Analisis Pengaruh Inflasi BI Rate dan Ku (1)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberlangsungan sebuah perusahaan ditentukan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah lingkungan eksternal. Kondisi perekonomian secara makro merupakan unsur dari lingkungan eksternal tersebut. Kajian ekonomi makro meliputi nilai tukar matauang, inflasi, dan suku bunga acuan. Peristiwa perekonomian secara makro tersebut sedemikian rupa akan mempengaruhi proses dan keberlanjutan sebuah perusahaan.
Dalam analisis sekuritas, salah satu tahapan yang paling penting adalah analisis fundamental. Analisis ini menitikberatkan pada analisis kondisi ekonomi dan pasar. Analisis ini juga merupakan langkah pertama dalam pendekatan top- down karena pentingnya dampak kondisi ekonomi/pasar terhadap return saham (Jones, 2010). Analisis ini menyatakan bahwa terdapat hubungan antara return saham dengan situasi ekonomi makro suatu negara. Sedangkan pada saat yang bersamaan, faktor lain yang juga mempengaruhi return saham adalah kinerja keuangan perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu, terdapat hubungan antara kondisi perekonomian dengan kinerja keuagan perusahaan.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Halim (2013) membuktikan bahwa variabel-variabel makroekonomi seperti inflasi dan suku bunga secara simultan mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan di Indonesia. Penelitian yang dilakukan Ruhadi (2011) juga membuktikan bahwa kondisi ekonomi makro Penelitian yang telah dilakukan oleh Halim (2013) membuktikan bahwa variabel-variabel makroekonomi seperti inflasi dan suku bunga secara simultan mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan di Indonesia. Penelitian yang dilakukan Ruhadi (2011) juga membuktikan bahwa kondisi ekonomi makro
Globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas memungkinkan suatu negara atau perusahaan untuk saling memperdagangkan barang dan jasa. Barang atau jasa yang diimpor dari negara lain dipergunakan oleh perusahaan sebagai bahan baku, bahan penolong, dan kebutuhan lainnya. Permintaan dan penawaran barang dan jasa antarnegara akan sangat menentukan nilai tukar matauang. Jika permintaan terhadap matauang suatu negara naik, maka nilai tukar mata uang tersebut juga akan mengalami kenaikan. Sebaliknya, jika penawaran matauang suatu negara tinggi, maka nilai tukarnya juga akan turun ( cateris paribus ). Ketika nilai tukar matauang suatu negara lebih rendah relatif dibandingkan dengan negara mitra dagangnya, maka barang dan jasa yang diimpor akan menjadi lebih mahal. Kosekuensinya, biaya produksi akan mengalami kenaikan.
Di Indonesia, pada 25 September 2015, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sempat menyentuh titik terendah pasca-1998. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, pada saat itu, nilai tukar rupiah di pasar spot berada pada kisaran Rp.14.700-14.800 per dolar Amerika. Padahal, pada tahun 2014, nilai tukar rupiah hanya berada pada kisaran Rp.11.000-12.000 per dolar Amerika. Namun sebenarnya, jika kita melihat data sejak 2010-2015 tren penurunan nilai tukar rupiah sudah terjadi. Dalam periode tersebut, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika berkisar dari Rp.8000 hingga Rp.13.000 an per dolar Amerika.
Fluktuasi nilai tukar rupiah akan sangat dirasakan oleh industri yang bergantung pada bahan baku impor. Data dari Kementerian Perindustrian pada tahun 2014 menunjukan bahwa 64% industri nasional bergantung pada bahan baku impor. Jumlah tersebut berasal dari sembilan sektor industri seperti permesinan dan logam, otomotif, makanan dan minuman, pakan ternak, tekstil dan produk tekstil, elektronik, kimia dasar, dan pulp dan kertas. Kesembilan sektor tersebut tergolong industri strategis karena menyumbang 80% produksi nasional dan meyerap 65% tenaga kerja.
Untuk subsektor makanan dan minuman, sebanyak 70% kebutuhan bahan baku masih diimpor. Bahan baku tersebut seperti seperti gula, gandum, biji kedelai, perisa jus dan lain-lain. Sedangkan untuk bahan penolong seperti pemanis, pewarna, pengawet dan penyedap makanan, pemutih, antioksidan, antikempal dan lain-lain. Bahan baku mayoritas berasal dari China, Eropa dan Amerika.
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika akan sangat berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan makanan dan minuman karena bergantung pada bahan baku impor. Salah satu contoh pengaruh depresiasi nilai tukar rupiah terhadap kinerja keuangan terjadi pada PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. Pada 2013, perusahaan ini mengalami penurunan kinerja laba bersih yang bisa diatribusikan kepada pemilik enitas sebesar 23.3% atau kurang lebih Rp.1 triliun sebagai akibat dari rugi selisih kurs. Laba usaha perusahaan ini juga turun sebesar 2,3% dari tahun sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh naiknya beban operasional termasuk bahan baku.
Jika tidak dilakukan efisiensi, peningkatan biaya produksi sebagai akibat dari melemahnya nilai kurs juga akan diikuti oleh peningkatan harga jual atau mengecilnya margin laba yang berkonsekuensi pada penurunan laba perusahaan. Tidak hanya itu, kinerja perusahaan di pasar modal juga akan melemah karena kinerja keuangan yang turun.
