orang yang belum pernah mengecap pendidikan. Dengan demikian tingkat pendidikan yang dialami, mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dengan seseorang yang berpendidikan rendah, menegah atau yang sama sekali tidak berpendidikan.

Demikian juga halnya dengan status sosial, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula penghargaan masyarakat kepadanya. Seseorang yang berpendidikan tinggi misalnya sarjana, maka penghargaan yang diberikan oleh masyarakat kepadanya akan berbeda dengan seorang yang hanya berpendidikan SMA.

Pendidikan berlangsung seumur hidup serta dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah dan juga masyarakat.Pendidikan dalam keluarga memberikan dasar-dasar bagi pendidikan selanjutnya.Pendidikan di sekolah dengan segala peraturannya, merupakan pendidikan yang bersifat formal atau resmi, sedangkan pendidikan di dalam masyarakat merupakan pendidikan


(28)

non formal.Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa pendidikan itu tidak hanya terletak pada satu pusat saja, tetapi adanya kerjasama antara ketiga unsur keluarga, sekolah dan masyarakat.

2. Pekerjaan

Jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang sangat menentukan status sosial dalam masyarakat.Artinya dengan melihat jenis pekerjaan seseorang, dapat dilihat tingkat status sosial di dalam masyarakat. Berdasarkan jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang akan dapat mempengaruhi penghargaan masyarakat kepadanya. Semakin tinggi status sosial seseorang berdasarkan jenis pekerjaan yang dimilikinya, maka semakin besar penghargaan masyarakat kepadanya, demikian juga sebaliknya.

Tujuan dari pekerjaan yang dilakukan adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sesuai dengan nilai sosial yang berlaku. Maksudnya adalah jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan haruslah sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan norma hukum yang ada dalam masyarakat. Pekerjaan tersebut haruslah menurut aturan-aturan yang berlaku, bukan pekerjaan yang merugikan orang lain, namun haruslah mengandung nilai keuntungan baik bagi diri pribadi, organisasi tempat bekerja maupun bagi masyarakat.

Dalam pemilihan pekerjaan pun perlu diperhatikan bahwa pekerjaan bukan hanya sebagai sarana saja, melainkan juga sangat berguna. Bukan sebagai kewajiban melainkan sebagai hak setiap manusia, seperti yang dirumuskan berikut ini:

1. Pekerjaan sebagai sarana memproduksi barang dan jasa bagi masyarakat dan perorangan.

2. Pekerjaan sebagai sarana pendapatan bagi masyarakat dan perorangan sebagai imbalan atas jasa pengorbanan energinya.


(29)

3. Pekerjaan sebagai sumber memperoleh status sosial, harga diri dan penghargaan masyarakat sebagai imbalan atas prestasinya.

4. Pekerjaan yang mempunyai sumber penghasilan yang layak dan sumber martabatnya, sebagai kewajiban dan haknya. Tingkatan pekerjaan memang terdapat pada suatu masyarakat. Tingkatan jenis pekerjaan tersebut dipengaruhi oleh prestise dari anggota masyarakat tersebut.

Dari penjelasan-penjelasan mengenai status di atas maka dapat dikatakan bahwa status seseorang dalam masyarakat ditentukan oleh faktor-faktor aspek kehidupan yang ada dalam masyarakat (achieved status) dalam masyarakat yang dinyatakan dengan status sosial ekonomi.Utuk melihat apakah seseorang memiliki status sosial ekonomi yang tinggi, sedang dan rendah di dalam suatu masyarakat didasarkan pada banyak tidaknya bentuk penghargaan masyarakat padanya. Artinya semakin tinggi tingkat status sosial ekonomi seseorang maka semakin banyak bentuk penghargaan masyarakat yang diterimanya dan sebaliknya semakin rendah tingkat status ekonomi seseorang maka semakin sedikit bentuk penghargaan masyarakat yang diterimanya.(Jhon 1994:147)

Bentuk-bentuk penghargaan masyarakat yang mempengaruhi tingkat status sosial seseorang adalah pekerjaan yang dimilikinya, pendapatan, pendidikan, keturunan, kepangkatan, kekayaan, bentuk rumah dan lokasi rumah.Faktor-faktor inilah yang menyebabkan terjadinya lapisan-lapisan ataupun stratifikasi di dalam masyakat dalam arti sosial maupun ekonomi.


(30)

2.2 Manusia dan Kebudayaan

Antara manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat, manusia menjadi manusia merupakan kebudayaan.Hampir semua tindakan manusia itu merupakan kebudayaan.Hanya tindakan yang sifatnya naluriah saja yang bukan merupakan kebudayaan, tetapi tindakan demikian presentasinya sangat kecil. Tindakan yang berupa kebuayaan tersebut dibiasakan dengan cara belajar (Jacobus,2006:20)

Selanjutnya hubungan antara manusia dengan kebudayaan juga dapat dilihat dari kedudukan manusia tersebut terhadap kebudayaan.Manusia mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan yaitu sebagai 1) penganut kebudayaan, 2) pembawa kebudayaan, 3) manipulator kebudayaan, 4) pencipta kebudayaan.Pembentukan kebudayaan dikarenakan manusia diharapkan pada persoalan yang diminta pemecahan dan penyelesaian.Kebudayaan yang digunakan manusia dalam menyelesaikan masalah-masalahnya bias kita sebut sebagai way of life, yang digunakan individu sebagai pedoman dalam bertingkah laku.Berarti kebudayaan adalah segala sesuatu yang telah ada, telah diterima, dilaksanakan oleh semua orang dalam waktu yang cukup lama dan sudah menjadi kebiasaan. Berarti Adat adalah segala sesuatu yang telah ada , diterima, dilaksanakan oleh semua orang dalam waktu yang cukup lama dan sudah menjadi kebiasaan (Bambang,2000:44)

Demikian halnya dengan masyarakat Batak Toba, juga tidak pernah berhasil dijelaskan siapa peletak dasar adat Batak Toba. Menurut silsila ( tarombo) Batak, bahwa manusia pertama di bumi ini (tanah Batak tentunya) adalah si Raja Batak yang diciptakan oleh debata mulajadina

bolon bersama dengan seorang perempuan di puncak Pusuk Buhit, kemudian si Raja Batak


(31)

mereka inilah kemudian berkembang dan terbentuklah komunitas masyarakat Batak Toba yang pertama. Dari komunitas Batak yang pertama inilah mulai diletakkan dasar budaya Batak

(Vergouwen 1986:7)

Pembentukan kebudayaan dikarenakan manusia dihadapkan pada persoalan yang meminta pemecahan dan penyelesaian. Manusia harus mampu memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya sehingga manusia melakukan berbagai cara. Hal yang dilakukan oleh manusia inilah kebudayaan.Kebudayaan yang digunakan manusia dalam menyelesaikan masalah-masalahnya bias kita sebut sebagai way of life, yang digunakan individu sebagai pedoman dalam bertingkah laku.

