Hubungan Antara Kepatuhan Diet Rendah Garam, Kepatuhan Minum Obat, Riwayat Hipertensi dengan Kejadian Rehospitalisasi pada Pasien Gagal Jantung Kongestif

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gagal Jantung Kongestif
2.1.1. Pengertian gagal jantung kongestif
Jantung merupakan organ yang terpenting dalam sirkulasi. Pekerjaan
jantung adalah memompa darah ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh pada setiap saat, baik saat istirahat maupun saat bekerja atau
menghadapi beban. Dengan bertambahnya kemajuan teknologi kedokteran, sejak
tahun 1968 kematian karena penyakit jantung menurun. Hal ini menurut
Rilantino, dkk, (2002) disebabkan karena sebagian besar penderita hidup setelah
serangan jantung tapi kemudian menderita gagal jantung.
Gagal jantung kongestif adalah suatu kondisi dimana jantung tidak lagi
dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul
dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa
gangguan fungsi sistolik atau diastolik, gangguan irama jantung, atau
ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian
pada pasien (Mariyono & Santoso, 2008).

2.1.2. Klasifikasi gagal jantung
Klasifikasi gagal jantung kongestif berdasarkan tampilan klinis dari New

York Heart Association (NYHA) yaitu :
a. Kelas I

: tidak ada gejala bila melakukan kegiatan fisik biasa

12

Universitas Sumatera Utara

13

b. Kelas II

: timbul gejala bila melakukan kegiatan fisik biasa.

c. Kelas III

: timbul gejala sewaktu melakukan kegiatan fisik ringan.

d. Kelas IV


: timbul gejala pada saat istirahat.

(Price & Wilson, 1994).
b. Klasifikasi Stevenson
Klasifikasi menurut Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan
melihat tanda kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya
ortopnea, distensi vena jugularis, ronki basah, refluks hepato jugular, edema
perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood
pressure pada manuver valsava. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah,
dan yang tidak mengalami kongesti disebut kering. Pasien dengan gangguan
perfusi disebut dingin dan yang tidak mengalami gangguan perfusi disebut panas
(Price & Wilson, 1994).

2.1.3. Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologis
cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung. Di negara maju
penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak, sedangkan
di negara berkembang, yang menjadi penyebab terbanyak dari gagal jantung
adalah penyakit katup jantung dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada negara

industri maju, penyakit jantung koroner (PJK) merupakan suatu penyebab
dominan pada pria dan wanita dan terjadi pada 60-75% kasus gagal jantung.
Hipertensi berperan pada perkembangan gagal jantung pada 75% pasien, termasuk

Universitas Sumatera Utara

14

pasien dengan PJK. Baik PJK dan hipertensi dapat bekerja sama untuk
meningkatkan resiko gagal jantung, begitu pula dengan diabetes mellitus.
Berdasarkan hasil penelitian Framingham cit Lipp, Gibbs & Beevers
(2000), menyimpulkan bahwa penyakit jantung koroner merupakan penyebab dari
gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner
seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada
perkembangan dari gagal jantung. Selain itu, berat badan dan tingginya rasio
kolesterol total dengan kolesterol HDL juga merupakan faktor risiko independen
perkembangan gagal jantung (Smeltzer & Bare, 2002).
Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung
pada beberapa hasil penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung
melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi

ventrikel kiri berkaitan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan terjadinya
aritmia baik aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Penyebab lain dari gagal
jantung adalah minum minuman beralkohol (Smeltzer & Bare, 2002).
Alkohol dapat menyebabkan gagal jantung sekitar 2-3% dari kasus.
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung
akut maupun gagal jantung akibat aritmia (yang paling sering atrial fibrilasi).
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi
(penyakit otot jantung alkoholik). Selain alkohol, obat-obatan juga dapat
menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat
antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek

Universitas Sumatera Utara

15

toksik langsung terhadap otot jantung (Smeltzer & Bare, 2002).

2.1.4. Penatalaksanaan gagal jantung
Menurut Smeltzer & Bare, (2002), penatalaksanaan pasien gagal jantung terdiri

dari :
a. Penatalaksanaan non farmakologis
1. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya, pengobatan dan pertolongan
yang dapat dilakukan sendiri.
2. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan
pada penderita kegemukan.
3. Pembatasan asupan garam dan pembatasan asupan cairan.
4. Menghentikan perilaku minum minuman beralkohol.
5. Dianjurkan untuk berolah raga, karena mempunyai efek yang positif terhadap
otot skeletal, fungsi saraf otonom, endotel serta neuro hormonal dan juga
terhadap sensitifitas terhadap insulin.
b. Penatalaksanaan farmakologis
Obat-obat yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung antara lain: diuretik
(loop dan thiazid), ACE-inhibitor, β-blocker (carvedilol, bisoprolol, metaprolol),
digoksin, spironolakton, vasodilator (hydralazine, nitrat), anti koagulan, anti
aritmia, serta obat inotropik positif.

Universitas Sumatera Utara

16


2.2. Rehospitalisasi Pasien Gagal Jantung Kongestif
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang
berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit,
menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali kerumah. Selama
proses tersebut, anak dan orang tua harus dapat mengalami berbagai kejadian
yang menurut beberapa ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik
dan penuh stress (Wong, 2000). Gagal jantung kongestif merupakan penyakit
yang bersifat progresif dengan gejala yang sangat mempengaruhi kondisi vital
pasien gagal jantung kongestif. Kondisi ini mengharuskan pasien gagal jantung
kongestif untuk menjalani rawat inap. Pasien gagal jantung kongestif rentan untuk
mengalami rehospitalisasi, yaitu pasien dirawat ulang di rumah sakit setelah
pernah mengalami hospitalisasi (Smeltzer & Bare, 2002).
Rawat inap ulang atau readmission pada penyakit gagal jantung kongestif
diakibatkan oleh eksaserbasi dari gejala klinis gagal jantung kongestif. Beberapa
dipicu oleh faktor concomitant kardiovaskular seperti takiaritmia, unstable
coronary

syndrome.


