Rangkuman Hukum Keluarga dan Waris Adat (1)

RANGKUMAN

HUKUM KELUARGA & WARIS ADAT

Penyusun: Daya Perwira Dalimi

Kelas Karyawan Fakultas Hukum

Universitas Pancasila

(Pertemuan Kesatu – 1 Maret 2012)

INFORMASI UMUM/PEMBUKAAN

1. Hukum Orang/Pribadi adalah Hukum untuk manusia yang sudah dewasa dan dapat dikatakan sebagai Hukum yang membicarakan masalah kedewasaan. Jika dikaitkan dengan Hukum, maka seseorang hanya dapat diminta pertanggungjawaban jika sudah Dewasa. Ukuran kedewasaan diatur lebih detil dalam BW dan UU1/1974, yang mana batas usianya berbeda.

2. Ukuran Kedewasaan Berdasarkan Hukum Adat:  Kedewasaan seseorang tidak ada kaitannya dengan Umur seseorang, melainkan seseorang

dianggap dewasa jika seseorang tersebut sudah menikah. Karena dengan menikah, dapat melaksanakan hak dan kewajiban. Dan seseorang dapat menikah jika hanya sudah Akil Baligh. Dengan demikian, menurut Hukum Adat, kedewasaan seseorang itu jika sudah terjadi Akil Baligh dan tidak didasarkan pada batas usia.

 Dewasanya seseorang dalam Hukum Adat, juga tergantung dari sikap tindak seseorang tersebut di dalam masyarakat. Contohnya: (1) anak 10 tahun yang menandatangani perjanjian bisa dianggap

dewasa, karena ternyata dia sudah bertindak dewasa, karena menjadi tulang punggung bgi keluarganya.

3. Sistem Keluarga

Bilateral (Parental):

Patrilineal:

Matrilineal:

hubungan (hubungan kekerabatan) melalui kekerabatan

memperhitungkan garis keturunan memperhitungkan hubungan memperhitungkan

melalui

garis kekerabatan

melalui

garis

garis keturunan

dan keturunan laki2, dimana hanya keturunan perempuan, dimana perempuan, dimana baik anak anak2 laki saja yang memperoleh hanya perempuan saja yang laki dan perempuan mendapatkan harta waris. Ex . Adat Batak

laki2

memperoleh harta waris. Ex . harta waris. Ex. Adat Ja wa

Adat Minangkabau

4. Pola Menetap setelah Menikah – Keluarga Luas (Extended Familiy)

a. Keluarga luas Bilokal (Utrolokal): keluarga yang berdasarkan adat Biloka, dimana pola

menetapnya bebas yaitu dapat tinggal di kediaman keluarga Suami atau Istri, sehingga keluarga ini akan terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga inti dari anak laki2 dan perempuan

yang mereka miliki

b. Keluarga luas Patrilokal (Virilokal): keluarga yang berdasarkan adat virilokal, dimana pola menetapnya tinggal pada kerabat suami, sehingga keluarga ini akan terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga inti dari anak laki2 yang mereka miliki

c. Keluarga luas Matrilokal (Uxorilokal): keluarga yang berdasarkan adat uxorilokal, dimana pola menetapnya tinggal pada kerabat Istri, sehingga keluarga ini akan terdiri dari keluarga inti senior

dengan keluarga inti dari anak perempuan yang mereka miliki

PERKAWINAN ADAT

5. Hukum Perkawinan Adat

 Perkawinan adat sangat dipengaruhi/ditentukan oleh sistem keluarga, yaitu Patrlineal, Matrilineal dan Bilateral, dimana setiap sistem keluarga tersebut mempunyai sistem perkawinan

yang berbeda. Dengan kata lain, sistem keluarga yang berbeda, akan melahirkan sistem perkawinan yang berbeda. Contohnya Perkawinan Batak sangat dipengaruhi sistem Patrilinial, Minang sistem Matrilinial, dan Jawa sistem Bilateral

 Pengertian Perkawinan Adat adalah berbeda dengan pengertian Perkawinan menurut UU,

dimana menurut Hukum Adat, dalam perkawinan tidak ada suatu ikatan lahir bathin.

Perkawinan adalah suatu persoalan yang menyangkut masalah keluarga dan masalah

masyarakat. Dengan demikian menurut Hukum Adat, perkawinan adalah bukan ikatan seorang laki2 dan perempuan, tetapi ikatan antara dua keluarga (Masyarakat). Jadi prinsipnya menurut Hukum Adat walaupun terjadi perkawinan, suami istri tetap terikat dengan hukum keluarga

masing2. Contohnya adalah dalam hukum warisnya, dimana seorang istri/suami ketika pasangannya meninggal,bukanlah menjadi ahli waris, karena diantara mereka tidak ada ikatan keluarga.

6. Sistem Perkawinan Adat: sistem perkawinan adat tergantung dari sistem keluarganya, yang terbagi menjadi:

a. Sistem PATRILINEAL

 Perkawinan tidak boleh terjadi di dalam Klen, tapi harus diluar Klen, yang dinamakan

Perkawinan EKSOGAMI

 Klen adalah kelompok orang dimana orang2 didalam kelompok itu mempunyai ikatan keluarga/darah, melalui penghubung perempuan (Matrilineal) atau Penghubung Laki2

(Patrilineal). Klen juga dapat disebut dengan Marga. Dengan demikian, satu klen bisa dikatakan satu keluarga, sehingga tidak dapat terjadi suatu perkawinan didalam klen yang sama Contoh: Dalam Patrlineal jika terdapat pasangan yang berasal dari satu Marga (terhubung oleh garis laki2), maka tidak akan pernah bisa menikah, karena mereka sebenarnya adalah satu Keluarga

Note: Jika dilihat di gambar, F tidak akan pernah bisa menikah dengan E, karena F berasal dari Marga yang sama (Satu Klen) dengan E, dimana terhubung melalui garis laki2, yaitu melalui Ayahnya (D), yang mempunyai Bapak yang sama (A) dengan Ayahnya E (C). Perkawinan tersebut dinamakan Perkawinan Endogami.

 Hubungan hukum seorang Istri dengan keluarga asalnya akan terputus dan PINDAH hubungan hukumnya ke keluarga suaminya begitu si Istri menikah dengan sistem Patrilineal.

Dan tempat tinggal Istri pun harus di tempat keluarga Laki2 (Suami), yang disebut PATRILOKAL Hal ini dikarenakan anak yang nantinya dilahirkan oleh pasangan suami istri tersebut akan menjadi keluarga (hubungan darah) dengan pihak laki2, sehingga harus bertempat tinggal di rumah pihak laki2 (Suami).

 Status Istri yang menikah dengan sistem Patrilineal adalah PINDAH ke kekeluarga pihak Laki2 (suami). Dengan pindahnya status istri, maka keluarga dari Pihak Istri tentunya akan

kehilangan sesuatu (Nilai Magis) karena berpindahnya Istri ke keluarga Laki2. Oleh karena itu, sebelum pernikahan terjadi, Pihak Laki2 HARUS terlebih dahulu menebus (Mengganti) nilai magis dari anak perempuan yang ingin dinikahinya.