Tingkat suku bunga acuan (BI rate) juga akan sangat berdampak pada kinerja perusahaan terutama terhadap kemampuannya untuk memperoleh pembiayaan. Perusahaan memerlukan pembiayaan untuk mendanai operasi dan investasinya. Aktivitas investasi sangat diperlukan untuk menjamin perusahaan dapat menjalankan fungsi dan mencapai tujuannya. Apabila tingkat suku bunga meningkat, maka kemampuan perusahaan untuk mendanai investasinya akan berkurang karena kenaikan BI rate juga akan diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit pada bank umum. Begitu juga sebaliknya, ketika tingkat suku bunga acuan rendah, maka kemampuan perusahaan untuk mendanai investasinya akan meningkat.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menetapkan suku bunga tertinggi di Asia Tenggara. Semenjak 2010 hingga 2015 BI rate bergerak pada angka 5 persen sampai 7.5 persen. Tingkat suku bunga Singapura per 1 Januari 2016 hanya sebesar 0.65% dan Malaysia sebesar 3,25%. Sedangkan Thailand dan Vietnam menetapkan suku bunganya sebesar 1,50% dan 6,5%. Secara umum, dapat kita katakan bahwa negara-negara yang memiliki suku bunga acuan yang rendah seperti Singapura dan Malaysia, memiliki kualitas perekonomian yang lebih baik daripada Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa suku bunga akan sangat menentukan kualitas perekonomian yang sebagian diwakili oleh industri atau Indonesia merupakan salah satu negara yang menetapkan suku bunga tertinggi di Asia Tenggara. Semenjak 2010 hingga 2015 BI rate bergerak pada angka 5 persen sampai 7.5 persen. Tingkat suku bunga Singapura per 1 Januari 2016 hanya sebesar 0.65% dan Malaysia sebesar 3,25%. Sedangkan Thailand dan Vietnam menetapkan suku bunganya sebesar 1,50% dan 6,5%. Secara umum, dapat kita katakan bahwa negara-negara yang memiliki suku bunga acuan yang rendah seperti Singapura dan Malaysia, memiliki kualitas perekonomian yang lebih baik daripada Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa suku bunga akan sangat menentukan kualitas perekonomian yang sebagian diwakili oleh industri atau
Berdasarkan Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh Bank Indonesia, dari total 2479 usaha yang menjadi sampel, sebanyak 44% mengaku mengalami kesulitan memeroleh kredit karena tingkat suku bunga yang terlalu tinggi. Kesulitan yang sama juga dialami oleh industri makanan dan minuman. Kementerian Perindustrian mengatakan bahwa penurunan BI rate akan mampu mendongkrak investasi pada industri makanan dan minuman.
Suku bunga acuan yang tinggi akan menyebabkan masyarakat lebih tertarik untuk menyimpan uangnya daripada menanamkannya di usaha tertentu. Biasanya, bank umum menetapkan suku bunga deposito tidak terlalu berbeda dengan BI rate dan menetapkan suku bunga kredit lebih tinggi daripada BI rate. Selisih bunga deposito dan kredit akan menjadi pendapatan bagi bank. Ketika perekonomian sedang lesu, penurunan BI rate diperlukan agar industri semakin menggeliat. Oleh karena itu, tingkat suku bunga akan sangat mempengaruhi industri atau perusahaan dalam rangka meningkatkan kinerja keuangannya.
Tingkat inflasi juga akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Tingginya tingkat inflasi dapat membuat pendapatan rill masyarakat (konsumen) menurun dan akan mengurangi daya beli. Sebaliknya, apabila tingkat inflasi rendah, maka daya beli konsumen akan meningkat. Daya beli konsumen terhadap barang dan jasa akan sangat mempengaruhi profitabilitas sebuah perusahaan. Misalnya, apabila daya beli konsumen terhadap produk makanan dan minuman diprediksi meningkat, Tingkat inflasi juga akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Tingginya tingkat inflasi dapat membuat pendapatan rill masyarakat (konsumen) menurun dan akan mengurangi daya beli. Sebaliknya, apabila tingkat inflasi rendah, maka daya beli konsumen akan meningkat. Daya beli konsumen terhadap barang dan jasa akan sangat mempengaruhi profitabilitas sebuah perusahaan. Misalnya, apabila daya beli konsumen terhadap produk makanan dan minuman diprediksi meningkat,
Berdasarkan data dari Bank Indonesia, sejak Januari 2010 hingga Desember 2015 tingkat inflasi di Indonesia berfluktuasi dari angka 3% sampai 8% dimana nilai tertinggi terjadi pada Agustus 2013 sebesar 8,79% dan terendah pada Desember 2015 sebesar 3,35%. Namun, sepanjang tahun 2013-2015 rata-rata inflasi relatif tinggi berkisar pada angka 6-7%. Fluktuasi inflasi ini tentu saja akan menaikan atau menurunkan harga barang-barang yang akan mempengaruhi daya beli konsumen dan pada akhirnya mempengaruhi profitabilitas perusahaan.
Industri makanan dan minuman sendiri memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat inflasi nasional. Menurut Adhi S. Lukman, ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minunam Indonesia (GAPMMI), mengatakan bahwa komponen pangan kurang lebih memberikan kontribusi 40% terhadap inflasi. Dari jumlah itu, 25% persennya berasal dari pangan mentah dan segar seperti beras dan 15% berasal dari produk olahan seperti mie instan.
Berdasarkan kasus dan permasalahan yang diilustrasikan di atas, nilai tukar rupiah terhadap dolar, suku bunga acuan (BI rate), dan inflasi terlihat sangat mempengaruhi kinerja industri makanan dan minuman. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membuktikan apakah inflasi, kurs rupiah terhadap dolar Amerika, dan BI rate benar-benar memiliki pengaruh terhadap kinerja keuangan terutama profitabilitas industri makanan dan minuman. Untuk itu, penulis memberi judul
penelitian ini “Pengaruh Inflasi, Kurs dan BI Rate terhadap Profitabilitas
(RoA) Perusahaan Publik pada Subsektor Makanan dan Minunam di
Indonesia (2011-2015) ”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan yang terlah dijelaskan, maka dapat ditentukan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh inflasi terhadap profitabilitas perusahaan publik pada subsektor makanan dan minuman di Indonesia selama 2011-2015
2. Bagaimana pengaruh kurs rupiah atas dolar Amerika terhadap profitabilitas perusahaan publik pada subsektor makanan dan minuman di Indonesia selama 2011-2015 .
3. Bagaimana pengaruh BI rate terhadap profitabilitas perusahaan publik pada subsektor makanan dan minuman di Indonesia selama 2011-2015 .
4. Bagaimana pengaruh inflasi, kurs dan BI rate terhadap profitabilitas perusahaan publik pada subsektor makanan dan minuman di Indonesia selama 2011-2015 .
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk membuktikan bagaimana pengaruh inflasi terhadap profitabilitas perusahaan publik pada subsektor makanan dan minuman di Indonesia selama 2011-2015 .
2. Untuk membuktikan bagaimana pengaruh kurs rupiah atas dolar Amerika terhadap profitabilitas perusahaan publik pada subsektor makanan dan minuman di Indonesia selama 2011-2015 .
