Perceraian Dan Akibat Hukumnya Pada Masyarakat Batak Toba Yang Beragama Kristen Protestan (Studi: Di Desa Martoba (Bius Tolping), Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir)

(1)

KECAMATAN SIMANINDO, KABUPATEN SAMOSIR)

TESIS

Oleh:

JUNJUNGAN MOSES SIALLAGAN

097011107 / M.Kn

FAKULTAS HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

KECAMATAN SIMANINDO, KABUPATEN SAMOSIR)

T E S I S

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

JUNJUNGAN MOSES SIALLAGAN

097011107 / M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KECAMATAN SIMANINDO, KABUPATEN SAMOSIR)

Nama Mahasiswa : Junjungan Moses Siallagan

Nomor Pokok : 097011107

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Sanwani Nasution, SH)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) (Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Sanwani Nasution, SH

Anggota : 1. Prof. DR. Runtung, SH, MHum

2. DR. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum 3. Prof. DR. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. DR. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum


(5)

Dalam perkembangannya, perceraian dalam sebuah ikatan perkawinan tidak dapat dihindari. Alasan pengajuan perceraian sangat bervariasi seperti: masuknya orang ketiga dalam perkawinan, adanya perbedaan pandangan mengenai kewajiban suami isteri dalam rumah tangga dan seringnya isteri ditinggal suami, perubahan peran suami isteri, serta pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan sehingga tidak mungkin lagi kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga itu dapat dipertahankan.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaturan mengenai perceraian dalam agama Kristen berdasarkan hukum perkawinan dan peraturan lain, untuk mengetahui alasan perceraian dalam masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen dan untuk mengetahui akibat hukum perceraian dalam masyarakat hukum Batak Toba yang beragama Kristen.

Kerangka teori ini memakai teori perbandingan hukum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hall menegaskan, ”to be sapiens is to be a comparatist, melalui sejarah yang panjang, teknik perbandingan ternyata telah memberikan kontribusi yang teramat penting dan berpengaruh di seluruh bidang ilmu alam dan ilmu sosial. Dalam hal ini, perbandingan hukum mempunyai signifikansi terhadap aplikasi yang sistematis dari teknik perbandingan terhadap bidang hukum.

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas, yaitu penelitian deskripsi analistis. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalahyuridis empiris.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan mengenai perceraian dalam agama Kristen tidak ada diatur, tetapi UU Perkawinan mengatur tata cara perkawinan. Peraturan perceraian terhadap masyarakat adat Batak Toba tidak ada yang tertulis hanya secara tersirat saja dapat dilakukan perceraian. Yang dapat melakukan perceraian adalah pengetua adat dan kedua belah pihak serta pihak keluarga kedua belah pihak. Sedangkan perceraian bagi masyarakat adat Batak Toba yang beragama Kristen yang menjadi warga Negara Indonesia dapat melakukan perceraian sesuai dengan UU Perkawinan yang walaupun di dalam Alkitab dikatakan tidak ada perceraian kecuali karena kematian. Alasan perceraian dalam masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen dapat dilihat dari dua sisi, yaitu alasan perceraian masyarakat adat Batak Toba menurut Adat Batak Toba, alasan perceraian masyarakat adat Batak Toba menurut gugatan pengadilan negeri, yaitu harus sesuai dengan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan untuk dapat dijadikan sebagai alasan mengajukan perceraian. Akibat hukum perceraian dalam masyarakat hukum Batak Toba yang beragama Kristen


(6)

mengatur tentang perceraian lebih memperketat peraturan mengenai perceraian, agar tidak dengan begitu mudahnya perceraian di Indonesia, hendaknya Pengetua Adat, Pendeta, bahkan Pengadilan Negeri memberikan masukan-masukan kepada keluarga muda yang bermasalah dalam rumah tangga agar tidak terjadi perceraian. Sebab alasan apapun mengenai perceraian dalam masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen tidak dapat dilakukan kecuali dengan kematian dan hendaknya Pengetua Adat, Pendeta, bahkan Pengadilan Negeri memberikan masukan-masukan mengenai hal akibat hukum perceraian dalam masyarakat hukum Batak Toba yang beragama Kristen baik itu mengenai hubungan persaudaraan, anak bahkan harta kekayaan yang timbul dalam perkawinan


(7)

In its development, a divorce in a marriage cannot be avoided. There are various reasons for a divorce application such as the involvement of third party in a marriage, different point of view about the obligations of husband and wife in their family and the husband frequently leaves his wife, the changing roles of husband and wife, endless quarrel and conflict that they cannot maintain the happiness and harmony in their family.

The purpose of this study was to find out the regulation of divorce in Christianity based on Law on Marriage and other regulations, to examine the reasons for divorce in the Christian Batak Toba community, and to analyze the legal consequence of a divorce in the Christian Batak Toba community.

The theoretical framework used in this study was legal comparative theory referring to Hall’s statement,” to be sapiens is to be a comparatist”, through a long history, comparative technique has given an important contribution and had influence on all fields of natural and social sciences. In this case, legal comparative has its significance towards the systematic application of the comparative technique in the field of law.

Legal research is a scientific activity based on method, systematic and certain thought intended to study one or several certain legal symptoms by analyzing them. The success in this analytical descriptive study is very determined by the method used to describe the problems being studied and the answers to them. This study employed the empirical juridical approach.

The result of this study showed that there was no regulation regulating the divorce in Christianity, but the Law on Marriage does regulate the procedure of marriage. There is no written regulation on divorce in the Batak Toba community, and the divorce can only be implicitly done. Those who had an authority to divorce husband and wife are the adat leader, the husband and wife concerned and their family members. While the Christian Batak Toba who have become Indonesian citizens can do the divorce in accordance with Law on Marriage even though the Bible says there is no divorce but by death. The reasons for divorce in the Christian Toba Batak community can be seen from two sides; according to Batak Toba customs/adat and according to the state court lawsuit based on Article 39 paragraph (2) of Law on Marriage. The legal consequences of divorce in the Christian Batak Toba community are to the relationship of husband and wife, to their parents/children, and to their marital property.

The Government of Indonesia in this case the Indonesian Legislative Assembly is expected to make a regulation especially about the procedure or process of divorce in Christianity that there will be no more overlapping regulations like what exists today. The religious institutions or adat associations of Batak Toba clans are expected to give inputs to their members, especially Batak Toba community, to


(8)

always maintain what has been advised by our ancestors, namely, not to change the responsibility of the husband’s family and relatives to his children and divorced wife.


(9)

rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga dapat melakukan dan menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini dengan baik. Banyak hal yang terjadi dialai saat menyelesaikan tesis ini.

Adapun tujuan dibuat penulisan tesis ini untuk memenuhi sebagian syarat-syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Adapun judul tesis ini adalah: “PERCERAIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA PADA MASYARAKAT BATAK TOBA YANG BERAGAMA KRISTEN PROTESTAN (Studi: Di Desa Martoba (Bius Tolping), Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir)”.

Penulis menyadari dalam penulisan tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, sehingga penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat masukan yang membangun demi melengkapi kesempurnaan dalam penulisan tesis ini.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyelesaian tesis ini terutama kepada yang terhormat :

l. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.AK) selaku Rektor atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Univenitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. DR. Runtung, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Anggota Komisi Pembimbing pembuatan dan penyelesaian tesis ini yang telah memberikan saran dan kritik dalam penelitian tesis ini, sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan;


(10)

pemikiran dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

4. Ibu DR. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Anggota Komisi Penguji yang telah banyak memberikan kontribusi pemikiran dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Prof. Sanwani Nasution, SH, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dukungan, serta saran dan kritik dari awal penelitian, sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan;

6. Ibu DR. Idha Aprilyana Sembiring. SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dukungan, serta saran dan kritik dari awal penelitian, sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan; 7. Bapak Prof. DR. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Komisi Penguji

yang telah banyak memberikan kontribusi pemikiran dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

8. Bapak J. Silalahi selaku Kepala Desa Martoba (Bius Tolping) Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Bapak K. Limbong Hakim di Pengadilan Negeri Balige, Amang Jobar Siallagan selaku Pengetua Adat Batak di Desa Martoba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir dan Pendeta Agama Kristen, yaitu antara lain Pdt. Balosan Rajagukguk, STh, MS, selaku Pendeta HKBP Resort P. Siantar, Pdt. Asbon Salomon Manurung, STh, Pendeta di Gereja Bethel Injil Penuh Pematang Siantar yang telah memberikan masukan serta data-data sehingga penelitian tesis ini dapat diselesaikan.

9. Para Guru Besar serta seluruh Dosen Staf Pengajar Progran Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan;


(11)

perkuliahan hingga penelitian tesis ini;

11. Kedua orang tua, yaitu ayahanda Drs. Cornelius Siallagan dan ibunda tercinta Tiominar Matondang, SH, SpN, yang telah memberikan DOA, dorongan dan motivasi baik secara lahiriah dan batiniah, serta didikan yang amat sangat berguna sehingga dapat menyelesaikan program studi ini dengan baik.

12. Kepada kedua keluarga Tulang saya, keluarga Benny Matondang dan keluarga Tigor matondang yang telah memberi motifasi hidup dalam langkah – langkah yang berguna untuk kedepan harinya.

