Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Antara Pt. Asusindo Servistama Dan Medan Selular (Studi Pada Pt. Asusindo Servistama Medan)

BAB II
TINJAUAN YURIDIS KLAUSULA PERJANJIAN KERJASAMA
A. Pengertian Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian Secara Umum
Untuk membuat suatu perjanjian hendaknya kita terlebih dahulu
memahami arti dari perjanjian tersebut. Apabila dilihat dari literatur banyak kita
temui beraneka ragam pengertian perjanjian, di mana masing-masing dari sarjana
memberikan pengertian sendiri-sendiri, hal mana pengertian tersebut dibuat oleh
pakar hukum, oleh karena hal inilah kita tidak menemukan keseragaman
pengertian perjanjian.
Sebelum kita lebih jauh membahas tentang perjanjian ada baiknya kita
terlebih dahulu membahas mengenai perikatan, sebab seperti yang kita ketahui
perjanjian itu tidak terlepas dari perikatan. Di mana disini terlihat jelas bahwa
suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji pada orang lain
atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. 12 Dari
peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan
perikatan. Perjanjian tersebut menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang
membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikatan
yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan,

disampingnya sumber-sumber lain. Perjanjian adalah sumber yang terpenting
yang melahirkan perikatan.

12

R. Subekti, Hukum Perjanjian Cetakan ke-21, PT. Intermasa, Jakarta, 2005, hal. 1.

16

17

Dari ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa “Tiap-tiap
perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena Undang-Undang“.
Pasal ini seharusnya menerangkan tentang pengertian perikatan karena merupakan
awal dari ketentuan hukum yang mengatur tentang perikatan. Namun,
kenyataannya pasal ini hanya menerangkan tentang dua sumber lahirnya
perikatan, yaitu :
a. Perjanjian; dan
b. Undang-undang.
Perjanjian sebagai sumber perikatan ini, apabila dilihat dari bentuknya,

dapat berupa perjanjian tertulis maupun perjanjian tidak tertulis. 13 Dari ketentuan
ini, tidak dijelaskandefinisi perikatan, oleh karena itu para ahli memberikan
rumusan tentang perikatan ini beraneka ragam. Dari hal ini para ahli memberikan
rumusan masing-masing.
Subekti,memberikan rumusan perikatan sebagai berikut: “ Suatu perikatan
adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.” 14
Hofman, memberikan pengertian tentang perikatan adalah : “Perikatan
adalah suatu hubungan antara sejumlah subjek-subjek hukum sehubungan dengan
itu seorang atau beberapa orang dari padanya (debitur/para kreditur) mengikatkan
dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak
atas sikap yang demikian itu.“ 15

13

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233
Sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hal. 3.
14
R. Subekti, loc. cit.

15
Hofman, Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 2003, hal. 2.

18

Wan Sadjaruddin Baros, dalam bukunya Sendi Hukum Perikatan
menyatakan: “Perikatan itu ialah hubungan hukum antara dua orang (pihak) atau
lebih dalam harta kekayaan yang menimbulkan hak di satu pihak dan kewajiban di
pihak lain.” 16
Dari beberapa pendapat para sarjana di atas maka dapat disimpulkan
bahwa dalam suatu perikatan (verbintenis) terkandung hal-hal sebagai berikut: 17
1. Adanya hubungan hukum
2. Biasanya mengenai kekayaan atau harta benda
3. Antara dua orang/pihak atau lebih
4. Memberikan hak kepada pihak yang satu, yaitu kreditur
5. Meletakkan kewajiban pada pihak yang lain, yaitu debitur
6. Adanya prestasi
Setelah kita lebih mengetahui pengertian perikatan maka kita kembali
pada pembahasan perjanjian, yang mana di atas telah dijelaskan bahwa perikatan
bersumber pada perjanjian, dan selain perjanjian masih ada lagi sumber lain yang

menerbitkan perikatan yaitu Undang-Undang.
Istilah perjanjian berasal dari bahasa inggris yaitu “contracts”.Sedangkan
dalam bahasa belanda istilah perjanjian atau persetujuan disebut juga dengan
“overeenkomst”. 18Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah
“persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih,
masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan.” 19

16

W.S.Baros, Sendi Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1997, hal. 12.
M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1996, hal. 6.
18
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
Jakarta, 2003, hal. 3.
19
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthisar Indonesia Edisi Ketiga, Balai
Pustaka, Jakarta, 2005, hal. 458.
17

19


Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang
dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat
untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.” 20Untuk memahami
istilah mengenai perjanjian terdapat beberapa pendapat para sarjana, yaitu :
1. M. Yahya Harahap
Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua
orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak atau sesuatu untuk memperoleh
prestasi atau sekaligus kewajiban pada pihak lain untuk menunaikan
kewajiban pada pihak lain untuk memperoleh suatu prestasi.
2. R. Subekti
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang
lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal. 21
3. Wirjono Prodjodikoro
Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara
dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau di anggap berjanji untuk
melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak
lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 22
4. Hartono Suprapto

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang
lain atau dua orang lain itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. 23

20

Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 363.
R. Subekti, loc. cit.
22
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, 1986, hal. 9.
23
Hartono Suprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung, 1999, hal. 12.
21

20

5. Abdul Kadir Muhammad
Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang pihak atau
lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta
kekayaan. 24
Pengertian perjanjian juga diatur dalam Pasal 1313 Buku III KUHPerdata,

yang selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang HukumPerdata (Burgerlijk
Wetboek) menyebutkan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatuperbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satuorang lain atau
lebih.”
Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian
yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri.
Pengertian ini sebenarnya tidak begitu lengkap, tetapi dengan pengertian ini,
sudah jelas bahwa dalam perjanjian itu terdapat satu pihak mengikatkan diri
kepada pihak lain.
Pengertian ini sebenarnya seharusnya menerangkan juga tentang adanya
dua pihak yang saling mengikatkan diri tentang sesuatu hal. Artinya kalau hanya
disebutkan bahwa satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain, maka terlihat
seolah-olah yang dimaksud hanyalah perjanjian sepihak, tetapi kalau disebutkan
juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri, maka pengertian
perjanjian ini meliputi baik perjanjian sepihak maupun perjanjian dua pihak. 25
Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian yangdiatur dalam
ketentuan di atas yang membuat pengertian perjanjian menjadi luas, seperti yang

24


Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000, hal. 225.
25
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, op. cit., hal. 64.

