Konsep adil dalam poligami (analisis perspektif hukum Islam dan Undang-undang no.1 tahun 1974)

(1)

KONSEP ADIL DALAM POLIGAMI

(Analisis Perspektif Hukum Islam

Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum

untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Abdul Khoir

NIM: 106044101375

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/ 2010 M


(2)

Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum

untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh: Abdul Khoir NIM: 106044101375

Dibawah bimbingan :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.H.Umar Haddad, MA Dr.Hj.Mesraini, MA NIP. 196 809 041 994 011 001 NIP. 197 602 132 003122 001

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/ 2010 M


(3)

i

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, yang telah memberikan nikmat iman, Islam dan atas rahmat serta dengan petunjuk dan bimbingan-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Konsep Adil dalam Poligami (Analisis Perspektif Hukum Islam dan UU No.1 Tahun 1974)”.

Lantunan shalawat dan salam tak lupa penulis kepada Nabi besar kita Muhammad Saw semoga selalu tercurahkan, yang telah membawa umat-Nya dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang dengan dien yang diridhai oleh Nya.seperti yang dirasakan Ummat-Nya saat ini.

Penulis menyadari, bahwa tugas ini selesai bukan semata-mata dari buah tangan penulis sendiri, akan tetapi tugas ini selesai karena adanya dorongan, motivasi, bimbingan, do’a dan bantuan yang senantiasa mengalir dari para hamba Allah SWT baik secara langsung atau tidak langsung. Mereka yang dengan tulus hati meluangkan waktunya dan memberikan inspirasi kepada penulis, pastinya tugas ini akan lebih berat tanpa adanya mereka. Melalui kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis persembahkan untaian kata terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(4)

ii

Ahwal Syakhshiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr.H.Umar Haddad dan Dr.Hj.Mesraini, MA, Selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

4. Dr. Hj. Azizah, MA dan Rosdiana, MA, selaku penguji yang telah memberikan kritik konstruktif dalam penulisan skripsi ini.

5. Segenap Ibu dan Bapak Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi ilmu yang tidak ternilai kepada penulis.

6. Pimpinan dan Karyawan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan referensi yang diperlukan penulis.

7. Ayahanda H. Khomsi dan Ibunda tercinta Hj. Ummi Kultsum serta kakak-kakak & adik-adik tersayang yang telah memberikan motivasi dan doa serta dukungan materiil kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan S1.

8. Kepada Eva Latifah yang selalu setia mendampingi penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

9. Kepada semua sahabat-sahabatku yang telah memberikan dukungan dan supportnya kepada penulis. Yang selalu meluangkan waktu, tenaga, dan perhatiannya serta teman-teman seperjuangan, khususnya sahabat-sahabat PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) KOMFAKSYAHUM, teman-teman Fakultas Syariah dan Hukum Konsentrasi Peradilan Agama angkatan 2006 serta semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu,


(5)

iii

atas segala bantuan, informasi serta motivasi yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, penulis haturkan terima kasih yang mendalam atas segala keikhlasan dukungan, motivasi, pengarahan serta bantuan baik moril maupun materiil. Penulis hanya mampu berdoa semoga Allah membalas semua amal perbuatan dengan kasih sayang-Nya. Harapan penulis, mudah-mudahan skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi penulis maupun bagi pembaca. Amin.

Jakarta, 30 Agustus 2010 M 20 Ramadhan 1431 H


(6)

iv

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kerangka Pemikiran ... 6

E. Metodologi Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II : PERKAWINAN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG

PERKAWINAN

A. Pengertian Perkawinan ... 15

B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ... 18

C. Pengertian Poligami ... 20

D. Syarat-Syarat Poligami ... 22

E. Hak Istri yang Dipoligami ... 26

BAB III : PRO DAN KONTRA PRAKTEK PERKAWINAN

POLIGAMI

A. Kondisi Obyektif ... 32

B. Praktik Poligami Versus Ketidakadilan Gender ... 46


(7)

v

BAB IV : ANALISIS KEADILAN DALAM PERKAWINAN

POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN

UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1

TAHUN 1974 ASPEK SOSIOLOGIS YURIDIS

A. Analisis Sosiologis Yuridis Poligami dalam Hukum Islam..64 B. Makna Adil dalam Poligami Perspektif Hukum Islam ... 73 C. Makna Adil dalam Poligami Perspektif UU NO. 1 Tahun

1974 ... 76 D. Analisis Penulis ... 80

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 82 B. Kritik dan Saran ... 83


(8)

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kerangka Pemikiran ... 5

E. Metodologi Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II : PERKAWINAN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

A. Pengertian Perkawinan ... 15

B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ... 18

C. Pengertian Poligami ... 21

D. Syarat-Syarat Poligami ... 22

E. Hak Istri yang Dipoligami ... 27

BAB III : PRO DAN KONTRA PRAKTIK PERKAWINAN

POLIGAMI

A. Kondisi Obyektif ... 33

B. Praktik Poligami Versus Ketidakadilan Gender ... 47


(9)

BAB IV : ANALISS KEADILAN DALAM PERKAWINAN

POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN

UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1

TAHUN 1974 ASPEK SOSIOLOGIS YURIDIS

A. Analisis Sosiologis Yuridis Poligami dalam Hukum Islam ... 65 B. Makna Adil dalam Poligami Perspektif Hukum Islam ... 74 C. Makna Adil dalam Poligami Perspektif UU NO. 1 Tahun 1974... 77

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 71 B. Kritik dan Saran ... 72


(10)

A.

Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.1

Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dalam berhubungan secara bebas tanpa aturan.

Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan

hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling suka, dengan ucapan ijab qabul sebagai lambang adanya rasa saling suka dan dengan dihadiri oleh para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan tersebut telah terikat secara sah menurut syari’at agama Islam.

Perkawinan ini, sebagaimana diungkapkan Sayyid Sabiq yang dikutip oleh Abd Rahman Ghazaly, telah memberikan jalan yang aman pada naluri seks, memelihara keturunan dengan baik, dan menjaga kaum perempuan agar menjadi seseorang yang terhormat.2 Pergaulan suami istri menurut ajaran Islam diletakan di bawah naluri keibuan dan kebapakan sebagaimana ladang yang baik nantinya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan menghasilkan buah yang baik

      

1

Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Pustaka Setia, 1997 ), h.39  2

Abd. Rahman Al-Jaziry, Al-Fqih Ala Madzahibil Arba’ah, (Mesir : Dar Al Ihya, 1969), h.284-285 


(11)

2

pula.

Dengan pernikahan, ikatan mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang) antara suami dan istri akan semakin bertambah. Masing-masing merasakan ketenangan, kelembutan dan keramahan serta mendapatkan kebahagiaan di bawah naungan satu dengan yang lainnya. Suami yang selesai bekerja, kemudian kembali ke rumahnya di sore hari dan berkumpul bersama keluarga, ia akan melupakan semua duka yang ia temui di siang hari dan segala kelelahan yang dirasakannya pada waktu bekerja.

Masing-masing dari pasangan suami-istri tersebut satu sama lainnya menemukan ketenangan jiwa pada saat perjumpaannya. Keduanya saling merasakan kedamaian hati dan kegembiraan pada detik-detik pertemuan. Begitupula, anggota keluarga yang lain juga merasa tentram disebabkan perhatian dan tanggung jawab sang ayah. Semua tugas dan peran masing-masing pihak dalam keluarga dijalankan dengan baik sehingga akan senantiasa tercipta keharmonisan dalam hidup.

Hal tersebut di atas tidak selamanya terjadi dalam sebuah keluarga, dahsyatnya pengaruh globalisasi yang mewarnai setiap sisi kehidupan manusia telah mengakibatkan terjadinya dekadensi (kemerosotan) moral, lebih-lebih pada hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial. Setiap saat kita dikejutkan dengan berbagai pemberitaan mengenai perkosaan, perselingkuhan, dan pergaulan bebas. Anak-anak yang tidak berdosa lahir tanpa memiliki status ayah yang legal (sah), aborsi telah menjadi trend dewasa ini sehingga tidak lagi dianggap sebagai perbuatan memalukan. Gelombang WIL (Wanita Idaman Lain) atau PIL (Pria


(12)

Idaman Lain) tidak ada yang bisa menghentikannya. Sementara kejahatan yang bernama pemerkosaan dan perzinaan terus mengalir bak air bah yang sulit dibendung.

Islam merupakan agama sempurna, persoalan-persoalan kemanusiaan sebagaimana pemaparan di atas, direspon melalui sebuah syari’at Agama yang disebut dengan poligami, yang dalam pengertian sederhana berarti memiliki istri lebih dari satu 3.

Islam telah menghalalkan seorang suami untuk melakukan poligami apabila ia telah memenuhi kriteria yang ditentukan. Namun demikian, pelaksanaan poligami ini bukan tanpa hambatan, tantangan maupun resiko yang

ada. Melihat bagaimana reaksi sebagian umat Isam ketika melihat da’i

panutannya, KH.Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) telah melakukan poligami, mayoritas jama’ahnya menjadi antipati terhadap sang ustadz.

Reaksi dari sebagian umat Islam yang merespon negatif pelaksanaan poligami di atas, telah menyiratkan ada suatu gejala psikologis yang terjadi terutama bagi orang-orang yang melakukan poligami. Reaksi berlebihan yang ditunjukkan oleh sebagian umat Islam melalui berbagai media telah menjadikan poligami ini seolah-olah merupakan sesuatu hal yang buruk bahkan terlarang untuk dilakukan.

Dalam kaitan ini, poligami yang mensyaratkan adil dalam perspektif kajian adil dalam hukum Islam dan konsep adil dalam perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menarik untuk dikaji lebih komprehensip, sehingga pada

      

3


(13)

4

akhirnya menemukan kesimpulan yang lebih arif dalam menyikapi polemik praktik poligami di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Skripsi ini penulis sajikan sebagai bentuk keikutsertaan dalam menjawab polemik poligami, sehingga pada gilirannya diharapkan menjadi salah satu bahan rujukan seputar poligami. Oleh karenanya penulis menguraikan pendapat-pendapat ulama dan ahli hukum nasional terkait adil sebagai syarat poligami.

Berawal dari latar belakang di atas, penulis tertarik melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai poligami terutama berkaitan dengan syarat berpoligami menurut Hukum Islam (Qur’an dan Hadits) maupun hukum Nasional Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan).

B.

Perumusan Masalah

1. Perumusan Masalah

Pada prinsipnya perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah sunnatullah yang diajarkan dalam agama Islam. Perkawinan memiliki nilai ibadah terhadap Allah SWT dan humanisme yang tinggi serta melalui perkawinan pula umat Islam telah melaksanakan sunnah nabi Muhammad.