 Barang Magis tersebut dapat disebut dengan Barang JUJUR (orang Batak menyebutnya

SINAMOT) , yaitu barang yang WAJIB diserahkan pihak laki kepada KELUARGA pihak

perempuan, yang berfungsi untuk mengganti nilai magis dari Perempuan yang ingin dinikahi tersebut

 Besarnya nilai tebusan (Barang JUJUR) tersebut, tergantung dari permintaan Pihak

Keluarga Perempuan dan tergantung juga dengan status sosial keluarga perempuan tersebut.

 Jika laki2 tidak dapat memenuhi Barang Jujur yang diminta, maka Perkawinan tidak dapat terjadi. Dengan demikian, besarnya Barang Jujur itu ditentukan sebelum pernikahan, karena

Barang Jujur itu adalah sebagai syarat untuk terjadinya perkawinan

(Pertemuan Kedua – 15 Maret 2012)

b. Sistem MATRILINEAL – Perkawinan SEMENDO  Perkawinan tidak boleh terjadi di dalam Klen, tapi harus diluar Klen, yang dinamakan

Perkawinan EKSOGAMI

 Dalam Perkawinan Semendo, seoranga Suami didalam keluarga istrinya adalah hanya sebagai TAMU, atau yang disebut dengan ORANG SEMENDO. Bentuk perkawinannya adalah

Perkawinan Semendo

 Karena Suami hanya berstatus sebagai Tamu di tempat istri dan keluarganya, tentunya Suami ini TIDAK MEMPUNYAI TANGGUNG JAWAB terhadap Istri dan anak2nya. Seorang

suami hanya bertanggung jawab terhadap keponakan2nya saja

 Jika ada keturunan (anak), maka keturunan tersebut akan tinggal di tempat Istri, karena Anaknya menjadi tanggung jawab istri dan keluarga istrinya. Pola menetap tempat tinggal

Suami di tempat Istrinya ini disebut dengan MATRILOKAL  Dalam prakteknya, karena suami hanya bertindak sebagai tamu dirumah istrinya, biasanya

Suami tidak boleh berada di rumah istrinya pada siang hari, dan biasanya hanya datang pada

malam hari saja, karena Fungsi Laki2 dalam adat Matrilokal adalah hanya sebagai Pemberi Keturunan

 Karena suami hanya sebagai Tamu, maka dalam perkawinan Semendo ini TIDAK ADA

KEHIDUPAN BERSAMA. Baik suami dan istri tetap terikat pada hubungan keluarga masing-masing

c. Sistem BILATERAL

 Bentuk perkawinannya adalah Perkawinan BEBAS, yang mana istilah bebas ini berasal dari

sifatnya tidak terikat oleh sifat2 atau ciri2 akibat perkawinan Jujur dan Semendo, yaitu tempat tinggal ditentukan bersama oleh suami istri yang disebut dengan BILOKAL

 Sistem perkawinannya adalah ELEOTHEROGAMI, yaitu sistem perkawinan yang tidak

terikat kepada sistem eksogami atau endogami

 Anak bisa tinggal di tempat tinggal Ibu atau Ayah, tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak. Setelah menikah, biasanya keluarga tersebut akan keluar dari keluarga induk dan

membentuk keluarga sendiri  Sebenarnya pada Perkawinan Bebas ini, suami istri TIDAK TERIKAT satu sama lainnya,

hanya ada TEMPAT TINGGAL BERSAMA (Secara formal). Masing2 suami dan istri tetap terikat dengan keluarganya masing2.

 Satu-satunya syarat dalam perkawinan Bilateral adalah tidak boleh melakukan perkawinan diantara orang yang mempunyai hubungan darah yang erat/dekat

 KESIMPULAN PERKAWINAN TIGA SISTEM

Perkawinan Patrilineal

Perkawinan Matrilineal

Perkawinan Bilateral

7. Pengaruh Agama terhadap Perkawinan Adat

Sahnya perkawinan adat juga terkait/dipengaruhi oleh hukum agamanya, artinya Perkawinan SAH jika sudah dilakukan menurut HUKUM AGAMA. Sama halnya dengan syarat/larangan perkawinan, juga terkait/dipengaruhi oleh hukum agama, jadi disamping larangan menurut Hukum Adat, juga berlaku larangan menurut hukum agama

8. KEMUNGKINAN terjadinya suatu Sistem Perkawinan pada Sistem Kekeluargaan yang lain

Pertanyaan : apakah masing2 perkawinan bisa terjadi pada sistem kekeluargaan yang lain?

Jawaban : Meski hampir semua Sistem Perkawinan tidak dapat terjadi pada system keluarga lainnya, ternyata ada System Perkawinan yang dapat terjadi pada system keluarga lainnya

 Perkawinan JUJUR TIDAK MUNGKIN TERJADI pada Matrilineal dan Bilateral, karena , dimana Perkawinan JUJUR hanya terjadi/Ada pada Perkawinan Patrilineal (perempuan pindah

ke laki), karena pada Matrilineal, perempuan menjadi penghubung garis keturunan.  Perkawinan JUJUR juga TIDAK MUNGKIN TERJADI pada Bilateral, karena salah satu ciri

Perkawinan JUJUR adalah eksogami (ada Klen), sedangkan Bilateral bukan  Perkawinan BEBAS juga TIDAK MUNGKIN TERJADI pada Patrilineal dan Matrilineal,

karena pada Patrilineal dan Matrilineal terikat pada sistem keluargaan cara menentukan tempat tinggal (ada klen). Patrilineal dan Matrilineal adalah Eksogami.

 Sedangkan untuk Perkawinan SEMENDO (Matrilokal) DAPAT TERJADI pada Sistem Masyarakat Bilateral dan Patrlineal, yang artinya Pada perkawinan Bilateral dan Patrilineal,

dapat ditemukan perkawinan yang ciri2nya sama dengan Perkawinan Semendo, yaitu tempat tinggal di tempat istri (pada Bilateral dan Patrilineal Beralih-alih) dan anak menghubungkan pada Istri (hanya terjadi pada Patrilineal Beralih alih).

9. CIRI CIRI PERKAWINAN SEMENDO yang terjadi pada Sistem Masyarakat lainnya:

A. BILATERAL Pada Sistem Perkawinan masyarakat Jawa Barat (Sunda), ada perkawinan “ Ngalindung

Kadelung”, yang berarti Berlindung dalam Sanggul.

Perkawinan ini adalah perkawinan antara seorang Janda yang kaya/mapan dengan seorang pemuda yang Miskin. Fungsi perkawinan bagi Janda untuk menjaga nama baik, dan fungsi perkawinan bagi Pemuda adalah untuk menumpang hidup, sehingga pemuda harus tinggal di tempat istri. Dengan demikian, sifat perkawinan ini adalah Matrilokal dimana Laki Laki tinggal di tempat Istri dan ciri ciri perkawinan ini MIRIP dengan perkawinan SEMENDO.

B. PATRILINEAL

Patrilineal ini sendiri terbagi menjadi 2, yaitu:  PATRILINEAL MURNI (Batak): apapun bentuk perkawinannya, penghubung garis

keturunan TETAP pada Laki Laki

 PATRILINEAL BERALIH ALIH: jika seorang perempuan dalam sistem Patrilineal melakukan perkawinan seperti Semendo, maka perempuan tersebut bisa menjadi penghubung

garis keturunan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada Patrilineal Beralih Alih ini,

Penghubung Garis Keturunan Berpindah/Beralih dari Laki-Laki ke Perempuan.