2.3 Perubahan dan Kebudayaan

Perubahan sosial merupakan ciri khas semua masyarakat dan semua kebudayaan, baik masyarakat tradisonal maupun masyarakat modern.Dalam masyarakat modern perubahan itu sangat cepat, sedang dalam masyarakat tradisional sangat lambat.Perubahan sosial dapat menimbulkan problem sosial. Problem sosial dapat saja identik secara materil dalam masa dan kebudayaan yang berbeda , tetapi problem itu selalu erat bergantung pada kenyataan sosio-kul-tural yang khusus.

Dengan kata lain ada relasi kecenderungan-kecenderungan dan dinamisme sosio kultural dengan problem sosial masyarakat modern. Problem sosial erat hubungannya dengan kondisi sosial, sebab problem sosial ditimbulkan oleh interaksi dan interelasi dua manusia atau lebih. (Simandjuntak 1980:7)

Suatu masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkannya, tidak mungkin berhenti berproses, kecuali apabila masyarakat dan kebudayaan tersebut telah mati.Setiap masyarakat dan


(32)

kebudayaan, pasti mengalami perubahan.Mungkin saja perubahan yang terjadi tidak begitu tampak, karena manusia kurang menyadarinya atau merasa dirinya kurang terlibat. Di Indonesia sering dikatakan, bahwa masyarakat desa sama sekali tidak berubah, atau suku-suku bangsa yang terasing, sama sekali masih murni.

Ini sama sekali tidak benar; mungkin pandangan tersebut didasarkan pada sudut pandangan yang sangat sempit. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, hampir-hampir tidak memungkinkan manusia dan kelompoknya untuk menutupi diri terhadap pengaruh dari luar. Memang perlu diakui, di satu pihak pengaruh tersebut mungkin masuk dengan mudah, namun di pihak lain, ada pula pengaruh yang lebih sukar masuknya (Soekanto 1988:73)

Pada dasarnya perubahan sosial dan kebudayaan tidak dapat berdiri sendiri, keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Perubahan sosial dan perubahan kebudayaan berbeda. Dalam perubahan sosial terjadi perubahan struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, antara lain sistem status, hubungan-hubungan di dalam keluarga, sistem politik dan kekuasaan, serta persebaran penduduk. Sedangkan yang dimaksud dengan perubahan kebudayaan ialah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimilki bersama oleh warga atau sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan , antara lain aturan-aturan, norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan, juga teknologi, selera, rasa keindahan (kesenian) dan bahasa.Walaupun perubahan sosial dan perubahan sosial dan perubahan kebudayaan itu berbeda, pembahasan kedua perubahan itu tak akan mencapai suatu pengertian yang benar tanpa mengaitkan keduanya.

Dengan munculnya pola-pola baru berarti lenyaplah pola-pola lama.Lenyapnya pola-pola kelakuan tradisional dan munculnya pola-pola baru menimbulkan ketegangan-ketegangan.Ada


(33)

kemungkinan pola-pola lama secara lambat menghilang dan pola-pola baru muncul secara lambat, proses desintegrasi lambat. Perubahan adalah proses yang berkesinambungan dan memilki arah yang jelas yang dapat terjadi melalui adaptasi, penyesuaian, akomodasi, asimilasi, dan lain-lain, sehingga terjadi proses perubahan antara dua atau lebih objek dan sistem sosial budaya. (Piotr, 2008:34).

Perubahan tata cara perkawinan ini bukan hanya terjadi pada masyarakat Batak Toba saja, karena dengan berjalannya waktu upacara perkawinan adat sekarang ini juga mengalami perubahan yang mana pelaksanaannya upacara perkawinannya sudah tidak bertele-tele lagi dan tidak mengeluarkan banyak biaya lagi karena sudah lebih praktis. Perubahan ini juga karena adanya teknologi dan ilmu pengetahuan yang semakin canggih yang mempermudah terjadinya tukar menukar kebudayaan baik antara suku bangsa maupun dengan kubudayaan asing.

2.4 Masyarakat Batak Toba

1. Masyarakat

Menurut Koentjoroningrat dalam Muhammad Basrowi dan Soenyono (2004:46), istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab “syaraka” yang berarti ikut serta, berpartisipasi, atau “musyaraka” berarti “ saling bergaul”. Di dalam bahasa Inggris dipakai istilah “society” yang sebelumnya berasal dari kata latin “socious”, berarti “kawan”. Pendapat sejenis juga terdapat dalam buku karangan Abdul Syani, dijelaskan bahwa perkataan masyarakat berasal dari kata musyarak (arab), yang artinya bersama-sama, kemudian berubah menjadi masyarakat, yang artinya berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling mempengaruhi.


(34)

Sementara itu menurut John Lewis Gillin dan John Philip Gillin mengatakan bahwa masyarakat itu adalah kelompok manusia yang terbesar yang mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama. Masyarakat itu meliputi pengelompokan-pengelompokan yang lebih kecil.Pengertian yang dikemukakan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat itu meliputi kelompok manusia yang kecil sampai dengan kelompok manusia dalam suatu masyarakat yang sangat besar.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terdiri dari kelompok yang kecil sampai kelompok yang besar yang berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling bergaul dan saling mempengaruhi. Kelompok manusia tersebut mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama.

2. Masyarakat Batak

Ada beberapa dugaan tentang asal orang Batak Toba. Harahap dalam Bungaran Antonius (2006:25) yang menyatakan ada dua asal orang Batak, yaitu 1) dari Utara (tidak dijelaskan yang mana), dari sana pindah ke Filipina, dari Filipina pindah ke Selatan, yaitu Sulawesi bagian selatan, menurunkan orang Bugis dan Makassar. Kemudian bersama angin timur berlayar ke barat bagian Lampung, lalu melalui pantai barat Sumatera bagian di Barus. Dari sana naik ke pulau Samosir di Danau Toba. 2) berasal dari India (Hindia muka) turun ke Burma, kemudian turun ke tanah genting kera di utara Malaysia, terus berlayar ke barat tiba di Sumatera. Kemudian melalui Tanjung Balai atau Batu Bara atau Pangkalan Berandan, Kuala Simpang naik ke Danau Toba.

Untuk sementara Harahap mereservasi dugaan di atas sebagai pegangan.Namun tetap bersikap bahwa faktanya orang Batak sudah ada di tanah Batak dan mereka juga beratus tahun


(35)

tinggal di wilayah itu. Tentang dari mana asal, bagaimana sampai di sana, dianggap suatu spekulasi yang mungkin besar, tapi mungkin juga salah.

Menurut Antonius (2006:18) suku Batak terbagi dalam berbagai sub suku yang didasarkan atas pemakaian bahasa Batak yang mempunyai perbedaan di antara masing-masing sub suku, yaitu 1) Batak Karo di bagian utara Danau Toba di tanah Batak pusat dan di utara Padang Lawas, 4) Batak Simalungun di timur Danau Toba, 5) Batak Angkola/ Mandailing di Angkola, Sipirok, Padang Lawas Tengah dan Sibolangit bagian selatan.

Sianipar (1991) menyatakan bahwa masyarakat Batak Toba adalah masyarakat marga, sehingga dalam kegiatannnya tidak dapat meninggalkan keterlibatan marga. Dalam masyarakat Batak norm umum dipakai untuk keperluan umum, namun keperluan adat masyarakat Batak menggunakan norma dan adat istiadat orang Batak. Dalam masyarakat Batak terdapat marga yang diikuti susunan silsilah orang Batak yang disebut tarombo (silsilah).Hubungan sosial kemasyarakatan orang Batak tidak dapat berjalan tanpa marga dan tarombo (silsilah).Marga dan tarombo(silsilah) memudahkan hubungan sosial antara orang Batak dimanapun berada.