3. Untuk membuktikan bagaimana pengaruh BI rate terhadap profitabilitas perusahaan publik pada subsektor makanan dan minuman di Indonesia selama 2011-2015 .
4. Untuk membuktikan bagaimana pengaruh inflasi, kurs dan BI rate terhadap profitabilitas perusahaan publik pada subsektor makanan dan minuman di Indonesia selama 2011-2015 .
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:
1. Bagi dunia akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan referensi bagi bidang akuntansi manajemen.
2. Bagi peneliti lain, penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi calon peneliti untuk menentukan tema dan objek penelitiannya.
3. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini tentunya akan menambah pemahaman mengenai tata cara penulisan skripsi, ilmu akuntansi manajemen, dan khususnya mengenai topik yang penulis angkat
1.5 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN Bab ini memaparkan tentang latar belakang, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini membahas tentang teori-teori profitabilitas, exposure
perusahaan terhadap perubahan variabel makroekonomi, Return on Asset (RoA) Inflasi, kurs, dan BI Rate, analisis laporan keuangan, analisis rasio keuangan, dan kinerja perusahaan. Bagian ini juga menjelaskan tentang penelitian terdahulu yang menjadi rujukan penelitian serta kerangka pemikiran dan hipotesis yang diambil
BAB III METODE PENELITIAN Bab ini menjelaskan tentang desain penelitian, variabel penelitian
dan pengukuran, metode pengumpulan data, dan metode analisis
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bab ini menampilkan hasil uji statistik hubungan variabel independen terhadap variabel dependen baik secara parsial maupun simultan yang disertakan dengan penjelasan dan pembahasannya.
BAB V PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan, keterbatasan dan saran yang dihasilkan dari penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Analisis Rasio Keuangan
Analisis rasio keuangan sudah lama digunakan untuk menilai kinerja perusahaan. Teori analisis rasio keuangan pertama kami dipopulerkan oleh Benjamin Graham yang dianggap sebagai bapak analisis fundamental. Rasio keuangan adalah sebuah alat untuk membantu dalam penginterpretasian laporan keuangan dan untuk membandingkan kinerja perusahaan dari tahun sebelumnya, perusahaan lain, dan sektor industri.
Rasio keuangan adalah penulisan kembali data akuntansi ke dalam bentuk perbandingan dalam rangka mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan keuangan perusahaan (Keown, 2005). Berbagai jenis rasio sering digunakan untuk menilai kinerja perusahaan yang meliputi berbagai aspek dari berbagai sudut pandang.
Pengertian Analisis Rasio Keuangan
Analisis rasio keuangan akan memberikan informasi mengenai keadaan keuangan sebuah perusahaan. Analisis rasio keuangan paling sering digunakan daripada analisis laporan keuangan lainnya. Analisis rasio keuangan melibatkan hampir seluruh elemen penting di dalam laporan keuangan. Rasio keuangan membantu investor dan pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan keuangan perusahaan. Rasio keuangan membantu untuk membandingkan rasio antarwaktu (misal
5 tahun terakhir), untuk memprediksi arah pergerakannya, dan untuk membandingkan rasio perusahaan dengan perusahaan lainnya (Keown, 2005)
Analisis laporan keuangan terdiri dari perbandingan internal dan eksternal. Perbandingan internal dilakukan dengan cara membandingkan rasio keuangan perusahaan yang sama dari tahun ke tahun. Perbandingan ini bermanfaat untuk melihat tren yang terjadi dan untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Dari perbandingan tersebut, perusahaan dapat menganalisa titik kelemahan dan kekuatan keuangan perusahaan sehingga dapat ditentukan kebijakan apa yang akan diambil baik itu oleh investor dan pemangku kepentingan.
Perbandingan eksternal meliputi perbandingan rasio perusahaan dengan perusahaan lainnya atau pada industri yang sama pada waktu yang sama pula. Perbandingan ini menampilkan informasi yang mendalam mengenai kondisi keuangan dibandingkan dengan perusahaan lain. Rasio ini juga membantu mengidentifikasi penyimpangan rasio perusahaan dari rata-rata industri
Keunggulan rasio keuangan:
1. Rasio keuangan berupa angka atau ikhtisar statistik yang lebih mudah dibaca dan ditafsirkan
2. Berguna untuk mengisi model pengambilan keputusan dan prediksi
3. Rasio keuangan dapat menstandarisasi ukuran perusahaan
4. Rasio keuangan memudahkan untuk membandingkan perkembangan perusahaan sendiri dan perusahaan lain secara periodik
5. Rasio keuangan memberikan informasi tren keuangan perusahaan sehingga dapat diprediksi apa yang akan terjadi di masa depan.
Kelemahan rasio keuangan:
1. Kesulitan dalam menggunakan rasio keuangan yang relevan dengan tujuan pemakainya
2. Adanya kekurangan informasi keuangan dari laporan keuangan yang menyebabkan kekurangan analisis rasio keuangan seperti:
a. Beberapa perhitungan yang disajikan di dalam laporan keuangan bersifat taksiran atau perkiraan. Contohnya metode penyusutan aktiva tetap, piutang tak tertagih.
b. Nilai yang tersaji di dalam laporan keuangan merupakan nilai wajar bukan nilai pasar sehingga tidak menggambarkan nilai tersebut secara rill.
c. Perbedaan metode atau standar akuntansi di berbagai perusahaan.
3. Rasio standar industri hanya berdasarkan perkiraan saja, tidak berdasarkan informasi yang benar-benar diperoleh dari perusahaan yang bersangkutan.
4. Kesulitaan dalam mengidentifikasi kategori industri jika perusahaan beroperasi dalam beberapa bidang usaha.
5. Adanya perbedaan praktik akuntansi di berbagai perusahaan yang dapat menghasilkan perbedaan dalam perhitungan rasio.
6. Perbedaan tahun fiskal yang diterapkan di berbagai perusahaan berdeba-beda yang berkaitan dengan pelaporan posisi keuangan. Contohnya sebuah perusahaan mungkin memiliki akhir tahun fiskal pada 31 Maret dan perusahaan lain memiliki tahun fiskal 31 Desember.
7. Tidak adanya standar yang berlaku umum untuk menilai apakah apakah sebuah hasil perhitungan rasio di satu industri dapat dikatakan baik atau tidak.
