Perbedaan Kadar Fungsi Hati Pada Penderita DM Tipe 2 Dan Non-DM

6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Diabetes Melitus

2.1.1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya.2
2.1.2. Klasifikasi2
1. Tipe 1 terjadi akibat destruksi sel beta, umumnya menjurus ke
defisiensi insulin. Yang termasuk didalamnya adalah :
autoimun dan idiopatik
2. Tipe 2 : bervariasi mulai dari dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin.

3. Tipe lain : tipe ini mencakup defek genetik fungsi sel beta,
defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab
imunologi yang jarang, serta sindrom genetik lain yang
berkaitan dengan DM.
4. Diabetes melitus gestasional.

Universitas Sumatera Utara

7

2.1.3. Epidemiologi
Prevalensi DM di dunia telah meningkat secara dramatis selama 2 dekade
terakhir ini. Demikian pula halnya dengan prevalensi GPT (gula darah puasa
terganggu) juga meningkat. Meskipun peningkatan prevalensi terjadi pada DM
tipe 1 dan tipe 2, namun peningkatan DM tipe 2 diperkirakan akan lebih cepat di
masa yang akan datang dikarenakan peningkatan jumlah obesitas dan
berkurangnya tingkat aktifitas. Peningkatan jumlah DM sejalan dengan
penuaan/pertambahan usia. Pada tahun 2000, prevalensi DM diperkirakan 0,19%
pada populasi usia < 20 tahun dan 8,6% pada usia > 20 tahun. Sedangkan pada

usia > 65 tahun, prevalensinya sebesar 20,1%. Prevalensinya sama antara pria dan
wanita tanpa memandang usia. Namun pada kelompok usia > 60 tahun, pria lebih
banyak terkena DM ketimbang wanita. Di Indonesia sendiri, prevalensi DM
berkisar antara 1,4 – 1,6% kecuali di 2 tempat yakni Pekajangan (2,3%) dan
Manado (6%). Secara keseluruhan dapat dilihat pada gambar 1. Menurut WHO,
pada tahun 2025 indonesia akan menempati urutan ke 5 penderita DM terbanyak
yakni sebanyak 12,4 juta orang, naik 2 tingkat dari tahun 1995.9

Gambar 1. Prevalensi DM di Indonesia.9

Universitas Sumatera Utara

8

2.1.4. Gambaran Klinis
Diagnosis DM mudah ditegakkan jika pasien datang dengan
adanya keluhan-keluhan klasik seperti poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan
berat badan. Gejala lain yang mungkin berhubungan dengan kondisi
hiperglikemia antara lain pandangan kabur, kebas-kebas khususnya pada
ekstremitas bawah, atau infeksi jamur khususnya balanitis pada pria. Namun

demikian, banyak pasien DM tipe 2 ternyata asimtomatik dan tidak terdiagnosa
selama bertahun-tahun. Pada sebuah studi disebutkan bahwa pasien DM tipe 2
yang telah menunjukkan gejala sebenarnya telah menderita DM selama 4-7 tahun
sebelum diagnosa ditegakkan. Di antara pasien-pasien DM tipe 2 di Inggris, pada
sebuah studi prospektif ditemukan bahwa 25% mengalami retinopati, 9%
neuropati, dan 8% mengalami nefropati pada saat didiagnosa.10
Di awal diagnosa DM, jarang ditemukan adanya kelainan pada
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan pada DM antara lain :
Obesitas khususnya sentral, hipertensi, perdarahan dan atau eksudasi serta
neovaskularisasi di mata, akantosis nigrikans, infeksi jamur, penurunan fungsi
syaraf

khususnya , tidak terasanya sentuhan ringan, sensasi suhu, serta

propriosepsi, kehilangan refleks tendon di tumit, kaki kering, atrofi otot, claw
toes, serta ulkus. Pemeriksaan pulsasi pembuluh darah ekstemitas juga dapat
memberikan gambaran komplikasi DM. 10
2.1.5. Patofisiologi
DM tipe 1 terjadi sebagai akibat efek sinergis dari faktor genetis,
lingkungan serta faktor imunologis yang akhirnya secara bersama-sama merusak