Selain

itu

juga

bisa

disebabkan

oleh

gangguan

Serebrovaskular dan ketidakpatuhan dalam diet dan terapi (AHA, 2009).
Rawat inap menjadi salah satu pilihan terapi bagi pasien gagal jantung
kongestif. Berdasarkan hasil National Institute for Cardiovascular Outcomes
Research (NICOR) tahun 2011 disebutkan bahwa periode April hingga Maret
2011 diperoleh 36.901 pasien yang menjalani rawat inap. Dari 36.901 pasien yang
menjalani rawat inap, 30.099 pasien menjalani rawat inap yang pertama dengan


Universitas Sumatera Utara

17

durasi rata-rata 11 hari, sedangkan 6.802 pasien menjalani rawat inap ulang atau
rehospitalisasi dengan durasi rata-rata 13 hari.
Menurut penelitian Tsuchihashi et. al. tahun 1999 sekitar 40% pasien
gagal jantung kongestif menjalani rawat inap ulang dalam 1 tahun setelah rawat
inap sebelumnya. 10 tahun berikutnya menurut penelitian Majid (2010) persentase
pasien gagal jantung yang menjalani rawat inap ulang sebesar 52%.
Rehospitalisasi menjadi salah satu faktor yang menentukan prognosis
gagal jantung kongestif. Pasien yang mengalami rehospitalisasi, 50% meninggal
pada 6 bulan setelah rehospitalisasi dan 25-35% meninggal pada 12 bulan setelah
rehospitalisasi (AHA, 2009). Menurut studi yang dilakukan Zaya (2012) bahwa
setelah menjalani rawat inap yang ke dua atau ketiga resiko kematian bagi pasien
gagal jantung kongestif sebesar 30%.
Setelah menjalani perawatan di rumah sakit dan gagal jantung dapat
terkontrol, maka pasien diupayakan secara bertahap untuk kembali keaktivitas
seperti sebelum sakit sedini mungkin. Aktivitas kegiatan hidup seharí-hari harus

direncanakan untuk meminimalkan timbulnya gejala yang diakibatkan kelelahan,
dan setiap aktivitas yang dapat menimbulkan gejala harus dihindari atau dilakukan
adaptasi. Berbagai penyesuaian kebiasaan, pekerjaan dan hubungan interpersonal
harus dilakukan. Pasien harus dibantu untuk mengidentifikasi stres emosional dan
menggali cara-cara untuk menyelesaikannya. Pasien datang ke klinik atau rumah
sakit biasanya diakibatkan adanya kekambuhan episode gagal jantung.
Kebanyakan kekambuhan gagal jantung dan dirawat kembali di rumah sakit
terjadi karena pasien tidak memenuhi terapi yang dianjurkan, misalnya karena

Universitas Sumatera Utara

18

ketidakmampuan secara ekonomi. Pasien sering kembali melaksanakan terapi
pengobatan yang kurang tepat, melanggar pembatasan diet, tidak mematuhi tindak
lanjut medis, melakukan aktivitas fisik yang berlebihan, dan tidak dapat
mengenali gejala kekambuhan (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Dharma (2007), yang harus dilakukan untuk membantu
penyembuhan gagal jantung adalah menghindari makanan yang terlalu banyak
garam dan makanan-makanan bergaram lainnya seperti sayuran atau sup

kalengan, pizza dan keripik. Makanan-makanan tersebut dapat menyebabkan
retensi cairan dalam tubuh. Jagalah agar tekanan darah selalu terkontrol. Tekanan
darah tinggi memberikan beban berlebihan pada jantung dan lama kelamaan
berakibat pada lemahnya jantung.
Menurut Harmilah (2001) di dalam skripsinya disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara ketaatan berobat klien gagal jantung kongestif
dengan rawat inap ulang, yaitu sebanyak 5,88% responden tidak taat berobat dan
mengalami rawat inap ulang. Sedangkan penelitian yang dilakukan Subroto
(2002) dalam skripsinya disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara faktor ketaatan diet, ketaatan berobat dan intake cairan dengan
rehospitalisasi klien dekompensasi kordis. Menurut Philbin & DiSalvo (2004),
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pasien dirawat ulang di rumah sakit
adalah :
1. Riwayat sebelum masuk rumah sakit dan lama dirawat di rumah sakit.
Semakin lama dirawat di rumah sakit menunjukkan tingkat keparahan atau
kompleksitas dari penyakit tersebut.

Universitas Sumatera Utara

19


2. Hipertensi. Hipertensi memberikan kontribusi dalam morbiditas pasien CHF,
dengan meningkatkan after load jantung. Hipertensi merupakan faktor risiko
didalam perkembangan gagal jantung, karena hipertensi menyebabkan
perkembangan hipertrofi ventrikel kiri dan perkembangan penyakit jantung
koroner. Risiko relatif gagal jantung pada pasien dengan hipertensi adalah 1,4
dibandingkan dengan populasi umum. Hipertensi merupakan prediktor
kelangsungan hidup pada pasien dengan gagal jantung kongestif (Kaplan &
Rose, 2006). Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa
mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri
dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk
terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel (Mariyono
& Santoso, 2008).
3. Usia. Semakin tua usia pasien CHF, maka diprediksi semakin tinggi terhadap
rawat ulang di rumah sakit. Gagal jantung merupakan penyebab paling
banyak dirawat di rumah sakit di Amerika Serikat. Peningkatan tersebut
berkaitan erat dengan semakin bertambahnya usia seseorang. Menurut
Rahman di dalam Farid (2006), orang dengan usia lanjut mengalami
perubahan anatomis, fisiologis dan patologi anatomis. Perubahan anatomis
yang dimaksud adalah terjadinya penebalan dinding ventrikel kiri, meski
tekanan darah relatif normal. Begitupun fibrosis dan kalsifikasi katup jantung
terutama pada anulus mitral dan katup aorta. Selain itu terdapat pengurangan
jumlah sel pada nodus sinoatrial (SA Node) yang menyebabkan hantaran