Rasio keuangan akan sangat bermanfaat apabila memenuhi kondisi berikut:
1. Dihitung menggunakan informasi keuangan yang andal dan akurat
2. Dihitung secara konsisten dari waktu ke waktu
3. Dihitung untuk perbandingan internal dan tujuan
4. Diperbandingkan dengan perusahaan lain di industri yang sama
5. Dilihat sebagai gambaran kondisi sekarang dan indikasi tren di masa depan
6. Diinterpretasikan secara hati-hati dalam konteks yang tepat karena banyak indikator dan dan faktor penting dalam menilai kinerja
Terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan metode analisis rasio keuangan. Hal penting yang perlu kita cermati adalah rasio keuangan bukan merupakan jawaban mutlak dan bukan merupakan metode satu-satunya. Namun, rasio keuangan akan sangat bermanfaat apabila ditujukan untuk analisis yang lebih spesifik untuk memperlihatkan perkembangan kinerja keuangan dan pola perkembangan sebuah perusahaan. Pada akhirnya, informasi-informasi tersebut bermanfat untuk memprediksi kinerja di masa depan.
Meskipun peristiwa di masa depan tidak dapat kita prediksi secara akurat, setidaknya peristiwa di masa depan sedikit banyak dipengaruhi oleh keputusan-keputusan saat ini dan masa lalu. Oleh karena itu, rasio keuangan masih dianggap penting bagi pengguna laporan keuangan.
2.1.2 Definisi Profitabilitas
Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dan mengukur tingkat efisiensi opersional dan efisiensi penggunaan harta yang dimiliki perusahaan. Analisis profitabilitas merupakan salah satu bagian dari analisis rasio keuangan yang paling sering digunakan dan dianggap yang terbaik untuk menggambarkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Sedangkan definisi lain yang diungkapkan oleh Halim (2009) profitabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan pada tingkat penjualan, aset, dan modal saham tertentu.
Efektivitas manajemen perusahaan dalam menghasilkan laba dapat diukur menggunakan rasio profitabilitas (Sawir, 2005). Rasio profitabilitas yang lebih tinggi relatif terhadap rasio tahun lalu atau rata-rata kompetitor mengindikasikan kinerja yang lebih baik. Karena hal tersebut mengindikasikan bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba lebih besar daripada “biaya” untuk menghasilkan laba tersebut (investasi). Untuk mendapatkan informasi yang relevan, perbandingan harus dilakukan dengan cermat dengan mempertimbangkan kondisi internal dan eksternal perusahaan.
Salah satu bagian dari analisis profitabilitas adalah analisis Return on Asset (ROA). ROA menggambarkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan. ROA sering digunakan sebagai alat untuk mengukur tingkat pengembalian total aset setelah beban bunga dan pajak (Brigham, 2001). Karena tujuan utama aset perusahaan adalah untuk menghasilkan pendapatan dan Salah satu bagian dari analisis profitabilitas adalah analisis Return on Asset (ROA). ROA menggambarkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan. ROA sering digunakan sebagai alat untuk mengukur tingkat pengembalian total aset setelah beban bunga dan pajak (Brigham, 2001). Karena tujuan utama aset perusahaan adalah untuk menghasilkan pendapatan dan
ROA diperoleh dengan cara membandingkan laba bersih setelah pajak dengan total aset (James Van Horne dan John M. Wachowicz, 2009). Formulasi ROA dapat digambarkan sebagai berikut:
Return on Asset =
Semakin tinggi nilai nilai ROA maka akan semakin baik. Nilai ROA yang tinggi mengindikasikan bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba yang tinggi relatif terhadap aset. Investor akan lebih memilih perusahaan yang memiliki nilai ROA tinggi. Karena, hal tersebut berarti bahwa perusahaan mampu menghasilkan level laba korporasi yang tinggi daripada perusahaan dengan ROA yang lebih rendah.
Pada perusahaan dagang, ROA sangat berkaitan dengan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Karena, core business perusahaan dagang adalah menjual barang dagangnya. Barang dagang pada laporan keuangan diwakilkan oleh persediaan barang dagang. Nilai persediaan barang dagang pada perusahaan dagang atau perusahaan lain yang memproduksi barang biasanya relatif besar di dalam laporan posisi keuangan. Jadi, nilai ROA sangat penting untuk menggambarkan efektivitas perusahaan dalam menghasilkan laba melalui persediaan (aset)
Seperti analisis keuangan lainnya, analisis ROA dapat dilakukan baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, analisis ROA dilakukan dengan Seperti analisis keuangan lainnya, analisis ROA dapat dilakukan baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, analisis ROA dilakukan dengan
Meskipun berada di dalam industri yang sama, lingkungan internal atau eksternal perusahaan bisa saja berbeda. Perbedaaan kebijakan akuntansi pada akun- akun tertentu yang dapat mempengaruhi jumlah laba dan aset yang dilaporkan. Oleh karena itu, analisis lebih mendalam dibutuhkan ketika nilai ROA sudah dikalkulasikan agar pengambilan keputusan bisa lebih tepat
Tingkat pengembalian pada perusahaan dipengaruhi oleh banyak faktor. Mengetahui faktor tersebut sangat bermanfaat terutama bagi manajemen untuk menerapkan ukuran yang layak bagi pertumbuhan dan untuk melakukan perkiraan jangka pendek maupun jangka panjang. Mengetahui keterkaitan antarvariabel yang mempengaruhi pengembalian juga akan sangat bermanfaat bagi investor, kreditor dan pemangku kepentingan lainnya yang memiliki kepentingan tersendiri terhadap perusahaan (Sinamica, 2012)
ROA dianggap sebagai salah satu informasi yang dianggap penting oleh investor. Analisis ROA juga dianggap sebagai salah satu metode analisis terbaik
terhadap laporan keuangan. Di Indonesia, pada bagian ” financial highlight ” setiap laporan tahunan perusahaan publik, hampir selalu kita temukan angka ROA. Hal itu mengindikasikan bahwa, informasi ROA menjadi salah satu informasi yang penting bagi manajemen dan investor sebagai pertimbangan keputusan investasi.