1) Bali & Lampung

Sistem warisnya pada adat Bali & Lampung adalah MAYORAT LAKI LAKI, yaitu yang menjadi Ahli waris pada sistem ini adalah Anak Laki Laki Tertua.

Permasalahan terjadi ketika didalam suatu keluarga tidak terdapat atau tidak mempunyai

anak laki2. Jalan keluar untuk permasalahan tersebut adalah salah satu dari anak

perempuan ini TIDAK BOLEH melakukan perkawinan dimana si perempuan harus keluar dari rumah atau melakukan perkawinan Jujur.

Sehingga si Perempuan harus TETAP tinggal di Rumah orang tuanya, dan suaminya lah yang harus tinggal/pindah ke tempat istrinya, seperti layaknya perkawinan Semendo.

Tujuan perkawinan ini adalah agar sang Perempuan tersebut yang menikah dengan ala Semendo, dapat melahirkan seorang anak laki2 yang nantinya menjadi ahli waris dari Kakeknya. Dengan demikian, Perempuan tersebut akan menjadi penghubung garis

keturunan.

Perkawinan semendo dalam Sistem Patrilineal ini terjadinya terpaksa, dimana hanya terjadi jika tidak ada keturunan laki-laki dalam suatu keluarga.

Pada adat Bali, perempuan yang ingin menikah ala Semendo, sebelum dia menikah harus diadakan upacara adat terlebih dahulu, yang tujuannya untuk merubah status perempuan tersebut menjadi lelaki. Upacara tersebut dinamakan NYENTANGAYANG . Perempuan tersebut namanya SENTANA, suaminya namanya SENTANA TARIKAN. Perkawinan ini disebut dengan Perkawinan SEMENDO NYABURIT

2) Tanah Semendo

Sistem warisnya pada Tanah Semendo adalah MAYORAT PEREMPUAN, yaitu yang menjadi Ahli waris pada sistem ini adalah Anak Perempuan Tertua.

Dengan demikian, didalam setiap keluarga Tanah Semendo, pasti ada kawin SEMENDO. Dimana, anak perempuan tertua HARUS melakukan Perkawinan Semendo, karena harus ada salah satu anak perempuannya yang menjadi ahli waris dalam keluarganya, dan tidak bisa melakukan perkawinan JUJUR.

Sehingga perkawinan Semendo pada masyarakat Tanah Semendo adalah suatu kewajiban, bukan suatu Pilihan.

3) Rejang

Pada masyarakat Rejang ini, Perkawinan Semendo ini adalah PILIHAN. Setiap keluarga

bisa memilih perkawinan JUJUR atau SEMENDO.

Sebagai masyarakat Patrilineal, tentunya Perkawinan Jujur adalah pilihan utama (pokok) bagi masyarakat Rejang. Perkawinan Semendo ini hanya akan dipilih jika suatu keluarga

merasa anggota laki-lakinya sedikit dan membutuhkan keturunan laki-laki.

Perkawinan Semendo dalam Rejang ini terbagi menjadi 3 tipe berdasarkan dari bagaimana pembagian keturunan dan pembayaran uang adat, yaitu:

a. Semendo RAJO RAJO

Semua anak menjadi hak bagi ayah dan ibunya dan sang Suami tidak perlu membayar uang adat sepeser pun kepada Pihak Istri, karena sebenarnya pada Rajo Rajo, sang suami mempunyai bargain position yang kuat di hadapan istrinya, dimana sang Istri lah yang sebenarnya mempunyai kepentingan yang lebih besar untuk menikahi seorang laki laki dengan model Perkawinan Semendo

b. Semendo BERADAT

 Semendo Penuh Beradat : Ketika uang adat yang diminta dari Pihak Perempuan, dipenuhi seluruhnya oleh Pihak Laki Laki. Dan pengasuhan Anak pun dibagi dua, setengah menjadi hak ayah (suami) dan setengahnya menjadi hak ibu (istri)

Semendo Setengah Beradat : Ketika uang adat yang diminta dari Pihak Perempuan, dipenuhi setengahnya oleh Pihak Laki Laki. Semua anak harus ikut Ibu, kecuali satu anak yang bisa ikut ayahnya.

Semendo Kurang Beradat : Ketika uang adat yang diminta dari Pihak Perempuan, dipenuhi kurang dari setengahnya oleh Pihak Laki Laki. Hak pengasuhan anak seluruhnya terdapat pada Ibunya (Semua anak harus ikut Ibu). Jika suatu saat sang Ayah ingin anaknya tersebut, maka sang Ayah dapat ‘membeli’ anaknya dari

Keluarga Istrinya. Suami masih mempunyai kesempatan untuk ‘membeli’

anaknya di lain kesempatan

c. Semendo TIDAK BERADAT

Ketika uang adat yang diminta dari Pihak Perempuan, tidak dipenuhi sama sekali oleh Pihak Laki Laki. Hak pengasuhan anak seluruhnya terdapat pada Ibunya (Semua anak harus ikut Ibu) dan Suami tidak mempunyai kesempatan selamannya untuk membeli anaknya dari Pihak Istri.

Besarnya Uang Adat ini ditentukan oleh Pihak Perempuan dan harus dibayar oleh Pihak LakiLaki

(Pertemuan Ketiga – 22 Maret 2012)

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN

10. Akibat Hukum perkawinan pada dasarnya menyangkut 3 hal, yaitu: Kedudukan suami istri,

Kedudukan anak dan Kedudukan Harta Kekayaan

KEDUDUKAN SUAMI ISTRI

A. Prinsip Umum: BW DAN UU NO 1/1974:

Menurut Hukum Barat (BW) dan UU 1/1974, Jika terjadi perkawinan, maka suami istri itu bersatu dalam suatu ikatan keluarga dan keduanya mempunyai kedudukan yang sama dan mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap anak dan kehidupan keluarga. Intinya, jika terjadi perkawinan, suami istri itu menjadi satu ikatan hak dan kewajibannya

B. Prinsip Hukum Adat – Secara Umum:

 Menurut Hukum Adat, perkawinan itu tidak menyangkut seorang laki2 dan seorang perempuan saja, perkawinan tidak menyangkut ikatan lahir bathin laki2 dan perempuan, tapi

perkawinan menyangkut hubungan keluarga dan hubungan masyarakat. Oleh karena itu akibat perkawinan ini sangat terkait kepada hubungan keluarga dan hubungan masyarakat.

 Dengan demikian, sebenarnya diantara suami istri pada dasarnya tidak ada ikatan hak dan kewajiban, kecuali ikatan hak dan kewajiban secara moral. Jika terjadi perkawinan, baik

suami maupun istri tetap didalam keluarga masing. Jika terjadi perkawinan, yang berubah adalah ada kehidupan bersama.

1) PATRILINEAL - PERKAWINAN JUJUR (BATAK)

 Antara suami istri akan timbul hubungan hak dan kewajiban, oleh karena ketika terjadi perkawinan si Istri WAJIB pindah ke keluarga suami. Dengan demikian, suami dan istri

akan menjadi satu  KEDUDUKAN suami Istri dalam Perkawinan Jujur adalah TIDAK

SEIMBANG/TIDAK SAMA, dalam arti kedudukan dan kewenangan suami LEBIH

KUAT dari ISTRI. Hal ini karena, walaupun si Istri masuk kedalam keluarga suami, akan tetapi secara KLEN, si istri itu tetap Orang Lain. Sehingga dapat dikatakan, meski Istri sudah masuk kedalam keluarga suami, tapi KLEN Istri tidak akan pernah berubah, sehingga istri itu pun tetap dianggap orang lain, yang berarti si Istri tidak satu KLEN

dengan suami dan keluarga suaminya.