Universitas Sumatera Utara

20

listrik jantung mengalami gangguan. Hanya sekitar 10% sel yang tersisa
ketika manusia berusia 75 tahun ketimbang jumlahnya pada usia 20 tahun
lalu. Sementara itu, pada pembuluh darah terjadi kekakuan arteri sentral dan
perifer akibat proliferasi kolagen, hipertrofi otot polos, kalsifikasi, serta
kehilangan jaringan elastik. Meski seringkali terdapat aterosklerosis pada
manula, secara normal pembuluh darah akan mengalami penurunan debit
aliran akibat peningkatan situs deposisi lipid pada endotel. Lebih jauh,
terdapat pula perubahan arteri koroner difus yang pada awalnya terjadi di
arteri koroner kiri ketika muda, kemudian berlanjut pada arteri koroner kanan
dan posterior di atas usia 60 tahun.
Perubahan fisiologis yang paling umum terjadi seiring bertambahnya usia
adalah perubahan pada fungsi sistolik ventrikel. Sebagai pemompa utama
aliran darah sistemik, perubahan sistolik ventrikel akan sangat mempengaruhi
keadaan umum pasien. Parameter utama yang terlihat ialah detak jantung,
preload dan afterload, performa otot jantung, serta regulasi neurohormonal
kardiovaskular. Oleh karenanya, orang-orang tua menjadi mudah deg-degan.
Akibat terlalu sensitif terhadap respon tersebut, isi sekuncup menjadi
bertambah menurut kurva Frank-Starling. Efeknya, volume akhir diastolik
menjadi bertambah dan menyebabkan kerja jantung yang terlalu berat dan
lemah jantung. Awalnya, efek ini diduga terjadi akibat efek blokade reseptor
β-adrenergik, namun setelah diberi β-agonis ternyata tidak memberikan
perbaikan efek. Di lain sisi, terjadi perubahan kerja diastolik terutama pada
pengisian awal diastolik lantaran otot-otot jantung sudah mengalami

Universitas Sumatera Utara

21

penurunan kerja. Secara otomatis, akibat kurangnya kerja otot atrium untuk
melakukan pengisian diastolik awal, akan terjadi pula fibrilasi atrium,
sebagaimana sangat sering dikeluhkan para lansia. Masih berhubungan
dengan diastolik, akibat ketidakmampuan kontraksi atrium secara optimal,
akan terjadi penurunan komplians ventrikel ketika menerima darah yang
dapat menyebabkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel ketika istirahat
dan exercise. Hasilnya, akan terjadi edema paru dan kongesti sistemik vena
yang sering menjadi gejala klinis utama pasien lansia. Secara umum, yang
sering terjadi dan memberikan efek nyata secara klinis ialah gangguan fungsi
diastolik.
Adapun perubahan patologi anatomis pada penyakit jantung degeneratif
umumnya berupa degeneratif dan atrofi. Perubahan ini dapat mengenai semua
lapisan jantung terutama endokard, miokard, dan pembuluh darah. Umumnya
perubahan patologi anatomis merupakan perubahan mendasar yang
menyebabkan

perubahan

makroskopis,

meskipun

tidak

berhubungan

langsung dengan fisiologis. Seperti halnya di organ-organ lain, akan terjadi
akumulasi pigmen lipofuksin di dalam sel-sel otot jantung sehingga otot
berwarna coklat dan disebut brown atrophy. Begitu juga terjadi degenerasi
amiloid alias amiloidosis, biasa disebut senile cardiacamiloidosis. Perubahan
demikian yang cukup luas dan akan dapat mengganggu faal pompa jantung.
Terdapat pula kalsifikasi pada tempat-tempat tertentu, terutama mengenai
lapisan dalam jantung dan aorta.

Universitas Sumatera Utara

22

Kalsifikasi ini secara umum mengakibatkan gangguan aliran darah sentral
dan perifer. Ditambah lagi dengan adanya aterosklerosis pada dinding
pembuluh darah besar dan degenerasi mukoid terutama mengenai daun katup
jantung, menyebabkan seringnya terjadi kelainan aliran jantung dan
pembuluh darah. Akibat perubahan anatomis pada otot-otot dan katup-katup
jantung

menyebabkan

pertambahan

sel-sel

jaringan

ikat

(fibrosis)

menggantikan sel yang mengalami degenerasi, terutama mengenai lapisan
endokard termasuk daun katup. Tidak heran, akibat berbagai perubahanperubahan mikroskopis seperti tersebut di atas, keseluruhan kerja jantung
menjadi rusak.
4. Jenis Kelamin. Menurut Grossman & Brown (2009), pasien gagal jantung
kongestif dengan jenis kelamin laki-laki prevalensinya lebih besar daripada
perempuan pada usia 40-75 tahun. Menurut Hsich (2009) yang dikutip dari
Journal of the American Collegeof Cardiology, edisi 4 April 2009, bahwa
faktor-faktor risiko dalam perkembangan gagal jantung dan prognosis pasien
memperlihatkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Hipertensi dan
penyakit vaskula menjadi penyebab utama gagal jantung pada wanita. Pada
pria penyebab mendasarnya adalah coronary artery disease (CAD). Wanita
dengan gagal jantung, cenderung memiliki kualitias hidup lebih rendah
daripada pria, dalam hal ini dikaitkan dengan aktivitas fisik. Begitu juga bila
dilihat saat diagnosis dimana nilai "normal" natriuretic peptide otak pada
wanita lebih besar dibanding pria. Dan nilai abnormal dengan BNP >500
pg/ml bisa menjadi sebuah prediktor kematian yang lebih kuat pada wanita

Universitas Sumatera Utara

23

gagal jantung dibanding pria. Natriuretic peptide otak merupakan sebuah
biomarker yang digunakan dengan frekuensi lebih untuk mengindetifikasi
pasien dengan gejala-gejala gagal jantung dan menstratifikasi pasien dengan
risiko tersebut.
5. Dukungan keluarga dan sosial. Dukungan keluarga dan sosial dapat
menurunkan kemungkinan terjadinya rehospitalisasi pada pasien dengan
gagal jantung kongestif. Faktor-faktor sosial juga telah terbukti penting
sebagai prediktor morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit
arteri koroner. Pentingnya dukungan sosial telah dikonfirmasi oleh sebuah
studi baru-baru ini bahwa tidak adanya dukungan emosional yang kuat, dapat
meningkatkan mortalitas dan tingkat rehospitalisasi pada pasien dengan CHF.
Menurut Niven (2002) bahwa dukungan keluarga dapat membantu
meningkatkan mekanisme koping individu dengan memberikan dukungan
emosi dan saran-saran mengenai strategi alternatif yang didasarkan pada
pengalaman sebelumnya dan mengajak orang lain berfokus pada aspek-aspek
yang lebih positif. Selain mendapat dukungan dari keluarga, pasien gagal
jantung kongestif yang mengalami kecemasan sedang juga melakukan
pendekatan religius dengan cara berdzikir, berdoa sesuai dengan keyakinan
masing-masing dan melakukan sholat meskipun dengan berbaring. Dengan
melakukan pendekatan religius tersebut, kebanyakan pasien dapat merasakan
ketenangan batin sehingga mampu mengendalikan kecemasannya dan
melakukan mekanisme koping yang adaptif.
6. Perawatan tindak lanjut di rumah. Semakin minim perawatan tindak lanjut