21

di katakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi
Hukum Perikatan bahwa:
“Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313
KUHPerdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidaklengkap karena yang
dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja.Definisi itu dikatakan
terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan didalam lapangan hukum
keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjianjuga, tetapi sifatnya
berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III, perjanjian
yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil,
dengankata lain dapat dinilai dengan uang.” 26
Menurut Muhammad Abdul Kadir, Pasal 1313 KUHPerdata mengandung
kelemahan karena : 27
a. Hanya menyangkut sepihak saja. Dapat dilihat dari rumusan “satu orang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
Kata “mengikatkan” sifatnya hanya sepihak, sehingga perlu dirumuskan
“kedua pihak saling mengikatkan diri” dengan demikian terlihat adanya
konsensus antara pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik.
b. Kata perbuatan “mencakup” juga tanpa consensus. Pengertian “perbuatan”
termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan
melawan hukum yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya
digunakan kata “persetujuan”.

26

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti,
Jakarta, 2001, hal. 65.
27
Damang, Perjanjian, Perikatan dan Kontrak, http://www.negarahukum.com/hukum/
perjanjian-perikatan-kontrak.html, diakses pada tanggal 06 april 2017.

22

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Hal ini disebabkan mencakup janji

kawin (yang diatur dalam hukum keluarga), padahal yang diatur adalah
hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan.
d. Tanpa menyebutkan tujuan. Rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tidak
disebut tujuan diadakannya perjanjian, sehingga pihak-pihak yang
mengikatkan diri tidak jelas untuk maksud apa.
Demikian halnya menurut Suryodiningrat, bahwa definisi Pasal 1313
KUHPerdata ditentang beberapa pihak dengan argumentasi sebagai berikut : 28
1. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan, dan demikian
pula tidak ada sangkut pautnya dengan setiap sumber perikatan, sebab
apabila penafsiran dilakukan secara luas, setiap janji adalah persetujuan;
2. Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan
akibat hukum tanpa dimaksudkan (misal: perbuatan yang menimbulkan
kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum);
3. Definisi Pasal 1313 KUHPerdata hanya mengenai persetujuan sepihak
(unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya
tidak berprestasi (misal: schenking atau hibah). Seharusnya persetujuan itu
berdimensi dua pidak di mana para pihak saling berprestasi;
4. Pasal

1313


KUHPerdata

hanya

mengenal

persetujuan

obligatoir

(melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi
persetujuan jenis lainnya (misalnya: perjanjian liberatoir/membebaskan,
perjanjian dilapangan hukum keluarga, perjanjian kebendaan, perjanjian
pembuktian).

28

R.M. Suryodiningrat, Asas Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, 1985, hal. 72.

23

Berdasarkan alasan yang dikemukankan di atas, maka perlu dirumuskan
kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Menurut doktrin (teori lama),
yang disebut perjanjian adalah hukum berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum. Dari definisi di atas, telah terlihat adanya asas
konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan
kewajiban).
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan
dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau
lebihberdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru
tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat
perbuatan-perbuatansebelumnya atau yang mendahuluinya. 29
Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus terdapat dua pihak, di
mana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat
hukum tertentu. Di mana dalam kesepakatan itu, satu pihak wajib melaksanakan
sesuai dengan yang telah disepakati, dan pihak yang satunya berhak mendapatkan
sesuai dengan apa yang telah disepakati.
2. Pengertian Perjanjian Kerjasama
Perjanjian

kerjasama

merupakan

suatu

bentuk

kerjasama

yang

berlandaskan atas perjanjian-perjanjian yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak
yang sepakat untuk melakukan kerjasama.
Perjanjian kerjasama tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata,
perjanjian ini merupakan perjanjian yang lahir berdasarkan asas kebebasan
29

161.

Salim H.S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal.

24

berkontrak. Meskipun tidak diatur dalam KUHPerdata, namun perjanjian
kerjasama ini tetap berpedoman pada KUHPerdata. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan “Semua perjanjian baik yang
mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama
tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam bab ini
dan bab yang lalu.”
Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
“Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan
antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh
yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak”.
Sedangkan menurut Subekti perjanjian kerja adalah perjanjian antara
seorang buruh dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya
suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan yaitu
suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu yaitu majikan berhak
memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain yaitu buruh.
Berdasarkan Black’s Law Dictionary perjanjian kerjasama merupakan
“Suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk
berbuat atau tidak berbuat suatu hal yang khusus”. 30
Berdasarkan definisi perjanjian kerjasama di atas memiliki kesamaan
dengan pengertian perjanjian, karena suatu perjanjian kerjasama tidak dapat
dipisahkan dari syarat-syarat perjanjian yang sah menurut KUHPerdata. Dengan
30

Edy Suprapto, Artikel Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerjasama,
http://erland78.blogspot.co.id/2012/07/nota-kesepahaman-dan-perjanjian.html,
diakses
pada
tanggal 06 April 2017.

