Gambaran Tingkat Depresi pada Pasien Kanker Paru yang menjalani Kemoterapi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kanker Paru
2.1.1.Definisi Kanker Paru
Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru,
mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun dari luar paru
(metastasis di paru) (PDPI,2011)
2.1.2.Epidemiologi Kanker Paru
Kanker paru masih menjadi salah satu penyakit keganasan dengan
prevalensi yang tinggi yaitu berkisar 20% dari seluruh kasus kanker, pada laki-laki
risiko terkena kanker paru adalah 1 dari 13 orang, dan 12% dari semua kasus kanker
pada perempuan dengan risiko terkena 1 dari 23 orang. Di Inggris rata-rata 40.000
kasus baru dilaporkan setiap tahun. Perkiraan insidensi kanker paru pada laki-laki
tahun 2005 di Amerika Serikat adalah 92.305 dengan rata-rata 91.537 orang
meninggal karena kanker(Shah , 2007). American Cancer Society mengestimasikan
kanker paru di Amerika Serikat pada tahun 2010 sebagai berikut:
-

Sekitar 222.520 kasus baru kanker paru akan terdiagnosis (116.750 orang
laki-laki dan 105.770 orang perempuan).


-

Estimasi kematian karena kanker paru sekitar 157.300 kasus (86.220 pada
laki-laki dan 71.080 pada perempuan), berkisar 28% dari semua kasus
kematian karena kanker.
Risiko terjadinya kanker paru sekitar 4 kali lebih besar pada laki-laki

dibandingkan perempuan dan risiko meningkat sesuai dengan usia: di Eropa
insidensi kanker paru 7 dari 100.000 laki-laki dan 3 dari 100.000 perempuan pada
usia 35 tahun, tetapi pada pasien >75 tahun, insidensi 440 pada laki-laki dan 72
pada perempuan. Variasi insidensi kanker paru secara geografik yang luas juga
dilaporkan dan hal ini terutama berhubungan dengan kebiasaan merokok yang
bervariasi di seluruh dunia(Shah, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.1.3. Faktor Risiko dan Etiologi Kanker Paru
Banyak penelitian menyatakan bahwa merokok merupakan penyebab utama
kanker paru, dengan periode laten antara dimulainya merokok dengan terjadinya
kanker paru adalah 15-50 tahun. Selain itu, jumlah pack rokok dalam 1 tahun yang

dihabiskan dan usia dimulainya merokok, sangat erat dihubungkan dengan risiko
terjadinya kanker paru. Variasi geografik dan pola dari insidensi kanker paru baik
pada laki-laki maupun perempuan berhubungan dengan kebiasaan merokok. Di
Asia kebiasaan merokok masih tinggi, tetapi angka kebiasaan merokok pada lakilaki berkurang. Angka kebiasaan merokok pada perempuan Asia masih rendah,
tetapi

sekarang

semakin

meningkat

pada

perempuan-perempuan

usia

muda(Maryska dan Janssen, 2006)
Penyebab lain dari kanker paru adalah polusi udara, paparan terhadap arsen,

asbestos, radon, chloromethyl ethers, chromium, mustard gas, penghalusan nikel,
hidrokarbon polisiklik, beryllium, cadmium, dan vinyl chloride. Insidensi kanker
paru yang lebih tinggi juga ditemukan pada industri-industri gas-batu bara, proses
penghalusan logam. Predisposisi genetik juga memegang peranan dalam etiologi
kanker paru(Shah P, 2007).
2.1.4. Klasifikasi Kanker Paru
Kanker paru dibagi menjadi kanker paru sel kecil (small cell lung cancer,
SCLC) dan kanker paru sel tidak kecil (non-small lung cancer, NSCLC).
Klasifikasi ini digunakan untuk menentukan terapi. Termasuk didalam golongan
kanker paru sel tidak kecil adalah epidermoid, adenokarsinoma, tipe-tipe sel besar,
atau campuran dari ketiganya.
Karsinoma sel skuamosa (epidermoid)merupakan tipe histologik kanker
paru yang paling sering ditemukan, berasal dari permukaan epitel bronkus.
Perubahan epitel termasuk metaplasia, atau displasia akibat merokok jangka
panjang, secara khas mendahului timbulnya tumor. Karsinoma sel skuamosa
biasanya terletak sentral di sekitar hilus, dan menonjol ke dalam bronki besar.
Diameter tumor jarang melampaui beberapa sentimeter dan cenderung menyebar
secara langsung ke kelenjar getah bening hilus, dinding dada, dan mediastinum.
Karsinoma ini lebih sering pada laki-laki daripada perempuan (Wilson, 2005).