Universitas Sumatera Utara

24

maka semakin tinggi kemungkinan terjadinya rehospitalisasi.
7. Kunjungan ke klinik secara rutin, Kunjungan ke klinik secara rutin dapat
meningkatkan kepatuhan pasien CHF, terutama dalam perawatan medis.
Sedangkan menurut Peg Bradke (2009), faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya rehospitalisasi pada pasien gagal jantung kongestif adalah
kurangnya pendidikan kesehatan tentang bagaimana perawatan diri di rumah,
penggunaan obat-obatan yang tidak tepat, kurangnya komunikasi dari
pemberi pelayanan kesehatan (care giver), kurangnya perencanaan tindak
lanjut saat pasien pulang dari rumah sakit.

2.3. Kepatuhan Diet Rendah Garam Pasien Gagal Jantung Kongestif
Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat
adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehinga pasien mengerti
rencana dengan segala konsekwensinya dan menyetujui rencana tersebut serta
melaksanakanya (Kemenkes R.I, 2001). Kepatuhan didefinisikan sebagai seberapa
baik perilaku seseorang dalam menggunakan obat, mengikuti diit atau mengubah
gaya hidup sesuai dengan tata laksana terapi. Pasien dan tenaga kesehatan dapat
mempengaruhi kepatuhan. Hubungan baik antara dokter dan pasien merupakan
faktor penting untuk meningkatkan kepatuhan (WHO, 2003).
Tujuan manajemen nutrisi pada pasien gagal jantung adalah untuk
mengurangi natrium dan retensi cairan. Pembatasan natrium ditujukan untuk
mencegah, mengatur atau mengurangi edema. Banyak pasien dengan gagal
jantung hanya membatasi garam pada makanannya berkisar 3 gram sehari atau

Universitas Sumatera Utara

25

1000-2000 miligram natrium. Garam itu tidak 100% mengandung natrium, tetapi
setiap 1 gram garam mengandung 393 miligram natrium. Nutrisi pada gagal
jantung berkaitan dengan kadar kolesterol. Peningkatan kadar kolesterol pada
penderita gagal jantung akan menyebabkan kerusakan dan pengerasan pada
pembuluh darah sehingga beban jantung yang sudah mengalami kegagalan akan
memperparah kerja jantung (Kasron, 2012).
Menurut Kasron, 2012, Syarat-syarat Diet Rendah Garam Penyakit
Jantung adalah sebagai berikut:
1. Energi cukup, untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal
2. Protein cukup yaitu 0,8g/kg BB
3. Lemak sedang, yaitu 25-30% dari kebutuhan energi total, 10% berasal dari
lemak jenuh, dan 10-15% lemak tidak jenuh.
4. Kolesterol rendah, terutama jika disertai dengan dislipidemia.
5. Vitamin dan mineral cukup. Hindari penggunaan suplemen kalium,
kalsium, dan magnesium jika dibutuhkan.
6. Garam rendah, 2-3 g/hari, jika disertai hipertensi atau edema
7. Makanan mudah cerna dan tidak menimbulkan gas
8. Serat cukup untuk menghindari konstipasi.
9. Cairan cukup ±2 liter/hari sesuai dengan kebutuhan.
10. Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan penyakit, diberi dalam porsi
kecil.
Bila kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan
tambahan berupa makanan enteral, parenteral, atau suplemen gizi.

Universitas Sumatera Utara

26

2.3.1.Jenis Diet dan Indikasi Pemberian
Diet Jantung I
Diet jantung 1 diberikan kepada pasien penyakit jantung akut seperti
Myocard Infarct (MCI) atau Dekompensasio Kordis berat. Diet diberikan
berupa 1-1,5 liter cairan/hari selama 1-2 hari pertama bila pasien dapat
menerimanya. Diet sangat rendah energi dan semua zat gizi, sehingga
sebaiknya hanya diberikan selama 1-3 hari.
Diet Jantung II
Diet Jantung II diberikan dalam bentuk makanan saring atau lunak. Diet
diberikan sebagai perpindahan diet jantung I, atau setelah fase akut dapat
diatasi. Jika disertai hipertensi dan/atau edema, diberikan sebagai diet jantung
H garam rendah. Diet ini rendah energi, protein, kalsium, tiamin.
Diet Jantung III
Diet Jantung III diberikan dalam bentuk makanan lunak atau biasa. Diet
diberikan sebagai perpindahan dari diet jantung II atau kepada pasien jantung
denga kondisi yang tidak terlalu barat. Jika disertai hipertensi dan/atau edema,
diberikan sebagai diet jantung III garam rendah. Diet ini rendah energi dan
kalsium, tetapi cukup zat gizi lain.
Diet Jantung IV
Diet Jantung IV diberikan dalam bentuk makanan biasa. Diet diberikan
sebagai perpindahan diet jantung III atau kepada pasien jantung dengan
keadaan ringan. Jika disertai hipertensi dan/atau edema, diberikan sebagai

Universitas Sumatera Utara

27

sebagai diet jantung IV garam rendah. Diet ini cukup energi dan zat gizi lain,
kecuali kalsium.