 Terhadap HARTA, Suami berkuasa penuh atau mempunyai kewenangan penuh terhadap semua harta, sedangkan Istri kewenangannya terbatas. Kewenangan Suami itu

adalah Harta Pokok dan Buah Harta Pokok, sedangkan Kewenangan Istri adalah hanya Buah Harta Pokok. Contohnya: Suami mempunyai kewenangan atas Pohon Kelapa dan Buah Kelapanya, sedangkan Istri hanya buah kelapanya saja

 Akibat sistem perkawinan Jujur ini, mengakibatkan secara umum Dalam Masyarakat Patrilineal, KEDUDUKAN Laki dan Perempuan adalah TIDAK SAMA, dimana laki2

mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang lebih besar dari Perempuan, misalnya pada Perkawinan Jujur, perempuan itu bukan ahli waris

2) MATRILINEAL – SEMENDO (MINANGKABAU)

 KEDUDUKAN Suami Istri didalam ikatan Perkawinan adalah TIDAK BISA DIUKUR apakah suami dan istri punyak kedudukan yang sama atau tidak, oleh karena suami istri

TETAP didalam keluarga masing-masing.  Dengan demikian, dapat dikatakan pada Perkawinan Semendo itu sama sekali tidak

berpengaruh terhadap KEDUDUKAN Suami Istri, karena ketika terjadi perkawinan, suami hanya berfungsi sebagai TAMU dalam keluarga istri. Jadi sebenarnya, dalam perkawinan Matrilineal, Suami betul-betul terpisah (tidak menjadi satu) dari Istri, kalaupun Suami tinggal bersama dengan Istri, itu hanya bersatu secara ikatan moral.

 Sedangkan, kedudukan laki-laki dan perempuan dalam Masyarakat Matrilineal adalah Sama

3) BILATERAL - JAWA

 KEDUDUKAN Suami Istri pada perkawinan Bilateral adalah SAMA. Karena meski sebenarnya antara suami dan istri itu tetap terpisah, akan tetapi pada masyarakat Bilateral

ada kehidupan bersama, karena tempat tinggalnya ditentukan bersama, sehingga bagi anak, hubungan dengan ayah dan ibunya adalah sama.

 Kedudukan laki-laki dan Perempuan dalam Masyarakat Bilateral juga SAMA

KEDUDUKAN ANAK

A. Prinsip Umum:

KEDUDUKAN anak Akibat hukum perkawinan adat adalah SEPENUHNYA ditentukan oleh

SISTEM KELUARGA (Patrilineal, Matrilineal dan Bilateral), kecuali pada Sistem

Patrilineal Beralih-Beralih, yaitu Bali, Lampung, Tanah Semendo dan Rejang. Karena, pada keempat masyarakat tersebut, kemana anak itu menghubungkan diri, akan tergantung kepada perkawinan orang tuanya. Jika orang tuanya melakukan perkawinan Jujur, maka si anak akan ikut kepada ayahnya. Dan jika orang tuanya melakukan perkawinan semendo, si anak akan ikut kepada ibunya

B. Hukum Adat

1) PATRILINEAL

 Anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab ayah dan keluarga ayahnya. Karena si anak hanya mempunyai hubungan dengan ayah dan keluarga ayahnya  Bagi anak, Semua orang yang berasal dari keluarga Ibunya, adalah bukan termasuk

keluarganya

2) MATRILINEAL

 Anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab ibu dan keluarga ibunya. Karena si anak hanya mempunyai hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya

 Bagi anak, Semua orang yang berasal dari keluarga ayahnya, adalah bukan termasuk keluarganya

3) BILATERAL

 Anak mempunyai hubungan baik dengan ayah maupun dengan ibu, baik dengan keluarga ayah maupun keluarga ibu. Dengan demikian, anak menjadi tanggung jawab bersama, baik

ayah dan ibu

13. KEDUDUKAN HARTA KEKAYAAN

A. Prinsip Umum

 Pada dasarnya, jika terjadi perkawinan, maka akan timbul HARTA PERKAWINAN. Yang dimaksud dengan HARTA PERKAWINAN adalah harta yang dipunyai/dimiliki oleh suami

istri yang terikat dalam suatu perkawinan, yang berfungsi untuk memenuhi dan menjaga kebutuhan kehidupan materi suami istri dan anak-anaknya. Hal ini perlu ditekankan, karena dalam perkawinan, Harta yang dimiliki oleh suami dan istri dapat berbeda (tidak sama)

 Harta Perkawinan terdiri dari 2 (merupakan gabungan dari), yaitu:

1) HARTA PERSEORANGAN: harta yang dimiliki masing-masing dari suami istri, terdiri dari: - Harta perseorangan yang diperoleh sebelum perkawinan, baik merupakan hasil usaha

atau bukan dari hasil usaha (waris)

- Harta perseorangan yang diperoleh selama perkawinan perkawinan, bukan karena

usaha. Ex. Harta waris yang didapatkan setelah perkawinan

2) HARTA BERSAMA: harta yang dimiliki secara bersama-sama, berupa harta yang diperoleh HANYA dari hasil usaha, baik usaha sendiri (masing2 suami dan istri) maupun usaha bersama (usaha suami dan istri bersama) pada saat (selama) perkawinan berlangsung

B. Prinsip Hukum Adat

 Hukum Adat tidak mengenal dengan Percampuran Harta, sehingga tidak akan ada

percampuran baik antara Harta Perseorangan dan juga Harta Bersama

 Harta Bersama TIDAK TERDAPAT pada semua Perkawinan. Karena Harta bersama mempunyai syarat ada kehidupan bersama dan kehidupan yang seimbang, sehingga Harta

Bersama hanya ada pada:

1) Perkawinan Jujur: karena ada kehidupan bersama dan mempunyai status sosial sama. Maksud status sosial yang sama itu dikaitkan dengan barang jujur. Artinya, ketika seseorang laki2 mampu membayar barang JUJUR, berarti laki2 tersebut mempunyai

status sosial dan kedudukan yang sama dengan keluarga istri. Karena barang jujur itu bersifat magis, dimana nilai magis Barang Jujur itu menggantikan nilai magis dari

seorang wanita yang akan diambil.

2) Perkawinan Bebas: ada kehidupan bersama dan tidak ada persolan status sosial

- Jika ada Harta Bersama, maka kedudukan Suami Istri terhadap harta Bersama

adalah SAMA, kecuali pada Perkawinan Jujur, dimana kewenangan Suami lebih besar terhadap Istri.

- Seperti pada orang Batak, kedudukan laki dan perempuan adalah berbeda, karena perempuan bukan ahli waris. Tetapi seorang ayah dapat memberikan harta kepada anak perempuannya, asal tidak menyangkut harta Pusaka

C. Prinsip BW

 Pada dasarnya Harta Perkawinannya sudah bercampur jika terjadi perkawinan, tetapi dapat diadakan suatu perjanjian mengenai PEMISAHAN HARTA. Dengan kata lain, jika tidak ada

suatu perjanjian mengenai pemisahan harta, maka akan terjadi percampuran harta.