Beberapa literatur menyatakan bahwa ROA sama dengan Return on Investment (ROI). ROI melihat sejauh mana investasi yang telah ditanamkan mampu memberikan pengembalian sesuai dengan yang diperkirakan. Investasi tersebut sebenarnya sama dengan aset perusahaan yang ditempatkan. (Irham Fahmi, 2014). Menurut Syamsudin (2007), terdapat beberapa kelebihan analisis ROA atau ROI seperti:
1. Disamping berguna sebagai alat kontrol, ROI juga berguna untuk keperluan perencanaan. ROI dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan apabila perusahaan akan melakukan ekspansi. Perusahaan dapat mengestimasi ROI yang dibutuhkan melalui investasi aset tetap.
2. ROI dapat digunakan sebagai ukuran profitabilitas masing-masing produk yang dihasilkan. Melalui penerapan sistem biaya produksi yang baik, maka modal dan biaya dapat dialokasikan ke dalam berbagai produk yang dihasilkan sehingga dapat dihitung profitabilitas masing-masing produk.
3. Manfaat ROI yang paling prinsip berkaitan dengan efisiensi penggunaan modal, produksi, dan penjualan. Hal ini dapat dicapai ketika perusahaan sudah mengaplikasikan praktik akuntansi secara benar (mematuhi standar akuntansi). Apabila perusahaan pada periode tertentu telah telah mencapai perputaran aset operasi ( operating asset turnover ) sesuai dengan target yang telah ditetapkan tetapi ROI yang dicapai masih belum sesuai dengan target, hal tersebut merupakan indikasi bahwa manajemen harus memperhatikan bagian produksi dan penjualan.
Sedangkan kelemahan analisis ROI menurut Syamsudin (2002) adalah:
1. Sulit membandingkan rate of return suatu perusahaan dengan perusahaan lain karena perbedaan praktik akuntansi.
2. Analisis ini tidak dapat digunakan untuk membandingkan antarperusahaan dengan memeroleh hasil yang memuaskan.
Sebenarnya, kelemahan yang dikemukakan di atas sama dengan kelemahan analisis rasio keuangan pada umumnya. Menurut Keown (2005), terdapat beberapa kelemahan analisis rasio keuangan seperti:
1. Sulit mengidentifikasi kategori industri jika perusahaan bergerak dalam beberapa bidang usaha.
2. Angka standar rasio keuangan industri biasanya hanya berdasarkan perkiraan saja dan hanya memberikan petunjuk umum.
3. Perbedaan praktik akuntansi di beberbagi perusahaan dapat menghasilkan perbedaan nilai akun yang digunakan dalam perhitungan rasio
4. Industri kebanyakan tidak menyediakan suatu target atau nilai rasio yang diinginkan
5. Perbedaan proses bisnis perusahaan yang mempengaruhi nilai akun dalam laporan keuangan.
Namun, menurut Fahmi (2014) kelemahan-kelemahan di atas dapat diatasi dengan cara:
1. Melakukan analisis kualitatif untuk mendukung data kuantitatif rasio keuangan seperti kualitas SDM di berbagai divisi perusahaan.
2. Melakukan rekonsiliasi perbedaan antarpos dan menganalisis kenapa perbedaan itu terjadi.
3. Melakukan analisis yang lebih mendalam terkait nilai rasio keuangan sehingga tidak terdorong untuk mengambil keputusan secara spontan.
2.1.3 Inflasi
Inflasi adalah meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas atau mengakibatkan kenaikan barang lainnya (Bank Indonesia, 2016). Indeks harga konsumen (IHK) merupakan indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi. Perubahan IHK menunjukan pergerakan harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat.
Terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya inflasi. Pertama, inflasi yang disebabkan oleh tarikan permintaan ( demand pull inflation ). Kedua, inflasi yang disebabkan oleh desakan biaya ( cost push inflaation ). Inflasi tarikan permintaan terjadi ketika penawaran tidak mampu mengimbangi banyaknya permintaan. Kelebihan permintaan disaat penawaran tetap akan mengakibatkan kelangkaan barang atau jasa yang akan manikan harga atas barang/jasa itu sendiri. Inflasi ini biasanya terjadi ketika perekonomian tumbuh secara pesat dan penggunaan tenaga kerja penuh karena permintaan akan bertambah dalam jumlah besar.
Inflasi desakan biaya terjadi karena meningkatnya biaya produksi. Komponen utama biaya produksi adalah bahan baku dan tenaga kerja. Apabila terjadi kenaikan upah tenaga kerja atau biaya bahan baku maka akan mendorong naiknya biaya produksi. Ketika biaya produksi naik, secara otomatis akan meningkatkan harga jual sebuah barang atau jasa.
Terdapat beberapa teori inflasi seperti teori kuantitas, teori Keynes, dan teori struktural. Teori kuantitas menjelaskan bahwa inflasi terjadi karena jumlah uang yang beredar lebih banyak daripada produk atau jasa yang ditawarkan. Teori ini juga menambahkan ekspektasi masyarakat terhadap perubahan harga di masa depan. Biasanya, teori ini terjadi pada negara-negara berkembang.
Teori Keynes menjelaskan bahwa inflasi terjadi karena manusia ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya yang menyebabkan permintaan terus meningkat. Peningkatan jumlah permintaan ini tidak dapat diimbangi oleh peningkatan penawaran sehingga terjadi inflationary gap . Perbedaan ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak mampu mengimbangi perubahan permintaan yang cepat. Oleh karena itu, teori ini lebih tepat menerangkan inflasi dalam jangka pendek.
Inflasi memiliki efek korosif terhadap kinerja perusahaan (Boston Consulting Group, 2011). Inflasi dapat menggerus profit perusahaan dan membuat manajer berpikir bahwa mereka sudah melakukan kinerja lebih baik daripada kinerja yang sesungguhnya. Inflasi juga menurunkan minat investasi serta mendepresiasi kinerja perusahaan pada pasar saham. Apakah profit perusahaan benar-benar dipengaruhi oleh inflasi tergantung pada dua faktor:
1. Kekuatan perusahaan dalam membatasi kenaikan harga oleh pemasoknya. Pemasok akan sangat menentukan kelancaran proses produksi terutama harga pokok produksi. Perusahaan harus meninjau kontrak-kontraknya dengan pemasok untuk memperkirakaan apakah kontrak-kontrak tersebut sudah memadai apabila terjadi inflasi. Lebih 1. Kekuatan perusahaan dalam membatasi kenaikan harga oleh pemasoknya. Pemasok akan sangat menentukan kelancaran proses produksi terutama harga pokok produksi. Perusahaan harus meninjau kontrak-kontraknya dengan pemasok untuk memperkirakaan apakah kontrak-kontrak tersebut sudah memadai apabila terjadi inflasi. Lebih
2. Kekuatan perusahaan untuk mengenakan kenaikan harga pada konsumen. Elastisitas konsumen terhadap harga akan sangat menentukan profit perusahaan. Apakah konsumen perusahaan sesitif terhadap perubahan harga atau tidak. Konsumen sektor makanan dan minuman sangat sensitif terhadap harga. Jika perusahaan menaikan harga ketika inflasi terjadi, maka konsumen akan beralih ke produk substitusi yang akan secara langsung mengurangi profit perusahaan.