Universitas Sumatera Utara

9

sel-sel beta pankreas. Perjalanan alamiah terjadinya diabetes melitus tipe 1 dapat
dilihat dari gambar 2 yang memperlihatkan secara skematik suatu fungsi dari
massa sel-sel beta. Pada individu yang memiliki kecenderungan genetik terhadap
DM dapat memiliki massa sel beta yang normal, namun kemudian jumlahnya
mulai berkurang akibat destruksi secara autoimun yang berlangsung dalam
hitungan bulan atau tahunan. Proses autoimun ini kemungkinan dipicu oleh
stimulus infeksi ataupun lingkungan. Pada kebanyakan individu, marker
imunologis dapat muncul setelah proses autoimun tersebut dipicu namun sebelum
klinis diabetes tampak secara nyata. Massa sel beta selanjutnya perlahan akan
menurun dan sekresi insulin akan menurun secara progresif meskipun toleransi
kadar glukosa normal masih dapat dipertahankan. Kecepatan penurunan massa
sel beta ini bervariasi pada setiap individu. Ada yang berlangsung cepat namun
ada pula yang berlangsung lambat. Gambaran diabetes tidak akan tampak pada
masa ini hingga kerusakan yang terjadi mencakup + 80% dari seluruh jumlah sel
beta. Pada titik ini, sel beta pankreas yang tersisa masih dapat memproduksi

insulin namun jumlahnya tidak mencukupi untuk mempertahankan toleransi
glukosa. Kejadian yang memicu transisi dari intoleransi glukosa menjadi diabetes
sering kali erat kaitannya dengan peningkatan kebutuhan insulin yakni pada
keadaan terinfeksi dan pubertas. Setelah manifestasi klinis diabetes tipe 1 ini
muncul pertama kali, dapat muncul suatu fase yang disebut fase “honeymoon”
dimana pada masa ini, kontrol glikemik dapat tercapai dengan jumlah insulin yang
seadanya. Namun masa yang singkat ini akan segera berakhir sejalan dengan
proses autoimun yang terus berlangsung sehingga sel beta yang tersisa akan
dirusak sehingga akhirnya akan terjadi defisiensi insulin absolut.11

Universitas Sumatera Utara

10

Gambar 2. Merupakan gambaran skematik perjalanan alamiah DM tipe 1.
Seseorang yang memiliki predisposisi genetik terpapar dengan pemicu imunologis
yang memulai proses autoimun sehingga menyebabkan penurunan jumlah/massa
sel beta secara gradual. Gangguan produksi sel beta baru terlihat jika massa sel
beta yang rusak telah mencapai + 80%. Fase “honeymoon” dapat terjadi pada 1
atau 2 tahun pertama setelah onset diabetes. 11

Pada DM tipe 2, resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal
berperan sentral pada perjalanan diabetes melitus. Meskipun perbedaan pendapat
masih tetap ada berkaitan dengan defek primernya, namun kebanyakan studi
mendukung pandangan bahwa resistensi insulin mengawali terjadinya defek
sekresi insulin dan munculnya diabetes terjadi di saat sekresi insulin tidak lagi
adekuat. Secara garis besar, DM tipe 2 memiliki 3 karakterisitik patofisiologis
yakni gangguan pada sekresi insulin, resistensi insulin di perifer serta produksi
glukosa hati yang berlebihan. Obesitas, khususnya tipe viseral/sentral (dibuktikan
dengan rasio lingkar lengan-pinggang) sangat sering ditemukan pada DM tipe 2.
Sel-sel lemak/adiposit, menghasilkan sejumlah produk-produk biologis (lepitin,
TNF alfa, asam lemak bebas, resistin, serta adiponectin) yang mengatur sekresi
insulin, kerja insulin serta berat badan dan hal ini berpengaruh pada terjadinya
resistensi insulin. Di tahap awal kelainan, toleransi glukosa dapat tetap normal

