Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama antara PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dengan Wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) Binaan Kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan

(1)

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA

PT. JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG MEDAN DENGAN

WADAH TENAGA KERJA LUAR HUBUNGAN KERJA

(TK-LHK) BINAAN KANTOR PT. JAMSOSTEK (PERSERO)

CABANG MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

MEHAGA BASTANTA

NIM : 090200120

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA

PT. JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG MEDAN DENGAN

WADAH TENAGA KERJA LUAR HUBUNGAN KERJA

(TK-LHK) BINAAN KANTOR PT. JAMSOSTEK (PERSERO)

CABANG MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

MEHAGA BASTANTA

NIM : 090200120

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH.M.Hum NIP. 196603031985081001

Pembimbing I

Dr. H. Hasim Purba, SH.M.Hum NIP. 196603031985081001

Pembimbing II

Ramli Siregar, SH.M.Hum NIP. 195303121983031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karuniaNYA kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudulkan TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA

SAMA ANTARA PT. JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG MEDAN DENGAN WADAH TENAGA KERJA LUAR HUBUNGAN KERJA (TK-LHK) BINAAN KANTOR PT. JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG MEDAN. Dalam penulisan ini penulis telah mencurahkan segenap buah pemikiran, kerja keras dengan sepenuh hati. Penulis juga sadar masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penulisan ini baik isi maupun kalimat yang didalamnya sehingga penulisan ini masih jauh dari sempurna.

Dalam penulisan skripsi ini penulis juga mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada para pihak yang telah membantu penulis, yaitu :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum. Selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum. Selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

4. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum. Selaku ketua Departemen Hukum Perdata serta sebagai Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini dan Ibu Rabiatul SH.M.Hum. Selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata.

5. Bapak Ramli Siregar, SH.M.Hum. Selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini.

6. Seluruh dosen-dosen, staf pendidikan dan karyawan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Orangtuaku yang paling kucintai dan kupuja bapak Drs. Pengarapen Sinulingga, MM. Bapak yang menjadi sosok sempurna dimataku yang telah memberitahu bagaimana arti hidup juga sebagai sosok panutan bagi anak-anaknya dan sekaligus sosok motivator agar anak-anaknya bisa menjadi orang yang lebih baik, Ibuku tercinta dan tersayang Dra. Irama, Sembiring yang selalu memberikan saya sentuhan kasih sayang yang lembut sehingga anaknya mengerti bagaimana cara mengasihi sesama dan engkau adalah wanita yang paling kusayangi. Terimakasih atas doa dan semangat yang kalian berikan setiap harinya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dan saya berjanji akan membuat kalian bangga mempunyai anak seperti saya.

8. Kakakku yang paling kusayangi, Fitri Piralanasih Sinulingga, SE. Terimakasih kuucapkan padamu kakak yang sudah membantu adik dalam mencurahkan hati dalam penulisan skripsi ini, engkau sosok kakak yang selalu memberikan kasih sayang dengan hangat kepada adik-adiknya.

9. Abangku yang paling kusayangi, Adi Suari Guna Sinulingga S.I.P.Abang yang menjadi panutan bagiku karena engkau abang yang selalu kubanggakan.


(5)

10. Rafika Mayasari Siregar, orang yang selalu menyemangatiku di setiap hari, yang selalu mendengarkan keluh kesahku, yang selalu membantuku dan selalu menemaniku, sungguh engkau wanita yang luar biasa, senang memilikimu dan berbagi denganmu.

11. Teman-teman penulis di kampus Putra Kelana Sinulingga, Elbarino Shah, Muammar Parhimpunan, Syarifah Tiqris dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu, kalian teman yang terbaik yang pernah kukenal.

Demikianlah kata-kata pengantar dan ucapan terimakasih yang penulis sampaikan, semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua orang yang membutuhkannya.

Medan, 11 November 2012 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ... iv

ABSTRAKSI .. ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Keaslian Penulisan ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA ... 18

A. Pengertian Perjanjian ... 18

B. Sahnya Perjanjian ... 27

C. Hak dan Kewajiban Para Pihak ... 36

D. Berakhirnya Suatu Perjanjian ... 40

BAB III PROGRAM TENAGA KERJA LUAR HUBUNGAN KERJA (TK-LHK) JAMSOSTEK SEBAGAI OBJEK PERJANJIAN ... 50

A. Definisi Program Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) ... 50


(7)

B. Latar Belakang Perjanjian Kerjasama Antara PT. Jamsostek (Persero) Dengan Wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) ... 58 C. Prosedur Pembuatan Perjanjian Kerjasama Antara PT.

Jamsostek (Persero) Cabang Medan Dengan Wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) ... 64 D. Pembinaan Serta Pengendalian Wadah Tenaga Kerja Luar

Hubungan Kerja (TK-LHK) Oleh PT. Jamsostek(Persero) Cabang Medan ... 67

BAB IV TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA

ANTARA PT. JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG MEDAN DENGAN WADAH TENAGA KERJA LUAR HUBUNGAN KERJA (TK-LHK) ... 71 A. Hak dan Kewajiban PT. Jamsostek (Persero) Cabang

Medan Serta Wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) Binaan Kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan ... 71 B. Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Antara PT. Jamsostek

(Persero) Cabang Medan Dengan Wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) Binaan Kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan ... 80 C. Bentuk Penyimpangan Perjanjian Kerjasama Serta

Penyelesaian Kasus Wanprestasi Antara PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan Dengan Wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) Binaan Kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan ... 83 D. Berakhirnya Perjanjian Kerjasama Antara PT. Jamsostek


(8)

Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) Binaan Kantor PT.

Jamsostek (Persero) Cabang Medan ... 88

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 96

DAFTAR KEPUSTAKAAN LAMPIRAN


(9)

ABSTRAK

Di Indonesia, Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) memiliki potensi yang lebih besar dibandingkan Tenaga Kerja di Dalam Hubungan Kerja. Dalam UU No 3 Tahun 1992, Tenaga Kerja di Dalam Hubungan Kerja (tenaga kerja yang memiliki hubungan kerja atas unsur perintah, upah dan pekerjaan yang bersifat mengikat) wajib mengikuti program Jamsostek. Sedangkan bagi TK-LHK akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah tersendiri. Oleh karena itu pemerintah telah menetapkan suatu peraturan pelaksanaan program jaminan sosial bagi TK-LHK yakni Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Per-/24/Men/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Yang Melakukan Pekerjaan Di Luar Hubungan Kerja.

Di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Per-/24/Men/VI/2006 mengatakan bahwa program jaminan sosial bagi TK-LHK dapat diberikan langsung kepada setiap tenaga kerja atau dikoordinir oleh suatu wadah. Atas dasar tersebut, PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan membuat suatu perjanjian kerjasama antara PT. Jamsostek (Persero) dengan setiap wadah yang menjadi binaannya guna memudahkan PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dalam melakukan perluasan, pembinaan dan pemberian pelayanan bagi setiap peserta Program Jamsostek.

Metode Penelitian terhadap perjanjian kerjasama ini menggunakan normative yuridis yaitu penelitian dengan menggunakan data sekunder berupa peraturan-peraturan hukum atau bahan hukum tertulis yang obyeknya berkaitan dengan Jamsostek, serta data primer yakni dengan melakukan wawancara langsung terhadap pelaksanaan perjanjian kerjasama ini di Kantor Cabang PT. Jamsostek (Persero) Medan.

Berdasarkan penelitian ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa penyelenggaraan Perjanjian Kerja Sama antara wadah TK-LHK dengan PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan telah berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari tingkat pemahaman yang baik terhadap bentuk hak dan kewajiban dari masing-masing para pihak; pelaksanaan perjanjian kerjasama yang efektif dimana dari 80 wadah yang telah terdaftar selama Mei 2007 hingga Oktober 2012 hanya 10 wadah yang telah non aktif; namun hasil penelitian juga menemukan adanya bentuk penyimpangan kerjasama atau wanprestasi yang dilakukan oleh wadah seperti penggelapan iuran dan adanya itikad tidak baik terhadap perjanjian tersebut; sehingga bentuk penyelesaian yang dilakukan oleh PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan berupa musyawarah dan apabila tidak tercapai mufakat dapat dilanjutkan ke pengadilan umum serta tidak akan memperpanjang perjanjian kerjasama tersebut; perjanjian kerjasama juga dapat berakhir apabila habisnya

jangka waktu perjanjian, force majeure atau para pihak sepakat mengakhiri

kerjasama.


(10)

ABSTRAK

Di Indonesia, Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) memiliki potensi yang lebih besar dibandingkan Tenaga Kerja di Dalam Hubungan Kerja. Dalam UU No 3 Tahun 1992, Tenaga Kerja di Dalam Hubungan Kerja (tenaga kerja yang memiliki hubungan kerja atas unsur perintah, upah dan pekerjaan yang bersifat mengikat) wajib mengikuti program Jamsostek. Sedangkan bagi TK-LHK akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah tersendiri. Oleh karena itu pemerintah telah menetapkan suatu peraturan pelaksanaan program jaminan sosial bagi TK-LHK yakni Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Per-/24/Men/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Yang Melakukan Pekerjaan Di Luar Hubungan Kerja.

Di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Per-/24/Men/VI/2006 mengatakan bahwa program jaminan sosial bagi TK-LHK dapat diberikan langsung kepada setiap tenaga kerja atau dikoordinir oleh suatu wadah. Atas dasar tersebut, PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan membuat suatu perjanjian kerjasama antara PT. Jamsostek (Persero) dengan setiap wadah yang menjadi binaannya guna memudahkan PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dalam melakukan perluasan, pembinaan dan pemberian pelayanan bagi setiap peserta Program Jamsostek.