13. Ketiga saudari saya serta abang ipar saya, Lisbeth Siallagan, SE dan dr. Morrison Sihite, Mamitta Siallagan, SH, MKn dan dr. Feeter Suryanto, SpOG serta Try Yanthy Siallagan, SE. Rasa terima kasih yang sungguh luar biasa atas DOA dan dorongan yang tak henti-hentinya baik secara moral dan materiil, dukungan yang ngak putus dan memberikan motivasi yang menguatkan bagi penulis. Serta kepada kekasih penulis dr. Theodora Yosevangelika Hutabarat yang memberikan arahan-arahan yang berguna bagi penulis.

14. Kepada keponakan – keponakan saya Louise Sihite, Betris Sihite, Lauren Sihite, Zita Ginting dan Zahira Ginting yang selalu memberikan senyuman dan kegembiraan terhadap penulis.

15. Para sahabat seperjuangan Kelas Reguler Khusus, Kelas Regular A, B dan C Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara terutama Doni Kartien, Epi Sulastri, Amelia Silvany, Alnasril, Dessy Mellaroza dan Lisa Harahap yang memberikan motivasi dan dukungan baik secara moril dan spiritual dalam penyelesaian tesis ini.

16. Penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat langsung maupun tidak langsung yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.


(12)

penulis sendiri dan orang lain.

Medan, Agustus 2011 Penulis,


(13)

A. Data Pribadi

Nama : JUNJUNGAN MOSES SIALLAGAN

Tempat/Tanggal Lahir : Pematangsiantar, 05 Febuari 1986 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jalan Parsoburan No. 4 Pematangsiantar Kelurahan Kampung kristen

Kecamatan Siantar Selatan

Kotamadya Pematangsiantar, 21124 Email : cortio_sima@yahoo.com

Nama Ayah : Drs.Cornelius Badiaman Siallagan Nama Ibu : Tiominar Matondang, SH, SpN Anak ke : 4 (empat) dari 4 (empat) bersaudara No Handphone : 08116206744, 081385733304

B. Pendidikan

1992 – 1998 : SD Swasta Budi Mulia No.02 Pematangsiantar 1998 – 2001 : SLTP Swasta Bintang Timur Pematangsiantar 2001 – 2004 : SLTA Swasta Bintang Kejora Jakarta Barat 2004 – 2008 : Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas

Satyagama Jakarta Barat

2009 – 2011 : Strata Dua (S2) Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan


(14)

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... ix

DAFTAR ISI... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 10

C. Tujuan Penelitian... 10

D. Manfaat Penelitian... 10

1. Manfaat teoritis... 11

2. Manfaat praktis ... 11

E. Keaslian Penelitian... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 13

1. Kerangka teori... 13

2. Konsepsi... 17

G. Metode Penelitian... 20

1. Spesifikasi penelitian... 20

2. Lokasi penelitian... 21

3. Populasi dan sampel... 22

3.1 Pupulasi... 22

3.2 Sampel... 22

4. Sumber data... 23

5. Teknik pengumpulan data... 24

6. Alat pengumpulan data... 24

7. Analisis Data... 25

BAB II PENGATURAN MENGENAI PERCERAIAN DALAM AGAMA


(15)

Kristen... 34

C. Perceraian Dikalangan Masyarakat Batak Toba Kristen Menurut Hukum Adat Batak Toba... 41

D. Perceraian Masyarakat Batak Toba Yang Beragama Kristen Menurut UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan... 45

BAB III ALASAN PERCERAIAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA DAN AGAMA KRISTEN... 57

A. Gambaran Umum Desa Martoba (Bius Tolping)... 57

B. Alasan dan Syarat Perceraian Secara Adat Batak Toba Yang Beragama Kristen di Desa Martoba (Siallagan Tolping)... 60

1. Alasan perceraian pada masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen ... 60

2. Syarat-syarat perceraian di masyarakat Batak Toba ... yang Beragama Kristen... 81

C. Tata Cara Perceraian Masyarakat Batak Toba Yang Beragama Kristen di Desa Martoba atau Siallagan Tolping... 90

D. Perkara Perceraian Masyarakat Batak Toba Beragama Kristen di Kabupaten Samosir... 101

BAB IV AKIBAT HUKUM PERCERAIAN DALAM MASYARAKAT HUKUM BATAK TOBA DAN KRISTEN... 111

A. Terhadap Hubungan Suami istri... 113

B. Terhadap Hubungan Orang Tua dan Anak... 114

C. Terhadap Harta perkawinan... 118

D. Peranan Gereja dan Lembaga Adat Batak Toba dalam Menanggulangi Perceraian... 124

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 130

A. KESIMPULAN... 130

B. SARAN... 133

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(16)

Dalam perkembangannya, perceraian dalam sebuah ikatan perkawinan tidak dapat dihindari. Alasan pengajuan perceraian sangat bervariasi seperti: masuknya orang ketiga dalam perkawinan, adanya perbedaan pandangan mengenai kewajiban suami isteri dalam rumah tangga dan seringnya isteri ditinggal suami, perubahan peran suami isteri, serta pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan sehingga tidak mungkin lagi kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga itu dapat dipertahankan.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaturan mengenai perceraian dalam agama Kristen berdasarkan hukum perkawinan dan peraturan lain, untuk mengetahui alasan perceraian dalam masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen dan untuk mengetahui akibat hukum perceraian dalam masyarakat hukum Batak Toba yang beragama Kristen.

Kerangka teori ini memakai teori perbandingan hukum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hall menegaskan, ”to be sapiens is to be a comparatist, melalui sejarah yang panjang, teknik perbandingan ternyata telah memberikan kontribusi yang teramat penting dan berpengaruh di seluruh bidang ilmu alam dan ilmu sosial. Dalam hal ini, perbandingan hukum mempunyai signifikansi terhadap aplikasi yang sistematis dari teknik perbandingan terhadap bidang hukum.

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas, yaitu penelitian deskripsi analistis. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalahyuridis empiris.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan mengenai perceraian dalam agama Kristen tidak ada diatur, tetapi UU Perkawinan mengatur tata cara perkawinan. Peraturan perceraian terhadap masyarakat adat Batak Toba tidak ada yang tertulis hanya secara tersirat saja dapat dilakukan perceraian. Yang dapat melakukan perceraian adalah pengetua adat dan kedua belah pihak serta pihak keluarga kedua belah pihak. Sedangkan perceraian bagi masyarakat adat Batak Toba yang beragama Kristen yang menjadi warga Negara Indonesia dapat melakukan perceraian sesuai dengan UU Perkawinan yang walaupun di dalam Alkitab dikatakan tidak ada perceraian kecuali karena kematian. Alasan perceraian dalam masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen dapat dilihat dari dua sisi, yaitu alasan perceraian masyarakat adat Batak Toba menurut Adat Batak Toba, alasan perceraian masyarakat adat Batak Toba menurut gugatan pengadilan negeri, yaitu harus sesuai dengan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan untuk dapat dijadikan sebagai alasan mengajukan perceraian. Akibat hukum perceraian dalam masyarakat hukum Batak Toba yang beragama Kristen


(17)

mengatur tentang perceraian lebih memperketat peraturan mengenai perceraian, agar tidak dengan begitu mudahnya perceraian di Indonesia, hendaknya Pengetua Adat, Pendeta, bahkan Pengadilan Negeri memberikan masukan-masukan kepada keluarga muda yang bermasalah dalam rumah tangga agar tidak terjadi perceraian. Sebab alasan apapun mengenai perceraian dalam masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen tidak dapat dilakukan kecuali dengan kematian dan hendaknya Pengetua Adat, Pendeta, bahkan Pengadilan Negeri memberikan masukan-masukan mengenai hal akibat hukum perceraian dalam masyarakat hukum Batak Toba yang beragama Kristen baik itu mengenai hubungan persaudaraan, anak bahkan harta kekayaan yang timbul dalam perkawinan


(18)

In its development, a divorce in a marriage cannot be avoided. There are various reasons for a divorce application such as the involvement of third party in a marriage, different point of view about the obligations of husband and wife in their family and the husband frequently leaves his wife, the changing roles of husband and wife, endless quarrel and conflict that they cannot maintain the happiness and harmony in their family.

The purpose of this study was to find out the regulation of divorce in Christianity based on Law on Marriage and other regulations, to examine the reasons for divorce in the Christian Batak Toba community, and to analyze the legal consequence of a divorce in the Christian Batak Toba community.

The theoretical framework used in this study was legal comparative theory referring to Hall’s statement,” to be sapiens is to be a comparatist”, through a long history, comparative technique has given an important contribution and had influence on all fields of natural and social sciences. In this case, legal comparative has its significance towards the systematic application of the comparative technique in the field of law.

Legal research is a scientific activity based on method, systematic and certain thought intended to study one or several certain legal symptoms by analyzing them. The success in this analytical descriptive study is very determined by the method used to describe the problems being studied and the answers to them. This study employed the empirical juridical approach.

The result of this study showed that there was no regulation regulating the divorce in Christianity, but the Law on Marriage does regulate the procedure of marriage. There is no written regulation on divorce in the Batak Toba community, and the divorce can only be implicitly done. Those who had an authority to divorce husband and wife are the adat leader, the husband and wife concerned and their family members. While the Christian Batak Toba who have become Indonesian citizens can do the divorce in accordance with Law on Marriage even though the Bible says there is no divorce but by death. The reasons for divorce in the Christian Toba Batak community can be seen from two sides; according to Batak Toba customs/adat and according to the state court lawsuit based on Article 39 paragraph (2) of Law on Marriage. The legal consequences of divorce in the Christian Batak Toba community are to the relationship of husband and wife, to their parents/children, and to their marital property.

