“Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama (Studi Penelitian pada PT. Bank Central Asia, Tbk Kanwil V Medan)

(1)

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA PT. BANK CENTRAL ASIA, Tbk DENGAN PT. DANA PURNA INVESTAMA ( STUDI PENELITIAN PADA PT. BANK CENTRAL ASIA,

Tbk KANWIL V MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

DIYARA ENINTA BR.SITEPU

NIM : 090200130

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA PT. BANK CENTRAL ASIA, Tbk DENGAN PT. DANA PURNA INVESTAMA ( STUDI PENELITIAN PADA PT. BANK CENTRAL ASIA,

Tbk KANWIL V MEDAN)

SKRIPSI Oleh :

DIYARA ENINTA BR.SITEPU

NIM : 090200130

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN : BW

Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Dr. Hasim Purba, S.H. M.Hum NIP. 196603031985081001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Prof. Dr.H.Tan Kamello, S.H. M.S Zulkifli, S.H. M.H NIP. 1962204211988031004 NIP. 196101181988031010

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur serta kemuliaan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang oleh kasih dan anugerahNya yang melimpah dalam hidup penulis, yang memberi kekuatan yang baru setiap harinya, bahkan kesehatan serta kemampuan bagi penulis sehingga mampu mengikuti perkuliahan dan mengakhiri masa studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan menyelesaikan skripsi sebagai tugas akhir penulis yang berjudul “Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama (Studi Penelitian pada PT. Bank Central Asia, Tbk Kanwil V Medan)

Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.H, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, M.Hum, DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni, S.H, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H, M.Hum, selaku ketua jurusan Departemen Hukum Keperdataan. Terima kasih atas waktu dan kesempatan yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat selesai sebagaimana mestinya.

6. Prof.Dr.H.Tan Kamello, S.H, M.S, selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah banyak memberikan ilmu baik semasa perkuliahan maupun sewaktu penulisan skripsi.

7. Bapak Zulkifli, S.H, M.H, selaku Dosen Pembimbing II dan juga selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis. Terima kasih banyak atas saran, kritik, dan nasehat yang sangat membantu penulis selama perkuliahan maupun selama pengerjaan skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Buat kedua orang tuaku yang sangat kukasihi, kepada Drs. Dolat Sitepu dan B. Elyda Ginting, S.H, untuk kasih dan didikan yang telah diberikan bahkan materi yang sangat layak. Terima kasih atas semua yang telah kalian lakukan buatku. Semoga kasih dan anugerah Tuhan melimpah atas hidup Bapak dan Mamak, bersama dalam Yesus Kristus.

10.Buat adik-adikku tersayang Dery Mersikta Sitepu dan Dita Natalia Sitepu. Terimakasih dukungan dan perhatiannya selama ini, yang tidak bosan-bosannya menemani dan memberi semangat padaku.


(5)

11.Buat Mami, Ridho, Sarah, Biring, dan keluarga besarku. Trimakasih buat setiap pengertian dan kesabarannya menghadapi tingkah lakuku. Tuhan menyertai kita semua.

12.Buat kak Adi, kakak PKK-ku yang banyak memberikanku pemahaman akan hidup yang benar di hadapan Tuhan, kasih sayang, doa, dan juga kesabarannya menghadapi adek yang manja seperti aku.

13.Buat teman-teman Kelompok Kecilku ADONAI, Monica, Pero, Santi, dan Sherly. Trimaksih buat setiap doa dan pertumbuhan yang kita alami bersama.

14.Buat adek-adek Kelompokku, Clinton, Finna, Hillary, Lasthree, Novi, dan Yonggi. Trimakasih buat doa dan pengertiannya. Kalian adalah anugerah yang Tuhan izinkan hadir dalam hidupku, membuatku semakin dekat denganNya.

15.Buat teman-teman semua, Rebecca, Joice, Pasca, Oyin, Esra, Marupa, Erik, Bang Nuel, Bang Suspim, Bang Togi, Bang Bona, Bang Martin, Sofian, teman-teman CPKK, teman-teman PKK, koordinasi, teman-teman di UKM KMK USU UP FH, dan teman-teman Fakultas Hukum USU yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Medan, April 2013 Penulis

Diyara Eninta Br. Sitepu 090200130


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vii

BAB I PENDAHULUAN.. ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah… ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Metode Penelitian…... 8

F. Keaslian Penulisan ... 11

G. Sistematika Penulisan…... 12

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN ... 14

A. Pengertian Perjanjian… ... 14

B. Asas-Asas Perjanjian ... 18

C. Jenis-Jenis Perjanjian ... 24

D. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian ... 28

E. Saat Lahir dan Berakhirnya Perjanjian ... 35

BAB III TINJAUAN UMUM PEMBORONGAN PEKERJAAN ... 37

A. Sumber Hukum Pemborongan Pekerjaan ... 37

B. Asas-Asas dan Syarat-Syarat Pemborongan Pekerjaan ... 47

C. Jenis-Jenis Pekerjaan dalam Pemborongan Pekerjaan ... 58

D. Pihak-Pihak dalam Pemborongan Pekerjaan ... 60


(7)

BAB IV PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA PT. BANK CENTRAL ASIA, Tbk DENGAN PT. DANA

PURNA INVESTAMA ... 70

A. Gambaran Umum PT. Bank Central Asia, Tbk dan PT. Dana Purna Investama ... 70

B. Hak dan kewajiban Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama ... 78

C. Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama .... 84

D. Upaya penyelesaian yang Dilakukan oleh Para Pihak jika Ditemui Kendala-Kendala dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama ... 86

. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

A. KESIMPULAN ... 89

B. SARAN ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 91


(8)

ABSTRAKSI

Prof. Dr.H.Tan Kamello, S.H., M.S* Zulkifli, S.H., M.H**

Diyara Eninta Br. Sitepu***

Hak untuk bekerja sudah diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas penciptaan lapangan kerja bagi setiap warga negara. Indonesia memiliki jumlah penduduk yang banyak, akan tetapi tidak diikuti dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang memadai oleh pemerintah. Oleh karena itu, masyarakat berusaha menciptakan lapangan pekerjaan sendiri (wirausaha) ataupun bekerja pada orang lain (swasta). Krisis ekonomi yang terjadi menyebabkan perusahaan kesulitan melatih tenaga kerja sehingga lebih tertarik mengontrak tenaga kerja dari perusahaan lain daripada mencari sendiri, dalam hal ini dibutuhkan perjanjian di antara para pihak. Salah satu perusahaan yang membutuhkan jasa dari perusahaan lain adalah PT. Bank Central Asia, Tbk (PT. BCA) yang mengadakan perjanjian pemborongan pekerjaan dengan PT. Dana Purna Investama (PT. DPI).

Permasalahan dalam skripsi adalah mengenai pengaturan hak dan kewajiban di antara para pihak dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan, pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan antara PT. BCA dan PT. DPI, dan upaya penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak jika ditemui kendala-kendala dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan. Penulisan skripsi ini menggunakan metode yuridis normatif dan sosiologis yang bersifat deskriptif, data sekunder dikumpulkan melalui studi dokumen dan wawancara, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif.

Hak dan kewajiban antara PT. BCA dan PT. DPI dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Surat Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara PT. BCA dengan PT. DPI Nomor : 0197/LOG/12 tanggal 13 Januari 2012

Pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan antara PT. BCA dengan PT. DPI diawali dengan pengumuman/pemberitahuan oleh PT. BCA secara tertutup kepada beberapa perusahaan penyedia jasa pekerja dan pelaporan kepada kantor pusat tentang kebutuhan untuk menyerahkan pekerjaan/jasa kepada perusahaan lain, pengajuan proposal oleh perusahaan penyedia jasa pekerja kepada PT. BCA, penunjukan perusahaan penyedia jasa yang dipilih oleh PT. BCA melalui surat dari kantor pusat, serta pembuatan dan penandatanganan kontrak oleh PT. BCA dan PT.DPI.

Kendala-kendala yang ditemui para pihak dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan antara PT. BCA dengan PT. DPI tidaklah signifikan, hanya menyangkut masalah teknis pengerjaan dan komunikasi yang kurang di antara para pihak sehingga upaya penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak juga hanya berupa evaluasi pekerjaan oleh PT. BCA terhadap PT. DPI setiap 4 (empat) bulan sekali.