Universitas Sumatera Utara

11

meskipun terjadi resistensi insulin sebab sel beta pankreas melakukan kompensasi
dengan meningkatkan produksi insulin (gambar 3). Sejalan dengan terjadinya

resistensi insulin dan kompensasi berupa hiperinsulinemia, sel-sel pankreas pada
beberapa individu perlahan tidak lagi mampu untuk mempertahankan kondisi
hiperinsulinemik. Maka terjadilah toleransi glukosa terganggu (TGT)/impaired
glucose tolerance (IGT). Jika sekresi insulin semakin menurun dan produksi
glukosa hepar terus meningkat maka pada suatu titik diabetes melitus akan mulai
nyata kelihatan yang ditandai dengan hiperglikemia pada keadaan puasa. Pada
akhirnya dapat terjadi apa yang disebut dengan kegagalan sel beta. Marker-marker
inflamasi seperti interleukin-6 (IL-6) dan protein C-reaktif dapat meningkat pada
diabetes melitus.11

Gambar 3. Perubahan metabolik yang terjadi selama perjalanan DM tipe 2.
Jumlah sekresi dan sensitifitas insulin memiliki hubungan, dan secara individu
cenderung mengarah pada resistensi insulin (dengan bergerak dari poin A
menuju poin B), sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin. Gagalnya
mekanisme kompensasi dengan peningkatan jumlah insulin mula-mula akan
menyebabkan gangguan toleransi glukosa (IGT; poin C) dan selanjutnya akan
terjadi DM tipe 2 (poin D).11

Universitas Sumatera Utara


12

2.1.6. Komplikasi
Komplikasi DM dapat terjadi secara akut maupun kronis. Yang
termasuk komplikasi akut adalah ketoasidosis diabetik (KAD) dan status
hiperglikemik hiperosmolar (HHS/hyperglycemic hyperosmolar state). KAD
sering terjadi terutama pada DM tipe 1 sedangkan HHS lebih sering terjadi pada
DM tipe 2. Kedua kelainan diatas memiliki kaitan terhadap defisiensi insulin
relatif ataupun absolut, deplesi volume carian, serta abnormalitas asam basa.11
Perbedaan KAD dan HHS dapat dilihat dari tabel 1.
Tabel 1. Nilai laboratorium pada KAD dan HHS.11

Komplikasi kronis DM melibatkan banyak sistem organ, dan hal
ini sangat berkaitan dengan tingginya mortalitas dan morbiditas DM. Komplikasi
DM dapat dibagi atas komplikasi vaskular dan komplikasi nonvaskular.
Komplikasi vaskular dibagi lagi menjadi komplikasi mikrovaskular (retinopati,
edema makular, neuropati, serta nefropati) dan komplikasi makrovaskular
(penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, serta penyakit serebrovaskuler).
Komplikasi nonvaskular meliputi gastroparesis, uropati, disfungsi seksual,
katarak, glaukoma, infeksi serta perubahan pada kulit.11


Universitas Sumatera Utara

13

2.1.7. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis
Selama beberapa dekade diagnosa diabetes didasarkan pada kriteria
pemeriksaan kadar glukosa yakni gula darah puasa dan 2 jam setelah menelan 75
gr glukosa dalam tes toleransi glukosa oral (TTGO). Pada tahun 2009, komite
para ahli internasional yang melibatkan perwakilan dari American Diabetic
Association (ADA),

The International Diabetes Federation (IDF) serta The

European Association for the Study of Diabetes (EASD) merekomendasikan
pemeriksaan A1C untuk mendiagnosa diabetes dengan ambang batas > 6,5%, dan
ADA telah mengadaptasi kriteria ini dalam laporannya pada tahun 2010. Uji
diagnostik harus dilakukan dengan metode yang telah disertifikasi oleh The
National Glycohemoglobin Standarization (NGSP). Berikut merupakan kriteria
diagnosa diabetes melitus menurut ADA: 12



A1C > 6,5%. Pemeriksaan harus dilakukan di laboratorium yang
disertifikasi oleh NGSP dan distandarisasi oleh uji DCCT (Diabetes
Control and Complication Trial). Jika A1C meningkat dimana tidak
dijumpai hiperglikemia, maka hasil harus dikonfirmasi dengan
pemeriksaan A1C ulang.
Atau



Gula darah puasa > 126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa didefinisikan
sebagai tidak masukan kalori selama sekurangnya 8 jam.
atau



Gula darah 2 jam setelah masukan glukosa 75g pada tes toleransi glukosa
oral (TTGO) > 200mg/dL (11,1 mmol/L). Uji harus dilakukan sesuai
yang dianjurkan oleh WHO.