The Government of Indonesia in this case the Indonesian Legislative Assembly is expected to make a regulation especially about the procedure or process of divorce in Christianity that there will be no more overlapping regulations like what exists today. The religious institutions or adat associations of Batak Toba clans are expected to give inputs to their members, especially Batak Toba community, to


(19)

always maintain what has been advised by our ancestors, namely, not to change the responsibility of the husband’s family and relatives to his children and divorced wife.


(20)

1

A. Latar Belakang

Sesuai dengan kodrat alam manusia sejak lahir sampai meninggal dunia hidup bersama-sama dengan manusia lain atau tidak dapat hidup menyendiri, terpisah dari kelompok lainnya.1 Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam suatu kelompok. Di samping itu, manusia juga punya hasrat untuk bermasyarakat.

Manusia sebagai mahluk individu biasa saja mempunyai sifat untuk hidup menyendiri tetapi manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup menyendiri. Manusia sebab ia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam masyarakat.2

Pola hidup tersebut merupakan susunan daripada kaidah-kaidah yang mencakup kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, sopan santun dan hukum. Tidak jarang bahwa suatu kepentingan manusia dilindungi oleh keempat macam kaidah tersebut. Untuk menelaah perbedaan-perbedaannya, maka kaidah-kaidah tersebut perlu dihubungkan dengan adanya dua aspek hidup, yaitu pribadi dan hidup antar pribadi.

1Chainur Arrasjid,Dasar-Dasar Ilmu Hukum,Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 1. 2Ibid.


(21)

Setelah dewasa, keinginan untuk melakukan perkawinan telah terbayang di dalam pikirannya. Kemauan ini semakin terasa apabila manusia tersebut telah mempunyai penghasilan dan mampu untuk membiayai kehidupan rumah tangga sendiri.3

Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan untuk jangka waktu selama mungkin.4

Di samping itu perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang perempuan yang telah dewasa menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bersifat kekal dan abadi menuju kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.

Perkawinan menyangkut banyak segi yang melibatkan kedua belah pihak (suami-isteri), keturunan mereka dalam garis lurus ke bawah dan ke atas, harta benda, menyangkut hubungan masyarakat melalui kontak sosial, hubungan hukum melalui kontak negara. Tidak mengherankan bila perkawinan melahirkan berbagai masalah hukum baik perdata maupun pidana yang tidak mungkin dicakup secara keseluruhan pada saat sekarang ini.

Bagi suku bangsa yang memiliki adat dan budaya, perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia dalam kehidupan yang dilaksanakan

3

Purnadi Purbacaraka, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta, 1989, hal 3.

4 Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 97.


(22)

dalam suatu upacara yang terhormat serta mengandung unsur sakral di dalamnya. Upacara tersebut biasanya diselenggarakan secara khusus, menarik perhatian dan disertai penuh kenikmatan. Selain itu, upacara ini juga menggunakan benda-benda maupun tingkah-laku yang mempunyai kaitan makna khusus yang tidak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya itu bertujuan untuk menyatakan agar kedua pengantin senantiasa selamat dan sejahtera dalam mengarungi kehidupan bersama, terhindar dari segala rintangan, gangguan, dan malapetaka.

Bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi pegangan hidup mereka sejak dahulu bahwa mengenai perkawinan, kelahiran dan kematian adalah sangat dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan agama.5 Orang yang taat pada agamanya tidak mudah berbuat sesuatu yang melanggar larangan agamanya dan kepercayaannya. Selain larangan-larangan, agamanya juga mempunyai peraturan-peraturan yang memuat perintah-perintah yang wajib dan harus ditaati.6

Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang besar dalam kehidupan seseorang, juga bagi orang tua anak gadis, perkawinan anaknya itu sangat mengharukan, orang tua tersebut melepaskan anak mereka yang dicintainya itu, lalu berangkat menempuh hidup baru bersama suaminya.7 Dalam peraturan perkawinan yang mengatakan bahwa perkawinan merupakan sebuah kontrak berdasarkan persetujuan sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan wanita untuk

5Rusdi Malik,Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 1990, hal 11.

6

Chainur Arrasjid,Op Cit, hal 5.

7Retnowulan Sutanto,Wanita dan Hukum,Himpunan Karangan Hukum yang Penting Bagi


(23)

menjadi suami-istri. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga, yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak dalam pembentukan peradaban di dalam masyarakat.

Mulai secara tradisional, suami dalam semua sistem tersebut bertugas menyiapkan tempat tinggal, memenuhi kebutuhan rumah tangga dan melindungi keluarga secara umum. Sementara itu isteri berkewajiban mengurus rumah tangga, tinggal di rumah, melakukan hubungan seksual dengan suami dan memelihara anak-anak. Konsep perkawinan sebagai kontrak yang sah seperti ini sampai sekarang belum berubah, tetapi karena perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat mengikuti hukum kehidupan maka kewajiban-kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut tidak lagi persis seperti pada masa lalu.8

Melangsungkan suatu perkawinan, undang-undang telah menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak. Di dalam undang-undang perkawinan ditetapkan beberapa azas untuk mempersulit terjadinya penyimpangan, karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Dalam suasana di mana masyarakat menghadapi perubahan sosial ekonomi yang serba cepat, perhatian tidak lagi diarahkan pada seputar penggarapan hukum sebagai suatu sistem peraturan yang logis dan konsisten, akan tetapi hukum lebih dikaitkan dengan perubahan-perubahan sosial.

Dalam sebuah keluarga, suami wajib melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, karena suami adalah kepala keluarga dan tugas isteri adalah sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga.9

8Ibid., hal 7.

9 Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal. 1.


(24)

Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.10 Akan tetapi pembagian peran sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis UU Perkawinan) bahwa hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan adalah seimbang.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa hukum dengan tegas mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat lahiriah dan hukum mempunyai sifat untuk menciptakan keseimbangan antar kepentingan-kepentingan para warga masyarakat.11

Dari kenyataan tersebut, maka pembuat UU Perkawinan menyatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1)). Agama yang dimaksud adalah merujuk kepada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang mengatakan bahwa: negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk, untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya masing-masing.12

Pembagian tugas sebagaimana diatur secara jelas dalam undang-undang tersebut nampaknya memang mengkekalkan apa yang selama ini dianut oleh sebagian besar masyarakat dan justru pembagian tugas inilah yang sedang mengalami proses perubahan dalam ruang lingkup yang luas. Banyak rumah tangga sekarang ini suami bukan satu-satunya pencari nafkah, isteri bekerja

10

Ibid.

11Retnowulan Sutanto,Op.Cit, hal. 35.

12 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di


(25)

dan karena itu mempunyai waktu lebih sedikit atau bahkan tidak punya waktu sama sekali untuk mengurus rumah tangga.13

Beragamnya kepentingan antar manusia dapat terpenuhi secara damai, tetapi juga menimbulkan konflik jika tata cara pemenuhan kepentingan tersebut dilakukan tanpa ada keseimbangan sehingga akan melanggar hak-hak orang lain.14

Dalam perkembangannya, perceraian dalam sebuah ikatan perkawinan tidak dapat dihindari. Alasan pengajuan perceraian sangat bervariasi seperti: masuknya orang ketiga dalam perkawinan, adanya perbedaan pandangan mengenai kewajiban suami isteri dalam rumah tangga dan seringnya isteri ditinggal suami, perubahan peran suami isteri, serta pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan sehingga tidak mungkin lagi kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga itu dapat dipertahankan.

Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan nilai-nilai yang mengatur hubungan antara suami isteri dalam keluarga mulai berubah. Jika memang ada kecenderungan pergeseran nilai, maka formulasi nilai-nilai tersebut dalam bentuk undang-undang perlu ditinjau kembali. Oleh karena itu nampaknya perlu dilihat proses itu benar-benar terjadi dan kalau seandainya terjadi hanya bersifat sementara saja atau sesuatu yang semakin lama semakin cenderung meningkat.

Setiap pasangan tidak selamanya dapat menyelesaikan konflik-konflik yang mereka alami dan mengundang orang-orang yang dianggap lebih tua, perceraian

13Rifyal Ka’bah,Permasalahan Perkawinan, Varia peradilan No. 271, Makalah Juni, 2008, hal 8.


(26)

dihindarkan karena berakibat luas, apabila keluarga tersebut telah mempunyai keturunan (anak).

Tetapi apabila usaha dan upaya itu gagal, maka dengan terpaksa gugatan tentang perceraian harus diputus dengan beberapa pertimbangan-pertimbangan. Masalah perceraian ini di dalam peraturan perundang-undangan telah mengatur tentang lembaga-lembaga yang berwenang menerima, memeriksa dan memutus perkara tersebut. Bagi warga masyarakat yang beragama Kristen, Budha, dan Hindu peradilan yang berhak memeriksa dan memutuskannya adalah Pengadilan Negeri.