Metode Penelitian terhadap perjanjian kerjasama ini menggunakan normative yuridis yaitu penelitian dengan menggunakan data sekunder berupa peraturan-peraturan hukum atau bahan hukum tertulis yang obyeknya berkaitan dengan Jamsostek, serta data primer yakni dengan melakukan wawancara langsung terhadap pelaksanaan perjanjian kerjasama ini di Kantor Cabang PT. Jamsostek (Persero) Medan.

Berdasarkan penelitian ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa penyelenggaraan Perjanjian Kerja Sama antara wadah TK-LHK dengan PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan telah berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari tingkat pemahaman yang baik terhadap bentuk hak dan kewajiban dari masing-masing para pihak; pelaksanaan perjanjian kerjasama yang efektif dimana dari 80 wadah yang telah terdaftar selama Mei 2007 hingga Oktober 2012 hanya 10 wadah yang telah non aktif; namun hasil penelitian juga menemukan adanya bentuk penyimpangan kerjasama atau wanprestasi yang dilakukan oleh wadah seperti penggelapan iuran dan adanya itikad tidak baik terhadap perjanjian tersebut; sehingga bentuk penyelesaian yang dilakukan oleh PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan berupa musyawarah dan apabila tidak tercapai mufakat dapat dilanjutkan ke pengadilan umum serta tidak akan memperpanjang perjanjian kerjasama tersebut; perjanjian kerjasama juga dapat berakhir apabila habisnya

jangka waktu perjanjian, force majeure atau para pihak sepakat mengakhiri

kerjasama.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tenaga kerja telah menjadi salah satu modal utama dan menduduki peranan yang sangat penting untuk memajukan pembangunan nasional Indonesia. Tanpa didukung tenaga kerja yang handal dan berkualitas, pembangunan nasional Indonesia tidak dapat berjalan lancar sesuai dengan harapan dan cita-cita luhur bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang dikandung dalam nilai-nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Berbicara tentang pembangunan nasional maka hal itu erat kaitannya terhadap berbagai bidang kehidupan yang bersinggungan dengan aspek hubungan sosial, ekonomi dan budaya yang harus taat dengan hukum.

Tatanan hubungan tersebut menciptakan sebuah hak dan kewajiban yang berlandaskan nilai dan norma yang berkembang pada masyarakat itu sendiri, tetapi haruslah sesuai dengan roh yang terkandung dalam budaya kehidupan berlandaskan masyarakat Pancasila. Secara garis besarnya, tujuan utama dari pembangunan masyarakat ini ialah mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera kepada seluruh rakyat termasuk didalamnya tenaga kerja.

Dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2 secara tegas menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hal ini berarti setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak demi mensejahterakan


(12)

kehidupannya sebagai warga negara yang dilindungi oleh negara. Dalam rangka mencapai kesejahteraan penghidupan yang layak tersebut maka setiap orang haruslah memiliki pekerjaan dan bekerja sesuai dengan keinginan dan kemampuannya, yang kemudian memperoleh upah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun upah tersebut belumlah dapat menjadi tolak ukur penghidupan yang layak tanpa pemberian jaminan sosial oleh negara.

Kehadiran UndangUndangNomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja beserta peraturan pelaksanaannya telah menunjukkan era baru bagi perlindungan tenaga kerja dalam rangka meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja

yang berdampak kepada peningkatan produktivitas kerja secara

nasional.UndangUndang Nomor 3 Tahun 1992 menegaskan bahwa Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) merupakan hak bagi setiap tenaga kerja dan merupakan kewajiban bagi setiap perusahaan (Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 ayat1).

Pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja juga diatur dalam UndangUndang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa setiap pekerja/buruh berhak untuk mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja. Program jaminan sosial memberikan perlindungan dasar, untuk menjaga serta meningkatkan harkat dan martabat harga diri tenaga kerja dalam mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil maupun spiritual.

Program Jaminan Sosial merupakan program perlindungan yang bersifat dasar bagi tenaga kerja yang bertujuan untuk menjamin adanya keamanan dan kepastian terhadap risiko-risiko sosial ekonomi, dan merupakan sarana penjamin arus penerimaan penghasilan bagi tenaga kerja dan keluarganya akibat dari


(13)

terjadinya risiko-risiko sosial dengan pembiayaan yang terjangkau oleh pengusaha dan tenaga kerja. Risiko sosial ekonomi yang ditanggulangi oleh program tersebut terbatas saat terjadi peristiwa kecelakaan, sakit, hamil, bersalin, cacat, hari tua dan meninggal dunia, yang mengakibatkan berkurangnya atau terputusnya penghasilan tenaga kerja dan/ atau membutuhkan perawatan medis.1

Dalam arti luas, istilah “jaminan sosial” atau “social security” mencakup

berbagai instrumen publik yang memberikan kemanfaatan tunai (cash benefit)

atau kemanfaatan kebutuhan (in kind benefits) atau kedua-duanya, dalam hal

Hampir secara universal jaminan sosial dapat diterima sebagai program pengetasan kemiskinan maupun pencegah kemiskinan, sehingga tidak kurang dari 145 negara memiliki sekurang-kurangnya satu dari program jaminan sosial, bahkan betapa pentingnya program ini hingga kategori jaminan sosial tersebut juga dicantumkan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB (1948).

2

1. Pertama, kemampuan bekerja/berpenghasilan seseorang.

:

a. Terhenti selama-lamanya, karena hari tua, cacat tetap total, atau meninggal dunia.

b. Terganggu, oleh ketidakmampuan bekerja sementara, cacat tetap

sebagian.

c. Dibebani biaya, seperti perawatan sakit, kehamilam dan persalinan. 2. Kedua, memerlukan pelayanan medis bagi diri dan keluarganya.

1

Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, USU Press,Medan, 2010,

hal. 115. 2

Sentanoe Kertonegoro, Prinsip dan Praktek Jaminan Sosial Tenaga Kerja, PT.


(14)

3. Ketiga, memelihara anak-anak.

Saat ini terdapat 4 (empat) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Indonesia yakni, PT. Jamsostek (Persero), PT. Taspen (Persero), PT. Askes (Persero) , dan PT. Asabri (Persero). Kelompok Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan TNI/Polri, wajib disertakan sebagai anggota Taspen dan Asabri yang perlindungannya meliputi program kesehatan dan pensiun,sedangkan para pekerja atau pegawai di sektor lainnya seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perusahaan milik swasta nasional atau asing diwajibkan dalam program Jamsostek.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja telah mempercayakan PT. Jamsostek (Persero) sebagai perusahaan Badan Usaha Milik Negara yang berplat merah untuk menjadi badan pelaksana program jaminan sosial di Indonesia yang harus berusaha dan bermitra bersama dengan berbagai pihak antara lain; pemerintah pusat dan daerah maupun organisasi pengusaha dan pekerja serta berbagai pihak lainnya untuk meningkatkan serta memperluas jaringan perlindungan dan pelayanan terhadap tenaga kerja peserta program Jamsostek sehingga kehadirannya dapat mendukung visinya menjadi lembaga penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja terpercaya yang unggul dalam pelayanan dan memberikan manfaat optimal bagi seluruh peserta dan keluarganya.

Pengaturan sistem penyelenggaran jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja secara tegas dinyatakan pada Pasal 3 Ayat (1) yaitu :


(15)

“Untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja diselenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja yang pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mekanisme asuransi.”

Mekanisme asuransi yang dilaksanakan dalam program Jamsostek adalah Asuransi sosial (social insurance), dengan menggunakan metode risiko hubungan kerja dimana kemanfaatan atau jaminannya didasarkan atas masa kerja atau kepesertaan dalam sistem ini. Jaminan tersebut bisa berupa santunan tunai, baik dalam jumlah uang tertentu atau didasarkan presentase penghasilan, berupa pelayanan (medis) atau kemanfaatan lain (obat-obatan). Pembiayaannya berasal dari iuran oleh tenaga kerja, pengusaha atau keduanya yang dikelola oleh badan publik.3

Sedangkan payung hukum jaminan sosial Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bahwa perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 (sepuluh) orang atau lebih, atau membayar total upah paling sedikit Rp. 1.000.000.- (satu juta rupiah) per bulan, wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja. Kategori perusahaan diatas termasuk yayasan, badan, lembaga ilmiah serta badan usaha lainnya dengan nama apapun yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan tenaga kerja. Dengan demikian berarti pengaturan perlindungan ini diberlakukan terhadap tenaga kerja yang memiliki hubungan kerja dengan unsur adanya perintah, upah dan pekerjaan yang akan dilaksanakan bersifat mengikat.

3


(16)

Republik Indonesia Nomor : Per-24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Yang Melakukan Pekerjaan Diluar Hubungan Kerja. Tenaga kerja di luar hubungan kerja merupakan setiap tenaga kerja yang melakukan kegiatan ekonomi tanpa dibantu orang lain, berusaha pada usaha-usaha ekonomi informal berskala mikro modal kecil, tempat usaha yang tidak tetap, kelangsungan usaha tidak terjamin, jam kerja tidak teratur tetapi menghasilkan barang atau jasa sebagaimana lazimnya tenaga kerja lainnya.

Jumlah Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) di Indonesia seperti pedagang kaki lima, nelayan, tukang becak dan petani serta pekerja lainnya sangatlah besar, dan mereka juga membutuhkan jaminan sosial terhadap diri dan keluarga, namun memiliki keterbatasan untuk membayar iuran karena penghasilan yang tidak teratur dan sangatlah bergantung pada penghasilan harian sehingga mereka mendapatkan kesulitan dalam hal pembiayaan jaminan sosial.