Universitas Sumatera Utara

Adenokarsinoma, memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus
dan dapat mengandung mukus. Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian perifer
segmen bronkus dan kadang-kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut lokal
pada paru dan fibrosis interstisial kronik. Lesi sering kali meluas ke pembuluh darah
dan limfe pada stadium dini dan sering bermetastasis jauh sebelum lesi primer
menyebabkan gejala-gejala.
Karsinoma bronkoalveolus dimasukkan sebagai subtipe adenokarsinoma
dalam klasifikasi terbaru tumor paru dari WHO. Karsinoma ini adalah sel-sel ganas
yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan
ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru
perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat-tempat
yang jauh.
Karsinoma sel kecil umumnya tampak sebagai massa abu-abu pucat yang
terletak di sentral dengan perluasan ke dalam parenkim paru dan keterlibatan dini
kelenjar getah bening hilus dan mediastinum. Kanker ini terdiri atas sel tumor
dengan bentuk bulat hingga lonjong, sedikit sitoplasma, dan kromatin granular.
Gambaran mitotik sering ditemukan. Biasanya ditemukan nekrosis dan mungkin
luas. Sel tumor sangat rapuh dan sering memperlihatkan fragmentasi dan “crush

artifact” pada sediaan biopsi. Gambaran lain pada karsinoma sel kecil, yang paling
jelas pada pemeriksaan sitologik, adalah berlipatnya nukleus akibat letak sel tumor
dengan sedikit sitoplasma yang saling berdekatan (Kumar, 2007).
Karsinoma sel besar adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi
sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-macam. Selsel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan
penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat-tempat yang jauh. Bentuk lain dari
kanker paru primer adalah adenoma, sarkoma, dan mesotelioma bronkus.
Walaupun jarang, tumor-tumor ini penting karena dapat menyerupai karsinoma
bronkogenik dan mengancam jiwa (Wilson, 2005).

Universitas Sumatera Utara

2.1.5. Gejala Klinis
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala
klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Gejalagejala dapat bersifat :
• Lokal (tumor tumbuh setempat) :
• Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis
• Hemoptysis(batuk berdarah)
• Mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran nafas
• Kadang terdapat kavitas seperti abses paru

• Ateletaksis
• Invasi lokal :
• Nyeri dada
• Dispnea et causa efusi pleura
• Invasi ke perikardium  terjadi tamponade atau aritmia
• Superior Vena Cava Syndrome
• Horner Syndrome(ptosis, miosis, anhidrosis)
• Suara serak, karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent
• Pancoas Syndrome, karena invasi pada pleksus brakhialis dan saraf simpatis
servikalis
• Gejala Penyakit Metastasis :
• Pada otak, tulang, hati, adrenal
• Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyertai metastasis)
• Sindrom Paraneoplastik : terdapat 10% kanker paru dengan gejala :
• Sistemik : penurunan berat badan, anoreksia, demam
• Hematologi : leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
• Hipertrofi osteoartropati
• Neurologik : dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer
• Neuromiopati
• Endokrin : sekresi berlebihan hormon paratiroid (hiperkalsemia)

• Dermatologik : eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh
• Renal : syndrome of inappropriate antidiuretic hormone

Universitas Sumatera Utara

• Asimtomatik dengan kelainan radiologis
• Sering terdapat pada perokok dengan COPD yang terdeteksi secara radiologis
(Amin, 2006).
2.1.6. Diagnosis
2.1.6.1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap serta pemeriksaan fisik merupakan kunci untuk
diagnosis tepat. Keluhan dan gejala klinis permulaan merupakan tanda awal
penyakit kanker paru. Batuk disertai dahak yang banyak dan kadang-kadang
bercampur darah, sesak nafas dengan suara mengi (wheezing), nyeri dada, lemah,
berat badan menurun, dan anoreksia merupakan keadaan yang mendukung.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada pasien tersangka kanker paru adalah
faktor usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok, dan terpapar zat karsinogen yang
dapat menyebabkan nodul soliter paru.
2.1.6.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan kelainan-kelainan berupa