Bahan Makanan Sehari
Tabel 2.1. Bahan Makanan Sehari
Bahan
Diet Jantung Diet Jantung
Makanan
I
II
Berat
Urt Berat
Urt
(g)
(g)
Beras
100
3 gls
bubur
Daging

-

-

100

Telur Ayam
Tempe

-

-

50
-

Sayuran
Buah

400

300
400

Minyak

-

2 gls
sari
buah
-

Margarin
tidak
bergaram
Gula Pasir

10

1
sdm

80

Susu skim
bubuk

100

8
sdm
20
sdm

Diet Jantung
III
Berat
Urt
(g)
200
4 gls
tim

Diet Jantung
IV
Berat
Urt
(g)
250
31/4
gls
nasi
100
2 ptg
sdg
50
1 btr
125
5 ptg
sdg
300
3 gls
400
4 ptg
sdg
papaya
25

sdm
-

2 ptg
sdg
1 btr
-

100

300
400

-

3 gls
4 ptg
sdg
papaya

sdm
-

-

2 ptg
sdg
1 btr
3 ptg
sdg
3 gls
4 ptg
sdg
papaya

sdm
-

20

2 sdm

30

3 sdm

30

3 sdm

20

4 sdm

-

-

-

-

15

50
75

15

Universitas Sumatera Utara

28

2.3.2. Diet Garam Rendah
Yang dimaksud dalam diet garam rendah adalah garam natrium seperti
yang terdapat di garam dapur (NaCl), soda kue (NaHCO3), baking powder,
natrium benzoat, dan vetsin (mono sodium glutamat). Natrium adalah kation
utama dalam cairan ekstraseluler tubuh yang mempunyai fungsi menjaga
keseimbangan cairan dan asam basa tubuh, serta berperan dalam transmisi saraf
dan kontraksi otot. Asupan makanan sehari-hari umumnya mengandung lebih
banyak natrium daripada yang dibutuhkan tubuh. Dalam keadaan normal, jumlah
natrium yang dikeluarkan tubuh melalui urin sama dengan jumlah yang
dikonsumsi sehingga terdapat keseimbangan (Kasron, 2012).
Makanan sehari hari biasanya cukup mengandung natrium yang
dibutuhkan, sehingga tidak ada penetapan kebutuhan natrium sehari. WHO (1990)
menganjurkan pembatasan konsumsi garam dapur hingga 6 gram sehari (ekivalen
dengan 2400 mg natrium). Asupan natrium yang berlebihan, teutama dalam
bentuk natrium klorida, dapat menyebabkan gangguan keseimbangan cairan
tubuh, sehingga menyebabkan edema atau asites dan/atau hipertensi. Penyakitpenyakit tertentu seperti sirosis hati, penyakit ginjal tertentu, dekompensasio
kordis, toksemia pada kehamilan dan hipertensi esensial dapat menyebabkan
gejala edema atau asites dan/atau hipertensi. Dalam keadaan demikian asupan
garam natrium perlu dibatasi (Kasron, 2012).
Diet garam rendah diberikan kepada pasien dengan edema atau asites dan/
atau hipertensi seperti yang terjadi pada penyakit dekompensasio kordis, sirosis
hati, penyakit ginjal tertentu, toksemia pada kehamilan, dan hipertensi esensial.

Universitas Sumatera Utara

29

Diet ini mengandung zat-zat gizi. Sesuai dengan keadaan penyakit dapat diberikan
berbagai tingkat diet garam rendah (Kasron, 2012).
Diet Garam Rendah I (200-400 mg Na)
Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema, asites
dan/atau hipertensi berat. Pada pengolahan makanannya tidak ditambahkan garam
dapur. Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya.
Diet Garam Rendah II (600-800 mg Na)
Diet garam rendah diberikan kepada pasien dengan edema, asites, dan atau
hipertensi tidak terlalu berat. Pemberian makanan sehari sama dengan diet rendah
I. Pada pengolahan makanannya boleh menggunakan ½ garam (2g). Hindari
bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya.
Diet Garam Rendah III (1000-1200 mg Na)
Diet garam rendah III diberikan kepada pasien dengan edema dan/atau
hipertensi ringan. Pemberian makanan sehari sama dengan diet garam rendah
pengolahan makanannya boleh menggunakan 1 sdt (4g) garam dapur.
Batasi penggunaan garam pada masakan jangan lebih dari 1 sendok teh
(2400mg/hari). Cara pertama adalah diet rendah garam, yang terdiri dari diet
ringan (konsumsi garam 3,75-7,5 gram per hari), menengah (1,25-3,75 gram per
hari, dan berat (kurang dari 1,25 gram perhari) (Wahdah, 2011).

Universitas Sumatera Utara

30

2.4. Kepatuhan Minum Obat Pasien Gagal Jantung Kongestif
Kepatuhan (compliance) juga dikenal sebagai ketaatan (adherence) adalah
derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya.
Pada umumnya sekitar sepertiga dari semua pasien patuh pada pengobatan
(Kaplan & Sadock, 1997). Definisi kepatuhan dalam mengkonsumsi obat adalah
ketaatan melaksanakan anjuran petugas kesehatan untuk mengkonsusmsi obat.
Kepatuhan menurut Sackett pada pasien sebagai “Sejauh mana perilaku individu
sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan”. Kepatuhan
mengkonsumsi obat diukur dari ketepatan jumlah obat yang dikonsumsi,
ketepatan cara mengkonsumsi obat, frekuensi konsumsi perhari (Afnita, 2004).
Kepatuhan minum obat adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan
nasehat medis atau kesehatan dan menggambarkan penggunaan obat sesuai
dengan petunjuk pada resep serta mencakup penggunaannya pada waktu yang
benar (Siregar, 2006).
Kepatuhan merupakan suatu hal yang penting agar dapat mengembangkan
rutinitas (kebiasaan) yang dapat membantu dalam mengikuti jadwal yang kadang
kala rumit dan mengganggu kegiatan sehari-hari. Kepatuhan dapat sangat sulit
dan membutuhkan dukungan agar menjadi biasa dengan perubahan. Dengan
mengatur, meluangkan waktu dan kesempatan yang dibutuhkan untuk
menyesuaikan diri. Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat yang diresepkan serta
pemberiannya diikuti dengan benar (Tambayong, 2006).
Jenis ketidakpatuhan pada minum obat, mencakup kegagalan menembus
resep, melalaikan dosis, kesalahan , kesalahan dalam waktu pemberian / konsumsi

Universitas Sumatera Utara

31

obat

dan

penghentian

obat

sebelum

waktunya.