25

kata lain, perjanjanjian kerjasama memiliki dasar hukum yang sama dengan suatu
perjanjian yang merupakan suatu perangkat kaidah hukum yang mengatur tentang
hubungan hukum antara dua orang atau lebih untuk yang satu mengikat dirinya
kepada yang lain, atau di antara keduanya saling mengikatkan diri yang
menimbulkan hak dan kewajiban satu sama lain, untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu.
Pada dasarnya perjanjian kerjasama ini berawal dari suatu perbedaan
atauketidaksamaan kepentingan diantara para pihak yang bersangkutan.
Perumusanhubungan kontraktual tersebut pada umumnya senantiasa diawali
dengan prosesnegosiasi diantara para pihak. Melalui negosiasi para pihak
berupayamenciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan
sesuatuyang diinginkan melalui proses tawar-menawar. 31
Berawal dari terjadinya perbedaan kepentingan para pihak akan
dicobadipertemukan melalui adanya kesepakatan dari para pihak. Oleh karena
itumelalui hubungan perjanjian perbedaan tersebut dapat diakomodir dan
selanjutnyadapat dibingkai dengan sebuah perangkat hukum sehingga dapat
mengikat para pihak. Mengenai sisi kepastian hukum dan keadilan justru akan
tercapai apabilaperbedaan yang ada diantara para pihak dapat terakomodasi
melalui suatumekanisme hubungan kontraktual yang bekerja secara proporsional.
Perjanjian yang terbentuk dari kesepakatan para pihak ini akan bersifat mengikat
dan berlaku sebagai undang-undang dan wajib dilaksanakan dengan iktikad baik.
Salah satu unsur yang terdapat dalam perjanjian kerjasama adalah adanya
subjek hukum. Subjek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban yaitu
31

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2010, hal. 1.

26

para pihak yang terkait dalam perjanjian kerjasama tersebut. Adapun pihak-pihak
yang bersangkutan dalam perjanjian kerjasama antara lain, pihak yang berhak atas
sesuatu dari pihak lain dan pihak yang berkewajiban memenuhi sesuatu kepada
pihak yang satu.
Pada prinsipnya perjanjian kerjasama dibedakan dalam 3 pola yaitu:
4. Usaha Bersama (Joint Venture)
Joint venture adalah merupakan bentuk kerjasama umum dapat dilakukan
pada semua bidang usaha, di mana para pihak masing-masing
menyerahkan model untuk membentuk badan usaha yang mengelola usaha
bersama.
5. Kerjasama Operasi (Joint Operation)
Joint operation adalah bentuk kerjasama khusus, di mana bidang usaha
yang dilaksanakan merupakan bidang usaha yang merupakan hak atau
kewenangan salah satu pihak. Bidang usaha itu sebelumnya sudah ada dan
sudah beroperasi, di mana pihak investor memberikan dana untuk
melanjutkan atau mengembangkan usaha yang semula merupakan hak atau
wewenang pihak lain, dengan membentuk badan usaha baru sebagai
pelaksana kegiatan usaha.
6. Operasi Sepihak (Single Operational)
Single operational merupakan bentuk kerjasama khusus di mana bidang
usahanya berupa "bangunan komersial". Salah satu pihak dalam
kerjasamaini adalah pemilik yang menguasai tanah, sedangkan pihak
lain/investor, diijinkan untuk membangun suatu bangunan komersial di
atas tanah milik yang dikuasai pihak lain, dan diberi hak untuk

27

mengoperasionalkan bangunan komersial tersebut untuk jangka waktu
tertentu dengan pemberian fee tertentu selama jangka waktu operasional
dan

setelah

jangka

waktu

operasional

berakhir

investor

wajib

mengembalikan tanah beserta bangunan komersial di atasnya kepada pihak
pemilik/yang menguasai tanah. Bentuk kerjasama ini lasimnya
disebut : BOT (Build, Operate and Transfer), dan variannya
adalah : BOOT (Build, Own, Operate and Transfer), BLT (Build,
Lease and Transfer) dan BOO (Build, Own and Operate). 32
Jumlah dari perjanjian ini tidak terbatas namun disesuaikan dengan
kebutuhan para pihak yang mengadakan perjanjian ini, dan lahirnya perjanjian ini
merupakan praktik nyata dari asas kebebasan berkontrak.
Suatu perjanjian tidak terlepas dari kontrak dan menganut asas kebebasan
berkontrak. Asas kebebasan berkontrak mengartikan bahwa para pihak bebas
mengadakan perjanjian apa saja dengan berbagai bentuk, dengan ketentuan
kontrak yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan
dan ketertiban umum. Asas kebebasan berkontrak ini dapat disimpulkan
berdasarkan pada Pasal 1338 KUHPerdata, yang mengatakan bahwa segala
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Pasal ini dimaksudkan sebagai pernyataan bahwa setiap
perjanjian bersifat “mengikat” kedua belah pihak, disertai adanya asas kebebasan
berkontrak.

32

Raimond Flora Lamandasa, loc.cit.

28

B. Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana
yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dengan dipenuhinya empat
syarat yang disebutkan dalam pasal tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah
dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. 33
Empat syarat sahnya perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320
KUHPerdata adalah sebagai berikut :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, syarat-syarat tersebut
dibagi kedalam dua kelompok besar, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.Dua
syarat pertama dinamakan syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau
subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir
dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau
objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. 34
Tidak terpenuhinya salah satu syarat dari keempat syarat sahnya perjanjian
tersebut, dapat mengakibatkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut
diancam dengan pembatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (apabila terdapat
pelanggaran terhadap syarat subjektif), maupun batal demi hukum (dalam hal

33

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 14.
34
R. Subekti, op. cit., hal. 17.