perubahan bentuk dinding toraks dan trakea, pembesaran kelenjar getah bening dan
tanda-tanda obstruksi parsial, infiltrat dan pleuritis dengan cairan pleura dengan
cara inspeksi, palpasi dan auskultasi.
2.1.6.3. Pemeriksaan Penunjang
1.Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk :
a) Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru. Kerusakan
pada paru dapat dinilai dengan pemeriksaan faal paru atau pemeriksaan analisis gas.
b) Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru pada organorgan lainnya.
c) Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru pada jaringan
tubuh baik oleh karena tumor primernya maupun oleh karena metastasis.

Universitas Sumatera Utara

2.Radiologi
Pemeriksaan radiologi adalah pemeriksaan yang paling utama dipergunakan
untuk mendiagnosis kanker paru. Kanker paru memiliki gambaran radiologi yang
bervariasi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan keganasan tumor dengan
melihat ukuran tumor, kelenjar getah bening, dan metastasis ke organ lain.
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan metode tomografi komputer.

Pada pemeriksaan tomografi komputer dapat dilihat hubungan kanker paru dengan
dinding toraks, bronkus, dan pembuluh darah secara jelas. Keuntungan tomografi
komputer tidak hanya memperlihatkan bronkus, tetapi juga struktur di sekitar lesi
serta invasi tumor ke dinding toraks. Tomografi komputer juga mempunyai resolusi
yang lebih tinggi, dapat mendeteksi lesi kecil dan tumor yang tersembunyi oleh
struktur normal yang berdekatan.
3.Sitologi
Sitologi merupakan metode pemeriksaan kanker paru yang mempunyai nilai
diagnostik yang tinggi dengan komplikasi yang rendah. Pemeriksaan dilakukan
dengan mempelajari sel pada jaringan. Pemeriksaan sitologi dapat menunjukkan
gambaran perubahan sel, baik pada stadium prakanker maupun kanker. Selain itu
dapat juga menunjukkan proses dan sebab peradangan.
Pemeriksaan sputum adalah salah satu teknik pemeriksaan yang dipakai untuk
mendapatkan bahan sitologik. Pemeriksaan sputum adalah pemeriksaan yang
paling sederhana dan murah untuk mendeteksi kanker paru stadium preinvasif
maupun invasif. Pemeriksaan ini akan memberi hasil yang baik terutama untuk
kanker paru yang letaknya sentral. Pemeriksaan ini juga sering digunakan untuk
skrining terhadap kanker paru pada golongan risiko tinggi.
4.Bronkoskopi
Setiap pasien yang dicurigai menderita tumor bronkus merupakan indikasi

untuk bronkoskopi. Dengan menggunakan bronkoskop fiber optik, perubahan
mikroskopik mukosa bronkus dapat dilihat berupa nodul atau gumpalan daging.
Bronkoskopi akan lebih mudah dilakukan pada tumor yang letaknya di sentral.
Tumor yang letaknya di perifer sulit dicapai oleh ujung bronkoskop.

Universitas Sumatera Utara

5.Biopsi Transtorakal
Biopsi aspirasi jarum halus transtorakal banyak digunakan untuk
mendiagnosis tumor pada paru terutama yang terletak di perifer. Dalam hal ini
diperlukan peranan radiologi untuk menentukan ukuran dan letak, juga menuntun
jarum mencapai massa tumor. Penentuan letak tumor bertujuan untuk memilih titik
insersi jarum di dinding kulit toraks yang berdekatan dengan tumor.
6.Torakoskopi
Torakoskopi adalah cara lain untuk mendapatkan bahan guna pemeriksaan
histopatologik untuk kanker paru. Torakoskopi adalah pemeriksaan dengan alat
torakoskop yang ditusukkan dari kulit dada ke dalam rongga dada untuk melihat
dan mengambil sebahagian jaringan paru yang tampak.
Pengambilan jaringan dapat juga dilakukan secara langsung ke dalam paru
dengan menusukkan jarum yang lebih panjang dari jarum suntik biasa kemudian