___________________

* Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pekerjaan merupakan sebuah kebutuhan asasi bagi manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) mempunyai kebutuhan hidup yang beraneka ragam, di antaranya adalah sandang, pangan, dan papan. Manusia dituntut untuk bekerja, karena dengan pekerjaan dapat diperoleh suatu penghasilan untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga. Hak untuk bekerja sudah diatur secara eksplisit dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Bunyi Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas penciptaan lapangan kerja, hal ini dimaksudkan agar melalui pekerjaan, setiap warga negara dapat hidup layak.

Indonesia memiliki jumlah penduduk yang banyak, akan tetapi tidak diikuti dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang memadai oleh pemerintah. Penduduk Indonesia menempati urutan keempat terpadat di dunia setelah RRC (Republik Rakyat Cina), India, dan Amerika Serikat. Menurut sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2010, laju pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata 1,33 % per tahun selama periode 2000-2010, sehingga jumlah penduduk Indonesia pada Juni 2010 adalah sebanyak 234,2 juta jiwa. Jumlah penduduk yang meningkat menyebabkan jumlah


(10)

angkatan kerja di Indonesia juga meningkat. Pada bulan Februari 2010, jumlah angkatan kerja mencapai 116 juta orang, naik 2,17 juta orang dibanding keadaan Agustus 2009 dan naik 2,26 juta orang dibanding keadaan Februari 2009. 1

Perekonomian yang sempat memburuk di Indonesia memaksa pemerintah dan pengusaha untuk lebih kreatif dalam menciptakan iklim usaha. Pemerintah telah menciptakan perangkat hukum melalui berbagai regulasi bagi berkembangnya investasi dalam dunia usaha dan pengusaha berupaya untuk menangkap setiap peluang bisnis yang ada, baik melalui pemanfaatan berbagai kemudahan usaha yang diberikan pemerintah maupun melalui upaya-upaya internal, misalnya melakukan efisiensi untuk menghemat biaya operasional. Pengusaha menghemat biaya operasional dengan menekan biaya pekerja/buruh (labour cost) sehingga perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh di bawah yang seharusnya diberikan.

Berdasarkan data di atas, Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah angkatan kerja yang cukup banyak. Setiap angkatan kerja membutuhkan pekerjaan, akan tetapi pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi angkatan kerja, disebabkan jumlah angkatan kerja yang mencari pekerjaan lebih banyak daripada jumlah lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah. Oleh karena itu, masyarakat berusaha menciptakan lapangan pekerjaan sendiri (wirausaha) ataupun bekerja pada orang lain (swasta).

2

1 Badan Pusat Statistik, Laporan bulanan Data Sosial Ekonomi,

http://www.bps.go.id/download_file/IP_Juli_2010.pdf, diakses tanggal 14 Maret 2013 pukul 12.04 WIB

2 Siti Kuniarti, Perjanjian Pemborongan Pekerjaan (Outsourcing) dalam Hukum Ketenagakerjaan, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 9 No. 1 Januari 2009, Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman Purwokerto, 2009, hal. 1


(11)

Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang pesat yang ditandai dengan transfer modal lintas negara telah membawa Indonesia pada konsekuensi berupa keterbukaan terhadap investor asing. Pada tahap ini, keadaan perekonomian di Indonesia semakin membaik dan Indonesia juga menjadi tempat favorit bagi para pengusaha asing untuk membuka usaha. Lapangan kerja yang dibuka oleh pengusaha asing membuka kesempatan kerja bagi angkatan kerja, hanya saja para pengusaha asing lebih menyukai pekerja dengan sistem kerja kontrak dengan menerapkan strategi bisnis yaitu memanfaatkan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja. Tenaga kerja yang berasal dari penyedia tenaga kerja hanya digunakan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu yang tidak berkaitan dengan bisnis inti perusahaan.

Perusahaan bekerja sama dengan penyedia tenaga kerja agar dapat memaksimalkan keuntungan perusahaan, lebih efisien karena perusahan tidak harus mengeluarkan biaya untuk melatih pekerja, lebih efektif karena perusahaan tidak harus membuang waktu untuk membuat pengumuman pembukaan lamaran kerja karena penyalur jasa tenaga kerja yang akan mengajukan proposal untuk menempatkan tenaga kerja untuk bekerja pada perusahaan, dan apabila perusahaan calon pengguna tenaga kerja tertarik, maka dapat menyetujui dengan membuat surat perjanjian kerja sama tertulis antara perusahaan pengguna dengan perusahaan yang menyalurkan tenaga kerja mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pelaksanaan kerjasama.


(12)

Perusahaan yang mencari pekerja melaui perusahaan penyedia tenaga kerja saat ini jumlahnya semakin banyak. Pengusaha merasa tertarik dengan sistem kerja kontrak ini dalam manajemen perusahaan mereka karena ada banyak keuntungan yang perusahaan dapatkan dengan memberlakukan sistem kerja kontrak ini, akibatnya perusahaan lebih memilih untuk mengontrak pekerja dari perusahaan perekrut tenaga kerja daripada mempekerjakan pekerja/buruh tetap yang tidak efisien karena tidak dibatasi jangka waktu, perusahaan harus memperhatikan bayak hal yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, dan tidak mudah memutuskan hubungan kerja secara sepihak apabila di kemudian hari ternyata pekerja/buruh tersebut melakukan pelanggaran yang merugikan perusahaan.

Perusahaan yang menggunakan pekerja/buruh yang berasal dari perusahaan perekrut tenaga kerja tidak mempunyai hubungan kerja langsung dengan para pekerja/buruh yang bekerja di perusahaannya, mengenai hal ini jika tidak diatur secara tegas di antara para pihak akhirnya dapat menimbulkan permasalahan ketenagakerjaan, seperti masalah upah, tunjangan sosial, pesangon, hari istirahat atau cuti, JAMSOSTEK (Jaminan Sosial Tenaga kerja), syarat-syarat kerja, PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), dan perlindungan kerja lainnya. Ditambah lagi, tentang hal-hal tersebut di atas tidak diimbangi dengan pengaturan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang lengkap dan jelas, terbukti dengan banyaknya demo dimana-mana yang dilakukan oleh pekerja/buruh untuk menuntut hak-haknya. Oleh karena itu, dalam hal ini di antara para pihak dibutuhkan perjanjian dalam bentuk tertulis. Ada banyak jenis perjanjian yang bisa dibuat oleh para


(13)

pihak, seperti perjanjian kerja ataupun perjanjian kerjasama dalam bentuk penyediaan jasa pekerja maupun perjanjian pemborongan pekerjaan.

Perusahaan yang fokus bisnisnya untuk menyediakan/menyalurkan tenaga kerja untuk ditempatkan bekerja pada perusahan lain jumlahnya banyak, salah satunya adalah adalah PT. Dana Purna Investama (DPI), yang selanjutnya disebut PT. DPI. Perusahaan ini fokus di bidang Manajemen Operasional Pemeliharaan Gedung dengan beberapa spesialisasi, seperti Property Management Services (jasa manajemen properti), Facility Management Services (jasa manajemen fasilitas), Building Operation Maintenance Management Services (jasa manajemen pemeliharaan operasi bangunan), Building Engineering Services (jasa merancang bangunan), Housekeeping Services (jasa perawatan bangunan), Office Management Services (jasa manajemen kantor), Labour Supply Services (jasa pemasok buruh), dan lain- lain. Perusahaan ini merekrut tenaga kerja dengan sistem seleksi dan pelatihan tenaga kerja sehingga perusahaan yang menggunakan tenaga kerja dari PT. DPI tidak perlu lagi melatih tenaga kerja yang ditempatkan pada perusahaan pengguna tenaga kerja karena pekerja/buruh tersebut sudah dilatih untuk menangani situasi yang bervariasi dengan segala kondisi sehingga siap bekerja pada perusahaan pengguna tenaga kerja. PT. DPI memiliki banyak klien yang menggunakan jasa pelayanan perusahaan ini sesuai dengan pelayanan yang ditawarkan oleh perusahaan ini dan kebutuhan pelayanan yang diinginkan oleh perusahaan pengguna tenaga kerja. Salah satu perusahaan yang menggunakan jasa dari PT. DPI adalah PT. Bank Central Asia (BCA), Tbk, yang selanjutnya disebut PT. BCA.