Di sisi lain, urusan pendaftaran kepesertaan Jamsostek secara umum bagi tenaga kerja sektor formal telah ditangani langsung oleh personalia perusahaan atau langsung pengusaha itu sendiri kepada badan penyelenggara, namun bagi Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) memiliki keterbatasan dalam urusan pendaftaran maupun pembayaran iuran Jamsostek seperti mendaftar, mengurus dan membayar iuran sendiri langsung ke PT. Jamsostek (Persero) sehingga diperlukan penanggung jawab wadah/kelompok yang bekerjasama dengan PT. Jamsostek (Persero) sesuai lokasi kantor cabang dan tempat tinggal tenaga kerja.


(17)

Dalam penanganan Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) antara wadah dan badan penyelenggara diperlukan adanya suatu Perjanjian Kerjasama yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam memberikan perlindungan jaminan sosial itu sendiri yang tentunya harus memenuhi unsur-unsur perjanjian sebagaimana yang diamanahkan dalam KUHPerdata.

Tujuan perjanjian kerjasama tersebut untuk memudahkan segala urusan PT. Jamsostek (Persero) dengan Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) dalam hal administrasi pendaftaran, pembayaran iuran dan pengajuan jaminan/santunan program jaminan sosial tenaga kerja dan wadah tersebut mendapatkan imbalan jasa berupa uang.

Berdasarkan pengamatan lapangan bahwa pada saat ini sudah berlangsung beberapa perjanjian kerjasama antara wadah Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) dengan PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan selaku badan penyelenggara, dimana penulis merasa tertarik untuk mendalaminya dengan melakukan penelitian menyusun skripsi dengan judul, “TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PT. JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG MEDAN DENGAN WADAH TENAGA KERJA LUAR HUBUNGAN KERJA (TK-LHK) BINAAN KANTOR PT. JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG MEDAN”.


(18)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, hal yang ditinjau pada penulisan ini adalah berupa tinjauan yuridis dari perjanjian kerjasama, yaitu perjanjian kerjasama antara PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dengan wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) yang menjadi binaan kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan, oleh karena itu penulis merumuskan masalah antara lain yaitu:

1. Bagaimana bentuk hak dan kewajiban PT. Jamsostek (Persero) Cabang

Medan dan wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) binaan kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan ?

2. Sejauh mana pelaksanaan perjanjian kerjasama antara PT. Jamsostek

(Persero) Cabang Medan dengan wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) binaan kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan saat ini ?

3. Apakah pernah terjadi penyimpangan perjanjian kerjasama

(Wanprestasi) antara PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dengan wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) binaan kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dan seperti apa bentuk serta bagaimana kasus penyelesaiannya ?

4. Bagaimana bentuk pengakhiran perjanjian kerjasama antara PT.

Jamsostek (Persero) Cabang Medan dengan wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) binaan kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan ?


(19)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan diatas maka tujuan penelitian ini ialah:

1. Mengetahui bentuk hak dan kewajiban dalam perjanjian

kerjasamaantara PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dan wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) binaan kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan.

2. Memaparkan sejauh mana pelaksanaan perjanjian kerjasama antara PT.

Jamsostek (Persero) Cabang Medan dengan wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) binaan kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan.

3. Menganalisa bentuk potensi penyimpangan kerjasama antara PT.

Jamsostek (Persero) Cabang Medan dengan wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) binaan kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dan seperti apa penyelesaiannya.

4. Mempelajari proses pengakhiran suatu perjanjian kerjasama antara PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dengan wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) binaan kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terbagi atas 2 (dua) yaitu manfaat secara teoritis dan secara praktis, yaitu :


(20)

1. Secara Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pembendaharaan ilmu pengetahuan di bidang hukum perjanjian yaitu perjanjian kerjasama dan memperkaya khasanah kepustakaan serta menjadi bahan pertimbangan bagi para akademisi untuk membuat penelitian lanjutan.

2. Secara Praktis

Memberikan masukan kepada PT. Jamsostek (Persero) maupun wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) mengenai hasil penelitian perjanjian kerjasama yang dilakukan agar terjadinya keselasaran dan keefektifan pada perjanjian kerjasama tersebut.

E. Metode Penelitian

Metode yang diterapkan di dalam suatu penelitian adalah kunci utama untuk menilai baik buruknya suatu penelitan. Metode ilmiah itulah yang menetapkan alur kegiatannya, mulai dari pemburuan data sampai ke penyimpulan suatu kebenaran yang diperoleh dalam penelitian itu.4

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Didalam

4


(21)

melakukan penelitan hukum, seorang peneliti seyogianya selalu mengkaitkannya, dengan arti-arti yang mungkin dapat diberikan pada hukum. Arti- arti tersebut, merupakan pemahaman-pemahaman yang diberikan oleh masyarakat, terhadap gejala yang dinamakan hukum, yang kemudian dijadikan suatu pegangan.5

1. Jenis penelitian

Didalam melakukan penelitian hukum ini haruslah menyajikan dan mengumpulkan suatu data yaitu dengan menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :

Sesuai dengan permasalahan penelitian ini maka penulis melakukan jenis penelitian hukum normatif empiris, yaitu melakukan pendekatan dengan mempelajari serta menganalisis data sekunder berupa peraturan-peraturan hukum atau bahan-bahan hukum tertulis yang bisa diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya yang mengenai permasalahan penelitian ini, serta menggunakan pendekatan penelitan terhadap hukum tidak tertulis atau data primer yaitu dapat dilakukan dengan cara wawancara langsung dari sumbernya.

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian dilapangan.6

2. Sumber Bahan Hukum

5

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitan Hukum, UI-Press,Jakarta,1984, hal. 43.

6

Ibrahim Jonny, Teori dan Metodologi Penelitan Normatif, Bayu Media Publishing,


(22)

Sumber bahan hukum ini menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan tersier, yaitu :

2.1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang menjadi acuan masyarakat untuk mentaati hukum itu yang bersifat mengikat, bahan-bahan hukum yang mengikat didalam penelitian ini yaitu :

a) Undang Undang Dasar Tahun 1945.

b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

c) UndangUndangNomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial

Tenaga Kerja.

d) UndangUndang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

e) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan

Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja kepada PT. Jamsostek (Persero) selaku perusahaan Badan Usaha Milik Negara.

f) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang

Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

g) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik

Indonesia Nomor : Per-24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Yang Melakukan Pekerjaan Diluar Hubungan Kerja (TK-LHK).


(23)

h) Ikatan Kerja Sama (IKS) Antara PT. Jamsostek (Persero) dengan Wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) tentang Pelaksanaan Kepesertaan Jamsostek Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja.

2.2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian dan tulisan-tulisan oleh ahli hukum, dalam penelitian ini tulisan-tulisan karya ilmiah yang dipakai yaitu diantaranya buku-buku karya ilmiah tentang perjanjian, tenaga kerja, Jamsostek, dan sebagainya.

2.3. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum.

3. Teknik Pengumpulan Data

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris yang teknik pengumpulan datanya menggunakan 2 (dua) cara, yaitu :

3.1. Penelitian Kepustakaan (library research)

Penelitian ini menggunakan data-data kepustakaan yaitu berupa bacaan-bacaan hukum atau bahan hukum tertulis yang berupa data sekunder seperti dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian,


(24)

laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya yang mengenai permasalahan penelitian ini.

3.2. Penelitian Lapangan (field research)

Pada penelitian ini sang peneliti langsung terjun kelapangan tempat dimana penelitian ini berlangsung yaitu PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan. Penelitian lapangan ini merupakan bahan yang berupa tidak tertulis (data primer) yaitu seperti wawancara. Jadi peneliti melakukan wawancara kepada pegawai PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan untuk mendapatkan informasi tentang penelitan ini langsung dari sumbernya secara akurat.

4. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis kualitatifyaitu tidak berdasarkan pada angka-angka (pengukuran) tetapi pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan pengamatan yang diuraikan melalui kalimat, jadi disini memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola yang dianalisis gejala-gejala sosial budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku.7

7


(25)

F. Keaslian Penulisan

Penulis menulis judul tentang “TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PT. JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG MEDAN DENGAN WADAH TENAGA KERJA LUAR HUBUNGAN KERJA (TK-LHK) BINAAN KANTOR PT. JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG MEDAN”. Penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir serta syarat agar dapat memperoleh gelar kesarjanaan di FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

Penulis telah melakukan proses pemeriksaaan pada bagian administrasi kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan setelah hasil pemeriksaan tersebut belum ada satu pun penulis yang melakukan penulisan penelitan mengenai judul diatas. Penulis melakukan penulisan ini dengan asli berdasarkan diri sendiri dengan tidak melakukan plagiat atau menjimplak dari hasil penelitian orang lain, apabila terbukti maka penulis siap untuk mempertanggungjawabkannya kedepan nanti.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini yaitu menjelaskan tentang runtutan mengenai pembahasan yang dilakukan setiap babnya, penulisan penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab yang ditelaah lebih mendalam menjadi lebih kecil lagi (sub bab), yaitu dapat dilihat sebagai berikut :


(26)

BAB I : PENDAHULUAN

Bab I tentang pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian penulisan dan sistematikan penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

Bab II terdiri dari pengertian perjanjian pada umumnya, hak dan kewajiban para pihak yang melakukan perjanjian, bagaimana sahnya suatu perjanjian dan berakhirnya suatu perjanjian.

BAB III : PROGRAM TENAGA KERJA LUAR HUBUNGAN KERJA

(TK-LHK) JAMSOSTEK SEBAGAI OBJEK PERJANJIAN Bab III terdiri dari definisi program Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK), latar belakang perjanjian kerjasama, prosedur pembuatan perjanjian kerjasama, pembinaan serta pengendalian wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK).

BAB IV : TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA

PT. JAMSOSTEK (PERSERO) DENGAN WADAH TENAGA KERJA LUAR HUBUNGAN KERJA (TK-LHK) BINAAN KANTOR PT JAMSOSTEK (PERSERO) CABANG MEDAN Bab IV terdiri dari hak dan kewajiban para pihak yang melakukan perjanjian kerjasama, pelaksanaan perjanjian kerjasama, bentuk penyimpangan perjanjian kerjasama serta penyelesaiannya, berakhirnya perjanjian kerjasama.