Seperti diketahui bahwa Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme, pertanyaannya kemudian apakah Islam yang mengenal perkawinan poligami adalah bentuk inkonsistensi ajaran Islam. Masih membahas soal poligami, Islam juga mengharuskan perlakuan adil seorang suami terhadap istri-istri yang dipoligami. Lantas bagaimanakah konsep adil yang diharapkan dalam pelaksanaan poligami, baik ditinjau dari tuntunan ajaran Islam atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974?


(14)

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan permasalahan ini dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1) Bagaimana perkawinan poligami dalam perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974?

2) Bagaimana tanggapan masyarakat tentang praktek perkawinan poligami? 3) Bagaimana konsep adil dalam berpoligami menurut Hukum Islam dan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan? 2. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini terfokus, maka masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya pada pembahasan konsep Adil, yakni perlakuan suami yang menyamaratakan para istri yang dipoligami pada hal-hal yang dapat diukur baik secara materi atau immateri sebagai syarat poligami dalam perspektif hukum Islam dan Undag-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

C.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka skripsi ini di susun dengan tujuan untuk:

1. Mengetahui makna perkawinan poligami menurut Hukum Islam dan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2. Mengetahui tanggapan masyarakat tentang praktek perkawinan poligami

3. Mengetahui konsep adil dalam poligami menurut Hukum Islam dan


(15)

6

D.

Kerangka Pemikiran

Islam adalah agama Nizham (aturan) hidup paripurna, universal, dan integral. Tidak ada dimensi kehidupan yang tidak tersentuh nilai-nilai kebenarannya. Islam merupakan solusi atas problematika kehidupan, ia bahkan hanya satu-satunya solusi yang ada. Tidak ada aturan yang lebih baik dari aturan Islam untuk memperbaiki permasalahan umat saat ini.

Sebagai pedoman hidup, ruang lingkup hukum Islam bersifat menyeluruh. Ia tidak dibatasi hanya pada persoalan hukum sipil, tetapi juga termasuk hukum privat, dan salah satunya adalah tentang perkawinan.

Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodohan adalah naluri semua makhluk Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam surat adz-Dzariyat ayat 49:

⌧ ⌧

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT”

Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan inilah, Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 1 :

⌧ ☯


(16)

“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak...”

Dari sekian banyaknya ayat-ayat kebesaran Allah yang tidak terhingga adalah Dia menjadikan manusia berpasangan antara pria dan wanita dan menetapkan jodohnya masing-masing agar tercipta ketenteraman dalam hidupnya. Karena dari kedua jenis manusia ini masing-masing memiliki rasa ketertarikan dan diberi dorongan seksual (syahwat) terhadap lawan jenisnya.

Ketertarikan kedua pasangan lawan jenis untuk kemudian dilanjutkan melalui sebuah ikatan perkawinan agar hubungan keduanya menjadi leluasa dan sah. Ajaran Islam sangat menganjurkan pernikahan dan meNomorlak adanya kehidupan membujang (ruhbaniyah).

Kehidupan ruhbaniyah yang lurus dan mudah dalam ajaran Islam adalah dengan dianjurkannya suatu pernikahan bagi pemeluknya. Dalam hadits riwayat Bukhori Muslim, diceritakan ada tiga orang bersilaturahmi ke rumah Rasulullah SAW, dan yang lain lagi berkata, aku akan menjauhi wanita, tidak akan kawin selama hidupku.

Rasulullah SAW mendengar pembicaraan ketiga tamunya, kemudian beliau bersabda yang artinya:

.... جﱠوﺰ أو ا ءﺎ ﻦ ﻓ ﺐﻏر ﻋ ﻦ ﻰ ﱠ ﻴ ﻓ ﻰ ) اور وﺔﻋﺎ ﺠ ا (

“... dan aku mengawini kaum wanita. Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak suka kepada sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku” 4.

      

4


(17)

8

Pernikahan adalah suatu ketentuan untuk mengikat hubungan lahir dan bathin antara pria dan wanita. Karena itu, pernikahan sesuai dengan fitrah manusia yang menghajatkan hubungan dengan lawan jenisnya. Bahkan Islam mengharamkan seorang muslim untuk menahan diri dari perkawinan dengan niat melakukan kehidupan membujang (celibacy). Perbuatan membujang seumur hidup bagi pria dan wanita adalah perbuatan sangat menyimpang dari fitrah kejadian manusia itu sendiri.

Pernikahan bukanlah satu ketentuan yang ditimbulkan dari hasil pemikiran manusia, tetapi merupakan bagian yang di syari’atkan dalam Islam untuk mengatur tata hidup dan pergaulan manusia di dunia. Oleh karena itu pernikahan termasuk salah satu bentuk peribadatan kepada Allah yang berarti pula melaksanakan syari’at Islam.

Adapun tujuan pernikahan itu menurut Islam adalah untuk:

a. Menegakkan dan menjunjung tinggi syari’at agama

b. Memelihara berlakunya hubungan biologis

c. Menjaga fitrah dan nilai-nilai kemanusiaan

d. Mencapai ketentraman hidup

e. Mempererat serta memperluas hubungan persaudaraan

f. Memelihara kedudukan harta pusaka 5.

Hukum Islam ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun bermasyarakat, baik untuk kehidupan di dunia maupun di akhirat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan terciptanya kesejahteraan

      

5


(18)

keluarga., karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat, sehingga kesejahteraan masyarakat sangat bergantung kepada kesejahteraan keluarga, kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup keluarganya 6.

Dalam kehidupan rumah tangga di mana terjadinya perpaduan antara dua karakter yang berbeda, prinsip hidup yang berbeda pula, dan banyak lagi perbedaan-perbedaan lainnya yang melatarbelakangi kepribadian suami maupun istrinya, tentu bukan hal yang mustahil apabila terjadi keretakan hubungan di antara keduanya. Selain itu faktor ketersaluran biologis yang tidak sempurna, permasalahan keturunan yang tidak dapat dimiliki dalam sebuah keluarga, sering pula menjadi pemicu terjadinya kerenggangan hubungan dalam ikatan perkawinan.

Selain faktor-faktor di atas, realitas sosial dewasa ini juga telah mulai mengalami pergeseran nilai, gelombang demoralisasi telah menumbuhkan budaya-budaya ‘barat’ yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Seorang suami atau istri yang melakukan perselingkuhan bukanlah hal asing yang diceritakan saat ini.

Islam sebagai agama samawi terakhir, menawarkan solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Adapun solusi yang ditawarkan adalah poligami (ta’addud) bagi mereka yang mampu untuk melakukannya. Bahkan poligami sebenarnya merupakan hukum asal dalam membangun mahligai

      

6


(19)

10

keluarga bagi yang mampu melakukan keadilan dalam mengatur rumah tangga 7. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 3 yang berbunyi:

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim” .

Poligami bukanlah syari’at baru yang diperbolehkan dalam Islam. Poligami merupakan budaya lama yang dimiliki bangsa Arab sebelumnya. Islam datang untuk mengatur dan merapikan masalah poligami, sehingga tidak setiap orang bisa melakukannya tanpa aturan, atau hanya untuk memenuhi syahwatnya belaka 8.

Karena poligami merupakan hukum syariah yang tercantum di dalam Al-Quran dan Hadis Nabi SAW secara jelas, maka penentangan atau peNomorlakan terhadap kebolehan hukum poligami sebenarnya merupakan penentangan terhadap hukum Allah SWT, dan inilah yang sebenarnya sedang terjadi. Peradaban kapitalis dan propaganda Barat sendiri terus berupaya menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang Islam. Mereka telah menggambarkan hukum tentang poligami sebagaimana hukum Islam yang lain seperti jihad dengan gambaran yang keji dan busuk.

      

7

Rasyid Ridha, Tafsir Al-manar, (Mesir : Darul Ihya, tth), h. 82  8


(20)

Hanya saja masalah poligami ini mendapat ganjalan dan serangan bertubi-tubi dari musuh-musuh Islam yang tidak memahami hakikat dan hikmah hukum yang digariskan Allah SWT. Bagi yang kontra dengan masalah poligami, beralasan bahwa poligami telah melakukan diskriminasi (pembedaan) antara laki-laki dan perempuan, dengan poligami posisi perempuan seolah menjadi sangat lemah. Apalagi pada zaman sekarang dimana aktivis gender dengan lantang menyuarakan kesetaraan gender, poligami menjadi sebuah perbuatan yang paling salah dimata mereka.

Diperlukan pemahaman yang komprehensif dari seluruh umat Islam khususnya dalam memandang persoalan poligami. Poligami bukanlah sebuah “kejahatan” melainkan sebuah kebijaksanaan sesuai tinjauan hukum Islam dan positif. Poligami menjadi masalah yang paling kontroversial. Para ulama ortodoks berpendapat bahwa poligami ini adalah bagian dari syari’at Islam, dan karenanya pria boleh mempunyai istri hingga empat orang. Di pihak lain, kaum modernis dan pejuang-pejuang Hak Asasi Wanita berpendapat bahwa poligami dibolehkan hanya dalam kondisi tertentu dengan persyaratan yang ketat 9.

Umat Islam meyakini bahwa setiap hukum yang digariskan Allah SWT senantiasa mengandung hikmah bagi manusia. Begitu juga dengan poligami, disyariatkannya poligami dalam Islam adalah untuk menjawab problematika sosial keluarga. Hal ini hanya akan terwujud apabila umat Islam itu sendiri menyadari betul hakikat syariat Islam, serta menegakkan hukum-hukum ilahiyah tersebut secara proporsional dan selaras dengan hukum positif.

Dalam Undang-Undang perkawinan pada pasal 41 poin (d) disebutkan ketentuan boleh beristri lebih dari satu orang dengan melihat ada atau tidaknya

      

9


(21)

12

jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak dengan pernyataan perjanjian yang dibuat suami dengah bentuk ketetapan untuk itu10.

E.

Metodologi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori-teori ilmiah atau metode yang berlaku dalam penulisan ilmiah 11, yaitu sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan Nomorrmatif (tinjauan kepustakaan), yaitu dengan meneliti literatur-literatur yang sesuai dengan kajian dalam skripsi ini. Pendekatan Nomorrmatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, produk-produk

hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.12

2. Sumber Data

a. Sumber Primer, sumber-sumber utama yang menjelaskan tentang konsep keadilan dalam pernikahan poligami, baik dari sumber-sumber hukum Islam maupun dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari sumber-sumber hukum Islam, sumber primer yang dirujuk adalah penjelasan Al-Quran, Sunnah dan interpretasi terhadap keduanya dari para ulama yang berkompeten. Adapun dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sumber primer yang dirujuk adalah materi undang-undang tersebut disertai penjelasan-penjelasannya dan peraturan-peraturan terkait dengannya.