(14)

PT. BCA adalah salah satu bank swasta terbesar di Indonesia. Bank ini memulai aktivitas operasi sebagai bank umum yang bergerak di bidang perbankan, memberikan jasa penyimpanan, bertindak sebagai wali amanat, dan pengelolaan dana pensiun lembaga keuangan. PT. BCA mengadakan perjanjian dengan PT. DPI mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan dalam pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan dalam bidang pengelolaan/pemeliharan kebersihan, bidang ME (Mekanikal Elektrikal), dan pengelolaan gedung. PT. BCA dan PT. DPI sepakat untuk membuat dan menandatangani perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis dengan menempatkan tenaga kerja PT. DPI untuk bekerja pada PT. BCA. Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik menulis skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA PT. BANK CENTRAL ASIA, Tbk DENGAN PT. DANA PURNA INVESTAMA (STUDI PENELITIAN PADA PT. BANK CENTRAL ASIA, Tbk KANWIL V MEDAN)”.

B. Perumusan Masalah

Dengan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan?

2. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama?


(15)

3. Bagaimanakah upaya penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak, jika ditemui kendala-kendala dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan utama dari penulisan ini adalah untuk memenuhi syarat guna mendapatkan gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sebagai tambahan pengetahun. Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penulisan karya ilmiah ini adalah:

1. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama;

2. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama;

3. Untuk mengetahui upaya penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak jika ditemui kendala-kendala dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoretis


(16)

Secara teoritis, diharapkan dapat dijadikan kajian tentang segi-segi hukum keperdataan khususnya yang berkaitan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan.

2. Secara praktis

Secara praktis, diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi pembaca tentang hak dan kewajiban para pihak dalam pemborongan pekerjaan, pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan, dan upaya penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak jika ditemui kendala-kendala dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pengumpulan data dan bahan-bahan yang berkaitan dengan materi skripsi ini. Dengan maksud agar tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan nilai ilmiahnya, maka diusahakan memperoleh dan mengumpulkan data dengan mempergunakan metode sebagai berikut:3

1. Jenis penelitian

a. Sifat penelitian

Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yang dilakukan dengan melakukan survei ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang dapat mendukung teori yang sudah ada dan untuk memberikan data mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama.

3

Abdul Muis, Pedoman Penulisan Skripsi dan Metode Pemelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1990, hal. 3


(17)

b. Metode pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Metode pendekatan yuridis normatif dipergunakan guna melakuan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku dan metode penelitian yuridis sosiologis dipergunakan dengan melakukan wawancara langsung terhadap narasumber di lapangan, yaitu di PT. Bank Central Asia, Tbk Kanwil V Medan yang sifatnya untuk melengkapi data saja.

2. Sumber data

Dalam penyusunan skripsi ini, data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Data sekunder meliputi:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dari sudut norma, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan dan merupakan landasan utama untuk dipakai dalam rangka penelitian ini, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan objek penelitian.


(18)

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan dari buku hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil penelitian atau karya ilmiah dan pendapat dari kalangan pakar hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yaitu mencakup literatur-literatur lain di luar cakupan bahan hukum primer dan sekunder yang digunakan untuk memberi penjelasan tambahan untuk melengkapi data penelitian.

3. Alat pengumpulan data

Alat pengumpulan data yang digunakan adalah:4 a. Studi dokumen

Studi dokumen yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis.

b. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan Bapak Dwimensana Tarigan selaku Kepala Hubungan Industrial PT. Bank Central Asia, Tbk Kanwil V Medan.

4. Analisis data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi.

4

Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Adytia Bakti, Bandung, 2004, hal. 122


(19)

F. Keaslian Penulisan

“Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama (Studi Penelitian pada PT. Bank Central Asia, Tbk Kanwil V Medan)” yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan skripsi ini merupakan hasil pemikiran penulis dibantu dengan referensi buku-buku, media cetak dan elektronik dan bantuan dari pihak-pihak tertentu. Dengan demikian, keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilimiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.


(20)

BAB II : TINJAUAN UMUM PERJANJIAN

Dalam bab ini dibahas tentang pengertian perjanjian, asas-asas perjanjian, jenis-jenis perjanjian, syarat-syarat sahnya perjanjian serta saat lahir dan berakhirnya perjanjian.

BAB III : TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PEMBORONGAN (OUTSOURCING)

Bab ini berisi uraian tentang pengertian perjanjian pemborongan (outsourcing), syarat-syarat perjanjian pemborongan (outsourcing), pihak-pihak dalam perjanjian pemborongan (outsourcing), dan hubungan hukum para pihak dalam perjanjian pemborongan (outsourcing).

BAB IV : PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA PT. BANK CENTRAL ASIA, Tbk DENGAN PT. DANA PURNA INVESTAMA

Adalah satu bab yang berisikan tentang gambaran umum PT. Bank Central Asia, Tbk dan PT. Dana Purna Investama; hak dan kewajiban para pihak dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama; pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama; serta upaya penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak jika ditemui kendala-kendala dalam pelaksanaan perjanjian


(21)

pemborongan pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dan saran merupakan penutup dalam skripsi ini, dalam hal ini penulis menyimpulkan pembahasan-pembahasan sebelumnya dan dilengkapi dengan saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan bagi pihak-pihak yang terkait dengan judul skripsi ini.


(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM PERJANJIAN

A.Pengertian Perjanjian

Para Sarjana Hukum di Indonesia memakai istilah yang berbeda-beda untuk perjanjian. Menurut Munir Fuady, istilah perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah overeenkomst dalam bahasa Belanda atau agreement dalam bahasa Inggris.5 Achmad Ichsan memakai istilah verbintenis untuk perjanjian, sedangkan Utrecht dalam bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia memakai istilah

overeenkomst untuk perjanjian. 6

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang selanjutnya disebut KUH Perdata menyebutkan: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian yang diatur dalam ketentuan di atas, seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa:

Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III,

5

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 2

6

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2008, hal. 197


(23)

perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.7

Abdul Kadir Muhammad Menyatakan kelemahan pasal tersebut adalah sebagai berikut:8

1. Hanya menyangkut sepihak saja.

Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih”. Kata “mengikatkan diri“ sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak seharusnya dirumuskan saling mengikatkan diri, jadi ada consensus antara pihak-pihak.

2. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa consensus.

Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus,

seharusnya digunakan kata persetujuan 3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, yaitu janji kawin yang yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksudkan adalah hubungan antara kreditur dengan debitor dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya adalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

4. Tanpa menyebut tujuan mangadakan perjanjian.

Tanpa menyebut tujuan mangadakan perjanjian sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.

Berdasarkan alasan yang dikemukan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Menurut Kamus Hukum, perjanjian adalah persetujuan, permufakatan antara dua orang/pihak untuk melaksanakan sesuatu. Kalau diadakan tertulis juga dinamakan kontrak.9

Menurut doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dari definisi di atas,

7

Mariam Darus Badrulzaman, dkk, (1), Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hal. 65

8

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung , 1990, hal.78

9


(24)

telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. 10

Beberapa Sarjana Hukum juga memberikan defenisi mengenai perjanjian antara lain sebagai berikut: Menurut Sri Soedewi Masychon Sofyan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana seorang atau lebih mengkatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.

11

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah:

12

Suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Dalam definisi tersebut, secara jelas terdapat konsensus antara para pihak, yaitu persetujuan antara pihak satu dengan pihak lainnya. Selain itu juga, perjanjian yang dilaksanakan terletak pada lapangan harta kekayaan.

Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian maksudnya adalah hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.13

Menurut Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling

10

Salim (1), Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 161

11

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan (1), Hukum Perjanjian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1982, hal. 8

12

Abdul Kadir Muhammad, Op.cit., hal.4

13


(25)

berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peritiwa ini timbul suatu hubungan perikatan.14

Menurut Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

15

Menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai benda antara dua pihak dalam mana salah satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

16

Menurut Syahmin AK, dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.17

Dari beberapa pengertian di atas, tergambar adanya beberapa unsur perjanjian, antara lain:

1. Adanya pihak-pihak yang sekurang-kurangnya dua orang.

Pihak-pihak yang dimaksudkan di sini adalah subyek perjanjian yang dapat berupa badan hukum dan manusia yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum menurut undang-undang. Dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).