 Harta Bercampur jika TIDAK DIPERJANJIKAN

D. Prinsip UU 1/1974

 Pada dasarnya tidak ada percampuran harta, tapi masing2 pihak dapat membuat suatu perjanjian mengenai pencampuran harta.

BAGAN AKIBAT HUKUM PERKAWINAN

Patrilineal

Matrilineal Bilateral

1) Kedudukan Suami

Kedudukan Suami Istri

Tidak Sama

Tidak Sama

Istri dan Laki

dalam Perkawinan

terdefinisikan

Perempuan

Kedudukan Laki dan

Tidak Sama

Sama Sama

Perempuan dalam Masyarakat

2) Kedudukan Anak

Berada pada Berada pada Berada pada

ayahnya

ibunya ayah dan ibu

3) Kedudukan Harta

(Pertemuan Keempat – 29 Maret 2012)

AKIBAT PERCERAIAN

14. Perceraian sah jika dilakukan menurut hukum agama

15. Akibat Hukum Perceraian, sama halnya dengan perkawinan juga menyangkut 3 hal, yaitu: Kedudukan suami istri, Kedudukan anak dan Kedudukan Harta Kekayaan

KEDUDUKAN SUAMI ISTRI Prinsip Hukum Adat – Secara Umum:

 Dalam hukum adat, perkawinan tidak menyangkut ikatan lahir bathin seorang laki dan perempuan saja, tapi menyangkut ikatan hubungan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu

pada dasarnya, baik suami maupun istri tetap didalam keluarga masing. Seperti Bilateral, meski ada kehidupan bersama, karena pola menetap tinggalnya adalah Bilokal, bisa tinggal di tempat suami atau istri, tapi sebenarnya secara yuridis diantara suami tetap berada di keluarganya masing-

masing

 Dengan melihat prinsip diatas, jika terjadi perceraian, yang terjadi adalah meski secara formal ikatan suami istrinya berakhir, tetapi ikatan materiilnya dari awal sudah tidak ada

1) PATRILINEAL - PERKAWINAN JUJUR (BATAK)

 Jika terjadi perceraian, istri tidak hanya bercerai dengan suaminya, tapi juga bercerai dengan keluarga suaminya. Hal ini karena ketika terjadi perkawinan, timbul suatu ikatan antara

istri dengan suami dan juga dengan keluarga suaminya. Jadi ketika bercerai, Istri harus keluar dari keluarga suaminya dan kembali keluarga asalnya

 Jadi perceraian pada perkawinan Jujur akan terdiri dari 2 macam cerai, yaitu Cerai dengan

Suami dan Cerai dengan Keluarga Suami

a. Perceraian Murni - Untuk perceraian murni (suami istri masih hidup), maka kedua macam cerai (cerai dengan suami dan cerai dengan keluarga Suami) akan terjadi pada saat yang bersamaan.

- Perceraian antara suami dan antara keluarga suami harus dilakukan melalui Rapat Adat, kalau di Batak disebut HASIRANGAN. Pada rapat adat tersebut akan ditentukan sekaligus

berapa bagian untuk istri dari harta bersamanya. Ukurannya adalah besar kecilnya kesalahan istri. Makin besar kesalahan istri, akan makin kecil bagiannya.

b. Perceraian karena Kematian

- Untuk perceraian karena kematian, jika yang meninggal istri maka tidak akan menjadi masalah.

- Yang menjadi masalah jika yang meninggal adalah suami. Jika yang meninggal suami,

maka Istri tetap di keluarga suami dan tetap menjadi tanggung jawab keluarga suami. Jika si istri ingin menikah lagi, istri harus menikah dengan laki-laki yang berasal dari

keluarga suami.

- Jika istri ingin menikah dengan laki-laki yang bukan dari keluarga suami, maka istri harus melakukan Perceraian terlebih dahulu kepada keluarga suaminya. Minta cerai dengan keluarga suami adalah kesalahan yang paling besar, sehingga ada kemungkinan

istri tidak mendapat bagian harta.

2) MATRILINEAL – MINANGKABAU

 Jika terjadi Perceraian pada perkawinan Semendo Minangkabau, tidak akan mempunyai

akibat terhadap hubungan suami istrinya, karena DARI AWAL perkawinan pun diantara

suami istri tidak terjadi suatu ikatan, karena suami yang hanya berfungsi sebagai TAMU di tempat istri. Dengan kata lain, jika terjadi perceraian, antara suami dan istri akan berpisah begitu saja tanpa ada akibat hukum. Suami tidak perlu datang lagi sebagai tamu.

 Secara materiil, tidak ada ikatan apapun antara suami dan istri, dan juga dengan para keluarganya

3) BILATERAL - JAWA

 Jika terjadi perceraian, maka ikatan perkawinan antara suami istrinya akan putus dan tidak hidup bersama lagi. Untuk ikatan keluarganya tidak akan masalah, karena dari awal

perkawinan, secara yuridis, suami dan istri terpisah dalam keluarganya masing-masing.  Tanggung jawab suami dan istri terhadap anak adalah sama besar.

 Sama halnya dengan Bilateral, secara materiil tidak ada ikatan apapun antara suami dan istri serta para keluarganya (karena suami istri tetap pada keluarganya masing2), hanya secara formil

antara suami dan istri bersatu karena hidupnya bersama.

KEDUDUKAN ANAK

A. Prinsip Umum:

Jika terjadi perceraian, Kedudukan anak jelas SEPENUHNYA tergantung dari sistem kekeluargaan.

B. Hukum Adat

1) PATRILINEAL

 Anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab AYAH dan keluarga ayahnya. Karena si anak hanya mempunyai hubungan dengan ayah dan keluarga ayahnya. Jadi jika terjadi perceraian,

maka kedudukan anak akan tetap berada pada keluarga ayahnya dan anak tersebut putus hubungan dengan ibunya.

2) MATRILINEAL

 Anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab IBU dan keluarga ibunya. Karena si anak hanya mempunyai hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya. Jadi jika terjadi perceraian,

maka kedudukan anak akan tetap berada pada keluarga ibunya dan anak tersebut putus hubungan dengan ayahnya

3) BILATERAL

 Anak mempunyai hubungan baik dengan AYAH maupun dengan IBU, baik dengan keluarga ayah maupun keluarga ibu. Dengan demikian, jika bercerai anak menjadi tanggung jawab bersama, baik ayah dan ibu, tergantung dari kesepakatan. Ini khusus untuk anak yang masih dibawah umur.

 Pada bilateral akan timbul masalah terkait dengan Rumah dan anak yang dibawah umur, karena suami dan istri mempunyai tanggung jawab yang sama besar.

 Khusus untuk Waris, Istri adalah bukan ahli waris. Tetapi, ketika suaminya meninggal, sang istri mempunyai hak untuk menolak membagi harta warisan kepada siapapun, sehingga

si Istri dapat menguasai harta warisan tersebut.

18. KEDUDUKAN HARTA KEKAYAAN

A. Prinsip Umum:

 Jika perceraian karena kematian, tentunya harta peninggalannya menjadi harta waris dan pembagiannya akan menggunakan aturan-aturan hukum waris  Jika perceraian murni, harta perkawinan akan menjadi bubar, dengan arti harta perorangan akan

kembali kepada yang memilikinya dan harta bersama akan dibagi menjadi 2.