(27)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab V terdiri dari kesimpulan dan saran dari penulis tentang penelitian ini.


(28)

BAB II

PERJANJIAN PADA UMUMNYA

A. Pengertian Perjanjian

Perjanjian merupakan suatu kata yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Dengan mendengar sebuah kata perjanjian maka kita akan langsung berfikir bahwa tentang suatu hubungan perikatan yang diperbuat oleh dua belah pihak atau lebih. Perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dalam buku ke III tentang perikatan. Buku ke III KUHPerdata terdiri dari XVIII bab dan terbagi atas 2 (dua) ketentuan yaitu Bab I sampai dengan Bab IV berisikan tentang ketentuan umum tentang perikatan itu sendiri dan Bab V sampai dengan Bab XVIII berisikan tentang ketentuan khusus seperti jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, perjanjian kerja, perseroan perdata, dan seterusnya.

Adapun yang dimaksudkan dengan “perikatan” oleh buku III B.W itu, ialah : suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Buku II mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan benda (hak perbendaan). Buku III mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang (hak-hak perseorangan), meskipun mungkin yang menjadi obyek juga suatu benda. Oleh karena sifat hukum yang termuat dalam buku III itu selalu berupa suatu tuntut-menuntut, maka isi buku III itu juga dinamakan


(29)

“hukum perhutangan”. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan dan tidak melakukan suatu perbuatan.8

Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi diantara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. Mr. Dr. H.F. Vollmar didalam bukunya “Inleiding tot de Studie van het Nedderlands Burgerlijk Recht” mengatakan ditinjau dari isinya ternyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap kreditur, kalau perlu dengan bantuan hakim. Dari rumus diatas kita dapat melihat bahwa unsur-unsur perikatan ada 4 (empat) yaitu9

1. Hubungan hukum

:

2. Kekayaan

3. Pihak-pihak 4. Prestasi

1. Hubungan Hukum

Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan adanya suatu hak pada satu pihak dan menimbulkan suatu kewajiban pada pihak yang lainnya,

8

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan Ke-XXXII, PT. Intermasa, Jakarta,

2005, hal.122. 9

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan,PT. Citra Aditya Bakti,


(30)

dimana para pihak harus melaksanakan hak dan kewajiban yang ditimbulkan tersebut. Dalam hal ini jika satu pihak tidak menepati atau melanggar terhadap hubungan yang timbul tadi maka hukum dapat memaksakan agar hubungan yang timbul itu dapat dilaksanakan dengan semestinya.

2. Kekayaan

Dalam melakukan perikatan haruslah mempunyai hubungan hukum dan didalam hubungan hukum ini mempunyai kriteria perikatan. Kriteria perikatan telah berubah-ubah dari masa kemasa, dahulu kriteria dalam melakukan hubungan hukum itu haruslah dapat dinilai dengan uang atau tidak. Apabila hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang, maka dapat dikatakan hubungan hukum itu dalam suatu perikatan.

Namun kriteria perikatan itu lama kelamaan tidak dapat lagi digunakan, karena dalam masyarakat terdapat juga suatu hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi jika tidak dipenuhi maka tidak tercapai suatu rasa keadilan.

3. Pihak-pihak

Didalam melakukan hubungan hukum haruslah terdapat pihak-pihak yang melaksanakannya minimal terdiri 2 (dua) orang atau lebih. Pihak yang berhak dan dapat memaksakan suatu prestasi atau pihak yang memberikan hutang (berpiutang) yaitu disebut sebagai pihak kreditur dan pihak yang wajib melaksanakan prestasi atau pihak yang melakukan hutang (berutang) yaitu disebut sebagai pihak debitur.


(31)

4. Prestasi (Objek Hukum)

Prestasi atau objek hukum ini terdapat dalam Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu :

“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

Pasal 1233 KUHPerdata mengatakan bahwa, tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan dan karena undang-undang. Dari Pasal tersebut sumber dari perikatan itu adalah perjanjian dan undang-undang.

Perikatan yang timbul dari undang- undang disini yaitu perikatan yang dapat lahir antara orang/pihak yang satu dengan orang/pihak yang lainnya, tanpa orang-orang yang bersangkutan menghendakinya atau lebih tepat tanpa memperhitungkan kehendak mereka. Bahkan bisa saja terjadi, bahwa perikatan timbul tanpa orang-orang/para pihak melakukan suatu perbuatan tertentu dan perikatan bisa lahir karena kedua pihak berada dalam keadaan tertentu atau mempunyai kedudukan tertentu.10

Perikatan yang bersumber dari undang-undang semata-mata (uit de wet

allen)adalah perikatan-perikatan yang timbul oleh hubungan kekeluargaan. “Pasal 1352-1353 KUHperdata membagi sumber perikatan dari undang-undang dimana Pasal 1352 KUHPerdata: “Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit de wet ten ten gevolge van’s mensen toedoen) dan Pasal 1353 KUHperdata : “Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad)”.

10

J.Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Cetakan Ketiga, Bandung, 1999,


(32)

Misalnya : Kelahiran dengan kelahiran anak maka timbul perikatan antara ayah dan anak, dimana si ayah wajib memelihara anak tersebut.

Perikatan yang bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen) adalah perikatan yang timbul sebagai akibat dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku oleh seseorang, maka undang-undang melekatkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Tingkah laku seseorang tersebut mungkin merupakan perbuatan yang menurut hukum (dibolehkan undang-undang) atau mungkin pula merupakan perbuatan yang tidak diperbolehkan undang-undang (melawan hukum). Perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang yang menurut hukum misalnya mengurus kepentingan orang lain secara sukarela (zaakwaarneming), dimana sebagai akibatnya, undang-undang menetapkan beberapa hak dan kewajiban, yang harus mereka perhatikan seperti hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian.11

Perikatan yang timbul dari perjanjian atau persetujuan dapat dilihat dari contoh pada Pasal 1457 yaitu jual-beli dimana suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk mengikatkan diri satu sama lain, yaitu pihak yang satu menyerahkan barang yang hendak dijual dan pihak yang satu lainnya membayarnya dengan harga yang sudah dijanjikan sehingga menimbulkan hak dan kewajiban.


(33)

Berdasarkan pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa perjanjian merupakan sebagai sumber dari perikatan, karena jika kita mengadakan sebuah perjanjian maka secara tidak langsung didalamnya kita akan melakukan perikatan dengan pihak lawan dan perikatan itu sebagai hal yang harus dipenuhi dari suatu perjanjian. Suatu perikatan juga lebih besar bagian yang dikajinya daripada perjanjian, bahwa suatu perikatan itu dapat lahir dari perjanjian dan juga dari undang-undang.

Ditinjau dari sudut istilah bahasa perikatan dan persetujuan juga berbeda, perikatan dalam Bahasa Belanda menggunakan istilah “Verbitenis” dan perjanjian atau persetujuan menggunakan istilah “Overeenkomst”.

Berbagai kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk menerjemahkan “Verbitenis” dan “Overeenkomst”, yaitu :

“1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio12

2. Utrecht

menggunakan istilah perikatan untuk “Verbitenis” dan persetujuan

untuk “Overeenkomst”. 13

3. Achmad Ichsan

, dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai istilah Perhutangan untuk “Verbitenis”, dan Perjanjian untuk “Overeenkomst”.

14

Dari uraian diatas, untuk “Verbitenis” dikenal tiga istilah dalam Bahasa Indonesia, yaitu: Perikatan, Perhutangan dan Perjanjian, sedangkan untuk “Overeenkomst” dipakai 2 (dua) istilah yaitu Perjanjian dan Persetujuan.

Verbintenis berasal dari kata kerja Verbinden yang artinya mengikat. Maka dalam bukunya Hukum Perdata IB menerjemahkan “Verbitenis” dengan perjanjian dan “Overeenkomst” dengan persetujuan”.

12

Subekti dan Tjiptosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT.

Paramita,Jakarta, 1974, hal. 291 dan 304. 13

Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT.Penerbit Balai Buku Ikhtiar, Cetakan

V, Bandung, 1959, hal. 320 dan 621. 14


(34)

Verbintenis menunjuk kepada adanya “ikatan” atau “hubungan”. Hal ini sesuai dengan definisi Verbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas pertimbangan

tersebut penulis cenderung untuk menggunakan istilah perikatan. Overeenkomst

berasal dari kata kerja Overeenkomen yang artinya setuju atau sepakat.

Overeenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh BW. Oleh karena itu, istilah terjemahannya pun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut. Maka berlandaskan alasan tersebut penulis menggunakan istilah persetujuan atau perjanjian.15

Pasal 1313 KUHPerdata mengartikan sebuah persetujuan atau perjanjian yaitu suatu tindakan oleh satu orang atau lebih melakukan perikatan dengan orang lain. Yang dimaksud perikatan disini bukanlah sebagai perikatan yang timbul dengan sendirinya seperti yang kita temui dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian dimana hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta Perjanjian melahirkan sebuah perikatan yang timbul karena berdasarkan persetujuan. Para pihak setuju dan menghendaki untuk melakukan perikatan satu sama lainnya, berbeda dengan perikatan yang timbul karena undang-undang yang belum tentu dikehendaki oleh para pihak. Sesuai dengan pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata yaitu suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

15


(35)

oleh karena adanya “tindakan hukum”. Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan “kewajiban” untuk menunaikan prestasi.16

Oleh karena itu pengertian perjanjian atau Verbintenis mengandung

pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.17

Dalam perumusan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut tidaklah dikatakan apa yang menjadi tujuan untuk perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas tujuan untuk mengikatkan dirinya. Menurut Rutten, perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.18

Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini ditimbulkan suatu perhubungan antara dua orang itu yang dinamakan perikatan. Perjanjian tersebut menerbitkan suatu perikatan antara

16

M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian,Cetakan Kedua, Alumni,Bandung,

1986, hal. 7. 17

Ibid, hal. 6. 18

Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Bandar Maju, Bandung, 1994, hal.


