Poligami Lebih Dari Empat Dalam Perspektif Fiqih Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

24

BAB II
PENGATURAN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF FIQIH ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan dalam Islam
1.

Pengertian Pernikahan
Istilah “nikah” berasal dari bahasa Arab atau disebut dengan alnikah yang

bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan
al-dammu wa al-jam’u, atau ‘ibarat ‘an al-wath wa al-‘ aqd yang bermakna
bersetubuh, berkumpul dan akad.32 Sedangkan menurut bahasa Indonesia adalah
“perkawinan”. Namun bila dicermati, istilah tersebut mempunyai makna yang sama,
dan dalam karya tulis ini digunakan istilah perkawinan. Masalah perkawinan dalam
Al-Qur’an ditegaskan tidak hanya dalam bentuk garis-garis besar saja, seperti halnya
perintah agama melainkan diterangkan secara tafsili/terperinci.33 Pokok-pokok
hukum perkawinan dalam Al Qur’an diterangkan dalam lebih dari 8 surat, adapun inti
hukum perkawinan dicantumkan dalam Al-Qur’an surat Al- Baqarah: 221-237

mengenai perkawinan, perceraian dan hubungan kerabat karena susuan.
Mengenai perintah Allah kepada manusia untuk menikah dalam Al-Qur’an
disebutkan dalam surat An Nuur: 32 yang artinya : ” Dan kawinkanlah orang-orang
yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba
sahayamu yang lelaki dan perempuan”.

32

Wahbah al-Zuhaily, al-Figh al-Islami Wa Adillatuhu, Terjemahan oleh Mahmuddin Syukri.
Juz VII, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989, hal. 29
33
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari Undang-undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bina Aksara, Jakarta, 1990 hal. 45

24

Universitas Sumatera Utara

25


Nabi Muhammad SAW memperkuat Firman Allah di atas dengan bersabda
“Nikah adalah sunnahku, barang siapa yang mengikuti sunnahku berarti
termasuk golonganku dan barang siapa yang benci sunnahku berarti bukan
termasuk golonganku’. (HR.Bukhori-Muslim). Terdapat beberapa pengertian
terkait dengan istilah perkawinan.
Bermacam-macam pendapat dikemukakan oleh ahli di bidang hukum
perkawinan. Perbedaan diantara pendapat-pendapat itu tidaklah memperlihatkan
adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antara satu pendapat dengan pendapat
yang lain, tetapi lebih memperlihatkan keinginan setiap pihak perumus mengenai
banyak jumlah unsur-unsur yang hendak dimasukkan dalam perumusan pengertian
perkawinan itu disatu pihak, sedang di pihak lain dibatasi pemasukan unsur-unsur itu
dalam perumusan pengertian perkawinan itu. Pada bagian ini, akan mengemukakan
pengertian perkawinan sebagai acuan teori penelitian yang akan dilaksanakan:
a. Sayuti Thalib, perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan.34
b. Hanabilah, nikah adalah akad yang menggunakan lafaz nikah yang bermakna
tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.35
c. Al-Malibari mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang mengandung
kebolehan (ibahat) melakukan persetubuhan yang menggunakan kata nikah
atau tazwij.


34

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia, 2010,
Jakarta hal. 47
35
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab ‘Ala Mazahib al-Arba’ah, Terjemahan oleh Mustafa. t.tp.Dar
Ihya al-Turas al-Arabi, 1986, Juz IV hal. 3

Universitas Sumatera Utara

26

d. Muhammad Abu Zahrah didalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah,
mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa
halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling
tolong menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban.36
e. Imam Taqiyuddin didalam Kifarat al-Akhyar mendefinisikan nikah sebagai,
ibarat tentang akad yang masyhur yang terdiri dari rukun dan syarat, dan yang
dimaksud dengan akad adalah alwat’(bersetubuh).37

f. Tahir Mahmood mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan
batin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami dan istri
dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga
dalam sinaran Ilahi.38
g. R. Abdul Djamali, berpendapat bahwa istilah perkawinan menurut hukum
Islam adalah nikah atau ziwaj. Kedua istilah ini dilihat dari arti katanya dalam
Bahasa Indonesia ada perbedaan, sebab kata “nikah” berarti hubungan seks
antara suami isteri, sedangkan “ziwaj” berarti kesepakatan antara seorang pria
dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam hubungan suami istri untuk
mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan ibadat kebaktian kepada Allah.39

36

Muhammad Abu Zahrah, al-ahwal al- Syakhsiyyah, Terjemahan oleh Daud Hanafi Saleh.
Qahirah; Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1957 hal. 19
37
Imam Taqiyuddin, Kifarat al-Akhyar fi Hal ghayat al-Ikhtiyar, Terjemahan oleh Mahmud
Al-Munawar. Bandung; Al-Ma’arif,t.t, Juz II hal. 36
38
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, Kencana, 2004 hal. 42
39
R. Abdul Djamali, Hukum Islam, Mandar Maju, Bandung, 2000 hal. 77-78

Universitas Sumatera Utara

27

h. Wirjono Prodjodikoro berpendapat perkawinan adalah hidup bersama dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang
termasuk dalam peraturan.40
i. Ahmad Azhar Basyir, berpendapat bahwa perkawinan menurut hukum Islam
adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin
antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup
keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang
diridhoi Allah SWT.41
j. Hilman Hadikusuma menyebutkan perkawinan merupakan perikatan antara
dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa yang
membawa akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban dalam rangka
melanjutkan keturunan.42

k. Imam Syafi’i, menyebutkan nikah ialah suatu akad yang dengannya menjadi
halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti
majazi (mathaporic) nikah itu artinya hubungan seksual.
l. Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau miitsaaqon goliidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.43

40

Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 3
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hal. 14
42
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Menurut Perundang-undangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 10
43
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Pasal 86 ayat 2 Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Jakarta, 1993
41