UU Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya di sebut PP Nomor 9 Tahun 1975) merupakan hasil produk perundang-undangan nasional, yang telah disesuaikan dengan perkembangan jaman dan kepribadian bangsa Indonesia. Maka hukum agama dan hukum adat yang merupakan hukum yang hidup dan dapat dipertahankan oleh bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian nasional dimana hukum adat yang dapat diterima untuk dimasukkan ke dalam undang-undang perkawinan tersebut adalah hukum adat yang dapat menyesuaikan diri serta dapat mengikuti perkembangan zaman menuju kepada negara yang maju dan modern.15Di dalam undang-undang tersebut memang tidak tegas digunakan istilah hukum adat, namun tidak berarti bahwa undang-undang ini terlepas sama sekali dari hukum adat. Hal ini dapat dilihat misalnya pada Bab VII Pasal 35-37 UU Perkawinan tentang


(27)

harta benda di dalam perkawinan masih juga digunakan istilah Harta bersama dan Harta Bawaan. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama itu diatur menurut hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Secara keseluruhan undang-undang perkawinan maupun aturan pelaksanaannya hanya mengenal dua jenis proses perceraian dengan talak dan cerai gugat.

Selanjutnya dalam Pasal 16 PP Nomor 9 Tahun 1975 dikatakan bahwa tujuan sidang pengadilan dimaksud dalam Pasal 14 hanyalah untuk menyaksikan perceraian tersebut. Dalam Pasal 17 PP Nomor 9 Tahun 1975 dikatakan bahwa sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian. Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian.

Dari ketentuan tersebut diatas jelaslah bahwa yang diajukan suami bukanlah surat permohonan, akan tetapi, surat pemberitahuan bahwa ia akan bercerai (menceraikan) isterinya dan untuk itu ia meminta kepada pengadilan di tempat tinggalnya untuk mengadakan sidang menyaksikan perceraian itu. Dan jika sudah terjadi perceraian di muka pengadilan, maka ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian (bukan surat penetapan atau putusan).

Ketentuan mengenai akibat perceraian, maka suami yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan untuk itu, jika suami dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa istri ikut memikul biaya tersebut. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.16

16


(28)

Bila dilihat dari ajaran Kristen terkhusus agama Kristen Protestan bahwa perceraian itu jelas dilarang oleh agama Kristen. Dalam agama Kristen, perceraian itu jelas ditolak seperti yang tertulis pada: ”Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Markus 10 - 10:9 dan Matius 19 - 19:6).17

Beban akibat perceraian terutama yang bersifat finansial yang sekarang ini terutama menjadi kewajiban suami, nampaknya perlu juga dipertimbangkan. Dalam kenyataan cukup banyak isteri yang berpenghasilan lebih banyak atau sama dengan suami. Undang-Undang perkawinan mengantisipasi perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat saat ini, salah satunya perceraian. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.18

Oleh karena itu mempersulit prosedur tidak menjadi alasan untuk mengurangi angka perceraian. Undang-Undang perkawinan yang mengatur antara lain soal peran suami isteri dan prosedur perceraian sudah perlu dipertimbangkan kembali setidak-tidaknya didalam penerapannya.

17

Rusdi Malik,Op. Cit., hal. 15 18


(29)

B. Permasalahan

Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu:

1. Bagaimana pengaturan mengenai perceraian dalam agama Kristen berdasarkan hukum perkawinan dan peraturan lain?

2. Bagaimana alasan perceraian dalam masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen?

3. Bagaimana akibat hukum perceraian dalam masyarakat hukum Batak Toba yang beragama Kristen?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai perceraian dalam agama Kristen berdasarkan hukum perkawinan dan peraturan lain.

2. Untuk mengetahui alasan perceraian dalam masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen.

3. Untuk mengetahui akibat hukum perceraian dalam masyarakat hukum Batak Toba yang beragama Kristen.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:


(30)

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan khususnya yang berkaitan dengan perceraian yang terjadi pada Batak Toba terlebih pada Batak Toba yang beragama Kristen.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan literature

kajian terhadap perkembangan dalam lapangan hukum keperdataan. Sekaligus menjadi acuan bagi penelitian berikutnya khususnya kajian yang berhubungan dengan perceraian dalam Batak Toba yang beragama Kristen.

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran kepustakaan yang ada dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya dilingkungan Pascasarjana Kenotariatan Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul Perceraian adat batak toba ditinjau dari hukum perkawinan,hukum adat batak dan agama Kristen protestan belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun penelitian tentang perceraian pernah dilakukan oleh:

1. Edi Sucipto, Nim 002105006, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pasca Sarjana USU, Medan, dengan Judul Hadhanah Setelah Terjadi Perceraian Kompilasi Hukum Islam Dan Penerapannya Di Pengadilan Agama Medan

2. Syaifuddin, Nim 002105018, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pasca Sarjana USU, Medan, dengan Judul Tinjauan Yuridis Terhadap Eksistensi


(31)

Talak Sebagai Perjanjian Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam Dalam Kaitannya Sebagai Alasan Perceraian.

3. Yusriana, Nim 047005016, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pasca Sarjana USU, Medan, dengan Judul Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Di Pengadilan Agama Lubuk Pakam Dan Pelaksanaannya Pada Masyarakat (Studi Di Kecamatan Percut Sei Tuan)

4. Yakup Ginting, Nim 002111052, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pasca Sarjana USU, Medan, dengan Judul Penerapan Nilai-Nilai Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat Oleh Hakim Dalam Perkara Perceraian Dari Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Di Kantor Catatan Sipil (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Kabanjahe)

5. Lusinda Maranatha Siahaan, Nim 027011037, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pasca Sarjana USU, Medan, dengan Judul Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Pada Masyarakat Batak Toba Kristen Di Kota Medan)

6. Jonson, Nim 027005015, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pasca Sarjana USU, Medan, dengan Judul Dalihan Natolu Sebagai Suatu Lembaga Hukum Dalam Sistem Kemasyarakatan Adat Batak (Suatu Studi Dalam Upacara Perkawinan Jujur Adat Batak Toba)

7. Gideon Harunta, Nim 067011036, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pasca Sarjana USU, Medan, dengan Judul Akibat Perkawinan Poligami Pada Masyarakat Batak Karo Di Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo.


(32)

8. Fatma Novida Matondang, Nim 077011021, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pasca Sarjana USU, Medan, dengan Judul Konsep Nusyuz Suami Dalam Persektif Hukum Perkawinan Islam

9. Fransiska, Nim 087011007, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pasca Sarjana USU, Medan, dengan Judul Persintuhan Hukum Perkawinan Adat Minangkabau Dengan Hukum Perkawinan Islam Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Apabila dihadapkan dengan judul penelitian sebelumnya maka judul yang diteliti adalah berbeda oleh karenanya tesis ini dapat dipertanggung jawabkan keasliannnya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi19, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.20 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan

19

J.J.J M. Wuisman dengan Penyunting M. Hisyam,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Penerbit FE -UI, Jakarta, 1996, hal. 203.

20


(33)

teoritis21bagi peneliti yuridis empiris tentang Perceraian dan Akibat Hukumnya Pada Masyarakat Batak Toba yang Beragama Kristen Protestan. Kerangka teori bertujuan menjadi kepastian hukum dari perbandingan yang dilakukan. Dengan demikian dalam kerangka teori ini memakai teori perbandingan hukum, sebagaimana yang dikemukakan olehHallmenegaskan, ”to be sapiens is to be a comparatist’.22Melalui sejarah yang panjang, teknik perbandingan ternyata telah memberikan kontribusi yang teramat penting dan berpengaruh di seluruh bidang ilmu alam dan ilmu sosial. Dalam hal ini, perbandingan hukum mempunyai signifikansi terhadap aplikasi yang sistematis dari teknik perbandingan terhadap bidang hukum. Artinya, perbandingan hukum mencoba untuk mempelajari dan meneliti hukum dengan menggunakan perbandingan yang sistematik dari dua atau lebih sistem hukum, bagian hukum, cabang hukum, serta aspek-aspek yang terkait dengan ilmu hukum.

Perceraian merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan pemufakatan saja antara suami isteri, tetapi harus ada alasan yang sah.

21

M. Solly Lubis ,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Penerbit Mandar Maju, Bandung , 1994 , hal. 80.

22

Hall, Comparative Law and Social Theory, Baton Rouge, 1963, hal. 9. Sebagaimana dikutip oleh Doddi Panjaitan dalam web sitenya, yaituhttp://doddipanjaitan. blogspot.com / feeds / 6463358296405325399/comments/default, Friday, January 25, 2008 mengenai Perbandingan Hukum (3)


(34)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian cerai adalah pisah, talak, putus perhubungannya sebagai laki bini, perceraian berarti perpisahan, perihal bercerai laki bini, perpecahan, perbuatan talak.23

Soerojo Wignjodipoero mengatakan bahwa perceraian menurut adat merupakan peristiwa luar biasa, merupakan problema sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah.24

Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut : a. Zina (overspel)

b. Ditinggalkan dengan sengaja(kwaadwillige verlating)

c. Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan sesuatu kejahatan dan,

d. Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (Pasal 209 KUHPerdata)

Menurut Goode yang mengutip dari Bird dan Melville mengemukakan bahwa alasan bercerai disebabkan oleh ketidakpuasan dan konflik dengan pasangan dan kurangnya peran suami dalam rumah tangga.25 Sedangkan Thompson, diacu dalam Bird dan Melville berpendapat bahwa perceraian bias terjadi dikarenakan oleh peran serta dalam rumah tangga yang berbasis gender-laki-laki (suami) sebagai pencari

23

WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1998.

24

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Penerbit PT. Toko Gunung Agung, Jakarta, 1983, hal. 143.