(36)

dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.19

Sedangkan menurut Dr. Wirjono SH merumuskan hukum perjanjian sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. Disini unsur “berjanji atau dianggap berjanji” merupakan suatu unsur yang esensial, sedangkan bila dianut perumusan menurut hukum Barat saja unsur yang esensial adalah ikatan pihak kesatu kepada pihak yang lain untuk melakukan sesuatu, ikatan mana timbul karena persetujuan, permufakatan atau karena diatur dalam undang-undang.20

Oleh karena itu penulis menyimpulkan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan hukum kekayaan atau hukum benda oleh satu orang atau lebih yang mana para pihak saling mengikatkan diri terhadap satu sama lainnya berdasarkan penyesuaian kehendak antara para pihak yang berisi prestasi untuk kepentingan para pihak yang disusun baik secara tertulis maupun tidak tertulis.

19

F.Subekti, Hukum Perdjandjian, PT. Pembimbing Masa, Cetakan Kedua, Jakarta, 1970,


(37)

B. Sahnya Perjanjian

Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum, maka dalam membuat suatu perjanjian haruslah memenuhi syarat-syarat agar terciptanya perbuatan hukum bagi para pihak yang ingin melakukannya. Dari suatu perbuatan hukum itu akan lahir akibat hukum bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut dan lahirlah hak dan kewajiban. Tujuan dipenuhinya syarat-syarat suatu perjanjian agar kita dapat memaksakan hak dan kewajiban para pihak untuk melaksanakan isi perjanjian tersebut atau kita dapat meminta bantuan hakim untuk memaksakannya, tetapi jika kita tidak memenuhi syarat-syarat suatu perjanjian itu maka suatu perjanjian itu dianggap bukan perbuatan hukum dan tidak menimbulkan akibat hukum sehingga kita tidak dapat memaksakan hak dan kewajibannya.

Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang (Legally concluded contract) haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang.21

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

Syarat sahnya suatu perjanjian ini diatur pada Bab II Bagian Kedua Buku III di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

21

Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,


(38)

3. Suatu pokok persoalan tertentu; 4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Keempat syarat ini dibagi menjadi dua syarat pokok yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif meliputi dua syarat pertama yaitu kesepakan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Dikatakan sebagai syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian, sedangkan dikatakan sebagai syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian. Syarat objektif ini meliputi dua syarat terakhir yaitu suatu pokok persoalan tertentu dan suatu sebab yang tidak terlarang.

Untuk lebih jelasnya mengenai keempat syarat tersebut maka akan diuraikan secara satu persatu, yaitu :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

Suatu perjanjian itu akan timbul jika adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri satu sama lain. Maksud sepakat disini ialah adanya perjumpaan dan penyesuaian kehendak kedua belah pihak untuk mengikatkan diri satu sama lain. Tidaklah mungkin suatu perjanjian itu dapat terlaksana jika para pihak atau salah satu pihak tidak menyepakati untuk mengikatkan diri satu sama lain.

Penyesuaian kehendak saja antara dua orang belum tentu dapat menimbulkan suatu perikatan, karena hukum hanya mengatur perbuatan nyata daripada manusia. Kehendak tersebut haruslah saling bertemu dan agar bisa saling bertemu haruslah dinyatakan kepada pihak tersebut dan juga dimengerti pihak tersebut. Maka inti dari kata dari sepakat adalah suatu penawaran yang diakseptir (diterima/disambut) oleh lawan janjinya. Penawaran dan akseptasi bisa datang


(39)

dari kedua belah pihak secara timbal balik. Dengan demikian suatu penawaran dan akseptasi merupakan unsur yang sangat penting untuk menentukan lahirnya perjanjian.22

b. Paksaan

Kesepakatan para pihak ini dapat menimbulkan cacat syarat subjektif yang terbagi atas beberapa faktor yaitu :

a. Kekhilafan (Kesesatan)

Cacat kesepakatan yang disebabkan karena kekhilafan ini diatur dalam Pasal 1322 KUHPerdata yaitu :

“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan”.

Jadi kekhilafan itu dapat membatalkan perjanjian jika mengenai hakikat barang atau objek yang menjadi pokok persetujuan dan mengenai diri orang yang ingin mengadakan persetujuan, yang mana dapat dibagikan menjadi dua macam yaitu error in persona dan error in substantia. Error in persona adalah kekhilafan atau kesesatan mengenai orang yang seharusnya diperjanjikan untuk mengadakan persetujuan, sedangkan error in substantia adalah kekhilafan mengenai sifat dari barang yang menjadi pokok persetujuan tersebut.

Mengenai paksaan yang dapat menimbulkan cacat pada persetujuan ini dirumuskan didalam Pasal 1323 sampai dengan Pasal 1327 KUHPerdata. Pasal 1323 berbunyi sebagai berikut :

22


(40)

“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu”.

Dari rumusan Pasal diatas dapat dikatakan terdapat 3 (tiga) subyek yang melakukan pemaksaan yaitu orang yang mengadakan perjanjian tersebut, orang yang bukan mengadakan perjanjian tersebut tetapi mempunyai kepentingan dalam perjanjian tersebut dan orang yang bukan mengadakan perjanjian dan tidak mempunyai kepentingan atas perjanjian tersebut.

Pasal 1324 KUHPerdata juga menjelaskan bagaimana pengertiaan paksaan tersebut yaitu:

“Paksaaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam mempertimbangkan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan”. Dari rumusan diatas dapat dikatakan bahwa paksaan itu diberikan dengan menimbulkan aspek psikologis yang mengancam dirinya dengan berupa memberikan kekerasan atau berupa ancaman fisik yang dapat menimbulkan ketakutan baginya, sehingga ia melakukan perjanjian tersebut dibawah tekanan.

Pasal 1325 dan 1326 KUHPerdata menjelaskan mengenai paksaan yang lahir dari pihak-pihak yang bukan melakukan perjanjian saja tetapi datang dari pihak keluarga seperti suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis keatas maupun ke bawah, dan paksaan ini bukan dilandaskan karena rasa hormat saja tetapi haruslah disertai dengan adanya kekerasan. Seperti yang telah dirumuskan pada Pasal 1325 dan 1326 KUHPerdata yaitu :


(41)

melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah”.

Pasal 1326 : “Rasa takut karena hormat terhadap ayah, ibu atau keluarga lain dalam garis keatas, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk membatalkan persetujuan”.

c. Penipuan

Cacat persetujuan yang berupa penipuan ini diatur dalam Pasal 1328 yaitu yang berbunyi :

“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan”.

Jadi jika seseorang pihak melakukan tipu muslihat dan pihak yang satu lainnya melakukan perjanjian dengan tidak menggunakan tipu muslihat maka perjanjian itu dapat dikatakan batal, karena terdapat unsur kesengajaan untuk melakukan tipu muslihat sehingga perjanjian itu dapat dilaksanakan. Dalam menyatakan penipuan tidaklah dapat hanya dikatakan saja atau menuduh bahwa salah satu pihak melakukan penipuan tetapi haruslah berdasarkan pembuktian di pengadilan bahwa pihak tersebut telah melakukan penipuan.

Atas dasar 3 (tiga) hal yang menyebabkan kecacatan dalam perjanjian diatas yaitu Kekhilafan (kesesatan), Paksaan dan Penipuan maka dapat diminta pembatalan perjanjian tersebut ke Pengadilan Negeri berdasarkan kewenangan relatifnya, sesuai pada Pasal 1454 KUHPerdata dengan tuntutan pembatalan suatu perikatan dalam tenggang waktu selama 5 (lima) Tahun dan waktu itu berlaku dalam hal penyesatan dan penipuan sejak sehari diketahuinya penyesatan dan penipuan tersebut sedangkan dalam hal paksaan yaitu sejak hari paksaan itu berhenti.


(42)

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Dalam membuat suatu perjanjian haruslah dibutuhkan kecakapan seseorang, maksud kecakapan seseorang ini adalah orang yang dapat melakukan perbuatan hukum. Orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang mampu bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya yang menimbulkan akibat hukum sehingga ia menyandang hak dan kewajiban dan dapat dikatakan sebagai subjek hukum. Orang yang cakap melakukan perbuatan hukum ditentukan melalui batas usia dan juga tidak sehat jasmani atau rohaninya, dan ketentuan cakap melakukan perbuatan hukum ini diatur oleh undang-undang. Dalam hal melakukan perjanjian, kecakapan untuk membuat suatu perikatan diatur dalam Pasal 1330 yang mengatur tentang orang yang tidak cakap untuk membuat persetujuan, yaitu:

a) Anak yang belum dewasa;

b) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan;

c) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan

undang-undang, dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.

Oleh karena itu selain orang-orang yang tidak termasuk kriteria diatas maka mereka dapat melakukan perjanjian atau dikatakan cakap hukum.

Mengenai anak yang belum dewasa diatur didalam Pasal 330 KUHPerdata yang mengatakan bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) Tahun dan tidak kawin sebelumnya dan apabila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 Tahun maka


(43)

mereka tidak akan kembali berstatus belum dewasa lagi. Jadi yang dikatakan orang yang cakap hukum adalah orang yang sudah berumur 21 (dua puluh satu) Tahun atau yang belum berumur 21 Tahun tetapi sudah pernah menikah sebelumnya. Tetapi dengan adanya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dikatakan pada Pasal 7 maka adanya perbedaan batasan yaitu pada wanita yang jika ia sudah berumur 16 Tahun maka ia dapat melakukan pernikahan sedangkan bagi pria yang sudah berumur 19 (sembilan belas) Tahun ia dapat melakukan pernikahan.