dilakukan pengisapan jaringan tumor yang ada (Soeroso, 1992).
2.1.7. Penatalaksanaan
2.1.7.1. Pembedahan
Pembedahan pada kanker paru bertujuan untuk mengangkat tumor secara
total berikut kelenjar getah bening disekitarnya. Hal ini biasanya dilakukan pada
kanker paru yang tumbuh terbatas pada paru yaitu stadium I, kecuali pada kanker
paru jenis SCLC. Luas reseksi atau pembedahan tergantung pada luasnya
pertumbuhan tumor di paru. Pembedahan dapat juga dilakukan pada stadium lanjut,
akan tetapi lebih bersifat paliatif. Pembedahan paliatif mereduksi tumor agar
radioterapi dan kemoterapi lebih efektif, dengan demikian kualitas hidup penderita
kanker paru dapat menjadi lebih baik.
Pembedahan untuk mengobati kanker paru dapat dilakukan dengan cara :
a)

Wedge Resection, yaitu melakukan pengangkatan bagian paru yang berisi tumor,
bersamaan dengan margin jaringan normal.

b) Lobectomy, yaitu pengangkatan keseluruhan lobus dari satu paru.
c)

Pneumonectomy, yaitu pengangkatan paru secara keseluruhan. Hal ini dilakukan
jika diperlukan dan jika pasien memang sanggup bernafas dengan satu paru.

Universitas Sumatera Utara

2.1.7.2. Radioterapi
Radioterapi dapat digunakan untuk tujuan pengobatan pada kanker paru
dengan tumor yang tumbuh terbatas pada paru. Radioterapi dapat dilakukan pada
NCLC stadium awal atau karena kondisi tertentu tidak dapat dilakukan
pembedahan, misalnya tumor terletak pada bronkus utama sehingga teknik
pembedahan sulit dilakukan dan keadaan umum pasien tidak mendukung untuk
dilakukan pembedahan.
Terapi radiasi dilakukan dengan menggunakan sinar X untuk membunuh sel
kanker. Pada beberapa kasus, radiasi diberikan dari luar tubuh (eksternal). Tetapi
ada juga radiasi yang diberikan secara internal dengan cara meletakkan senyawa
radioaktif di dalam jarum, dengan menggunakan kateter dimasukkan ke dalam atau
dekat paru-paru. Terapi radiasi banyak dipergunakan sebagai kombinasi dengan
pembedahan atau kemoterapi (ASCO, 2010).
2.1.7.3. Kemoterapi
Penatalaksanaan

ini

menggunakan

obat-obatan

(sitostatika)

untuk

membunuh sel kanker. Kombinasi pengobatan ini biasanya diberikan dalam satu
seri pengobatan, dalam periode yang memakan waktu berminggu-minggu atau
berbulan-bulan agar kondisi tubuh penderita dapat pulih (ASCO, 2010).
Kemoterapi adalah proses pemberian obat-obatan anti kanker dalam bentuk
pil cair atau kapsul atau melalui infus yang bertujuan membunuh sel kanker. Tidak
hanya sel kanker, tapi dapat memberi efek seluruh tubuh. Efek dari kemoterapi
termasuk didalamnya yaitu mual dan muntah, serta rambut rontok (Calvagna,
2009).
Regimen untuk kemoterapi lini pertama (first line) untuk kanker paru jenis
karsinoma bukan sel kecil(KPKBSK) adalah:




Paklitaksel + sisplatin atau karboplatin, siklus 3 mingguan


paklitaksel 175 mg/BSA + sisplatin 60-80 mg/BSA



Paklitaksel 175 mg/BSA + karboplatin AUC-5

Gemsitabin + sisplatin atau kabroplatin, siklus 3 mingguan

Universitas Sumatera Utara







Gemsitabin 1250 mg/BSA (hari1,8) + sisplatin 60-80mg/BSA



Gemsitabin 1250mg/BSA(hari1,8) + karboplatin AUC-5

Dosetaksel + sisplatin atau karboplatin siklus 3 mingguan


Dosetaksel 75 mg/BSA + sisplatin 60-80mg/BSA



Dosetaksel 75 mg/BSA + karboplatin AUC-5

Vinorelbin + sisplatin atau karboplatin siklus 3 mingguan


Vinorelbin 30mg/BSA(hari1,8) + sisplatin 60-80 mg/BSA(hari1)