14

Subekti (2), Pokok-Pokok Hukum Perdata Cetakan ke-31, Intermasa, Jakarta, 2003, hal. 5

15

Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1979, hal. 4

16

Wirjono Prodjodikoro (1), Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,

Sumur Bandung, Jakarta, 1981, hal. 11

17


(26)

Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu orang atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut juga dapat terdiri dari satu atau lebih badan hukum.18

2. Adanya persetujuan atau kata sepakat.

Persetujuan atau kata sepakat yang dimaksudkan adalah konsensus antara para pihak terhadap syarat-syarat dan obyek yang diperjanjikan.

3. Adanya tujuan yang ingin dicapai.

Tujuan yang ingin dicapai dimaksudkan di sini sebagai kepentingan para pihak yang akan diwujudkan melalui perjanjian. 19

4. Adanya prestasi atau kewajiban yang akan dilaksanakan.

Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian, secara “sukarela” mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Dengan sifat sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.

Prestasi yang dimaksud adalah sebagai kewajiban bagi pihak-pihak untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang disepakati. Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain, ini berarti

18

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 92

19

Wirjono Prodjodikoro (2), Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Jakarta, 1979, hal. 84


(27)

dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut.20

5. Adanya bentuk tertentu.

Bentuk tertentu yang dimaksudkan adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus jelas bentuknya agar dapat menjadi alat pembuktian yang sah bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Untuk beberapa perjanjian tertentu, undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, yaitu bentuk tertulis sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata hanya merupakan pembuktian saja, tetapi juga syarat untuk adanya perjanjian itu.21

6. Adanya syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat tertentu yang dimaksud adalah substansi perjanjian sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian.22

B. Asas-Asas Perjanjian

Dalam hukum dikenal tiga belas asas perjanjian, akan tetapi menurut para sarjana perdata terdapat lima asas yang penting di antaranya yaitu:

1. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini merupakan perwujudan dari kehendak bebas,

20

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal. 2

21

Mariam Darus Badrulzaman (1), Op.cit., hal. 66

22


(28)

pancaran hak asasi manusia.23 Dengan kebebasan berkontrak berarti orang dapat menciptakan hak-hak perseorangan yang tidak diatur dalam Buku III KUH Perdata, tetapi diatur sendiri dalam perjanjian. Pasal-pasal di dalam Buku III KUH Perdata baru mengikat terhadap mereka, jika mereka tidak mengatur sendiri kepentingannya atau mengaturnya dalam perjanjian, tetapi tidak lengkap sehingga soal-soal yang tidak diatur tersendiri itu diberlakukan pasal-pasal hukum perikatan. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di antaranya: 24

a. bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; b. bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; c. bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

d. bebas menentukan bentuk perjanjian; dan

e. kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

2. Asas konsensualisme (persesuaian kehendak)

Pada mulanya, suatu perjanjian atau kesepakatan harus ditegaskan dengan sumpah, namun pada abad ke-13 pandangan tersebut telah dihapus oleh gereja kemudian terbentuklah paham bahwa dengan adanya kata sepakat di antara para pihak, suatu perjanjian sudah memiliki kekuatan mengikat. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian, meskipun demikian perlu

23

Mariam Darus Badrulzaman (1), Op.cit. ,hal. 86

24


(29)

diperhatikan bahwa terhadap asas konsensualisme terdapat pengecualian, yaitu dalam perjanjian riil dan perjanjian formil yang mensyaratkan adanya penyerahan atau memenuhi bentuk tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang.25

3. Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda)

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.26 Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.27

4. Asas iktikad baik (geode trouw)

Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Dengan rumusan iktikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitor maupun kreditor, maupun

25

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariata, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2010, hal. 29

26

Salim (2), Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 9

27


(30)

pihak lain atau pihak ketiga lainnya di luar perjanjian.28

a. Iktikad baik dalam pengertian yang subyektif, dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum.

Di dalam hukum perjanjian, itikad baik mempunyai dua pengertian, yaitu:

b. Itikad baik dalam pengertian obyektif adalah bahwa pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatuhan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.29

5. Asas kepribadian (personalia)

Asas personalia diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata, yang berbunyi: “Pada umumya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian daripada untuk dirinya sendiri”. Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya dan tidak mengikat orang lain (pihak ketiga).30

Selain kelima asas di atas, Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan mengemukakan beberapa asas lain yang diatur dalam KUH Perdata yaitu:31

6. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel)

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak

28

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal. 80

29

A. Qiram Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 19

30

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal. 15

31


(31)

mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

7. Asas persamaan hukum

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

8. Asas keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik. Kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan iktikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

9. Asas kepastian hukum

Perjanjian sebagai suuatu fitur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

10.Asas moral

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitur juga hal ini terlihat di zaman

zaakwarneming dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan

dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunya kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan dari hati nuraninya.

11.Asas kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, asas kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

Munir Fuady juga menyebutkan beberapa asas lainnya dalam hukum perjanjian, yaitu:

12.Asas kebiasaan

Pasal 1339 KUH Perdata menentukan bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat terhadap isi kontrak tersebut, melainkan mengikat dengan


(32)

hal-hal yang merupakan kebiasaan. Suatu kontrak dagang misalnya juga mengikat dengan kebiasaan dagang, termasuk kebiasaan menafsirkan kata-kata dalam kontrak dagang (trade usage), seperti apabila kontrak jual beli satu rim kertas dimana satu rim kertas berisikan 400 lembar kertas, akan tetapi jika ada pembelian satu rim kertas dan satu rim tersebut berisikan 395 lembar, hal tersebut belum bisa dikatakan bahwa pihak penjual telah melakukan wanprestasi dengan mengirim 395 lembar kertas (bukan 400 lembar) sebab menurut kebiasaan dagang (trade usage), kelebihan atau kekurangan 10 lembar dalam satu rim dapat ditoleransi dan biasa dalam bisnis semacam itu.

13.Asas tidak melanggar prinsip kepentingan umum

Sutu pembuatan dan pelaksanaan kontrak tidaklah boleh melanggar prinsip kepentingan umum (openbaar orde) karena sesuai dengan prinsip hukum yang universal dan sangat mendasar bahwa kepentingan umum tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Oleh karena itu, jika ada kontrak yang bertentangan dengan kepentingan/ketertiban umum, maka kontrak tersebut sudah pasti bertentangan dengan undang-undang yang berlaku yang menurut Pasal 1339 KUH Perdata, hal tersebut tidak dibenarkan. Contoh kontrak yang bertentangan dengan kepentingan/ketertiban umum adalah kontrak jual beli obat bius.32

C.Jenis – Jenis Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut menurut C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil adalah sebagai berikut: 33

1. Dilihat dari segi prestasi, perjanjian dapat dibedakan dalam: a. Perjanjian timbal-balik

Dalam perjanjian timbal-balik, kedua belah pihak masing-masing harus memenuhi kewajiban utama atau prestasi.

Contoh, seperti perjanjian jual-beli (Pasal 1457 KUH Perdata), perjanjian sewa-menyewa, dan perjanjian kredit.

b. Perjanjian timbal-balik tidak sempurna atau perjanjian timbal-balik kebetulan (onvolmaakt wederkerige of toevallig wederkeriege overeenkomst)

Dalam perjanjian ini, pihak yang satu memenuhi kewajiban yang tidak seimbang dengan kewajiban pihak pertama. Dari perjanjian timbal-balik tidak sempurna bagi satu pihak senantiasa timbul suatu kewajiban pokok, sedangkan mungkin pihak yang lainnya juga wajib untuk sesuatu tanpa dapat dikatakan dengan pasti bahwa di situ terdapat prestasi-prestasi yang saling seimbang.