      

10

UNDANG-UNDANG Perkawinan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), h.46  11

SoerjoNomor Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , (Jakarta : UIP, 1986), cet ke-III, h. 43  

12

SoerjoNomor Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Nomorrmatif; suatu tinjauan singkat (Jakarta, PT Rajawali Press, 1995), cet. IV, h.13-14 


(22)

b. Sumber Sekunder, yaitu buku-buku yang menunjang tema di atas, antara lain: Buku Hitam Putih Poligami karya Eni Setiati, Poligami Berkah atau Musibah karya Karim Hilmi Farhat Ahmad dan buku Poligami yang tak melukai hati karya Abu Fikri.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data diperoleh melalui kepustakaan (library research), untuk mendapatkan teori-teori yang mendukung tema dalam penulisan ini yang diperoleh dari berbagai literatur13.

4. Analisis Data

Analisis merupakan suatu usaha untuk menentukan jawaban atas pertanyaan dari rumusan masalah yang telah tersusun. Dalam penelitian ini akan menghimpun data-data teoritik mengenai pandangan Islam dan Hukum Nasional Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) tentang poligami.

Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: a. Proses Satuan (Unityzing)

Pada dasarnya satuan adalah alat untuk menghaluskan data satuan, yaitu data yang menganalisa tentang satuan pembahasan dalam skripsi ini.

b. Penafsiran Data

Penafsiran data adalah memberikan penafsiran terhadap data-data yang telah diproses sebelumnya. Penafsiran ini dilakukan sejak pengumpulan data atau selama penelitian. Hasil dari penafsiran data ini nantinya membentuk sebuah

      

13

SoerjoNomor Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , (Jakarta : UIP, 1986), cet ke-III h.12 


(23)

14

kesimpulan akhir.

F.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini disusun dalam lima bab, dimana tiap bab terdiri dari beberapa sub bab. Sistematika merupakan uraian ringkas secara global terkait hal-hal pokok yang dibahas, guna mempermudah dalam memahami dan melihat hubungan suatu bab dengan yang lainnya.

Adapun uraian pada setiap bab adalah sebagai berikut :

Bab Pertama berisikan pendahuluan dengan uraian mengungkapkan latar belakang masalah kajian skripsi ini, perumusan masalah dan pembatasan masalah, kerangka pemikiran, metodologi penelitian dan terakhir sistematika penulisan.

Bab Dua berisikan perkawinan poligami dalam perspektif hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan uraian mengungkapkan Pengertian Perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan, Pengertian poligami, Syarat-syarat poligami, hak istri yang dipoligami.

Bab Tiga berisikan pro dan kontra praktik perkawinan poligami dengan uraian kondisi obyektif, praktik poligami versus ketidakadilan gender, Jumlah maksimal istri yang boleh dipoligami.

Bab Empat berisikan analisis keadilan dalam perkawinan poligami perspektif hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan uraian analisis sosiologis yuridis poligami dalam hukum Islam, makna adila dalam poligami perspektif hukum Islam, makna adil dalam poligami perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan analisis penulis.


(24)

(25)

BAB II

PERKAWINAN POLIGAMI

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN

A.

Pengertian Perkawinan

Istilah Perkawinan dalam Al-Qur’an biasa menggunakan istilah ”nikah” yang berarti ”berhimpun” dan ”zawwaja-tazwij” yang berarti ”berpasangan”. Dua istilah ini menyiratkan makna kesetaraan secara ekstensial bagi laki-laki dan perempuan, meskipun pada kenyataannya secara biologis mereka berbeda. Para ulama Fiqh tidak membedakan arti zawaaj dan nikah, walaupun keduanya secara etimologis memiliki perbedaan, menurut para ulama fiqh zawaaj dan nikah memiliki arti yang sama yaitu akad perkawinan1.

Pernikahan secara terminologis didefinisikan sebagai akad yang membolehkan kedua mempelai untuk mendapatkan kesenangan dari masing-masing pasangan, sesuai dengan tuntutan syari’at.2

Persoalan pernikahan adalah persoalan manusia yang banyak seginya, mencakup seluruh segi kehidupan manusia, mudah menimbulkan emosi dan perselisihan. Karena itu adanya kepastian hukum bahwa telah terjadi suatu perkawinan sangat diperlukan. Dalam hal ini telah terjadinya suatu aqad

      

1

Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad berpoligami, (Jakarta : PT. Buku Kita, 2007), h.89  

2

Arij Binti Abdul Rahman, Poligami, (Jakarta : Darus Sunnah, 2006), h.30 


(26)

(perjanjian) pernikahan mudah diketahui dan mudah diadakan alat-alat buktinya, sedang telah terjadinya suatu persetubuhan sulit mengetahuinya dan sukar membuktikannya. Pemakaian kata “nikah” yang diartikan dengan “perjanjian perikatan” dapat dilihat dalam surat Al-Nur ayat 32, surat Al-Baqarah ayat 221, surat Al-Nisa ayat 21.

Perkawinan yang disyari’atkan oleh hukum Islam mempunyai beberapa segi di antaranya: Pertama, segi ibadah ; perkawinan mempunyai unsur ibadah. Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan sebahagian dari ibadah dan berarti pula telah menyempurnakan sebahagian dari agama. Rasullah SAW mencela dengan keras para sahabat yang ingin menandingi ibadatnya dengan cara; berpuasa setiap hari, bangun setiap malam untuk beribadat, hidup menyendiri dan tidak akan kawin, karena perbuatan yang demikian menyalahi sunnahnya, sebagaimana dalam sabdanya :

.... جﱠوﺰ أو ا ءﺎ ﻦ ﻓ ﺐﻏر ﻋ ﻦ ﻰ ﱠ ﻴ ﻓ ﻰ ) اور وﺔﻋﺎ ﺠ ا (

 “... dan aku mengawini wanita. Maka barang siapa yang membenci sunnahku bukanlah ia termasuk (umat) ku”. (HR. Jama’ah dan Muslim).3 Kedua, segi hukum; perkawinan merupakan suatu perjanjian yang kuat (QS.Al-Nisa’; 21), dalam arti perkawinan tidak dapat dilangsungkan tanpa persetujuan dari pihak-pihak yang berkepentingan dan akibat perkawinan, masing-masing pihak terikat oleh hak dan kewajiban, bagi suami yang hendak berpoligami ditentukan syarat-syaratnya, termasuk jika terjadi pemutusan hubungan perkawinan harus melalui prosedur dan alasan-alasan kuat.

      

3


(27)

17

Ketiga, segi sosial; perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta mencintai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Karena itu Rasulullah Saw melarang kerahiban, hidup menyendiri dengan tidak kawin yang menyebabkan tidak mendapatkan keturunan, keluarga dan melenyapkan umat.

Berdasarkan penjelasan makna nikah dari berbagai segi sebagaimana yang dikemukakan di atas, dapatlah dirumuskan bahwa perkawinan adalah perjanjian perikatan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan untuk melaksanakan kehidupan suami istri, hidup berumah tangga, melanjutkan keturunan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum agama.

Dalam Bab 1 pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4

Definisi perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam sebagaimana tercantum di atas, tidaklah memiliki perbedaan yang signifikan. Pertalian seorang laki-laki dan perempuan yang dikukuhkan dalam sebuah akad menjadi ciri pokok dalam perkawinan.

Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dapat dikatakan sah apabila sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, dimana agama dan kepercayaannya tersebut juga tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.

      

4

UNDANG-UNDANG Pokok Perkawinan No 1 tahun 1974, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), h.3  


(28)

Dengan demikian, tentu konsep perkawinan dalam Islam tidak akan berbeda dengan yang tertera dalam undang-undang, yang membedakan hanya dalam detail syarat atau rukunnya saja. Hal ini dimungkinkan karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tidak hanya diberlakukan bagi mereka yang beragama Islam tetapi juga bagi penganut agama lain. Undang-undang mensyaratkan adanya pencatatan melalui petugas dari Kantor Urusan Agama, sedangkan Islam tidak mensyaratkan itu.

B.

Tujuan dan Hikmah Perkawinan

Tujuan perkawinan dalam hukum Islam dapat dipahami dari pernyataan Al-Qur’an yang menegaskan bahwa di antara tanda-tanda kekuasaan Allah Swt ialah bahwa ia menciptakan istri-istri bagi para lelaki dari jenis mereka sendiri, agar mereka merasa tenteram (sakinah). Kemudian Allah menjadikan atau menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di antara mereka, yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi mereka yang mau berfikir. Dalam ayat lain mengisyaratkan bahwa para istri adalah pakaian (libas) bagi para suami, demikian pula sebaliknya, para suami adalah pakaian bagi para istri.

“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka”

Kehidupan yang tenteram (sakinah) di balut dengan perasaan cinta kasih yang ditopang saling pengertian di antara suami istri, karena baik suami atau istri menyadari bahwa masing-masing sebagai “pakaian” bagi pasangannya. Itulah yang sesungguhnya merupakan tujuan utama disyari’atkannya perkawinan.


(29)

19

Suasana kehidupan keluarga yang demikian, dapat diwujudkan dengan mudah apabila perkawinan dibangun di atas dasar yang kokoh, antara lain antara suami istri ada dalam sekufu’ (kafa’ah). Pentingnya kafa’ah dalam perkawinan sangat selaras dengan tujuan perkawinan di atas yaitu suatu kehidupan suami istri yang betul-betul sakinah dan bahagia.

Suami istri yang sakinah dan bahagia akan mampu mengembangkan hubungan yang intim dan penuh kemesraan, yang pada gilirannya akan melahirkan generasi pelanjut yang bertaqwa.

Perkawinan disamping bertujuan melestarikan keturunan yang baik, juga untuk mendidik jiwa manusia agar bertambah rasa kasih sayangnya, bertambah kelembutan jiwa dan kecintaannya, dan akan terjadi perpaduan perasaan antara dua jenis kelamin. Sebab antara keduanya ada perbedaan cita rasa, emosi kesanggupan mencintai, kecakapan dan lain-lain.5

Tujuan perkawinan menurut hukum Islam tidak jauh berbeda dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, di mana dalam Bab 1 Pasal 1 undang-undang tersebut dikatakan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, maka yang perlu untuk dilakukan oleh suami istri adalah saling melengkapi dalam setiap kekurangan, saling menyayangi dan mengasihi. Hal ini tentu dipengaruhi ketika awal mereka memutuskan untuk menikah. Oleh sebab itu, undang-undang juga mengatakan

      

5


(30)

bahwa pernikahan yang terjadi harus dilakukan atas dasar suka sama suka tidak ada paksaan dari pihak manapun.

Hikmah perkawinan sangat berkaitan erat dengan tujuan manusia diciptakannya ke muka bumi. Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan untuk memakmurkan bumi, di mana bumi dan segala isinya diciptakan untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu, demi kemakmuran bumi secara lestari, kehadiran manusia sangat diperlukan sepanjang bumi masih ada. Pelestarian keturunan manusia merupakan sesuatu yang mutlak, sehingga eksistensi bumi di tengah-tengah alam semesta tidak menjadi sia-sia. Pelestarian manusia secara wajar dibentuk melalui perkawinan. Maka, demi memakmurkan bumi, perkawinan mutlak diperlukan. Ia merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran bumi.