3. Masyarakat Batak Toba

Masyarakat Batak Toba sebagai salah satu suku bangsa di bumi Indonesia memiliki tatanan sosial kemasyarakatan yang disebut dalihan na tolu. Pengaruh dan cengkeramannya sudah sedemikian mendalam sehingga tidak salah menyebutkan orang Batak sebagai masyarakat dalihan na tolu. dalihan na tolu sudah menjadi warisan orang Batak.

Dalihan Na Tolu artinya tungku berkaki tiga, ketiga kaki tungku melambangkan pengakuan atas adanya pembagian masyarakat Batak dalam tiga kelompok utama.Pembagian inilah yang menjadi struktur kemasyarakatan bagi orang-orang Batak Toba.Ketiga kelompok


(36)

tersebut terdiri dari dongan sabutuha, yaitu orang-orang yang berasal dari satu marga. Misalnya Situmeang, Lumban Tobing, Sinaga, Situmorang, Simamora, dan sebagainya. Karena pernikahan diantara sesama marga dilarang dan dianggap tabu (incest), maka pernikahan antar marga merupakan perilaku yang diterima atau kelaziman.Sebagai akibat pernikahan tersebut, maka timbullah secara bersamaan kelompok hula-hula, yaitu marga asal istri dan borumarga asal suami.

Tanpa pernikahan antar marga maka hula-hula dan boru tidak akan timbul. Dengan timbulnya kelompok tersebut, terciptalah struktur sosial masyarakat yang baku, dimana ketiga kelompok tersebut bergerak, berhubungan selaras, seimbang dan teguh dalam suatu tatanan masyarakat. Dengan kata lain ketiga kelompok tersebut selalu berinteraksi antar kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Antara pribadi dari kelompok yang satu dengan kelompok lainnya dan juga diantara pribadi dengan pribadi di dalam kelompok sendiri.Selain struktur sosial, pengelompokan tersebut juga menetapkan fungsi sosial dari setiap kelompok. Dengan demikian akan ditemukan tiga fungsi sosial, yaitu fungsi sosial sebagai boru. Ketiga fungsi tersebut terus berinter relasi dan berinteraksi kedalam dan keluar kelompok sehingga dalihan na tolu tersebut dikategorikan sebagai sistem yang sempurna.(Rajamarpodan, 1992:127)

Dalihan Na Tolu tidak hanya sekedar menetapkan struktur sosial dan fungsi sosial masyarakat Batak tetapi juga menetapkan sikap dan perilaku yang patut ditampilkan oleh setiap kelompok.Manat atau berhati-hati merupakan sikap terhadap dongan sabutuha.Somba atau hormat merupakan sikap yang patut ditampilkan terhadap hula-hula dan elek atau lemah lembut merupakan sikap yang patut ditampilkan terhadap boru.Penjabaran dan pelaksanaan ketiga sikap tersebut telah dituangkan partuturan atau sistem kekerabatan orang Batak.


(37)

Partuturan telah menggariskan identifikasi seseorang berdasarkan fungsinya serta menetapkan kata panggilan kekerabatan yang akan dipakai. Kemudian sistem kekerabatan tersebut juga menetapkan jenjang dan tata sopan santun didalam kekerabatan dalam masyarakat Batak. Demikianlah garis besar asal mula timbulnya inspirasi pembentukan tatanan sosial masyarakat Batak Toba yang bertumbu diatas tiga kelompok dalihan na tolu. Tua-tua generasi pendahulu telah menjadikan dalihan na tolu.Tersebut sebagai kerangka dasar acuan dan pijakan tetanan sosial bagi keturunannya.Mereka telah berhasil melakukan sebuah tatanan sosial yang diterima dan dipedomani dengan sadar oleh masyarakat Batak Toba dari generasi ke generasi hingga sekarang. Hal itu membuktikan bahwa tatanan sosial dalihan na tolu masih tetap dianggap layak dan berguna untuk diberlakukan atau relevan sebagai panduan dan pedoman pergaulan hidup Masyarakat Batak. Adat untuk perkawinan, kelahiran dan kematian

4. Masyarakat Batak di Perantauan

Masyarakat Batak pada zaman penjajahan yang paling banyak pergi merantau di kalangan orang Batak ke daerah-daerah lain di Indonesia adalah Batak Mandailing.Hal ini dapat dimengerti karena pendidikan sekolah membuka yang membuka mata penduduk lebih dulu tertanam di Tapanuli Selatan daripada di Tapanuli Utara.Sesudah zaman penjajahan mulailah mengalir para petani Batak Toba ke daerah perkebunan di dataran rendah Sumatera Utara. Mereka bekerja sama dengan orang Jawa bekas buruh perkebunan dan membuka areal pertanian. Para petani asal Toba terdapat juga di Aceh Tenggara. Selain sebagai pegawai, banyak juga pengusaha kecil dan buruh swasta, seperti supir angutan kota, pedagang kaki lima (parengge-rengge) ikut merantau ke kota-kota Sumatera dan Jawa (Siahaan, 1982:41-44)

Pada umumnya masyarakat Batak Toba di perantauan selalu mendirikan perhimpunan marga, khususnya untuk keperluan adat. Urgensi dari perhimpunan marga ini adalah memelihara


(38)

nilai-nilai yang terkandung dalam nalihan na tolu (tungku nan tiga). Karena urusan marga yang terpenting ialah upacara perkawinan.Marga di sini seolah-olah masih turunan satu ayah karena sebagai turunan satu leluhur tidak boleh mengawini. Sesuai dengan prinsip itulah, apabila timbul keretakan di dalam rumah tangga, yang diresmikan perkawinannya menurut adat nalihan na tolu (tungku nan tiga), maka patut dicampuri oleh para pengetua adat dalam marga itu untuk mencegah sedapat mungkin perceraian.

Upacara perkawinan yang diadakan oleh masyarakat Batak Toba di perantauan adalah berdasarkan prinsip dalihan na tolu (tungku nan tiga), sama seperti di bona pasogit (kampung halaman), yaitu seluruh masyarakat Batak Toba adalah bagaikan keluarga besar, ada dongantubu (teman satu marga), ada boru (penerima gadis) dan ada hula-hula (pemberi gadis). Dalam pelaksanaan upacara perkawinan tersebut ada perbedaan-perbedaan kecil timbul di berbagai tempat di tanah Batak, sedemikian pula di perantauan, akan tetapi prinsipnya tetap sama.

2.5 Uraian Adat Dalam Masyarakat Batak Toba

Orang Batak secara Umum dibagi berdasarkan 6 bagian sub suku, yaitu Karo, Simalungun, Toba, Pakpak Dairi dan Mandailing (Koentjaraningrat, 1982: 94-95). Keenam subsuku ini mendiami area antara perbatasan Sumatera Utara – Aceh, Sumatera Utara – Riau dan Sumatera Utara – Sumatera Barat. Perbatasan antara Tanah Deli, Langkat, Labuhan Batu dan Asahan.Pembagian ke enam subsuku ini, dan saya hanya membahas pada subsuku Batak Toba saja.