Orang yang tidak cakap hukum lainnya adalah orang yang ditaruh di bawah pengampuan. Maksud dari pengampuan ini dijelaskan dalam Pasal 433 KUHPerdata yaitu setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap walaupun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya, serta seorang dewasa boleh juga ditempatkan dibawah pengampuan karena keborosannya. Jika orang yang dibawah pengampuan serta yang belum dewasa ingin melakukan perjanjian maka dapat diwakili oleh masing-masing orangtua dan pengampuannya.

Pada ketentuan ketiga yaitu perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang atau seorang istri itu tidak cakap melakukan perjanjian ini telah tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 1963 dan lahirnya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 31 Ayat (1 dan 2) yang mengatakan:


(44)

Ayat (1) : “Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersaama dalam masyarakat”.

Ayat (2) : “Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”. 3. Suatu pokok persoalan tertentu

Yang dimaksud dengan suatu pokok persoalan tertentu disini adalah sesuatu yang didalam perjanjian tersebut harus telah ditentukan dan disepakati. Ketentuan ini sesuai dengan yang disebutkan pada Pasal 1333 KUHPerdata bahwa barang yang menjadi obyek suatu perjanjian harus ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barangnya tidak tertentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Atau barang yang akan ada dikemudian hari juga bisa menjadi obyek dari suatu perjanjian, ketentuan ini disebutkan pada Pasal 1334 KUHPerdata ayat 1.23

Suatu perjanjian haruslah mempunyai obyek (bepaald onderwerp)

tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada, yaitu24

a) Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332). :

b) Barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain

seperti jalan, umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan sebagainya tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian.

c) Dapat ditentukan jenisnya(Pasal 1333). d) Barang yang akan datang (Pasal 1334).

23


(45)

4. Suatu sebab yang tidak terlarang

Suatu sebab yang tidak terlarang ini diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatakan suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Jika sebab tersebut terjadi maka perjanjian itu dapat dibatalkan demi hukum.

Menurut Yurisprudensi. yang ditafsirkan dengan kausa adalah isi atau maksud dari perjanjian. Melalui syarat kausa, didalam praktek maka ia merupakan upaya untuk menempatkan perjanjian di bawah pengawasan hakim. Oleh karena itu hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1335 sampai dengan 1337 KUHPerdata).25

Selain syarat sahnya suatu perjanjian diatas, ada beberapa teori yang menjelaskan saat lahir dan timbulnya suatu perjanjian, yaitu26

a) Teori kehendak (Wilstheori) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi

pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.

:

b) Teori pengiriman (Verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan

terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

25

Ibid, hal. 81. 26


(46)

c) Teori pengetahuan (Vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.

d) Teori kepercayaan (Vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa

kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.

C. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Dengan terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, maka perjanjian itu telah berlaku dan perjanjian tersebut mengikat para pihak serta harus dilaksanakan sehingga jika tidak dilaksanakan para pihak dapat memaksakan hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan yang tertuang dalam perjanjian. Seperti yang telah dikatakan diatas perjanjian adalah suatu perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan hukum kekayaan atau hukum benda oleh satu orang atau lebih yang mana para pihak saling mengikatkan diri terhadap satu sama lainnya berdasarkan penyesuaian kehendak antara para pihak yang berisi prestasi untuk kepentingan para pihak yang disusun baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Dari pengertian diatas terdapat kata “prestasi”. Pengertian prestasi disini ialah adanya kesesuaian kehendak yang dituangkan dalam perjanjian yang berisi kewajiban. Prestasi inilah yang akan menjadi hak oleh satu pihak untuk memperoleh prestasi, dan menjadi kewajiban oleh pihak yang satunya untuk melaksanakan prestasi tersebut.


(47)

Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan prestasi ini dapat berupa memberikan sesuatu, untuk berbuat atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dalam hal memberikan sesuatu itu maksudnya adalah menyerahkan dan merawat benda sampai pada waktu dilakukannya penyerahan kembali, seperti dikatakan pada Pasal 1235 KUHPerdata yaitu:

“Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, termaktub kewajiban untuk menyerahkan barang yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, sampai saat penyerahan. Luas tidaknya kewajiban yang terakhir ini tergantung pada persetujuan tertentu; akibatnya akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan”.

Dalam hal berbuat sesuatu diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata, yaitu : “Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhinya”.

Dalam hal untuk tidak berbuat sesuatu diatur dalam Pasal 1242 KUHPerdata, yaitu :

“Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak manapun yang berbuat bertentangan dengan perikatan itu, karena pelanggaran itu saja, diwajibkan untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga”.

Para pihak yang membuat perjanjian ini dilekatkan hak dan kewajiban sesuai dengan isi perjanjian. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Pihak debitur dan kreditur haruslah melakukan hak mereka sesuai dengan apa yang diperjanjikan, jika tidak sesuai maka pihak kreditur dan debitur dapat memaksakan agar apa yang menjadi haknya itu dapat terlaksana yaitu dengan melalui bantuan pengadilan. Hak untuk menggugat/menuntut itu tidak hanya dimiliki oleh pihak kreditur saja, bukan


(48)

karena dia sebagai pihak berpiutang sehingga ia dapat menagih agar pihak debitur memenuhi prestasi, melainkan pihak debitur juga dapat memaksakan kehendaknya jika pihak kreditur tidak memenuhi seperti apa yang telah dijanjikan. Sebagai contoh pada perjanjian timbal balik yaitu jual beli Pasal 1457 KUHPerdata mengatakan jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Dalam hal ini pihak kreditur sebagai penjual dan pihak debitur sebagai pembeli. Jika pihak debitur tidak membayar seperti harga yang telah dijanjikan maka pihak kreditur dapat memaksakan dengan menuntut kepengadilan agar pihak debitur membayarnya. Pihak debitur juga dapat menggugat atau menuntut pihak kreditur apabila pihak debitur telah membayar suatu barang seperti yang telah diperjanjikan tetapi pihak kreditur tidak menyerahkan barang sesuai yang diperjanjikan, maka disini pihak debitur diberikan hak untuk menuntut atau menggugat pihak kreditur di pengadilan. Jadi pihak kreditur dan pihak debitur diberi hak untuk menuntut jika salah satu dari mereka tidak melakukan sesuai dengan yang diperjanjikan.

Dari contoh jual beli diatas kedua belah pihak sama-sama dibebani “obligatio/schuld” yaitu “kewajiban” melaksanakan pemenuhan prestasi. Serta

sekaligus disamping schuld masing-masing juga dibebani “haftung” yakni

“Tanggung Jawab” hukum untuk memenuhi pelaksanaan prestasi kepada masing-masing pihak secara sempurna. Dari haftung inilah lahirnya akibat hak materiil dan kekuasaan menuntut yang diberikan oleh hukum kepada masing-masing


(49)

merupakan beban yang dipikul oleh masing-masing pihak pada waktu yang bersamaan.27

a. Tidak melakukan seperti apa yang telah diperjanjikan

Dalam perjanjian, kreditur mempunyai hak atas prestasi dan debitur berkewajiban utnuk memenuhi pelaksanaan prestasi, apabila pihak debitur tidak melaksanakan kewajibannya atau prestasinya maka pihak debitur telah melakukan

Wanprestasi atau ingkar janji atau bisa juga disebutkan dengan kelalaian. Wanprestasi ini dilakukan apabila debitur :

b. Melakukan seperti apa yang telah diperjanjikan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan

c. Melakukan seperti apa yang telah diperjanjikan namun pelaksanaannya terlambat atau tidak tepat waktu yang dijanjikan

d. Melakukan hal yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian tersebut. Jika telah terjadi wanprestasi maka seorang kreditur dapat memilih berbagai macam kemungkinan, yaitu28

a. Kreditur dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan ini sudah terlambat.

:

b. Kreditur dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya.

27

M.Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 18.

28


(50)

c. Kreditur dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian.

d. Dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik,

kelalaian satu pihak memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan penggantian kerugian.

D. Berakhirnya Suatu Perjanjian

Setelah syarat-syarat sahnya suatu perjanjian itu terpenuhi maka lahirlah suatu perjanjian yang mana para pihak yang mengikatkan diri tersebut haruslah melaksanakan hak dan kewajiban mereka masing-masing. Lahirnya suatu perjanjian akan menimbulkan berakhirnya atau hapusnya suatu perjanjian tersebut. Mengenai penghapusan perjanjian telah diatur didalam Pasal 1381 KUHPerdata Buku Ketiga Bab ke-IV tentang hapusnya perikatan, yaitu:

1. Karena Pembayaran

Dalam kegiatan perjanjian sehari-hari, pihak debitur (berhutang) mendapatkan kewajiban untuk melakukan pembayaran setelah mendapatkan haknya, dan jika pembayaran tersebut telah dipenuhi maka perjanjian itu akan berakhir. Tetapi pembayaran disini tidak selamanya berbentuk penyerahan uang atau harta benda tetapi lebih diartikan terhadap pemenuhan kewajiban atau prestasi yang telah dibuat para pihak dalam perjanjian tersebut. Mengenai hapusnya hutang karena pembayaran ini diatur dalam Pasal 1382 sampai dengan


(51)

1403. Pihak yang mendapat kewajiban untuk melakukan pembayaran ialah pihak debitur (yang berhutang). Pihak debitur melakukan pembayaran atau pemenuhan prestasi kepada pihak kreditur (yang berpiutang). Tetapi didalam Pasal 1382 dinyatakan bahwa tidak hanya debitur saja yang dapat melakukan tetapi ada pihak-pihak lain seperti bunyi Pasal 1382 yaitu :

“Tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa pun yang berkepentingan, seperti orang yang turut berutang atau penanggung utang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan, asal pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utang debitur, atau asal ia tidak mengambil hak-hak kreditur sebagai pengganti jika ia bertindak atas namanya sendiri”.