Kehidupan manusia laki-laki tidak akan rapi, tenang dan mengasyikkan, kecuali dikelola dengan sebaik-baiknya. Itu bisa diwujudkan jika ada tangan terampil dan profesional, yaitu tangan-tangan lembut kaum perempuan, yang memang secara naluriah mampu mengelola rumah tangga secara baik, rapi dan wajar. Karena itu perkawinan disyari’atkan bukan hanya demi memakmurkan bumi, tetapi tak kalah penting adalah supaya kehadiran manusia yang teratur dan rapi dapat tercipta. Kehadiran perempuan di sisi lelaki (suami) melalui perkawinan sangatlah penting.

C.

Pengertian Poligami

Istilah poligami berasal dari bahasa Latin polygamia (poly dan gamia) atau gabungan kata bahasa Yunani poly dan gamy dari akar kata polus (banyak)


(31)

21

dan gamos (kawin). Jadi secara harfiah poligami berarti perkawinan dalam jumlah banyak. Sedangkan secara terminologi poligami adalah suatu praktik atau kondisi (perkawinan) lebih dari satu istri, suami, pasangan, yang dilakukan pada satu waktu (bersamaan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami didefinisikan sebagai sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.6

Jika menilik definisi poligami di atas, tampak tidak ada perbedaan istilah antara perkawinan yang dilakukan oleh pria (suami) atau wanita (istri), apabila dilakukan lebih dari satu pasangan dan dilakukan pada saat bersamaan (masih dalam ikatan perkawinan dengan pasangan lain), maka praktik tersebut masuk dalam cakupan terminologi poligami.

Namun di kalangan umum, istilah ini justru sering dibatasi wilayah penggunaannya khusus bagi perkawinan jamak yang dilakukan seorang pria (suami). Padahal bentuk perkawinan yang terakhir disebut ini secara terminologi dikenal dengan istilah poligini, yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang

bersamaan. Adapun lawan kata poligami adalah monogami, yang secara simpel

dapat diartikan dengan perkawinan tunggal (hanya ada satu ikatan perkawinan).7 Secara terminologi, monogami memiliki dua pengertian:

      

6

DEPDIKBUD, Poligami Aspek yang Dituju, (Jakarta : Dikbud, 2001), h.600  7

Abdul Aziz Dahlan, et. all ; Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Haove, 2003), h.1185 


(32)

1. Suatu kebiasaan atau kondisi dari perkawinan yang dilakukan hanya pada satu orang (pasangan) pada satu waktu.

2. Suatu keadaan dimana perkawinan satu pasangan berlangsung bagi seumur

hidup.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah monogami telah mengalami penyempitan cakupan. Dalam hal ini monogami diartikan sebagai sistem yang memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu. Untuk pengertian yang relatif sama juga digunakan istilah lain, yakni monogini.

D.

Syarat-Syarat Poligami

Islam tidak menjadikan poligami sebagai sebuah kewajiban atau hal yang disunahkan bagi kaum Muslim, tetapi hanya menjadikannya sebagai sesuatu yang mubah, yakni boleh dilakukan jika memang dipandang perlu.

Karena poligami merupakan hukum syariah yang tercantum di dalam al-Quran dan Hadis Nabi SAW secara jelas, maka penentangan atau penolakan terhadap kebolehan hukum poligami sebenarnya merupakan penentangan terhadap hukum Allah SWT, dan inilah yang sebenarnya sedang terjadi. Peradaban kapitalis dan propaganda barat sendiri terus berupaya menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang Islam. Mereka telah menggambarkan hukum tentang poligami sebagaimana hukum Islam yang lain seperti jihad dengan gambaran yang keji dan busuk.

Kebolehan untuk melakukan poligami tentu tidak serta merta seorang suami bebas melakukan poligami tanpa memperhatikan aturan-aturan yang mesti


(33)

23

dipenuhinya. Merujuk pada pasal 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu:

a. Harus ada persetujuan istri pertama

b. Harus ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material)

c. Harus ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan

anak-anak mereka (immaterial).8

Adapun dalam syari’at agama Islam, syarat bagi seorang suami yang akan melakukan poligami juga tidak jauh berbeda dengan yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Pekawinan Nomor 1 Tahun 1974, hal ini tercantum dalam Q.S An-Nisaa Ayat 3:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu meiliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Diantara keagungan ayat ini tampak jelas bahwa bolehnya poligami dan pembatasanya dengan empat orang datang dengan dibarengi kekhawatiran berlaku zhalim kepada perempuan yatim.9

      

8

Eni Setiani, Syarat Poligam, (Jakarta : Pustaka Buana, 2007), h.29  9


(34)

Berkenaan dengan ayat ini, ada beberapa hal yang perlu dipahami. Pertama: ayat ini diturunkan kepada Nabi SAW, pada tahun kedelapan Hijriah, yaitu untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja. Sebelum ayat ini diturunkan, jumlah istri bagi seorang pria tidak ada batasannya. Ayat tersebut juga memerintahkan agar seorang suami yang berpoligami berlaku adil di antara istri-istrinya. Namun demikian, ayat tersebut lebih menganjurkan agar membatasi jumlah istri pada bilangan satu orang, jika memang ada kekhawatiran tidak dapat berlaku adil. Sikap semacam ini harus dimiliki oleh setiap Muslim.

Kedua: perlu digarisbawahi bahwa keadilan menjadi syarat bagi kebolehan untuk melakukan poligami. Hukum ini wajib dimiliki oleh seorang suami dalam kehidupan berpoligami, di samping merupakan dorongan untuk membatasi jumlah istri pada satu wanita saja, jika memang ada kekhawatiran tidak dapat berlaku adil. Patut ditegaskan, dalam Fiqh Islam, istilah syarat itu digunakan untuk menunjuk pada kondisi atau perbuatan yang menjadi bagian dari perbuatan yang dipersyaratkan.

Syarat ini biasanya harus dipenuhi sebelum perbuatan yang dipersyaratkan itu dikerjakan. Suci dari hadats dan najis, misalnya, merupakan syarat sah shalat. Kondisi tersebut harus dipenuhi sebelum shalat dan terus berlangsung sepanjang shalat dikerjakan. Realitas syarat semacam ini tentu tidak tepat jika dikaitkan dengan sifat adil suami yang ingin berpoligami. Andai adil merupakan syarat sah poligami, lalu bagaimana mungkin syarat itu bisa dipenuhi


(35)

25

sebelum akad nikah terjadi, sementara perlakuan adil itu baru bisa dilakukan setelah pernikahan.

Ketiga: pengertian adil dalam ayat di atas berbentuk umum, yakni mencakup setiap bentuk keadilan. Akan tetapi, kata yang bersifat umum ini kemudian ditakhsîs (diperlakukan secara khusus), yaitu bahwa keadilan yang dimaksud hanya yang berada dalam batas-batas kemampuan manusia. Sebagaimana arti surat An Nisa ayat 129 yang berbunyi ”Dan sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istrimu walaupun sangat ingin berbuat demikian” .

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 4 dijelaskan pengadilan dapat memberikan izin kepada seseorang yang ingin melakukan poligami apabila terpenuhinya alasan-alasan sebagai berikut, yaitu;

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri

2. Istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Atas dasar ketentuan di atas, tentu sedikit berbeda dengan ketentuan poligami yang berlaku dalam Islam, di mana Islam hanya mensyaratkan adil sebagai syarat untuk melakukan poligami.

Keadilan yang diwajibkan atas seorang suami adalah bersikap seimbang di antara para istrinya sesuai dengan kemampuannya, yaitu dalam hal bermalam atau memberi makan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain, bukan dalam masalah cinta dan kasih sayang yang memang berada di luar kemampuan manusia.


(36)

Bersikap adil sebagai syarat utama dalam poligami tidak mudah, karena dalam perkawinan poligami terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami kepada istrinya yang lebih dari satu tersebut. Hal ini tidak akan mudah terpenuhi apabila suami tidak memiliki sifat dan sikap yang cukup layak untuk melakukan poligami.

E.

Hak Istri yang Dipoligami

Poligami merupakan syari’at Islam yang akan berlaku sepanjang zaman hingga hari akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat sang suami memiliki kemampuan untuk adil di antara para istri, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 3:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Berlaku adil dalam bermuamalah dengan istri-istrinya, yaitu dengan memberikan kepada masing-masing istri hak-haknya. Adil di sini lawan dari curang, yaitu memberikan kepada seseorang kekurangan hak yang dipunyainya dan mengambil dari yang lain kelebihan hak yang dimilikinya. Jadi adil dapat diartikan persamaan.


(37)

27

Berdasarkan hal ini maka adil antar para istri adalah menyamakan hak yang ada pada para istri dalam perkara-perkara yang memungkinkan untuk disamakan didalamnya. Dengan kata lain adil adalah memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan haknya.

Seorang suami yang ingin melakukan poligami hendaknya merenungkan hikmah-hikmahnya, memperhatikan keadaannya, dan hajat atau tingkat kebutuhan dirinya, serta sejauh mana kesesuaian poligami tersebut untuk dirinya. Sebab walaupun poligami dalam Islam diperbolehkan tetapi seyogyanya ada syarat-syarat yang mendorong kesana, antara lain:

1. Prilaku istri yang buruk. Adakalanya istri dalam berinteraksi dengan suaminya berprilaku buruk yang mendorong suaminya untuk melakukan poligami daripada menceraikannya.

2. Menginginkan keturunan. Mungkin dikarenakan istrinya tersebut tidak dapat

memberikannya keturunan.

3. Kondisi kesehatan istri yang sering sakit-sakitan, sehingga pada titik tertentu tidak dapat melayani kebutuhan seksual suami. Walaupun perlu diperhatikan kebutuhan seksual tersebut bukan semata untuk alasan pemenuhan syahwat duniawi saja.