Universitas Sumatera Utara

14

atau


Pasien dengan

gejala klasik hiperglikemia atau krisis

hiperglikemia diserta kadar gula darah acak/sewaktu >
200mg/dL (11,1 mmol/L).12

2.2

Diabetes Melitus dan Pemeriksaan Fungsi Hati
Pemeriksaan fungsi hati (liver function test/LFT) sering dilakukan pada

praktek klinis dalam rangka skrining penyakit hati, monitoring progresifitas
penyakit yang telah diketahui sebelumnya, serta monitoring efek obat yang
berpotensi memiliki sifat hepatotoksik. Pemeriksaan fungsi hati yang lazim antara
lain : aminotransferase serum (ALT dan AST), alkalin fosfatase, bilirubin,
albumin serta waktu protrombin. Alanin aminotransferase dan aspartat
aminotransferase memberikan gambaran konsentrasi enzim hati intraseluler yang
masuk ke sirkulasi dan bertindak sebagai marker/penanda injuri sel hati/hepatosit.
Alkalin fosfatase (ALP), gamma glutamil transpeptidase (GGT), serta bilirubin
merupakan penanda fungsi sistem bilier dan kolestasis. Albumin dan waktu
protrombin merupakan cerminan dari fungsi sintesis hati. ALT dan AST
normalnya bernilai < 30-40 unit/l. Peningkatan aminotransferase lebih dari 8 kali
lipat dari nilai batas atas normal mengindikasikan suatu kondisi hepatitis akut,
hepatitis iskemik cedera hati terkait obat atau toksin. Sedangkan transaminase
yang meningkat sedikit namun dalam jangka waktu yang lama sering ditemukan
pada pasien-pasien diabetes melitus.6

Universitas Sumatera Utara

15

2.2.1. Teori Dibalik Peningkatan Hasil Tes Fungsi Hati pada Pasien
Diabetes
Hati berperan dalam mempertahankan kadar glukosa normal darah
pada saat puasa dan setelah makan. Kehilangan efek insulin di hati dapat
menyebabkan

glikogenolisis

serta

peningkatan

produksi

glukosa

hepar.

Abnormalitas pada penyimpanan triglisireda serta terjadinya lipolisis pada
jaringan yang sensitif terhadap insulin seperti hati merupakan manifestasi awal
dari kondisi-kondisi yang berkatian dengan resistensi insulin, dan hal ini muncul
lebih dulu daripada hiperglikemia puasa. Namun demikian, bagaimana tepatnya
peran dari faktor genetik, lingkungan dan metabolik serta urutan kejadian yang
mengarah pada resistensi insulin masih belum jelas.6,13
Pada percobaan yang dilakukan pada hewan, ditemukan bahwa
hiperinsulinemia kronis merupakan faktor predisposisi terhadap terjadinya
resistensi insulin di hati. Hal ini ditandai dengan kegagalan insulin untuk
mensignal peningkatan substrat-2 reseptor insulin. Terjadi pula peningkatan
regulasi dari SREBP-1c (sterol regulatory element binding-protein 1c) yang
menyebabkan terjadinya lipogenesis. Lipogenesis terjadi terutama di hati
menyebabkan peningkatan trigliserida intraseluler dan menjurus ke arah fatty
liver. Hal ini juga dapat meningkatkan sintesis sekresi VLDL. Oleh karena itu
dapat disimpulkan bahwa kondisi hiperinsulinemia dapat berkorelasi langsung
dengan resistensi insulin di hati dan hal ini berkaitan dengan fatty liver.6,7,14
Kondisi berlebihnya asam lemak bebas yang ditemukan pada
keadaan resistensi insulin diketahui memiliki efek toksik pada hepatosit.
Mekanisme yang diduga menyebabkan hal ini adalah karena kerusakan membran