Inflasi juga memiliki dampak yang lebih luas lagi terutama terhadap nilai tukar matauang. Ketika inflasi terjadi di suatu negara, permintaan matauang negara lain akan meningkat yang pada akhirnya akan mendepresiasi matauang negara tersebut terhadap matauang asing. Depresiasi nilai tukar akan sangat mempengaruhi perusahaan terutama perusahaan yang mengimpor bahan baku dan perusahaan yang memiliki utang dalam matauang asing.
2.1.4 Nilai Tukar
Nilai tukar atau kurs adalah perbandingan nilai nominal matauang suatu negara dengan negara lainnya (Sukirno, 2004). Dengan kata lain, nilai tukar adalah sejumlah nilai nominal dari matauang yang dikorbankan untuk mendapatkan matauang negara lain dalam jumlah tertentu. Misalnya, untuk mendapatkan satu dolar Amerika kita harus mengorbankan atau membayar sebesar Rp.13.000.
Fluktuasi nilai tukar sedemikian rupa akan sangat mempengaruhi arus kas bahkan laba perusahaan. Hal ini terjadi karena adanya saling ketergantungan antarekonomi dan antarperusahaan dalam mencapai tujuannya. Contohnya, ketergantungan beberapa sektor di Indonesia terhadap bahan baku impor. Beberapa perusahaan juga memiliki utang yang didenominasi dalam matauang asing. Lebih jauh lagi, banyak perusahaan Indonesia yang melayani penjualan di luar negeri. Dalam aktivitas investasi, perusahaan juga memerlukan matauang asing untuk sekedar mengambil keuntungan dari perubahan kurs/suku bunga atau melakukan hedging untuk melindungi aktivitas bisnisnya dari fluktuasi nilai tukar.
Karena berbagai alasan di atas, terlihat jelas bahwa kinerja perusahaan terutama profitabilitas sedikit banyak akan dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar. Pengaruh perubahan nilai tukar terhadap kinerja perusahaan biasa disebut dengan exposure nilai tukar atau risiko nilai tukar (Madura, 2004). Meskipun konsep exposure nilai tukar biasanya diterapkan pada perusahaan multinasional (MNC), perusahaan berskala domestik juga perlu mengelola exposure nya karena alasan yang sudah dikemukakan sebelumnya. Di samping itu, banyak perusahaan yang menjadi objek penelitian ini melakukan penjualan ke luar negeri bahkan berinvetasi Karena berbagai alasan di atas, terlihat jelas bahwa kinerja perusahaan terutama profitabilitas sedikit banyak akan dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar. Pengaruh perubahan nilai tukar terhadap kinerja perusahaan biasa disebut dengan exposure nilai tukar atau risiko nilai tukar (Madura, 2004). Meskipun konsep exposure nilai tukar biasanya diterapkan pada perusahaan multinasional (MNC), perusahaan berskala domestik juga perlu mengelola exposure nya karena alasan yang sudah dikemukakan sebelumnya. Di samping itu, banyak perusahaan yang menjadi objek penelitian ini melakukan penjualan ke luar negeri bahkan berinvetasi
Terdapat pro dan kontra mengenai apakah perusahaan akan terkena dampak dari exposorue nilai tukar dan harus mengelolanya. Pendapat yang kontra mengatakan bahwa exposure nilai tukar tidak relevan karena adanya paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP). Teori PPP mengatakan bahwa perusahaan yang mengalami kanaikan biaya produksi akibat depresiasi nilai tukar, tidak akan mengalami kerugian karena perusahaan pesaing juga akan mengalami kenaikan biaya produksi akibat inflasi domestik. Di lain sisi, argumen yang mengatakan exposure nilai tukar relevan adalah adanya pilihan bagi investor atau perusahaan untuk melakukan hedging melalui kontrak forward, futures atau currency options untuk melindungi bisnis mereka.
Pada penelitian ini, penulis lebih condong pada pendapat yang mengatakan bahwa exposure nilai tukar relevan bagi perusahaan karena terdapat beberapa kelemahan teori PPP seperi adanya faktor lain yang mempengaruhi secara simultan dan tidak adanya produk substitusi. Alasan lain adalah tingginya kebutuhan sektor makanan dan minuman terhadap bahan baku impor.
Menurut Madura (2004), terdapat tiga jenis exposure nilai tukar yaitu exposure transaksi, exposure ekonomi dan exposure translasi. Exposure transaksi Menurut Madura (2004), terdapat tiga jenis exposure nilai tukar yaitu exposure transaksi, exposure ekonomi dan exposure translasi. Exposure transaksi
Exposure ekonomi adalah perubahan nilai perusahaan karena perubahan nilai tukar (Hanafi, 2003). Nilai perusahaan identik dengan nilai sekarang atau present value yang diukur dari arus kas masa depan. Sederhananya, pengukuran exposure ekonomi dapat dilakukan dengan hanya melihat pengaruh perubahan nilai tukar terhadap arus kas perusahaan. Namun, dalam proses pengukurannya terdapat banyak kendala dan kompleksitas.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi arus kas masa depan seperti kontrak saat ini dan daya saing saat ini maupun di masa depan. Faktor-faktor tersebut juga akan dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar.
Menurut Hartono (2003), terdapat tiga pola exposure ekonomi seperti:
1. Nonkontraktual, adalah transaksi valuta asing yang tidak memakan tenggang waktu seperti investasi pengembangan produk baru, pemasaran, dan penyediaan fasilitas distribusi.
2. Quasi kontraktual, adalah transaksi yang memakan sedikit tenggang waktu seperti penerimaan utang yang dalam matauang asing, menerima kuota harga matauang asing.