4. Alasan mencari pahala, ia menikahi perempuan untuk memeliharanya,

menjaga kesuciannya, merawatnya dan menjaganya dari tangan-tangan yang

mengusiknya dengan keburukan.10

      

10


(38)

Bagi suami yang telah melakukan poligami, maka ia diwajibkan untuk memenuhi hak-hak istrinya. Adapun diantara hak setiap istri yang dipoligami adalah sebagai berikut:

a. Memiliki rumah sendiri

Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 33, yang artinya, “Menetaplah kalian (wahai istri-istri Nabi) di rumah-rumah kalian”. Dalam ayat ini Allah SWT menyebutkan rumah Nabi SAW dalam bentuk jamak, sehingga dapat dipahami bahwa rumah beliau tidak hanya satu.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Aisyah Radhiyallahu 'Anha menceritakan bahwa ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sakit menjelang wafatnya, beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya, “Dimana aku besok? Di rumah siapa?” Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menginginkan di tempat Aisyah Radhiyallahu 'Anha, oleh karena itu semua istri mengizinkan untuk dirawat di mana pun beliau menginginkannya, maka dirawat di rumah Aisyah sampai ahirnya wafat di sisi Aisyah. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam meninggal di hari giliran Aisyah. Allah mencabut ruhnya dalam keadaan kepala beliau bersandar di dada Aisyah Radhiyallahu 'Anha. Ibnu Qudamah Rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al Mughni bahwasanya tidak pantas seorang suami mengumpulkan dua orang istri dalam satu rumah tanpa ridha dari keduanya.11

      

11


(39)

29

Hal ini dikarenakan dapat menjadikan penyebab kecemburuan dan permusuhan di antara keduanya. Masing-masing istri dimungkinkan untuk mendengar desahan suami yang sedang menggauli istrinya, atau bahkan melihatnya. Namun jika para istri ridha apabila mereka dikumpulkan dalam satu rumah, maka tidaklah mengapa. Bahkan jika keduanya ridha jika suami mereka tidur diantara kedua istrinya dalam satu selimut tidak mengapa. Namun seorang suami tidaklah boleh menggauli istri yang satu di hadapan istri yang lainnya meskipun ada keridhaan diantara keduanya.

b.Menyamakan Para Istri dalam masalah Giliran

Setiap istri harus mendapat jatah giliran yang sama. Imam Muslim meriwayatkan hadits yang artinya Anas bin Malik menyatakan bahwa Nabi

Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memiliki 9 istri.12 Kebiasaan Rasulullah

Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bila menggilir istri-istrinya, beliau mengunjungi semua istrinya dan baru behenti (berakhir) di rumah istri yang mendapat giliran saat itu.

Ketika dalam bepergian, jika seorang suami akan mengajak salah seorang istrinya, maka dilakukan undian untuk menentukan siapa yang akan ikut serta dalam perjalanan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah Radhiyallahu 'Anha menyatakan bahwa apabila Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hendak safar, beliau mengundi di antara para istrinya, siapa yang akan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sertakan dalam safarnya.

      

12


(40)

Rasulullah SAW, biasa menggilir setiap istrinya pada hari dan malamnya, kecuali Saudah bintu Zam’ah karena jatahnya telah diberikan kepada Aisyah Radhiyallahu'Anha. Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa seorang suami diperbolehkan untuk masuk ke rumah semua istrinya pada hari giliran salah seorang dari mereka, namun suami tidak boleh menggauli istri yang bukan waktu gilirannnya.

Seorang istri yang sedang sakit maupun haid tetap mendapat jatah giliran sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Aisyah Radhiyallahu 'Anha menyatakan bahwa jika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ingin bermesraan dengan istrinya namun saat itu istri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sedang haid, beliau memerintahkan untuk menutupi bagian sekitar kemaluannya.

Seorang suami tidak boleh keluar untuk menuju rumah istri yang lain yang bukan gilirannya pada malam hari kecuali keadaan darurat. Larangan ini disimpulkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di rumah Aisyah Radhiyallahu 'Anha, tidak lama setelah beliau berbaring, beliau bangkit dan keluar rumah menuju kuburan Baqi sebagaimana diperintahkan oleh Jibril alaihi wa sallam. Aisyah Radhiyallahu 'Anha kemudian mengikuti beliau karena menduga bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam akan pergi ke rumah istri yang lain. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pulang dan mendapatkan Aisyah Radhiyallahu 'Anha dalam keadaan terengah-engah, Rasulullah SAW,


(41)

31

bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu 'Anha, “Apakah Engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil kepadamu?”

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyatakan tidak dibolehkannya masuk rumah istri yang lain di malam hari kecuali darurat, misalnya si istri sedang sakit. Jika suami menginap di rumah istri yang bukan gilirannya tersebut, maka dia harus mengganti hak istri yang gilirannya diambil malam itu. Apabila tidak menginap, maka tidak perlu menggantinya.

Rasulullah SAW, dalam hal tersebut dikembalikan kepada ‘urf, yaitu kebiasaan yang dianggap wajar oleh daerah setempat. Jika mendatangi salah satu istri tidak pada waktu gilirannya, baik waktu siang atau malam tidak dianggap suatu kezaliman dan ketidakadilan, maka hal tersebut tidak apa-apa. Dalam hal tersebut, urf sebagai penentu karena masalah tersebut tidak ada dalilnya

c.Wajib menyamakan nafkah

Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri-sendiri, hal ini berkonsekuensi bahwa mereka makan sendiri-sendiri, namun bila istri-istri tersebut ingin berkumpul untuk makan bersama dengan keridhaan mereka maka tidak apa-apa.

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa bersikap adil dalam nafkah dan pakaian menurut pendapat yang kuat, merupakan suatu kewajiban bagi seorang suami. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu mengabarkan bahwa Ummu Sulaim mengutusnya menemui Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan membawa kurma sebagai hadiah untuk


(42)

Rasulullah SAW, Kemudian kurma tersebut untuk dibagi-bagikan kepada istri-istri beliau segenggam-segenggam.13

   

      

13


(43)

32

BAB III

PRO DAN KONTRA PRAKTEK PERKAWINAN

POLIGAMI

A.

Kondisi Obyektif

Poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan sekaligus kontroversial. Poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender.

Dalam perkembangannya, isu poligami dijadikan sebagai pintu masuk kelompok liberal untuk ‘membina dan mencerahkan’ masyarakat agar tumbuh semangat perlawanan terhadap syariah Islam. Mereka berupaya membangkitkan emosi umat, khususnya kalangan perempuan, untuk bersama-sama menolak poligami, sebagai salah satu kebolehan dari syariah Islam. Kelompok liberal ini memang sudah lama berupaya untuk memporak-porandakan syariah Islam dari berbagai pintu, termasuk pintu poligami.

Poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan. Para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki


(44)

sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi.1

Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia itu sendiri. Sebelum Islam datang ke Jazirah Arab, poligami merupakan sesuatu yang telah mentradisi bagi masyarakat Arab. Poligami masa itu dapat disebut poligami tak terbatas, bahkan lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah menentukan sepenuhnya siapa yang ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Istri-istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha memperoleh keadilan.2

1. Pengakuan Pelaku Poligami "I am a Second Wife"3

Masa SMU wanita Amerika itu hancur tatkala dirinya hamil diusia 17 tahun. Ia terpaksa menjadi 'single mother' diusia muda. Namun hidupnya merasa nyaman setelah menjadi istri kedua seorang pria Muslim Oleh M. Syamsi Ali.

Sekitar tiga bulan lalu, the Islamic Forum yang diadakan setiap Sabtu di Islamic Center New York kedatangan peserta baru. Pertama kali memasuki ruangan itu Ismil sangka wanita Bosnia. Dengan pakaian Muslimah yang sangat rapih, blue eyes, dan kulit putih bersih. Pembawaannya pun sangat pemalu, dan seolah seseorang yang telah lama paham etika Islam.

Huda, demikianlah wanita belia itu memanggil dirinya. Menurutnya, baru saja pindah ke New York dari Michigan ikut suami yang berkebangsaan Yaman. Suaminya bekerja pada sebuah perusahaan mainan anak-anak (toys).

1

Amir Nurudin dan Azhari, Perempuan Korban Poligami, (Solo : Rumah Dzikir, 2004),

h.156

2

Karam Hilmi Farhat, Poligami Nabi,(Bandung : Logos, 2007), h.17

3


(45)

34

Tak ada menyangka bahwa wanita itu baru masuk Islam sekitar 7 bulan silam. Huda, yang bernama Amerika Bridget Clarkson itu, adalah mantan pekerja biasa sebagai kasir di salah satu tokoh di Michigan. Di toko inilah dia pertama kali mengenal nama Islam dan Muslim.

Biasanya ketika Ismail menerima murid baru untuk bergabung pada kelas untuk new reverts, ia tanyakan proses masuk Islamnya, menguji tingkatan pemahaman agamanya, dll. Ketika Ismail tanyakan ke Huda bagaimana proses masuk Islamnya, dia menjawab dengan istilah-istilah yang hampir tidak menunjukkan bahwa dia baru masuk Islam. Kata-kata “alhamdulillah”.”Masya Allah” dst, meluncur lancar dari bibirmya.

Dengan berlinang air mata, tanda kebahagiaannya, Huda menceritakan proses dia mengenal Islam. “I was really trapped by jaahiliyah (kejahilan)”, mengenang masa lalunya sebagai gadis Amerika. “I did not even finish my High School and got pregnant when I wan only 17 years old”, katanya dengan suara lirih. Menurutnya lagi, demi menghidupi anaknya sebagai ‘a single mother’ dia harus bekerja. Pekerjaan yang bisa menerima dia hanyalah grocery kecil di pinggiran kota Michigan.

Suatu ketika, toko tempatnya bekerja kedatangan costumer yang spesial. Menurutnya, pria itu sopan dan menunjukkan ‘respek’ kepadanya sebagai kasir. Padahal, biasanya, menurut pengalaman, sebagai wanita muda yang manis, setiap kali melayani pria, pasti digoda atau menerima kata-kata yang tidak pantas. Hingga suatu ketika, dia sendiri berinisiatif bertanya kepada costumernya ini, siapa namanya dan tinggal di mana.


(46)

Mendengar namanya yang asing, Abdu Tawwab, Huda semakin bingung. Sebab nama ini sendiri belum pernah didengar. Sejak itu pula setiap pria ini datang ke tokonya, pasti disempatkan bertanya lebih jauh kepadanya, seperti kerja di mana, apa tinggal dengan keluarga, dll.

Perkenalannya dengan pria itu ternyata semakin dekat, dan pria itu juga semakin baik kepadanya dengan membawakan apa yang dia sebut ‘reading materials as a gift”. Huda mengaku, pria itu memberi berbagai buku-buku kecil (booklets). Dan hanya dalam masa sekitar tiga bulan ia mempelajari Islam, termasuk berdiskusi dengan pria tersebut. Huda merasa bahwa inilah agama yang akan menyelamatkannya.

“Pria tersebut bersama isterinya, yang ternyata telah mempunyai 4 orang anak, mengantar Ismail ke Islamic Center terdekat di Michigan. Imam Islamic Center itu menuntun Ismail menjadi seorang Muslimah, alhamdulillah!”, kenang Huda dengan muka yang ceria.

Tapi untuk minggu-minggu selanjutnya, kata Huda, ia tidak komunikasi dengan pria tersebut. Huda mengaku justeru lebih dekat dengan isteri dan anak-anaknya. Kebetulan lagi, anaknya juga berusia tiga tahun, maka sering pulalah mereka bermain bersama. “Huda sendiri belajar shalat, dan ilmu-ilmu dasar mengenai Islam dari Sister Shaima, nama isteri pria yang mengenalkannya pada Islam itu.

Suatu hari, dalam acara The Islamic Forum, minggu lalu, datang seorang tamu dari Bulgaria. Wanita dengan bahasa Inggris seadanya itu mempertanyakan keras tentang konsep poligami dalam Islam. Bahkan sebelum mendapatkan


(47)

36

jawaban, perempuan ini sudah menjatuhkan vonis bahwa “Islam tidak menghargai sama sekali kaum wanita”, katanya bersemangat.