Pembagian subsuku Batak Toba menurut Koentjaraningrat sebetulnya bisa dibagi menjadi bagian – bagian yang lebih spesifik. Pada masyarakat Batak Toba masih ada pembagian yang sering disebut dengan “ Orang Samosir” yang berasal dari pulau Samosir, ‘Orang Batak’


(39)

yang mendiami perbatasan Parapat – Simalungun sampai perbatasan Balige – Siborong – borong, kemudian dikenal lagi dengan”Orang Humbang” yang mendiami wilayah Siborong – borong – Dolok Sanggul, lalu yang terakhir “Orang Silindung” yang mendiami wilayah lembah Rura Silindung mencakup Kecamatan Tarutung dan sekitarnya sampai perbatasan Pahae, dari sini muncul lagi yang disebut dengan ‘ Orang Pahae’ yang mendiami sekitar wilayah Luat Pahae. Masing – masing dari pembagian Orang Batak Toba tersebut diatas memiliki perbedaan dari segi gaya bahasa, sifat dan karakter dan bahkan sedikit perbedaan adat secara umum.

Pembagian tersebut dapat ditinjau dari marga – marga yang berasal dari pembagian daerah – daerah diatas. ‘Orang Toba’ dikenal dengan marga Sirait, Silalahi, Simangunsong, Pardede, dan lain – lain.Marga seperti Sihombing dan ‘anak – anaknya’ berasal dari Humbang.Dari Samosir umumnya marga – marga yang tergabung dalam induknya Parna yang terdiri dari 57 marga. Dari Silindung kita dapat tinjau Marga – marga seperti Tobing, Hutabarat, Panggabean dan Hutagalung. Marga – marga ini banyak menyebar sampai ke daerah Luat Pahae ditambah marga seperti Sitompul dan sebagian marga Siregar yang berasal dari Sipirok.

Orang hanya mengenal Sisingamagaraja yang istananya terdapat di Bakkara – Samosir sebagai ‘Si Raja Batak’. Hal ini belum tentu benar sebab masing – masing marga Orang Batak memiliki rajanya sendiri, dan mustahil Raja Sisingamangaraja menguasai seluruh wilayah raja – raja yang disebutkan diatas. Karena hal itu akan mengundang perlawanan dari raja – raja Batak yang lain, terutama mengenai pemerintahan, luas areal kekuasaan dan lain – lain. Namun, sampai saat ini memang belum ada referensi resmi yang dapat digunakan sebagai bahan acuan.


(40)

Inti yang utama dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak Toba ini adalah marga sesuai dengan garis keturunan ayah (patrilienal), selain itu juga status perkawinan.Marga ini tidak hanya sekedar berfungsi dalam adat, tapi lebih daripada itu, marga berkembang sebagai alat pemersatu terutama bagi orang Batak yang berada di perantauan.

Dalam diri orang Batak, adat diberlakukan terhadap dirinya melalui fase – fase, yakni mulai ia lahir, menikah dan meninggal dunia. Ini adalah prosesi adat yang paling mudah ditandai pada masyarakat Batak Toba.Dalam masyarakat Batak Toba umumnya berlaku sekitar sistem kekerabatan dan sistem religi, dan kedua sistem ini berpengaruh kepada sistem mata pencaharian, kesenian dan sistem teknologi :

1. Sistem Kekerabatan Dalam Masyarakat Batak Toba

Pertama sekali yang dilakukan Orang Batak Toba dalam menentukan sistem Kekerabatan dan peraturannya adalah dengan berdasarkan alur asal – usul marga. Hal ini mencakup induk marga dan pada posisi marga ke berapa dari anak – anak margaia berasal, hal ini adalah letak dasar tutur orang yang bersangkutan terhadap orang yang dijumpainya.

Asal – usul marga ini tidak bisa berpisah dari asal – usul orang Batak. Orang Batak dahulu (sebelum masuknya Kristen) percaya bahwa nenek moyang mereka berasal atau lahir sebagai keturunan langsung dari Debata Raja Mulajadi Na Bolon yaitu Si Raja Batak dengan istrinya Si Boru Deak Parujar yang konon mereka diserahi tugas untuk menciptakan bumi dengan segala isinya. Setelah selesai, kemudian mereka menuju satu desa bernama Sianjurmulamula yang terletak di lereng gunung Pusuk Bukit.Dari tempat inilah Orang Batak menyakini bermulanya seluruh marga Orang Batak dari keenam subsuku Batak yang telah disebutkan diatas.Walaupun pada saat ini kita mengenal keanekaragaman marga dalam seluruh


(41)

subsuku Batak, namun tetapi diyakini bahwa mereka semua berawal dari satu keturunan.Memang ada versi – versi yang beredar, namun semua versi – versi ini belum dapat dipastikan kebenarannya, sebab memang ada marga Orang Batak Toba yang juga ditemui sebagai marga pada masyarakat Batak Karo, seperti marga Pasaribu di Batak Toba, dikenal juga marga Kacaribu di Tanah Karo.

Marga memiliki fungsi yang penting dalam menapaki tali – temali kekerabatan. Dengan mengetahui margaakan dapat ditelusuri hubungan si pembicara dengan lawan bicaranya. Kebiasaan seperti ini di dalam masyarakat Batak martarombo atau martutur (Tagor, 2006:30). Pentingnya marga-marga dalam menapaki tali – temali kekerabatan ini dapat dilihat lewat ungkapan berikut ini :

Tiniptip sanggar bahen huru-huran

Jolo sinungkun marga asa binoto partuturan

(dikerat batang pimping untuk membuat sangkar. Terlebih dahulu ditanyakan marga

Agar diketahui hubungan kekerabatan)

Dengan bekal marga ini seseorang bisa menelusuri hubungan kekerabatannya, baik lewat penapakan hubungan darah maupun perkawinan atau lewat perkawinan pada generasi lampau atau sekarang. Bagi Orang Batak berlaku ungkapan yang berbunyi :sada tumatok hite, luhut marhitehonsa, artinya satu orang yang membuat jembatan, tapi semua orang bisa menggunakannya. Maksudnya adalah seorang menjalin tali persaudaraan dengan ikatan perkawinan, maka seluruh famili dari orang pertama menjadi kerabat demikian sebaliknya.


(42)

Sistem kekerabatan yang diterapkan dalam sistem sosial masyarakat Batak Toba juga dilakukan dengan menggunakan marga ibu namun setelah menggunakan marga ayah. Bagi seorang Batak Toba , bila menjumpai atau berkenalan dengan seorang Batak Toba yang lain yang marganya sama dengan marga ibunya, maka spontan ia akan memanggil dengan sebutan tulang atau paman.

Sistem kekerabatan seperti ini masih tetap berlangsung sampai saat ini. Penerapannya kemungkinan besar tidak mungkin akan berubah, sebab dalam dasarnya setiap kehidupan orang Batak Toba sepertinya tidak dapat dipisahkan dari adat-istiadat yang dimilikinya.