25


(35)

nafkah dan perempuan (isteri) merawat anak dan mengurus rumah, kualitas hubungan seksual, komunikasi pasangan dan perubahan sikap pasangan.26

Menurut Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan:

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang syah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f. Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Putusnya perkawinan apabila 5 (lima) tahun telah lewat waktu dan tidak juga ada perdamaian kembali antara suami dan isteri, masing-masing pihak dapat meminta kepada hakim supaya perkawinan diputuskan dengan perceraian.27

Kelahiran UU Perkawinan bukan sekedar bermaksud menciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat dan berlaku “nasional” dan “menyeluruh”. Melainkan juga dimaksudkan dalam rangka mempertahankan, lebih menyempurnakan, memperbaiki atau bahkan menciptakan konsepsi-konsepsi hukum perkawinan baru yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman bagi rakyat Indonesia yang pluralistik.28

Menurut Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa: ”Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita suami isteri dengan

26

Ibid.

27

Ibid , hal. 43.

28

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 231.


(36)

tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”29

Dalam penjelasan UU Perkawinan menegaskan bahwa:

Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan penting. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.30 Pernyataan tersebut memberi arti bahwa dalam suatu perkawinan dimana perkawinan bukan hanya merupakan hubungan jasmani dan rohani antara wanita dan pria, tetapi juga sangat erat hubungannya dengan mempunyai dan membesarkan keturunan mereka.

Didalam hidup bersama orang harus biasa mengindahkan sejumlah besar peraturan-peraturan. Dari peraturan-peraturan tersebut sebagian besar sama sekali tidak ada hubungan dengan “hukum”. Misalnya mengenai kebanyakan aturan-aturan kesopanan dan juga mengenai berbagai kewajiban-kewajiban kepatutan. Hal-hal ini dapat saja dilanggar tanpa memperoleh hukuman.31

2. Konsepsi

Konsepsi adalah suatu bagian terpenting yang dapat diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari yang abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya definisi operasional adalah untuk

29

Penjelasan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 30

Sudarsono,Op. Cit, hal. 9. 31

H.F.A Vollmar, (Terjemahan I.S.Adiwinata), Pengantar Studi Hukum Perdata, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1989, hal. 1.


(37)

menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai.32

Konsepsi juga dapat diketemukan di dalam putusan-putusan pengadilan termasuk putusnya perkawinan akibat perceraian.33 Oleh karena dalam penelitian ini harus di defenisikan mengenai konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditemukan yaitu:

1. Perceraian adalah putusnya hubungan antara suami atau istri yang telah dibina dalam suatu ikatan yang sah baik itu di dalam acara adat Batak Toba maupun secara hukum Kristiani, dimana pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masing-masing. Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri.

2. Akibat hukum perceraian adalah dapat dilihat dari orang tua atau anak dan pembagian harta benda selama perkawinan.

a. Akibat perceraian dari segi orangtua / anak, yaitu: 1) Terhadap orang tua

a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana

32

Dadang Hawari,Psikiater dan Konsultan Pernikahan, yang dikutip dari Majalah Bulanan Cek dan Ricek No. 447/Thn.IX/Rabu, 21-27 Maret 2007.

33


(38)

ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

b) Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, dan bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

2) Mengenai kedudukan anak, apabila anak sudah besar dapat mengikuti ayahnya dan apabila masih kecil mengikuti ibunya. Apabila anak-anak sudah menjadi dewasa, keputusan diserahkan kepada mereka hendak mengikuti ayah atau ibunya. Dalam melakukan pembagian harta benda perkawinan harus memperhatikan kepentingan anak dan kepada siapa akan diserahkan tentang pemeliharaan, dan pendidikan anak.

b. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Harta bawaan suami atau istri kembali kepada pihak masing-masing, yang membawa harta benda tersebut ke dalam perkawinan. Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Harta bawaan


(39)

masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukum adat Batak Toba dan hukum agama Kristen.

3. Masyarakat Suku Batak Toba merupakan salah satu dari ratusan suku yang ada di Indonesia. Suku Batak berasal dari Pulau Sumatera, yang terbagi dalam enam suku yaitu suku Batak Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Angkola, dan suku Batak Mandailing.

4. Adat dalam Batak Toba itu sangat di junjung tinggi sehingga perceraian itu sangat rendah. Agama juga yang sangat mendukung untuk menolak terjadinya perceraian. Dengan adanya agama Kristen Protestan yang menolak perceraian itu maka kesempatan masyarakat juga akan semakin sempit dalam melakukan perceraian. Dalam agama Kristen, bahwa sahnya suatu perkawinan harus diberkati di gereja oleh Pendeta. Setiap agama merasa perlu mengajarkan tentang kepercayaan, adat istiadat dan kebaktian agama itu. Dengan penegasan dari ajaran Kristen terkhusus agama Kristen Protestan tersebut bahwa perceraian itu jelas dilarang oleh agama Kristen.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu


(40)

atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.34 Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas, yaitu penelitian deskripsi analistis, maksudnya penelitian pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik, atau faktor-faktor tertentu.35

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris yaitu penelitian dimana dilakukan pendekatan terhadap permasalahan36 yaitu penelitian terhadap efektivitas hukum dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan, buku-buku, putusan hakim, yurisprudensi yang berkaitan dengan permasalahan.

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto bisa juga disebutkan dengan penelitian

Non doctrinal yaitu penelitian yang berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum dalam masyarakat.37

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Desa Martoba (yang dulunya disebut Desa Tolping atau Bius Tolping), Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir.

34

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI-Press, Jakarta, Cetakan 3, 1986, hal.43.

35

Bambang Sunggono,Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan I, 1997, hal. 35.

36

Ibid, hal. 41. 37


(41)

Untuk melengkapi data tersebut didukung dengan data melalui informan yaitu: Hakim di Pengadilan Negeri Balige, Ketua Adat Batak Toba, Pendeta Kristen Protestan.

3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.1 Populasi

Dalam penelitian ilmiah dibutuhkan populasi dan sampel penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi penelitian adalah pejabat Pemerintahan Desa Martoba (Bius Tolping) Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Hakim di Pengadilan Negeri Balige, Pengetua Adat Batak di Desa Martoba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir dan Pendeta Agama Kristen

3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Dalam penelitian ini menetapkan sampel, yaitu Bapak J. Silalahi selaku Kepala Desa Martoba (Bius Tolping) Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir,

K. Limbong Hakim di Pengadilan Negeri Balige, Amang Jobar Siallangan selaku Pengetua Adat Batak di Desa Martoba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir dan Pendeta Agama Kristen, yaitu antara lain Pdt. Balosan Rajagukguk, STh, MS, selaku Pendeta HKBP Resort P. Siantar, Pdt. Asbon Salomon Manurung, STh, Pendeta di Gereja Bethel Injil Penuh Pematang Siantar.


(42)

4. Sumber Data

Sesuai dengan sifat penelitian sumber data terdiri dari: - Data Primer

Karena bersifat yuridis empiris maka sumber data diambil dari hasil data wawancara.

- Data Sekunder

Data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

1) Bahan hukum primer

Sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Undang-Undang Perkawinan, Hukum Acara Perdata dan Hukum Adat Batak Toba.

2) Bahan hukum sekunder

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan perceraian di kalangan Batak Toba yang beragama Kristen.

3) Bahan hukum tertier

Bahan yang bisa memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti ensiklopedi, majalah, artikel-artikel, surat kabar dan jurnal-jurnal hukum perceraian bagi masyarakat Adat Toba yang beragama Kristen.


(43)

5. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan 2 (dua) cara yaitu :

a. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan membaca, mempelajari dan menganalisa literature/buku-buku, peraturan perundang-undangan dan sumber buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Penelitian Lapangan (field research), yaitu dilakukan untuk menghimpun data primer dengan wawancara, dilakukan secara langsung kepada informan, dengan mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara, agar lebih mendapatkan informasi yang lebih fokus dengan masalah yang diteliti.

6. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang dipergunakan di dalam penelitian ini antara lain: 1) Studi Dokumen dan bahan pustaka

Studi dokumen, yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, yaitu peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, teori-teori dan laporan-laporan yang bertalian dengan penelitian ini.


(44)

2) Wawancara

Wawancara dilakukan dengan pedoman wawancara kepada responden yang telah ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung yang terlebih dahulu dibuat pedoman wawancara dengan sistematis, tujuannya agar mendapatkan data yang mendalam dan lengkap serta mempunyai kebenaran yang konkrit baik secara hukum maupun kenyataan yang ada di lapangan. Adapun nara sumber yang ditentukan adalah:

a. Hakim di Pengadilan Negeri Balige

b. Kepala Desa Martoba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir c. Pengetua Adat Batak di Desa Martoba

d. Pendeta Agama Kristen

7. Analisa Data

Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriptif kualitatif sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu setelah data primer diperoleh dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya. Selanjutnya data itu dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis dalam penulisan tesis ini. Sedangkan evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara kualitatif. Oleh karena itu data yang sudah dikumpulkan, dipilah-pilah dan dilakukan pengolahannya, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode kualitatif. Atas dasar pembahasan dan analisis ini diperoleh suatu kesimpulan


(45)

terhadap penelitian yang dilakukan. Kesimpulan ini merupakan jawaban atas permasalahan yang diteliti. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir.


(46)

A. Perkawinan Di Kalangan Masyarakat Batak Toba

Perkawinan merupakan suatu ritual yang dihadapi manusia dalam kedewasaannya untuk dapat berhubungan dengan lawan jenis untuk waktu yang lama dilandasi dengan suatu rasa antara kasih kepada orang lain dan disahkan oleh negara.

Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara sati dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis dapat dikatakan untuk membentuk suatu ikatan lahir dan bathin dengan tujuan menciptakan suatu keluarga / rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi.38

Perkawinan sangatlah kompleks maksudnya sulitnya menghubungkan dua orang dengan berbeda sifat dan walak yang dimilikinya dan ikatan perkawinan tersebut menimbulkan akibat yaitu hubungan lahiriah; spiritual; dan kewajiban diantara mereka sendiri pribadi dan kemasyarakatan. Ada beberapa definisi perkawinan baik yang diangkat oleh para ahli hukum; undang-undang; dan keputusan menteri. Menurut Ali Afandi bahwa pengertian perkawinan adalah persatuan antara laki-laki dan perempuan di dalam hukum keluarga.39

38Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 1

39 Ali Afandi,Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab


(47)

Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai suami istri dengan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.40

Perkawinan merupakan perikatan alat, perikatan kekerabatan, dan perikatan tetanggaan sehingga terjadinya suatu perikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan, ketetanggaan; dan menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia atau perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.41

Sahnya perkawinan secara adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada masyarakat adat yang bersangkutan. Maksudnya jika telah dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya, maka perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat tetapi ada daerah-daerah tertentu walaupun sudah sah menurut agama kepercayaan yang dianut

40Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

41Hilman Hadikusuma,Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Penerbit CV. Mondar Maju, Bandar Lampung, 1992, hal. 128


(48)

masyarakat adat belum tentu sah menjadi warga adat dari masyarakat adat bersangkutan, di antarannya masyarakat Batak Toba. Oleh karena itu terlebih dahulu mereka melakukan upacara adat agar bisa masuk dalam lingkungan masyarakat adat dan diakui menjadi salah satu warga masyarakat adat.

Dengan demikian dari pengertian perkawinan diatas dapat diketahui 3 (tiga) unsur pokok yang terkandung didalamnya, yaitu:

1. Perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita. 2. Perkawinan bertujuan unutk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal.

3. Perkawinan berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.

Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan selalu mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga/kerabat, untuk mnemperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.42Oleh karena sistim keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lain beda sehingga tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda-beda diantara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lainnya atau daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda, dan akibat hukum dan upacara perkawinannya berbeda-beda.


(49)

Perkawinan pada masyarakat Batak Toba pada umumnya menganut perkawinan monogami dan prinsip keturunan masyarakat Batak Toba adalah patrilineal, maksudnya garis keturunan dari anak laki-laki. Menurut hukum adat, perkawinan dapat merupakan urusan pribadi, urusan kerabat, keluarga persekutuan, martabat, tergantung kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan.43 Perkawinan bagi masyarakat adat Batak Toba adalah sakral dan suci maksudnya perpaduan hakekat kehidupan antara laki laki dan perempuan menjadi satu dan bukan sekedar membentuk rumah tangga dan keluarga.44

Dimana perkawinan dalam masyarakat Batak Toba dipandang suatu alat untuk mempersatukan dua buah keluarga atau dua buah marga yang berbeda. Demikian juga dengan pemberian mahar (tuhor) yang dipandang sebagai suatu alat magis atau sakral yang tidak dapat dipisahkan dari animisme Batal pada awalnya.45 Pemberian mahar ini adalah merupakan alat magis yang bertujuan untuk melepaskan ikatan seseorang gadis dari klan ayahnya untuk bergabung dengan klan suaminya dengan maksud agar tidak terjadi gangguan dalam kesinambungan kosmos.

Untuk menggambarkan sesuatu yang bersifat sakral dalam perkawinan hanya dapat dilihat; dirasa dari sikap perilaku; dan budaya rasa perkawinan itu sendiri. Budaya rasa yang demikian diwarisi secara rohani dari generasi ke generasi yang menyebabkan perkawinan adat Batak Toba tetap hidup dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Batak Toba termasuk mereka yang tinggal menetap di perantauan.

43 Iman Sudiyat,Hukum Adat Sketsa Asas,Penerbit Liberry, Yogyakarta, 1981, hal. 107. 44 Gultom Raja Marpondang, Dalian Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, Penerbit CV. Armanda. Medan, tt, hal.377.


(50)

Perkawinan pada masyarakat adat Batak Toba adalah tanggungjawab keseluruhan kerabat kedua belah pihak calon mempelai yang pelaksanaannya sesuai dengan falsafahDalihan Na Tolu sehingga perkawinan adat Batak Toba mempunyai aturan yang lengkap mulai dari meminang, pemberian jujur sampai upacara perkawinan.46

Salah satu ciri khas dari masyarakat adat Batak Toba adalah merantau dan tetap memegang teguh adat istiadat dimanapun dia berada, karena umumnya masyarakat Batak Toba mempunyai ikatan lahir dan batin yang sangat kuat terhadap tanah leluhur. Sebagai akibat kemajuan jaman dan kemajemukan suku bangsa maka warga Batak yang di perantauan sudah banyak yang melakukan perkawinan dengan suku lain.

Budaya Batak tidak menjadi penghalang dalam membentuk perkawinan antara suku di Indonesia, asalkan dalam bentuk sikap perilaku keluarga baru tidak bertentangan dengan pandangan hidup kekerabatan suku Batak Toba itu sendiri yaitu

Dalihan Na Tolu. Agar perkawinan antarsuku berjalan dengan baik. Oleh karena itu hendaklah pandangan keluarga baru yang bukan suku Batak mampu menghayati

Dalihan Na Tolu.47

Perkawinan dalam adat Batak Toba pada asasnya bertujuan membentuk rumah tangga yangbahagia dan kekal untuk mendapatkan anak sebagai penerus garis keturunannya yaitu dari anak laki-laki.

46Ibid., hal. 278. 47Ibid., hal. 279.


(51)

Iman Sudiyat mengatakan bahwa:

Perkawinan sebagai urusan keluarga dan kelompok. Ketunggalan silsilah inilah yang berfungsi memungkinkan pertumbuhan tertib teratur dari paguyuban hidup kerompok kewangsaan ke dalam generasi-generasi baru, anak-anak yang didalam perkawinan itu melanjutkan kehidupan kelompok kebangsaan, seperti: bagian klan, kaum ketunggalan silsilah, kelompok tunggal poyang, dan keluarga.48

Perkawinan juga mempertahankan kehidupan persekutuan setempat/ masyarakat desa dan persekutuan wilayah selaku kesatuan tata susunan rakyat. Pada umumnya pelaksanaan upacara adat di Indonesia dipengaruhi oleh bentuk dan sistim perkawinan adat setempat dalam kaitanya dengan susunan kekerabatan yang mempertahankan dengan masyarakat Batak Toba dipengaruhi menikah dengan di luar sukunya.

Dalam pengertian falsafah Dalihan Na Tolu, dimanaDalihan Na Toluartinya tungku yang tiga, yaitu tiga tungku yang terbuat dari batu yang di susun simetris satu sama lain saling menopang periuk atau kuali tempat memasak. Ini merupakan arti yang paling hakiki memberikan pengertian dan makna yang sangat dalam serta dijadikan sebagai pedoman berprilaku dalam segala aspek kehidupan masyarakat adat Batak Toba. Tiga unsur pokok dalam

Dalihan Na Tolu yaitusomba marhula hula(hormat pada keluarga ibu); elek marboru (ramah pada saudara perempuan); dan manat mardongan tubu

(kompak dalam hubungan semarga). Penerapan falsafah di atas dalam perkawinan adat Batak Toba mutlak.49

Untuk dapat menerapkan prinsip perilaku Dalihan Na Toludalam perkawinan adat Batak Toba maka yang paling pokok dan penting adalah semua unsurnya harus lengkap yaitu adaparanak/dongan tubu yakni orang tua laki-laki dan yang semarga dengannya, ada hula-hula/tulang yaitu keluarga yang semarga dengan ibunya dan

48Iman Sudiyat,Op. Cit., hal. 45 49Ibid., hal. 45


(52)

harus ada boru yaitu keluarga yang semarga dengan marga calon istrinya.50 Kesemuanya itu harus lengkap dan apabila tidak ada yang keluarga kandung dapat digantikan keluarga yang paling dekat dengan itu sesuai dengan hubungan kekerabatannya. Dongan tubu dan hula-hula serta boru tersebut diatas mempunyai kedudukan dan tugas serta tanggung jawab masing-masing dalam pelaksanakan suatu perkawinan. Misalnya dalam hal pemberianjujur(sinamot/mas kawin) disiapkan dan ditanggung sepenuhnya oleh pihak laki-laki penyerahannya dilakukan oleh yang semarga dengan laki-laki dongan tubu, sedangkan yang menerimanya adalah orangtua perempuan sebagai pihak hula-hura dan kelengkapan untuk proses pelaksanaanya dikerjakan oleh pihakboru.

Secara garis besarnya tahapan perkawinan adat Batak Toba yang masih tetap dilaksanakan sampai saat ini, antara lain:

l. Martandang

Pada tahap ini merupakan masa berkenalan / berpacaran biasanya pada saat pesta naposo yang merupakan ciri khas bergaur muda-mudi adat Batak Toba. Kemudian diranjutkan memberian janji dengan tanda jadi berupa tukar cincin, dengan demikian mereka resmi bertunangan.