Universitas Sumatera Utara


28

m. Mahmud Yunus menyebutkan nikah itu artinya hubungan seksual (setubuh)
beliau mendasarkan pendapatnya itu kepada Hadis Rasul yang berbunyi
dikutuki Allah yang menikah (setubuh) dengan tangannya (onani). (Abu
Daud).
Sedangkan perkawinan menurut Hukum Perkawinan Islam adalah suatu akad
atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan
dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa
ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah.44
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat ditarik suatu pengertian
bahwa pernikahan/perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri”. Dalam perkataan ikatan lahir batin itu
dimaksudkan bahwa hubungan suami istri tidak boleh semata-mata hanya berupa
ikatan lahiriah saja dalam makna seorang pria dan wanita hidup bersama sebagai
suami istri dalam ikatan formal, tetapi kedua-duanya harus membina ikatan batin.
Tanpa ikatan batin, ikatan lahir mudah sekali terlepas.
2. Hukum Menikah
Meskipun pada dasarnya Islam menganjurkan untuk kawin, namun apabila

ditinjau dari keadaan melaksanakannya, perkawinan dapat berlaku hukum wajib,
sunah, haram, makruh dan mubah. Menurut Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal
dan Malik bin Anaas, meskipun menikah pada mulanya mungkin dianggap sebagai

44

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hal. 14

Universitas Sumatera Utara

29

kebolehan/hal yang dianjurkan, namun bagi beberapa pribadi tertentu ia dapat
menjadi kewajiban.45
Secara personal hukum nikah berbeda disebabkan perbedaan kondisi
mukallaf, baik dari segi karakteristik kemanusiaannya maupun dari segi kemampuan
hartanya. Hukum nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi seluruh mukallaf. Masingmasing mukallaf mempunyai hukum tersendiri yang spesifik sesuai dengan
kondisinya pula, baik persyaratan harta, fisik atau akhlak. Hukum nikah terbagi
menjadi 5 (lima) yaitu:
a. Fardu (wajib), Hukum nikah fardu, pada kondisi seseorang yang mampu

biaya wajib nikah, yakni biaya nafkah dan mahar dan adanya percaya diri
bahwa ia mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan dengan istri yakni
pergaulan yang baik. Demikian juga, ia yakin bahwa jika tidak menikah pasti
akan terjadi perbuatan zina, sedangkan puasa yang dianjurkan Nabi tidak akan
mampu menghindarkan dari perbuatan tersebut.
b. Haram, Hukum menikah haram bagi seseorang yang tidak memiliki
kemampuan nafkah nikah dan yakin akan terjadi penganiayaan jika menikah.
Keharaman nikah ini karena nikah dijadikan alat mencapai yang haram. Jika
seorang wanita pasti akan terjadi penganiayaan dan menyakiti sebab
kenakalan laki-laki itu, seperti melarang hak-hak istri, berkelahi dan
menahannya untuk disakiti, maka menikahinya menjadi haram.46

45
46

Slamat Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Pustaka Setia, Bandung, 2005, hal. 42
Ibid., hal. 45

Universitas Sumatera Utara


30

c. Makruh, nikah makruh bagi seseorang yang dalam kondisi campuran,
seseorang mempunyai kemampuan harta biaya nikah dan tidak dikhawatirkan
terjadi maksiat zina, tetapi dikhawatirkan terjadi penganiayaan istri yang tidak
sampai ke tingkat yakin terkadang orang tersebut mempunyai dua kondisi
yang kontradiktif, yakni antara tuntutan dan larangan.47
d. Mandub dan mubah jika seseorang dalam kondisi normal, maksudnya
memiliki harta, tidak khawatir dirinya melakukan maksiat zina sekalipun
membujang lama dan tidak dikhawatirkan berbuat jahat terhadap istri.48
3.

Rukun dan Syarat Menikah

a.

Rukun-rukun Perkawinan
Rukun ialah segala sesuatu yang ditentukan menurut hukum Islam dan harus

dipenuhi pada saat perkawinan dilangsungkan. Maksudnya bahwa kalau syarat-syarat

perkawinannya telah dipenuhi, maka sebelum melangsungkan perkawinan saat-saat
untuk sahnya harus ada rukun-rukun yang perlu dipenuhi. Adapun rukun perkawinan
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Di dalam Pasal 14 disebutkan bahwa untuk
melaksanakan perkawinan harus ada :
1)

Calon Suami dan Calon Istri
Calon suami dan calon istri atau dapat juga disebut dengan calon mempelai

adalah seorang pria dan seorang wanita yang merupakan para pihak yang akan
melangsungkan perkawinan.
47
48

Ibid., hal. 46
Ibid., hal. 47

Universitas Sumatera Utara

31

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh keduanya adalah :
a) Telah baligh dan memenuhi kecakapan yang sempurna.
Pasal 15 KHI memberikan ketentuan mengenai hal ini :
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan oleh mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan
dalam Pasal 7 UUP No.l Tahun 1974 yaitu calon suami sekurangkurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur
16 tahun.
(2) Bagi calon mempelai yang belum berumur 21 harus mendapat ijin
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (4) dan (5) UU No. l Tahun
1974.
b) Berakal sehat dan tidak mengalami gangguan, baik jasmani maupun rohani.
c) Tidak karena paksaan, artinya harus didasarkan pada kerelaan kedua belah
pihak.
Pasal 16 KHI menyebutkan bahwa :
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan
tegas dan nyata dengan tulisan-tulisan, lisan atau isyarat tetapi dapat juga
berupa diam dalam arti tidak ada penolakan yang tegas.
Pasal 17 KHI menyebutkan bahwa :
(1) Sebelum

berlangsungnya

perkawinan,

Pegawai

Pencatat

Nikah

menyatakan lebih dulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi
nikah.

Universitas Sumatera Utara

32

(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah satu calon mempelai
maka perkawinan tidak dapat dilaksanakan.
(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu
persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat
dimengerti.
d) Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan perkawinan, tidak
terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Bab IV
KHI.
2) Wali Nikah
Secara umum kata wali mempunyai arti yaitu orang yang terdekat dengan
seseorang perempuan tetapi kalau menurut Muhammad dan Islam dalam kitabnya
yang artinya:49
Saudara yang akrab dari si perempuan tentang ashabahnya, bukan zawil
arham atau juga orang yang berhak menikahkannya, karena suatu pernikahan
tak bisa dilaksanakan tanpa ada walinya.
Dan wali-wali ini apabila dipandang dari kekuasaannya dapat dibagi kepada
dua yaitu:
a)

Wali Mujbir yaitu wali yang terdiri dari ayah atok hingga ke atas.

b) Wali ghairu mujbir yaitu wali yang terdiri selain yang disebutkan di atas yaitu:
(1) Saudara laki-laki seibu sebapak
(2) Anak laki-laki seibu
49

Ibid., hal 50

Universitas Sumatera Utara

33

(3)Saudara laki-laki seibu
(4)Anak laki-laki dari saudara lak-laki sebapa
(5)Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu.50
c)