Huda, yang biasanya duduk diam dan lebih banyak menunduk, tiba-tiba angkat tangan dan meminta untuk berbicara. Ismail cukup terkejut. Selama ini, Huda tidak akan pernah menyelah pembicaraan apalagi terlibat dalam sebuah dialog yang serius. Ismail hanya biasa berfikir kalau Huda ini sangat terpengaruh oleh etike Timur Tengah, di mana kaum wanita selalu menunduk ketika berpapasan dengan lawan jenis, termasuk dengan gurunya sendiri. “I am sorry Imam Shamsi”, dia memulai. “I am bothered enough with this woman’s accusation”, katanya dengan suara agak meninggi. Ismail segera menyelah: “What bothers you, sister?”. Dia kemudian menjelaskan panjang lebar kisah hidupnya, sejak masa kanak-kanak, remaja, hingga kemudian hamil di luar nikah, bahkan hingga kini tidak tahu siapa ayah dari anak lelakinya yang kini berumur hampir 4 tahun itu.

Tapi yang sangat mengejutkan Ismail dan banyak peserta diksusi hari itu adalah ketika mengatakan: “I am a second wife.” Bahkan dengan semangat dia menjelaskan, betapa dia jauh lebih bahagia dengan suaminya sekarang ini, walau suaminya itu masih berstatus suami wanita lain dengan 4 anak. “I am happier since then“, katanya mantap.

Dia seolah berdakwah kepada wanita Bulgaria tadi: “Don’t you see what happens to the western women around? You are strongly opposing polygamy, which is halaal, while keeping silence to free sex that has destroyed our people” ,jelasnya. Huda kemudian menyelah dan menjelaskan kata “halal” kepada wanita


(48)

Bulgaria itu. “I know, people may say, I have a half of my husband. But that’s not true“, katanya.

Lebih jauh dia menjelaskan bahwa poligami bukan hanya masalah suami dan isteri. Poligami dan kehidupan keluarga menurutnya, adalah masalah kemasyarakatan. Dan jika seorang isteri rela suaminya beristeri lagi demi kemaslahatan masyarakat, maka itu adalah bagian dari pengorbanannya bagi kepentingan masyarakat dan agama.

Kami yang dari tadi mendengarkan penjelasan Huda itu hanya ternganga. Hampir tidak yakin bahwa Huda adalah isteri kedua, dan juga hampir tidak yakin kalau Huda yang pendiam selama ini ternyata memiliki pemahaman agama yang dalam. Ismail kemudian bertanya kepada Huda: “So who is your husband?” Dengan tertawa kecil dia menjawab “the person who introduced me to Islam”.Dan lebih mengejutkan lagi:

“his wife basically suggested us to marry”, menutup pembicaraan hari itu.

Diskusi Islamic Forum hari itu kita akhiri dengan penuh bisik-bisik. Ada yang setuju, tapi ada pula yang cukup sinis. Yang pasti, satu lagi rahasia terbuka. Ismail sendiri hingga hari ini belum pernah ketemu dengan suami Huda karena menurutnya, “he is a shy person. He came to the Center but did not want to talk to you”, kata Huda ketika Ismail menyatakan keinginan untuk ketemu suaminya.

“Huda, may Allah bless you and your family. Be strong, many challenges lay ahead in front of you”, nasehatku. Doa kami menyertaimu Huda, semoga dikuatkan dan dimudahkan!


(49)

38

2. Pengakuan Dr. Gina Puspita : "Anak Ismail Senang Memiliki Ibu yang Banyak"4

Dr. Gina Puspita, bercerita seputar pengalamannya praktik poligami dengan sang suami, Dr. Abdurahman Riesdam Efendi. Ini cerita pengalaman indahnya sudah hampir sepekan wacana poligami secara terus-menerus diulas di berbagai media massa. Banyak yang setuju dan tak sedikit yang sinis. Diantara yang sinis, tentu saja para aktivis perempuan dan para pengagum feminisme. Sabtu (9/12) kemarin, Koalisi Perempuan dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menolak praktik poligami. Alasannya, poligami melanggar hak-hak perempuan serta rawan terhadap kekerasan psikis dan fisik. Benarkah?

Kali ini hidayatullah.com mewawancarai Dr. Gina Puspita. Sebelum ramai-ramai berkembang wacana poligami, istri pertama Dr. Abdurahman Riesdam Efendi ini boleh jadi diantara sekian Muslimah yang merasakan sendiri pengalaman “dimadu”. Tidak seperti umumnya pria yang ingin menikah lagi, ia mencarikan sendiri calon untuk pasangan suaminya itu.

Tahun 1995, Abdurahman menikah lagi untuk yang kedua dengan Basyiroh Cut Mutia. Enam tahun kemudian, ia menikah yang ketiga dengan Siti Salwa asal Malaysia. Dan yang terakhir, menikah dengan Fatimah. Praktis ia memiliki empat orang istri.

Jangan keliru, semua istri mudanya ini bukan pilihan sang suami, justru pilihan Gina alias sang istri pertamanya. Tak seperti dugaan aktivis perempuan selama ini, di mana poligami dianggap begitu rendah dan rawan konflik. Mereka

4


(50)

berempat justru sangat rukun dan bahagia. Bahkan bekerja di kantor yang sama dan tinggal seatap, tanpa ada masalah.

''Kalau suami sedang dengan istri yang lain, kami bertiga ngobrol-ngobrol di satu kamar,'' tutur kepada sebuah media Jakarta. Bila berada di luar kota, mereka bertukar pesan lewat SMS. Pokoknya, akrab. ''Poligami yang didasarkan pada Allah SWT tidak akan menimbulkan masalah.'' tambah mantan Kepala Departemen Structure Optimizition Divisi Riset & Development IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) ini di sebuah harian di Jawa Barat.

Apa kabar Anda dan keluarga?

Kami sekeluarga alhamdulillah sehat,semoga kesehatan yg dirahmati Allah. Lama tak dengar kabarnya, apa kesibukan Anda terbaru? Selama kurang lebih 2 tahun terkahir kami banyak berada di Malaysia. Alhamdulillah perusahaan yang dipimpin oleh guru kami Abuya Ashaari (pendiri Darul Arqam yang dilarang mantan PM Mahathir Mohammad-- berkembang pesat di sana. Kebetulan Tuhan rizqikan kami untuk ikut serta beraktifitas di sana selama 2 tahun.

Setelah di sana terasa manfaatnya untuk kalangan luas, dan perusahaan terus berkembang ke berbagai negara di Asia, Eropa, Timur Tengah, maka mulai 2 bulan belakangan ini kami mulai menguatkan kembali aktifitas perusahaan Rufaqa di Indonesia.

Ismail dengar Anda juga punya proyek besar di Malaysia? boleh tahu? Di malaysia bukan proyek Dr. Gina Puspita tapi perusahaan yang dipimpin oleh guru Ismail, Abuya Ashaari Muhammad. Dari tahun 1997 beliau mendirikan perusahaan Rufaqa namanya yang bergerak di berbagai bidang seperti


(51)

40

pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, kebudayaan dll. Kalau mau jelas, boleh kunjungi website nya www.rufaqa.com & www.rufaqadaily.com.

Sepekan ini banyak orang sibuk mendiskusikan poligami, apa pendapat Anda?

Segala kejadian Allah yang menentukan. Diantara sekian banyak hikmahnya, Allah nampaknya mau menunjukkan keadaan masyarakat sekarang ini. Dan kita bertanggung jawab untuk memperbaiki keadaan. Sebenarnya ada dua kejadian yang terjadi secara serentak. Pertama tentang poligaminya Aa Gym, kedua, monogaminya anggota DPR RI, tapi selingkuh. Tapi yang diramaikan hanya poligaminya. Bahkan poligami mau dilarang segala. Hehehe. Yang menarik, sikap masyarakat terbelah dua. Kasus monogami selingkuh menjadi kasus cukup besar. Tapi poligami, pernikahan secara sah justru yang dikatakan zalim. Padahal menurut Ismail, monogami selingkuh itu jauh lebih menzalimi perempuan. Seperti wanita ini tak ada harganya.

Menurut Anda, mengapa masyarakat justru seperti itu?

Dr.Gina Puspita tak menyalahkan masyarakat. Itulah keadaan masyarakat yang kita perlu rasakan sebagai peringatan Allah pada kita. Mungkin kita gagal membawa kebaikan di tengah masyarakat ini. Ismail juga maklum kenapa banyak masyarakat awam begitu membenci poligami, kerana memang susah mau mencari poligami yang dapat dijadikan teladan di indonesia sekarang ini. Yang lebih menyedihkan, yang sekarang berlaku bukan sekedar diskusi tapi penafsiran-penafsiran terhadap Rasulullah yang sifatnya merendahkan beliau. Jauh sekali


(52)

daripada mencari solusi. Lagi pula, mengapa banyak orang sibuk membicarakan poligami atau bahkan terkesan begitu ketakutan.

Padahal dalam Islam, poligami haya sekedar satu dari sekian ribu syariat dalam agama kita.. Jadi dia bukan perkara yang wajib. Tapi kok yang biasa-biasa menjadi masalah Negara. Padahal Shalat yang berkali-kali Allah katakan sebagai “tiang agama” pun, Negara tak pernah peduli apakah manusia melakukannya?

Anda termasuk diantara pelaku, sebelum banyak orang melakukan. Bisakan bercerita pengalaman poligami?

Islam itu adalah “cara hidup”. Selain tentang Allah yang utama, di dalamnya ada juga syariat yang beribu jenisnya, yang mengatur kehidupan manusia di dunia ini. Sepertimana janji kita dalam setiap kali shalat, “inna shalolati wa nusuki… (dst), “hidup mati kita untuk Allah, maka tentulah sebagai seorang Muslim, kita perlu wujudkan janji kita dalam kehidupan. Kita atur individu kita, ekonomi kita, pendidikan kita, kebudayaan kita, rumah tangga kita, menurut Islam. Hal ini tidak dapat kita wujudkan sendiri-sendiri. Misalnya untuk mewujudkan pendidikan Islam, perlu guru dan murid. Kalau sendirian mana mungkin dapat terwujud. Itulah yang kami lakukan melalui perusahaan Rufaqa ini. Sama halnya dengan masalah rumah tangga.

Setelah kami dididik oleh guru kami, kami (Ismail dan suami) merasakan bahwa Allah mesti dijadikan segalanya. Syariat Islam mesti diperjuangkan. Dengan melihat keluarga guru kami yang memiliki 4 istri dan 37 anak, 200 cucu, namun semua justru menjadi pendukung perjuangan Islam. Maka kami melihat (bukan sekedar membaca buku atau hanya mendengar), bahwa poligami juga


(53)

42

dapat kita laksanakan. Atas kesepakatan bersama itulah, Ismail dan suami –tentu saja atas persetujuan guru kami-- maka kami tambahkan anggota keluarga kami dengan mengambil salah seorang staf Rufaqa sebagai istri kedua untuk suami Ismail.