Dari pengertian Pasal 1382 diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dapat melakukan pembayaran adalah :

a) Orang yang berkepentingan dalam hal ini yaitu orang yang berhutang

(Debitur);

b) Orang yang dianggap sebagai penanggung utang;

c) Orang ketiga yang tidak berkepentingan, dalam hal ini pihak ketiga bertindak atas nama serta melunasi hutang si debitur dan tidak mengambil hak-hak kreditur jika ia mengatasnamakan namanya sendiri..

Dalam hal orang yang menerima pembayaran ini diatur didalam Pasal 1385 KUHPerdata, yaitu :

“Pembayaran harus dilakukan kepada kreditur atau kepada orang yang dikuasakan olehnya, atau juga kepada orang yang dikuasakan oleh hakim atau oleh undang-undang untuk menerima pembayaran bagi kreditur. Pembayaran yang dilakukan kepada seseorang yang tidak mempunyai kuasa menerima bagi kreditur, sah sejauh hal itu disetujui kreditur atau nyata-nyata bermanfaat baginya”.


(52)

Pasal 1385 KUHPerdata ini menyatakan bahwa orang yang dapat menerima pembayaran ini ada 3 (tiga) yaitu orang yang berkepentingan itu sendiri yakni si kreditur (berpiutang), orang yang telah dikuasakan atau diberi kuasa oleh sang kreditur dan orang yang telah dikuasakan oleh hakim atau undang-undang untuk menerima pembayaran untuk kreditur.

2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau

penitipan

Hapusnya perjanjian dalam hal ini diatur dalam Pasal 1404 sampai dengan Pasal 1412 KUHPerdata. Pasal 1404 menjelaskan tentang hapusnya perikatan ini sebagai berikut :

“Jika kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya; dan jika kreditur juga menolaknya, maka debitur dapat menitipkan uang atau barangnya kepada pengadilan. Penawaran demikian, yang diikuti dengan penitipan, membebaskan debitur dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu dilakukan menurut undang-undang; sedangkan apa yang dititipkan secara demikian adalah atas tanggungan kreditur”.

Pasal 1404 diatas mengatakan bahwa jika pihak debitur ingin membayar hutangnya tetapi pihak kreditur menolak pembayaran tersebut, maka pihak debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai terhadap hutang tersebut, akan tetapi jika si kreditur menolak untuk menerimanya lagi maka sang debitur dapat menitipkan uang atau barangnya kepada pengadilan. Jadi disini debitur dapat melunasi hutangnya dengan melalui pembayaran tunai yang diikut dengan penitipan.

Penitipan atau penyimpanan yang dimaksud tersebut maksudnya hanya meliputi kebendaan yang bergerak saja, oleh karena kebendaan yang tidak


(53)

bergerak memiliki bentuk dan cara penyerahan tersendiri yang berbeda dari penyerahan kebendaan bergerak, yang menurut ketentuan Pasal 512 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata cukup dengan penyerahan fisik dari kebendaan tersebut. Kebendaan tidak bergerak secara esensi tidak mungkin dapat dititipkan atau disimpan untuk diserahkan kepada kreditor.29

3. Karena pembaharuan utang

Yang dimaksud dengan pembaharuan utang atau novasi ialah adanya pergantian atau pembaharuan atas perjanjian yang lama terhadap perjanjian yang baru. Dengan diadakannya pembaharuan atas perjanjian yang baru maka sekaligus mengakhiri perjanjian yang lama tersebut. Pergantian atau pembaharuan haruslah berdasarkan persetujuan pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Pembaharuan utang telah diatur dalam Pasal 1413 sampai dengan Pasal 1424 KUHPerdata. Pasal 1413 menjelaskan bahwa novasi dapat dilakukan dengan 3 macam, yaitu :

a) Bila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru untuk

kepentingan kreditur yang menggantikan utang lama, yang dihapuskan karenanya;

b) Bila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama,

yang oleh kreditur dibebaskan dari perikatannya;

c) Bila sebagai akibat suatu persetujuan baru seorang kreditur baru

ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, yang terhadapnya debitur dibebaskan dari perikatannya.

29

Gunawan Widjaja,Hapusnya Perikatan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.


(54)

Dari tiga macam diatas pembaharuan utang ini dapat digolongkan menjadi dua macam :

a. Novasi Subjektif

Novasi subjektif digolongkan pada Pasal 1413 Ayat 2 & Ayat 3 yaitu mengatur tentang subjek atau pihak yang melakukan perjanjian (kreditur dan debitur). Novasi subjektif yang terjadi karena pergantian atas debitur yang lama kepada debitur yang baru atas persetujuan ketiga belah pihak tersebut disebut subjektif pasif, sedangkan novasi subjektif yang dilakukan atas pergantian kreditur yang lama oleh kreditur yang baru disebut subjektif aktif.

b. Novasi Objektif

Novasi objektif ialah pembaharuan terhadap objek perjanjian tersebut yang berupa isi perjanjian dan objek prestasinya, dan bukan pembaharuan terhadap subjeknya. Novasi objektif terdapat dalam Pasal 1413 Ayat 1.

4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi

Perjumpaan utang atau kompensasi termasuk dalam hal hapusnya atau berakhirnya suatu perjanjian, jika kedua belah pihak sama-sama mempunyai utang terhadap satu sama lainnya,dimana pihak debitur mempunyai utang kepada pihak kreditur, dan pada saat itu pula pihak kreditur juga mempunyai utang kepada pihak debitur dalam jumlah yang sama sehingga mereka dikatakan sebagai perjumpaan utang.

Perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 sampai dengan Pasal 1435 KUHPerdata. Pasal 1427 mengatakan syarat-syarat terjadinya perjumpaan hutang ketika :


(55)

“Perjumpaan hanya terjadi antara dua utang yang dua-duanya berpokok sejumlah utang, atau sejumlah barang yang dapat dihabiskan dan dari jenis yang sama, dan yang dua-duanya dapat diselesaikan dan ditagih seketika”. Dapat disimpulkan syarat-syarat perjumpaan hutang, yaitu :

a. Pihak-pihak yang melakukan perjanjian ini sama-sama berada dalam

posisi sebagai debitur antara satu sama lainnya.

b. Objeknya ini dapat dihabiskan dan dari jenis yang sama baik itu berupa uang atau barang.

c. Hal yang diperjanjikan tersebut dapat ditagih seketika.

5. Karena pencampuran utang

Pasal 1436 sampai dengan Pasal 1437 KUHPerdata mengatur hapusnya perjanjian karena pencampuran utang. Pasal 1436 menyebutkan pencampuran utang, yaitu :

“Bila kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang, dan oleh sebab itu piutang dihapuskan”.

Dengan rumusan ini diketahui bahwa, jika dalam perjumpaan utang terkait sekurangnya dua utang yang saling bertimbal balik, maka dalam percampuran utang hanya ada satu utang, kewajiban atau perikatan yang saling meniadakan karena berkumpulnya utang dan piutang pada satu pihak.30

Hapusnya perjanjian karena pencampuran utang ini terjadi didalam hukum kekeluargaan seperti perkawinan dimana terdapat persatuan harta kekayaan yang disepakati oleh suami-istri, dan juga terjadi pada hukum perusahaan karena disebabkan merger (penggabungan) dan konsolidasi (peleburan).

30


(56)

6. Karena pembebasan utang

Hal yang mengatur mengenai pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 sampai dengan Pasal 1443 KUHPerdata. Pembebasan utang ialah pembuatan pernyataan kehendak dari kreditur untuk membebaskan debitur dari perikatan dan pernyataan kehendak tersebut diterima oleh debitur. Menurut Pasal 1439 KUHPerdata, pembebasan utang itu tidak dapat dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. Misalnya sebagaimana yang disebutkan oleh Pasal 1439 KUHPerdata, pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh kreditur, merupakan bukti tentang pembebasan hutangnya.31

7. Karena musnahya barang yang terutang

Dalam hal hapusnya perjanjian ini dilihat dari segi syarat objektif perjanjian tersebut. Musnahnya barang yang terutang diatur dalam Pasal 1444 sampai dengan 1445. Pasal 1444 menjelaskannya yaitu :

“Jika barang tertentu yang menjadi pokok suatu persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkan suatu barang, yang sebelumnya tidak ditanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama ditangan kreditur, seandainya barang tersebut sudah diserahkan kepadanya. Debitur diwajibkan membuktikan kejadian tak terduga yang dikemukakannya. Dengan cara bagaimanapun suatu barang hilang atau musnah, orang yang mengambil barang itu sekali-kali tidak bebas dari kewajiban untuk mengganti harga”.

Maksud Pasal 1444 diatas yaitu musnahnya barang yang terutang dapat menjadi hapusnya perjanjian jika barang itu musnah atau hilang diluar kesalahan

debitur yaitu seperti Force Majeuratau adanya keadaan yang memaksa seperti


(1)

Pasal 10

Force Majeure

(1)

Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah suatu

peristiwa/keadaan yang terjadi diluar kekuasaan

PARA PIHAK

, yang

mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya pemenuhan hak-hak dan

kewajiban oleh masing-masing pihak sesuai dengan ketentuan dalam ikatan

Kerja sama, termasuk antara lain kebakaran, bencana alam, peperangan,

huru-hara, pemogokan dan kebijaksanaan maupun Peraturan

Pemerintah/Pengusaha setempat yang secara langsung dapat mempengaruhi

pemenuhan hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak.