2. Hubungan Dalam Sistem Kekerabatan

Hubungan dalam sistem kekerabatan Orang Batak mengenal konsep Dalihan NaTolu, hal ini sebenarnya dibagi dalam dua bagian yang besar yaitu hubungan internal dan hubungan eksternal.Internal yaitu pihak dongan sabutuha, sedangkan eksternal yaitu pihak boru dan hula – hula. Dalam masyarakat Batak juga dijunjung tinggi cita – cita luhur yaitu hamoraon (kekayaan), hagabeon (banyak keturunan, panjang umur dan sukses) dan hasangapon (kehormatan dan martabat yang tinggi).

Dalam masyarakat Batak Toba seluruh cita – cita ini harus lengkap dicapai.Misalnya orang yang kaya raya tapi tidak memiliki keturunan terutama laki –laki belumlah dapat dikatakan berhasil dalam hidupnya.Demikian juga bagi orang yang banyak anak namun tidak memiliki harta kekayaan sedikitpun, masih juga belum dikatakan berhasil dalam hidupnya. Untuk pencapaian ketiga cita – cita ini, hubungan internal antara ketiga kelompok dalihan na tolu ini harus tetap dijaga keseimbangan yang dirumuskan dalam ungkapan yang popular pada masyarakat Batak yaitu :


(43)

‘ Manat mardongan tubu’ (bersikap hati-hati, saling menjaga terhadap saudara

Semarga)

‘ Somba marhula-hula’(hormat kepada hula-hula)

‘Elek marboru’(membujuk kepada pihak boru) (Richard, 2007:25)

Sistem kekerabatan ini akan diterangkan satu persatu seperti berikut:

a. Manat mardongan tubu

Hubungan dalam intern kelompok ini sering diungkapkan seperti ungkapan di bawah ini:

“molo naeng sangap ho, manat ma ho mardongan tubu”. Artinya – jika kamu ingin terhormat, hati-hati dan cermatlah kau dalam bergaul dengan pihak keluarga semarga.

Rambu-rambu yang diungkapkan dalam “ manat mardongan tubu” menuntut suatu Sikap yang senantiasa cermat dan waspada dalam menelusuri kedudukan dalam hirarki pertuturan dan selanjutnya berperan pula sesuai dengan hak-hak dan kewajiban yang melekat pada istilah kekerabatan yang digunakan. Pentingnya saudara semarga dalam seluruh struktur kehidupan orang Batak yang diatur oleh sistem patrilineal, dinyatakan oleh Vergouwen bahwa “sejak zaman purba”, lingkungan kekerabatan agnate (istilah lain untuk menyebutkan consanguini – kerabat satu keturunan darah) ditetapkan sebagai sisada sipanganon (makan bersama dalam satu piring), sisada sinamot (satu dalam kemakmuran), sisada hasangapon (satu dalam kemuliaan) dan sisada hailaon (satu dalam kenistaan)” (Vergouwen, 1986:50)

Pentingnya kebersamaan ini tidak hanya berlaku di lingkungan kerabat agnate di tempat asal mereka. Bagi mereka yang merantau jauh ke seberang lautan kekerabatan itu tetap dituntut, seperti tertulis dalam ungkapan berikut:


(44)

tali paput, tali pangongan”

“taripar laut tinanda rupa ni dongan”

Artinya, sekalipun di seberang lautan, kita harus saling mengenal saudara.

Bagi kalangan perantau, terutama yang jauh dari tempat asal, seseorang dituntut agar peka mengenal dongan sabutuhanya (saudara semarga). Rasa persaudaraan dengan teman satu marga di perantauan harus lebih kuat lagi dari pada di dareah asalnya (Depdikbud. 1978:34)

b. Somba Marhula – hula

Seorang boru harus bersikap menyembah terhadap hula-hulanya.Hula-hula di tanggapi sebagai saluran berkat, mampu memantulkan kesemarakan dan kemuliaan bariborunya. Vergouwen mengungkapkan seperti di bawah ini :

“hula-hula adalah sumber adikodrati, daya hidup bagi masing-masing borunya. Boru memandang anggota hula-hulanya sebagai orang yang dikaruniai dengan sahala, yaitu kekuasaan istimewa yang dianggap sebagai suatu daya yang dahsyat, melebihi kekuatan terpendam biasa yang ada pada tondi (roh).Sahala ini dapat memancarkan pengaruh yang faedah dan menyelamatkan bagi boru, tetap dalam pada itu, kekuasaannya menciptakan rasa takut dan hikmat kepadanya. Ini berarti boru harus menghindar dari perbuatan yang dapat merugikan atau menyinggung hula – hula, dan boru tidak pernah lalai menunjukkan rasa syukur terhadap kebaikan yang diperolehnya dari hula – hulannya (Vergouwen, 1986:62)

Masyarakat Batak yang memandang berketurunan adalah tujuan utama menjalin tali pernikahan, maka akan sangat mengerikanlah apabila sepasang suami istri tidak memiliki keturunan, maka sangat ditekankanlah untuk menghormati hula – hula agar hagabeon (memiliki banyak keturunan) dapat tercapai. Doa dari hula – hula sangat diharapkan oleh borunya dan


(45)

keyakinan sangat berkuasa untuk mengetuk pintu hati Debata Mulajadi Na Bolon. (Jhon.2002:25)

Berkat dari hula – hula ini bukan saja hanya dalam hal keturunan saja, tetapi mencakup pula perlindungan dari mara bahaya seperti ungkapan :

“Obuk do jambulan na nidandan bahen samara,

Pasu – pasu ni hula –hula pitu sundut so ada marga”

Artinya rambut di dandan menjadi busana, berkat dari hula – hula melindungi selama tujuh keturunan tanpa mara bahaya.

Oleh karena anggapan – anggapan inilah maka dalam masyarakat Batak wajib untuk senantiasa menjaga nama baik dan menghormati hula – hulanya, ini biasanya dibuktikan dengan membawa makanan berupa ikan mas na ni arsik.

c. Elek Marboru

Dalam tatanan Dalihan Na Tolu yang menganut azas totalitas yakni merupakan keseimbangan mutlak antara unsur – unsurnya.Penghormatan mutlak kepada hula – hula ini juga harus diimbangi dengan kewajiban untuk menyayangi pihak boru.Seseorang yang berkedudukan sebagai hula – hula jika memiliki permintaan terhadap borunya, haruslah berlaku bijaksana.Dalam arti tidak boleh memerintah atau memaksa, sebaliknya harus bersikap membujuk (mangelek), diplomatis tanpa meninggalkan bekas sakit hati bagi borunya. Ini membuktikan dengan ungkapan “ molo naeng mamora ho, elek ma marboru”, artinya kalau kau ingin kaya, sayangilah borumu.


(46)

Kaya dalam arti kata di atas bukan hanya terhadap kebendaan, tetapi juga kaya dalam artian perasaan yang kaya karena merasa senang. Bila pihak boru yang telah memperoleh perlakuan yang lemah lembut dari hula – hulanya, maka dengan senang hati akan memberikan bantuan kepada hula – hulanya baik berupa moril maupun materil dalam keadaan suka maupun duka.