2.Marhata sinamot

Laki-laki dan perempuan memberitahukan hubungannya kepada orangtua masing-masing. Barulah dilakukan marhusip merupakan kegiatan penjajakan akan kelanjutan kegiatan tukar cincin di atas. Pada tahap ini pertemuan keluarga dekat kedua pihak terjadi tawar menawar tentang; tangggal dan hari meminang, bentuk dan berapa besar mahar (sinamot), hewan adatnya apa, berapa ulos sampai mengenai jumlah undangan. Untuk menindak lanjuti hasil pertemuanmarhusipdi atas kemudian dilakukan lagi pertemuan marhata sinamot sebagai wujud nyata dan kepastian tentang kapan pelaksanaan perkawinan adat itu.


(53)

3. Upacara perkawinan

Upacara perkawinan adat Batak Toba dilakukan penuh hikmat karena disertai dengan acara agama yang saling melengkapi. Keterlibatan gereja yang paling mutlak dalam perkawinan adat ini adalah saat martumpol / marpadan(akad) dan saatpamasu masuon(peresmian).51

Upacara perkawinan adat Batak Toba dapat dilakukan dalam bentuk:

1. Upacara perkawinan adat nagok, yaitu pelaksanaannya sesuai dengan prosedur adat yang melibatkan unsur dalihan na tolu yang terdiri dari upacara perkawinandialap jualdan perkawinan ditaruhon jual;

2. Upacara perkawinan bukan adat nagok, yaitu perlaksanaan perkawinan adat tetapi pelaksanaannya tidak penuh sebagaimana adat yang berlaku. Artinya ada acara tahapan tertentu yang dihilangkan dengan maksud menghindarkan biaya yang besar. Namun perkawinan ini dilakukan tetap dengan pembayaran uang jujur (sinamot/mas kawin) jadi tetap sah dalam perkawinan adat Batak.52

B. Perceraian Dikalangan Masyarakat Batak Toba Beragama Kristen

Batak Toba merupakan salah satu suku berbudaya dan sebagian besar orang-orang Batak Toba adalah beragama Kristen baik Protestan maupun Katolik. Budaya Batak Toba lahir dari pikiran nenek moyang suku Batak Toba yang salah satunya dari budaya tercipta tersebut adalah mengenai adat istiadat atau tata cara perkawinan dan perceraian.

Perkawinan dikalangan Batak Toba yang masyarakatnya beragama Kristen dilakukan berdasarkan suatu janji dihadapan Tuhan agar setia menjadi suami istri sampai maut memisahkannya. Sedangkan adat perkawinan di dalam Batak Toba berperan sangat banyak dalam mengikat tali perkawinan, hal ini dapat dilihat bahwa

51 Herman Biily Situmorang, Ruhut-Ruhut Ni Adat Batak, Penerbit BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1983, ha1.175.


(54)

suku Batak Toba diakui paling setia pada perkawinan yang walaupun ada suami isttri yang telah diikat dalam perkawinan dan adat perkawinan tetapi salah satu pihak tidak setia yang pada akhirnya “bercerai”.

Bila dilihat dari pandangan Alkitab mengenai perceraian adalah penting untuk mengingat kata-kata Alkitab dalam Maleakhi 2:16a : “Sebab aku membenci perceraian, firman Tuhan, Allah Israel”. Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. “Demikian mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6).53 Meskipun demikian, Allah menyadari bahwa karena pernikahan melibatkan dua manusia yang berdosa, perceraian akan terjadi. Dalam Perjanjian Lama, Tuhan menetapkan beberapa hukum untuk melindungi hak-hak dari orang yang bercerai, khususnya wanita (Ulangan 24:1-4). Yesus menunjukkan bahwa hukum-hukum ini diberikan karena ketegaran hati manusia, bukan karena rencana Tuhan (Matius 19:8).54

Sebagai akibat dari pengaruh agama terkait perceraian, pemutusan perkawinan menurut hukum adat hampir selalu terjadi dengan campur-tangan aturan-aturan keagamaan. Pengertian perceraian menurut agama Kristen merupakan putusnya hubungan pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang telah hidup bersama sebagai suami isteri. Istilah perceraian ada dua pengertian yang digunakan dalam dua keadaan yang berbeda, yaitu:

53 http://www.gotquestions.org/:Apa itu perceraian & Apa kata Alkitab tentang Perceraian, This entry was posted on September 1, 2009, 5:11 am


(55)

Pertama, adalah perceraian dengan istilah a mensa et thoro (dari meja dan tempat tidur), lebih tepat lagi didefinisikan sebagai “pemisahan”. Dalam masalah ini pasangan suami isteri tersebut hidup terpisah dan berhenti untuk tinggal bersama sebagai suami isteri, tetapi masih terikat dengan perkawinan dan tidak ada kebebasan untuk menikah lagi dengan orang lain ketika pasangannya masih hidup. Keadaan seperti ini diakui oleh hukum dan diijinkan oleh tradisi Kristen di dalam pernikahan.

Kedua, Pengertian perceraian adalah dengan istilah a Vinculo yang berarti putusnya hubungan dari ikatan perkawinan (secara hukum/resmi). Mereka sudah tidak terikat satu dengan lainnya dan keduanya bebas menikah lagi dengan orang lain. Perceraian dalam pengertian seperti inilah yang banyak ditentang oleh gereja.55

Menurut Agama Katolik tidak mengenal putusnya perkawinan, melainkan mengenal perpisahan. Perpisahan dalam agama Katolik ada dua macam, yaitu:

a. Perpisahan dengan tetap adanya ikatan perkawinan, suami isteri mempunyai kewajiban dan hak untuk memelihara hidup bersama perkawinan, kecuali jika ada alasan sah yang memuaskan mereka.

Sangat dianjurkan agar suami isteri, demi cinta kasih Kristiani serta keprihatinan atas kesejahteraan keluarga, tidak menolak pengampunan bagi pihak yang berzinah, dan tidak memutuskan kehidupan perkawinan. Kendati pun demikian jika ia belum mengampuni kesalahannya secara tegas atau diam-diam, maka ia berhak untuk memutuskan hidup bersama perkawinan, kecuali kalau ia menyetujui perzinahan itu, atau ia sendiri juga berzinah.

b. Perpisahan dengan diputuskan ikatan perkawinannya.

Perkawinan yang tidak disempurnakan dengan persetubuhan antara orang-orang yang telah dibaptis, atau antara pihak dibaptis dengan pihak tak dibaptis, dapat diputuskan oleh Sri Paus atas alasan yang wajar, atas permintaan kedua-duanya atau salah seorang dari antara mereka, meskipun pihak yang lain tidak menyetujuinya.56

Putusnya perkawinan dengan alasan perceraian bagi pasangan suami isteri yang beragama Kristen Katolik tidak diperbolehkan, karena dalam perkawinan Kristen Katolik terdapat asas monogami dan tak terceraikan sesuai dengan Kitab

55Ibid.

56Piet Go O.Carm,Hukum Perkawinan Gereja Katolik Teks Dan Kometar, Penerbit Dioma, Malang, 1990, hal. 152.


(56)

Suci, yakni: “Apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak dapat diceraikan oleh manusia”.57

Menurut ajaran Paus Yohanes Paulus II dalam “Seruan Apostolik Familiaris Consortio”sub bab Rencana Allah tentang perkawinan dan keluarga adalah sebagai berikut: “Perkawinan antara dua orang terbaptis merupakan simbol nyata dari Perjanjian Baru dan kekal antara Kristus dan Gereja, merupakan sakramen, peristiwa keselamatan. Cinta mereka berciri menyatukan jiwa badan tak terceraikan, setia, terbuka bagi keturunannya”.58

Menurut ajaran Kristen Katolik, perceraian memang dilarang secara mutlak. Oleh karena itu, bagi suami isteri yang sedang mengalami kegoncangan rumah tangga, dapat ditempuh cara pisah meja dan tempat tidur. Upaya tersebut dimaksudkan agar kedua belah pihak lambat laun akan tumbuh rasa rindu dan menyadari kekeliruannya dan pada akhirnya keutuhan perkawinan kembali lagi. Peraturan Gereja Katolik secara mutlak melarang terjadinya perceraian, apabila kedua belah pihak masih hidup dan karena ada perzinahan. Menurut ajaran Rasul Paulus, dikatakan:

“Seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya masih hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikat kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya itu masih hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya

57Purwo Hadiwardoyo,Perkawinan Menurut Islam Dan Katolik, Implikasinya Dalam Kawin

Campur, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1990, hal. 38.

58 Purwa Hadiwardoyo, Perkawinan Dalam Tradisi Katolik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1988, hal. 125.