29

tidakterpenuhinya syarat objektif), dalam pengertian bahwa perikatan yang lahir
dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. 35
1. Syarat Subjektif 36
Syarat subjektif dalam syarat sahnya perjanjian, meliputi dua macam
keadaan yaitu :
a. Terjadinya kesepakatan

secara

bebas

diantara

para

pihak yang

diantara

para

pihak

melangsungkan suatu perjanjian.
b. Adanya

kecakapan

untuk

bertindak

yang

melangsungkan suatu perjanjian.
Ad.a. Kesepakatan Bebas
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua
atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk
dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan
siapa yang harus melaksanakan. 37Para pihak yang mengadakan perjanjian harus
bersepakat dan setuju mengenai hal-hal pokok yang diadakan dalam perjanjian
itu. 38 Sepakat dan setuju itu sifatnya bebas, artinya benar-benar atas kemauan
sukarela diantara para pihak artinya tidak ada paksaan sama sekali dari pihak
manapun. Dikatakan tidak ada paksaan, apabila orang melakukan perbuatan itu
tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan
upaya bersifat mengancam. 39

35

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op. cit., hal. 94.
Ibid.
37
Ibid., hal. 95.
38
R. Subekti, op. cit., hal. 19.
39
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan Cetakan Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1992, hal. 89-90.
36

30

Menurut ketentuan yang diatur di dalam KUHPerdata secara a contrario
dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada
saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa
kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan, maupun penipuan
sebagaimana dituliskan dalam Pasal 1321 KUHPerdata. 40
1. Tentang kekhilafan dalam perjanjian
Masalah kekhilafan diatur dalam Pasal 1322 KUHPerdata. Ada dua hal
pokok dan prinsipil dari rumusan pasal 1322 KUHPerdata, yaitu :
a. Kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian;
b. Ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan perjanjian karena
kekhilafan yaitu, mengenai :
(1) Hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya (error in substantia). Misalnya seseorang
menganggap bahwa ia membeli lukisan yang asli, ternyata kemudian
mengetahui bahwa lukisan yang dibelinya adalah tiruan.
(2) Terhadap orang yang dibuatnya suatu perjanjian (error in persona).
Misalnya, seorang penyelenggara konser menandatangi perjanjian
dengan seorang penyanyi sebagai salah satu pengisi acara. Namun
setelah penandatanganan perjanjian tersebut, baru diketahui bahwa
orang yang menandatangani perjanjian bukanlah orang yang dimaksud
hanya saja karena namanya sama.

40

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, loc. cit.

31

2. Tentang paksaan dalam perjanjian
Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam lima pasal,
yaitu dari Pasal 1323 KUHPerdata hingga Pasal 1327 KUHPerdata. Ketentuan
dalam Pasal 1323 KUHPerdata merujuk pada subjek yang melakukan pemaksaan,
yang dilakukan oleh pihak di dalam perjanjian, orang yang bukan pihak
dalamperjanjian tetapi memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat
tersebut.Selanjutnya berdasarkan rumusan Pasal 1325 KUHPerdata, dapat
diketahui bahwa subjek terhadap siapa paksaan dilakukan ternyata tidak hanya
meliputi orang yang merupakan pihak dalam perjanjian, melainkan juga termasuk
didalamnya suami atau istri dan keluarga dalam garis keturunan ke atas maupun
ke bawah.
Pasal 1324 KUHPerdata dan Pasal 1326 KUHPerdata berbicara mengenai
akibat paksaan atau ancaman yang dilakukan, yang dapat dijadikan sebagai alasan
pembatalan perjanjian yang telah dibuat (dibawah paksaan atau ancaman
tersebut).Jika merujuk pada rumusan Pasal 1324 KUHPerdata dan Pasal 1326
KUHPerdata, dapat diketahui bahwa paksaan yang dimaksud dapat terwujud
dalam dua bentuk kegiatan atau perbuatan. Perbuatan yang dimaksud berupa :
a. Paksaan fisik, dalam pengertian kekerasan;
b. Paksaan psikis, yang dilakukan dalam bentuk ancaman psikologis atau
kejiwaan.
Selain itu, paksaan tersebut juga mencakup dua hal yaitu :
a. Jiwa dari subjek hukum sebagaimana disebut dalam Pasal 1325
KUHPerdata;

32

b. Harta kekayaan dari pihak-pihak yang disebut dalam Pasal 1325
KUHPerdata.
Paksaan terjadi, jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut
pada suatu ancaman. Paksaan yang dimaksud dalam KUHPerdata tidak hanya
berarti tindakan kekerasan saja tetapi paksaan dalam arti yang lebih luas yaitu
meliputi ancaman terhadap kerugian kepentingan hukum seseorang. Intinya,bukan
kekerasan itu sendiri tetapi rasa takut yang ditimbulkan oleh adanya kekerasan
tersebut.
3. Tentang penipuan dalam perjanjian
Penipuan sebagai alasan pembatalan suatu perjanjian diatur dalam Pasal
1328 KUHPerdata yang terdiri dari dua ayat. Dari rumusan pasal ini dapat dilihat,
bahwa penipuan mempunyai unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam
perjanjian untuk mengelabui pihak lawannya sehingga pihak yang satunya
memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat antara
mereka. KUHPerdata menyatakan bahwa masalah penipuan yang berkaitan
dengan kesengajaan ini harus dapat dibuktikan dan tidak diperbolehkan hanya
dengan adanya persangkaan saja.
Ad.b. Kecapakan Untuk Bertindak
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan
akibat hukum. Orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang yang
cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum,
sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.Orang yang cakap dan
berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah berumur

33

21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan
perbuatan hukum adalah : 41
1. Anak dibawah umur (minderjarigheid)
2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan, dan
3. Istri (Pasal 1330 KUHPerdata). Akan tetapi dalam perkembangannya istri
dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal
31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung)
Nomor 3 Tahun 1963.
Mengenai kewenangan melakukan perbuatan hukum atau kewenangan
untuk membuat perjanjian, dikatakan ada kewenangan apabila ia mendapat kuasa
dari pihak ketiga untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yaitu membuat
perjanjian. Dikatakan tidak ada kewenangan apabila ia tidak mendapat kuasa
untuk itu. 42
2. Syarat Objektif
Syarat objektif adalah syarat mengenai perjanjian itu sendiri atau objek
dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.Tidak dipenuhinya dua syarat ini bisa
mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Syarat objektif
dalam syarat sahnya perjanjian meliputi dua macam hal yaitu :
a. Mengenai suatu hal tertentu
Suatu perjanjian haruslah memiliki objek tertentu sekurang-kurangnya
dapat ditentukan jenisnya. 43 KUHPerdata menjelaskan maksud hal
tertentudengan
41

memberikan

rumusannya

dalam

Pasal

1333

Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
Jakarta, 2003, hal. 34.
42
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 93.
43
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op. cit., hal. 154.