B. Hukum Adat

1) PATRILINEAL – JUJUR

 Jika terjadi perceraian, bagian istri dari harta bersama akan tergantung dari besar kecilnya kesalahan istri dan harta perseorangannya akan kembali istri. Pada perkawinan Jujur, pada

saat akan menikah, biasanya Istri akan diberikan (dibekali) harta oleh keluarganya dan itulah yang akan menjadi harta perseorangan dari Istri.

2) MATRILINEAL

 Jika terjadi perceraian, maka tidak akan berakibat apa2, karena pada perkawinan matrilineal tidak akan ada harta bersama, karena antara suami dan istri benar-benar terpisah. Dimana seorang suami sama sekali tidak mempunyai tanggung jawab secara finansial kepada istri dan anaknya.

3) BILATERAL

 Jika terjadi perceraian, maka arti harta perseorangan akan kembali kepada yang memilikinya dan harta bersama akan dibagi menjadi 2

(Pertemuan Kelima & Keenam – 19&26 April 2012)

HUKUM WARIS

19. Hukum Waris adalah peraturan yang mengatur bagaimana berpindahnya harta seseorang (Harta yang positif dan harta yang negatif/Hutang) yang meninggal (Pewaris) kepada anggota keluarganya yang ditinggalkan (Ahli Waris) , bagaimana proses, sistemnya.

Hukum waris tidak dapat dipisahkan dengan Hukum Perkawinan, karena Hukum Waris ini merupakan kelanjutan dari Hukum Perkawinan

20. Hukum Waris hanya akan digunakan ketika ada orang yang Meninggal (Pewaris), Keluarga yang ditinggalkan (Ahli Waris), dan harta yang ditinggalkan (Harta Waris), atau yang disebut dengan

UNSUR WARIS

Dalam BW, jika ternyata ada Pewaris dan Harta Waris, TETAPI tidak ada Ahli Waris, maka Harta

Warisnya akan dimasukkan kedalam Balai Harta Peninggalan Waris

Dalam Hukum Adat, jika ternyata ada Pewaris dan Harta Waris, TETAPI tidak ada Ahli Waris, maka Harta Warisnya akan jatuh kepada masyarakat hukum adat

21. SIAPA YANG MENJADI PEWARIS

Secara umum, Pewaris adalah bisa Laki-laki atau Perempuan, KECUALI pada Masyarakat PATRILINEAL dengan Perkawinan JUJUR.

Pada Masyarakat PATRILINEAL, seorang Perempuan hanya dapat menjadi Pewaris jika:  Belum menikah  Sudah bercerai dengan suaminya dan kembali kepada keluarga asalnya. Seorang perempuan dalam Masyarakat Patrilineal yang meninggal dalam ikatan Perkawinan Jujur, maka

OTOMATIS seluruh harta Perempuan tersebut akan DIKUASAI oleh Suaminya, dan BUKAN

DIWARISI. Oleh karena itu, status Perempuan yang meninggal tersebut adalah BUKAN PEWARIS, karena harta peninggalannya tersebut bukan diwarisi kepada suaminya, melainkan memang dengan sendirinya dikuasai oleh suami

22. CONTOH KASUS NO.22 (Acuan gambar untuk contoh-contoh kasus dibawah)

23. SIAPA YANG MENJADI AHLI WARIS Orang yang BERHAK menerima Harta Waris ini adalah semua orang yang mempunyai hubungan

darah (anggota keluarga) yang ditinggalkan, baik kebawah (keturunan), ke atas (Orang Tua) dan kesamping (Saudara)

Secara umum, orang yang Dalam menentukan Ahli Waris, SANGAT DITENTUKAN oleh cara Menarik Garis Keturunan, yaitu:

a. BILATERAL

 Karena Hubungan darahnya ditarik melalui laki dan perempuan, maka semuanya dapat menjadi ahli waris, selama mempunyai Hubungan Darah. Dengan demikian, seorang anak dalam Bilateral

adalah Ahli Waris dari Ayah dan Ibunya. Contoh:Dari contoh ka sus No.22 diatas, yang akan menjadi Ahli Waris dalam Keluarga BILATERAL adalah: jika Suami yang meninggal adalah A hingga Q dan Jika Istri yang meninggal adalah 1 hingga 20

 Sehubungan Istri adalah bukan ahli waris, maka ketika suaminya meninggal, sang istri

mempunyai hak untuk menolak membagi harta warisan kepada siapapun, sehingga si Istri dapat menguasai harta warisan tersebut, dengan alasan si Janda tidak

MENDERITA/Teraniaya di akhir hidupnya

b. PATRILINEAL

 Ahli Waris adalah siapapun yang mempunyai hubungan darah dan juga MERUPAKAN SATU KLEN. Dengan demikian, walaupun seseorang mempunyai hubungan darah dengan Pewaris, tapi

belum tentu dapat menjadi Ahli Waris, jika ternyata tidak satu KLEN  Alasan Perempuan Tidak Bisa Menjadi Ahli Waris

Pada dasarnya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan adalah satu Klen dengan Ayahnya,

TETAPI dalam kaitannya dengan Hukum Waris yang menjadi Ahli Waris adalah HANYA ANAK LAKI saja. ALASANNYA adalah karena dipengaruhi oleh BENTUK PERKAWINAN

JUJUR, dimana nantinya anak perempuan akan pindah ke keluarga suaminya.

Tetapi meski perempuan telah pindah kekeluarga suaminya akibat perkawinan Jujur, tetap saja, si perempuan tersebut bukan menjadi Klen suaminya, melainkan tetap pada Klen awalnya. Sehingga di keluarga suaminya pun, si Perempuan tersebut bukan menjadi AHLI WARIS. Inilah yang menjadi alasan, seorang PEREMPUAN TIDAK AKAN MENJADI AHLI WARIS dalam masyarakat Patrilineal

c. MATRILINEAL

 Sama dengan Patrilineal, Ahli Waris adalah siapapun yang mempunyai hubungan darah dan juga MERUPAKAN SATU KLEN.  Anak di Minangkabau TIDAK SATU KLEN dengan ayahnya, sehingga anak BUKAN AHLI

WARIS dari ayahnya, melainkan hanya Ahli Waris dari Ibunya saja.  Dengan demikian, khusus untuk Matrilineal, yang menjadi Ahli Waris dari seorang Laki-laki

adalah BUKAN KETURUNANNYA (bukan kebawah), melainkan hanya Saudaranya (Kesamping) dan ke Ibunya (atas)

 Persepsi masyarakat yang salah mengenai Laki-Laki Minangkabau bukan Ahli Waris Banyak masyarakat yang salah persepsi yang menganggap bahwa laki-laki adalah bukan ahli

waris. Hal ini sebenarnya dikarenakan masyarakat mencoba mengkaitkan dengan Masyarakat Patrilineal yang mana Perempuan adalah bukan waris. Padahal penyebab Perempuan Bukan Ahli Waris dalam Patrilineal adalah karena Perkawinan Jujur. Sedangkan dalam Masyarakat Matrilineal, tidak ada satupun bentuk perkawinan yang dapat merubah status hukum Ahli Waris dari Laki-laki.