Siapa yang mencari dan melamarkannya?

Dr. Gina Puspita sendiri yang datang pertama kali dan menjelaskan pada orang tuanya untuk menyampaikan hasrat kami.

Apa sih yang ada di perasaan Anda saat mencarikan suami istri lagi? Karena dari awal memang sama-sama berniat (Dr. Gina Puspital, suami dan istri kedua) untuk menguatkan keluarga, maka, masalah-masalah dalam keluarga dapat diatasi dengan baik. Bertambah terasa kehebatan Allah. Ternyata belum lagi kita baik, baru niat mau baik, tapi Allah sangat memberikan bantuan-Nya.

Apakah setelah poligami pernah cekcok? Atau cemburu?

Kalau beda pendapat sih dalam rumah tangga itu hal yang biasa. Jangankan di keluarga yang praktik poligami, dalam rumah tangga monogami pun ada. Tapi karena sama-sama sudah dididik oleh guru yang sama, jadi setiap kali ada masalah, masing-masing berusaha untuk dapat menilai yang baik di sisi Allah. Bila semua mempunyai tujuan yang sama yaitu keridhaan Allah, perkara apapaun selalu jadi mudah. Kami berempat serumah. Kecuali sekarang ini, dua orang sedang bertugas di Malaysia.

Menjadi istri "dimadu" apa tak membuat martabat Anda sebagai seorang perempuan terhina?


(54)

Dr. Gina Puspita hendak mengingatkan kita bahwa dalam menilai sesuatu, karena zaman ini sudah rusak, maka nilai-nilai manusia/moral juga sudah sangat jauh dari kehendak Allah. Contoh saja; para wanita mengatakan dirinya merasa “dihina” dengan poligami. Padahal itu kan memang boleh menurut Islam. Tapi wanita diminta buka aurat, ia menjadi tontonan. Tak satupun menganggap dirinya merasa terhina. Padahal itu adalah keadaan yang sangat menghinakan. Wanita sudah hilang malunya karena ketiadaan iman. Poligami itu, bila dijalankan dengan tujuan membesarkan Allah, kita akan merasakan bahwa itu sangat baik untuk pendidikan hati kita. Kita akan tahu bahwa kita belum sabar. Maka, kita akan belajar untuk bersabar. Kita bisa tahu bahwa di hati kita ada hasad dan dengki. Cemburu itu adalah hasad dan dengki adalah puncaknya. Lalu kita belajar untuk tidak hasad atau dengki hingga timbul rasa tidak membahagiakan orang lain.

Bukankan manusia normal tak menginginkan suaminya jadi rebutan wanita lain?

Jadi, bila dikatakan manusia normal tidak mau dipoligami? Manusia normal itu seperti apa? Apakah istri-istri Rasulullah bukan wanita normal? Menurut Dr. Gina Puspita, manusia normal itu adalah manusia yang tahu dirinya hamba dan Allah sebagai Tuhannya. Tentu dia akan sangat mencintai Tuhan Nya. Dan dirinya akan merasakan bahwa syariat Allah adalah yang terbaik. Bahkan sekarang kadang Dr. Gina Puspita merasa malu dengan Allah. Malu, mengapa “orang jahat” seperti Dr. Gina Puspita tapi Allah masih memberi rasa kebaikan-kebaikan dalam poligami. Kalau ia saja yang menganggap “masih jahat” dan


(55)

44

masih diberi banyak kebaikan oleh Allah, bagaiman pula kehebatan keluarga Rasulullah?.

Anda tidak takut, rasa cinta suami Anda tak akan seperti di awal pernikahan? Karena akan terbagi?

Tidak. Sebab suami dan kami punya cita-cita yang sama. Untuk mencintai Allah. Dan mencintai Allah itulah yang dapat menambah kuat ikatan diantara kami semua. Perlu kita sadari, kerana manusia sudah tidak menganggap Tuhan segalanya, maka bila berumahtangga, dia menganggap suami adalah segala-galanya. Ya dengan kata lain, cinta suami. Padahal, kalau kita membesarkan cinta pada Allah, maka Allah sendirilah yang akan membagi kebahagiaan itu.

Bagaimana dengan kebutuhan finansial dan pembagian perhatian terhadap anak-anak Anda suami menikah lagi?

Alhamdulillah Allah bukan saja mencukupkan, tapi menambah-nambah. Dan alhamdulillah, anak-anak kami semua justru bersyukur dengan poligami. Kemarin anak Ismail yang berumur 10 tahun diwawancara sebuah majalah. Dia mengatakan, begitu senang memiliki ibu banyak. Banyak tapi Ismailng. Dia pernah melihat seorang aktifis perempuan begitu keras berkata tentang poligami. Anak Ismail mengatakan, “Ini perempuan bercakap bukan dengan akal lagi, tapi dengan nafsu. Sangat emosional. Padahal, kami (anak-anak Ismail maksudnya) suka dengan itu . tak ada penzaliman.”

Apakah mungkin seorang suami bisa membagi perhatian tiga orang istri dengan banyak anak berbeda-beda misalnya?


(56)

Bisa. Bahkan hubungan anak-anak semua sangat baik. Tak ada perbedaan dia dari ibu yang mana. Suami Dr. Gina Puspita baru memiliki 4 orang anak. Tiga darinya dan 1 dari istri kedua. Istri ketiga dan keempat belum dikaruniai anak.

Banyak aktivis perempuan mengkritik poligami, apa pandangan Anda menghadapi kritikan itu?

Jangankan untuk hal poligami, gerakan kaum feminis hingga sekarang ini, belum mendapatkan kejayaan. Patutnya sekiranya jika mereka melihat gagalnya perjuangan kaum feminis di Prancis yang menjadi sumber awalnya. Ismail pernah 11 tahun di Prancis melihat sampai sekarang, di sana gerakan tersebut boleh dikatakan tidak membuahkan hasil, yang ada justru kesengsaraan bagi kaum wanitanya. Banyak orang berkonsultasi dengan Dr. Gina Puspita. Sebab banyak hal yang diperjuangkannya tidak sesuai dengan fitrah dia. Jadi katakanlah dia mendapatkan apa yang dia mau, tapi ternyata bila sudah mendapatkan, sesungguhnya dia begitu tersiksa.

Jadi apa hikmahnya bagi Anda dan kalangan Muslimah dengan berpoligami?

Dr. Gina Puspita pernah mengatakan di media massa, “poligami itu indah dan memang perlu.” Perlu bagi wanita dan lelaki sebagai pendidikan hati kita untuk dapat lebih mudah membesarkan asma Allah. Karenanya, Dr. Gina Puspita l menghimbau pada semua, mari kita kembali pada Allah, Tuhan kita. Dialah penyelesai segala maslah. Sekarang ini yang jadi masalah sebenarnya bukanlah poligami. Jadi tak perlu sibuk memerangi poligami. Sama halnya sekarang banyak orang shalat tapi masih korupsi. Lantas apakah dengan begitu kita akan


(57)

46

memerangi shalat? Banyak masalah lain yang kita perlu selesaikan. Pendidikan kita sedang bermasalah. Ekonomi kita bermasalah. Kebudayaan dan semua aspek kehidupan kita sudah rusak dan itu adalah masalah. Maka mari kita kembali pada Allah. Jadikan Ia segalanya. Bila demikian akan selesailah semua masalah. Mau monogami atau poligami, jika kembali pada Allah, tetap akan membawa kehidupan yang harmoni. [Cholis Akbar]

B.

Praktek Poligami Versus Ketidakadilan Gender

Sebagaimana disebutkan di atas, pro-kontra senantiasa mewarnai pelaksanaan poligami. Kelompok yang kontra terhadap poligami, mengatakan bahwa poligami lebih memposisikan perempuan dalam kaum tertindas, kaum yang tidak punya pilihan lain selain menerima apa adanya. Lebih tegas mereka menganggap bahwa poligami akhirnya merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Mengutip Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pasal 11, menyebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan baik secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan-perbuatan tertentu, dan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.

Bahkan sebuah Jurnal Perempuan yang terbit di Bandung memasukkan poligami sebagai kekerasan terhadap perempuan berdasarkan salah satu data LBH APIK Jakarta yang mengungkapkan bahwa poligami telah melahirkan dampak


(58)

tertentu bagi istri. Dampak yang paling dialami adalah istri tidak lagi diberi nafkah (37 orang), istri diterlantarkan atau ditinggalkan (23 orang), istri mengalami tekanan psikis (21 orang), istri dianiaya secara fisik (7 orang), pisah ranjang (11), mendapat teror istri kedua (2 orang) dan diceraikan (6 orang). 5

Data tersebut diambil dari istri yang melapor, belum lagi istri yang takut melapor atau istri yang harus manut menerima perlakuan diskriminatif dari suami dalam institusi poligami, bahkan ia tak berani untuk sekedar menyuarakan derita yang terjadi.

Di sisi lain, kita tahu, tak sedikit dari kaum laki-laki masih gemar poligami dengan perasaan tak risau, dari mulai rakyat biasa, dosen, pengusaha sampai ulama. Kenapa seseorang mesti poligami? Pertanyaan itu harus diajukan pada semua lelaki yang mulai punya niat berpoligami.

Selama ini permasalahan poligami terkesan hanya dipahami dari sudut kepentingan lelaki belaka. Meski pada kenyataannya, para pelaku poligami bersikukuh membela poligami dan mencari pelbagai legitimasi dari aneka sumber. Dapat dipahami bahwa poligami merupakan bentuk konstruksi kuasa laki-laki yang mengaku superior dengan nafsu menguasai perempuan, disisi lain, lagi-lagi faktor biologis atau seksual juga mendominasi bahkan demi prestise tertentu.

Dalam hal itu, gairah lelaki (suami) punya peluang membangun siasat untuk memenuhi keinginan dan kepentingannya. Jikapun penolakan istri muncul, ia mesti berhadapan dulu dengan “konsep kepatuhan istri kepada suami” (disobidience to the husband) yang mesti dijalani oleh istri tanpa ruang lebar

5


(59)

48

untuk kritis. Melenceng dari itu dalam beberapa kasus tak segan vonis “durhaka” (bahkan kekerasan fisik) mesti ditelan perempuan karena dianggap tidak patuh terhadap suami dan tidak teguh iman menerima “rahmat” poligami. Selain itu, rayuan “jaminan surga”, “sunah Rasul” acap dibalutkan pada pola pikir perempuan. Akibatnya, perempuan tak mampu mendefinisikan dirinya. Logika dominasipun muncul, jika suami bahagia berpoligami, istri harus patuh dan ikut bahagia. Tak heran jika banyak perempuan menerima poligami bahkan bersedia membelanya sekedar ingin kepuasan mendapat citra “perempuan solehah” versi laki-laki yang patuh pada suami, hukum dan tafsir sepihak dalam agama.6

Argumentasi di atas seakan menegaskan ada yang salah dengan poligami. Sebagai orang muslim yang meyakini sepenuhnya bahwa setiap hal yang diperbolehkan oleh Allah SWT tidak akan me-madharat-kan manusia, penulis berpendapat kalau sekarang poligami ternyata malah menghadirkan sebuah ketakutan besar yang sama sekali tidak terlihat sisi manfaatnya, tentu ada yang salah dengan poligami tersebut, dan menurut hemat penulis kesalahan itu bukan pada hukumnya tetapi pada pemahaman hukum dan penerapannya.