2.6 Konsep Perkawinan Dalam Masyarakat Batak Toba

Perkawinan dalam masyarakat Batak Toba tidak dapat dipisahkan dari berlakunya dasar adat yaitu Dalihan Na Tolu.Konsep ini menentukan segalanya termasuk tutur (partuturan). Dalam Dalihan Na Tolu dikenal konsep tiga komponen utama yaitu :

1. Dongan tubu : Mereka adalah saudara laki-laki dari seorang laki-laki yang memiliki atau melaksanakan adat

2. Boru : Pihak yang mengawini anak perempuan sebuah

keluarga

3. Hula-hula : Mereka adalah pihak yang memberikan anak gadisnya

Dikawini oleh keluarga lain.

Perkawinan dalam masyarakat Batak dipandang suatu alat untuk mempersatukan dua buah keluarga atau dua buah marga yang berbeda.Demikian juga dengan pemberian mahar (tuhor) yang dipandang sebagai suatu alat magis yang tidak dapat dipisahkan dari animisme.Pemberian mahar ini adalah suatu merupakan alat magis yang bertujuan untuk melepaskan ikatan seorang gadis dari klan ayahnya untuk bergabung dengan klan suaminya dengan maksud agar tidak terjadi gangguan dalam kesinambungan kosmo.


(47)

Sebelumnya telah disebutkan diatas bahwa perkawinan dalam pandangan Batak Toba menentukan peraturan, namun buka saja itu.Perkawinan juga turut menentukan posisi seorang dalam pelaksanaan pesta adat.Ada kalanya pada suatu waktu seseorang itu berkedudukan sebagai dongan tubu, boru, atau hula-hula.Dalam kedudukan sebagai boru ini, menuntut seorang untuk berperan aktif bekerja dalam pelaksanaan seluruh kegiatan dalam pesta. Tapi pada kesempatan lain, dapat saja ia mendapat kedudukan terhormat dalam pesta tersebut yang mengharuskannya mendapatkan pelayanan.


(48)

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan deskriptif digunakan untuk menggambarkan atau melukiskan apa yang sedang diteliti dan berusaha untuk memberikan gambaran yang jelas dan mendalam tentang apa yang diteliti dan menjadi pokok permasalahan. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dan apa yang diamati (Nawawi,1994:203)

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas. Lokasi Ini dipilih dengan alasan sebagai berikut:

1. Suku Batak menduduki posisi kedua terbesar dalam hal jumlah setelah suku Jawa. 2. Kelurahan Timbang Deli ini merupakan daerah tempat tinggal peneliti. Disini peneliti

memperoleh beberapa kemudahan, seperti adanya akses, hemat uang dan sebagainya. 3.3 Unit Analisis dan Informan

Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah perkawinan yang dilakukan tanpa adat. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui apa saja yang terjadi dalam perkawinan tanpa adat. Data – data diperoleh dari keluarga yang terlibat menikah tanpa melakukan prosesi adat dan para tetua adat.


(49)

Berbagai informan tersebut baik keluarga tanpa adat maupun para tetua adat dianggap mengetahui tentang masalah yang dikaji dalam penelitian dan dapat memberikan sumber data yang dibutuhkan peneliti.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam dan observasi.Mengumpulkan data dapat juga dilakukan dengan wawancara. Untuk memperoleh data melalui wawancara, perlu persiapan yang matang, karena mungkin akan menghadapi kesulitan dalam mengeksplorasi jawaban-jawaban yang diharapkan dari informan.

Selain melakukan wawancara, penelitian juga akan melakukan observasi non-partisipan untuk mengamati kehidupan keluarga yang menikah tanpa adat. Apakah sebenarnya yang ingin diamati?Peneliti hendak melakukan pengamatan tentang bagaimana pasangan keluarga yang menikah tanpa adat tersebut menjalani kehiudpan kekerabatan berdasarkan adat yang berlaku dalam keluarga dan lingkungan keluarga.

3.5 Interpretasi Data

Secara umum, data terbagi atas data primer dan data sekunder.

a. Data primer, adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan penelitian seperti dari wawancara dengan obyek penelitian.

b. Data sekunder, adalah data yang diperoleh tidak langsung dari lapangan, misalnya dari literatur kepustakaan, majalah, koran atau sumber lainnya.

Boglan dan Biklei menjelaskan bahwa analisis data adalah upaya yang dilakukan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah – milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,


(50)

mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, mencari apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang diceritakan pada orang lain. ( Moleong, 2005:248).

Data - data yang diperoleh dari lapangan akan diatur, diurutkan, dikelompokkan kedalam kategori, pola, atau uraian tertentu. Disini peneliti akan mengelompokkan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan sebagainnya yang selanjutnya akan dipelajari dan ditelaah secara seksama. Bagian akhir dari analisis data adalah upaya pemaparan dan penegasan kesimpulan.

3.6. Keterbatasan Penelitian

Sebagai peneliti yang belum berpengalaman penulis merasakan banyak kendala yang dihadapi, salah satu diantaranya adalah penulis masih belum menguasai secara penuh teknik dan metode penelitian, sehingga dapat menjadi keterbatasan dalam mengumpulkan dan menyajikan data. Kendala tersebut dapat diatasi melalui proses bimbingan dengan dosen pembimbing skripsi, selain bimbingan dengan dosen pembimbing, penulis juga berusaha untuk mencari informasi dari berbagai sumber yang dapat mendukung proses penelitian ini.

Terbatasnya waktu yang dimiliki informan juga mempengaruhi pengerjaan tulisan ini, para informan yang berkerja sebagai petani dan pegawai hanya dapat dijumpai pada malam hari karena hampir seharian penuh mereka berada di tempat pekerjaan mereka masing – masing. Disamping itu waktu mereka berada di tempat pekerjaan mereka juga terbatas dalam beristirahat, sehingga penulis harus rela melakukan wawancara secara berharap.


(51)

3.7. Jadwal Kegiatan

Secara terperinci Penelitian ini dapat dilihat pada tabel jadwal kegiatan berikut :

Tabel 3.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian

NO Jadwal Kegiatan

Bulan ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Observasi

2 Acc Judul

3 Penyusunan Proposal Penelitian 4 Seminar Proposalpenelitian 5 Revisi Proposal Penelitian

6 Operasional Penelitian

7 Pengumpulan dan Analisis Data

8 Bimbingan Skripsi

9 Penulisan Laporan Penelitian


(52)

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Sejarah Kecamatan Timbang Deli Amplas

Sejak tahun 1950-an Kelurahan Timbang Deli sudah berdiri. Pada awalnya Timbang Deli merupakan daerah hutan yang kemudian dibuka oleh masyarakat.Masyarakat yang pertama sekali membuka hutan tersebut adalah masyarakat yang beretnis Melayu. Timbang Deli dahulunya didirikan bernama Sinong Rejo dalam bahasa Jawa, yang artinya “ Senang Makmur” atau “ Suka Makmur”. Perubahan nama terjadi dimulai pada tahun 1965, saat itu terjadi konflik tanah di daerah Kecamatan Patumbak kampung. Konflik tanah tersebut terjadi karena tidak adanya batasan kepemilikan tanah yang jelas. Kepemilikan tanah pada waktu itu dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, yaitu dengan melemparkan biji pinang. Biji pinang dilempar sejauh mungkin, dimana biji pinang itu jatuh maka secara otomatis tempat jatuhnya biji pinang itu menjadi batas tanah dari orang yang melempar biji pinang tersebut, dan tanah itu menjadi haknya.