Universitas Sumatera Utara

16

sel pada konsentrasi asam lemak bebas yang tinggi, disfungsi mitokondrial,
pembentukan toksin, serta aktivasi dan inhibisi pada langkah-langkah penting
regulasi metabolisme. Kemungkinan lain yang dapat menyebabkan meningkatnya
kadar transaminase pada keadaan resistensi insulin antara lain adanya stres
oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi lipid reaktif dan sel-sel inflamasi yang
belakangan ikut dilibatkan. Keadaan resistensi insulin juga ditandai dengan
munculnya sitokin-sitokin proinflamasi seperti TNF-α (tumor necrosis factoralfa) yang dapat pula berperan pada cedera hepatoselular. Dalam sebuah studi
preeliminari ditemukan bahwa peningkatan promotor TNF-α, ditemukan pada
pasien dengan NASH (nonalcoholic steatohepatitis). Terori-teori

diatas

merupakan teori yang mengaitkan elevasi transaminitis dengan cedera hepatosit.
Dapat pula ditarik sebuah hipotesa yang menyatakan bahwa peningkatan ALT
yang merupakan sebuah enzim glukoneogenik dimana transkripsi gennya dapat
disupresi oleh insulin, dapat menandakan adanya gangguan pada signalisasi
insulin ketimbang sekedar karena cedera hepatoselular.6,15,16,17.
2.2.2. Peningkatan Fungsi Hati dan Progresifitas Diabetes Melitus
GGT merupakan sebuah marker nonspesisfik yang diketahui
meningkat pada DM tipe 2. Pada sebuah studi epidemiologi, GGT memiliki kaitan
dengan konsumsi alkohol, merokok, penyakit jantung koroner, indeks massa
tubuh, tekanan darah sistolik, trigliserida serum, denyut jantung, asam urat dan
hematokrit. Namun hubungan GGT terlihat berlawanan dengan tingkat aktifitas
fisik. Karena peningkatan GGT dijumpai pada diabetes dan indeks massa tubuh
yang meningkat, oleh karenanya GGT kemungkinan dapat digunakan sebagai
salah satu penanda lain pada resistensi insulin.6,18

Universitas Sumatera Utara

17

Untuk

menentukan

apakah

pemeriksaan

GGT

dapat

memperkirakan progresifitas diabetes, dilakukanlah suatu studi kohort prospektif
pada 7.458 laki-laki nondiabetes dengan usia 40-59 tahun selama 12 tahun. Rerata
nilai GGT serum pada permulaan studi secara signifikan dijumpai lebih tinggi
pada 194 laki-laki yang belakangan didiagnosa DM tipe 2 dibandingkan dengan
sisanya yang tidak didiagnosa DM (20,9 vs 15,3 unit/l, P < 0,0001). Hubungan ini
tidak terikat dengan kadar glukosa serum dan indeks massa tubuh. Ohlson dkk
(1988) melaporkan bahwa peningkatan ALT pada pria nondiabetes di Swedia
merupakan faktor resiko terhadap DM tipe 2, terlepas dari obesitas, distribusi
lemak tubuh, kadar glukosa plasma, lipid, AST, konsentrasi bilirubin, serta
riwayat keluarga dengan diabetes. Hasil yang serupa juga ditemukan oleh
Vozaroza et al

(2002) yang memantau 451 warga nondiabetik Pima Indian

selama rata-rata 6,9 tahun untuk menentukan apakah peningkatan enzim hati dapat
dikaitkan dengan kemunculan diabetes. Pada data baseline ditemukan bahwa nilai
ALT, AST, dan GGT berkaitan dengan persentasi lemak tubuh. Setelah
disesuaikan kembali terhadap usia, jenis kelamin, lemak tubuh, sensitivitas
seluruh insulin dan respon akut insulin, hanya peningkatan ALT pada baseline
yang berasosiasi dengan produksi glukosa hepar. Secara prospektif didapati
bahwa peningkatan konsentrasi ALT berkaitan dengan penurunan sensitivitas
insulin hepar dan peningkatan resiko diabetes melitus tipe 2.6,8,19,20
2.2.3. Insidensi Peningkatan Nilai Tes Fungsi Hati pada Diabetes
Salmela et al (1984) dalam studinya tentang prevalensi tes fungsi
hati abnormal dan kaitannya dengan temuan klinis pada 175 pasien rawat jalan
diabetes secara acak di Finlandia. 118 pasien dikategorikan sebagai DM tipe 2 dan