34

KUHPerdata.Jika melihat kepada rumusan pasal tersebut, KUHPerdata
hanya menekankan pada perikatan untuk menyerahkan sesuatu. Namun
jika diperhatikan lebih lanjut, rumusan dari pasal tersebut hendak
menegaskan bahwa apapun jenis perikatannya baik itu perikatan untuk
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
KUHPerdata hendak menjelaskan bahwa semua jenis perikatan tersebut
pasti melibatkan keberadaan dari suatu kebendaan yang tertentu. 44
Kebendaan yang diperjanjikan tersebut harus cukup jelas, ditentukan
jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau
ditetapkan.Syarat bahwa kebendaan itu harus dapat ditentukan jenisnya,
gunanya untuk menetapkan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari
kedua belah pihak itu apabila timbul perselisihan dalam pelaksanaan
perjanjian.
b. Adanya sebab (causa) yang halal
Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, atau
yang mendorong orang untuk membuat suatu perjanjian. Tetapi didalam
Pasal 1320 KUHPerdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang
halal). Hukum pada dasarnya tidak menghiraukan apa yang ada dalam
gagasan atau pemikiran seseorang, yang diperhatikan adalah tindakan
yang nyata dan dilakukan dalam masyarakat. Dalam Pasal 1335
KUHPerdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal
adalah :
1. Bukan tanpa sebab;
44

Ibid., hal. 155.

35

2. Bukan sebab yang palsu;
3. Bukan sebab yang terlarang.
Di dalam Pasal 1336 KUHPerdata, dapat dilihat bahwa yang diperhatikan
oleh undang-undang adalah “isi perjanjian” yang menggambarkan tujuan
yang akan dicapai, apakah bertentangan dengan undang-undang atau tidak,
apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak
dalam pelaksanaan suatu perjanjian.
Sementara didalam Pasal 1337 KUHPerdata hanya disebutkan causa yang
terlarang.Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa sebab yang halal adalah prestasi yang wajib dilakukan oleh para pihak
sebagaimana yang telah diperjanjikan, tanpa adanya prestasi yang telah
diperjanjikan untuk dilakukan maka perjanjian tidak akan ada diantara para
pihak. 45
Akibat hukum dari perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal adalah
perjanjian itu batal demi hukum.Dengan demikian tidak ada yang menjadi dasar
untuk menuntut pemenuhan prestasi karena sejak semula dianggap tidak pernah
ada perjanjian.Dan begitu pula sebaliknya apabila perjanjian itu tanpa sebab maka
perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. 46
C. Asas-Asas Dalam Hukum Perjanjian
Asas-asas dalam perjanjian merupakan sebuah aturan dasar atau
merupakan prinsip hukum yang masih bersifat abstrak atau dapat dikatakan bahwa

45
46

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit.,hal. 164.
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 96.

36

asas dalam perjanjian merupakan dasar yang melatarbelakangi suatu peraturan
yang bersifat konkret dan bagaimana perjanjian itu dibentuk dan dilaksanakan.
Menurut Rutten, asas-asas Hukum Perjanjian yang diatur dalam Pasal
1338 KUHPerdata ada 3 (tiga), yaitu : 47
1. Asas Konsensualisme, bahwa perjanjian yang dibuat itu pada umumnya
bukan secara formil tetapi konsensual, artinya perjanjian itu selesai karena
persetujuan kehendak atau konsensus semata-mata.
2. Asas

kekuatan

mengikat

dari

perjanjian,

bahwa

pihak-pihak

harusmemenuhi apa yang telah diperjanjikan, sebagaimana disebutkan
dalam Pasal1338 KUHPerdata; bahwa perjanjian berlaku sebagai UndangUndangbagi para pihak yang membuatnya.
3. Asas kebebasan berkontrak, dalam hal ini orang bebas membuat atau
tidakmembuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syaratsyaratperjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih
Undang-Undang mana yang akan dipakai untuk perjanjian itu.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, sistem hukum kontrak memiliki
sejumlah asas umum sebagai berikut :
1. Asas Kebebasan Berkontrak 48
Asas kebebasan berkontrak (partij autonomi, freedom of contract,
contractvrijheid) yang mengakibatkan sistem hukum perjanjian terbuka.
Peraturan-peraturannya bersifat melengkapi (aanvullen, regulatory).

47

Purwahid Patrik, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit
UNDIP, Semarang, 1986, hal. 3.
48
Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dalam KUH Perdata Buku Ketiga,
Yurisprudensi, Doktrin, serta Penjelasan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015, hal. 84.

37

Kebebasan berkontrak artinya bebas menentukan isi perjanjian dan dengan
siapa mengadakan perjanjian.
Sepakat mereka yang mengikat diri adalah asas esensial dari Hukum
Perjanjian. Asas ini dinamakan asas partij autonomi, yang menentukan
“adanya” (raison d’etre, het bestaanwaarde) dari suatu perjanjian.
Asas kebebasan berkontrak bersifat universal yang merujuk pada adanya
kehendak yang bebas dari setiap orang untuk membuat kontrak atau tidak
membuat kontrak, pembatasannya hanyalah untuk kepentingan umum dan
di dalam kontrak itu harus ada keseimbangan yang wajar.
Asas ini merupakan salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum
perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas,
pancaran hak asasi manusia.
Dengan adanya asas kebebasan berkontrak maka sistem hukum perjanjian
terbuka. Pihak-pihak bebas untuk mengadakan perjanjian sepanjang
memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320
KUHPerdata.
Di dalam perkembangannya asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit
dilihat dari beberapa segi, yaitu :
a. Dari segi kepentingan umum;
b. Dari segi perjanjian baku (standar); dan
c. Dari segi perjanjian dengan pemerintah (Perjanjian Publik).
2. Asas Konsensualisme (Persesuaian Kehendak) 49

49

Ibid., hal. 88.