(57)

telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain”.59

Menurut pandangan agama Kristen Protestan tentang perkawinan, dikatakan: “Allah telah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan. Karena itu Dialah yang menghendaki, menetapkan, memberkati dan memelihara pernikahan itu. Yang menarik ialah bahwa laki-laki dan perempuan telah diciptakan dari satu daging. Ini berarti laki-laki maupun perempuan hanyalah belahan saja, dan melalui pernikahan, kedua belahan itu menjadi satu kasatuan yang utuh, sama dan sederajat. Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu daging. Karena itu apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia”.60

Perkawinan tidak dapat diputuskan oleh kuasa manusiawi manapun juga dan atas alasan apapun selain oleh kematian. Dengan adanya kematian salah satu pihak yang kawin itu, menjadi putus ikatan perkawinannya, namun hubungan sebagai akibat perkawinan di antara keluarga para pihak yang bersangkutan tidak putus. Bagi suami isteri yang masih hidup yang telah menjadi duda atau janda boleh kawin lagi, persyaratan yang ditentukan oleh ketentuan yang tidak disempurnakan dengan persetubuhan antara orang yang telah dibaptis, atau antara pihak dibaptis dengan pihak tak dibaptis diputuskan oleh Sri Paus atas alasan yang wajar, atas permintaan kedua-duanya atau salah seorang dari antara mereka, meskipun pihak yang lain tidak menyetujuinya. Oleh karena itu, timbul beberapa pendapat orang-orang Kristen tentang perceraian. Adapun berbagai sikap mengenai perceraian adalah sebagai berikut:

a. Ada yang menolak alasan apapun.

b. Ada yang membenarkan perceraian berikut hak untuk kawin lagi bagi pihak yang tidak bersalah dalam hal perbuatan zinah.

c. Ada yang menyetujui beberapa alasan untuk bercerai dan kawin lagi.61 Hasil wawancara dengan Pdt. Balosan Rajagukguk, STh, MS mengatakan bahwa: Dalam perkawinan orang Batak Toba memang banyak waktunya terpakai untuk acara adatnya sementara dalam pemberkatan nikah hanya 2 jam di dalam gereja. Di dalam kebaktian pemberkatan nikah tersebut sudah dilakukan bernyanyi,

59Lembaga Alkitab Indonesia,Alkitab, Jakarta, 1982, hal. 197.

60 Weinata Sairin dan JM. Fattiasina, Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Dalam

Perspektif Kristen,Penerbit BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal. 15.

61 Team Pembinaan Persiapan Keluarga,Membangun Keluarga Kristiani, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1981, hal. 74.


(58)

berdoa, memuji Tuhan dan memohon perkawinan agar diberkati dan yang paling utama adalah mempelai berjanji dihadapan Tuhan. Dengan demikian tata cara perkawinan pada suku Batak Toba paling ruwet dalam pelaksanaan perkawinan misalnya di suku Batak Toba yang beragama Kristen Protestan dan melakukan ibadah di HKBP harus sudahmalua,martuppolbaru pemberkatan.62

Terjadinya perceraian dikalangan suku Batak Toba khususnya yang menganut agama Kristen disebabkan Gereja-Gereja dan Lembaga Adat Batak Toba tak mampu mengendalikan kasus-kasus perceraian di tengah kehidupan warganya. Indikasi ini nampak dari meningkatnya kasus perceraian di kantong-kantong komunitas umat Kristen dan masyarakat Batak Toba. Peranan Gereja dan Lembaga Adat Batak Toba semakin lemah mencegah dan mengatasi kasus perseraian karena warganya cenderung mengabaikan nilai-nilai agama dan adat dalam kehidupan keluarga.

Menurut Pdt. Asbon Salomon Manurung, STh bahwa ikatan perkawinan di kalangan umat Kristen dan masyarakat Batak Toba belakangan ini semakin rapuh karena kalangan generasi mudanya tidak lagi menghargai adat dan agama dalam kehidupan keluarga mereka.63Keluarga baru yang terbentuk di kalangan kaum muda kurang menghargai nilai-nilai sakral perkawinan karena pemahaman terhadap makna adat dan agama semakin merosot.

62 Hasil wawancara dengan Balosan Rajagukguk, selaku Pendeta HKBP Resort P. Siantar pada tanggal 28 April 2011.

63Hasil wawancara dengan Asbon Salomon Manurung, Pendeta di Gereja Bethel Injil Penuh Pematang Siantar, di Pematang Siantar pada tanggal 27 April 2011.


(1)

133

asuh terhadap perkembangan dan pertumbuhan si anak di kemudian hari. Tapi pada umumnya dijatuhkan hak asuh anak kepada istri (ibu). Tetapi akibat perceraian pada Suku Batak Toba, anak-anak hasil perkawinan akan tinggal bersama suami. Hanya bayi yang boleh tetap bersama ibunya sampai cukup umur untuk dipisahkan darinya, sirang susu (lepas menetek), artinya sesudah berumur dua atau tiga tahun.

c. Terhadap harta benda perkawinan

Mengenai harta bersama, baik suami atau isteri dapat mempergunakannya dengan persetujuan salah satu pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan, suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya masing-masing atas harta bendanya itu.

B. Saran

1. Dalam hal pengaturan mengenai perceraian Pemerintah dan DPR dalam merubah atau merombak undang-undang yang mengatur tentang perceraian lebih memperketat peraturan mengenai perceraian, agar tidak dengan begitu mudahnya perceraian di Indonesia.

2. Hendaknya Pengetua Adat, Pendeta, bahkan Pengadilan Negeri memberikan masukan-masukan kepada keluarga muda yang bermasalah dalam rumah tangga agar tidak terjadi perceraian. Sebab alasan apapun mengenai perceraian dalam masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen tidak dapat dilakukan kecuali dengan kematian.


(2)

134

3. Hendaknya Pengetua Adat, Pendeta, bahkan Pengadilan Negeri memberikan masukan-masukan mengenai hal akibat hukum perceraian dalam masyarakat hukum Batak Toba yang beragama Kristen baik itu mengenai hubungan persaudaraan, anak bahkan harta kekayaan yang timbul dalam perkawinan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Arrasjid, Chainur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan 3, 2004

Carm, Piet Go O.,Hukum Perkawinan Gereja Katolik Teks Dan Kometar, Dioma, Malang, 1990

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Tahun 1989

Hadikusuma, Hilman,Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, CV. Mondar Maju, Bandar Lampung, 1992

Hadiwardoyo, Purwa, Perkawinan Dalam Tradisi Katolik, Kanisius, Yogyakarta, 1988,

---, Perkawinan Menurut Islam Dan Katolik, Implikasinya Dalam Kawin Campur, Kanisius, Yogyakarta, 1990

Kartasapoetra, Rien G., Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, Cetakan I, 1988

Kartono, Kartini,Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Grafindo Persada, Jakarta, 2002

KW, Saleh, 1980,Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994 Malik, Rusdi, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan diIndonesia, Penerbit

Universitas Trisakti 1990, Jakarta

Poerwadarminta, WJS., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1998

Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Bina Aksara, Jakarta

Purbacaraka, Purnadi, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta, 1989


(4)

Rajamarpondang, Gultom, Dalian Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, CV. Armanda. Medan, tt

Sairin, Weinata dan JM. Fattiasina, Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Dalam Perspektif Kristen,BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994

Satrio J,Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1983 Saxton, L.,The Individual, Marriage & The Family,California: Wadsworth, 1990 Sinaga, Richard, Perkawinan Adat Dalian Natolu, Dian Utama anggota IKAPI

dan Kerabat (Kerukunan Masyarakat Batak),Jakarta, 1998

---, Adat Budaya Batak dan kekristenan, Dian Utama Anggota IKAPI, Jakarta, 2000

Soekanto, Soerjono, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Penerbit UI-Press, Jakarta, Cetakan 3, 1983

---, 2007,Hukum Adat,Indonesia, Rajawali Press, Jakarta

Soemijati,Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Yogyakarta: Liberty, 1982

Situmorang, Herman Biily, Ruhut-Ruhut Ni Adat Batak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1983

---,Pengantar Penelitian Hukum ,UI-Press, Jakarta, Cetakan 3, 1986 Sudiyat, Iman,Hukum Adat Sketsa Asas,Liberry, Yogyakarta, 1981

Sunggono, Bambang, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan I, 1994

---,Metodologi Penelitian Hukum,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan I, 1997

Sutanto, Retnowulan, Wanita dan Hukum, Himpunan Karangan Hukum yang Penting Bagi Kaum Wanita, Penerbit Alumni, Bandung, 1979

Team Pembinaan Persiapan Keluarga, Membangun Keluarga Kristiani, Kanisius, Yogyakarta, 1981


(5)

Trizakia, Yani,Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005 Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di

Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan I, 2006 Wasis, SP.,Pengantar Ilmu Hukum, UMM Press, Malang , Cetakan I, 2002 Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Penerbit PT.

Toko Gunung Agung, Cetakan Keenam, Jakarta, 1983

Wuisman, J.J.J M., dengan Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I , FE -UI, Jakarta, 1996

Vollmar, H.F.A, (Terjemahan I.S.Adiwinata), Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan 2, 1989

B. Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945

---, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan ---, PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan

C. Tabloid/Majalah/Internet/Kamus

Filed under: Budaya Batak, Kemiskinan, Perkawinan, Uncategorized — thomanpardosi @ 14:25,Perceraian dalam Konsep Budaya Batak Hall, Comparative Law and Social Theory, Baton Rouge, 1963, Sebagaimana

dikutip oleh Doddi Panjaitan dalam web sitenya, yaitu http://doddipanjaitan. blogspot.com / feeds / 6463358296405325399/comments/default, Friday, January 25, 2008 mengenai Perbandingan Hukum (3)

Hawari, Dadang, Psikiater dan Konsultan Pernikahan, Cek dan Ricek No. 447/Thn.IX/Rabu, 21-27 Maret 2007

http://www.gotquestions.org/:Apa itu perceraian & Apa kata Alkitab tentang Perceraian, This entry was posted on September 1, 2009


(6)

Ka’bah, Rifyal, Permasalahan Perkawinan, Varia peradilan No. 271, Makalah Juni, 2008

Perron C., I Was Divorced By 25. When The Honeymoon Is Over. [Ulasan] Majalah Cosmopolitan AustraliaJuli 1991

Tiga Faktor Utama Penyebab Perceraian,OPINI| 07 May 2010 | 16:46 Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Jakarta: 1982