32

Munir Fuady, Op.cit., hal. 82-83

33

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata (Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata), Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hal. 207-209


(33)

Contoh, perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792 jo 1808 KUH Perdata), yang memberi kuasa (lastgever) harus mengganti hanya ongkos-ongkos yang betul-betul telah dikeluarkan oleh yang menerima kuasa (lasthebber).

c. Perjanjian sebelah (eenzijddige overeenkomst)

Perjanjian sebelah (eenzijddige overeenkomst) yaitu perjanjian dalam mana hanya satu pihak mempunyai kewajiban atau prestasi. Contoh: (1) Perjanjian pinjam ganti (verbruiklening) Pasal 1754 KUH Perdata

dalam mana yang meminjam mempunyai kewajiban membayar kembali apa yang telah dipinjamnya.

(2) Perjanjian pemberian atau hibah (schenking) pada Pasal 1666 KUH Perdata, hanya pihak pemberi (penghibah) saja yang memberikan prestasi.

2. Dilihat dari segi pembebanan, perjanjian dapat dibedakan dalam: a. Perjanjian dengan cuma-cuma (om niet)

Perjanjian dengan cuma-cuma (om niet) yaitu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima sesuatu manfaat bagi dirinya sendiri.

Contoh, suatu hibah (schenking), Pasal 1666 KUH Perdata dan suatu pinjam-pakai (bruiklening), Pasal 1740 KUH Perdata.

b. Perjanjian atas beban (onder bezwarenden)

Perjanjian atas beban (onder bezwarenden) yaitu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu dan berbuat sesuatu. Dalam Pasal 1314 KUH Perdata, pembentuk undang-undang tidak memberi suatu definisi, baik untuk suatu perjanjian dengan cuma-cuma maupun untuk suatu perjanjian atas beban. Suatu perjanjian timbal-balik selalu merupakan suatu perjanjian atas beban, akan tetapi tidak selalu perjanjian atas beban merupakan suatu perjanjian timbal-balik, contoh: suatu perjanjian pinjam-ganti dengan bunga (verbruiklening op interessen).

3. Dilihat dari segi kesepakatan, perjanjian dapat dibedakan dalam: a. Perjanjian konsensual

Perjanjian konsensual yaitu perjanjian yang tercipta dengan tercapainya persetujuan kehendak pihak-pihak.

b. Perjanjian rieel

Perjanjian rieel yaitu perjanjian yang baru tercipta apabila di samping persetujuan kehendak antara pihak-pihak secara obligatoire, diikuti pula dengan penyerahan barang (levering). Perjanjian rieel adalah umpama suatu perjanjian penitipan kredit, pinjam-pakai, pinjam ganti, dan gadai, apabila barang yang bersangkutan belum diserahkan, maka hanya terdapat suatu perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo voorovereenkomst).

4. Dilihat dari segi hasil perjanjian itu dapat dibedakan dalam:

a. Perjanjian comutatif atau perjanjian membalas (vergeldende overeenkomst)


(34)

Perjanjian comutatif atau perjanjian membalas (vergeldende

overeenkomst) yaitu perjanjian dimana terdapat keuntungan yang

dinikmati oleh yang berhak atau atas nama yang menjanjikan prestasi itu.

b. Perjanjian aleatoir (seperti perjanjian asuransi) atau perjanjian untung-untungan (kansovereenkomst)

Perjanjian aleatoir (seperti perjanjian asuransi) atau perjanjian untung-untungan (kansovereenkomst) yaitu perjanjian dalam mana terhadap suatu prestasi yang dijanjikan dengan atau tanpa syarat terdapat hanya suatu keuntungan dengan syarat, sedangkan dipenuhinya syarat itu tidak bergantung pada pokok-pokok yang bersangkutan, sedangkan perjanjian-perjanjian itu diadakan justru berhubungan dengan kemungkinan dipenuhinya syarat itu.

5. Dilihat dari segi pokok kelanjutan, pembagian ini dibedakan:

a. Perjanjian principal (dalam perjanjian jual-beli, ialah untuk melever barang perjanjian jual-beli).

b. Perjanjian accessoir

Perjanjian accessoir yaitu perjanjian untuk menjamin cacat tersembunyi, perjanjian hipotik, perjanjian gadai, perjanjian penanggungan (borgtocht), dan penyerahan hak milik atas kepercayaan (fiduciaire eigendom-overdacht).

6. Dilihat dari urutan utama, perjanjian dapat dibedakan dalam: a. Perjanjian primair

Perjanjian primair maksudnya perjanjian utama atau pokok. b. Perjanjian secundair

Perjanjian secundair maksudnya menggantikan perjanjian yang asli (oorspronkelijk), apabila ini tak dipenuhi, umpama pembayaran ganti kerugian.

7. Dilihat dari segi pengaturannya, perjanjian dapat dibedakan dalam: a. Perjanjian yang lahir dari undang-undang.

b. Perjanjian yang lahir dari persetujuan.

8. Dilihat dari segi luas lingkungan, perjanjian dibagi dalam:

a. Perjanjian dalam arti sempit ialah yang terjadi dengan kespakatan perjanjian.

b. Perjanjian dalam arti luas ialah termasuk juga yang terjadi dengan tanpa kesepakatan.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan, pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:34

1. Perjanjian timbal-balik

Perjanjian timbal-balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Perjanjian timbal-balik ini disebut juga

34


(35)

perbuatan hukum bersegi dua, oleh karena akibat-akibat hukum yang timbul dalam perbuatan dipandang sebagai kehendak kedua belah pihak. Contoh: jual-beli, pinjam-meminjam, tukar-menukar, dan sebagainya. 2. Perjanjian cuma-cuma

Pasal 1314 ayat (2) KUH Perdata berbunyi: “Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri”. Berdasarkan ketentuan tersebut, perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja, sering disebut sebagai perjanjian bersegi satu yaitu suatu perjanjian yang menimbulkan suatu hak di satu pihak tanpa kewajiban di pihak lain. Contoh: perjanjian hibah.

3. Perjanjian atas beban

Pasal 1314 ayat (3) KUH Perdata berbunyi: “Suatu perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”. Berdasarkan ketentuan tersebut, perjanjian atas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain dan di antara kedua prestasi tersebut ada hubungannya menurut hukum.

4. Perjanjian bernama (benoemd)

Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V s/d bab XVIII KUH Perdata yaitu:

a. Bab V tentang Jual-Beli (Pasal 1457-1540)

b. Bab VI tentang Tukar-Menukar (Pasal 1541-1546) c. Bab VII tentang Sewa-Menyewa (Pasal 1548-1617) d. Bab VIII tentang Persekutuan (Pasal 1618-16520 5. Perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst)

Di luar perjanjian bernama, tumbuh pula perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, lahirnya perjanjian ini berdasarkan asas kebebasan berkontrak atau partij otonomi yang berlaku dalam hukum perjanjian, seperti perjanjian sewa beli, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan, dan lain-lain.

6. Perjanjian obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Menurut KUH Perdata, perjanjian jual-beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual kepada pembeli. Fase ini baru merupakan kesepakatan (konsensual) dan harus diikuti dengan perjanjian penyerahan (perjanjian kebendaan).


(36)

7. Perjanjian kebendaan (zakelijk)

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain yang membebankan kewajiban (oblige) kepada pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer). Penyerahannya sendiri merupakan perjanjian kebendaan. Dalam hal perjanjian jual-beli benda tetap, maka perjanjian jual belinya disebutkan juga perjanjian jual-beli sementara (voorlopig koopcontract). Untuk perjanjian jual-beli benda-benda bergerak, maka perjanjian obligatoir dan perjanjian kebenda-bendaannya jatuh bersama-sama.

8. Perjanjian konsensual

Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana di antara kedua belah pihak telah tercapai persesuain kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUH Perdata).

9. Perjanjian riil

Di dalam KUH Perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang, misalnya perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata) dan pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil yang merupakan peninggalan hukum Romawi.

10.Perjanjian liberatoir

Perjanjian liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang (kwitjschelding) Pasal 1384 KUH Perdata.

11.Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst)

Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst) yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka. 12.Perjanjian untung-untungan

Perjanjian untung-untungan yaitu perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian asuransi (Pasal 1774 KUH Perdata).