3. Kontraktual, adalah transaksi valuta asing yang memakan tenggang waktu seperti penerimaan utang dalam matauang asing dan pembayaran utang dalam matauang asin.
Terakhir, exposure translasi atau akuntansi yang menjelaskan sejauh mana akun-akun dalam laporan keuangan dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar. Misalnya, penjualan atau pembelian aset yang dedenominasi dalam mata uang asing. Saat pembuatan laporan keuangan, penjualan dan pembelian aset tersebut harus dikonversikan dalam matauang domestik. Nilai yang dikonversikan tersebut pasti akan berbeda dari waktu ke waktu karena adanya fluktuasi nilai tukar.
2.1.5 Suku Bunga (BI rate)
Tingkat suku bunga adalah harga yang harus dibayar oleh penerima pinjaman (debitor) kepada pemberi pinjaman (kreditor) dalam jangka waktu yang disepakati. Dengan kata lain, tingkat suku bunga ini merupakan harga dari kredit (Darmawi dalam Rahman, 2013). Di sisi lain, bunga merupakan imbalan yang diberikan kepada seseorang atas dana yang disimpannya (Wiyani dan Wijayanto, 2005)
Terdapat beberapa teori suku bunga yang dikemukakan oleh beberapa ahli di antaranya:
a. Teori suku bunga klasik Teori ini mengungkapkan bahwa tabungan adalah fungsi dari suku bunga. Semakin tinggi tingkat suku bunga maka akan meningkatkan keinginan masyarakat untuk menabung (Nopirin, 2013). Hal ini terjadi a. Teori suku bunga klasik Teori ini mengungkapkan bahwa tabungan adalah fungsi dari suku bunga. Semakin tinggi tingkat suku bunga maka akan meningkatkan keinginan masyarakat untuk menabung (Nopirin, 2013). Hal ini terjadi
b. Teori suku bunga Keynes Berbeda dengan teori klasik, Keynes mengungkapkan bahwa perubahan tingkat suku bunga merupakan sebuah fenomena moneter. Menurut Keynes, tingkat suku bunga lebih ditentukan oleh permintaan dan penawaran uang. Perubahan tingkat suku bunga selanjutnya akan diikuti oleh perubahan keinginan untuk berinvestasi yang pada akhirnya mempengaruhi pendapatan nasional. Teori ini berlaku dengan asumsi bahwa perekonomian belum mencapai full employment .
c. Teori suku bunga Hicks Hicks mengatakan bahwa keseimbangan tingkat suku bunga pada suatu perekonomian terjadi ketika tingkat suku bunga ini memenuhi keseimbangan sektor moneter dan sektor rill. Pandangan ini merupakan gabungan dari teori klasik dan Keynesian.
Di Indonesia, penetapan suku bunga mengacu kepada BI rate. BI rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang diumumkan ke publik. (Bank Indonesia). BI rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang Di Indonesia, penetapan suku bunga mengacu kepada BI rate. BI rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang diumumkan ke publik. (Bank Indonesia). BI rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang
Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan suku bunga PUAB diharapkan akan diikuti oleh suku bunga lainnya seperti bunga deposito, pasar uang, dan suku bunga kredit. Jadi, dapat dikatan bahwa BI rate menjadi suku bunga acuan bagi suku bunga lainnya.
Bank Indonesia biasanya akan menaikan BI rate ketika perkiraan inflasi di masa depan lebih tinggi daripada yang telah diprediksi. Sebaliknya, Bank Indonesia akan menurunkan BI rate apabila ekspektasi inflasi di masa depan lebih rendah daripada yang telah diramalkan. Mekanisme tersebut disebut dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini terjadi melalui interaksi antara BI, perbankan, sektor keuangan, dan sektor rill.
BI rate akan mempenaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Ketika perekonomian sedang mengalami kelesuan, penurunan BI rate akan menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat. Penurunan BI rate juga akan mengurangi biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Penurunan BI rate akan meningkatkan konsumsi dan investasi yang dapat meningkatkan aktivitas perekonomian (Venti Eka Satya, 2015).
Penurunan BI rate yang diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan akan mempengaruhi aktivitas pembiayaan sebuah perusahaan. Karena, suku semua suku bunga baik itu suku bunga deposito, kredit, hingga yield obligasi akan Penurunan BI rate yang diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan akan mempengaruhi aktivitas pembiayaan sebuah perusahaan. Karena, suku semua suku bunga baik itu suku bunga deposito, kredit, hingga yield obligasi akan
Menurut Subramanyam (2009), pembiayaan dari pihak ketiga yang biasanya berupa kewajiban atau liabilities terbagi menjadi dua:
1. Financing liabilities Financing liabilities adalah segala bentuk kewajiban pendanaan seperi surat utang jangka panjang, obligasi, utang jangka pendek, dan leasing.
2. Operating financing Operating financing adalah kewajiban yang timbul dari proses operasi perusahaan seperti trade creditors dan postretirement obligation atau obligasi yang telah jatuh tempo.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam memperoleh pembiayaan atau debt financing baik itu dari internal dan lingkungan bisnis perusahaan sendiri maupun kondisi eksternal perusahaan seperti tingkat suku bunga. Selain faktor-faktor lain, tingkat suku bunga dapat mempengaruhi level atau tingkat kemampuan perusahaan dalam memperoleh pembiayaan (Nyamita, 2014). Hal ini terjadi karena, perusahaan akan lebih Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam memperoleh pembiayaan atau debt financing baik itu dari internal dan lingkungan bisnis perusahaan sendiri maupun kondisi eksternal perusahaan seperti tingkat suku bunga. Selain faktor-faktor lain, tingkat suku bunga dapat mempengaruhi level atau tingkat kemampuan perusahaan dalam memperoleh pembiayaan (Nyamita, 2014). Hal ini terjadi karena, perusahaan akan lebih
2.2 Penelitian Terdahulu
Sebelumnya, telah ada penelitian sejenis baik itu menggunakan variabel yang sama atau menggunakan metode analisis data yang sama. Namun, terdapat beberapa perbedaan dalam variabel dependen dan independen. Perbedaan juga terdapat pada objek penelitian dan periode pengamatan. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 2.1 Tabel Penelitian Terdahulu
No Judul (Penulis)
Variabel dan
Hasil Penelitian
Model Analisis
1 Analisis Pengaruh Inflasi dan Variabel Inflasi Suku Bunga BI Terhadap
berpengaruh Kinerja Keuangan PT. Bank Inflasi, suku
independen:
signifikan Mandiri Tbk. Berdasarkan
terhadap terhadap Rasio Keuangan.