 Laki-laki pada masyarakat Minangkabau, dalam prakteknya tidak pernah mempermasalahkan mengenai warisan, meski sebenarnya Laki-laki berhak mendapat harta warisan dengan

jumlah bagian yang SAMA dengan Perempuan. Dengan kata lain, Jatah Harta Waris untuk Laki- laki (Hak Pemakaian – Bukan Kepemilikan, karena Sistem Kolektif) adalah sebenarnya tetap ada, meski pada kenyataannya tidak pernah mempermasalahkan "jatahya" tersebut, dan lebih condong untuk memberikan jatahnya tersebut kepada Saudara perempuannya. Hal ini dikarenakan dalam masyarakat Minangkabau, tugas seorang laki-laki adalah menambah harta Keluarganya.

24. KEDUDUKAN ANAK ANGKAT SEBAGAI AHLI WARIS – HANYA UNTUK BILATERAL

 Dalam masyarakat Bilateral, dikenal dengan yang namanya ANAK ANGKAT, yaitu seseorang yang tidak ada hubungan darah, tetapi dijadikan sebagai keluarga. Bagi masyarakat Bilateral,

kedudukan ANAK ANGKAT adalah SAMA dengan keluarga lainnya, dimana ANAK ANGKAT juga merupakan Ahli Waris, selama proses pengangkatan anak angkat tersebut dilakukan secara

sah dan sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku.  Hanya saja, meski merupakan Ahli Waris, tetapi Anak Angkat hanya dapat memperoleh Harta

Pencarian dari Orang Tuanya saja, dan Anak Angkat tidak berhak atas Harta Asal/Harta Pusaka orang tuanya.

 Sedangkan, bagi Masyarakat Patrilineal dan Matrilineal TIDAK MENGENAL mengenai Anak Angkat. Kalaupun bagi masyarakat Patrilineal mengangkat anak, PASTI akan mengambil dari

Keluarga Suami, dan Matrilineal akan mengangkat anak dari Keluarga Istri. Hal tersebut tidak dikategorikan sebagai Anak Angkat, tetapi bagian dari Keluarga juga.

25. PRINSIP KEWARISAN

 Ahli waris adalah orang yang BERHAK menerima harta waris, tetapi orang yang Berhak tersebut belum tentu menerima Harta Waris  Prinsip Kewarisan ini adalah suatu prinsip dasar yang akan memberikan petunjuk siapa saja

yang berhak menjadi Ahli Waris.  Prinsip Kewarisan ini terbagi menjadi 2, yaitu:

A. Prinsip Umum:

- Prinsip Umum atau Prinsip yang digunakan oleh seluruh masyarakat adat (Patrilineal, Matrilineal dan Bilateral) adalah seorang Ahli Waris HARUS mempunyai Hubungan Darah dengan Pewaris, atau dengan kata lain selama seseorang mempunyai hubungan darah dengan Pewaris, maka seseorang tersebut masuk sebagai kategori Ahli Waris.

- Dari Prinsip Umum tersebut, dapat disimpulkan bahwa pasangan (suami/istri) dari

seseorang yang meninggal adalah TIDAK termasuk sebagai Ahli Waris.

- Masyarakat Bilateral HANYA mengenal Prinsip Umum ini saja dalam menentukan seseorang yang dapat menjadi Ahli Waris, sehingga dapat dikatakan bagi masyarakat Bilateral, Ahli Waris adalah SEMUA orang yang mempunyai hubungan darah dengan Pewaris.

B. Prinsip Khusus – Hanya untuk Masyarakat PATRILINEAL dan MATRILINEAL

- Disamping harus mempunyai hubungan darah, juga Harus mempunyai HUBUNGAN

KLEN. Dengan kata lain, ahli waris harus satu klen dengan Pewaris

- Orang yang mempunyai Hubungan darah, belum tentu satu klen. Orang yang satu Klen, sudah pasti mempunyai hubungan darah

- KHUSUS pada Patrilineal Murni (Batak), berlaku Ketentuan tambahan yaitu Ahli Waris adalah HANYA Laki-laki saja, dan Perempuan BUKAN ahli waris. Pada perkawinan Jujur, Perempuan keluar dari Keluarganya dan masuk ke keluarga suaminya.

26. ATURAN UNTUK MENENTUKAN SIAPA DIANTARA PARA AHLI WARIS YANG AKAN MENERIMA WARIS

Dalam hukum Adat, untuk menentukan siapa diantara para Ahli Waris yang akan menerima Harta Waris, harus menggunakan 2 garis hukum terlebih dahulu, yang mana berfungsi sebagai Filter atau Saringan dari Para Ahli Waris untuk menjadi Ahli Waris yang DAPAT MENERIMA harta waris, yaitu:

A. GARIS POKOK KEUTAMAAN (“GPK”)

 GPK adalah Saringan (Filter) PERTAMA untuk menentukan siapa diantara para ahli waris yang nantinya akan menerima Harta Waris, yaitu dengan cara membagi para ahli waris kedalam KELOMPOK –KELOMPOK KEUTAMAAN, yang berakibat dengan adanya Kelompok Utama, maka dengan sendirinya akan menutup peluang kelompok lainnya untuk menerima warisan.

 Penentuan Kelompok Utama dalam Hukum Adat didasarkan pada Hubungan kedekatan dengan Pewaris, yaitu:

- Kelompok Utama I: KETURUNAN, yaitu Anak, Cucu dan seterusnya - Kelompok Utama II: KEATAS, yaitu Orang Tuanya - Kelompok Utama III: KESAMPING, yaitu Saudara dan keturunannya

Dan seterusnya (Kelompok ganjil selalu ada keturunan, dan kelompok genap tidak akan ada keturunan)

Penerapan Kasus Khusus Untuk Masyarakat Bilateral

Dengan mengacu pada Kasus No.22 diatas, dengan sudah menerapkan GPK, maka sudah menyortir da ri sekian banyak Para Ahli Wa ris yang akan menerima Ha rta Wa ris, yaitu hanya orang-orang yang termasuk dalam Kelompok Utama I, yaitu hanya A/1 sampai dengan G/7 .

Hanya saja, diantara A/1 sampai dengan G/7 tersebut, tidak semuanya yang akan menerima Harta Waris , karena ha rus disortir terlebih dahulu dengan menggunakan Garis Pokok Penggantian

B. GARIS POKOK PENGGANTIAN (“GPP”)

 GPP adalah merupakan SARINGAN TERAKHIR untuk menentukan siapa diantara para Ahli Waris, yang tentunya termasuk dalam Kelompok Utama, benar-benar akan menerima Harta Waris.