Tanah yang telah menjadi hak si pelempar tersebut, selanjutnya ia disebut sebagai” ajuang ambo” dalam bahasa Melayu yang artinya milik saya, ini maksudnya orang tersebut berhak atas kepemilikan tanah tersebut. Kepemilikan sumberdaya dengan cara seperti itu, akhirnya menimbulkan masalah kerena batas-batas tanah yang tidak jelas dan tidak memiliki legitimasi hukum yang menguatkan kepemilikan .akibatnya sering terjadi perselisihan yang


(53)

disebabkan karena kepemilikan yang tidak jelas tersebut. Menurut cerita, penyebab permasalah tersebut berawal dari si Gara-gara.

Dia melemparkan sebuah tombak.Untuk membuat batas tanahnya.Tombak yang dilemparnya itu ternyata sangat jauh sekali jatuhnya.Hal ini membuat banyak pihak yang tidak senang, sehingga terjadilah konflik yang berlangsung lama, hingga terjadi kesepakatan diantara mereka.Pada saat perdamaian dilakukan dicapailah satu kesepakatan yang kemudian berdasarkan musyawarah disepakatilah tempat si Gara-gara melemparkan tombak dinamakan desa Sigara-gara.Lalu tempat melintasnya tombak dinamakan desa Patumbak.Desa Timbang Deli inilah kemudian menjadi jantung dari kelurahan Timbang Deli sekarang.Sejak saat itu, perdamaian mengenai perebutan lahan dan konflik akibat penguasaan tanah seperti dalam cerita tersebut tidak pernah terjadi lagi hingga sekarang ini.

Masyarakat asli Kelurahan Timbang Deli ini adalah masyarakat beretnis Melayu, akan tetapi sekarang ini telah banyak pendatang yang masuk ke daerah Timbang Deli, sehingga hampir tidak ada lagi masyarakat yang beretnis Melayu yang tingga di Kelurahan Timbang Deli ini. Masyarakat aslinya lebih banyak berada dan tinggal di daerah Patumbak kampung.Sedangkan Kelurahan Timbang Deli lebih banyak ditinggali oleh para pendatang karena di Kelurahan Timbang Deli banyak terdapat pabrik-pabrik industri.Pendatang umumnya bekerja sebagai buruh industri.Hampir 60% mereka menempati ruang dari Kelurahan Timbang Deli.


(54)

Kecamatan Medan Amplas dibagi menjadi 6 kelurahan yaitu :

-Kelurahan Amplas -Kelurahan Harjosari I -Kelurahan Harjosari II -Sitirejo II

-Timbang Deli -Bangun Mulia

4.1.2 Letak Geografis dan Batas Wilayah

Secara geografis kelurahan Timbang Deli termasuk kedalam wilayah Kecamatan Medan Amplas.Kotamadya Medan dengan keadaan alam yang terdiri dari daratan dan rawa-rawa.Daerah ini beriklim tropis dengan suhu udara rata-rata 35ºc – 37ºc dengan curah hujan yang relatif tinggi.Curah hujan yang tinggi sering terjadi Pada bulan September sampai dengan Desember. Sehingga daerah ini sering terkena Banjir yang biasanya pada bulan Oktober hingga Desember, dengan ketinggian banjir Antara 10cm s/d 60cm, tergantung dengan tingginya curah hujan yang turun pada Bulan-bulan itu.

Wilayah Kelurahan Timbang Deli memiliki luas areal 285 Ha dengan rincian areal sebagai berikut ; 2 Ha merupakan daratan, 4 Ha merupakan daerah Rawa-rawa, 125 Ha merupakan lahan perkarangan, 53 Ha merupakan perladangan Dan 75,5 Ha merupakan tanah kosong, serta 24,5 Ha lainnya adalah telaga. Tipe Kelurahan ini adalah 10% merupakan lahan pertanian, 40% perkotaan, dan sekitar 50% adalah sebagai kawasan industri. Jarak tempuh dari kantor pemerintahan Kelurahan ke kantor pemerintahan kecamatan sekitar ±0.5 Km.


(55)

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Amplas/ Desa Marindal - Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Marindal II/ Patumbak - Sebelah Barat berbatasan dengan kelurahan Harjosari I dan II - Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Bangun Mulia 4.2 Keadaan Penduduk

4.2.1 Jumlah Penduduk

Kelurahan Timbang Deli yang mempunyai luas wilayah 285 Ha, dan penduduk

14.018 orang. Penduduk yang mendiami kelurahan ini paling dominan adalah orang Jawa sekitar 54 %, sedangkan orang Batak Toba sebanyak 42 %, Mandailing 1.4 %, suku Karo 1%, suku Minang 0.6% dan lain-lain sebanyak 1%, Mereka dahulunya merupakan pendatang yang berasal dari berbagai tempat.

4.2.2 Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Jumlah penduduk menurut jenis kelamin, penulis mengelompokkan penduduk Kelurahan Timbang Deli hanya dalam dua bagian saja tanpa membedakan anak-anak atau orang dewasa.Penulis hanya melihat antara jumlah penduduk yang jenis kelamin laki-laki dan perempuan jika dilihat dari persentase perkembangan tiap tahun.Adapun untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut ini.


(1)

cara yang paling benar yang ditempuh keluarga Batak untuk menutupi keadaan yang sebenarnya.

4.9 Deskripsi Hubungan Sosial Pada Pasangan yang Menikah Tanpa Adat

Dari data yang diperoleh dan melalui identifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini, peneliti memperoleh gambaran bahwa para pasangan yang melakukan pernikahan tanpa adat ini, dalam kehidupan sosialnya memiliki keterasingan tersendiri terutama dalam acara paradatanBatak itu sendiri.Tetapi dalam lingkungan kehidupan sehari-harinya, hubungan sosialnya dengan masyarakat berjalan sewajarnya.

Setiap pertentangan dan penolakan yang dilakukan oleh seseorang terhadap aturan tertentu, akan senantiasa mendapatkan sanksi. Setiap ada aksi pasti adat reasksi.Hal ini jugalah yang dialami oleh keluarga pasangan-pasangan yang menikah tanpa adat.Dalam kenyataan kehidupannya sebagai masyarakat Batak terkadang ada ejekan-ejekan kecil yang mengatakan bahwa mereka “hurang maradat (kurang adat), sebagian pasangan ada yang kehilangan komunikasi dengan keluarganya atau putus tali darah.

Dari hasil penelitian yang di temukan penulis, kebanyakan dari pasangan-pasangan Batak yang menikah tanpa adat ini menjelaskan bahwa mereka menjalani hidupnya normal selayaknya pasangan yang menikah dengan adat, letak perbedaannya lebih kepada penempatan diri bila berada dalam lingkungan adat itu sendiri. Ketika pasangan – pasangan yang menikah tanpa adat ini berada dalam suatu kegiatan upacara adat, mereka mungkin tidak memiliki partisipasi dan posisi yang jelas dalam acara adat tersebut.Atau lebih hanya kepada pengikut adat semata tetapi tidak memiliki hak yang penuh dalam adat itu sendiri.