bunga, dan suku
RoE dan tingat (Neni Supriyanti, 2010)
bunga
suku bunga BI
berpengaruh Periode pengamatan: 2003-
Variabel
terhadap RoA 2007
dependen:
Kinerja keuangan Bank Mandiri yang terdiri dari RoA, RoE dan NIM
Teknik analisis yang digunakan Teknik analisis yang digunakan
Sebelum Nilai Tukar Rupiah, dan
2. Pengaruh Suku Bunga SBI,
Variabel
independen: Suku privatisasi, hanya Inflasi Terhadap Kinerja
suku bunga SBI Perusahaan Sebelum dan
bunga SBI,
yang Sesudah Privatisasi (Studi
inflasi, dan nilai
mempengaruhi Kasus Pada PT.
tukar rupiah
kinerja keuangan Telekomunikasi Indonesia
perusahaan. Tbk.
Variabel
dependen: terdiri Setelah privatisasi, (Linda Dwi Oktavia, 2009)
dari RoA, NPM,
suku bunga SBI
dan inflasi Periode pengamatan: 2000-
RoE
memengaruhi 2001 dan 2007-2008
Teknik analisis
kinerja keuangan
yang digunakan
perusahaan.
adalah regresi
Secara umum
linier berganda
privatisasi tidak memengaruhi kinerja keuangan perusahaan
3. Pengaruh Exposure Nilai
Inflasi dan suku Tukar, Inflasi dan Suku
Variabel
bunga secara Bunga Terhadap
independen:
parsial tidak Profitabilitas (Studi Kasus
Inflasi, suku
memengaruhi pada Perusahaan Perbankan
bunga, dan nilai
tukar
RoI/RoA. yang Terdaftar di Bursa Efek Sedangkan nilai
Indonesia
tukar (Jose Dwijaksono, 2009)
RoI/RoA Periode pengamatan: 2005-
profitabilitas
yang terdiri dari
RoI atau RoA dan RoE
Tekik analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda
Semua variabel Makroekonomi Terhadap
4. Pengaruh Variabel
Variabel
dependen secara Kinerja Perusahaan di
independen:
Inflasi, suku
signifikan dan
Indonesia Pasca-Merger dan bunga SBI, GDP simultan Akuisisi
memengaruhi (Cindy Halim, 2013)
Variabel
RoA dan RoE
dependen: kinerja
Periode Pengamatan: 2002-
perusahaan yang
terdiri dari rasio terdiri dari rasio
Teknik analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda
5. Analisis Pengaruh Dana
Secara simultan, Pihak Ketiga, BI Rate dan
Variabel
semua variabel Kurs Rupiah Terhadapa
Independen:
independen Profitabilitas (RoA) pada
Dana Pihak
memengaruhi Bank Persero di Indonesia
Ketiga, inflasi
RoA dengan (M. Nur Firdaus Rahman,
dan BI rate
signifikan. 2015)
Variabel
Variabel kurs
mempengaruhi Periode pengamatan: 2008-
dependen: RoA
secara signifikan 2014
Teknik analisis
negatif variabel
yang digunakan
profitabilitas.
adalah regresi dan ekonometrik dengan metode OLS
6 Pengaruh Nilai Tukar Rupiah Variabel Nilai tukar dan IHSG terhadap Return
independen: Nilai berpengaruh on Asset pada Industri Food
signifikan and Beverage yang Go
tukar, fluktuasi
terhadap RoA Public di Bursa Efek Indonesia (Stevanus Tulende, Variabel Parengkuan Tommy, dan
IHSG
dependen: ROA
Paulina Van Rate 2014)
Metode yang
Periode Pengamatan: 2010-
digunakan adalah
penelitian asosiatif (hubungan)
Inflasi tidak Suku Bunga, dan PDB
7 Analisa Pengaruh Inflasi,
Variabel
berpengaruh Terhadap Return on Asset
independen:
terhadap RoA. Perusahaan Consumer Goods bunga dan PDB
Inflasi, Suku
Suku bunga di Indonesia (Febrio Tan
berpengaruh Perdana 2014)
Variabel
negatif terhadap
RoA Periode pengamatan: 8 tahun (2006-2013)
dependen: ROA
Metode yang digunakan adalah analisis linear berganda
Penelitian ini merupakan penelitian yang serupa dengan penelitian- penelitian di atas (replikasi) tetapi terdapat beberapa perbedaan seperti objek penelitian, metode penelitian, tahun pengamatan, dan variabel yang digunakan. Dalam penelitian ini, varibel independen yang digunakan adalah nilai tukar rupiah, BI Rate, dan inflasi. Sedangkan variabel dependen yang dipakai adalah profitabilitas (RoA). Objek penelitian ini adalah perusahaan pada sektor makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
2.3 Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran
Tingkat inflasi (X1)
H1 H4
Kurs rupiah terhadap dolar Amerika (X2) H2 RoA
BI rate (X3) H3
2.4 Pengembangan Hipotesis
2.4.1 Pengaruh Tingkat Inflasi terhadap RoA Perusahaan Subsektor Makanan dan Minuman
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, inflasi adalah kenaikan harga barang secara umum yang terjadi secara terus menerus. Kenaikan harga barang yang disebabkan oleh inflasi tentunya akan mengurangi daya beli konsumen. Kondisi seperti ini akan memengaruhi penjualan perusahaan terutama perusahaan Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, inflasi adalah kenaikan harga barang secara umum yang terjadi secara terus menerus. Kenaikan harga barang yang disebabkan oleh inflasi tentunya akan mengurangi daya beli konsumen. Kondisi seperti ini akan memengaruhi penjualan perusahaan terutama perusahaan
H1: Tingkat inflasi berhubungan negatif dan berpengaruh signifikan terhadap RoA perusahaan subsektor makanan dan minuman
2.4.2 Pengaruh Kurs Rupiah atas Dolar Amerika terhadap RoA Perusahaan Subsektor Makanan dan Minuman