 GPK mengatur bahwa yang akan menerima Harta Waris adalah hanya para Ahli Waris (dalam Kelompok Utama) yang tidak punya Penghubung atau Tidak Punya Penghubung Lagi

dengan Pewaris. Contoh Penerapan Kasus No.22 :

 Dengan mengacu pada kondisi seperti yang diga mbar No.22 diatas, yang akan menerima Harta Waris adalah A,B dan C, karena tidak mempunyai Penghubung lagi ke Pewaris. Sedangkan

untuk D,E, F dan G tidak menerima Ha rta Waris, karena masih mempunyai penghubung ke Pewaris , yaitu orang tuanya masing-masing

 Beda halnya, jika B ternyata sudah meninggal. Maka yang akan menerima harta wa ris adalah A dan C karena memang Tidak Mempunyai Penghubung dengan Pewa ris dan juga D dan E akan menerima Harta Wa ris karena D dan E SUDAH Tidak Mempunyai Penghubung Lagi

dengan Pewa ris (B sudah meninggal). Sedangkan F dan G tidak akan menerima Ha rta Wa ris, karena masih punya Penghubung dengan Pewaris, yaitu Bapaknya (C)

27. PENENTUAN PEMBAGIAN HARTA WARIS – ANGKA BAGI

 Prinsip pembagian Harta Waris pada Hukum Adat adalah harus dibagi secara ADIL. Setiap orang harus menerima bagiannya sesuai dengan kedudukannya didalam keluarga.  Cara menentukan pembagian Harta Waris dalam Hukum Adat harus menggunakan dalil/hukum

MENENTUKAN ANGKA BAGI, yang bertujuan agar dalam membagi harta waris ini dapat dilakukan secara adil, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

 Untuk menentukan Angka Bagi, harus dilihat dari JUMLAH JURAI terlebih dahulu. JURAI ini adalah Pengelompokan Ahli Waris didalam Kelompok Keutamaan, yaitu:

a. Kelompok I : Berpangkal pada jumlah Anak

b. Kelompok III: Berpangkal pada jumlah Saudara

c. Kelompok II: ini sudah pasti angka baginya, yaitu maksimal 2 saja, karena hanya ada orang tua.

 Khusus untuk menentukan ANGKA BAGI dari Jurai yang berpangkal pada Anak, penghitungannya adalah Jumlah Anak yang masih Hidup DITAMBAH dengan Anak yang

sudah Meninggal yang MENINGGALKAN KETURUNAN.

 Penerapan Kasus Khusus Untuk Masyarakat Bilateral

a. Dengan kondisi B sudah meninggal Angka Baginya untuk kondisi A dan C masih hidup dan B sudah meninggal dan meninggalka n

keturunan adalah 3, sehingga SEMUA ANAK, baik yang hidup dan meninggal mendapat bagian masing-masing 1/3 Bagian. Dan bagi a nak yang sudah meninggal (Anak B), harta wa risnya a kan diturunkan kepada ana k-anaknya, dengan cara dibagi sama rata untuk kedua anaknya, , yaitu F dan G sebesar masing-masing menerima 1/6 bagian.

b. Dengan kondisi A sudah meninggal Dalam Kelompok I, jika diantara ketiga Anak tersebut (A,B,C), yang meninggal adalah si A, dimana A tidak mempunyai keturunan, maka Angka Baginya akan menjadi 2, sehingga masing-masing dari B dan C akan menerima bagian sebesar ½ bagian.

c. Dengan Kondisi A dan B sudah meninggal Dalam kelompok 1, jika A dan B sudah meninggal, maka Angka Baginya tetap 2, yaitu untuk Anak B dan Anak C, yang masing-masing akan menerima ½ bagian. Tetapi berhubung B sudah meninggal dan tidak dapat menerima Harta Wa ris, maka bagian dari Anak B, akan diberikan secara rata kepada kedua anaknya, yaitu yaitu D dan E sebesar masing-masing ¼ bagian

28. PEMBAGIAN WARIS PADA MASYARAKAT PATRILINEAL DAN MATRILINEAL

 Prinsip Pembagian Waris, dari Penentuan Ahli Waris hingga sampai menentukan bagian warisnya, ini digunakan oleh seluruh masyarakat adat, yaitu Patrilineal, Matrilineal dan Bilateral. Hanya saja

yang membedakan antara Patrilineal dan Matrilineal dengan Bilateral adalah HANYA Penentuan dari Ahli Warisnya saja, yaitu

a. Matrilineal: Ahli Warisnya hanya yang melalui Garis Perempuan saja

b. Patrilineal: Ahli warisnya hanya yang melalui Garis Laki saja, dengan catatan khusus bahwa Perempuan tidak Menjadi Ahli Waris

 Karena Perempuan bukan termasuk Ahli Waris dalam Keluarga Patrilineal, bukan berarti Laki-Laki dalam Keluarga Matrilineal adalah juga bukan sebagai Ahli Waris. Laki-laki dalam keluarga

Matrilineal adalah termasuk Ahli Waris, hanya saja Laki-Laki tidak akan mengambil apa yang menjadi bagian dari Laki. Karena dalam keluarga Matrilineal, adalah pantangan bagi seorang laki- laki untuk mengambil Harta Keluarga, malahan seharusnya Laki-laki diharapkan untuk menambah Harta Keluarga. (LIHAT KEMBALI HALAMAN 16, No.23.c)

29. HARTA WARIS – Sangat Berhubunngan dengan Harta Perkawinan (HP)

Pencaharian

Sebelum Perkawinan Warisan ( Harta Pusaka/Asal ) Harta Pusaka/Asal )

Keluarga (

Hibah Harta Perseorangan Bukan Keluarga

Harta Pusaka/Asal ) Warisan ( HP

Selama Perkawinan Keluarga ( Harta Pusaka/Asal )

Hibah Bukan Keluarga

Harta Bersama Mutlak Pasti Harta Pencaharian

 Dari beberapa jenis Harta diatas, yang akan menjadi Harta Warisan adalah Harta Perseorangan +

½ Harta Bersama

 Jumlah Harta Warisan belum tentu sama, tergantung dari Besar Kecilnya Harta Perseorangan dari Suami atau Istri

 Harta Pusaka hanya dikenal di Masyarakat Patrilineal dan Matrilineal, untuk Bilateral mengenal Harta Asal

 Anak Angkat pada Masyarakat Bilateral mempunyai hak yang sama dengan anak kandung, hanya

Anak Angkat tersebut tidak berhak atas Harta Asal

 Pada Masyarakat Matrilineal, anak mendapat warisan dari Ayah, tapi tidak menyangkut Harta

Pusaka

 Pada Masyarakat Patrilineal, anak perempuan bisa mendapat warisan, selama tidak menyangkut

Harta Pusaka

 Harta yang boleh dijadikan sebagai Hibah adalah hanya Harta Pribadi, tidak bisa Harta Pusaka. Dan Hibah yang diberikan ke seseorang tidak boleh melebihi 1/3 dari Keseluruhan Harta. Hibah yang

diberikan kepada seseorang yang bukan keluarga, adalah harta yang bukan Harta Pusaka.

 BW tidak membolehkan Hibah diantara Suami dan Istri, sedangkan hukum adat membolehkan Hibah diantara suami dan istri

30. TANGGUNG JAWAB TERHADAP HUTANG PEWARIS

Jika kewajiban (hutang) lebih besar dari Harta Waris, maka dalam hukum adat mengenal mengenai 2 jenis tanggung jawab dari Ahli Waris, yaitu Tanggung Jawab Terbatas dan Tanggung Jawab Tidak Terbatas.

Tanggung Jawab Terbatas adalah ahli waris tidak bertanggung jawab dengan harta pribadi, dengan demikian ahli waris tidak dapat dituntut untuk membayar hutang-hutang yang ditinggalkan oleh Pewaris, jika ternyata Harta Peninggalan Pewaris tidak dapat melunasi Hutang Pewaris

Tanggung Jawab Tidak Terbatas artinya SEMUA ahli waris yang berhak menerima, bertanggung jawab dengan harta pribadi, artinya jika Pewaris meninggalkan sejumlah Hutang, maka Para Ahli Waris yang berhak menerima harta waris tersebut bertanggung jawab untuk melunasi hutang Pewaris tersebut, sesuai dengan bagiannya jika Ahli Waris tersebut menerima harta waris.