Wali hakim yaitu kepala Negara Islam atau pejabat yang ditunjukkan olehnya
dan yang ketiganya ini (hakim) apabila betul-betul tidak ada wali yang kedua
tadi, ataupun ashabah-ashabah tidak ada maka terjadi perpindahan wali itu
kepada Hakim (qadhi) sesuai menurut Hadits Rasulullah SAW yang artinya:
Tidak nikah seseorang kecuali dengan adanya wali dan hakim menjadi wali

apabila tidak ada wali untuknya, dikeluarkan oleh Tabrani.51
Menurut pendapat Zakariya Al-Basri dalam Kitabnya yang artinya:
Apabila tidak terdapat wali yang akrab semata-mata juga ada dari ashabahnya
dan tidak dari pihak lainnya maka perpindahan wali untuk mengawinkannya
ialah Hakim, sesuai dengan menurut kata Rasulullah SAW Hakim menjadi
wali bagi orang yang tidak punya wali dan berpindahlah wali tersebut kepada
hakim (qadhi) dan juga menurut Hadits Rasulullah SAW mengatakan bahwa
setiap orang yang mau menikah dengan seseorang perempuan yang tidak ada
wali baginya berarti tidak sah.52
Tetapi ada juga ikhtiaf-ikhtiaf Ulama tentang syarat-syarat adanya wali
pernikahan atau juga dengan seizinnya juga si perempuan itu mau nikah dengan
seorang laki-laki, mereka ini mengikuti sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang
maksudnya, tidak sah seseorang perempuan mengawinkan dirinya sendiri dan dibantu

50

Ibid., hal 63
Ibid.
52
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Presindo, Jakarta, 2009,
51

hal. 23

Universitas Sumatera Utara

34

pula oleh Ibnu Muzir. Dia tidak pernah melihat seorang sahabatpun yang menentang,
pendapat ini juga diambilnya dari hadits Rasulullah SAW untuk memahaminya. 53
Beberapa dalil atau nash yang ada pertaliannya dengan wali nikah, mengenai
pentingnya soal wali tersebut dan kutipan ini diambil dari Firman Allah SWT, yang
artinya:
Dan janganlah kamu nikahi dengan orang-orang (mereka) musyrik sebelum
mereka beriman.54
Kemudian ada juga hadits untuk menguatkannya, artinya:
Dari Abi Musa bahwasanya Rasulullah SAW ia tidak nikah kecuali dengan
adanya wali. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abi Daud, Tarmizi Ibnu Hibban
dan Hakim.55
3) Saksi
Adanya saksi dalam akad nikah menurut Imam Syafi`I adalah suatu keharusan
dalam perkawinan, karena saksi dalam perkawinan sangat diperlukan. Saksi terdiri
atas dua orang atau lebih yang melihat dan mendengarkan ijab kabul. Tugasnya
dalam perkawinan hanya memberikan kesaksian bahwa perkawinan itu benar-benar
dilakukan oleh pihak-pihak yang berkeinginan dan menyatakan tegas tidaknya ijab
kabul diucapkan.
Dasar hukum yang dipergunakan oleh para ahli hukum Islam mengenai
persaksian dalam perkawinan adalah Hadits Nabi sebagai berikut : “Tidak sah nikah
kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”.
53

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2009, hal. 21
54
Ibid., hal 74
55
Ibid., hal 76

Universitas Sumatera Utara

35

Dengan Hadits Nabi selain wali diperlukan juga kehadiran dua orang saksi
untuk sahnya perkawinan. Dan kedua orang saksi dibawa oleh masing-masing pihak
asalkan memenuhi syarat-syarat seperti yang diwajibkan kepada wali. Dua orang
saksi hendaknya laki-laki; tetapi kalau tidak ada, wanitapun diperkenankan hanya
jumlahnya harus 4 (empat) orang. Dasar hukum perbandingan jumlah itu kalau dilihat
dari makna anak kalimat terakhir dari surat (2) Al-Baqarah ayat 228 yang
menyatakan :
“Perempuan itu mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, tetapi laki-laki
mempunyai derajat yang lebih tinggi dari perempuan. Melalui pernyataan
inilah ditetapkan perbandingan saksi laki-laki dan perempuan, adalah 2:4
kalau perempuan dimintakan menjadi saksi dalam suatu perkawinan.”
Imam Abu Hanifah mengqiaskan persaksian dalam akad nikah pada
persaksian dalam akad muamalah. Tetapi karena akad nikah dipandang lebih utama
daripada akad muamalah, maka secara otomatis saksi dalam nikah menjadi lebih
utama dan sangat diperlukan daripada saksi-saksi lainnya dalam akad muamalah.
Ketentuan mengenai saksi ini termuat dalam Pasal 24 KHI, yaitu :
(1)Saksi dalam perkawinan merupakan rukun dari pelaksanaan akad nikah.
(2)Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Selanjutnya Pasal 25 KHI menemukan syarat-syarat seorang saksi :
a) Mukhalaf.
b) Muslim.
c) Saksi harus mengerti dan mendengar perkataan-perkataan yang diucapkan
pada waktu akad nikah. Saksi yang tuna rungu dan tuna wicara dapat

Universitas Sumatera Utara

36

menjadi saksi asal dapat memahami dan mengerti apa yang dilakukan
oleh pihak-pihak yang berakad.
d) Adil, yaitu orang yang taat beragama atau orang yang menjalankan
perintah Allah dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama.
Menurut Imam Syafi`i, syarat adil bagi seorang saksi adalah merupakan
keharusan, sedangkan menurut Imam Hanafi, saksi tidak harus adil.
Beliau

membolehkan

orang

fasiq

menjadi

saksi,

asal

dengan

kehadirannya dapat tercapai tujuan adanya saksi dalam akad nikah.
e) Saksi minimal dua orang laki-laki, jika ternyata tidak ada dua orang saksi
laki-laki, maka boleh dihadiri satu orang saksi laki-laki dan dua orang
saksi wanita. Ketentuan ini didasarkan firman Allah SWT dalam surat Al
Baqarah ayat (228) yang artinya berbunyi : “Dan persaksikanlah dengan
luar orang saksi dari orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki
dengan dua orang wanita dan saksi-saksi yang kamu ridhoi, jika yang
seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya.”
Dalam Pasal 26 KHI disebutkan bahwa saksi harus hadir dan
menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta
nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
3) Akad Nikah (Ijab dan Qabul)
Akad nikah adalah pernyataan sepakat dari pihak calon suami dan pihak calon
istri untuk mengikatkan diri mereka ke dalam tali perkawinan dengan menggunakan
sighat akad nikah, yaitu perkataan atau ucapan-ucapan yang diucapkan oleh calon