13.Perjanjian publik

Perjanjian publik yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya adalah pihak swasta. Di antara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan (subordinated) jadi tidak berada dalam kedudukan yang sama (coordinate), misalnya perjanjian ikatan dinas, perjanjian pengadaan barang pemerintah, dan lain-lain.

14.Perjanjian campuran (contractus sui generis)

Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tetapi juga menyajikan makanan (jual-beli), dan juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu, ada berbagai paham antara lain:


(37)

a. Paham pertama menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractus sai generalis).

b. Paham kedua menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi).

c. Paham ketiga menyebutkan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu (teori kombinasi).

D.Syarat – Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat umum maupun syarat khusus. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata berbunyi:

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. cakap untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tetentu;

4. suatu sebab yang halal.

Syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata merupakan syarat umum, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak anatara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.35 Menurut Subekti, yang dimaksud dengan sepakat adalah kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. 36

35

Salim (1), Op.cit., hal. 162

Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

36


(38)

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan, dan penipuan. Persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam.37

Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, terdapat beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacad pada kesepakatan tersebut yang dicantumkan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.38

a. Kekhilafan

Berdasarkan ketentuan tersebut, perjanjian dikatakan tidak memenuhi syarat kesepakatan kehendak apabila terdapat unsur-unsur antara lain:

Kekhilafan dapat terjadi mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Kekhilafan mengenai orang terjadi misalnya jika seorang direktur opera membuat kontrak dengan orang yang dikiranya sebagai penyanyi tersohor, tetapi kemudian ternyata bukan orang yang dimaksud, hanya namanya saja yang kebetulan sama. Kekhilafan mengenai barang terjadi misalnya jika orang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah tetapi kemudian hanya turunan saja. 39

b. Paksaan

37

Riduan Syahrani, Op.cit., hal. 205

38

Mariam Darus Badrulzaman (2), KUH Perdata Buku III (Hukum Perikatan dengan Penjelasan), Alumni, Bandung, 1993, hal. 99

39


(39)

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, yang dimaksud dengan paksaan ialah: kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Jadi, bukanlah paksaan dalam arti absolut, misalnya seseorang yang lebih kuat memegang tangan seseorang yang lebih lemah dan membuat ia mencantumkan tanda tangan pada sebuah perjanjian sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama sekali tidak terjadi.40 Sedangkan menurut Subekti, paksaan yang dimaksud adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psysicis), jadi bukan paksaan badan (fisik).41 Paksaan terjadi apabila pihak yang dipaksakan itu tidak punya pilihan lain selain menyetujui persetujuan itu dan paksaan itu mungkin saja dilakukan oleh pihak ketiga.42

c. Penipuan

Yang dimaksud dengan penipuan dalam suatu kontrak adalah suatu tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak sehingga menyebabkan pihak lain dalam kontrak tersebut telah menandatangani kontrak tersebut, tipu muslihat yang dimaksud di sini haruslah bersifat substansial.43

Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa satu macam pembohongan saja tidak cukup untuk adanya penipuan ini, melainkan harus serangkaian pembohongan yang di dalamnya hubungan satu dengan yang lainnya merupakan suatu tipu muslihat. Penipuan hanya dilakukan oleh pihak lawan.44

Dalam penipuan itu pihak yang menipu bertindak aktif untuk menjerumuskan lawan baik dengan keterangan palsu maupun tipu muslihat lainnya. Dan pihak

40

Mariam Darus Badrulzaman (1), Op.cit., hal. 76

41

Subekti (3), Op.cit., hal. 23

42

Wirjono Prodjodikoro (2), Op.cit., hal. 31

43

Munir Fuady, Op.cit., hal. 38

44


(40)

yang merasa tertipu harus mampu membuktikannya untuk pembatalan perjanjian.45

2. Cakap untuk membuat suatu perikatan

Yang dimaksud dengan cakap untuk membuat suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1329 KUH Perdata adalah: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”. Menurut Abdul Kadir Muhammad, pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.46

Sedangkan yang dimaksud dengan tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata adalah:

“Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: 1. Orang-orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu”.

Orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian berdasarkan ketentuan tersebut adalah:

a. Orang-orang yang belum dewasa

Kriteria dari orang-orang yang belum dewasa diatur di dalam Pasal 330 KUH Perdata dimana ditentukan: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.47

45

Setiawan, Op.cit., hal. 57

46

Abdul Kadir Muhammad, Op.cit., hal. 93

47


(41)

Dengan keluarnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka ketentuan umur dewasa diubah sehingga menjadi 18 tahun (sudah pernah kawin) dan sebagai suatu undang-undang, maka ketentuan ini berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia. Umur dewasa 18 tahun ini juga telah dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya No. 477 K/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976. Di samping itu, banyak pula perkecualian terhadap umur dewasa ini karena dalam hal-hal tertentu, seseorang sudah dianggap berwenang untuk melakukan perbuatan tertentu sungguhpun dia belum dewasa, misalnya:

(1) Dalam hal melakukan kontrak-kontrak (transaksi) sehari-hari seperti berbelanja di pasar.

(2) Terhadap hal-hal tertentu yang diatur dengan undang-undang tersendiri, misalnya:

(a) Untuk memilih dalam pemilihan umum yang diatur dalam undang-undang tentang Pemilihan Umum;

(b) Untuk membuat perjanjian kawin (asal dia sudah cukup usia kawin) dan dibantu oleh orang yang harus member persetujuan untuk kawin berdasarkan Pasal 151 KUH perdata;

(c) Untuk membuat kontrak perburuhan sepanjang dikuasakan oleh wakilnya (Pasal 1601 g KUH Perdata).48

(d) Untuk menghadap notaris yang diatur dalam undang-undang tentang Jabatan Notaris.

b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan

48


(42)

Salah satu golongan orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan. Menurut Pasal 443 KUH Perdata, orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah: “Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaandungu, sakit otak atau mata gelap, dan boros”. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dank arena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seseorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah pengampuan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya masing-masing adalah orang tua dan pengampunya.49

c. Perempuan-perempuan bersuami

KUH Perdata juga menempatkan perempuan-perempuan bersuami sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Hal yang menunjukkan i perempuan-perempuan bersuami tidak cakap bertindak dalam hukum, misalnya Pasal 108 ayat (2) KUH Perdata berbunyi:

“Seorang istri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya, untuk membuat suatu akta, atau untuk mengangkat sesuatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia karena itu berhak, menerima sesuatu pembayaran, atau member perlunasan atas itu, tanpa izin yang tegas dari suaminya”.

Pasal 108 KUH Perdata menyatakan istri harus memperoleh izin yang tegas dari suami untuk membuat suatu akta. Demikian pula Pasal 110 KUH Perdata yang berbunyi:

“Seorang istri, biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu, biar ia melakukan sesuatu mata pencaharian atas usaha

49


(43)

sendiri sekalipun, namun tak bolehlah ia menghadap di muka Hakim tanpa bantuan suaminya”.

Pasal 110 KUH Perdata menyatakan bahwa istri tidak boleh menghadap di muka pengadilan tanpa bantuan suami.

Dalam perkembangannya, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia ternyata, Mahkamah Agung menganggap Pasal 108 dan 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi. Demikian juga dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 31 ayat (1) menyatakan hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dengan masyarakat. Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.50

d. Orang yang dilarang oleh undang-undang unruk melakukan perbuatan tertentu

Ada juga orang-orang tertentu yang oleh undang-undang tertentu dianggap tidak wenang membuat kontrak tertentu dengan cara tertentu atau dengan pihak tertentu (Pasal 1330 ayat (3) KUH Perdata). Sebagai contoh dalam kontrak jual-beli, ada pihak tertentu yang dilarang oleh undang-undang untuk mengadakan perjanjian, antara lain:

50


(44)

(1) Pada prinsipnya antara suami dan istri tidak boleh melakukan kontrak jual-beli (Pasal 1467 KUH Perdata).