38

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang
merefleksikan asas kebebasan berkontrak dan merupakan dasar-dasar dari
sistem Hukum Perjanjian yang bersifat terbuka.
Arti “kemauan, kehendak” (will) di sini ialah bahwa ada kemauan untuk
saling mengikatkan diri. Kemauan ini didasarkan pada kepercayaan (trust,
vertrouwen)bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini
merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.
Falsafah ini tergambar juga dalam sebuah pantun Melayu yang
mengatakan, “kerbau dipegang talinya, manusia dipegang kata-katanya.”
3. Asas Kepercayaan 50
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan
kepercayaan (trust) di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan
memegang janjinya. Dengan kata lain, akan memenuhi prestasinya di
belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan tersebut, maka perjanjian itu
tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.
Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk
keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undangundang.
4. Asas Kekuatan Mengikat 51
Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam
perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para
pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang

50
51

Ibid., hal. 89.
Ibid.

39

diperjanjikan, tetapi sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan
serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan, dan
kebiasaan yang mengikat para pihak.
5. Asas Persamaan Hukum 52
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan,
jabatan dan lain lain.
Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan
mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai
manusia ciptaan Tuhan.
6. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas
persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan
jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan
debitur. Namun, kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan
perjanjian itu dengan iktikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan
kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan
iktikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang. 53
7. Asas Kepastian Hukum 54

52

Ibid.
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 507.
54
Mariam Darus Badrulzaman, op. cit., hal. 90.
53

40

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu
sebagai undang-undang bagi para pihak.
8. Asas Moral 55
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, di mana suatu perbuatan sukarela
dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat
kontraprestasi dari pihak debitur. Juga, hal ini terlihat di dalam mengurus
kepentingan orang lain, di mana seseorang yang melakukan suatu
perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai
kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya.
Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Faktor-faktor yang
memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan
hukum itu berdasarkan “kesusilaan” (moral), sebagai panggilan dari hati
nuraninya.
9. Asas Kepatutan 56
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Asas kepatutan di sini
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Menurut hemat
seorang penulis, asas kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui
asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam
masyarakat.
10. Asas Kebiasaan 57

55

Ibid.
Ibid., hal. 91.
57
Ibid.
56

41

Asas ini diatur dalam Pasal 1338 jo. 1347 KUHPerdata, yang dipandang
sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat
untuk apa yang secara tegas dinyatakan.
Asas-asas hukum bersifat abstrak, yang terdiri dari nilai (value) yang
merupakan akar dari hukum positif lembaga legislatif dan pengadilan
wajib berupaya menentukan bahwa hukum positif berupa perundangundangan dan putusan pengadilan wajib mampu mewujudkan asas-asas
tersebut.
Harlien Budiono mengemukakan adanya hubungan timbal balik antara
asas-asas hukum dan aturan-aturan hukum. Dapat dikatakan bahwa asas
hukum diakui keberadaan dan pengaruhnya oleh pembuat undangundang. 58
D. Asas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya dengan Klausula
Perjanjian Kerjasama PT. Asusindo Servistama dan Medan Selular
1. Pengertian Asas Kebebasan Berkontrak
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya
pahamindividualisme yang secara embrional lahir pada zaman Yunani yang
diteruskankaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisans
melalui, antara lainajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke,
dan Rosseau. Menurutpaham individualisme, setiap orang bebas untuk
memperoleh apa yangdikehendakinya. 59

58

Harlien Budiono, op. cit., hal. 89.
Salim dkk., Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar
Grafika, Jakarta, 2007, hal. 2.
59

42

Kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar
bebasyang dipelopori oleh Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya
berdasarkanpemikirannya pada ajaran hukum alam. Hal yang sama menjadi dasar
pemikiranJeremy Bentham yang dikenal dengan utilitarianism. Utilitarianism dan
teori ekonomiklasik laissez faire dianggap saling melengkapi dan sama-sama
menghidupkanpemikiran liberal modernsilistis. 60
Asas

kebebasan

berkontrak

mengandung

arti

bahwa

seseorang

bebasmembuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi berlakunya
dansyarat-syarat perjanjian dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih
Undang-Undang mana yang akan dipakainya untuk perjanjian itu. 61 Asas
kebebasanberkontrak (freedom of contract) dapat di simpulkan dari ketentuan
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang
di buat secara sahakan mengikat sebagai Undang-undang bagi para pembuatnya.
Perkembangan

kebebasan

berkontrak

dapat

mendatangkan

ketidakadilankarena prinsip ini hanya dapat mencapai tujuannya, yaitu
mendatangkankesejahteraan seoptimal mungkin, bila para pihak memiliki
kedudukanyangseimbang. Dalam kenyataan hal tersebut sering tidak terjadi
demikian sehingganegara menganggap perlu campur tangan untuk melindungi
pihak yang lemah.
Dalamperkembangannya, kebebasan berkontrak hanya bisa mencapai
tujuan bila para pihakmempunyai kedudukanyang seimbang. Jika salah satu
pihaklemah makapihak yang memiliki kedudukan lebih kuat dapat memaksakan
kehendaknyauntuk menekan pihak lain demi keuntungan dirinya sendiri. Syarat60
61

P.S. Atiyah, Hukum Kontrak, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1979, hal. 324.
Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 2004, hal. 6.