Universitas Sumatera Utara

37

suami dan calon istri yang terdiri atas ijab dan qabul Ijab ialah pernyataan penyerahan
dari pihak wanita yang biasanya dilakukan oleh wali calon mempelai wanita atau
wakilnya dengan maksud bahwa calon mempelai wanita bersedia dinikahkan dengan
calon mempelai pria, sedangkan qabul ialah pernyataan penerimaan yang sah atau
jawaban pihak calon mempelai pria atas ijab calon mempelai wanita, yang intinya
bahwa calon mempelai pria menerima kesediaan calon mempelai wanita menjadi
istrinya yang sah.
Ijab Qabul itu sifatnya langsung (tidak ditunda) dan tidak meragukan para
saksi. Sedangkan jarak waktu antara ijab ke qabul sekitar 1-2 detik. Kalau jarak
waktu itu tidak dipenuhi atau calon pengantin pria diam, merenung atau masih
memikir-mikir, akibatnya akad nikah itu harus diulang. Pengulangan dapat juga
terjadi kalau kabul tidak sama bunyinya dengan ijab, pengantin pria gemetar, gugup
atau berdebar sebelum mengucapkan qabul. Dan untuk pengulangannya calon
pengantin pria harus ditenangkan dahulu supaya qabulnya diucapkan dengan mantap
dan meyakinkan.
Mengenai pelaksanaan ijab qabul, Kompilasi Hukum Islam tetap menjatuhkan
pilihan :
a) Tetap bersifat “majelis” secara berhadapan langsung.
b) Apabila berhalangan dapat dikuasakan berdasarkan surat kuasa tanpa
mengurangi hak wanita untuk menolak.56

56

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU Nomor 7
Tahun 1989, Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2001, hal. 40

Universitas Sumatera Utara

38

Memperhatikan ketentuan Pasal 29 KHI, tidak membenarkan pelaksanaan ijab
kabul jarak jauh melalui sarana telekomunikasi. Dalam hal calon mempelai
berhalangan, KHI memilih alternatif dengan seorang kuasa. Lafaz nikahnya sebagai
berikut : Wali akan menyatakan : Saya nikahkan A bin R kepadamu dengan maskawin
Rp.12.500,00 tunai. Calon suami (A) segera mengucapkan kabul begitu selesainya
kata terakhir dari ijab wali dengan : Saya terima nikahnya A binti R dengan maskawin
Rp.12.500,00 tunai.
Lafaz nikah ini tidak perlu diulang lagi kalau benar-benar diucapkan dengan
tepat, tegas, dan jelas yang kesemuanya dinyatakan oleh para saksi setelah selesai ijab
kabul diucapkan. Berarti bahwa para saksi tidak meragukan ijab kabul itu. Dari lafaz
nikah ini terdapat kata-kata mengenai maskawin, ialah pemberian mutlak pengantin
pria kepada pengantin wanita. Pemberian itu dilakukan sesaat sebelum upacara ijab
kabul. Di dalam perkawinan Islam tidak ditetapkan batas pemberian mutlak yang
harus dilakukan baik mengenai jumlah, nilai, maupun bentuknya. Tetapi walaupun
demikian maskawin itu selalu merupakan benda yang mempunyai nilai sebagai tanda
kasih dan menjadi hak milik mutlak pengantin wanita setelah diserahkan.
Selain itu dilarang pemberian maskawin yang ditentukan jumlahnya dan tidak
terjangkau oleh pada umumnya anggota masyarakat misalnya maskawin 30 ekor
kerbau atau 10 kg emas. Agar sighat akad nikah tersebut sah, maka harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai : Pasal 28 KHI menyebutkan bahwa akad nikah dilaksanakan
sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan.
Selanjutnya Pasal 29 KHI mengatur bahwa :

Universitas Sumatera Utara

39

(1)Yang berhak mengucapkan qabul ialah calon mempelai secara pribadi.
(2)Dalam hal-hal tertentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain
dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara
tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai
pria.
(3)Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria
diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
Kalau syarat-syarat dan rukun-rukun perkawinan itu telah dipenuhi, maka
sahlah perkawinannya dan para pihak saat itu berubah status sebagai suami-istri.
Mereka hidup dalam satu kesatuan yang dinamakan keluarga. Dan sejak saat itulah
timbul hak dan kewajiban sebagai suami-istri.
b. Syarat-syarat Menikah
Syarat ialah segala sesuatu yang telah ditentukan dalam hukum Islam sebagai
norma untuk menetapkan sahnya perkawinan sebelum dilangsungkan. Syarat-syarat
yang perlu dipenuhi seseorang sebelum melangsungkan perkawinan menurut R.
Abdul Djamali yang dikutip dalam bukunya Hukum Islam, ada enam yaitu :57
1) Persetujuan kedua belah pihak tanpa paksaan
Calon suami-istri mempunyai dorongan (motivasi) yang sama untuk
membentuk suatu kehidupan keluarga. Motivasi mereka itu sebagai persetujuan
masing-masing yang diperoleh dengan adanya saling mengerti dan berkeinginan
57

R. Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-Asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II)
Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1992, hal. 7881

Universitas Sumatera Utara

40

lanjut berpartisipasi dalam membentuk satu keluarga. Dan keinginan itu sebagai
persetujuan kedua belah pihak yang tidak dapat dipaksakan oleh pihak lain baik orang
tua maupun orang yang dituakan dalam keluarga masing-masing.
2) Dewasa
Ukuran kedewasaan seseorang tidak dilihat dari usia melainkan dari
kedewasaan fisik dan psikis yang sekurang-kurangnya ada tanda-tanda kematangan
diri. Hal ini ditentukan dari mulai bekerjanya kelenjar kelamin seseorang. Dan tandatanda itu bagi seorang pria sejak pertama kali menghasilkan sperma (baliqh) dan bagi
seorang wanita sejak menstruasi pertama. Tetapi ukuran itu tidak mutlak, karena yang
dimaksud dengan kedewasaan fisik yang ditempuh oleh hukum Islam sesuai ilmu
kesehatan bagi setiap bangsa yang mungkin ada perbedaannya. Sedangkan
kedewasaan psikis dimaksudkan bahwa bagi para pihak telah memiliki kesehatan
mental yang baik, mempunyai rasa tanggung jawab sebagai suami-istri terutama
dalam mendidik anak-anaknya dengan wajar dan terhormat.
3) Kesamaan agama Islam
Kedua belah pihak pemeluk agama Islam yang sama. Hal ini dimaksudkan
bahwa dalam memelihara keturunan yang sah tidak ada pertentangan memperebutkan
atau mengalahnya salah satu pihak untuk terwujudnya keagamaan keturunan mereka
itu.
Bagi seorang wanita Islam dilarang melakukan perkawinan dengan seorang
pria lain agama dan hukumnya haram. Larangan itu dimaksudkan untuk menjaga dan