Vinorelbin 30mg/BSA(hari1,8) + karboplatin AUC-5 (hari 1)

Pada pusat pelayanan tertentu dengan keterbatasan pengadaan obat dapat diberikan
rejimen:


CAP II (sisplatin, adriamisin, siklofosfamid), siklus 28 hari


Cisplatin 60 mg/BSA + Adriamisin 40 mg/BSA + Siklofosfamid 400
mg/BSA



PE (sisplatin atau karboplatin + etoposid), siklus 3 mingguan


Sisplatin 60-80 mg/BSA (hari 1) + etoposid 100 mg/BSA (hari 1,2,3)

 . Karboplatin AUC-5 (hari 1), etoposid 100 mg/BSA (hari 1,2,3).
Umumnya kemoterapi dapat diberikan sampai 4-6 siklus/sekuen, bila
penderita menunjukkan respons yang memadai. Hasil pengobatan 4-6 siklus tidak
berbeda secara signifikan tetapi pemberian 6 siklus dapat memperpanjang masa
progresivitas penyakit (time to progression = TTP). Evaluasi respons terapi
dilakukan dengan melihat perubahan ukuran tumor pada foto toraks PA setelah
pemberian (siklus) kemoterapi ke-2 dan kalau memungkinkan menggunakanCTScan toraks setelah 3 kali pemberian (PDPI, 2011).Kemoterapi mempunyai
berbagai efek samping, sehingga sebanyak 15,38% pasien mengalami gangguan
cemas dan 16,23% mengalami depresi (Pandey et al., 2006).
2.2. Depresi
2.2.1. Definisi Depresi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada

Universitas Sumatera Utara

pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa
putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2010).
Menurut Kaplan, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang
ditandai oleh hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya
penderitaan berat. Mood adalah keadaan emosional internal yang meresap dari
seseorang, dan bukan afek, yaitu ekspresi dari isi emosional saat itu (Kaplan, 2010).
Depresi adalah suatu kondisi yang dapat disebabkan oleh defisiensi relatif
salah satu atau beberapa aminergik neurotransmiter (noradrenalin, serotonin,
dopamin) pada sinaps neuron di sistem saraf pusat (terutama pada sistem limbik)
(Maslim, 2002).
2.2.2 Etiologi Depresi
Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi
menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.
a. Faktor biologi
Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan
epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh
diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi despiran
mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi. Selain
itu aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada
pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin, dan penyakit
dimana konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai gejala
depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin,
amphetamine, dan bupropion, menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010).
Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat
mengalami kehilangan secara selektif pada sel – sel saraf selama proses menua.
Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan pada seluruh otak selama rentang
hidup, degenerasi neuronal korteks dan kehilangan yang lebih besar pada sel-sel di
dalam lokus seroleus, substansia nigra, serebelum dan bulbus olfaktorius (Lesler,
2001). Bukti menunjukkan bahwa ada ketergantungan dengan umur tentang
penurunan aktivitas dari noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik di dalam

Universitas Sumatera Utara

otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun menjadi setengah pada umur 80an tahun dibandingkan dengan umur 60-an tahun (Kane. 1999).
b. Faktor Genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara
anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat
(unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum.
Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar
monozigot (Davies, 1999).
Oleh Lesler (2001), Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan
secara khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan
kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat individual, sehingga
dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik.
c. Faktor Psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah
kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada sejumlah faktor psikososial
yang diprediksi sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang pada
umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah
hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara,
penurunan kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial, dan
penurunan fungsi kognitif (Kaplan, 2010) Sedangkan menurut Kane, faktor
psikososial meliputi penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan
hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan
penyakit fisik (Kane, 1999).
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa
kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang
berulang, teori kognitif dan dukungan sosial (Kaplan, 2010).
Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan yang
menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari
episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan
memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa
kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor

Universitas Sumatera Utara

lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah
kehilangan pasangan (Kaplan, 2010). Stressor psikososial yang bersifat akut,
seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan
finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman
keamanan dapat menimbulkan depresi (hardywinoto, 1999).
Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada
individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan
paranoid (kepribadian yang memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif)
mempunyai resiko yang rendah (Kaplan, 2010).
Faktor psikodinamika. Berdasarkan teori psikodinamika Freud, dinyatakan
bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi (Kaplan, 2010).
Dalam upaya untuk mengerti depresi, Sigmud Freud sebagaimana dikutip
Kaplan (2010) mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek dan
melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi
diarahkan secara internal karena identifikasi dengan objek yang hilang. Freud
percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan cara satu-satunya bagi ego untuk
melepaskan suatu objek, Freud membedakan melankolia atau depresi dari duka cita
atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda
dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan
orang yang berkabung tidak demikian.
Kegagalan yang berulang. Dalam percobaan binatang yang dipapari kejutan
listrik yang tidak bisa dihindari, secara berulang-ulang, binatang akhirnya
menyerah tidak melakukan usaha lagi untuk menghindari. Disini terjadi proses
belajar bahwa mereka tidak berdaya. Pada manusia yang menderita depresi juga
ditemukan ketidakberdayaan yang mirip (Kaplan, 2010).
Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu,
menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian
diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif tersebut
menyebabkan perasaan depresi (Kaplan, 2010)

Universitas Sumatera Utara

2.2.3. Klasifikasi Depresi
Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III (PPDGJ-III)
menyebutkan gejala depresi menjadi gejala utama (pada derajat ringan sedang, dan
berat) dan gejala lainnya seperti yang akan terurai di bawah ini (Maslim, 2013).
Gejala utama meliputi:
-

Afek depresif,

-

Kehilangan minat dan kegembiraan, dan

-

Berkurangnya energi yang menuju meningkatkannya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.

Gejala lainnya:
-

Konsentrasi dan perhatian berkurang;

-

Harga diri dan kepercayaan diri berkurang;

-

Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna;

-

Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;

-

Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri;

-

Tidur terganggu;

-

Nafsu makan berkurang.
Berpedoman pada PPDGJ-III, tingkat depresi dibedakan menjadi depresi

ringan, sedang, dan berat.
Episode Depresif Ringan
-

Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti disebut
diatas;

-

Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya;

-

Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya;

-

Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu;

-

Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang bisa
dilakukan.

Episode Depresif Sedang
-

Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pasa
episode ringan;

-

Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya;

Universitas Sumatera Utara

-

Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu;

-

Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan
urusan rumah tangga.

Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik
-

Semua dari gejala depresi harus ada;

-

Ditambah sekurang-kurannya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya
harus berintensitas berat;

-

Penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapat
dibenarkan jika pasien menunjukkan gejala penting (misalnya agitasi atau
retardasi psikomotor) yang mencolok.

-

Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu,
tetapi jika gejala sangat berat dan beronset cepat, maka masih dibenarkan untuk
menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.

-

Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan, atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
-

Episode depresi berat yang memnuhi kriteria episode depresif berat tanpa
gejala psikotik;

-

Disertai waham, halusinasi, atau stupor depresif.
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa

sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode
lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung
cepat.
2.2.4. Gambaran Klinis
Depresi pada lansia adalah proses patoligis, bukan merupakan proses
normal dalam kehidupan. Umumnya orang-orang akan menanggulanginya dengan
mencari dan memenuhi rasa kebahagiaan. Bagaimanapun, lansia cenderung
menyangkal bahwa dirinya mengalami depresi. Gejala umumnya, banyak diantara
mereka muncul dengan menunjukkan sikap rendah diri, dan biasanya sulit untuk
didiagnosis (Evans, 2000).

Universitas Sumatera Utara

a.Perubahan Fisik


Penurunan nafsu makan.



Gangguan tidur.



Kelelahan dan kurang energy



Agitasi.



Nyeri, sakit kepala, otot keran dan nyeri, tanpa penyebab fisik.

b.Perubahan Pikiran


Merasa bingung, lambat dalam berfikir, penurunan konsentrasi dan sulit
mengungat informasi.



Sulit membuat keputusan dan selalu menghindar.



Kurang percaya diri.



Merasa bersalah dan tidak mau dikritik.



Pada kasus berat sering dijumpai adanya halusinasi ataupun delusi.



Adanya pikiran untuk bunuh diri.

c.Perubahan Perasaan


Penurunan ketertarikan dengan lawan jenis dan melakukan hubungan suami
istri.



Merasa bersalah, tak berdaya.



Tidak adanya perasaan.



Merasa sedih.