43

syarat atauketentuan dalam kontrak/perjanjian untuk waktu tertentu yang
semacam itu akhirnyaakan melanggar aturan-aturan yang adil dan layak.
Keadaan tersebut di atas bisa berlaku dalam hubungan perjanjian
antaramajikan dengan buruh yang kemudian menimbulkan hal-hal yang negatif
dalam artipihak yang mempunyai kedudukan yang kuat dapat memaksakan
kehendaknya kepada pihak yang lemah, dan pihak yang kuat mendapat
keuntungan dari tindakannya tersebut. Asas kebebasan berkontrak ini terkandung
dalam Pasal1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang
dibuat secara sahberlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Denganmenekankan pada perkataan semua, maka Pasal tersebut seolah-olah
berisikansuatupernyataan kepada masyarakat untuk diperbolehkan membuat
perjanjian yangberupa danberisi tentang apa saja dan diperbolehkan pula membuat
undang-undang sendiri,asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan. Lebih tegasnya para pihak yang membuat
perjanjian dapat menciptakan suatuketentuan sendiri untuk kepentingan mereka
sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
asaskebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada
parapihak untuk: 62
1. membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4. menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.

62

Ibid., hal. 67.

44

Ad.1. Kebebasan bagi para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian
Kebebasan ini mengandung pengertian bahwa para pihak bebas
untukmembuat atau tidak membuat perjanjian, tidak ada paksaan bagi para
pihakuntuk membuat atau tidak membuat perjanjian. Dikatakan tidak ada
paksaan,apabila pihak yang membuat perjanjian tidak berada di bawah ancaman,
baikdengan kekerasan jasmani

maupun

upaya

yang bersifat

menakut-

nakuti,misalnya akan membuka rahasia atau merusak hartanya, sehingga dengan
demikian yang bersangkutan terpaksa menyetujui perjanjian tersebut (Pasal 1324
KUHPerdata).
Ad.2. Kebebasan untuk menentukan dengan siapa para pihak akan mengadakan
perjanjian
KUH Perdata maupun ketentuan perundang-undangan lainnya tidak
melarangbagi seseorang untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun juga
yang dikehendakinya. Undang-undang (KUHPerdata) hanya menetukan bahwa
orang-orangtertentu tidak cakap untuk membuat perjanjian sebagaimana di
aturdalam Pasal 1330 KUHPerdata. Oleh karena itu, kita bebas untuk menentukan
dengan siapa kita akan mengadakan perjanjian.
Ad.3. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan perjanjian dengan bentuk
tertentu atau tidak
Pada umumnya perjanjian terikat pada suatu bentuk tertentu. Dalam
kehidupansehari-hari, perjanjian di buat dengan 2 (dua) bentuk, yaitu ; Perjanjian
secaratertulis dan perjanjian secara tidak tertulis/lisan. Kedua bentuk tersebut
sama kekuatanyadalam arti bahwa bentuk perjanjian tersebut sama kedudukanya
untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak. Namun, secara yuridis untuk perjanjian

45

tertulis dapat dengan mudah di jadikan sebagai alat bukti apabila sampai
terjadipersengketaan. 63Sedangkan perjanjian secara tidak tertulis/lisan akan lebih
sulitpembuktiannya apabila terjadi persengketaan karena di samping harus
dapatmenunjukan saksi-saksi, juga harus dibuktikan dengan adanya iktikad baik
daripihak-pihak

yang

terlibat

dalam

perjanjian.

Apabila

salah

satu

pihakmempunyai iktikad tidak baik (misalnya mengingkari kesepakatan), maka
halini akan menyulitkan pihak lain dalam membuktikan keabsahan perjanjianyang
di maksud.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, untuk beberapa perjanjian
tertentuUndang-undang menentukan adanya suatu bentuk tertentu (tertulis).
Apabilabentuk tertentu itu tidak di ikuti, maka perjanjian menjadi tidak sah.
Dengandemikian,

perjanjian

secara

tertulis

tidaklah

hanya

semata-mata

merupakan alatpembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian
itu.
Mengenai perjanjian tersebut Mariam Darus Badrulzaman mencontohkan
padaperjanjian untuk mendirikan Perseroan Terbatas yang harus dengan
aktaNotaris (Pasal 38 Kitab Undang-undang Hukum Dagang). 64
Ad.4. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan isi, berlaku dan syarat-syarat
perjanjian
Secara yuridis, eksistensi perjanjian baku masih dipertanyakan karena
masihada yang setuju dengan adanya perjanjian tersebut, tetapi juga ada sarjana
yangmenolak perjanjian jenis tersebut. Menurut Stein dalam Hasanudin Rahman,

63

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti,
Jakarta, 2001, hal. 65.
64
Ibid., hal. 57.

46

bahwa dasar berlakunya perjanjian baku (standar) ini adalah berdasarkan fiksi,
adanya kemauan dan kepercayaanyangmembangkitkan kepercayaan bahwa para
pihak mengikatkan diri padaperjanjian itu. Jika dia menerima perjanjian itu,
berarti dia secara sukarelasetuju pada isi perjanjian itu. 65
Selanjutnya, Asser–Rutten dalam Munir Fuady menyatakan bahwa
seseorangmengikat diri pada perjanjian baku karena dia sudah menandatangani
perjanjiantersebut, sehingga dia harus di anggap mengetahui, serta menghendaki
dankarenanya bertanggungjawab kepada isi perjanjian tersebut. Senada dengan
itu,
Hondius

juga

menyatakan

bahwa

suatu

kekuatanhukum

berdasarkan

kebiasaan

perjanjian

(gebruik)

baku

yang

mempunyai

berlaku

dalam

masyarakat. 66
2. Kaitan Asas Kebebasan Berkontrak dengan Klausula Perjanjian Kerjasama
Antara PT. Asusindo Servistama dan Medan Selular
Setiap Perjanjian Kerjasama pasti terbentuk berdasarkan asas kebebasan
berkontrak maupun asas keseimbangan. Hal yang sama juga berlaku terhadap
perjanjian tentang kerjasama antara PT. Asusindo Servistama dengan Medan
Selular. Dilihat dari pengertian asas kebebasan berkontrak di atas, suatu perjanjian
baik perjanjian kerjasama tidaklah luput dari yang namanya asas kebebasan
berkontrak dan asas keseimbangan.