Universitas Sumatera Utara

18

57 pasien sebagai DM tipe 1. Pada pasien DM tipe 2, 33 pasien menggunakan
insulin sebagai tambahan terhadap terapi diet dan terapi antihiperglikemia oral
termasuk sulfonilurea dan metformin. Tidak satupun dari pasien-pasien ini
memiliki penyakit hati kronis dan tidak ada juga yang mengalami nefropati
diabetik. Rata-rata nilai HBA1c adalah 11,2 + 2,4%. Tes fungsi hati yang
diperiksa adalah albumin, bilirubin total, AST, ALT, ALP, GGT serta konsentrasi
asam kolik serta asam chenodeoksikolik. Dari seluruh sampel, 57% persen (100
subjek) mengalami setidaknya satu abnormalitas hasil pemeriksaan fungsi hati.
Sementara itu 27% (48 subjek) mengalami setidaknya 2 abnormalitas
pemeriksaan fungsi hati. Pada kelompok pasien DM tipe 2 didapati lebih sering
mengalami peningkatan nilai ALT (22,9 vs 5,3%) dan GGT (23,7 vs 10,5%)
dibandingkan dengan kelompok DM tipe 1. Di sisi lain, kelompok DM tipe 1
lebih sering mengalami peningkatan kadar bilirubin (21,1 vs 10,2%). Namun,
peningkatannya jarang melampaui 2 kali lipat batas atas normal. Analisis
multivariat menunjukkan bahwa indeks massa tubuh > 25 kg/m2 dan kontrol
diabetik yang buruk (gula darah puasa > 216 mg/dL) merupakan variabel klinis
yang paling signifikan yang berkaitan dengan peningkatan nilai ALT dan GGT.
Peningkatan ALT juga berhubungan dengan onset diabetes dalam kurun waktu 4
tahun belakangan. Diabetes onset usia muda (31-51 tahun) serta penggunaan diet
atau sulfonilurea. Untuk mengetahui reabilitas pemeriksaan fungsi hati dalam
kaitannya dengan perubahan histologi, Salmela et al. mengamati secara berurutan
72 pasien rawat inap dengan hepatomegali atau hasil pemeriksaan fungsi hati
yang abnormal yang sedang menunggu tindakan biopsi hati. Dari seluruh sampel,
68 subjek merupakan penderita DM tipe 2 sementara 4 subjek merupakan

Universitas Sumatera Utara

19

penderita DM tipe 1. Seluruh subjek didapati mengalami hepatomegali dan hasil
pemeriksaan fungsi hati yang abnormal. Seluruh subjek memiliki hasil
pemeriksaan darah rutin, elektrolit serum serta fungsi ginjal yang normal. Tidak
satupun subjek mengalami gagal jantung dekompensasi. 5 subjek mengaku
merupakan peminum alkohol, sementara 67 lainnya abstain. Dari 72 subjek yang
menjalani biopsi hati, 4 pasien atau keseluruhan subjek diabetes melitus tipe 1
dinyatakan memiliki gambaran histologi hati yang normal, sedangkan pada
kelompok DM tipe 2 hanya 5 dari 68 subjek yang memiliki histologi hati yang
normal. Pada 9 subjek dengan hasil histologi hati yang normal, parameter fungsi
hati yang paling sering meningkat adalah bilirubin dan ALP (alkalin fosfatase),
sementara peningkatan ALT lebih jarang dan peningkatan GGT tidak dijumpai
sama sekali. Dari 63 subjek yang memiliki kelainan pada histologi hati 48
didiagnosa sebagai fatty liver/steatosis dengan perubahan inflamasi nonspesifik,
14 subjek lagi disertai adanya bukti fibrosis. Dari 63 subjek ini, peningkatan GGT
dan ALT paling banyak dijumpai, namun tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam hal nilai GGT dan ALT antara tingkatan perburukan yang dijumpai dalam
histologi hati (mulai dari steatosis ke steatohepatitis hingga ke fibrosis). Sehingga
dapat disimpulkan dari studi ini bahwa abnormalitas pada pemeriksaan fungsi hati
lazim dijumpai pada DM namun tidak dapat membedakan derajat penyakit
menurut gambaran histologi.6,21
Sementara itu, Erbey et al (2000) dalam studi skala besar di
Amerika Serikat menemukan bahwa dari seluruh subjek yang diteliti dijumpai
4,1% mengalami peningkatan ALT sementara 6,7% menderita diabetes melitus
tipe 2. Pada kelompok DM dijumpai peningkatan ALT sebesar 7,8%