Universitas Sumatera Utara

41

memelihara keturunan yang sah sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan bagi seorang
pria Islam yang kuat imannya diperkenankan melakukan perkawinan dengan seorang
wanita lain agama, asalkan bukan wanita penyembah berhala kecuali bertobat dan
bersedia memeluk agama Islam.
4) Tidak dalam hubungan nasab
Hubungan nasab, ialah hubungan keluarga dekat baik dari pihak ibu maupun
bapak. Syarat ini diperlukan karena hubungan darah yang dekat baik secara vertikal
maupun horisontal tidak dikehendaki, sebab perkawinan dalam keturunan satu darah
masih merupakan satu keluarga besar. Dan kalau dilihat dari dunia kedokteran
banyak terjadi kemungkinan-kemungkinan kelainan perkembangan kesehatan dari
keturunan itu, sedangkan dari segi psikologi banyak terlihat adanya kelainan psikis
dan mental kalau sampai dilangsungkan perkawinan dalam satu hubungan darah.
5) Tidak ada hubungan rodhoah
Rodhoah ialah sepersusuan, maksudnya bahwa antara pria dan wanita yang
akan melangsungkan perkawinan itu pernah mendapat air susu satu ibu ketika masih
bayi walaupun keduanya orang lain. Antara pria dan wanita itu haram hukumnya
kalau melangsungkan perkawinan. Dalam hubungan rodhoab ini haram juga
hukumnya kalau yang menikah saudara-saudara suami, paman, bibi dan keponakan
dari ibu, yang akan menikah dengan anak sepersusuannya.
6) Tidak semenda (mushoharoh)

Universitas Sumatera Utara

42

Kedua calon suami-istri tidak mempunyai hubungan perkawinan seperti
antara bapak/ibu dan menantu, anak dan bapak/ibu tiri, anak bawaan dalam
perkawinan ibu/bapak.
Selain syarat yang dikemukakan di atas, maka ada syarat-syarat khusus bagi
seorang wanita yang nantinya akan menjadi ibu rumah tangga sesaat setelah
melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat khusus itu ialah :
a) Pihak pria tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat orang ketika akan
melangsungkan perkawinan. Kalau pria itu telah beristri 4 orang, maka
perkawinan yang ke 5 tidak sah.
b) Perkawinan poligami tidak boleh dirangkap antara istri yang masih ada hubungan
darah dengan calon istri berikutnya, seperti kakak beradik dalam bersamaan
menjadi istri-istri seorang pria.
c) Tidak ada perceraian “li`an”, artinya antara suami-istri terdahulu tidak bercerai
karena sumpah sebagai akibat suami menuduh istri berbuat serong atau tuduhan
istri bahwa suami berbuat serong. Kalau tuduhan tidak terbukti dan tidak
mempunyai saksi lengkap, maka penyelesaian tuduhan terhadap para pihak harus
bersumpah sebanyak empat kali dan sumpah yang kelima dilakukan dengan
memohon kutukan bagi yang berbohong. Setelah sumpah itu selesai diucapkan di
hadapan sidang Pengadilan Agama maka hakim akan memutuskan cerai li`an
untuk selama-lamanya. Dan mereka tidak boleh melakukan perkawinan kembali
antar sesamanya.

Universitas Sumatera Utara

43

d) Calon pengantin wanita tidak dalam ikatan perkawinan. Artinya kalau ia masih
dalam hubungan perkawinan walaupun tidak seatap atau tidak diketahui domisili
suaminya, maka tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan seorang pria lain.
Dan dalam keadaan pisah meja dan ranjang (scheiding van tafel en bed) pun harus
ada perceraian dahulu karena statusnya masih seorang istri.
e) Calon istri tidak dalam masa iddah, artinya ia tidak dalam jangka waktu tunggu.
Dan dalam jangka waktu tunggu itu terdiri atas :
(1) Ditinggal suami karena meninggal dunia selama 4 bulan 10 hari tidak dalam
keadaan hamil. Kalau ada tanda kehamilan sejak ditinggal suami, maka harus
menunggu kelahiran bayinya.
(2) Cerai biasa, iddahnya tiga kali suci bagi wanita yang masih menstruasi. Kalau
wanita itu hamil, maka iddahnya sesudah melahirkan.
(3) Iddah tiga bulan lamanya bagi seorang wanita yang telah berhenti menstruasi.
Sedangkan bagi wanita yang belum pernah melakukan hubungan seksual
dalam perkawinannya, maka tidak ada iddah.
Hikmah dari iddah ini sebenarnya untuk menentukan kebersihan wanita
selama menjadi ibu rumah tangga, sehingga kalau melahirkan anak setelah putusnya
perkawinan akan menjadi keyakinannya bahwa anak itu sebagai keturunannya.
4. Halangan (Mahram) Menikah
a. Pengertian Mahram
Kata Mahram berasal dari bahasa Arab yaitu Mahram, Mahram memiliki arti
sesuatu yang dilarang. Dalam fiqih istilah mahram ini digunakan untuk menyebut