Ketidakpatuhan

akan

mengakibatkan penggunaan suatu obat yang kurang (Siregar, 2006).
Mengukur kepatuhan dapat menggunakan dua metode baik secara
langsung maupun tidak langsung (Osterberg & Blaschke, 2005). Salah satu
metode pengukuran kepatuhan secara tidak langsung adalah dengan menggunakan
kuesioner. Metode ini dinilai cukup sederhana, murah dan mudah dalam
pelaksanaannya. Salah satu model kuesioner yang telah tervalidasi untuk menilai
kepatuhan minum obat jangka panjang adalah Morisky scale 8-items. Pada
mulanya Morisky mengembangkan beberapa pertanyaan singkat dengan 4 butir
pertanyaan untuk mengukur kepatuhan minum obat. Namun saat ini kuesioner
Morisky Scale telah dimodifikasi menjadi delapan pertanyaan dengan modifikasi
beberapa pertanyaan sehingga lebih lengkap dalam penilaian kepatuhan.
Modifikasi kuesioner Morisky tersebut saat ini telah dapat digunakan untuk
pengukuran kepatuhan minum obat yang memerlukan terapi jangka panjang
(Morisky, et al, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian dari Bohachick, Burke, Sereika, Murali &
Jacob (2002), tentang kepatuhan terhadap minum obat pada pasien gagal jantung,
terdapat 71% patuh dengan terapi medis, dan 19% kurang patuh dengan terapi
medis. Hasil penelitian Wal et al (2006), kepatuhan responden terhadap minum
obat terdapat 5-10% pasien tidak patuh dengan minum obat, 50-60% patuh dan
sisanya kurang patuh. Menurut Wal et al (2006), ketidakpatuhan meningkatkan
mortalitas, morbiditas dan perawatan di rumah sakit.
Kepatuhan adalah tanggung jawab pasien sendiri untuk mengikuti program

Universitas Sumatera Utara

32

terapi medis. Kepatuhan adalah fenomena multidimensi yang saling berinteraksi,
saling berhubungan dan saling mempengaruhi diantara beberapa faktor. Faktorfaktor tersebut adalah faktor pasien, kondisi atau keadaan, terapi, pelayanan
kesehatan dan sosial ekonomi. Dari faktor-faktor tersebut, faktor pasien adalah
yang paling besar pengaruhnya. Filosofi yang mendasari kepatuhan adalah
penyakit itu dapat dikendalikan (dikontrol) jika pasien mematuhi tindakan atau
terapi yang telah ditentukan. Komponen penting untuk mempengaruhi kepatuhan
terhadap terapi dan mempengaruhi perilaku perawatan diri pada pasien gagal
jantung kongestif adalah pendidikan pasien, kolaborasi dengan tim pelayanan
kesehatan dan dukungan psikososial (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Smeltzer & Bare (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat kepatuhan pasien dalam mengikuti minum obat adalah:
1. Faktor demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status sosio
ekonomi dan pendidikan.
2. Faktor penyakit seperti keparahan penyakit.
3. Faktor program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek samping
yang tidak menyenangkan.
4. Faktor psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan,
penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau
budaya dan biaya/finansial.

Sedangkan

menurut

Notoatmodjo

(2003)

faktor-faktor

yang

mempengaruhi tingkat kepatuhan terhadap program terapi adalah :

Universitas Sumatera Utara

33

1. Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge), merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang penting dalam membentuk tindakan
seseorang (overt behavior). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
2. Tingkat Ekonomi
Tingkat ekonomi atau penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan
pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak
mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau membayar transportasi.
Tingkat ekonomi dapat mempengaruhi pemilihan metode terapi yang akan
digunakan oleh klien.
3. Sikap
Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap itu merupakan kesiapan
atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif
tertentu.
4. Usia
Usia berpengaruh terhadap cara pandang seseorang dalam kehidupan,
masa depan dan pengambilan keputusan. Penderita yang dalam usia
produktif merasa terpacu untuk sembuh mengingat dia masih muda
mempunyai harapan hidup yang tinggi, sebagai tulang punggung keluarga.

Universitas Sumatera Utara

34

5. Dukungan Keluarga
Didalam melaksanakan program terapi, klien tidak bisa melakukannya
sendiri, dia butuh orang yang selalu mendampingi selama pelaksanaan
program terapi. Dalam hal pengaturan diet, pembatasan cairan, obatobatan, dan pengecekan laboratorium juga memerlukan keluarga untuk
mencapai target.
6. Jarak dari Pusat Pelayanan
Mereka yang tinggal di daerah yang belum ada fasilitas pelayanan
kesehatan tentu saja akan lebih sulit dan memerlukan biaya lebih besar
untuk mencapai lokasi.
Nilai dan keyakinan, nilai-nilai dan keyakinan individu dalam mengambil suatu
keputusan, dalam hal ini untuk mendapatkan kesehatan yang optimal merupakan
keyakinan dasar yang digunakan oleh individu untuk memotivasi dirinya selama
menjalani terapi. Individu yang pada awalnya sudah memiliki cara pandang yang
negatif, tidak memiliki keyakinan untuk hidup lebih baik cenderung tidak
menjalani terapi dengan sungguh-sungguh, bahkan sering absen atau tidak mau
datang lagi untuk menjalani terapi.

Universitas Sumatera Utara

35

2.5. Hipertensi
2.5.1. Defenisi
Hipertensi dapat didefenisikan sebagai tekanan darah tinggi persisten
dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90
mmHg (Smeltzer & Bare, 2001). Wiryowidagdo (2002) mengatakan bahwa
hipertensi merupakan suatu keadaan tekanan darah seseorang berada pada
tingkatan di atas normal. Jadi tekanan di atas dapat diartikan sebagai peningkatan
secara abnormal dan terus menerus pada tekanan darah yang disebabkan satu atau
beberapa

faktor

yang

tidak

berjalan

sebagaimana

mestinya

dalam

mempertahankan tekanan darah secara normal (Hayens, 2003).
Hipertensi dapat dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu hipertensi
esensial (primer) dan hipertensi skunder. Hipertensi esensial (primer) merupakan
tipe yang hampir sering terjadi 95 persen dari kasus terjadinya hipertensi.
Hipertensi esensial (primer) dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti
kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan. Sedangkan hipertensi sekunder
berkisar 5 persen dari kasus hipertensi. Hipertensi sekunder disebabkan oleh
kondisi medis lain (misalnya penyakit jantung) atau reaksi terhadap obat-obatan
tertentu (Palmer, 2007).
Hipertensi adalah faktor utama penyebab kematian karena stroke dan
faktor yang memperberat infark miokard (serangan jantung). Kondisi tersebut
merupakan gangguan yang paling umum pada tekanan darah. Diagnosa hipertensi
pada orang dewasa dibuat saat bacaan diastolik rata-rata dua atau lebih, paling
sedikit dua kunjungan berikut adalah 90 mmHg atau lebih tinggi atau tekanan