Universitas Sumatera Utara

20

dibandingkan kelompok nondiabetes yakni sebesar 3,8%. Kelompok yang
overweight dan obesitas memiliki kecenderungan mengalami peningkatan ALT
lebih besar.6,22
2.2.4. Hubungan Overweight, Obesitas dan DM tipe 2
Overweight adalah berat badan yang melebihi berat badan normal,
sedangkan obesitas adalah kelebihan akumulasi lemak dalam tubuh. Tetapi karena
lemak tubuh sulit untuk diukur, berat badan tubuh yang berlebihan dianggap
akumulasi lemak .
Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial, yang terjadi akibat
akumulasi jaringan lemak yang berlebihan, sehingga dapat mengganggu
kesehatan. Obesitas terjadi bila besar dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh
manusia.
Obesitas merupakan suatu kelainan komplek pengaturan nafsu makan
dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik.
Faktor genetik diketahui sangat berpengaruh pada perkembangan penyakit
ini.secara fisiologis obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan
akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga
mengganggu kesehatan.
Diabetes melitus tipe 2 terjadi oleh dua kelainan utama yaitu adanya defek
sel beta pankreas sehingga pelepasan insulin berkurang, dan adanya resistensi
insulin. Pada umumnya para ahli sepakat bahwa diabetes mellitus tipe 2 dimulai
dengan adanya resistensi insulin, kemudian menyusul berkurangnya pelepasan
insulin. Pada penderita obesitas juga ditemukan adanya resistensi insulin. Ada
dugaan bahwa penderita diabetes melitus tipe 2 dimulai dengan berat badan

Universitas Sumatera Utara

21

normal, kemudian menjadi obes dengan resistensi insulin dan berakhir dengan
diabetes melitus tipe 2. Pada umumnya penderita diabetes melitus dengan keluhan
khas yang datang ke klinik sudah ditemukan baik resistensi insulin maupun defek
sel beta pankreas.
Indek massa tubuh (IMT) merupakan indikator yang sangat sering
digunakan untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih atau obesitas pada
orang dewasa34.
Tabel 2. Klasifikasi IMT untuk ASIA Dewasa Menurut WHO dalam The Asia
Pasific Perspective, 2000

2.2.5. Nonalcoholic Fatty Liver Disease
Penyebab tersering adanya abnormalitas pada pemeriksaan fungsi
hati pada pasien diabetes adalah nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD).
NAFLD merupakan suatu spektrum klinikopatologis yang memberikan gambaran
temuan histologi mulai dari steatosis hati tanpa inflamasi, hingga steatosis hati
dengan adanya komponen nekroinflamatori yang dapat/tidak disertai dengan