Universitas Sumatera Utara

44

wanita yang haram dinikahi oleh pria.58 Sedangkan mahram dimasyarakat lebih
dikenal dengan istilah khusus yaitu haram dinikahi karena masih termasuk keluarga
dan dalam mazhab Syafi’i dengan tambahan tidak membatalkan wudhu bila disentuh.
Dan selanjutnya sebagai penunjang penjelasan pengertian mahram lebih banyak lagi
maka dibawah ini akan dijelaskan beberapa pendapat para mujtahid sebagai berikut:
1) Imam Ibnu Atsir rahimahullah berkata, ”Mahram adalah orang-orang yang
haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman,
dan lain-lain” (definisi diatas adalah mahram dalam pengertian umum).
2) Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, “Mahram adalah semua orang
yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan
dan pernikahan.”
3) Menurtut Syaikh Sholeh Al-Fauzan, “Mahram wanita adalah suaminya dan
semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti
bapak, anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain seperti
saudara sepersusuannya, ayah atau pun anak tirinya”. 59
Dari pengertian-pengertian di atas, bahwa mahram adalah orang-orang yang
haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman (sebab
nasab), sepersusuan, dan pernikahan. Masalah tentang Mahram disinggung didalam
Al-Qur’an seperti dalam surat An-Nisa ayat (23), yang artinya:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu
58
59

Abdurrahman,Ghazali.Fiqh Munakahat, Prenada Media, Bogor, 2003, hal. 124
Sahrani, Sohari, Sahrani.Fikih Munakahat, Raja Wali Pers, Jakarta, 2009, hal. 98

Universitas Sumatera Utara

45

yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu
yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.60
Dari ayat ini dapat dirinci ada beberapa kriteria orang yang haram dinikahi.
Dan sekaligus juga menjadi orang yang boleh melihat bagian aurat tertentu dari
wanita. Mereka adalah :61
1) Ibu kandung
2) Anak-anakmu yang perempuan
3) Saudara-saudaramu yang perempuan
4) Saudara-saudara bapakmu yang perempuan
5) Saudara-saudara ibumu yang perempuan
6) Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki
7) Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan
8) Ibu-ibumu yang menyusui kamu
9) Saudara perempuan sepersusuan
10) Ibu-ibu isterimu

60
61

Al-Qur’an dan Hadits Digital:Hadits&Qur’anWeb3
Sahrani, Sohari, Sahrani.Fikih Op.Cit., hal. 99

Universitas Sumatera Utara

46

11) Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri
12) Isteri-isteri anak kandungmu
b. Macam-macam Mahram
Secara garis besar larangan-larangan perkawinan dalam Syara’ itu dibagi dua,
yaitu; Keharaman yang bersifat Abadi (Tahrim Mu’abbad), dan keharaman yang
bersifat sementara (Tahrim Mu’aqqat).62
Di antara halangan-halangan abadi ada yang telah disepakati dan ada pula
yang masih diperselisihkan, yang telah disepakati ada tiga yaitu:
1) hubungan keturunan atau nasab
2) hubungan kekeluargaan karena tali pernikahan atau besanan
3) hubungan persusuan
Sedangkan yang diperselisihkan ada dua yaitu:
1) Zina
2) Li’an
Imam Syafi’I dan Imam Malik bependapat bahwa zina dengan seorang wanita
tidak menyebabkan haramnya menikahi ibu wanita tersebut atau anak wanitanya.
Sedangkan menurut Abu Hanifah, Tsauri, dan Auza’I berpendapat bahwa zina
menyebabkan keharaman.

62

Mochammad Anwar, Fiqih Islam : Muamalah, Munakahat, Paroid, dan Jinayah, PT. alMa’arif, 2010, hal. 40

Universitas Sumatera Utara

47

Keharaman yang bersifat sementara yaitu karena bilangan, mengumpulkan,
kafir, ihram, sakit, iddah, perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikan, dan
halangan peristrian.63
1) Tahrim Mu’abbad (Keharaman yang Bersifat Abadi)
(a) Larangan menikah karena nasab64
Mahram karena nasab adalah mahram yang berasal dari hubungan darah atau
hubungan keluarga. Allah Ta’ala berfirman dalam surat An-Nur ayat (31), yang
artinya:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lakilaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki
yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan
kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah
kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.65
Para ulama’ tafsir menjelaskan, “Sesungguhnya lelaki yang merupakan
mahram bagi wanita adalah yang disebutkan dalam ayat di atas, adalah:66
1) Ayah Termasuk dalam kategori bapak yang merupakan mahram bagi wanita
adalah kakek, baik kakek dari bapak maupun dari ibu. Juga bapak-bapak
63

Abdurrahman,Ghazali.Fiqh Munakahat, Prenada Media, Bogor, 2003,hal. 124
Slamet, Abidin,Fiqih Munakahat, Pustaka Setia, Bandung, 1999, hal. 98
65
Al-Qur’an dan Hadits Digital:Hadits&Qur’anWeb3
66
Slamet, Abidin, Op.Cit,hal. 98

64

Universitas Sumatera Utara

48

mereka ke atas. Adapun bapak angkat, maka dia tak termasuk mahram bagi
wanita. Hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT, yang artinya, “Dan Allah
tak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu.” (Qs. AlAhzab: 4)
2) Anak laki-laki termasuk dalam kategori anak laki-laki bagi wanita adalah
cucu, baik cucu dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan keturunan
mereka. Adapun anak angkat, maka dia tak termasuk mahram berdasarkan
pada keterangan di atas.
3) Saudara laki-laki, baik saudara laki-laki kandung maupun saudara sebapak
ataupun seibu saja. Saudara laki-laki tiri yang merupakan anak kandung dari
bapak saja atau dari ibu saja termasuk dalam kategori mahram bagi wanita.
4) Keponakan, baik keponakan dari saudara laki-laki maupun perempuan & anak
keturunan mereka. Kedudukan keponakan dari saudara kandung maupun
saudara tiri sama halnya dengan kedudukan anak dari keturunan sendiri.
5) Paman, baik paman dari bapak ataupun paman dari ibu. Syaikh Abdul Karim
Zaidan mengatakan dalam Al-Mufashal Fi Ahkamil Mar’ah “Tidak
disebutkan bahwa paman termasuk mahram dalam ayat ini (QS. An-Nur: 31)
karena kedudukan paman sama seperti kedudukan kedua orang tua, bahkan
kadang-kadang paman juga disebut sebagai bapak. Allah Ta’ala berfirman
didalam surat Al-Baqarah: 133 yang artinya: “Adakah kamu hadir ketika
Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anakanaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab,