65

Hasanudin Rahman, http://dikaunimed2010.blogspot.co.id/2012/03/kontrak-dan-penye
lesaiannya.html, diakses pada tanggal 07 April 2017.
66
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, hal. 86.

47

Yang dibahas disini adalah, apakah perjanjian ini telah memenuhi asas
kebebasan berkontrak dan asas keseimbangan sesuai dengan asas perjanjian yang
ada ?
Setelah meneliti dan mempelajari lebih jauh mengenai Perjanjian
Kerjasama Antara PT. Asusindo Servistama dan Medan Selular, dapat dilihat
bahwa bentuk perjanjian kerjasama ini adalah perjanjian baku (standar) yang
dimana isi klausula perjanjian ditentukan secara sepihak oleh PT. Asusindo
Servistama yang secara sengaja maupun tidak sengaja telah mengabaikan asas
kebebasan berkontrak serta asas keseimbangan para pihak yang dimana suatu
kontrak/perjanjian yang dibuat secara sepihak pasti menguntungkan pihak
pertama atau pihak yang membuat isi klausula dari perjanjian tersebut.
Walaupun perjanjian kerjasama ini adalah perjanjian baku (standar), yang
juga isi klausula ditentukan secara sepihak, hal ini tidak lantas membuat
perjanjian ini cacat hukum (dapat dibatalkan ataupun batal demi hukum)
dikarenakan perjanjian ini sama sekali tidak melanggar syarat-syarat perjanjian
yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Dalam hal ini perjanjian tetap dikatakan sah karena adanya kesepakatan
kedua belah pihak dimana pihak pertama yaitu PT. Asusindo Servistama dan
pihak kedua yaitu Medan Selular sama-sama sepakat dan menandatangani isi
klausula kontrak perjanjian kerjasama tersebut, sehingga dimata hukum perjanjian
ini adalah sah karena sama sekali tidak bertentangan dengan syarat-syarat
perjanjian yang tertera dalam Pasal 1320 KUHPerdata baik syarat subjektif
maupun syarat objektif.

48

Setelah mewawancara owner/pemilik toko Medan Selular yaitu Bapak Edy
Santo, akhirnya dapat diketahui bahwa perjanjian kerjasama ini adalah suatu
perjanjian yang mau tidak mau harus di sepakati, atau sering disebut dengan
istilah asing “take it or leave it” yang artinya bahwa jika tidak disepakati maka
silahkan melepaskan benefit (keuntungan) yang didapat dari perjanjian kerjasama
tersebut. Jika perjanjian kerjasama ini tidak disepakati maka ketika Medan Selular
menjual produk Asus, maka mereka tidak akan mendapatkan benefit(keuntungan)
tambahan dari PT. Asusindo Servistama. Benefit (Keuntungan) tambahan yang
ditawarkan oleh PT. Asusindo Servistama ini adalah berupa insentif uang tunai
apabila mencapai target sesuai dengan yang telah diperjanjikan dalam perjanjian
kerjasama tersebut.
Dari hal segi kedudukan keseimbangan dalam perjanjian ini pun sangat
memberatkan posisi pihak kedua, dikarenakan dalam klausula perjanjian hanya di
bahas mengenai kewajiban dari pihak kedua yaitu Medan Selular, sedangkan
kewajiban dari pihak pertama yaitu PT. Asusindo Servistama tidak dijelaskan
sama sekali. Adapun beberapa pasal/point pada perjanjian ini hanya memberatkan
perjanjian kepada pihak kedua seperti yang tertera pada point 7.2 “ASUS
mempunyai hak untuk memodifikasi ataupun menghentikan program dengan
pemberitahuan terlebih dahulu 30 hari sebelumnya kepada AP (ASUS
Partner) 67dan point 7.3 “Setiap pelanggaran dari AP (ASUS Partner) atau setiap

67

Selular.

Yang dimaksud dengan AP (ASUS Partner) disini adalah pihak kedua yaitu Medan

49

penipuan terhadap informasi/dokumen yang diberikan AP (ASUS Partner) akan
berakibat segera dihentikannya program ini”. 68
Dikaji dari 2 (dua) point tersebut, hal ini tentu memberatkan salah satu
pihak yaitu pihak kedua, kedua point ini hanya membahas mengenai bagaimana
kekuasaan yang dapat dilakukan pihak pert

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama antara PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dengan Wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) Binaan Kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan

0 56 124

“Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama (Studi Penelitian pada PT. Bank Central Asia, Tbk Kanwil V Medan)

4 73 109

Perjanjian Baku/Standar Kontrak Bertentangan Dengan Asas Kebebasan Berkontrak

2 33 147

Perjanjian Kerjasama Antara PT. Telkom Dengan Penyelenggara Warung Telkom Dalam Persfektif KUHPerdata Dan Permenkominfo No. 8 Tahun 2006

1 62 88

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Antara Pt. Asusindo Servistama Dan Medan Selular (Studi Pada Pt. Asusindo Servistama Medan)

2 22 108

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJASAMA SPONSORSHIP YANG DISELENGGARAKAN PT. NOJORONO Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Sponsorship Yang Diselenggarakan PT. Nojorono Tobacco Internasional.

0 1 11

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Antara Pt. Asusindo Servistama Dan Medan Selular (Studi Pada Pt. Asusindo Servistama Medan)

0 1 11

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Antara Pt. Asusindo Servistama Dan Medan Selular (Studi Pada Pt. Asusindo Servistama Medan)

0 0 2

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Antara Pt. Asusindo Servistama Dan Medan Selular (Studi Pada Pt. Asusindo Servistama Medan)

0 0 15

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Antara Pt. Asusindo Servistama Dan Medan Selular (Studi Pada Pt. Asusindo Servistama Medan)

0 0 4