Universitas Sumatera Utara

22

fibrosis (NASH/nonalcoholic steatohepatitis). NAFLD muncul tanpa adanya
riwayat konsumsi alkohol yang signifikan, dengan biopsi hati menunjukkan
adanya steatosis makrovesikular dengan atau tanpa adanya aktifitas nekroinflamatori dan eksklusi dari adanya kemungkinan penyakit hati lain. Meskipun
patogenesisnya belum jelas, NAFLD memiliki ciri khas adanya akumulasi
trigliserida dalam hepatosit. Resistensi insulin memainkan peranan penting dalam
akumulasi trigliserida. Berlebihnya asam lemak intraseluler, stres oksidatif,
deplesi jumlah ATP, serta disfungsi mitokondrial secara bersama-sama berperan
dalam menyebabkan cedera hepatoselular disusul inflamasi dan fibrosis. Oleh
karena tidak lagi mengejutkan bahwa temuan yang paling sering dari kondisi
NAFLD adalah peningkatan kadar transaminase serum yang tidak terlalu tinggi.
Namun seperti yang telah disebutkan sebelumnya yakni tingginya kadar
peningkatan transaminase tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit secara
histopatologi.6,15,22,23
2.2.6. NAFLD pada Pasien Nondiabetes
Saat ini NAFLD telah mengambil alih posisi penyebab tersering
peningkatan kronis fungsi hati pada pasien diabetes dan nondiabetes di Amerika
Serikat yang sebelumnya ditempati oleh alkoholik dan viral. Di antara seluruh
pasien NAFLD tersebut, 60-95% mengalami obesitas, 28-55% dengan diabetes
melitus tipe 2, dan 20-92% dengan hiperlipidemia. Sebuah studi prospektif dari
1.124 orang dewasa yang dirujuk karena adanya peningkatan kronis nilai fungsi
hati, 81 orang dijumpai dengan etiologi tidak diketahui marker infeksi (hepatitis B
dan C), metabolik (TSH), autoimun (serum protein elektroforesa, antibodi
antinuklear, antimitokondrial antibodi, anti-smooth muscle antibody) atau

Universitas Sumatera Utara

23

penyebab penyakit hati yang diturunkan secara herediter (α-1 antitripsin,
seruloplasmin, besi, kapasitas ikat besi, ataupun ferritin) dijumpai negatif.
Kelompok ini juga tidak memiliki riwayat pengguna alkohol dan obat-obat
hepatotoksik demikian juga tanda-tanda penyakit hati kronis. Dari antara 81
pasien dengan etiologi yang tidak diketahui ini, 73 orang memiliki gambaran
histologi hati yang abnormal dengan gambaran steatosis. Pada pasien dengan
penyakit hati tanpa etiologi yang jelas, prevalensi steatosis dan steatohepatitis
ditemukan sebesar 50,6 dan 32%.6,24,25
2.2.7. Hepatitis C dan Diabetes Melitus tipe 2
Hepatitis C virus (HCV) merupakan penyebab penyakit hati
tersering di Amerika Serikat dan merupakan prediktor yang independen pada DM
tipe 2. HCV diketahui ternyata memiliki prevalensi tinggi di kalangan penderita
diabetes. Simo R et al (1996) menemukan bahwa prevalensi hepatitis C lebih
tinggi pada penderita DM dibandingkan dengan kelompok pendonor darah (11,5
vs 2,5%, P < 0,001). Dari kelompok pasien diabetes yang terinfeksi HCV
ditemukan 72,3% memiliki nilai fungsi hati abnormal sedangkan pada kelompok
diabetes tanpa infeksi HCV hanya 27,7% (P < 0,001). Hal ini membuktikan
bahwa peningkatan nilai fungsi hati pada pasien diabetes perlu dilanjutkan dengan
pemeriksaan terhadap hepatitis C.6,26,27,28

Universitas Sumatera Utara

24

2.3.

Kerangka Teori

Diabetes Mellitus

Hiperglikemia
1. KGD puasa
2. KGD 2JPP

Peningkatan
glukoneogenesis

Peningkatan
Trigliserida

Resistensi Insulin

Peningkatan
asam lemak
bebas

Peningkatan
stress oksidatif

Peningkatan
sitokin
proinflamasi

Kerusakan
hepatosit
(membran sel,
mitokondrial )

Peroksidase lipid
reaktif dan sel
inflamasi

Peningkatan
TNF alpha

Liver Injury

Peningkatan fungsi hati
(ALT, AST, ALP, GGT)

Universitas Sumatera Utara