Universitas Sumatera Utara

49

“Kami akan menyembah Tuhanmu & Tuhan bapak-bapakmu Ibrahim, Ismail
& Ishaq.” Sedangkan Isma’il adalah paman dari putra-putra Ya’qub. Dan
bahwasanya paman termasuk mahram adalah pendapat jumhur ulama’.
Berdasarkan ayat di atas wanita yang haram dinikahi karena nasab adalah:
1) Ibu dan garis keturunannya keatas
2) Anak dan urutannya kebawah, seperti cucu perempuan. Adapun anak wanita
dari hasil berzina, menurut pendapat yang shahih boleh dinikahi ayahnya,
namun hukumnya makruh.
3) Saudara perempuan seibu seayah, atau seayah saja, atau seibu saja.
4) Bibi (saudara perempuan ayah)
5) Bibi (saudara perempuan ibu)
6) Keponakan dari saudara perempuan
7) Keponakan dari saudara laki-laki.
Mereka adalah tujuh orang wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki yang
memiliki hubungan dengannya secara abadi.
(b) Larangan Menikah karena Hubungan Sepersusuan67
Ar-radha’ah atau sepersusuan adalah masuknya air susu seorang wanita
kepada anak kecil dengan syarat-syarat tertentu. Larangan menikah karena hubungan
sepersusuan berdasarkan pada lanjutan surat An-Nisa: 23
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan….”
67

Slamet, Abidin,Op.Cit.,hal. 100

Universitas Sumatera Utara

50

Sedangkan sepersusuan yang menjadikan seseorang menjadi mahram adalah
sebanyak lima kali persusuan, berdasar pada hadits dari `Aisyah radhiyallahu `anha,
beliau berkata, “Termasuk yang di turunkan dalam Al Qur’an bahwa sepuluh kali
persusuan dapat mengharamkan (pernikahan) kemudian dihapus dengan lima kali
persusuan.” (HR. Muslim)68
Hubungan mahram yang berasal dari persusuan telah disebutkan oleh Allah
SWT dalam firman-Nya tentang wanita-wanita yang haram untuk dinikahi, yang
artinya, “Juga ibu-ibu yang menyusui kalian serta saudara-saudara kalian dari
persusuan.” (Qs. An-Nisa’: 23)
Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa mahram bagi wanita dari
sebab persusuan adalah seperti mahram dari nasab, yaitu:
1) Bapak persusuan (suami ibu susu), termasuk mahram juga kakek persusuan
yaitu bapak dari bapak atau ibu persusuan, juga bapak-bapak mereka ke
atas. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Sesungguhnya Aflah
saudara laki-laki Abi Qu’ais meminta izin utk menemuiku setelah turun ayat
hijab, maka saya berkata, “Demi Allah, saya tak akan memberi izin kepadamu
sebelum saya minta izin kepada Rasulullah, karena yang menyusuiku bukan
saudara Abi Qu’ais, akan tetapi yang menyusuiku adalah istri Abi Qu’ais.
Maka tatkala Rasulullah datang, saya berkata, ”Wahai Rasulullah,
sesungguhnya lelaki tersebut bukanlah yang menyusuiku, akan tetapi yang

68

Ibid., hal 101

Universitas Sumatera Utara

51

menyusuiku adalah saudara istrinya. Maka Rasulullah bersabda, “Izinkan
baginya, karena dia adalah pamanmu.” (HR. Bukhari)69
2) Anak laki-laki dari ibu susu, termasuk anak susu adalah cucu dari anak susu
baik laki-laki maupun perempuan. Juga anak keturunan mereka.
3) Saudara laki-laki sepersusuan, baik dia saudara susu kandung, sebapak
maupun cuma seibu.
4) Keponakan persusuan (anak saudara persusuan), baik anak saudara persusuan
laki-laki maupun perempuan, juga keturunan mereka.
5) Paman persusuan (saudara laki-laki bapak atau ibu susu)
Beberapa macam pokok masalah tentang mahram sepersusuan.70
1) Mengenai kadar air susu yang menyebabkan keharaman.
Imam Hanafi dan Imam Malik berpendapat, tidak ada ketentuan mengenai
kadarnya, berapapun kadarnya menyebabkan keharaman. Sedangkan Imam Syafi’i
berpendapat yang menyebabkan keharaman adalah lima kali susuan.71
2) Keadaan orang yang menyusui
Ada beda pendapat dalam hal ini, apabila seorang anak tidak membutuhkan
lagi susu sebelum usia dua tahun, lalu disapih, kemudian disusui lagi oleh wanita lain.
Imam Malik berpendapat bahwa penyusuan tersebut tidak mengharamkan. Sedangkan
Imam Hanafi dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa penyusuan tersebut menyebabkan
keharaman.72

69

Sidi, Gazalba, Menghadapi Soal-soal Perkawinan, Pustaka Antara, Jakarta, 1995, hal. 57
Ibid.
71
Amin Farih, Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, Wali Songo Press, Semarang,
2009, hal. 15
70

Universitas Sumatera Utara

52

3) Kesaksian atas susuan
Imam Malik berpendapat, bahwa persaksian tersebut hanya bisa diterima
dengan kesaksian dua orang wanita. Imam Syafi’i berpendapat, persaksian tersebut
hanya bisa diterima dengan kesaksian empat orang wanita. Imam Hanafi berpendapat
bahwa boleh kesaksian satu orang wanita.73
4) Sifat wanita yang menyusui
Fuqaha sependapat bahwa air susu semua orang wanita itu menyebabkan
keharaman, baik yang masih haid atau tidak haid lagi, baik mempunyai suami atau
tidak, hamil atau tidak.74
(c) Larangan Menikahi Wanita Yang Diharamkan karena Hubungan Pernikahan
(Mushaharah)75
Mushaharah berasal dari kata ash-Shihr. Imam Ibnu Atsir rahimahullah
berkata, “Shihr adalah mahram karena pernikahan”. Contohnya, mahram yang
disebabkan oleh mushaharah bagi ibu tiri adalah anak suaminya dari istri yang lain
(anak tirinya) dan mahram mushaharah bagi menantu perempuan adalah bapak
suaminya (bapak mertua), sedangkan bagi ibu istri (ibu mertua) adalah suami
putrinya (menantu laki-laki).
Hubungan mahram yang berasal dari pernikahan ini disebutkan oleh Allah
SWT dalam tiga ayat firman-Nya,yaitu:
72

A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2010, hal. 58
Slamet, Abidin,Op.Cit., hal. 101
74
Muhammad Mas’hum Zainy Al-Hasyimiy, Ilmu Ushul Fiqh, Darul Hikmah, Jombang,
2008, hal. 62
75
Ibid.
73