(2) Hakim, jaksa, panitera, advokat, pengacara, jurusita, dan notaris tidak boleh menerima penyerahan untuk menjadi pemilik untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain atas hak dan tuntutan yang menjadi pokok perkara. (3) Pegawai dalam suatu jabatan umum dilarang membeli untuk dirinya

sendiri atau untuk perantara atas barang-barang yang dijual oleh atau di hadapan mereka.51

3. Suatu hal tertentu

Salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya unsur suatu hal tertentu. Yang dimaksudkan dengan suatu hal tertentu adalah objek dari suatu perjanjian. Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek (bepaald onderwerp) tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan.52

Beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang (in casu KUH Perdata) terhadap objek tertentu dari perjanjian, khususnya jika objek perjanjian tersebut berupa barang adalah:

a. Barang yang merupakan objek perjanjian tersebut haruslah barang yang dapat diperdagangkan

Dalam Pasal 1332 KUH Perdata ditentukan bahwa: “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”. Barang-barang yang dapat dijadikan obyek perjanjian hanyalah Barang-barang-Barang-barang yang dapat diperdagangkan karena lazimnya barang-barang yang dipergunakan untuk

51

Munir Fuady, Op.cit., hal. 71

52


(45)

kepentingan umum dianggap sebagai barang-barang di luar perdagangan, sehingga tidak bisa dijadikan obyek perjanjian.53

b. Pada saat perjanjian dibuat, minimal barang tersebut sudah dapat ditentukan jenisnya

Dalam Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”.

c. Jumlah barang tersebut boleh tidak tertentu, asal saja jumlah tersebut kemudian dapat ditentukan atau dihitung

Menurut Pasal 1333 ayat (2) KUH Perdata bahwa: “Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

d. Barang tersebut dapat juga barang yang baru akan ada di kemudian hari Dalam Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata, ditentukan bahwa: “Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian”. 54

e. Tetapi tidak dapat dibuat perjanjian terhadap barang yang masih dalam warisan yang belum terbuka

Menurut Wirjono Prodjodikoro, barang yang belum ada yang dijadikan obyek perjanjian tersebut bisa dalam pengertian mutlak (absolut) dan bisa dalam pengertian relatif (nisbi).

Menurut Pasal 1334 ayat (2) KUH Perdata bahwa:

53

Riduan Syahrani, Op.cit., hal 210

54


(46)

“Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, atau pun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekali pun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan pasal 169, 176, dan 178”.

Yang dilarang oleh undang-undang untuk dijadikan pokok perjanjian adalah benda-benda yang berada di luar perdagangan dan warisan yang belum terbuka, adanya larangan ini karena menjadikan barang yang akan diwarisi sebagai obyek perjanjian bertentangan dengan kesusilaan, lain halnya jika barang yang akan diwarisi itu dihibahkan oleh calon suami kepada calon isteri dalam perjanjian kawin atau oleh pihak ketiga kepada calon suami atau calon isteri, ini diperkenankan.55

4. Suatu sebab yang halal

Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai sebab (causa), tetapi menurut Yurisprudensi yang ditafsirkan dengan causa adalah isi atau maksud dari perjanjian. Dalam Pasal 1335 KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.

Pembentuk undang-undang mempunyai pandangan bahwa perjanjian-perjanjian mungkin juga diadakan tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang. Yang dimaksud dengan sebab yang terlarang dalam Pasal 1337 KUH Perdata adalah: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau

55


(47)

ketertiban umum”. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan. 56

Keempat syarat di atas merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, artinya setiap perjanjian harus memenuhi keempat syarat ini bila ingin menjadi perjanjian yang sah. Keempat syarat pokok ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok syarat subjektif dan kelompok syarat objektif.57

Para ahli hukum Indonesia, umumnya berpendapat syarat subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian, sedangkan syarat obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan

causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan

tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum, tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat syarat tersebut mengakibatkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap syarat subyektif) maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya syarat obyektif).58

Sehubungan dengan pembedaan syarat-syarat sahnya perjanjian oleh banyak ahli hukum dalam dua kelompok di atas, Hardijan Rusli berpendapat bahwa:

59

“Pasal 1320 KUH Perdata secara jelas menyatakan untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat sah. Jadi, secara analogi dapat dikatakan bahwa dalam hal tidak terpenuhinya salah satu dari empat syarat yang ada

56

Mariam Darus Badrulzaman (2), Op.cit., hal. 106-107

57

Hardijan Rusli (1), Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal. 44

58

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal. 93

59


(48)

dalam Pasal 1320 itu, maka perjanjian menjadi tidak sah atau batal demi hukum (void ab initio) bukannya dpaat dimintakan pembatalannya (voidable).

Sedangkan syarat sah yang khusus perjanjian antara lain menurut Munir Fuady adalah:

1. Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian tertentu

Secara umum dapat dikatakan bahwa undang-undang tidak mensyaratkan suatu perjanjian tertulis untuk sahnya suatu perjanjian, tetapi untuk perjanjian tertentu diperlukan syarat khusus agar perjanjian itu dapat mulai berlaku/mengikat, misalnya perjanjian perdamaian yang memerlukan syarat khusus berupa bentuk tertulis. Menurut hukum yang berlaku, kedudukan syarat tertulis bagi suatu perjanjian adalah:

a. Ketentuan umum tidak mempersyaratkan.

b. Dipersyaratkan untuk perjanjian-perjanjian tertentu.

c. Dipersyaratkan untuk perjanjian atas barang-barang tertentu. d. Dipersyaratkan karena kebutuhan praktek.

2. Syarat pembuatan perjanjian di hadapan pejabat tertentu

Selain dari syarat tertulis terhadap perjanjian-perjanjian tertentu, untuk perjanjian-perjanjian tertentu dipersyaratkan pula bahwa perjanjian tertulis tersebut harus dibuat oleh/di hadapan pejabat tertentu (dengan ancaman batal), misalnya:

a. Perjanjian hibah yang harus dibuat di hadapan notaris (Pasal 1682 KUH Perdata), untuk perjanjian hibah bagi benda tetap memerlukan syarat tambahan berupa bentuk akta otentik, sedangkan bagi benda bergerak berwujud memerlukan syarat tambahan berupa penyerahan langsung bendanya.

b. Perjanjian jual beli tanah yang harus dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan di bidang pertanahan.

3. Syarat mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang

Pada prinsipnya suatu perjanjian hanyalah urusan para pihak semata-mata, artinya terserah dari para pihak apa yang mau dianutnya dalam kontrak tersebut, sehingga campur tangan pihak ketiga pada prinsipnya tidak diperlukan. Akan tetapi terhadap kontrak tertentu, campur tangan pihak ketiga diperlukan dalam bentuk keharusan mendapatkan izin, misalnya:

a. Perjanjian peralihan objek tertentu, seperti perjanjian peralihan hak guna usaha atau perjanjian peralihan hak penguasaan hutan, dalam hal ini diperlukan izin dari pihak yang berwenang untuk itu.

b. Perjanjian penitipan barang yang sejati yang memerlukan syarat tambahan berupa penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh atau secara dipersangkakan.60

60

Munir Fuady, Op.cit., hal. 84-85


(49)

E.Saat Lahir dan Berakhirnya Suatu Perjanjian

Dalam ilmu hukum, dikenal beberapa ajaran mengenai kapan suatu perjanjian dianggap lahir. Menurut Setiawan saat terjadinya perjanjian yaitu: 61

1. Teori kehendak (wilstheorie)

Teori ini adalah yang tertua dan menekankan kepada faktor kehendak. Menurut teori ini jika kita mengemukakan suatu pernyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendaki, maka kita tidak terikat kepada pernyataan tersebut.

2. Teori pernyataan (Verklaringstheorie)

Menurut teori ini, kebutuhan masyarakat menghendaki bahwa kita dapat berpegang kepada apa yang dinyatakan.

3. Teori kepercayaan (Vetrouwenstheorie)

Teori yang sekarang dianut, juga oleh yurisprudensi adalah teori kepercayaan, di mana menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya.

4. Teori ucapan (Uitingstheorie)

Menurut teori ini bahwa persetujuan terjadi pada saat orang yang menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban bahwa ia menyetujui penawaran tersebut. Kelemahan teori ini adalah bahwa sulit untuk menentukan saat terjadinya persetujuan dan selain itu jawabannya setiap saat masih dapat berubah.