(2)

Dalam hal terjadi suatu hal memaksa (force majeure), maka pihak yang

bersangkutan/berkepentingan harus memberitahukan kepada pihak lainnya

secara tertulis disertai bukti-bukti yang layak paling lambat 7 (tujuh) hari

setelah terjadinya keadaan dimaksud, serta masing-masing pihak sepakat

untuk menyelesaikan segala hak-hak dan kewajiban satu sama lain secara

musyawarah.

Pasal 11

Hal-Hal Lain

(1). Perjanjian ini tidak dapat dialihkan pada pihak lain tanpa persetujuan tertulis

terlebih dahulu dari

PARA PIHAK

.

(2). Hal-Hal yang belum cukup diatur dalam perjanjian ini akan diatur lebih

lanjut dalam suatu addendum atas persetujuan

PARA PIHAK

dan

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Ikatan Kerjasama

ini.

(3). Kewajiban

PARA PIHAK

yang timbul selama masa perjanjian ini tetap

berlaku, meskipun masa Perjanjian ini sudah berakhir.

Pasal 12

Penutup

Perjanjian kerjasama ini dibuat dalam rangkap 4 (empat), 2 (dua) rangkap

diantaranya bermaterai cukup dan berlaku sebagai asli serta mempunyai kekuatan

hukum yang sama, masing-masing pihak mendapat 1 (satu) rangkap, sedangkan 2

(dua) rangkap lainnya sebagai copy untuk keperluan administrasi.


(2)

PIHAK PERTAMA

PIHAK KEDUA

...

...

Kepala Kantor CabangKetua Wadah

PT. Jamsostek (Persero) Medan


(3)

NAMA WADAH TK - LHK CABANG MEDAN

SAMPAI DENGAN OKTOBER 2012

NO.

N A M A

KEPESERTAAN

JUMLAH TENAGA

KERJA KETERANGAN BULAN TAHUN AKTIF

NON-AKTIF 1 KELUARGA MITRA SEJAJAR / ROBINA SEROJA

MEI 2007 38 128 AKTIF

2 WADAH

UNIVERSAL JUNI 2007 1 6 AKTIF

3

PEMBINAAN ANAK MANDIRI INDONESIA

NOVEMBER 2007 28 29 AKTIF

4 STM SATAHI DESEMBER 2007 58 36 AKTIF

5

PERHIMPUNA N PERISAI KEADILAN

JUNI 2008 57 24 AKTIF

6 ACONG

GROUP APRIL 2008 57 28 AKTIF

7

HIMPUNAN MASYARAKA

T PEKERJA MANDIRI

MEI 2008 82 65 AKTIF

8 DESI GROUP JUNI 2008 167 64 AKTIF

9 SEROJA

GROUP DESEMBER 2008 6 23 AKTIF

10 VONI GROUP NOVEMBER 2008 43 23 AKTIF

11

ASOSIASI PENGUSAHA

MOBIL

JANUARI 2009 11 7 AKTIF

12 HENNY

GROUP JANUARI 2009 0 5

NON AKTIF JULI 2012

13 MANDIRI

GROUP FEBRUARI 2009 62 14 AKTIF

14 TAMITA

GROUP FEBRUARI 2009 2 0 AKTIF

15

PERSATUAN PENGECER

KORAN SUMUT

MARET 2009 23 11 AKTIF

16 AMANDA

GROUP APRIL 2009 25 58 AKTIF

17 BUNGA

SEROJA JUNI 2009 10 29 AKTIF

18 LPP KARYA


(4)

20 MAJU

BERSAMA SEPTEMBER 2009 9 10 AKTIF

21

MITRA MEDIA AGENCY

NOVEMBER 2009 5 3 AKTIF

22 PELINDUNG

MANDIRI DESEMBER 2009 135 95 AKTIF

23 SYIFA FEBRUARI 2010 45 18 AKTIF

24 KEMBAREN

GROUP MEI 2010 32 8 AKTIF

25

SPSI BONGKAR MUAT PASAR

BARU

JUNI 2010 0 24 NON AKTIF

MEI 2012

26 USAHA

MANDIRI JUNI 2010 7 2 AKTIF

27 MAJU JAYA JUNI 2010 29 2 AKTIF

28

TUAH ARMAYA

GROUP

AGUSTUS 2010 14 6 AKTIF

29

UPPKH KEC MEDAN

DENAI

SEPTEMBER 2010 2 14 AKTIF

30 IKAPO PKH

KOTA MEDAN OKTOBER 2010 51 13 AKTIF

31

PENDAMPING PKH MEDAN ANGKATAN 2

OKTOBER 2010 11 4 AKTIF

32 IQBAL OKTOBER 2010 0 3 NON AKTIF

MEI 2012

33 DEWI GROUP OKTOBER 2010 13 2 AKTIF

34 HUTAPEA

GROUP OKTOBER 2010 10 1 AKTIF

35

UPPKH MEDAN MARELAN

NOVEMBER 2010 0 14 NON AKTIF

JUNI 2012 36

PERKUMPUL AN SEHAT

MANDIRI

NOVEMBER 2010 5 0 AKTIF

37

USAHA PENDIRIAN

EXPRES

NOVEMBER 2010 14 2 AKTIF

38 HARIS & LISA DESEMBER 2010 34 14 AKTIF

39 RIANTI

GROUP JANUARI 2011 89 19 AKTIF

40

KOMUNITAS MASYARAKA T KENNEDY

FEBRUARI 2011 0 220

NON AKTIF FEBRUARI

2012

41 BIMA KARYA

SEJAHTERA FEBRUARI 2011 24 11 AKTIF

42 NASTY

CATERING FEBRUARI 2011 2 0 AKTIF

43 HOKKI MARET 2011 4 0 AKTIF


(5)

45

LEMBGA PEMBERDAY.

PEREMP. MANDIRI SU

APRIL 2011 59 8 AKTIF

46 FATIHILLAH MEI 2011 14 1 AKTIF

47 SEJAHTERA

MANDIRI JUNI 2011 49 6 AKTIF

48 LKBH PBB JUNI 2011 4 2 AKTIF

49 MD GROUP JUNI 2011 18 4 AKTIF

50 SINAR POWA JULI 2011 0 4

NON AKTIF NOVEMBER

2011

51 BARAT

LINGGA AGUSTUS 2011 104 12 AKTIF

52 WINFRONSTE

IN BERJAYA AGUSTUS 2011 38 2 AKTIF

53 AQ'SA RENT

MEDAN AGUSTUS 2011 36 29 AKTIF

54

PERSENTER MEDAN SEKITARNYA

AGUSTUS 2011 0 19 NON AKTIF

MEI 2012

55 SEHAT

MANDIRI AGUSTUS 2011 11 1 AKTIF

56 FARIS SEPTEMBER 2011 7 0 AKTIF

57 MITRA KASIH

ABADI OKTOBER 2011 35 20 AKTIF

58 WILLIYY

WIJAYA OKTOBER 2011 46 10 AKTIF

59 K MEIWANTY DESEMBER 2011 81 9 AKTIF

60

ASURANSI MANDIRI /

ARMI

DESEMBER 2011 19 1 AKTIF

61 RESTU SEHAT DESEMBER 2011 21 4 AKTIF

62 PETRUS JANUARI 2012 1 0 AKTIF

63 MITRA JASA

MUSPA JANUARI 2012 13 0 AKTIF

64 TAMARA JANUARI 2012 10 6 AKTIF

65 AR

BATUBARA JANUARI 2012 5 9 AKTIF

66

DPC FSPTI KSPSI KOTA

MEDAN

JANUARI 2012 0 10

NON AKTIF FEBRUARI

2012

67 ORION

GROUP FEBRUARI 2012 7 0 AKTIF

68 YUV VAIS

GROUP FEBRUARI 2012 16 0 AKTIF

69 FAMILY

GROUP FEBRUARI 2012 0 3

NON AKTIF JUNI 2012

70 YUS GROUP FEBRUARI 2012 41 8 AKTIF

71 SEJAHTERA


(6)

74 SEJAHTERA

BERSAMA APRIL 2012 21 1 AKTIF

75 SUMBER

REZEKI APRIL 2012 7 1 AKTIF

76

DPD SPINDO SUMATERA

UTARA

APRIL 2012 0 41 NON AKTIF

JUNI 2012

77 AMANAH MEI 2012 12 1 AKTIF

78

FAMILY ALTAR GBI

DELI TUA

MEI 2012 12 1 AKTIF

79 PAJUS MEI 2012 407 0 AKTIF


Dokumen yang terkait

Tingkat Kepuasan Pengguna Jasa PT. Jamsostek (Persero) Terhadap Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit Sari Mutiara Medan

0 38 71

Peranan PT. Pegadaian (Persero) dalam Meningkatkan Pelayanan Pinjaman Dana Kepada Masyarakat (Studi pada Kantor Cabang Simpang Limun Medan)

11 172 104

Gambaran Kecelakaan Kerja Pada Perusahaan Peserta PT. Jamsostek (Persero) Cabang P. Siantar Tahun 2002

3 58 90

Pelaksanaan Perjanjian Pinjaman Dana Program Kemitraan Antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Cabang Belawan Dengan Mitra Binaannya

5 56 146

Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Pekerja Di Luar Hubungan Kerja (Jamsos TK-LHK) oleh PT.Jamsostek cabang Tanjung Morawa Medan, Tahun 2010

0 60 94

Analisis Kinerja Jasa PT. Jamsostek (Persero) Terhadap Kepuasan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehat

0 23 1

Peranan Container Dalam Perjanjian Kerja Pada Pengangkutan Barang Melalui Angkutan Laut (Studi Pada PT. Samudera Indonesia Cabang Belawan)

5 80 89

Respon Peserta Luar Hubungan Kerja Terhadap Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Medan

0 36 126

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama antara PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dengan Wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) Binaan Kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan

0 0 17

Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama antara PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan dengan Wadah Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK-LHK) Binaan Kantor PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan

0 1 9