Universitas Sumatera Utara

36

darah multipel sistolik rerata pada dua atau lebih kunjungan berikut secara
konsisten lebih tinggi dari 140 mmHg.
2.5.2. Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi hipertensi dilihat berdasarkan tekanan darah sistolik dan
tekanan darah diastolik dalam satuan mmHg dibagi menjadi beberapa stadium.
Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah untuk Usia Dewasa 18 Tahun dan Lansia
Kategori
Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik
Normal
Di bawah 130 mmHg
Di bawah 85 mmHg
Normal Tinggi
130-139 mmHg
85-89 mmHg
Hipertensi Ringan
140-159 mmHg
90-99 mmHg
(stadium 1)
Hipertensi Sedang
160-179 mmHg
100-109 mmHg
(stadium 2)
Hipertensi Berat
180-209 mmHg
110-119 mmHg
(stadium 3)
Hipertensi Maligna
210 mmHg atau lebih
120 mmHg atau lebih
(stadium 4)

2.6. Landasan Teori
2.6.1. Konsep Keperawatan Menurut Dorothy Orem
Model keperawatan menurut Orem dikenal dengan model self care. Model
self care ini memberi pengertian bahwa dalam bentuk pelayanan keperawatan
dipandang dari suatu pelaksanaan kegiatan yang dapat dilakukan individu dalam
memenuhi kebutuhan dasar dengan tujuan untuk mempertahankan kehidupan,
kesehatan, kesejahteraan sesuai dengan keadaan sehat dan sakit. Model
keperawatan ini berkembang sejak tahun 1959-2001.
Model self care ini memiliki keyakinan dan nilai yang ada dalam
keperawatan

diantaranya

dalam

pelaksanaan

berdasarkan

tindakan

atas

kemampuan. Self care didasarkan atas kesengajaan serta dalam pengambilan

Universitas Sumatera Utara

37

keputusan dijadikan sebagai pedoman dalam tindakan. Model Orem ini sudah
ditetapkan sebagai model konseptual untuk praktik keperawatan karena tujuan
utama dari model ini adalah sebagai panduan praktis (Riehl & Roy dalam Wagnil,
et al, 1987).
Pemahaman konsep keperawatan khususnya dalam pandangan mengenai
pemenuhan kebutuhan dasar, Orem membagi dalam konsep kebutuhan dasar yang
terdiri dari (udara) yaitu berupa pemeliharaan dalam pengambilan udara, water
(air): pemeliharaan dalam pengambilan air, food (makanan): pemeliharaan dalam
mengkonsumsi makanan, elimination (eliminasi): pemeliharaan kebutuhan proses
eliminasi, rest and activity (istirahat dan kegiatan): keseimbangan antara istirahat
dan aktivitas, solitude and social interaction (kesendirian dan interaksi sosial):
pemeliharaan dalam keseimbangan antara kesendirian dan interaksi sosial, hazard
prevention (pencegahan resiko): kebutuhan akan pencegahan risiko pada
kehidupan manusia dalam keadaan sehat dan promotion of normality (Wagnil, et
al, 1987).
Orem (1991 dalam Andriany, 2007) menyatakan ketiga tipe keperluan
perawatan diri yang dikemukakan Orem adalah universal, perkembangan, dan
penyimpangan kesehatan. Keperluan perawatan diri universal ditemukan pada
seluruh indonesia dan dihubungkan dengan proses kehidupan dan kesejahteraan
umum mereka. Kebutuhan perkembangan berhubungan dengan tahapan-tahapan
yang berbeda yang dialami manusia. Orem mengoperasionalkan masing-masing
dari

kebutuhan-kebutuhan,

yang

menjadi

fokus

keperawatan

adalah

Universitas Sumatera Utara

38

pengidentifikasian kebutuhan perawatan diri, perancangan metode tindakan untuk
memenuhi kebutuhan, dan totalitas kebutuhan untuk tindakan perawatan diri.
Pemberian perawatan diri, apakah diri sendiri maupun orang lain, disebut
‘agen perawatan diri’. Hal ini merupakan suatu kesatuan yang digambarkan dalam
perkembangan dan dapat dioperasionalkan, yang dipengaruhi oleh beberapa
variabel dan latar belakang genetik, kultural, dan pengalaman, dan dalam istilah
keadekuatan. Hal yang paling terakhir dapat evaluasi dengan mempertimbangkan
kemampuan dan kebutuhan perawatan diri, Orem (1991 dalam Andriany, 2007).

2.6.2. Pengertian Self Care
Self Care dalam hai ini merupakan istilah yang lebih luas dari hanya
sekedar seperti self-care behaviors, self-care performance, self-care ability, selfcare activity, self-care compliance, self-care skills, dan self-care practice. Self
care adalah suatu proses kognitif yang aktif dimana seseorang berupaya untuk
mempertahankan kesehatan atau mengatasi penyakitnya (Rockwell & Riegel,
2001). Self care meliputi gabungan antara self-care behavior dan self-care ability.
Definisi self care menurut Riegel et al, (2004) adalah sebuah proses pengambilan
keputusan

secara

naturalistik

terhadap

pemilihan

tingkah

laku

untuk

mempertahankan stabilitas fisiologis (self care maintenance) dan respon terhadap
gejala yang dialami (self-care management).