Hilaly Basya mengatakan bahwa sebenarnya Nabi punya semangat poligami yang berbeda dengan poligami sekarang. Perempuan yang dinikahi adalah janda punya anak atau yatim. Pada waktu itu, janda dalam masyarakat Arab tidak punya akses apapun ke masyarakat, berbeda dengan janda sekarang. Kini poligami sudah tak sejalan dengan moral Al-Qur`an. Kini poligami lebih berdampak kemadharatan ketimbang kemaslahatan. Bukankah Tuhan tidak

6


(60)

menyukai hambanya yang senang berlebihan? Sebab poligami kini tak lebih dari tirani birahi laki-laki yang mengeksploitsi perempuan atas nama Tuhan, alih-alih billahi, justeru birahi yang berkedok tafsir agama.7

Pembolehan poligami bagi suami dalam ayat tersebut merupakan hal yang amat dibatasi dengan ketat, sehingga seolah-olah mencapai tingkat darurat, pembolehannya harus memenuhi syarat bahwa suami harus dipercaya untuk dapat berlaku adil dan aman dari berbuat dosa (perbuatan menzalimi istri dan atau anak-anaknya). Muhammad Abduh menilai bahwa jika memperhatikan poligami yang cenderung dipraktikkan secara destruktif pada masa sekarang, dapat dipastikan bahwa tidak seorang pun mampu membina suatu umat yang menyalahgunakan poligami secara luas. Sebab rumah tangga yang terdiri dari dua orang istri cenderung tidak stabil dan sulit terwujud ketenangan. Bahkan suami dan para istri sebetulnya memberi andil bagi kehancuran rumah tangga tersebut, karena di antara para istri satu sama lain bermusuhan, demikian pula antara anak-anak mereka. Bahaya yang ditimbulkan tersebut akan meluas dari lingkungan individu ke lingkungan keluarga, dari keluarga ke lingkungan masyarakat, selanjutnya kepada kehidupan bangsa dan negara.

Dengan melihat dampak buruk yang sering terjadi akibat poligami di Mesir, Abduh menyarankan kepada ahli hukum di masanya untuk memformulasi hukum yang lebih kontekstual yang mengacu kepada kemaslahatan dan menepis segala kemudaratan, dengan memperhatikan kaidah dar al mafaasid muqaddam

7


(1)

81

Persyaratan adil bagi suami yang berpoligami pada prinsipnya sejalan dengan semangat salah satu tujuan disyariatkannya pernikahan, ketentraman pasangan suami-istri. Dengan kata lain, suami sah-sah saja melakukan poligami dengan catatan mampu mempraktekkan prilaku adil terhadap para istrinya, baik secara materi atau immateri. Sehingga berpoligami pada akhirnya bukan menjadi problematika sosial, justru merupakan solusi persoalan di tengah-tengah masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme dan keadilan.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Istri mempunyai hak untuk menolak keinginan suami untuk berpoligami, aturan hukum ini menjadi barometer potensi sikap adil yang dimiliki suami yang hendak berpoligami. Oleh karenanya ada sebagian istri yang rela dimadu bahkan mencarikan pasangan untuk suaminya dalam beberapa kasus poligami. Namun tidak sedikit istri yang tidak rela suaminya berpoligami karena dihawatirkan justru dengan suami berpoligami ketenteraman yang menjadi salah satu hikmah perkawinan jauh dari kenyataan. Jadi sikap adil suami yang beristri lebih dari satu mungkin saja terwujud hanya saja sangat minim yang mampu melakukannya. Menurut paradigma penulis, hal inilah yang melatarbelakangi adanya aturan tentang adanya izin istri bagi suami yang hendak berpoligami.


(2)

82

BAB V

PENUTUP

A.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan dan uraian pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Hukum Perkawinan poligami dalam perspektif agama Islam diperbolehkan dengan catatan suami mampu bertindak adil terhadap istri-istrinya, hal ini merujuk pada Al-Quran Surat An-Nisa ayat 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberi ruang bagi suami yang hendak beristri lebih dari satu sebagaimana diatur dalam pasal 4 (empat) dan 5 (lima).

2. Praktek poligmi menuai respon beragam dari masyarakat luas, ada yang pro poligami namun ada pula masyarakat yang menolaknya. Bagi kelompok pro poligami, mereka memiliki alasan bahwa polgami merupakan ibadah dan menjalankan aturan agama yang diwahyuhkan Allah, mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah tidak dibenarkan dalam Islam. Kelompok masyarakat anti poligami berargumen kesetaraan gender dan minimnya potensi sikap adil suami terhadap para istri-istrinya.

3. Makna keadilan sebagai syarat poligami bukan pada keadilan makna batin (seperti cinta dan kasih sayang) tetapi keadilan pada hal-hal yang bersifat material dan terukur. Sebagaimana di isyaratkan oleh ayat 129 surat An-Nisa dan latar belakang sosiologis sebab turun ayat poligami (An-Nisa ayat 3). Barometer keadilan yang harus dimiliki suami ketika hendak berpoligami


(3)

83

menunurt Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 5 (lima) adalah suami yang berpoligami harus ada persetujuan istri pertama dan adanya kepastiaan mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya (materail) serta suami menjamin akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya (immaterial).

B.

Kritik dan Saran

Fenomena perkawinan poligami yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan dalih dan mengatasnamakan agama serta mengesampingkan aspek semangat disyariatkannya poligami perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Hal ini sering terjadi karena dilatarbelakangi oleh keterbatasan wawasan yang cukup seputar poligami. Oleh karenanya menjadi urgen sosialisasi terkait aturan hukum positif yang menjadi acuan hakim untuk mengizinkan poligami terhadap seseorang, sehingga pada akhirnya poligami bukan menjadi media penyaluran kebutuhan biologis lelaki semata, akan tetapi harus mengedepankan sisi positif dari poligami itu sendiri, seperti keadilan dan motivasi kemanusiaan dan sosial.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kholid ibn, Keutamaan-Keutamaan Poligami, Sajadah Press, Yogyakarta, 2006

Abraham & Ilo Wilar, Poligini Nabi, Pustaka Rihlah, Yogyakarta, 2006

Al-Hufy, Ahmad, Mengapa Rasulullah Berpoligami, Pustaka Azzam, Jakarta, 2001

Ali, Asghar, Pembebasan Perempuan, LKIS, Yogyakarta

Al-Jahrani, Musfir, Poligami Dalam Berbagai Persepsi, Gema Insani Pers, Jakarta, 1996

Al-Jaziri, Abd. Al-Rahman, Kitab al Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, al-Maktabah al-Tijariyyah, Mesir, 1969

Al-Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Amani, Jakarta, 2003 Al-Qardlawi, Yusuf , Fiqh Maqashid Syari’ah, Pustaka Kautsar, Jakarta 2006 Aminudin, Slamet Abidin, Fiqh Munakahat, Pustaka Setia, Bandung, 1999

Anshori, Fahmie, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah?, Pustaka Iman, Depok, 2007 As-Sa’dani, As-Sayid bin Abdul Aziz, Isteriku Menikahkanku, Daarul Falah,

jakarta, 2007

As Sanan, Ariij Binti Abdur Rahman, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), Darus Sunah, Jakarta, 2005

Baltaji, Muhammad, Poligami, Media Insani Publishing, Solo, 2007

Basyir, Abu Umar, Poligami; Anugrah yang Terzhalimi, Rumah Dzikir, Solo, 2007

Djazuli, Ahmad, Ilmu Fiqh; Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum, Kencana, Jakarta, 2005

Do’I, Abd. Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Rajawali Press, Jakarta 2002

Farhat, Karam Hilmi, Poligami dalam pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi, Tim Pustaka Daarul Haq, Jakarta, 2007


(5)

Fathurrohman, Imam, Saya Tak Ingin Poligami Tapi Harus Poligami; Menelisik Alasan Kenapa Aa Gym Beristeri Dua, Hikmah Populer, Bandung, 2007 Fikri, Abu, Poligami yang Tak Melukai Hati, Mizania, Bandung, 2007

Fuad, Isnaeni, Berpoligami dengan Aman, Lintas Media, Jombang, [t.t] Ghazaly, Abd Rahman, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2006

Gusmian, Islah, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2007

Hudhari, Muhammad Syarif, Hak-Hak Wanita dalam Islam, Mujahid Press, Bandung, 2007

Husein, Imanuddin, Satu Istri Tidak Cukup, Khazanah, Jakarta, 2003

Irawan, Candra Sabtia, Perkawinan dalam Islam; Monogami atau Poligami, An-Naba Islam Media, Jogjakarta, 2007

Jaiz, Hartono Ahmad, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2007

Karim, Khalil Abdul, Syari’ah, LKIS, Yogyakarta, 2003

Karim, Muslih Abdul, Keistimewaan Nafkah Suami dan Kewajiban Isteri, Wawasan Islami, Jakarta, 2007

Khaluk, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh; Kaidah Hukum Islam, Pustaka Amani, Jakarta, 2003

Mubarok, Syaiful Islam, Poligami antara Pro dan Kontra, Syamil, Bandung, 2007

Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta.

Mudjib, Abdul, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh, Kalam Mulia, Jakarta, 2001 Mursalim, Supardi, Menolak Poligami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007

Muttahari, Murthadha, Duduk Perkara Poligami, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2007

Nasution, Khoiruddin, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, Pustaka Pelajar, 1996


(6)

Nurudin, Amiur dan Tarigan, Ahmad Azhari, Hukum Perdata di Indonesia, Permada Media, 2004

Ridho, Rasyid, Tafsir al-Manar, Dar al-Manar, Mesir

Setiati, Eni, Hitam Putih Poligami, Cisera Publishing, Jakarta 2007 Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an, Mizan, 1999

_______________ , Perempuan, Lentera Hati, Jakarta, 2001

Soerjono, Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003

Tim Penyusun al-Manar, Fiqh Nikah; Panduan Syar’i Menuju Rumah Tangga Islami, PT Syaamil Cipta Media, Bandung, 2006

Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, Fokus Media, Bandung 2005 Utomo, Setiawan Budi, Fiqh Aktual; Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,

Gema Insani Press, Jakarta, 2003

Yanggo, Chuzaemah dan Azhari, Hafiz, 1994, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta; PT. Pustakan Firadus.