Sering menangis tanpa alas an yang jelas.



Iritabilitas, marah, dan terkadang agresif.

d.Perubahan pada Kebiasaan Sehari-hari


Menjauhkan diri dari lingkungan sosial, pekerjaan.



Menghindari membuat keputusan.



Menunda pekerjaan rumah.



Penurunan aktivitas fisik dan latihan.



Penurunan perhatian terhadap diri sendiri.



Peningkatan konsumsi alcohol dan obat-obatan terlarang.

Universitas Sumatera Utara

2.3.Beck Depression Inventory(BDI)
Beck Depression Inventory (BDI), dibuat pada tahun 1961 oleh Dr. Aaron
T. Beck, dan dikembangkan untuk menilai manifestasi depresi pada tingkah laku
remaja dan orang dewasa. Dirancang untuk menstandarisasi penilaian keparahan
depresi serta menggambarkan secara sederhana gejala depresi. Item-item BDI
berasal dari observasi pasien-pasien depresi yang dibuat sselama perjalanan
psikoanalisis atau psikoterapi. Sikap dan gejala depresi tampak spesifik pada
kelompok pasien ini, kemudian BDI digambarkan oleh pernyataan-pernyataan, dan
penilaian numerik pada masing-masing pernyataan(Beck et al, 2000).
Selama bertahun-tahun, Beck Depression Inventory(BDI) menjadi salah
satu instrumen yang digunakan secara mendunia untuk mengukur intensitas depresi
daripada pasien dengan gangguan psikiatri (Piotrowski, Sherry & Keller, 1985),
dan untuk mencari kemungkinan terjadinya depresi pada populasi masyarakat yang
luas(Beck & Steer, 1984).
BDI terdiri dari 21 pertanyaan yang sering digunakan pada penelitian
depressi pasca stroke. BDI mempunyai cutoff point optimal dengan nilai 10,
sensitivitas 81.0, dan spesifisitas 61.4 (Aben et al, 2002).
Tabel 2.1. The Standard Cut-offs of depression
Klassifikasi

Jumlah Skor

Tingkat Depressi

Depresi Minimal

0-9

Minimal

Depresi Ringan

10-16

Ringan

Derpresi Sedang

17-29

Sedang

Depresi Berat

30-63

Berat

2.4. Hubungan Kemoterapi Kanker Paru dengan Tingkat Depresi
Pasien kanker mengalami beberapa stressor dan pergolakan emosi,
ketakutan akan kematian, interupsi daripada rencana akan masa depan, perubahan
gambaran tubuh dan kepercayaan diri, perubahan peran di dunia sosial dan gaya

Universitas Sumatera Utara

hidup, semuanya merupakan masalah penting yg harus dihadapi. Dimana hal ini
bisa menyebabkan depresi. Selain itu , gangguan depresi dapat mempengaruhi
jalannyapenyakit dan kepatuhan . Biaya, prevalensi, diagnostik danketidakpastian
akan kesuksesan terapi menyebabkan gejala depresi di antara pasien kanker
(Pasquini, 2007).
Trask et al (2003) mengatakan bahwa 30%-50% daripada pasien kanker
yang menjalani kemoterapi sudah menunjukkan gangguan emosional tingkat
sedang dan tingkat tinggi.
Miranda et al, (2002) mengevaluasi depressi pada pasien dengan kanker
payudara dan serviks yang sedang menjalani kemoterapi dan tidak menemukan
perbedaan proporsi dari depresi, tetapi jumlah pasien yang mengalami depresi
meningkat setelah menjalani kemoterapi.
Kemoterapi merupakan salah satu pengobatan kanker paru yang bersiklus
dan intens, dimana pengobatan ini sering dihubungkan dengan berbagai efek
samping seperti gangguan cemas dan depressi. Di India dilakukan penelitian untuk
mengetahui prevalensi terjadinya depresi pada pasien kanker yang menjalani
kemoterapi, dari 117 pasien yang dievaluasi dengan menggunakan distress
inventory for cancer, sebanyak 18 pasien mengalami gangguan ansietas, sedangkan
19 orang mengalami depresi. Pasien yang merespon terhadap tindakan kemoterapi
lebih rentan terhadap depresi daripada pasien yang tidak merespon (Pandey, 2006).

Universitas Sumatera Utara