Universitas Sumatera Utara

39

2.6.3. Dimensi Self Care
Riegel et al, (2004) membagi self care ke dalam 3 (tiga) dimensi yaitu:
a. Self Care Maintenence
Aktivitas yang dinilai dalam self maintenence pasien Heart Failure
meliputi:
1) Terapi pengobatan sesuai indikasi
2) Diet makanan rendah garam
3) Mempertahankan aktivitas fisik yang teratur
4) Monitoring tanda vital dan berat badan setiap hari
5) Upaya untuk berhenti merokok
6) Menghindari konsumsi alkohol
b. Self Care management
Self Care Management meliputi upaya untuk mempertahankan kesehatan
atau gaya hidup sehat. Aktivitas yang dapat dilakukan dalam dimensi ini
meliputi:
1) Kemampuan mengenal perubahan yang terjadi (misalnya terjadi
edema)
2) Mengevaluasi perubahan yang dialami, mengambil keputusan yang
tepat untuk penanganan
3) Melaksanakan strategi pengobatan (misalnya ekstra terapi diuretik)
4) Mengevaluasi respon terhadap tindakan yang telah dilakukan

Universitas Sumatera Utara

40

c. Self Care Confidence
Dimensi Self Care Confidence ini menentukan bagaimana kepercayaan
diri pasien dalam mengikuti semua petunjuk tentang self care, yaitu
meliputi:
1) Kepercayaan diri terhadap perasaan bebas dari gejala penyakit
2) Kepercayaan diri mengikuti petunjuk pengobatan
3) Kepercayaan diri mengenal secara dini perubahan kesehatan yang
dialami
4) Kepercayaan diri melakukan sesuatu untuk mengatasi gejala penyakit
5) Kepercayaan diri mengevaluasi keberhasilan tindakan yang telah
dilakukan.

2.6.4. Self Care Pada Pasien Heart Failure
Self care pada pasien heart failure digambarkan sebagai suatu proses
dimana pasien berpartisipasi secara aktif dalam melakukan managemen heart
failure baik secara mandiri maupun dengan bantuan keluarga maupun petugas
kesehatan. Aktifitas yang dilakukan dalam self care pasien heart failure ini
meliputi self care maintenance, self care management dan self care confidence
(Riegel et al, 2004).

Universitas Sumatera Utara

41

2.6.5. Aplikasi Teori Self Care Orem’s
Kemampuan self care pasien heart failure dalam penelitian ini mengacu
pada teori self care Orem. Pemahaman tentang konsep self care menurut Dorothea
Orem adalah tindakan yang mengupayakan orang lain memiliki kemampuan
untuk dikembangkan ataupun mengembangkan kemampuan yang dimiliki agar
dapat digunakan sevara tepat untuk mempertahankan fungsi optimal (Orem,
dalam Tomey & Alligood, 2006). Self Care Requisites merupakan bagian dari
teori self care Orem yang didefenisikan sebagai tindakan yang ditujukan pada
upaya perawatan diri yang bersifat universal dan berhubungan dengan proses
kehidupan manusia serta dalam upaya untuk mempertahankan fungsi tubuh. Orem
mengembangkan self care requisites ke dalam tiga jenis yaitu universal self care
requisites (kebutuhan perawatan diri secara umum mencakup kebutuhan dasar
manusia), developmentself care requisites (kebutuhan yang berhubungan
perkembangan individu) dan health deviation requisites (kebutuhan yang timbul
sebagai akibat dari kondisi yang dialami pasien). Universal self care requisites
merupakan bagian utama dalam kehidupan yang dijalani setiap individu. Aktivitas
yang dilakukan terkait universal self care requisites ditujukan untuk memelihara
kecukupan akan udara, air, dan makanan yang berguna untuk metabolisme dan
menghasilkan

energi.

Universal

self

care

requisites

secara

langsung

mempengaruhi pasien heart failure, sebagai contoh pasien yang mengalami
keluhan sesak nafas yang diakibatkan oleh edema pulmonal akan berupaya
memenuhi kebutuhan akan oksigen (Orem, dalam Tomey & Alligood, 2006).

Universitas Sumatera Utara

42

Developmentself care requisites merupakan upaya yang dilakukan untuk
mendukung proses perkembangan. Kebutuhan akan perawatan diri tersebut secara
langsung sebagai akibat proses perkembangan atau dihubungkan dengan kejadian
yang terjadi selama proses perkembangan tersebut. Sedangkan health deviation
requisites sering dikaitkan dengan kondisi sakit yang dialami pasien, yaitu
bagaimana kemampuan pasien merasakan kondisi sakitnya atau ketidakmampuan
melaksanakan fungsi normal. Pada pasien heart failure terdapat enam kategori
health deviation requisites self care requisites yaitu (a) kemampuan untuk
mencari pertolongan medis, (b) kesadaran diri untuk mengenal efek atau kondisi
patologis, (c) upaya yang efektif untuk mengikuti prosedur diagnostik, program
terapi dan rehabilitasi, (d) mampu mengelola kondisi tidak nyaman akibat
pengobatan yang dijalani, (e) memodifikasi konsep diri bahwa kondisi kesehatan
yang dialami merupakan bagian dari intervensi pelayanan kesehatan, dan (f)
belajar untuk memahami bahwa kehidupan yang dijalani saat ini adalah akibat
dari kondisi patologis dan efek dari pengobatan merupakan gaya hidup dalam
upaya untuk meningkatkan perkembangan personal (Orem, dalam Tomey &
Alligood, 2006).

Universitas Sumatera Utara

43

2.7. Kerangka Konsep
Kerangka konseptual ini menggambarkan hubungan antara kepatuhan diet
rendah garam, kepatuhan minum obat, riwayat hipertensi dengan kejadian
rehospitalisasi pada pasien gagal jantung kongestif di RSUP H. Adam Malik
Medan. Kepatuhan diet rendah garam, kepatuhan minum obat, riwayat hipertensi
pada penelitian ini menjadi variabel bebas (independent) sedangkan kejadian
rehospitalisasi pasien dengan gagal jantung kongestif menjadi variabel terikat
(dependent). Kerangka konsep penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
Variabel Bebas
Kepatuhan Diet Rendah
Garam

Variabel Terikat
Kejadian Rehospitalisasi :

Kepatuhan Minum Obat

a. Frekuensi Rendah
b. Frekuensi Tinggi

Riwayat Hipertensi

Faktor-faktor Perancu
• Umur
• Jenis kelamin
• Tingkat pendidikan
• Pekerjaan
• Penghasilan
• Lama Rawatan Di RS
• Klasifikasi Gagal Jantung

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Hubungan Antara Kepatuhan Diet Rendah Garam,
Kepatuhan Minum Obat, Riwayat Hipertensi dengan Kejadian Rehospitalisasi
pada Pasien Gagal Jantung Kongestif

Universitas Sumatera Utara