(2)

Dalam hubungan sosialnya, para pasangan ini tidak memiliki perbedaan dengan pasangan – pasangan yang menikah dengan adat. Mereka bebas mengikuti seperti arisan – arisan marga di lingkungannya maupun STM (serikat tolong – menolong) yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Para pasangan ini hanya memiliki kesulitan dalam ruang lingkup keluarga dari pihak si istri saja, karena tidak adanya pembayaran adat. Istilah dalam adat Batak belum mendapatkan berkat dari pihak hula – hulanya

Hal yang paling mengganggu dalam hubungan pernikahan para pasangan tanpa adat ini adalah menakala anak mereka kelak akan menikah, dan akan melaksanakan upacara pernikahan adat Batak, maka pasangan ini harus terlebih dahulu melakukan atau membayar adat pernikahannya. Jika hal itu tidak dilakukan maka si anak tersebut pun tidak bisa menikah dengan adat.Orangtuanya harus terlebih dahulu melakukan acara adat, maka si anak bisa melakukan pernikahan yang ideal secara adat Batak Toba.

Kehidupan para pasangan yang menikah tanpa adat, dari data yang didapat oleh penulis semua dalam taraf yang wajar dan normal adanya. Hanya saja mereka lebih sering dipojokkan dengan kata – kata agar menggelar acara adat atau kata – kata yang lain. Dalam tahap ini, para pasangan ini mengaku kepada penulis masih dalam tahap yang aman dalam hubungan sosialnya dengan masyarakat sekitarnya.


(3)

PENUTUP 5.1.  Kesimpulan 

  Adat adalah segala bentuk aturan hidup. Dan apa yang sering dimaksud dengan adat Batak adalah segala bentuk aturan hidup yang khas yang dilakoni orang Batak seperti ketika bertutur, bertingkah laku, berelasi, atau ketika menjalankan berbagai bentuk acara seremonial (kelahiran, pernikahan, memasuki rumah, kematian dsb). Dan sisi adat yang sering dianggap tidak lagi relevan bagi anak-anak muda terkait dengan acara seremonial (upacara adat) dan ketidaksederajatan dalam hubungan antar posisi.

Kesimpulan yang di dapat oleh penulis, antara lain adalah:

1. Pasangan suami istri di kalangan masyarakat Batak Toba memilih menikah tanpa adat disebabkan karena dua faktor utama, yaitu faktro ekonomi dan tidak direstui oleh orangtua.

2. Adanya anggapan bagi pasangan Batak Toba bahwa adat Batak tidak terlalu penting dalam melangsungkan suatu pernikahan dan yang terpenting bagi mereka adalah pertanggungjawaban mereka dalam melakukan suatu tindakan.

3. Budaya tradisional bagi pasangan Batak telah memudar dikarenakan munculnya kehidupan yang modern sehingga menghilangkan sedikit demi sedikit budaya Batak Toba.


(4)

5.2. Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka peneliti ingin memberikan beberapa saran, antara lain:

1. Laki-laki dan perempuan yang memutuskan akan menikah, harus mengadakan musyawarah terlebih dahulu dalam mempersiapkan pesta adat nantinya. Kedua belah pihak harus memutuskan tentang adat yang akan digunakan dipesta, ,misalnya menyesuaikan adat dengan tempat pesta diselenggarakan.

2. Orang Batak Toba harus tetap memegang teguh adat. Orang tidak melaksanakan adat disebut na so maradat, orang yang tidak beradat. Sangsi yang didapat oleh orang yang na so maradat. Jadi bila pasangan yang akan melaksanakan pernikahan sebaiknya harus disertakan dengan adat yang berlaku dalam masyarakat Batak, ini dikaranakan mereka sama saja belum menghargai kebudayaan maupun aturan yang diturunkan oleh leluhur. 3. Domisili tidak merupakan suatu alasan bagi masyarakat Batak Toba untuk tidak

melaksanakan upacara adat. Orang Batak Toba diperantauan harus tetap mempertahankan tradisi marga dan juga struktur sosial masyrakat Batak Toba dalam dalihan na tolu, walaupun memang saat ini tidak ada lagi kesatuan territorial dalam hal kampung halaman masing-masing pasangan.


(5)

Daftar Pustaka

Antonius, Bungaran. 2004. Arti dan Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Batak. Kelompok Studi dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM) Desa Girsang satu, Parapat

Anthonius, Bungaran. 2006. Struktur Sosial dan Struktur Politik Batak Toba hingga 1945. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Ahmad, Nazili Shaleh, 1989. Pendidikan dan Masyarakat. CV. Bina Usaha Yogyakarta

Bungin, Burhan, 2007. Metode Penelitian Kuantitatif : Prenada Media Group

Dakung, Sugiarto, 1982. Ulos, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Depdikbud. 1978. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Utara. Balai pustaka. Jakarta

Gultom, Rajamarpodang. Dj, 1992.Dalihan Natolu Nilai Budaya Batak. Medan: CV. Armada Henslin, James, 2007. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi, Erlangga, Jakarta.

Hadikusuma, Hilman, 1997. Hukum Adat, Bandung: Alumni/1997/Bandung

Idrus, Muhammad, 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Erlangga, Yogyakarta.

Ihromi, T.O, 1990. Sosiologi Keluarga, Yayasan Obor Indonesia , Jakarta

Koentjaraningrat, 1982.Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan

Maliki, Zainuddin, 2008. Sosiologi Pendidikan : Gajah Mada University Press

Mintargo, S Bambang, 2000.Tinjauan Manusia dan Nilai Budaya. Universitas TrisaktiJakarta Nainggolan, Tagor, 2006. Batak Toba di Jakarta. Bina Media: Medan


(6)

Parson, Talcot, 1985.Esei Esei Sosiologi Talcot Parson : Aksara Persada Press

Ranjabar, Jacobus, 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia: Ghalia Indonesia

Ritzer, George, 2004.Teori Sosiologi Modern. Kencana Pranada Media Group

Raho, Bernard, 2007. Teori Sosiologi Modern. Prestasi Pustaka Publisher

Supardan, Dadang, 2008. Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktural: PT Bumi Aksara

Siahaan, Nalom, 1982. Adat Dalihan Natolu, Jakarta: Tulus Jaya

Simanjuntak, Burgaran, 2005. Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba. Yayasan Obor Indonesia

Sinaga, Richard, 2007. Umpasa, Umpama dan Ungkapan Dalam Bahasa Batak Toba.Dian Utama: Jakarta

Sinaga, Richard, 2007. Perkawinan Adat Dalihan Na Tolu. Dian Utama: Jakarta

Soekanto, Soerjono, 1985. Sosiologi Ruang Lingkup dan Aplikasi. Remadja Karya CV Bandung Soekanto, Soerjono. 1988. Memperkenalkan Sosiologi. CV Rajawali. Jakarta

Suyanto, Bagong, 2007. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Kencana Pranada

Warneck, J, 2001. Kamus Batak Toba Indonesia.Bina Media: Medan

Situs Websites:

(http://sehati.blogsome.com/2008/03/04/pernikahan-adat-batak#more-286)