5. Teori pengiriman (Verzendingstheorie)

Menurut beberapa sarjana, terjadinya persetujuan adalah pada saat dikirimkannya surat jawaban. Diterangkan selanjutnya bahwa dengan dikirimkannya surat tersebut si pengirim kehilangan kekuasaan atas surat tersebut dan lagi pula saat pengiriman dapat ditentukan secara tepat. 6. Teori pengetahuan (Vernemeningstheorie)

Teori ini mengemukakan bahwa persetujuan terjadi setelah orang yang menawarkan mengetahui bahwa penawarannya disetujui. Kelemahan teori ini adalah sulit untuk menentukan saat diketahuinya isi surat tersebut. 7. Teori penerimaan (Ontvangstheorie)

Menurut teori ini, bahwa persetujuan terjadi pada saat diterimanya surat jawaban penerimaan penawaran oleh orang yang menawarkan.

Sedangkan menurut Munir Fuady, teori yang lainnya mengenai saat lahirnya perjanjian yaitu:

8. Teori penawaran dan penerimaan (offer and acceptance)

Yang dimaksudkan dengan teori penawaran dan penerimaan adalah bahwa pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya

61


(1)

tenaga kerja tersebut menjadi beban dan tanggung jawab dari PT. DPI selaku majikan.

(2) PT. DPI wajib memberitahukan kepada tenaga kerja bahwa tenaga kerja tersebut adalah karyawan PT. DPI bukan karyawan PT. BCA sehingga segala tuntutan-tuntutan apapun dari tenaga kerja hanya dapat disampaikan oleh tenaga kerja kepada PT. DPI dan akan diselesaikan oleh PT. DPI sendiri.

2. Proses pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan antara PT. BCA dengan PT. DPI diawali dengan pengumuman/pemberitahuan oleh PT. BCA secara tertutup kepada beberapa perusahaan penyedia jasa pekerja dan pelaporan kepada kantor pusat tentang kebutuhan untuk menyerahkan pekerjaan/jasa kepada perusahaan lain, pengajuan proposal oleh perusahaan penyedia jasa pekerja kepada PT. BCA, penunjukan perusahaan penyedia jasa yang dipilih oleh PT. BCA melalui surat dari kantor pusat, serta pembuatan dan penandatanganan kontrak oleh PT. BCA dan PT.DPI.

3. Kendala-kendala yang ditemui para pihak dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan antara PT. BCA dengan PT. DPI tidaklah signifikan, hanya menyangkut masalah teknis pengerjaan dan komunikasi yang kurang di antara para pihak sehingga upaya penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak juga hanya berupa evaluasi pekerjaan oleh PT. BCA terhadap PT. DPI setiap 4 (empat) bulan sekali juga sekaligus untuk mengantisipasi jika ada ketentuan ketenagakerjaan dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang baru berlaku sehingga perjanjian


(2)

pemborongan pekerjaan antara PT. BCA dengan PT. DPI tidak melanggar ketentuan yang berlaku.

B.Saran

1. Bagi PT. BCA:

a. PT. BCA melakukan pengawasan terhadap PT. DPI dalam hal pemberian perlindungan kerja dan pemberlakukan syarat-syarat kerja pada tenaga kerja PT. DPI yang ditempatkan bekerja di PT. BCA.

b. PT. BCA lebih meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan rekanan dan lebih profesional dalam memilih perusahaan outsourcing yang akan menjadi rekanan. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya praktek-praktek outsourcing yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. PT. BCA menjalin komunikasi yang lebih baik dengan PT. DPI sehingga tidak terjadi kesahpahaman di antara kedua belah pihak dalam.

2. Bagi PT. DPI:

a. PT. DPI harus lebih meningkatkan pengawasan terhadap hal-hal teknis dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan, terutama dalam penyediaan tenaga kerja pengganti maupun alat-alat cadangan yang dibutuhkan oleh PT. BCA.

b. PT. DPI dapat menaikkan upah para pekerja/buruh dan memberikan bonus pada pekerja/buruh yang berprestasi untuk memacu kinerja para


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Agusmidah.2010.Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.Medan: USU Press.

Badrulzaman, Mariam Darus, dkk.2001.Kompilasi Hukum Perikatan.Jakarta: Citra Aditya Bakti.

________.1993.KUH Perdata Buku III (Hukum Perikatan dengan Penjelasan). Bandung: Alumni.

Budiono, Herlien.2010.Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariata. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Damanik, Sehat.2006.Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jakarta: DDS Publishing.

Djumialdji.1996.Hukum Bangunanan (Dasar-Dasar Hukum dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia). Jakarta: Rineka Cipta.

________.1995.Perjanjian Pemborongan. Jakarta: Rineka Cipta.

________.2006.Perjanjian Kerja. Jakarta: Sinar Grafika.

Fuady, Munir.2001.Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Bandung: Citra Aditya Bakti.

Harahap, M. Yahya.1986.Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.

_________.2003.Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.

Husni, Lalu.2009.Pengantar Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil.2007.Modul Hukum Perdata (Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata). Jakarta: Pradnya Paramita.


(4)

Maimun.2007.Hukum Ketenagakerjaan (Suatu Pengantar). Jakarta: Pradnya Paramita.

Meliala, A. Qiram Syamsudin.1985.Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya. Yogyakarta: Liberty.

Muhammad, Abdul Kadir.2004.Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Adytia Bakti.

_________.1990.Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

_________.1992.Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Muharam, Hidayat.2006.Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan serta Pelaksanaannya di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Muis, Abdul.1990.Pedoman Penulisan Skripsi dan Metode Pemelitian Hukum, , Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja.2003.Seri Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Ningsih, Suria.2011.Mengenal Hukum Ketenagakerjaan. Medan: USU Press. Prodjidikoro, Wirjono.1981.Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan

Tertentu. Jakarta: Sumur Bandung.

__________.1979.Asas-asas Hukum Perjanjian. Jakarta: Sumur Bandung.

Rusli, Hardijan.1993.Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

___________.2004.Hukum Ketenagakerjaan 2003. Jakarta: Ghalia Indonesia. Salim.2002.Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika. Setiawan.1979.Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Alumni.

Soenandar, Taryana.2004.Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasiona. Jakarta: Sinar Grafika.


(5)

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen.1982. Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada.

_____.1982.Hukum Bangunan (Perjanjian Pemborongan Bangunan). Yogyakarta:Liberty.

Subekti.2005.Kamus Hukum.Jakarta: Pradnya Paramita.

______.2003.Pokok-Pokok Hukum Perdata.Cetakan ke-31. Jakarta: Intermasa.

______.1987.Hukum Perjanjian.Cetakan ke-12. Jakarta: Intermasa. ______.1995.Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Suharnoko.2004.Hukum Perjanjian (Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana.

Sutedi, Adrian.2009. Hukum Perburuhan. Jakarta: Sinar Grafika.

Syahmin.2006.Hukum Kontrak Internasional., Jakarta: Raja Grafindo Persada. Syahrani, Riduan.2004.Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung:

Alumni.

Tutik, Titik Triwulan.2008.Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain

C. Internet

Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI).Persyaratan Menjadi Anggota Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI)


(6)

Badan Pusat Statistik.Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. http://www.bps.go.id/download_file/IP-Juli_2010.pdf. PT. Bank Central Asia, Tbk.Laporan Tahunan BCA 2011.

http://www/bca.co.id/include/download/laporan-tahunan2011/8-9.pdf. Faiz, P. Mohd.Outsourcing (Alih Daya) dan Pengelolaan Tenaga Kerja pada

Perusahaan (Tinjauan Yuridis terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/05/outsourcing-dan-tenaga-kerja.html

Kemur, Roy R.F dan Francis A. Kaligis.PT. Dana Purna Investama. http://www.dpi.co.id/

D. Sumber Lainnya

Ariansyah.2007.Pelaksanaan Perjanjian Jasa Pemborongan Peningkatan Jalan dan Jembatan Antara PT.Apu Stiants dengan Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Kurniati, Siti.2009.Perjanjian Pemborongan Pekerjaan (Outsourcing) dalam Hukum Ketenagakerjaan (Dalam Jurnal Dinamika Hukum Vol. 9 No.1 Januari 2009). Purwokwerto: Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman.

Wawancara dengan Bapak Dwimensana Tarigan.Kepala Hubungan Industrial. PT. Bank Central Asia, Tbk kanwil V Medan.