Universitas Sumatera Utara

53

1) Qs. An-Nur: 31
Artinya, “dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra
mereka, atau putra-putra suami mereka.
2) Qs. An-Nisa’: 22
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu
(ibu tiri).”
3) Qs. An-Nisa’: 23
“Diharamkan atas kamu (mengawini) … ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak
istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
tak berdosa kamu mengawininya, & istri-istri anak kandungmu (menantu).”
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa orang-orang yang
haram dinikahi selama-lamanya karena sebab mushaharah adalah:
1) Ayah mertua (ayah suami)
Mencakup ayah suami atau bapak dari ayah & ibu suami juga bapak-bapak
mereka keatas.
2) Anak tiri (anak suami dari istri lain)
Termasuk anak tiri adalah cucu tiri baik cucu dari anak tiri laki-laki maupun
perempuan, begitu juga keturunan mereka.
3) Ayah tiri (suami ibu tapi bukan bapak kandungnya)

Universitas Sumatera Utara

54

Haramnya pernikahan dengan ayah tiri ini berlaku ketika ibunya telah jima’
dengan ayah tirinya sebelum bercerai. Namun, jika belum terjadi jima’, maka
diperbolehkan. Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seluruh wanita
yang pernah dinikahi oleh bapak maupun anakmu, maka dia haram bagimu.”
4) Menantu laki-laki (suami putri kandung)
Kemahraman ini terjadi sejak putrinya di akadkan kepada suaminya.
2) Tahrim Muaqqat (keharaman yang bersifat sementara)76
Kemahraman ini bersifat sementara, bila terjadi sesuatu laki-laki yang tadinya
tidak menikahi seorang wanita, menjadi boleh menikahinya. Diantara para wanita
yang termasuk ke dalam kelompok haram dinikahi secara sementara waktu saja
adalah :
1) Istri orang lain, tidak boleh dinikahi tapi bila sudah diceraikan oleh suaminya,
maka boleh dinikahi.
2) Saudara ipar, atau saudara wanita dari istri. Tidak boleh dinikahi tapi juga
tidak boleh khalwat atau melihat sebagian auratnya. Hal yang sama juga
berlaku bagi bibi dari istri. Namun bila hubungan suami istri dengan saudara
dari ipar itu sudah selesai, baik karena meninggal atau pun karena cerai, maka
ipar yang tadinya haram dinikahi menjadi boleh dinikahi. Demikian juga
dengan bibi dari istri.

76

Ahmad, Beni Saebani. Fiqh Munakahat. Pustaka Setia, Bandung, 2003, hal.127

Universitas Sumatera Utara

55

3) Wanita yang masih dalam masa Iddah, yaitu masa menunggu akibat dicerai
suaminya atau ditinggal mati. Begitu selesai masa iddahnya, maka wanita itu
halal dinikahi.
4) Istri yang telah ditalak tiga, untuk sementara haram dinikahi kembali. Tetapi
seandainya atas kehendak Allah dia menikah lagi dengan laki-laki lain dan
kemudian diceraikan suami barunya itu, maka halal dinikahi kembali asalkan
telah selesai iddahnya dan posisi suaminya bukan sebagai muhallil belaka.
5) Menikah dalam keadaan Ihram, seorang yang sedang dalam keadaan berihram
baik untuk haji atau umrah, dilarang menikah atau menikahkan orang lain.
Begitu ibadah ihramnya selesai, maka boleh dinikahi.
6) Menikahi wanita budak padahal mampu menikahi wanita merdeka. Namun
ketika tidak mampu menikahi wanita merdeka, boleh menikahi budak.
7) Menikahi wanita pezina, dalam hal ini selama wanita itu masih aktif
melakukan zina. Sebaliknya, ketika wanita itu sudah bertaubat dengan taubat
nashuha, umumnya ulama membolehkannya.
8) Menikahi istri yang telah dili`an, yaitu yang telah dicerai dengan cara
dilaknat.
9) Menikahi wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita musyrikah.
Namun begitu wanita itu masuk Islam atau masuk agama ahli kitab,
dihalalkan bagi laki-laki muslim untuk menikahinya.
Bentuk kemahraman yang ini semata-mata mengharamkan pernikahan saja,
tapi tidak membuat seseorang boleh melihat aurat, berkhalwat dan bepergian

Universitas Sumatera Utara

56

bersama. Mahram yang bersifat muaqqat atau sementara, yang membolehkan semua
itu hanyalah bila wanita itu mahram yang bersifat abadi.
c. Dalil Tentang Mahram Didalam Al-Qur’an dan Hadits
Terkait dengan dalil mahram baik itu dalam Al-Qur’an atau hadits sebetulnya
sudah disinggung dalam penjelasan-penjelasan diatas tadi tapi pemateri akan
memaparkannya lagi yaitu sebagai berikut: 77
a) Dalam Al-Qur’an
(1) Dalam surat An-Nur ayat (31), yang artinya:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lakilaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki
yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan
kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah
kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.
(2) Dalam surat An-Nisa’ ayat (23), yang artinya:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu
yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu
yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
77

Al-Qur’an dan Hadits Digital:Hadits&Qur’anWeb3

Universitas Sumatera Utara

57

tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(3) Dalam surat Al-Ahzab ayat (4), yang artinya:
“Dan Allah tak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu.”
(4) Dalam surat An-Nisa’ ayat (22), yang artinya:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu
(ibu tiri).”
b) Dalam Hadits
(1) Tentang Sepersusuan
Maka tatkala Rasulullah datang, saya berkata, ”Wahai Rasulullah,
sesungguhnya lelaki tersebut bukanlah yang menyusuiku, akan tetapi yang
menyusuiku adalah saudara istrinya. Maka Rasulullah bersabda, “Izinkan baginya,
karena dia adalah pamanmu.” (HR. Bukhari)78
B. Pengaturan Poligami
1.

Poligami Sebelum Islam
Sebelum Islam, bangsa Yahudi membolehkan poligami. Nabi Musa tidak

melarang dan bahkan tidak membatasi jumlah istri seseorang yang berpoligami itu.
Kitab Ulangan 25/5 mewajibkan saudara laki-laki mengawini janda saudaranya yang
meninggal tanpa anak, meskipun ia telah beristri. Kitab Ulangan 21/10-17 juga

78

Slamet, Abidin,Op.Cit., hal. 108

Universitas Sumatera Utara

58

mengatakan kebolehan poligami, seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Nabi
Ibrahim pun beristri dua orang dan Nabi Ya’qub beristri empat orang.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa jauh sebelum kedatangan Nabi Muha